Chapter 10 — 24 Desember (Kamis) Ayase Saki
Setelah upacara akhir semester
berakhir, aku pergi untuk membeli bahan-bahan yang diminta ibu (yang merupakan sayuran dan berbagai bumbu) dan
menuju ke rumah. Malam ini, kami akan mengadakan pesta ulang tahun sekaligus
Natal di rumah. Ibu mengambil cuti dan bilang kalau dirinya akan memasak hari
ini, jadi aku ingin pulang secepat mungkin untuk membantunya. Setelah tiba, aku
membuka pintu depan yang benar -benar sudah terbiasa pada titik ini. Aku lalu
memberi salam “Aku pulang” dan segera
melepas sepatu luarku.
“Selamat datang kembali. Kamu
lebih cepat dari yang Ibu duga.” Ibu ternyata sudah berdiri di dapur.
Padahal masih baru sedikit
melewati tengah hari.
“Biarkan aku membantu.”
“Astaga. Aku tidak keberatan
melakukannya sendiri, jadi kenapa kamu tidak beristirahat saja?”
Mana mungkin bisa aku membiarkannya
menangani semua pekerjaan — tetapi aku tidak berani mengatakan itu.
“Tidak apa-apa, aku juga tidak
lelah, kok. Dan ini.”
Aku meletakkan kantong plastik
bahan makanan di atas meja makan.
“Terima kasih.”
“Aku akan ganti baju dulu dan
kemudian datang untuk membantu.”
“Bukannya kamu sedikit keras
kepala hari ini. Aku ingin tahu kamu mirip siapa sih ...”
Siapa
lagi kalau bukan mirip ibu. Tapi aku menelan komentar itu dan menuju
ke dalam kamarku. Setelah selesai berganti dengan baju santai, aku segera
kembali ke dapur.
“Apa yang kamu buat hari ini?
Ada sudah kepikiran mau memasak hidangan apa? ”
“Karena kita hendak merayakan Natal
dan ulang tahun kalian berdua, aku berpikir untuk membuatnya sedikit lebih
mewah dari biasanya. Nasi, sup miso, salad, dan daging.”
Bukannyaitu ... terdengar
hampir sama dengan makan malam biasa kami, ‘kan?
“Tapi daging inilah yang akan
kita masak!” Ibu lalu mengayunkan pintu kulkas dan menunjukkan situasi di
dalamnya.
Whoa, daging itu terlihat sangat
besar! Belum lagi bahwa itu dikemas dalam beberapa paket yang lebih kecil.
“Ini ... bukan ayam biasa,
bukan?”
“Ini daging kalkun.”
“Bagaimana…? Kapan…?”
Masuk akal jika yang dimasak
daging bebek. Banyak yang menjualnya di supermarket lokal. Tapi meskipun aku
melihatnya lebih sering sekarang daripada dulu, daging kalkun merupakan
komoditif yang masih jarang di sini, seperti aku harus memasuki tanah impian
untuk bisa mencicipinya. Bagaimana Ibu bisa mendapatkannya…?
“Apa yang ini sudah
dipanggang?”
“Bahkan buatku, memasak daging
ini dari mentah masih terlalu merepotkan. Aku tahu resep untuk itu, tapi itu
akan memakan waktu terlalu banyak. Kamu harus memanggangnya dan kemudian
membiarkannya membeku selama tiga hari, menyiapkan semuanya sehari sebelumnya,
mengisi, dan menggabungkannya lagi ... yang mana hidangannya pasti akan lezat,
tapi aku mungkin juga perlu menghemat waktu, kan?”
“Y-Ya, kedengarannya merepotkan
sekali.”
“Memang. Itulah sebabnya kami memesannya
yang sudah dipanggang. Atau lebih tepatnya, Taichi-san yang memesannya.
Dagingnya sampai di sini belum lama ini. Kita cuma perlu menghangatkannya saja.”
Dia menutup lemari es.
“Itu berarti kita bisa
meninggalkan daging untuk yang terakhir… lalu apa lagi?”
“Nasi, salad, dan sup miso.”
“Hah? Tapi bukannya itu tidak
memakan waktu lama ...”
“Oh? Apa jangan-jangan kamu
salah paham akan sesuatu? ”
Hah?
“Oh, Ayase-san. Selamat datang
kembali."
Aku berbalik untuk melihat
Asamura-kun keluar dari kamarnya.
“Ah, aku pulang.”
“Dan sepertinya kamu sudah
bangun ya, Akiko-san. Apa kamu sudah menyiapkan makan malam?”
“Aku berpikir untuk
membersihkan dapur terlebih dahulu.” Ujarnya kepada Asamura-kun sembari
menunjuk ke area dapur.
Oh iya, waktunya sudah dekat
dengan akhir tahun, sih.
“Biarkan aku ikut membantu,”
kata Asamura-kun, dan aku segera menimpali.
“Aku juga.”
“Ya ampun, kamu tidak perlu melakukannya,
tapi terima kasih.” Kata Ibu sambil tersenyum, tetapi aku tahu bahwa
membersihkan dapur merupakan tugas yang berat.
Jika kamu menggunakan banyak
minyak saat memasak, itu cenderung akan meninggalkan noda jahat.
“Meski begitu... semuanya masih
terlihat sangat bersih.” Aku melihat ke dinding dan berkomentar.
“Yah lagipula, aku dan ayahku
jarang menggunakan dapur.”
“Aku membeli minyak goreng
hanya setelah pindah ke sini juga. Aku tidak menyangka kalau kalian jarang
menggunakannya,” tutur Ibu sambil menjelaskan.
Seperti yang dia katakan, jika seseorang
tidak menggunakan minyak apa pun saat memasak, dapurnya takkan terlalu kotor
... itu menjelaskan mengapa Asamura-kun sangat terkejut ketika melihatku
memasak tempura. Ia tidak terbiasa dengan menggoreng.
“Aku juga berpikir untuk
membersihkan kipas ventilasi juga, tapi itu jauh lebih mudah.”
“Lagipula, kita sudah membuatnya
melakukan banyak tugas.”
“Aku tidak berpikir kalau kamu
bisa membuat makanan seperti tempura dan semacamnya di rumah ...”
“Oh, Asamura-kun ... tentu saja
Kamu bisa.”
“Ya, ya ...” Asamura-kun
menunjukkan senyum asam.
Ia memang pernah mengatakan kalau
dirinya ingin mencoba memasaknya sendiri, tetapi Ia harus menonton dan belajar
dulu, itu sudah pasti. Meski demikian ... ya, kurasa pembersihan tahun ini takkan
terlalu sulit. Untuk kipas ventilasi, kami bisa melepas filter, mencuci di
wastafel dapur atau kamar mandi, dan membersihkannya dengan deterjen ... atau
mungkin bahkan bukan itu. Dan kami mungkin tidak perlu mencuci ubin di sekitar
kompor dengan deterjen untuk menyingkirkan noda minyak juga. Semuanya terdengar
cukup mudah.
“Aku tidak berpikir itu akan
memakan waktu terlalu lama.”
“Kalau begitu mari kita
selesaikan dengan cepat dengan kita bertiga, ya?”
Ibu menghela nafas.
“Baik, tapi pertama-tama kita
harus menyiapkan makan malam dulu,” katanya, Asamura-kun dan aku balas
mengangguk.
Butuh awaktu sekitar dua jam, tapi
dapurnya segera bersih lagi. Kami istirahat dengan mengemil beberapa makanan
ringan setelah itu, dan akhirnya kembali untuk menyiapkan makan malam. Kupikir
ibu telah menantikan untuk memasak denganku, karena dia cukup ngotot mengusir
Asamura-kun dari dapur. Ia dengan enggan berjalan kembali ke kamarnya. Dua jam
lagi berlalu dalam sekejap mata. Kami membuat sup miso, dan salad ... itu benar
-benar tidak terasa seperti makan malam Natal. Bahkan, itu mungkin masih
ringan, sampai Ibu memberitahuku kalau Ayah tiri membeli kue yang dia pesan.
Menyantap kue setelah makan
malam?! Aku jadi lumayan takut untuk menginjak timbangan besok. Mungkin makan
malam yang lebih ringan merupakan pilihan terbaik. Menggunakan kubis dan
mentimun yang aku beli, Ibu mulai mengerjakan sesuatu. Dia memasukkan sayuran
yang kami potong ke dalam kantong ziploc dan mengayunkannya. Apa dia akan
mencari sesuatu yang ringan? Tapi hari ini Natal, ‘kan? Namun, kami juga
merayakan ulang tahunku dan Asamura-kun. Dalam hal itu, tidak terlalu aneh
untuk membuatnya dengan gaya tradisional. Tapi ... menyahikan acar untuk pesta ulang
tahun masih tidak biasa.
“Untuk apa wajah aneh itu,
Saki?”
“Yah, karena aku putrimu.”
“Kalau gitu kamu pasti akan
bertemu seseorang sehebat Taichi-san.”
“Ya, ya.”
Setelah ayah kandungku
meninggalkan kami, aku masih tidak yakin mengenai ibu yang menikah lagi.
Mungkin aku hanya berhati –hati saja. Karena rasanya sulit dibayangkan, tapi aku
memiliki sangat sedikit kenangan tentang ibu yang berbicara tentang pria ketika
dia di rumah. Dia mungkin mengabaikan kehidupan cintanya saat membesarkanku.
Ditambah lagi, berkat pekerjaannya, dia kemungkinan besar bertemu banyak pria
yang tidak karuan, jadi aku takkan terkejut jika dia mengembangkan ketidakpercayaan
terhadap pria pada umumnya. Setelah dia mengungkit tentang pernikahan kembali,
kami membicarakan tentang ayahku sekali di rumah. Sembari mengenang itu, Ibu
laly berkata:
“Sulit bagi dua orang asing untuk bisa rukun satu sama lain.”
Dia sedang mengambil cuti di
sekitar waktu itu. Jarang sekali melihatnya minum-minum di rumah, tetapi dia
dengan lembut memiringkan gelas di udara dan es di dalamnya membuat suara
berdentang sambil menabraknya.
‘Ia
dan aku tidak bisa rukun. Tetapi jika bukan karena dia, maka orang lain takkan
menyelamatkanku.”
'Aku
…. rasa begitu?'
‘Begitulah
cara kerja kehidupan. Tidak ada orang yang terlihat sempurna di mata semua
orang. Seperti yang dikatakan anak muda zaman sekarang. "Kamu
mempertahankan seseorang yang kamu bisa,” ‘kan?”
Baru pertama kalinya aku
mendengarnya.
‘Jadi,
pria ini ... Asamura-san? Apa kamu yakin untuk bersamanya?”
“Untuk
saat ini, ya.”
“[Untuk
saat ini…?] Sekarang aku jadi khawatir.”
‘Aku
tidak cukup percaya diri untuk berbohong padamu dan mengatakan bahwa kami akan
bersama selama sisa hidup kami. Kupikir hubungan kami akan baik -baik saja
sebelumnya, tapi tidak semuanya akan berhasil sempurna. Tapi ... Aku pikir setidaknya
akan bertahan sampai kamu menikah atau aku mendapatkan menantu.”
Dan bagaimana jika aku tidak
punya niat untuk menikah?
“Tapi
... lalu mengapa Ibu ingin menikah lagi?”
"Karena
Ia mengalami rasa sakit yang sama seperti yang kualami, mungkin?”
“Ah
... Benar, Ia juga bercerai.”
'Betul
sekali. Paling tidak, aku ragu hal yang sama akan terjadi lagi. Yah, itu mungkin
hanya angan -angan sepihak dariku, tapi seseorang tidak bisa mengubah hidupnya
sambil tidak menyimpang dari jalan sekali atau dua kali.”
Aku mendapati diriku berpikir apa memang begitu cara kerjanya?
Seakan-akan itu bukan masalahku. Apa artinya menikah? Aku tidak pernah terlalu
memikirkannya, jadi aku tidak punya cara untuk melihatnya dengan cara yang sama
seperti yang dilakukan ibu. Tapi aku telah menemukan pilihanku sendiri dalam
hidup. Aku ingin bisa mendapatkan cukup uang untuk menghidupi diri sendiri
tanpa bantuan suami. Aku ingin mandiri di atas kedua kakiku sendiri.
“Oh
ya. Dan jika bisa, aku ingin kamu memanggil Taichi-san dengan panggilan ‘Ayah
tiri,’”
Komentar itu cukup mengejutkanku.
Perkataannya bahkan tidak segera mencapai otakku. “Ayah tiri" —jika aku harus menebak, mungkin ibu menginginkanku
untuk secara terbuka menerima Asamura-san, karena beliau mungkin akan merasakan
banyak tekanan mendadak memiliki anak tiri di usianya yang cukup paruh baya.
“Jika
tidak, segalanya jadi akan membingungkan.”
—Ternyata tebakanku salahku.
'Membingungkan?'
‘Maksudku,
nama keluarga Yuuta-kun juga Asamura. Pasti akan membingungkan dengan siapa kamu
berbicara, ‘kan?”
‘Yuuta…
siapa itu?’
'Oh?
Apa aku belum memberitahumu? Ia putra Taichi-san. Asamura Yuuta-kun.'
“Jadi
Ia… punya anak?”
‘Usianya
16 tahun, sama sepertimu. Dan karena ulang tahunnya satu minggu sebelum kamu, Ia
akan menjadi kakak laki-lakimu. Yuuta-oniichan kedengarannya bagus, dan
Yuuta-nii juga tidak terlalu buruk. Yah pada dasarnya kalian seperti anak
kembar karena ulang tahun kalian berdua sangat dekat. "
Tidak, mana mungkinlah. Aku
belum pernah mendengar tentang anak kembar yang tidak berhubungan dengan darah.
“Baru
pertama kalinya aku dengar tentang ini.”
‘Nah
sekarang kamu sudah mendengarnya. Dan aku pikir kamu akan bertemu dengannya
minggu depan. Jadi sekarang kamu memiliki dua pilihan. Entah memanggil Taichi-san
dengan panggilan “Ayah tiri,” atau memanggil Yuuta-kun dengan panggilan
“onii-chan.” Ibu sih yang mana saja tidak masalah, jadi semuanya tergantung
pada pilihanmu.”
Aku tidak ingat banyak tentang
apa yang terjadi setelah itu. Aku merasa seperti hari berakhir setelah sedikit
lebih banyak olok -olok dan mengobrol hal sepele. Pokoknya, aku benar-benar
kelabakan pada informasi yang mendadak ini. Belum lagi aku akan bertemu
dengannya begitu cepat. Aku sangat berharap kalau dia memberitahuku lebih
cepat. Ibu lalu berkata “setidaknya kamu
bisa belajar sebelum hari pertemuan, kan?” Tapi aku tidak bisa menanggapi
komentar itu.
“Mana
mungkin ada orang yang diam tentang hal itu sampai hari pertemuan!”
Sudah lebih dari setengah tahun
sejak peristiwa itu. Bahkan jika aku bertanya kepada ibu sekali lagi apa dirinya
akan baik -baik saja, dia mungkin akan membalas dengan "untuk saat ini". Ibu tahu betul bahwa cinta tidak
bertahan selamanya, dan sudah siap untuk itu. Meski begitu, aku merasa kalau
Ayah tiri dan Ibu benar-benar mirip satu sama lain. Meski aku tidak tahu
bagaimana mengungkapkannya, tetapi aku bisa melihat bahwa ibu sedikit lebih
terbuka dan santai sejak bertemu dengannya. Karena dia bersedia mengambil
istirahat yang tepat dan tidak bekerja sendiri mati-matian, aku sangat
berterima kasih untuk itu. Semuanya jauh lebih baik daripada merusak
kesehatannya.
Ibu dan ayah tidak cocok untuk
satu sama lain. Selama lebih dari sepuluh tahun kehidupan pernikahan mereka,
mereka tidak pernah berhasil menyesuaikan diri satu sama lain bahkan sekali.
Sebaliknya, ayah hanya bisa melihat ibu sesuai keinginannya sendiri.
Sambil membicarakan hal ini dan
itu, Ibu dan aku melanjutkan persiapan kami untuk makan malam. Waktu terus
berlalu hingga di mana Ayah tiri masih belum pulang, dan Asamura-kun sekali lagi
muncul dari kamarnya. Ia mungkin sedang tidur siang atau membaca buku seperti
yang selalu Ia lakukan. Lagipula, Asamura-kun lumayan kutu buku. Ibu lalu memanggilnya.
“Yuuta-kun, bisakah kamu
menyalakan TV-nya?”
“TV?”
Rupanya, Ibu ingin film
berjalan di latar belakang untuk membuat sedikit suara. Kami tidak bisa melihat
layar TV dari posisi kami, tapi kami mendengar suara anak laki-laki yang
energik. Dan karena itu memainkan lagu-lagu Natal, itu mungkin film khas Natal.
Asamura-kun duduk di sofa ruang tamu dan menonton film.
Aku bisa melihat sosoknya dari
tempatku berdiri. Dan pemandangan itu mengingatkanku ketika kami pertama kali
bertemu. Aku sangat gugup sehingga aku baru saja menciptakan kesan Asamura
Yuuta sendiri, yang mana Ia singkirkan secara instan. Orang tua kami mungkin
menyaksikan percakapan kami dengan khawatir, tetapi perkataannya memberiku
perasaan lega dan damai. Ia membuatku sadar bahwa dirinya takkan memaksakan
harapan padaku. Dan itulah sebabnya aku mengatakan apa yang kulakukan pada
waktu itu.
“Aku
tidak memiliki harapan besar darimu, jadi aku ingin kamu melakukan hal yang sama
padaku.”
Sejak hari itu, Asamura-kun
selalu menarik perhatianku ...
◇◇◇◇
Kami selesai menyiapkan
semuanya untuk makan malam, dan Ibu menyuruhku untuk beristirahat. Aku melepas
celemekku dan mulai berpikir. Ketika aku kembali ke kamarku, aku melihat kartu
kosa kata yang tersebar di mejaku. Liburan musim dingin dimulai hari ini, jadi
tidak ada alasan khusus aku harus mempelajari materi pelajaran dengan sangat
serius, dan belajar untuk ujian masuk sekarang tidak benar-benar sepadan karena
kita akan segera makan malam. Yang terbaik yang bisa kulakukan adalah berlatih
dengan kartu kosa kataku lagi.
Aku menghubungkan earbud-ku ke smartphone dan mulai
memainkan hip-hop lofi. Nada samar dengan suara hujan di latar belakang
menggelitik telingaku. Aku mengambil kartu kosa kataku dan meninggalkan kamar,
menuju ke ruang tamu. TV masih memutar film Natal, tetapi aku mendengarkan
musikku sendiri, jadi aku tidak bisa mendengar satu kalimat pun atau suara.
Meski begitu, aku bisa menunggu di sini sampai Ayah tiri pulang. Aku duduk di
sebelah Asamura-kun dan mulai membalik-balik kartu kosa kataku.
Bounce
-
untuk membelokkan sesuatu. Oke, aku mengerti.
Concern
-
untuk terlibat dengan seseorang atau sesuatu.
Ah, yang ini juga dalam konteks
menunjukkan kepedulian terhadap seseorang. Bukannya kata worry mempunyai arti yang serupa? Aku berhenti membalik kartu dan
mulai berpikir. Aku pernah mencari permasalahan ini sebelumnya di kamus. Perbedaan
antara itu dan worry adalah bahwa concern tidak digunakan ketika semacam
insiden yang merepotkan terjadi. Kosakata ini cenderung digunakan pada konotasi
melakukan sesuatu untuk mencegah hal yang membuatmu khawatir. Penting untuk
membantu dan tidak hanya sekedar khawatir. Walaupun aku tidak tahu betapa
pentingnya perbedaan itu untuk diingat.
Consider — ...
pertimbangkan? Um, berpikir untuk melakukan sesuatu?
Aku terus mempelajari kartu
kosa kataku sambil menikmati ritme yang menyenangkan yang memasuki telingaku. Hal
tersebut terus berlanjut lebih lama, bersama dengan Asamura-kun yang di
sebelahku yang sedang menikmati film.
◇◇◇◇
Aku tidak tahu apa yang
membangunkanku malam itu. Namun, mungkin dikarenakan aku melihat sesuatu di
tengah-tengah kegelapan. Sinar cahaya yang samar memasuki kamarku yang gelap.
Aku samar-samar mendengar suara pintu kamarku terbuka.
“Kupikir aku sudah menutupnya
...” aku bergumam pada diriku sendiri dan berdiri.
Aku menyalakan lampu di sebelah
tempat tidurku dan melihat sebuah kotak kecil berdiri di sebelah pintu yang
terbuka.
“Santa…?”
Aku teringat kembali pada waktu
di mana aku benar-benar mempercayai keberadaan 'Santa' selama SD. Meskipun ketika aku berkata, "Terima kasih, Bu" padanya keesokan paginya, Santa segera
berhenti datang. Aku mengenakan cardiganku dan meraih hadiah. Ukuran hadiahnya
tidak terlalu besar. Pembungkusnya sangat pas di telapak tanganku. Aku melepas
pita dan melepaskan kertas pembungkus untuk melihat kotak putih. Di atas kotak
ada surat yang dimulai dengan kata-kata “untuk
saki.”
Surat itu dari ibuku yang
bertuliskan tentang rasa terima kasih yang dia miliki untukku sebagai putrinya,
dan betapa khawatirnya dia karena mungkin terlalu banyak menekanku. Mengapa rasa
selalu begitu memalukan membaca surat tulus dari keluargamu senditi? ... tapi aku
masih terus membaca surat itu, dan kemudian membuka kotak kecil itu. Di dalamnya
ada gelang dari produsen yang mahal. Aku lalu kembali membaca surat itu.
Mengenal
watakmu, ada kemungkinan besar kalau ingin mencoba menjadi mandiri tepat setelah
lulus dari sekolah SMA—
Aku hampir melompat kaget ketika
membacanya. Aku tidak pernah dengan jelas menyuarakan keinginan itu, namun dia
sudah bisa menebaknya dengan tepat.
Dan
karena itu mungkin yang akan terjadi, karena kamu adalah putriku, Kamu takkan
menghambur-hamburkan uang. Lagipula, kamu itu orang yang keras kepala.
“Karena aku putrimu, ya ...”
Aku melihat gelang yang ada di tanganku.
Itu
sebabnya aku memberi mu gelang ini sebagai hadiah. Tahun depan, kamu pasti akan
disibukkan dengan ujian masuk perguruan tinggi, jadi aku ingin memberikannya
kepadamu sekarang saat kamu masih memiliki kebebasan. Jika kamu sedang dalam
situasi terjepit, kamu bahkan bisa menjualnya. Gelang ini akan memungkinkanmu
untuk membeli makanan setidaknya selama sebulan. Gunakan waktu itu untuk
meminta bantuan dari seseorang, oke?
Dia bahkan mengetahui kalau aku
tidak pandai mengandalkan orang lain.
“Tapi ... aku baru saja mendapatkan
ini sebagai hadiah. Mana ada orang waras yang akan memberi tahu orang lain untuk
menjual hadiah mereka jika dalam keadaan terjepit?”
Sebenarnya, ada satu orang di
sini, ya? Ibu melanjutkan surat itu dengan meminta maaf karena memberiku
sesuatu hadiah yang mahal seperti ini, tetapi dia ingin aku membiarkannya
melakukan ini demi diriku, dan kemudian dia mengakhiri surat seperti itu. Aku
tidak bisa menahan nafas. Dia tahu bahwa menulis surat untuk diikuti seperti
ini akan membuatku sulit untuk mengembalikannya. Aku meletakkannya di
pergelangan tanganku sebentar dan kemudian meletakkannya kembali di tempat
tidurku, dan cahaya samar dari lampuku menerangi dengan warna perak cerah. Aku
menjulurkan jari padanya.
“Aku tidak takut untuk bekerja
keras. Aku akan membalasnya sepuluh kali lipat untuk ini suatu hari nanti.” ujarku,
meskipun dengan suara lemah lembut.
Yang ada, ucapan tadi rasanya
lebih seperti sedang berdoa. Aku dengan hati -hati memasukkan gelang itu kembali
ke dalam kotak dan menyimpannya. Aku takkan pernah berpikir untuk menjual ini. Aku
akan memakai gelang ini setiap kali akan bertemu dengan orang yang penting bagiku.
Aku membuatnya jadi gelang itu terlihat dari luar kotak dan menyimpannya di
sebelah tempat tidurku, lalu meringkuk di bawah selimutku.
“Makasih, bu.” Aku bergumam dan
melihat ke dalam kotak untuk terakhir kalinya sebelum memejamkan mata kembali.
Bahkan di tengah-tengah
kegelapan, kilau perak yang samar masih terlihat. Ukurannya bisa muat di atas
kepala malaikat layaknya lingkaran halo, ‘kan? Padahal lingkaran cahaya
seharusnya berwarna emas. Yah, itu perbedaan kecilnya sih. Wajah semua orang
yang kusayangi melintas di belakang kelopak mataku dan kemudian menghilang.
Selamat natal. Aku berharap
mereka semua terus bahagia.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya