Gimai Seikatsu Vol.6 Chapter 11 Bahasa Indonesia

Chapter 11 — 31 Desember (Kamis) Asamura Yuuta

 

Langit mulai tampak berwarna abu-abu, yang mana membuat napasku mengeluarkan asap putih, dan udara dingin yang menerpa pipiku terasa sangat sakit. Saat ini sekitar pukul 6 pagi, langit dari arah timur mulai memancarkan cahaya dengan sangat samar, tapi masih cukup gelap. Ketika kita harus bangun dan meninggalkan ini lebih awal, hal tersebut menjadi cukup jelas bahwa jarak antara Tokyo dan Nagano cukup jauh terpisah satu sama lain. Kamu dapat mencapai tempat wisata Karuizawa dengan kereta cepat, tapi karena keluarga besar ayahku tinggal cukup jauh di pegunungan, jadi cara tersebut kurang efektif.

Kami hanya akan berada di sana selama dua malam, tapi mempersiapkan segalanya masih cukup melelahkan. Kami semua berkeliling rumah untuk memeriksa apa yang kami butuhkan, apa yang perlu kami beli, dan apa yang tidak kami butuhkan. Sejujurnya, aku belum pernah mengalami sestres ini. Bahkan, terakhir kali adalah ketika Ayase-san dan Akiko-san pindah ke sini. Saat itu kami bergerak bersama seperti sekawanan burung yang memindahkan semua yang ada di dalam rumah.

Berbeda dengan pada waktu itu, kami sekarang benar-benar bertindak seperti keluarga yang sedang bersiap-siap untuk pergi liburan, dan aku tidak membenci perasaan ini. Orang yang tampak paling gugup dari kita semua adalah Akiko-san. Mereka berdua belum mengadakan resepsi upacara pernikahan. Dengan kata lain, ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan kerabat keluarga ayahku. Walaupun setidaknya dia sudah bertemu kakek dan nenekku. Aku pikir mereka makan bersama saat melakukan pertemuan.

Dalam melakukan pernikahan, seorang pria dan wanita dewasa hanya membutuhkan persetujuan satu sama lain, dan keluarga masing-masing pihak tidak dapat menentang keputusan mereka dari sudut pandang hukum. Bahkan jika mereka menentang Akiko-san menjadi istri Ayahku, tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya. Setidaknya, sekali lagi, secara hukum dan di permukaan saja. Namun, yang namanya kenyataan selalu kejam dan realistis. Ditambah lagi, berbeda dengan sembarang kenalan, rasanya sulit untuk sepenuhnya memotong hubungan persaudaraan dengan kerabatmu. Jika mereka membencimu, itu akan menggerogoti kondisi mentalmu. Baik itu nenek, sepupu, maupun orang tua.

... atau bahkan saudari tirimu. Walaupun kamu benar-benar memendam ketidaksukaan terhadap orang lain, pada akhirnya kamu akan secara teratur bertemu dengan mereka, jadi sulit untuk menghindari satu sama lain. Dan karena Akiko-san cukup banyak bertarung dalam pertempuran jarak jauh, dia tidak menahan diri ketika berkaitan dengan persiapan menyeluruh. Pertarungan sudah dimulai. Dan dia akan melawan musuh di wilayah mereka.

Kami mengemas semua yang diperlukan ke dalam tas, termasuk minuman, makanan ringan, pakaian ganti, perlengkapan mandi, dan dompet - pada dasarnya peralatan perjalanan yang teratur, tapi yang paling penting adalah suvenir bagi keluarga besar. Yang ini tidak kami lupakan. Tiga kotak makanan ringan yang dibungkus untuk ketiga keluarga semuanya disimpan di bagasi mobil.

Akiko-san melirik daftar yang ada di tangannya, memastikan bahwa kami telah mengemas semuanya. Sebagian dari itu adalah hadiah Tahun Baru untuk anak-anak yang lebih muda. Dia bahkan memiliki nama mereka ditulis dengan jumlah yang sesuai. Semua ini mungkin berkat pengalamannya melayani pelanggan sebagai bartender. Dia pasti meminta semua nama anak-anak ini dari ayahku. Sekali lagi, dia menampilkan perilaku orang dewasa yang sempurna dan apa yang diharapkan dari orang dewasa. Mengingat lingkunganmu memungkinkankamu bisa bebas tanpa masalah besar, dan kamu tidak kehilangan banyak hal. Kurasa beginilah cara dari orang dewasa.

Ketika aku membayangkan diriku akan menikah, dan menyadari bahwa hal yang sama akan diharapkan dariku, aku sudah bisa merasakan kepalaku yang pusing. Dan itu membuat perutku sakit. Aku menyukai sepupuku, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa semua pekerjaan tambahan ini terdengar seperti sangat merepotkan. Memangnya apa tidak bisa mengadakan pertemuan sosial dan acara sosial penting lainnya melalui jejaring sosial? Tetapi bahkan ketika pikiranku mengembara begitu, tanganku terus bergerak.

Sekali lagi, sebagian besar barang-barangku mudah masuk ke dalam tas olahraga. Aku tidak perlu sering mengubahnya, dan satu-satunya hal yang tidak bisa aku lupakan adalah PR sekolahku. Ketika aku masih kecil, aku biasanya mengambil tiga atau empat salinan buku berasaku, tetapi sekarang aku bisa menyimpannya di smartphone-ku. Terkadang kemajuan teknologi tidak terlalu buruk.

“Kupikir sudah waktunya untuk pergi,” tutur ayahku, jadi kami menuju ke tempat parkir yang ada di luar apartemen kami.

“Ini pertama kalinya kita berempat menuju ke suatu tempat bersama, ya?”

“Oh ya, itu benar.” Akiko-san mengangguk pada pernyataan ayahku.

Jika kamu tinggal di kota besar seperti ini, kamu pasti akan jarang menggunakan mobilmu. Jadi ini akan menjadi pengalaman pertama kami semua bepergian bersama.

“Aku bahkan belum pernah menaiki mobil Ayah tiri.”

“Jangan khawatir, dia mengemudi dengan aman, kok.” balas Akiko-san.

Kedengarannya seperti dia pernah mengalami mengemudia bersama Ayahku. Pada saat kami meninggalkan tempat parkir, langit sudah mulai terang di tengah jalan. Kami semua melompat ke dalam mobil, menutup udara dingin dari luar. Dan karena kita akan menuju ke Nagano selama musim dingin, ban sudah diubah menjadi ban khusus musim dingin. Jika kami menggunakan jalan raya Kan-ETSU dan Joshin-ETSU, dan jika tidak ada kemacetan lalu lintas atau salju di jalan, kami harusnya bisa mencapai tujuan kami dalam waktu sekitar empat jam. Dan karena waktunya sudah mendekati akhir tahun, ada kemungkinan besar kalau kami akan mengalami keduanya. Itu sebabnya kami memperkirakan kedatangan kami akan terjadi di sore hari. Dan itu sebabnya kami berangkat lebih awal.

“Mungkin tahun depan nanti cuma ada aku dan Akiko-san saja. Kalian berdua pasti akan disibukkan dengan ujian masuk, dan kemudian akan menemukan hubunganmu sendiri setelah memasuki universitas. Bahkan, kita mungkin tidak punya banyak kesempatan untuk bepergian dengan kita berempat. Itu sebabnya aku ingin setidaknya kita bisa pergi bersama sebagai keluarga tahun ini. Meskipun mungkin agak membosankan karena di sana tidak banyak yang bisa dilihat, sih...”

“Kalian berdua harus mempersiapkan ujian masuk mulai tahun depan. Waktu memang berlalu dengan cepat.”

Ayahku dan Akiko-san sama-sama mengatakan hal yang serupa. Pada dasarnya, ini bisa menjadi terakhir kalinya kami melakukan perjalanan. Perkataan mereka bergema jauh di dalam diriku. Aku mengenakan sabuk pengamanku dan bersandar di kursiku seraya merenungi itu di dalam diriku sendiri.

Terakhir kalinya, ya? Aku melirik adik tiriku yang  duduk di seberang baris belakang. Dia sedang memakai earphone saat memandang ke luar jendela dan ke atas langit berubah cerah. Dia sepertinya memperhatikan tatapanku. Dia kemudian melepas satu earphone-nya dan menatapku, rambutnya sedikit bergoyang ketika menoleh ke arahku.

“Apa ada yang salah?”

Jantungku mendadak berdetak kencang.

“Ah, bukan apa -apa ... Aku hanya berpikir kalau kamu mungkin masih merasa lelah karena harus bangun pagi-pagi.”

“Sebenarnya ... aku mungkin agak mengantuk.”

Ayahku ikut mendengarnya dan berbicara.

“Kamu boleh tidur lagi sebentar jika kamu mau, Saki-chan.”

“Terima kasih. Tapi aku baik -baik saja untuk saat ini.” Dia memasang kembali earphonenya dan memasuki dunia musik sekali lagi.

Wajahnya berbalik ke arah jendela, dan tidak menatapku. Walaupun jarak kami cukup dekat sampai siku kami bisa bersentuhan, keberadaannya terasa sangat jauh ... dan itu membuatku merasa kesepian. Tidak, tenanglah. Justru sebenarnya ini hal yang terbaik. Ayase-san dan aku masih berstatus saudara di sekolah menengah, dan kami berbagi ruang hidup yang sama dengan orang tua kami. Kami tidak dapat melakukan apapun yang akan melewati batasan sebagai saudara biasa, dan kami tidak dapat membiarkan siapa pun mengetahuinya.

Setelah semua pintu ditutup dan ban mulai bergerak, suara angin di luar segera menghilang, dan sedikit getaran mulai menghasutku untuk tidur. Kelopak mataku mulai terasa berat, tapi berkat percakapan berkala yang terjadi antara Akiko-san dan ayahku, entah bagaimana aku berhasil tetap terjaga. Setelah mengalami sedikit kemacetan lalu lintas, kami melewati persimpangan di Ooizumi dan akhirnya memasuki jalan raya Kan-Etsu. Dengan menggunakan jalur itu, kami melakukan perjalanan ke utara menuju Prefektur Saitama.

Selama dalam perjalanan, sebagian besar orang tua kamilah yang berbicara, dengan topik yang berisi tentang apa pun yang terlintas dalam pikiran mereka, tentang kehidupan dan dunia— serta masakan buatan Akiko-San ... jadi pada dasarnya, itu obrolan yang sama seperti sebelumnya. Sedangkan untuk diriku sendiri, aku akan mengomentari percakapan mereka secara berkala, tapi tidak banyak berpartisipasi. Meski begitu, aku menyadari bahwa Akiko-san pasti sangat gugup. Ayahku mungkin juga menyadarinya. Kemudian lagi, aku memaklumi kalau dia pasti merasakan banyak tekanan. Terutama ketika berkaitan dengan pendapat kerabat kami.

Misalnya saja seperti, apa yang akan terjadi jika Ayase-san dan aku mengumumkan hubungan kami secara publik? Hal itu akan membuat segalanya menjadi canggung bagi kami, serta orang tua kami. Secara realistis, kami akan bersekolah saat tinggal bersama orang tua kami. Itu berarti kita bertemu dengan mereka setiap pagi meskipun semuanya begitu canggung. Aku bahkan tidak ingin membayangkannya. Meski demikian, aku bahkan tidak bisa berpikir untuk menghentikan hubungan yang kumiliki dengan Ayase-san. Bisakah aku benar -benar menyerah dengan gampangnya pada gadis yang kusukai? Maksudku, ceritanya bakalan berbeda jika dia mulai membenciku.

Tapi saat aku mulai memikirkan hal itu, kemungkinan lain terlintas di benakku. Bagaimana jika hubunganku dengan Ayase-san berakhir dengan cepat? Dan meski demikian, kami masih harus terus bertingkah seperti saudara? Hubungan kami sebagai keluarga takkan hilang begitu saja. Bahkan jika salah satu dari kami menikah dengan orang lain. Aku adalah kakak laki-laki, dan Ayase-san adalah adik perempuan. Logika mengatakan itulah yang akan terjadi, dan kedua keluarga kami saling bertemu dengan cara begini. Yah, semuanya akan berbeda jika orang tua kami bercerai —  apa sih yang kupikirkan? Aku seharusnya tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Aku menggelengkan kepalaku.

“Apa ada yang salah, Yuuta? Mabuk kendaraan?”

“Aku baik-baik saja. Aku cuma memiliki pemikiran buruk. ”

“Apa kamu melupakan PR-mu?”

“... Tenang, aku membawanya.”

Jadi ayahku berpikir kalau hal terburuk yang mengisi pikiranku hanyalah PR? Yah, aku ragu dia bahkan menganggap kalau aku akan memikirkan cinta dan yang lainnya. Terutama dalam kaitannya dengan putri tirinya sendiri. Namun aku menghela nafas lain yang bisa dengan mudah disalahpahami. Sementara itu, wajah Ayase-san masih terpaku pada dunia di luar jendela. Itu sudah bersih sepenuhnya, dan matahari keluar untuk menyambut kami sekarang karena kami telah mencapai area yang lebih banyak pepohonan. Sebelumnya, itu hanya mengintip antara bangunan bertingkat tinggi Shibuya. Kedua sisi jalan raya sekarang penuh dengan pohon atau ladang. Hal itu akan menjadi pemandangan yang indah, tapi musim dingin membuatnya terlihat mati dan tandus, menciptakan lukisan hitam dan coklat. Di kejauhan, kami bisa melihat pegunungan bersalju.

Setelah dua jam perjalanan, kami memilih untuk istirahat di tempat istirahat.

Saat kami melaju lebih jauh ke utara, pemandangan di sekitar kami berubah dari agak kecoklatan menjadi coklat pekat dengan beberapa sentuhan putih di sana-sini.

“Ternyata masih ada sisa beberapa salju.”

“Ketika salju turun di sini, saljunya akan menumpuk untuk sementara waktu.”

“Seperti yang diharapkan dari Nagano,” balas Ayahku.

“Apa ini pertama kalinya kamu melihat Nagano selama musim dingin, Akiko-san?” Aku bertanya.

“Aku pernah datang ke sini untuk bermain ski bertahun-tahun yang lalu.”

“Akiko-san bisa bermain ski?”

“Jika kamu menyebut ski sebagai 'menggelundung dan meluncur,' maka ya.”

Aku tidak berpikir kalau itu termasuk bermain ski ...

“Bagaimana denganmu, Taichi-san?”

“Aku? Tentu saja. Sebelum pindah karena alasan kampus, aku tinggal di sini.”

“Aku tidak tahu ...”

Itu mengejutkan. Saat kami berbicara, mobil kami memasuki terowongan dan melewatinya. Berkat itu, pemandangannya terbuka sedikit lebih jauh. Jumlah rumah semakin lebih sedikit, dan kamu bisa melihat pondok yang lebih kecil, jarak di antara mereka masing-masing tumbuh lebih besar. Setelah melewati terowongan lain, ayahku berkata, “Begitu melewati Saku, kita akan mencapai Komoro.” Di lain waktu, kami sempat melihat kereta cepat Hokuriku saat mengemudi di jalan raya Joshi-Etsu yang bersimpangan dengan daerah Saku melewati Karuizawa. Dari sana, kami akan melewati Komoro dan Nagano, kampung halaman ayahku bahkan lebih jauh melewati di sana.

Tapi sekali lagi, cuma menyebut nama kiri dan kanan tidak membuatnya lebih jelas. Bahkan aku tidak ingat segalanya di sekitar sini, aku hanya mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh ayahku. Ketika aku melihat ke arah sampingku, aku melihat bahwa Ayase-san telah mengangkat dirinya dan menatap pemandangan di luar dengan minat yang lebih besar dari sebelumnya.

“Penasaran tentang sesuatu?” Aku bertanya kepadanya, dan dia berbalik seolah-olah sudah melupakan keberadaanku.

“Erm, tidak juga. Hanya di sana.” Dia menunjuk ke luar jendela kanan, dan aku berbalik untuk melihat ke mana dia menunjuk.

Di sisi yang berlawanan dari jalan raya. Di sana berdiri satu rumah yang dikelilingi oleh ladang yang ditutupi dengan riasan putih. Rumah itu memiliki atap yang terbuat dari genteng, menonjol lebih dari apa pun di tengah pemandangan ini.

“Bangunan tua itu?”

“Ya, rumah itu terlihat sangat tua. Bukannya itu salah satu rumah bergaya Jepang yang sudah tua?”

“Ya.”

Kurasa kamu bisa menganggapnya begitu juga jika mereka sudah ada selama lebih dari 50 tahun setelah konstruksi. Dari pilihan kata-kata, kedengarannya agak seperti bangunan yang aneh, tetapi mengingat ini dibangun pada tahun 1950-an dan sebelumnya, waktu tersebut tepat ketika Perang Dunia Kedua berakhir.

“Rumah itu terlihat yang tertua dari mereka semua.”

Pemandangan di luar mobil terbang melewati kami dengan sangat cepat, karena tidak ada pohon yang tersebar dan layu. Meski begitu, kamu bisa melihat beberapa rumah bermunculan ke kiri dan kanan.

“Yang satu itu jauh lebih tua dari yang lain, kurasa.”

“Tapi ada antena di atasnya.”

“Benarkah? Aku terkejut kamu bisa melihatnya.”

“Mungkin itulah yang menarik perhatianku dulu.”

Ayahku menimpali percakapan kami dan ikut bergabung.

“Di sekitar sini, tidak memiliki apa-apa selain gunung. Kamu tidak mendapatkan sinyal atau internet. Jika kamu ingin menonton TV, kamu harus mengkamulkan kabel atau satelit.”

Aku mengangguk.

“Tapi itu merusak keanggunan.”

“Ini pengorbanan yang diperlukan jika kamu tinggal di sini.”

“Itu benar. Ketika aku masih muda dulu, aku harus berjuang untuk koneksi internetku, tapi sekarang mereka memiliki hal yang sama seperti di kota besar.”

“Masuk akal.”

“Apa kamu menyukai hal-hal semacam ini?” Aku bertanya pada Ayase-san, dan dia mengangguk.

“Bangunan kuno, kuil, vihara; Aku menyukai bangunan yang menjaga bentuknya selama berlalunya waktu.”

“Jadi, termasuk kastil juga?”

“Ya, kastil juga. Dan dinding batu.”

“Dinding batu ... cuma dinding batu?”

Ayase-san balas mengangguk. Dia tampak sangat senang dengan itu.

“Saat melihat kastil yang lebih tua, bahkan jika kastil itu rusak, dinding-dinding batu terus berdiri. Hanya dinding batu, atau parit ... bahkan mungkin pilar juga. Segala jenis reruntuhan itu. ”

“Dan melihat hal itu terasa menyenangkan?”

“Iya. Bila melihat cara mereka membangun dinding dan menumpuk batu, kamu bisa menebak dengan  baik tentang kapan itu dibangun. Jadi orang-orang yang memahami banyak tentang konteks ini dapat mengetahui cukup banyak dengan petunjuk kecil seperti itu. Dan ketika aku mendengar tentang itu, aku merasa asyik. Sungguh menakjubkan bahwa orang dapat melihat dan memahami hal-hal yang seharusnya menghilang sekarang.”

“Aku bahkan tidak tahu ada perbedaan dalam cara menumpuk batu untuk membangun dinding.”

“Benarkah? Kupikir kita pernah mempelajarinya dalam buku pelajaran ... atau mungkin tidak? Aku cenderung mengingat hal-hal ini dari koleksi atau video gambar.”

“Bahkan ada videonya juga?”

“Tentu saja. Coba saja mengetik di kolom pencarian 'Kastil di Jepang' dan kamu akan menemukan bejibun. Aku jarang menonton video, tetapi jenis video semacam ini selalu membuatku tertarik. ”

“Kamu cukup terpaku dengan sejarah Jepang?”

Dia mengangguk sekali lagi. Hal tersebut jadi mengingatkanku. Dalam dua ujian terakhir, dia selalu mendapat nilai 100 yang sempurna ketika berkaitan dengan pelajaran sejarah Jepang. Jadi dia penggemar sejarah secara umum? Itu agak mengejutkan ... tetapi mungkin tidak juga. Ayase-san menoleh ke belakang ke jendela dan bergumam.

“Itu sebabnya aku suka bangunan-bangunan tua semacam ini. Mereka dipenuhi dengan kenangan dan fakta tentang masa lalu. Sekarang aku tahu ada lebih banyak di sekitar sini, aku benar-benar menantikan ini.”

Ya, memang benar bahwa Shibuya tidak memiliki bangunan tua seperti apa yang dia bicarakan. Adapun Nagano ... mungkin kuil Touson Shimazaki? Yang itu sering disebutkan dalam buku teks Jepang kami. “Di Kastil Kuno di Komoro, awan putih berduka atas pengembara,” itulah yang tertulis di salah satu buku teks. Pemandangan hitam dan putih di luar jendela secara singkat kehilangan semua warnanya, seperti telah berubah menjadi foto primer dengan rona sepia.

Laju kendaraan mobil terus membawa kami lebih jauh dan jauh dari peradaban, lebih dalam ke pegunungan, dan bangunan-bangunan itu menghilang di antara salju. Kami keluar dari jalan raya setelah melewati Komoro dan Kota Nagano, memasuki lebih dalam ke area hutan. Setelah melayang di jalanan gunung yang berbelak-belok seperti ular, kami mencapai area lembah. Akhirnya, kami melihat bungalo tinggi di kejauhan. Tidak ada tempat parkir. Sebaliknya ada area terbuka yang luas di depan gedung, dengan salju menyekop ke samping. Di salah satu sudut area itu, ayahku memarkir mobil.

“Akhirnya kita bisa sampai.”

Kami semua keluar dari mobil. Angin dingin yang sepoi-sepoi membuat tubuhku menggigil. Area itu ditutupi dengan salju, dan tanpa disekop ke samping, tumpukan saljunya mungkin akan menjadi setinggi lutut. Bahkan napas yang keluar dari mulutku tampak putih, pipiku memerah dari udara dingin.

“Halamannya cukup besar.” Ayase-san melihat sekeliling saat dia meregang.

“Ini bukan halaman,” jawab ayahku, "hanya saja tidak ada yang dibangun di sini. Nah, mereka punya banyak tanah untuk digunakan.”

"Dan betapa elegannya rumah,” kata Ayase-san ketika dia melihat bungalo besar di depannya.

“Bangunan tua masih tetaplah tua. Aku diberitahu bahwa kakekku yang membangun ini.”

Bangunan di depan kami dengan atap ubinnya jauh lebih tua dari 50 tahun, yang memenuhi syarat sebagai salah satu rumah bergaya Jepang yang disukai Ayase-san.

“Luar biasa…”

“Bagian dalamnya sudah dipertahankan. Dan juga cukup nyaman. Tetapi yang lebih penting, Saki-chan, Akiko-san, mari kita masuk. Kami tidak perlu membeku di sini.”

“Ya, Taichi-san.”

“Aku akan membantu membawa barang bawaan, Ayah.”

“Ya, mari kita membagi beratnya.”

Aku dan ayahku membawa barang bawaan yang berat. Ia berjalan paling depan saat kami menuju pintu masuk. Di sebelahnya ada Akiko-san dengan ekspresi yang kaku, diiringi dengan Ayase-san dan aku yang di belakang mereka. Kami telah meninggalkan rumah kami begitu awal, tapi matahari sudah mulai bergerak menuju barat. Saat mengeluarkan napas putih, Ayase-san menatap bungalo di depan kita.

—Aku menikmati melihat bangunan yang lebih tua. Mereka dipenuhi dengan kenangan dan fakta tentang masa lalu.

Apa yang dia lihat di rumah itu sekarang?

“Aku pulang.” Ayahku berteriak kerasa ketika  membuka pintu depan.

Setiap kali aku mendengar kalimat ini, itu membuatku tersadar bahwa ini benar-benar tempat Ia dilahirkan.

“Iyaaa,” sebuah suara balasan datang dari dalam, diikuti oleh suara langkah kaki yang mendekati kami.

Orang yang muncul adalah ibu ayahku, dengan kata lain dia adalah nenekku.

“Selamat datang kembali, Taichi. Kanae dan yang lainnya baru saja tiba di sini, ” katanya dan membuat senyum damai.

Punggungnya masih belum mulai membungkuk, dan suaranya penuh dengan energi. Dia benar-benar tidak pernah berubah. Sungguh melegakan. Ayahku mengangguk dan Akiko-san membungkuk dengan sopan.

“Terima kasih sudah menyambut kami, ibu mertua.”

“Ya, ya, aku sudah lama tidak melihatmu, Akiko-san.”

Nenek tampak agak lega melihat Akiko-san terlihat kaku. Setelah itu, Akiko-san melingkarkan lengannya di punggung Ayase-san.

“Dan ... dia adalah putriku, Saki.”

“Senang bertemu denganmu, namaku Saki.”

Ayase-san mengambil langkah maju dan membungkuk dengan sopan seperti ibunya. Karena orang tua kami sudah pernah bertemu kakek-nenekku selama hari kerja, baik Ayase-San dan aku yang bersekolah tidak berpartisipasi. Jadi ini kemungkinan pertemuan pertama mereka.

“Ya, selamat datang, selamat datang. Aku sudah lama ingin bertemu denganmu, Saki-chan.”

“Dengan senang hati.”

“Luar biasa. Anggap saja kamu sedang di rumah sendiri, oke? Tapi untuk saat ini, ayolah. Semua orang ada di ruang tamu, jadi aku akan menyiapkan teh sekarang.”

“Ah, biarkan aku membantumu, bu.” Akiko-san berbicara.

Nenek menunjukkan ekspresi bingung sejenak, tetapi kemudian merespons dengan “baiklah” datar.

“Tapi, aku akan menunjukkan kamar kalian dulu.”

“Ya.”

Kami melepas sepatu kami di pintu masuk depan dan mengikuti nenekku melalui lorong pintu masuk. Ya, aku sudah sering mampir ke sini, jadi aku tidak perlu bimbingan. Namun, Ayase-san mengangkat suara yang tenang saat kami masuk ke dalam.

“Ini lantai yang kuat ...” Dia tampak terkesan.

Aku agak bingung dengan pernyataannya, tetapi dengan cepat menyadari bahwa dia sedang menggumamkan lantai yang kami pijaki. Maksudku, aku yakin dia pernah melihatnya sebelumnya, tapi mungkin ini adalah pertama kalinya dia benar -benar mengalaminya? Tempat tinggal Jepang klasik biasanya memiliki sedikit ruang antara lantai dan tanah untuk membiarkan angin lewat di bawahnya. Karena Jepang dikenal karena kelembabannya, itu akan segera merusak bangunan yang dibangun dengan kayu tanpa celah udara ini. Itu sebabnya ada perbedaan ketinggian saat kamu memasuki lorong. Pintu masuk biasanya di permukaan tanah dibandingkan dengan sisa bangunan. Di situlah kamu melepas sepatu dan melangkah, atau lebih akurat masuk. Bagian di mana pintu masuknya sama dengan tanah biasa disebut doma dan jika doma terbuat dari mortir yang kaku, maka itu disebut tataki, yang digumamkan Ayase-san tadi.

Tapi tentu saja, Ayase-san pasti lebih berpengetahuan mengenai hal semacam ini daripada aku. Aku belum bisa melupakan kalau dia berhasil mendapat nilai 100  dalam sejarah Jepang selama ujian terakhir kami. Bahkan ketika kami berjalan menyusuri lorong, Ayase-san memeriksa berbagai area bangunan. Lorong awal kami berjalan segera terbagi menjadi dua jalur, ke kiri dan kanan. Jika kami memilih arah kiri, kami akan sampai ke dapur. Namun, nenek tidak mengambil rute itu dan malah memilih jalur kanan. Ketika kami mengikutinya, lorong berubah menjadi Engawa, koridor eksternal tradisional pergi bersama sebuah taman. Jendela di sebelah kanan kami semuanya ada di dalam kotak yang dibangun secara khusus, langsung menghalangi kebun. Sekilas, itu mungkin terlihat seperti beranda terbuka, tetapi jika kamu menutup pintu gesernya, itu menjadi lorong biasa lagi. Sementara itu, matahari bersinar terang dan menerangi lorong dari posisi barat di langit.

“Luas sekali ...” gumaman Ayase-San mencapai telingaku.

Sisi kiri terhalang oleh pintu geser khas, tapi setidaknya ada tiga kamar di sebelah Engawa. Ruang tamu terketak di ruangan paling tengah. Yang di depan adalah area tidur kakek-nenek aku, dan yang ada di belakang adalah milik kakak ayahku dan istrinya. Nama ayahku mungkin ditulis dengan kanji untuk kakak laki-laki, tetapi Ia sebenarnya adalah putra kedua.

Tempatnya mungkin tidak terlihat dari sini, tetapi lebih jauh di belakang (atau utara) memiliki tiga kamar lagi, yang akan menjadi kamar tamu untuk beberapa hari ke depan.

“Wahaha!”

Kami mendengar tawa datang dari lebih dalam di dalam ruangan.

“Ya ampun, mereka sangat berisik hari ini.” Nenek membuat senyum pahit dan membuka layar geser.

Kami disambut oleh kamar bertema Jepang yang lumayan luas. Mayoritas keluarga besar Asamura telah berkumpul. Dimulai dengan kakekku dan putra sulungnya (yang mana merupakan kakak ayahku dan pamanku), beberapa orang dewasa lainnya duduk di sekitar meja, yang membuat ruang Tatami tampak jauh lebih kecil. Meja rendah - sekitar ketinggian dua meja teh - diisi dengan minuman dan makanan ringan.

“Taichi sudah sampai di sini.”

“Oh! Akhirnya! Pasti jaraknya jauh sekali ‘kan harus mengemudi dari Tokyo.” Seorang pria tua berdiri dengan suara keras.

Ia adalah kakekku. Rambutnya telah berubah menjadi putih salju, dahinya agak berkeriput, tapi suaranya memiliki energi yang sama seperti bertahun-tahun yang lalu.

“Sudah lama, Akiko-san. Apa kamu sehat-sehat saja?”

“Ya. Senang bertemu denganmu lagi, ayah mertua.” Akiko-san menundukkan kepalanya, dan fokus semua orang di ruangan itu tertuju padanya.

Whoa, lihat tekanan ini. Satu-satunya dua orang di ruangan ini yang pernah bertemu Akiko-san sebelumnya hanyalah kakek-nenek aku. Pamanku, istrinya, putra mereka, bibiku, suaminya, dan kedua anak mereka semua bertemu Akiko-san untuk pertama kalinya. Jelas-jelas itu akan menjadi 7 vs 1 ... tunggu, ada satu orang lagi. Seorang wanita di tengah ruangan. Aku sama sekali tidak mengenalnya.

“Sudah, sudah. Mari kita tinggalkan perkenalannya untuk nanti. Aku yakin mereka pasti lelah, jadi aku akan menunjukkan dulu kamar mereka.”

“Be-Benar juga.”

Nenekku membaca suasana dan memecah atmosfer. Aku sedikit penasaran tentang wanita yang tidak dikenal itu, tapi kami hanya bertukar salam singkat dan kemudian pergi setelah nenek. Berjalan menyusuri lorong, kami dibawa ke kamar paling jauh di belakang.

“Silakan gunakan kamar ini untuk tahun ini. Aku sudah menyiapkan futon dan segalanya.”

“Terima kasih, Bu,” Ujar ayahku.

Kamar tamu sama seperti yang diharapkan, ruangan yang berukuran sekitar tiga belas meter persegi, dengan empat futon ditumpuk di atas satu sama lain di sudut ruangan. Aroma bahan tatami sangat kuat. Mungkin karena tempat ini biasanya tidak digunakan. Dan di sinilah kami akan menghabiskan dua hari ke depan, ya?

…Tunggu sebentar. Di sini? Kami berempat? Ketika aku menyadari hal ini, jantungku mulai berdetak lebih cepat. Ini berarti ... Ayase-san dan aku akan tidur di ruangan yang sama?

“Maaf, ibu tidak dapat menemukan lebih banyak kamar untuk anak-anak kalian tahun ini, masalahnya—”

Tepat ketika Nenek mulai mencoba menjelaskan situasinya, kami mendengar bunyi ketukan dari luar layar geser, datang dari sepupuku Kousuke-san. Ayahku menjawabnya, dan layar geser bergerak ke samping. Seperti yang diharapkan, bunyi ketukan itu berasal dari sepupuku yang delapan tahun lebih tua dariku. Ia sudah lulus dari universitas dua tahun lalu, dan sedang bekerja sekarang. Dan ada seorang wanita bersamanya. Wanita yang sama aru saja kulihat di aula besar tadi. Dia mungkin seumuran dengannya, tampak seperti orang yang sopan dan alim.

“Hm? Ada apa, Kousuke-kun?”

“Ah, yah, ada seseorang yang ingin saya perkenalkan kepada paman ...” katanya dan bergeser kesamping supaya wanita itu untuk mengambil langkah maju. Wanita itu lalu menundukkan kepalanya.

Dia memiliki rambut semi-panjang yang berkibar ketika melakukan ini, dan dia memperkenalkan dirinya sebagai Nagisa. Setelah itu, Kousuke-san lalu mengumumkan “kami berdua baru saja menikah” dengan ekspresi malu-malu.

"Ah, benarkah?! Selamat, Kousuke-kun! ” Ayahku menyeringai ketika Ia memberi selamat kepada Kousuke-san.

Secara pribadi, aku benar-benar terkejut. Sampai tahun lalu, Ia bahkan tidak pernah menyebutkan kalau dirinya sudah memiliki pacar. Rupanya, umur Nagisa-san lebih muda dari Kousuke-san, dan mereka adalah anggota UKM yang sama di kampusnya. Pada dasarnya, mereka sudah berpacaran selama beberapa tahun ... tidak, ini tidak aneh. Ia delapan tahun lebih tua dariku, dan lulus dari universitas dua tahun lalu. Kurasa Ia takkan memberi tahu sepupunya yang 8 tahun lebih muda darinya tentang kehidupan cintanya. Ayahku lalu memanggil Akiko-san dan Ayase-san dan memperkenalkannya. Kousuke-san lalu melirik Ayase-san dan kemudian menatap ke arahku.

“Jadi, sekarang kamu punya adik perempuan ya, Yuuta?”

“Ah iya.”

“Begitu. Kupikir kamu juga sudah menikah.”

Aku tahu kalau ucapannya tadi hanyalah candaan, tetapi selama sepersekian detik, bagian dalam kepalaku menjadi kosong. Ayase-san dan aku…? Menikah…?

“Mana mungkin aku sudah menikah. Lagian, aku masih sekolah SMA.”

Aku benar -benar mencoba yang terbaik untuk tidak menunjukkan kepanikanku dalam suaraku. Tapi tetap saja, Ia ngomong apaan sih? Terlebih lagi, Ia mengatakannya di depan orang tua kami. Tapi Kousuke-san memang tipe orang begini, jadi bisa dibilang aku tak terlalu terkejut.

“Aku cuma bercanda, kok.”

“Aku tahu aku tahu.”

… Tapi tetap saja, Kousuke-san sudah menikah? Rasanya sepupuku tiba-tiba tumbuh menjadi orang dewasa yang sebenarnya.

“Aku bahkan tidak tahu kalau kamu mengikuti UKM kampus, Kousuke-san.”

Aku mendorong barang bawaan ke sudut ruangan ketika aku berbicara dengan Kousuke-san. Ayahku membawa Akiko-san kembali ke aula untuk secara resmi memperkenalkannya kepada anggota kerabat kami yang lain, yang mana hanya ada aku, Ayase-san, Nagisa-san, dan Kousuke-san di ruangan itu.

“Aku tidak terlalu menggelutinya, jadi aku tidak pernah menyebutkannya.”

“Tapi Ia masih yang terbaik dalam bermain ski.”

Kousuke-san tampaknya berusaha merendah tetapi Nagisa-san melemparkan tindak lanjut. Meski mereka baru saja menikah, mereka sudah selaras dengan sempurna. Mungkin itu sebabnya mereka menikah begitu cepat.

“Bermain ski?”

“Ya, itu mirip pertemuan ski. Yah, bukan acara ski besar atau semacamnya sih, dan dibandingkan dengan orang lain di sini, aku masih tingkat pemula.”

“Apakah semua orang Nagano bisa bermain ski?” Ayase-san bergabung dalam percakapan.

Tumben-tumbennya. Biasanya dia tidak berpartisipasi dalam percakapan orang lain.

“Yah, kami lebih baik daripada daerah dengan salju yang lebih sedikit, pasti.”

“Dan di situlah kamu bertemu Nagisa-san?” ketika aku bertanya begitu, mereka berdua mendadak terlihat malu-malu, dan berusaha merangkai kata-kata mereka sendiri.

Melihat sepupu yang delapan tahun lebih tua dariku bertingkah seperti itu membuatku ikutan malu.

“Yah, tentang itu sih...”

“Benar, ‘kan?”

Pasti terjadi sesuatu di antara mereka berdua. Setelah bertukar sekilas, mereka bersedia menjelaskan bagaimana mereka bisa bertemu.

“Awalnya aku iseng-iseng ingin mencoba bermain ski. Lalu ada temanku yang mengenal kalau Kou-chan bisa bermain ski, dan mengatur pertemuan denganku.”

"Dan aku sendiri tidak tahu, aku cuma diseret ke kantin kampus.”

“Jadi, mereka memperkenalkanku pada Kou-chan, mengatakan sesuatu seperti 'Ia sangat pandai dalam bidang itu, jadi bagaimana kalau membuatnya mengajarimu?'—”

“Dan tanpa kusadari, aku sudah melatihnya.”

“Apa kamu baru sadar sekarang…?” Nagisa-san tersenyum, tetapi matanya menjelaskan bahwa ini bukan bagaimana hal-hal yang benar-benar mungkin terjadi.

“Dan Ia dulu seperti apa?”

“Temanku sudah mencoba segalanya untuk membuatnya membantuku, tapi Ia selalu cuek bebek dan acuh tentang hal itu. Ia mengatakan 'Ada banyak orang yang lebih jago dariku' atau 'selama kamu menjaga pusat gravitasi yang baik, bermain ski di bawah gunung itu mudah', dan seterusnya.” Nagisa-san menjelaskan.

“Begitu rupanya.”

“Jadi Ia main jual mahal, ya.”

“Sekali lagi, aku minta maaf ...”

“Aku japi kepikiran kalau kamu mungkin membenciku, meskipun kami baru saja bertemu.”

“Jika kamu mengatakannya dengan jujur memintaku untuk mengajarimu, maka aku mungkin akan

“Jadi kamu akan mengajar gadis mana pun selama dia memintamu?”

“Ack, ugh ... bukan begitu maksudku ...”

Nagisa-san mencibir pada dirinya sendiri. Kousuke-san mencoba membersihkan kesalahpahamannya.

“Aku hanya tidak terbiasa dipuji secara berlebihan ...”

“Kamu harusnya lebih percaya diri lagi pada dirimu sendiri, Kou-chan. Ditambag, itulah yang membuatku tertarik padamu.”

“Hah? Benarkah?”

Aku tidak berharap itu, jadi aku membuat suara terkejut.

“Ya. Aku menyukai bagaimana dia tidak memasang alas seolah-olah Ia itu orang paling penting dari alam semesta. Itulah yang membuatku menyadari betapa tulus dan jujurnya dia. ”

“Umm… terima kasih.”

“Hee, hee.”

Mereka benar-benar sudah saling cinta mati rupanya. Namun, jika mereka sudah berpacaran sejak semester 3 atau 4 mereka di universitas, maka itu artinya mereka sudah berpacaran selama hampir enam tahun sekarang. Kedengarannya seperti waktu yang cukup lama, tapi mereka masih bertindak seperti pasangan yang baru saja berpacaran. Karena aku selalu mengawasi Ayahku dan Akiko-san yang saling pamer kedekatan mereka tepat di depanku selama setahun terakhir, rasa-rasanya aku mendapatkan sirup dan krim maple yang cukup menuangkanku untuk akhirnya menjadi terbiasa, tetapi melihat Sepupuku dari semua orang, yang tidak pernah menunjukkan minat pada romansa, benar-benar membuatku kaget.

“Aku sangat memahami itu…”

Aku mendengar bisikan samar yang nyaris tidak mencapai telingaku. Saat menoleh ke samping, aku melihat Ayase-san mencondongkan tubuhnya ke depan, mendengarkan kisah mereka dengan kekaguman dan kegembiraan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia maksud dengan itu, tapi begitu dia menyadari kalau aku sedang menatapnya, dia segera memalingkan kepalanya.

“Tapi keputusanmu untuk menikah masih terlalu mendadak, ‘kan?” Tanyaku, melihat kembali ke arah Kousuke-san.

Bahkan ayahku tidak mengetahui tentang hal itu, tapi setidaknya kakek nenekku tahu kapan pendaftaran pernikahannya mulai masuk, ‘kan?

“Kami belum mengadakan resepsi pernikahan,” jawab Kousuke-san.

Rupanya, itu akan terjadi dalam setengah tahun. Pada dasarnya, mereka hanya menambahkan nama mereka ke Daftar Keluarga dulu, sama seperti ayahku dan Akiko-san.

“Apa kamu tidak berencana mengadakan resepsi pernikahan?”

“Tidak juga. Sebenarnya aku ingin mengadakannya. Tapi masalahnya  ... Aku lebih suka melamarnya sedikit lebih lambat dari ini.”

“Hah…?”

Untuk sepersekian detik, tatapanku bergerak menuju Nagisa-san. Bukannya seorang wanita sedikit kesal jika calon suaminya mengatakan hal seperti itu? Namun, dia sepertinya tidak terlalu terganggu olehnya.

“Masalahnya - Ayah dan yang lainnya juga tidak mengetahuinya - aku akan dipindah tugas ke luar negeri.”

“Luar negeri?!”

“Ya. Selama dua tahun penuh. ”

“Kapan?”

“Mulai musim semi ini.”

“Bukannya itu sebentar lagi!”

“Itu sebabnya kami tidak bisa mengadakan resepsi pernikahan untuk saat ini. Menyiapkan semuanya butuk banyak perencanaan dan semacamnya.”

“Kami bahkan masih belum menemukan tempat yang cocok juga ... padahal kami sudah mencoba mencarinya.”

“Jika begini terus, resepsinya mungkin baru bisa diadakan setelah musim panas mendatang.”

“Begitu … ya…”

Karena aku bahkan tidak pernah memikirkan semua itu, aku jadi tidak bisa banyak berkomentar. Aku bahkan tidak bisa membayangkan itu.

“Ya. Maksudku, jika benar-benar mau mengadakannya, kami mungkin bisa menemukan tempat yang tepat, tapi mengingat berapa banyak kerabat yang dimiliki Kousuke-san, mungkin sulit untuk menyatukan mereka pada hari yang tepat, apalagi dengan tempat yang sempurna.”

“Dan tentu saja, di mana saja yang bekerja dengan sangat baik seperti itu sudah penuh dengan pesanan. Ditambah lagi, ada juga preferensi Nagisa untuk dipertimbangkan. Kami tidak terlalu peduli dengan tradisional atau barat dan semacamnya, tapi mempelai wanita ingin menjadi jelas tentang pakaian atau jubah tradisional mereka.”

“Bisa tidak jangan membuatku terdengar seperti gadis egois?”

“Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi begitu aku dipindahkan ke sana, aku tidak dapat menjamin bahwa semuanya akan diselesaikan dalam dua tahun.”

“Aku tidak ingin menunggu.”

Nagisa-san tampak seperti tipe penyabar, tapi dia tidak segan-segan menyuarakan emosinya ketika diperlukan. Itulah yang membuatnya cocok dengan Kousuke-san. Lagipula Ia tidak terlalu pandai membaca pikiran orang lain.

“Itu sebabnya, kami setidaknya memutuskan untuk memasukkan nama kami ke dalam daftar keluarga dulu. Lagipula dia ingin ikut denganku. Untungnya, perusahaanku tidak masalah jika aku membawanya bersamaku. ”

“Jadi, Kamu berdua akan pindah ke luar negeri ... kapan kamu menyerahkan formulirnya?”

“Tanggal 24 kemarin.”

“Hah…? Tunggu, di bulan ini?”

“Ya.”

Yah, kurasa wajar saja tidak ada yang tahu.

“Kami sudah hidup bersama selama setengah tahun terakhir, jadi hari itu adalah ketika kami secara teknis membuatnya resmi dengan menyerahkan formulir. Lagipula, tanggal itu akan membuatnya lebih mudah untuk mengingat hari perayaan kita.”

“Aku yakin kalau kamu akan melupakannya nanti, Kou-chan. Jika aku tidak mengingatkanmu, Kamu akan benar-benar melupakan ulang tahunku.”

“Mana mungkin, mana mungkin.”

“Benarkahhhh?”

“Ayolah, masa kamu enggak percaya padaku.”

Mereka berdua benar-benar dekat, ya?

“Ngomong -ngomong, Yuuta. Kupikir kita harus kembali sekarang.”

“Benar juga, lalu Ayase-san dan aku juga akan—”

‘Pergi bersama dengamu- adalah apa yang ingin aku katakan ketika aku mendengar langkah kaki kecil mendekat. Setelah itu, layar geser berayun terbuka ketika dua anak datang bersorak “Yuu-chan, ayo main!” Mereka kemudian segera melompat ke arahku.

“Yuu-chan, Yuu-chan! Ayo main!”

“Ayo main!”

Semuanya berubah menjadi sangat bising dengan sangat cepat.

“Oh, Takumi! Mika! Kalian sudah lumayan besar ya,” kataku dan meladeni dua anak SD yang melompat padaku.

Aku baru saja melihat mereka tahun lalu, tapi mereka benar-benar tumbuh pesat. Bocah yang lebih tua itu adalah Takumi dan gadis yang lebih muda itu bernama Mika. Mereka berdua adalah anak-anak dari adik perempuan ayahku, jadi mereka adalah sepupuku juga. Dan sekedar pemberitahuan, Takumi dua tahun lebih tua dari Mika.

“Hei, hei, Yuu-chan! Lihat nih! Aku mendapat monster! ”

“Dapet monster!”

“Itu tidak benar! Mika mendapat cincin! Akulah yang mendapat monster! ” Takumi memegang mainan monster setinggi mungkin.

Mika melihat apa yang dilakukan kakaknya dan juga memegang cincin mainannya setinggi mungkin di udara. Tentu saja, kami tidak berbicara tentang cincin asli yang akan dibeli sebagai orang dewasa atau semacamnya. Itu hanyalah plastik seukuran bola kecil. Bagian di mana kamu meletakkan permata atau berlian memiliki lingkaran ajaib yang ditarik di atasnya. Mungkin itu semacam merchandise dari anime atau semacamnya. Aku yakin Maru mungkin bisa mengetahuinya.

“Kalau gitu, yang ini monster cincin!”

“Mana mungkin! Oh, terserah! Hei, Yuu-chan, ayo main!”

“Ayo main!”

“Oke, oke, tenanglah sedikit, ya?”

Anak-anak selalu melakukan apa pun yang disuruh otak mereka.

“Hei, siapa gadis cantik ini?” Mika bertanya sambil menempel padaku.

“Gadis itu namanya Ayase-san,” jawabku, dan kemudian aku menyadari sesuatu.

Mereka pasti takkan memahami maksudku. Dia menjaga nama keluarganya demi kenyamanan dalam kehidupan kami sehari-hari dan di sekolah, tetapi kerabat kita diperkenalkan kepadanya sebagai Asamura Saki. Di sini, di kota kelahiran Ayahku, mereka masih menjaga tradisi turun-temurun. Yaitu, nama keluarga diambil alih oleh satu pihak. Dan jika aku memanggilnya “Ayase,” bukannya itu terdengar seolah-olah aku menolaknya sebagai keluarga? Jika demikian, mungkin aku harus memperkenalkannya sebagai “adik perempuanku, Saki” ...? Atau memanggilnya “Saki-chan” juga bisa ...? Tidak, aku tidak bisa melakukan itu. Mana mungkin aku bisa melakukannya.

Mika lalu menoleh ke sisi lain, lalu menunjuk ke arah Kousuke-san dan Nagisa-san.

“Ko-chan, Na-chan!”

“Iya, iya. Tapi, kamu tidak boleh sembarangan menunjuk orang, oke?” Kata Kousuke-san ketika mengelus-ngelus kepala Mika.

“Oke!” balasnya dan kemudian menatapku.

“Yuu-chan!”

“Ah, ya. Halo.”

“Dan, um ... Aya ... A-chan!”

“Hah? Ah iya?” Ayase-san tampak bingung, merespons dengan nada suara yang mempertanyakan.

Sebagai tanggapan, Mika memiringkan kepalanya dalam kebingungan, solah-olah dia mempertanyakan apakah dirinya telah melakukan kesalahan. Yah dia memang salah panggil. ish. Ayase bukan nama aslinya, tapi nama keluarganya. Namun, bahkan jika aku memperkenalkannya sebagai Ayase Saki atau Asamura Saki, itu pasti akan membingungkannya. Selain itu, panggilan A-chan harusnya tak masalah. Sedikit solusi darurat, tapi tidak ada yang aneh bahkan jika dia terus memanggilnya.

“Nee, nee, Yuu-chan!”

“Hm?”

“Apa A-chan temanmu?”

“Tidak, dia itu adik perempuanku. Walaupun kami baru menjadi keluarga akhir-akhir ini. ”

Mika sekali lagi memiringkan kepalanya dalam kebingungan. Kurasa dia masih belum mengerti.

“Mika, ingat apa yang dikatakan ibumu? Paman Taichi menikah lagi.”

“Dan kamu mendapatkan adik perempuan saat melakukan itu?”

Aku cuma bisa tersenyum getir. Bagaimana aku bisa menjelaskannya sehingga dia bisa memahaminya? Aku sudah memikirkannya, tapi tidak ada penjelasan yang mungkin berhasil. Aku malah memilih untuk mengubah topik pembicaraan. Kupikir, ketika aku seusia mereka, aku juga bermain dengan Kousuke-san dengan cara yang sama. Karena ketika aku seusia Takumi, ibuku takkan memberiku banyak perhatian lagi. Walaupun hanya dua hari selama Tahun Baru, tetapi bermain dengan Kousuke-san adalah keselamatan kecil bagiku.

“Jadi, kalian berdua. Kita mau main apa?”

““Game!””

Mereka berdua berbicara pada saat yang sama.

“Game, ya?”

Game yang mereka maksud bukan permainan kartu atau papan yang biasa dilihat selama pertemuan keluarga, tapi permainan konsol asli. Seperti yang diharapkan dari era digital.

“Aku akan meminjamnya dari Ibu!” Kata Takumi dan menyerbu keluar dari ruangan.

Mika dengan panik mengejar kakak laki lakinya, dan dia akan tersandung saat berlari jika aku tidak menangkapnya tepat waktu. Sebaliknya, kami memilih untuk kembali ke aula bersama. Takumi member tahu ibunya kalau Ia ingin memainkan permainan, mungkin di telepon atau konsol genggam. Kami mengambil konsol dan berjalan ke kamar dengan TV. Aku dapat memahami bahwa semua pembicaraan sulit dari orang tua dan kerabat mereka akan terlalu membosankan bagi anak-anak kecil seperti mereka. Aku selalu merasakan hal yang sama. Kousuke-san membantuku mengaturnya, dan karena kami memiliki empat konsol, empat orang dapat bermain pada saat yang bersamaan.

“Yuuta, bisakah kamu mengurus mereka sebentar?” Kousuke-san bertanya kepadaku, dan aku balas mengangguk.

Dengan begitu, Ia dan Nagisa-san kembali ke aula tempat semua orang duduk. Mereka mungkin ingin berbicara tentang pernikahan mereka. Setelah mereka pergi, mereka diam-diam menutup layar geser, meninggalkan aku, Ayase-san, kedua anak kecil di dalam ruangan.

“Ayo main, Yuu-chan!”

“Tentu. Apa yang harus kita mainkan?”

Aku menyalakan konsol, mencari game. Aku secara khusus mencari game kerja-sama yang bisa kami mainkan dan melihat judul yang pas.

“Yang ini seharusnya tak masalah… apa kalian berdua mau memainkan ini?”

Seperti yang diharapkan, keduanya mengangguk dengan penuh semangat. Secara pribadi, aku tidak terlalu akrab dengan game yang kupilih, tapi aku pernah memainkannya sekali sejak Maru merekomendasikannya kepadaku.

“Kamu juga, Ayase-san. Ikut bermain bersama kami.”

“Hah? Tapi, aku tidak tahu menahu dengan game ini.”

“Ini game gampang, kok. Selain itu, ini game kerja-sama. Jadi kita semua ikut bermain bersama. "

Jika mereka tidak membawa konsol game mereka sendiri, aku akan menggunakan tabletku sebagai gantinya. Tapi ini memungkinkan kita untuk bermain bersama di layar lebar, yang mana cukup kusukai. Sementara itu, permainan sudah dimulai. Kami bisa melihat empat koki kecil di layar. Kami harus mengendalikan mereka dan menyiapkan makanan untuk pelanggan. Tentu saja, permainnnya tidak sesederhana itu. Ada batasan waktu untuk pesanan, dan tata letak dapur terus berubah. Namun, jika kami semua bekerja bersama, kami bisa dengan mudah menyelesaikan setiap level. Pada dasarnya, ini adalah permainan puzzle berbasis aksi.

Kami berempat mulai bermain sembari duduk di depan layar. Segera setelah itu, empat koki berbentuk chibi mulai muncul dan menanggapi pergerakan pengontrol kami. Kami mulai memotong sayuran dan memasukkan daging ke dalam wajan. Pesanan datang silih berganti, begitu juga piring dan bahan masakannya. Yang bisa kami dengar hanyalah keluhan dari pelanggan bahwa pesanan mereka terlambat. Seperti yang diharapkan dari kedua anak kecil itu, mereka terbiasa bermain dan dengan mudah bekerja melalui perintah saat mereka saling memberi komentar. Faktanya, Ayase-san dan aku hampir tidak bisa mengimbangi mereka.

“A-chan! A-chan! ” Mika mendadak memanggil Ayase-san.

Sepertinya Takumi dan Mika memutuskan untuk memanggilnya 'A-chan' sekarang.

“Ap-Apa?”

“Masakan dagingmu akan gosong, loh!”

“Hah?”

Ayase-san bergegas mengatur karakter gamenya menuju ke wajan, tetapi dagingnya sudah gosong duluan sebelum dia bisa melakukan apa pun.

“Ahhhhh!”

Setelah itu, bahan makanan yang lainnya ikut terbakar, dan begitu pula seluruh dapur. Untuk sesaat, aku mengagumi suara panik Ayase-San karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mengaguminya. Ayase-san benar-benar mulai bingung dan tidak bisa memahami di mana letak salahnya.

“Tenanglah dulu, Ayase-san!”

“Apa yang harus kulakukan-?”

Kamu dapat memadamkan api dengan alat pemadam api. Yah, tapi makanannya sudah hancur. Namun, kami kehabisan waktu dan dengan demikian gagal menyelesaikan level itu.

“Aku minta maaf.”

“A-chan, apa kamu tidak jago dalam memasak?”

“Enggak boleh begitu, Mika. Ayase-san adalah juru masak yang hebat, loh. Ini semua karena ini adalah permainan. Tapi kita bisa menyelesaikannya lain kali. Benar ‘kan, Ayase-san? ”

“Kamu tidak perlu melindungi harga diriku seperti itu segala. Itu bahkan lebih menyakitkan. ”

“Hah?!”

Aku tidak bermaksud untuk itu—

“Maksudku, memang benar kalau masakanmu terasa lezat.”

“Tapi masakan dagingnya jadi terbakar, dan begitu pula dapurnya.”

“Itu semua cuma karena ini adalah permainan. Hal semacam ini sering terjadi. ”

“Lain kali aku takkan kalah .”

“Lama-kelamaan kamu nanti akan terbiasa, dan kamu akan melampauiku dalam waktu singkat.”

“Rasanya sangat membuatku frustrasi.”

Aku belum pernah melihat Ayase-san yang begini. Yah, aku tahu kalau dia benci kalah.

“A-chan, A-chan!” Mika menarik lengan Ayase-San. “Mamah bilang kalau sesama saudara itu harus rukun!” Katanya dan berbalik ke arah Takumi. “Benar ‘kan, Onii-chan?”

Takumi mengangguk.

“Apa kamu membenci Yuu-chan?”

“Te-Tentu saja tidak…”

“Kalau gitu kamu berbaikan dan rukun dengannya. Apa kami perlu mengajarimu cara melakukannya?”

“Um… tolong lakukan?”

Mengapa dia mengubahnya menjadi pertanyaan? Rasanya sangat aneh untuk dilihat. Ayase-san dapat dengan mudah melawan argumen asisten profesor tentang filsafat dan psikologi, tapi dia sama sekali tidak bisa meladeni anak-anak kecil. Sementara itu, aku terbiasa berurusan dengan Takumi dan Mika, dan aku samar-samar mengingat caraku diperlakukan ketika aku seusia mereka. Namun, caraku melihat sesuatu, Ayase-san jarang bertemu kerabatnya. Perbedaan dalam pengalaman benar-benar ditampilkan di sini. Dan aku tahu bahwa Takumi dan Mika selalu cukup dekat.

“Onii-chan, mari berbaikan!” Mika meraih lengan Takumi.

“Ya ya. Mika, maafkan aku.”

“Aku sudah memaafkanmu.”

“Ya. Sekarang ayo kembali rukun.”

Mereka berdua berkata begitu dan kemudian saling menempelkan pipi mereka satu sama lain dan kemudian saling berpelukan. Seketika itu juga, sensasi realitas terhapus dari pikiranku. Rasanya seperti aku sedang menonton film asing. Karena mereka berdua sangat imut, rasanya aku menyaksikan adegan dari film keagamaan di mana ada dua malaikat muncul. Setelah itu, kedua malaikat itu tersenyum. Suami dari Bibi Kanae-san sebenarnya memiliki garis keturunan orang luar, yang mana memberi kedua anak kecil itu dorongan ekstra dari suasana malaikat. Tapi, maka itu terjadi - ketika kami menyaksikan adegan yang mengharukan ini, Mika tiba-tiba mencium pipi Takumi.

“Dan, selesai.”

“Sekarang giliranmu, Onii-chan dan A-chan!”

Kami berdua didorong lebih dekat satu sama lain, karena Ayase-san dan aku saling tertegun. Hah? Jadi begini cara berbaikan? Dua malaikat dengan pipi mereka masih saling menggosok satu sama lain memandang kami dengan tatapan “Kalian tidak mau melakukannya?” Tapi, tak peduli seberapa dekat kalian sebagai saudara, kamu takkan mencium saudaramu seperti itu, kan? Setidaknya, aku tidak berpikir begitu.

“Apa kalian berdua tidak mau berbaikan?”

“Um, tidak, kita berdua sudah rukun, kok.”

“Ya…”

“Ayase-san?”

Ada sesuatu yang janggal mengenai dirinya.

“Anak-anak! Makanan sudah siap!”

Kami mendengar suara dari lorong, menarik kami kembali ke kenyataan. Aku menghela nafas dan meletakkan tanganku di tikar tatami yang ada di belakangku. Salah satu tanganku terpeleset dan aku panik sejenak. Pada saat Ayase-san dan aku telah mengambil jarak satu sama lain, kedua anak itu sudah berlari keluar dari ruangan berteriak “makanan!”

“Kurasa kita juga harus pergi?”

“Ya.”

Rasanya seperti kami berdua baru saja terbangun dari mimpi saat kami perlahan-lahan berjalan menyusuri lorong. Jantungku terus berdetak kencang, membuatku berharap setidaknya bisa tenang sebelum kami berhasil kembali ke orang lain.

Semua kerabat kami sudah berkumpul di ruangan besar yang mereka gunakan sebagai ruang perjamuan. Aku pikir ruangan itu berukuran sekitar 25 meter persegi, dan tiga meja rendah disatukan bersama di tengah ruangan. Di atas meja tersebut terdapat bahan makanan, yang mana sepertinya menu makan malam hari ini akan menjadi Sukiyaki, karena ada tiga kompor gas ditempatkan di atas meja. Di atas mereka berdiri di panci besi, dengan kaldu sup sudah mendidih di dalamnya. Ketika membicarakan Sukiyaki, sayuran adalah salah satu bahan paling dasar. Akar teratai, gobo, jamur shiitake, jamur lapangan, jamur musim dingin, bawang, aster mahkota ... dengan dagin ayam yang menjadi daging utamanya. Kupikir kebanyakan orang lebih terbiasa daging sapi, tapi di sini di keluarga Asamura, kami biasanya menggunakan daging ayam.

Jika ditanya kenapa? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena harganya yang lebih murah, atau mungkin karena sudah tradisi, hanya Tuhan yang tahu. Walau demikian, aku sendiri cukup menyukai daging ayam jadi aku tidak keberatan. Selain itu, mereka juga menyiapkan makanan tradisional untuk liburan. Dan sesuai dengan pendekatan yang lebih tradisional, semuanya buatan tangan. Telur dadar yang digulung dengan pasta ikan, ubi tumbuk dengan kacang manis, kedelai hitam, herring roe, pasta ikan yang dibumbui, rumput laut ... melihat dari sudut yang lebih luas, semuanya biasanya orang Jepang dan sebagian besar berwarna cokelat, tetapi merah tua dan putih dari pasta ikan, merah dari udang, dan warna kekuningan dari pasta ikan telur dadar yang digulung dan kentang tumbuk menciptakan spektrum warna yang lebih beragam.

Dari semua makanan tradisional yang tersedia, aku paling menyukai telur dadar yang digulung dengan pasta ikan. Aku ingat dulu kalau aku biasa dimarahi karena pada dasarnya hanya itu yang kumakan. Tetapi ketika seseorang memiliki selera seorang anak, cuma makanan itu saja yang rasanya benar-benar enak. Mungkin karena setelah aku dibesarkan dan masuk sekolah SMA, aku mulai menikmati ikan panggang, herring roe, dan segala macam hal lain seperti kedelai hitam. Di tambah pula, lingkungan dapat memiliki dampak besar pada selera Kamu dan bagaimana mereka berkembang.

Seperti yang diharapkan, semua kerabat kami sudah duduk di sekitar meja. Mereka sudah membuka kaleng bir mereka dan berbicara satu sama lain, orang tua kami ikut bergabung dengan mereka. Begitu aku dan Ayase-san tiba, nenekku dan Akiko-san membawa minuman untuk kami yang masih di bawah umur dan botol air serta teh. Setelah kami semua duduk di meja, kami bertepuk tangan.

Kakek-nenekku dan putra tertua mereka (kakak ayahku) bersama keluarganya (yang termasuk Kousuke-san sebagai putranya) tinggal di rumah ini. Ayahku yang tinggal di Tokyo, dan adik perempuannya serta keluarganya tinggal di Chiba. Dengan kami semua berkumpul bersama di sini, kami ... totalnya ada 14 orang, termasuk aku dan Ayase-san. Bagiku, pemandangan ini bukan sesuatu yang luar biasa, tetapi ekspresi Ayase-san memperjelas bahwa dia sedikit terkejut.

Kami semua mengangkat gelas dan bersulang, lalu mulai mengunyah makanan, dan Ayahku sekali lagi memperkenalkan Akiko-san dan Ayase-san kepada kerabat kami. Akiko-san sudah menyelesaikan pengantar awalnya sebelumnya, tapi karena Ayase-san hanya menyebut namanya sebelumnya, dia sekarang ditanya tentang usianya, bagaimana keadaannya di sekolah dan segala macam hal. Aku merasa jika kami berada di Tokyo sekarang, kerabat kami takkan bertanya lebih dari namanya, tapi tradisi di sini masih cukup kuno. Setelah beberapa saat, nenekku mengulurkan bantuan pada Ayase-san dengan “Ayo, itu sudah cukup,” dan Ayase-san akhirnya diizinkan untuk duduk kembali. Dia tampak lega.

Setelah gilirannya, sekarang giliran Kousuke-san yang memperkenalkan Nagisa-san, dan kerabat kami mulai menanyainya. Sementara itu, aku menoleh ke arah Ayase-san, menggumamkan “Kamu melakukannya dengan baik” untuknya, dan menuangkan teh ke dalam cangkirnya.

“Terima kasih.”

“Ingin mencoba beberapa makanan? Aku akan mengambilnya untukmu.”

“Kalau begitu ... Aku ingin mencoba telur dadar yang digulung dengan pasta ikan. Aku sangat menyukainya ... um, apa aku mengatakan sesuatu yang aneh? Mengapa kamu melihatku dengan tatapan seperti itu?”

“Bukan apa-apa, bukan apa-apa. Aku sendiri cukup menyukainya.”

Aku mengambil beberapa dadar gulung dan meletakkannya di atas piring kecil di dekatku. Ayase-san menerima ini dan membawa beberapa ke mulutnya.

“Jadi ini rasa makanan yang biasa dimakan ayah tiri. Begitu, itu sebabnya ibu ...”

Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat Ayase-san begitu puas, tapi aku juga tidak ingin begitu keras kepala dan menanyainya. Setelah itu, kami terus makan dalam diam sambil mendengarkan percakapan kerabat kami di sana-sini. Kousuke-san masuk universitas yang ada di Saitama, tapi setelah lulus, Ia kembali ke Nagano. Pada dasarnya, Ia berakhir dalam hubungan jarak jauh dengan Nagisa-san. Ia datang berkunjung setiap akhir pekan dengan mobilnya, sampai dia akhirnya mendapatkan istri yang sangat imut—— menurut penuturannya sendiri. Itu satu percakapan yang kudengar.

“Aku merasa khawatir karena kami takkan bisa bertemu lagi. Nah, internet dan teknologi modern memungkinkanku untuk melihat wajahnya setiap hari. “Nagisa-san berkata dan Kousuke-san mengangguk.

Itu sebabnya mereka memutuskan untuk menyerahkan pendaftaran pernikahan mereka sebelum pindah ke luar negeri. Mendengar tentang kesulitan ini, aku memikirkan apa yang akan kulakukan dalam situasi itu. Bagaimana jika aku tidak bisa bertemu Ayase-san lagi ...

“Yah, Kousuke memang gampang kesepian. Ia tidak pernah ingin ditinggal sendirian di rumah, dan selalu mengikuti kami.” Paman Kouta berseru, dan membuat Kousuke-san terlihat malu-malu.

Namun demikian, masa lalunya yang memalukan terus diungkapkan oleh ayahnya sendiri. Secara harfiah segalanya, dari yang baik hingga buruk, mengagumkan hingga memalukan. Kousuke-san mengundurkan diri pada nasibnya dengan senyum masam, tetapi Nagisa-san mendengarkan dengan penuh minat. Mendengarkan lebih lanjut, Nagisa-san menyebutkan kalau dia telah tinggal bersama Kousuke-san di rumahnya sejak musim panas lalu ketika pindah tugasnya di luar negeri sudah diputuskan, tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimana menangani pekerjaannya sendiri. Dan jika dia menemukan pekerjaan, apa yang akan dia lakukan begitu dia pergi bersama Kousuke-san, dan sebagainya? Meskipun itu masalah pribadi mereka, dan biasanya aku takkan banyak memikirkannya, aku mulai mendengarkan dengan penuh perhatian seolah-olah itu mengenai diriku sendiri. Aku terkejut dengan perilaku bawah sadarku sendiri.

Hubungan yang realistis antara pria dan wanita berbeda dari yang digambarkan dalam film atau buku. Fiksi selalu berkilau dan sesuatu untuk menginspirasi, membuatnya mudah dan agar semuanya akan selalu berhasil. Namun, dunia tempat kita hidup sangat realistis. Kamu takkan menemukan hambatan dramatis yang menghalangi cintamu, dan semua masalah yang kamu lakukan tidak lebih dari tugas untuk diatasi.

Menyelesaikan prosedur di kantor pemerintah daerah, memberi tahu orang-orang di sekitar mu dan bertemu dengan kerabat yang mengetahui masa lalu orang lain dan ingin tahu tentangmu sendiri. Mendengar keluhan kakek nenekmu yang memberi tahu kalau mereka ingin memiliki cucu segera. Karena usia rata-rata pasangan yang sudah menikah terus meningkat, banyak dari mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak, tapi kurasa itu topik yang lumayan sensitif. Dan seperti yang diharapkan, Nagisa-san hanya tersenyum dan membiarkan kerabat kita berbicara dan berbicara.

“Sangat dewasa sekali...” Ayase-san bergumam, dan aku menatapnya. Ayase-san hanya tersenyum masam dan melambai.

Sementara itu, Akiko-san menuangkan minuman lagi kepada kakek-nenek saat mereka berbicara. Dia melanjutkan percakapan dengan senyuman, masuk ke dalam mode bartender penuh. Tak peduli bagaimana perasaannya, dia sama sekali tidak menunjukkan petunjuk tentang masalah di luar. Dia bertindak dengan cara yang sama seperti yang dilakukan ibu kandungku. Setiap tahun, dia memalsukannya sampai akhir.

Dalam beberapa tahun setelah perceraian mereka, setiap kali keluarga berkumpul untuk Tahun Baru, ayahku selalu yang menjadi pemberi jawaban. Ia terus ditanya tentang mengapa Ia mengakhiri hubungan, tetapi Ia tidak pernah menyalahkan ibuku, hanya mengatakan bahwa banyak hal terjadi. Seandainya aku dan Ayase-san akan menikah, bagaimana reaksi orang-orang di sini? Apa kita bisa menjaga komunikasi yang tepat?

Waktu terus berlalu, dan malam hari pun tiba. Kami tetap duduk di aula besar, memakan Soba Tahun Baru, dan berbicara tentang semua acara dari tahun lalu. Di tengah jalan, Takumi dan Mika tertidur, jadi aku membantu Kousuke-san membuat mereka tidur, tetapi selain itu, aku hanya mendengarkan kerabat kami berbicara. Sementara itu, Ayase-san duduk masih seperti dia tidak cocok dengan suasana.

“Kurasa sudah waktunya kita pergi sekarang?” Ucap kakekku sambil berdiri, semua orang mengikutinya.

Ayase-san juga ikut berdiri tetapi tampak agak bingung. “Um… kita mau pergi ke mana?” Dia berbisik di telingaku.

“Untuk mengunjungi kuil dan tinggal di sana sampai tengah malam. Kita akan pergi ke sana dengan mobil, tapi karena suhunya cukup dingin, kamu harus memastikan untuk memakai pakaian yang cukup tebal. Juga, aku sarankan supaya kamu langsung mandi setelah kita pulang dari sana.”

“Kita akan pergi sekarang?”

“Ya, jadi kita bisa tepat waktu ketika hari sudah berganti.”

Mata Ayase-San menjadi terkulai seolah-olah kantuk sudah mulai mendatanginya.

“Maksudku, kamu juga bisa tinggal di sini dan tidur jika kamu merasa lelah. Mana yang lebih kamu sukai?”

“…Aku juga ikut pergi.”

Tradisi ini merupakan sesuatu yang relatif umum. Kamu berjalan mengunjungi kuil sebelum jarum jam mencapai tengah malam, dan menyambut Tahun Baru bersama kerabat dan sanak saudaramu. Setelah berganti pakaian hangat, kami meninggalkan tempat tinggal. Untungnya cuaca hari ini tidak turun salju, tapi kami masih berada jauh ke pegunungan Nagano. Suhu semakin dekat dan lebih dekat dengan apa yang akan dianggap beku. Saat kami membuka pintu depan, angin dingin menghantam kami, yang membuat tubuhku gemetar. Suhu dinginnya merayap dari kaki hingga ujung kepalaku.

Ayahku melompat ke dalam mobil, dan sampai panas mobil benar-benar mulai naik, itu mungkin yang terdingin bagiku, karena aku masih memiliki mantel di pangkuanku. Setelah itu, seluruh keluarga Asamura menuju kuil menggunakan tiga mobil mereka. Suara lonceng pertama Tahun Baru berasal dari radio mobil.

Kami tiba di kuil dan Ayahku memarkir mobil. Setelah keluar, aku mengenakan mantel, dan memastikan kalau aku sudah mengancingkannya supaya tidak segera membeku. Aku juga belum melupakan penghangat leher pemberian Ayase-san supaya bisa lebih hangat, jadi aku sepenuhnya siap. Sementara itu, Ayase-san mengenakan sarung tangannya, dan bahkan topinya, meringkuk ke mantel wolnya yang seharusnya membuatnya tetap hangat. Rambut pirangnya di tengah-tengah malam yang dingin dan putih cocok untuknya. Setelah itu, Akiko-san mendekati kami dan memberi kami  plester penghangat.

“Letakkan ini di kantong kalian, oke?”

Kami dengan penuh rasa syukur menerimanya dan melakukan apa yang diperintahkan. Seperti yang diharapkan dari Akiko-san, dia sudah penuh persiapan. Seperti halnya di depan kediaman Asamura, salju juga disekop ke samping di sini, dan menciptakan dinding besar. Dengan salju sebanyak ini, mengunjungi kuil seperti ini biasanya tidak mungkin. Pikiran itu selalu membuatku berterima kasih kepada jiwa-jiwa relawan pemberani yang melakukan penyekop salju setiap tahun.

“Ini cukup jauh ke dalam pegunungan,” kata Ayase-san.

“Yah begitulah. Lagipula itu adalah kuil belakang.”

“Kuil belakang?”

“Saat kamu menaiki jalan ini, sebenarnya ada beberapa kuil. Kamu tahu kisah legenda ama-no-iwato, ‘kan? Para dewa yang terkait dengan itu beristirahat di sini.”

“Ah, ya. Tentu saja aku tahu. Ketika Amaterasu marah dengan para dewa dan bersembunyi di gua Ama-no-Iwato, para dewa lain memulai perjamuan untuk menariknya keluar lagi, ‘kan? ”

“I-Iya, yang itu.” Aku memberikan komentar yang bingung di penjelasan tambahan Ayase-san dan berbicara tentang bagaimana kami selalu pergi ke kuil belakang setiap tahun. “Ngomong -ngomong, kita akan berjalan sekitar dua kilometer sekarang.”

“Hah?”

“Dan kita harus melewati beberapa tangga panjang di jalan, jadi kamu perlu bersiap-siap merasakan nyeri otot yang hebat di esok hari.”

“Aku tidak pernah diberitahu tentang ini.” Dia memelototiku.

 “Kamu bisa menunggu di mobil yang tempatnya hangat, tau? Jadi, mau yang mana?”

“... aku pasti tetap pergi. Aku tidak ingin menunggu di sini sendirian.”

“Yah, beri tahu aku jika terlalu melelahkan. Lain kali, kamu bisa menunggu di rumah, ” kataku dalam panasnya momen dan Ayase-san menatapku dengan kaget.

“Lain waktu?”

“Maksudku, ini adalah tradisi tahunan, jadi ...”

“Ah, tahun depan. Mengerti. Lagipula, kamu sudah sering melakukan ini. Oke, aku akan memberitahumu jika terlalu melelahkan.”

“Baiklah.”

Bahkan ini mungkin jenis penyesuaian kecil lainnya. Tapi itu hanya pemikiran sekilas yang memenuhi pikiranku.

Akiko-san menyusul dalam antrean di sebelah ayahku yang mulai berjalan di depan, sementara Ayase-san dan aku tepat di belakangnya. Begitu kami mencapai gapura Torii kuil yang besar, Ayase-san mengeluarkan smartphone-nya. Dia menyalakan aplikasi kameranya dan mulai mengambil gambar. Kilatan yang dihasilkan dari kamera sejenak menyalakan kegelapan di sekitar kita, mengungkapkan gapura kayu jauh lebih baik, serta lautan salju yang tak berujung tepat di belakangnya. Tak perlu dikatakan, dia berhati-hati untuk tidak membutakan pengunjung kuil lainnya.

“Hei kalian berdua, jangan sampai tertinggal, oke?”Ayahku memanggil kami, jadi Ayase-san dan aku mempercepat langkah kami sedikit untuk mengejarnya.

Butuh upaya kerasa untuk memastikan supaya kami terpeleset. Kami melewati sudut gapura kuil, karena pusat jalan setapak adalah bagian bagi para dewa. Jalur kuil di depan kami membentang sejauh itu ke kejauhan sehingga kami tidak bisa melihat ujungnya. Meski mereka melakukan yang terbaik untuk menjaganya bebas dari salju, campuran putih di bawah kaki kami dicampur dengan keindahan putih dan garam, sehingga setiap gerakan ceroboh akan menyebabkan kami jatuh tersungkur.

Ayase-san secara alami tidak terbiasa dengan lingkungan ini, jadi dia hampir tersandung beberapa kali. Aku lalu mengajarinya beberapa trik untuk membuatnya melalui kekacauan ini sedikit lebih baik. Idenya adalah menggunakan bagian belakang sol sepatumu untuk menginjak tanah terlebih dahulu untuk mendapatkan cengkeraman yang lebih baik. Setelah kami melewati lengkungan kuil berikutnya, kami dapat berjalan di tanah untuk sementara waktu. Setelah 15 menit berjalan kaki lagi, kami akhirnya mencapai titik arah lainnya.

Kami melihat gerbang kemerahan di kejauhan, yang merupakan titik tengah. Gerbang besar memiliki atap jerami yang melekat padanya, yang akan memiliki rumput hijau tumbuh di atasnya jika bukan musim dingin. Saat ini, itu ditutupi oleh riasan putih seperti seluruh dunia di sekitar kita. Gerbang merah dengan tali Shimenawa yang tergantung di sisi-sisinya berdiri tinggi dan mengesankan seperti itu takkan memungkinkan masuknya kemalangan. Seperti yang sudah kuduga, Ayase-san mengeluarkan teleponnya dan mengambil foto lain. Dia sangat mencintai bangunan yang lebih tua ini, ya? Aku melihat ke depan dan ke arah gerbang di depan kami.

“Ketika melihat bangunan setua ini, kamu benar-benar dapat merasakan sejarah yang dilalui.”

“Hm, aku tidak berpikir hanya itu saja.”

“Hah?”

“Aku tidak berpikir cuma itu satu-satunya alasan kamu bisa merasakan sejarahnya. Mungkin itu karena kita benar-benar mengamati cara bangunan telah diperlakukan?”

“Cara mereka diperlakukan?”

“Seandainya saja kamu menemukan boneka jatuh tua, sebuah Daruma, tanpa matanya. Itu karena tidak ada yang menawarkan keinginannya - bahwa tidak ada yang menggunakannya. Jadi kamu akan merasakan kesedihan melihat Daruma tua dan terlupakan tanpa matanya.”

“Begitu, begitu rupanya ya.”

“Ditambah lagi, bangunan dan struktur kayu yang tidak terlindungi dari angin dan cuaca hujan perlu diperhatikan oleh orang-orang, atau mereka akan lapuk dan menghilang. Kamu sudah melihat bangunan hampir rusak dan hancur di tempat-tempat di mana tidak ada yang tinggal lagi, ‘kan?” Perkataannya mengingatkanku pada apa yang dia katakan ketika kami pergi ke Nagano hari ini.

Mereka dipenuhi dengan kenangan dan fakta tentang masa lalu. Dan mungkin itulah yang dimaksud Ayase-san. Bahkan gerbang merah pedesaan dan desa di depan kami bukan hanya sekedar tanda zaman, fakta bahwa itu masih berdiri di sini berarti telah diurus selama bertahun-tahun.

“Tepat sekali.”

Dan itulah yang disebut Ayase-san sebagai 'kenangan lama.'

“Apa kamu melakukan beberapa profil kriminal, Ayase-san?”

“Pro… apa ?”

“Biasanya itu muncul dalam genre detektif. Mereka menyebutnya profil kriminal. Mereka secara statistik menganalisis kejahatan dan orang yang melakukan itu.”

“Apa bedanya dengan penyelidikan biasa?”

“Mereka tidak mengidentifikasi penjahat. Sebaliknya, mereka secara statistik menetapkan bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan X memiliki potret Y, dan hanya itu yang dapat mereka kerjakan. Karena ada pengecualian di setiap bidang. Pembunuhan itu mungkin sama, tetapi motifnya bisa sama sekali berbeda dari kasus sebelumnya. Atau lebih tepatnya, karena mereka menganggap bahwa motifnya berbeda. Itu sebabnya seluruh genre 'Siapa yang melakukannya' ada.”

“... Kamu benar-benar menyukai cerita misteri ya, Asamura-kun.”

“Aku sendiri tidak terlalu mengetahuinya, tapi—“

Di tempat kerja, kami memiliki seseorang yang benar-benar menyukai genre misteri. Siluet gadis ideal Jepang yang menawan dengan rambut hitam panjang melintas di benakku.

"... yah, pada dasarnya itu cuma pengetahuan yang kubaca dalam sebuah buku. Sama seperti bagaimana kamu tertarik pada bagaimana sebuah bangunan tua berakhir dalam keadaan saat ini, ya?”

“Kurasa … demikian.”

“Kalau begitu mirip seperti 'jam kakekku,'

‘Jam kakekku’ adalah lagu tentang jam yang bergerak setiap hari, sejak hari kakek lahir sampai hari dia meninggal. Inspirasi untuk lagu itu adalah jam yang sebenarnya juga. Penampilan barang saat pernah diciptakan saat ini, sekali diberikan kepadamu oleh seseorang masih memegang jejak bagaimana mereka telah diperlakukan sejak mereka dibawa ke dunia ini. Jam yang terhenti melambangkan kehidupan kakek.

“Jangan nyanyikan itu.” Ayase-san segera memperingatkanku.

“Hm?”

“Pokoknya jangan.”

“Apa kamu tidak menyukainya?”

“Aku akan menangis.”

Di tengah kegelapan yang menyelimuti, bahkan dengan lilin samar yang menyala di jalan, aku hampir tidak bisa melihat ekspresi Ayase-san. Namun demikian, sikapnya yang berbeda dari perilaku keringnya yang biasa adalah apa yang membuatku menatap wajahnya.

“Ah ... baiklah, mengerti.”

Kami berjalan menaiki tangga, melewati patung batu berbentuk singa-anjing, memasuki lebih dalam ke kuil. Air di tempat bak membeku, tidak membiarkan kami mencuci tangan. Seraya terus berjalan menuju depan kuil, kami meletakkan koin 5-yen yang kami siapkan ke dalam kotak donasi dan membunyikan bel. Suara dentang kering berdering di udara. Kami kemudian membungkuk dua kali dan bertepuk tangan bersama dalam doa lagi dua kali. Tidak termasuk gagasan untuk merahasiakan keinginanmu, ini adalah prosedur standar di setiap kuil manapun. Ketika kami bertepuk tangan bersama lagi, aku merasa kalau seluruh kejadian selama setahun terakhir berkelebat muncul di kepalaku. Seakan-akan pemikiranku sedang diatur.

Gagasan kunjungan kuil pertama tahun ini telah dimulai kembali pada periode Heian, yang disebut Toshigomori, dan ketika Kamu menggabungkannya dengan gagasan Ninenmairi, pada dasarnya apa yang kami lakukan sekarang, niatnya adalah untuk merenungkan masa setahun terakhir sementara juga menyambut Tahun Baru. Atau itulah yang baru saja terlintas dalam pikiranku.

Ada banyak peristiwa yang terjadi pada tahun ini. Ayahku menikah lagi, dan Ayase-san datang untuk bergabung dengan keluarga kami bersama ibunya. Ini terjadi hampir enam bulan lalu. Tiba-tiba aku menemukan diriku dengan adik tiri yang sebaya denganku. Dan melihat bagaimana dirinya yang berkebalikan dariku, aku benar-benar dibuat bingung. Aku akhirnya membantunya untuk ujian ketika dia kesulitan dengan pelajaran sastra modern, dan kami berdua akhirnya pergi ke kolam renang dengan teman-teman sekelas kami dari sekolah saat liburan musim panas lalu. Pada waktu itu juga aku menyadari kalau aku menyukai Ayase-san.

Dan betapa kejamnya kesadaran itu. Karena orang tua kami sangat menderita dalam hubungan masa lalu mereka, kami tidak ingin mereka menderita seperti itu lagi, jadi kami bekerja sama untuk memberi orang tua kami kebahagiaan yang layak mereka dapatkan, dan bertindak seperti apa yang diharapkan dari kami, yaitu menjadi saudara normal. Melalui berbagai kejadian, kami akhrinya menjadi jujur ​​dengan perasaan kami satu sama lain. Saat itulah kami berjanji untuk mulai berpacaran sambil bertindak seperti “saudara yang normal tetapi relatif dekat” di hadapan orang tua kami. Namun, pada malam Halloween, kami kebetulan berbagi ciuman—

Semua kenangan tersebut mengalir di dalam kepalaku seperti lentera berputar. Aku menarik tanganku dan perlahan membuka mataku. Karena barisan orang lain sudah menunggu di belakang kami, aku tidak punya waktu untuk menjadi sangat emosional. Setelah membungkuk sekali lahi, kami berjalan menjauh dari kotak donasi. Sambil berjalan ke tempat orang tua kami menunggu, aku berbalik ke arah Ayase-san.

“Harapan apa yang kamu inginkan?”

“Aku terlalu sibuk mengingat semua yang terjadi tahun ini, aku tidak punya waktu untuk mengharapkan apa pun,” katanya dengan senyum pahit.

Menyadari bahwa dia sama denganku, aku terkekeh. Kami berjalan melewati jalan yang sama dan mencapai tempat parkir, di mana Ayase-san berbalik untuk menatapku.

“Ah, kami tidak menarik jimat keberuntungan, ya?”

“Oh ya, aku lebih suka tidak melewatkannya. Kami biasanya melakukannya setiap tahun. ”

Ayahku kebetulan mendengar pembicaraan kami.

“Kalau begitu mari kita lakukan itu sebelum kita pulang.”

Kami melompat ke dalam mobil dan menuju ke kuil pusat. Karena lokasi asli untuk jimat keberuntungan ditutup karena musim dingin, kami harus mengemudi jauh-jauh ke sana. Dan ketika Ayase-san membuka jimaynya—

“Keberuntungan yang mengerikan ...”

“Mereka meletakkannya di sini bahkan selama Tahun Baru ...?”

“Bagaimana denganmu, Asamura-kun?”

“Keberuntungan kecil.”

Dia memelototiku lagi. Hei, ini bukan salahku, kan? Maksudku, memang aku yang ingin menarik jimat keberuntungan ...

“Yah, kamu bisa meninggalkannya di sini dan melupakannya. Ikat di sebelah sana.”

Melihat ke tempat ayahku menunjuk, kami bisa melihat beberapa kertas terlipat diikat ke tali. Ayase-san melakukan hal yang sama dengan jimat keberuntungannya. Dia tersenyum lagi ketika  berjalan pergi, tapi aku yakin dia masih mengkhawatirkan hal itu. Diiringi lonceng tahun baru yang berdering di belakang kami, kami meninggalkan kuil. Dan begitulah, tahun baru pun dimulai.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama