Chapter 13 — Masachika dan Alya
Sebuah kereta berjalan
melintasi pedesaan yang membentang sejauh mata memandang. Perjalanan pulang
dengan kereta api di hari terakhir kamp pelatihan OSIS dipenuhi dengan suasana
yang tenang.
Mungkin karena berlokasi di pedesaan
dan fakta bahwa sekarang sudah pukul setengah tiga sore, tidak ada penumpang
lain di gerbong utama yang ditumpangi Masachika dan anggota OSIS lainnya. Dan
tidak ada percakapan di antara anggota OSIS; satu-satunya suara yang terdengar
hanyalah suara derap kereta yang sedang berjalan.
Mungkin karena getaran kereta
yang menenangkan, Yuki yang duduk di sebelah kanan Masachika, memiringkan
kepalanya dan menyandarkan kepalanya di bahu Masachika dengan mata terpejam.
Tak lama setelah itu, Ayano yang ada di sisi lain pun terlihat mengantuk juga.
(Yah, semua orang pasti merasa lelah,
jadi kurasa wajar saja ...)
Masachika berpikir begitu
sambil menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang.
Tadi malam Ia begadang sampai
larut malam di festival, dan pagi ini Ia bermain-main sampai puas di pantai
untuk terakhir kalinya. Setelah makan siang, Ia membersihkan dan merapikan vila
sebelum pulang menaiki kereta api. Jadi, apa boleh buat jika Ia tertidur karena
kelelahan. Memang apa boleh buat, tapi...
(Tapi Yuki, kamu itu masih bangun, ‘kan?!)
Menatap kepala adiknya yang
bersandar padanya, Masachika dengan ringan mendorong Yuki menjauh dengan sikunya.
Akan tetapi ….
“Uuu~~~n...”
Pada saat Masachika dengan
ringan menggerakkan lengannya ke samping, lengan kiri Yuki menyelinap melalui
celah yang terbuka dan meraih lengannya.
Yuki kemudian memeluk lengan kanan
Masachika dan dengan hati-hati mengatur posisi kepalanya untuk kembali ke
posisi tidur lagi.
(Dasar adik kampret ...)
Pipi Masachika berkedut pada
keputusan adiknya yang berani dan keterlaluan untuk tidur di bahunya. Dia
mungkin memang mencoba untuk tidur tetapi gaya tidur yang terlalu
agresif ini jelas-jelas sangat berbahaya.
(Ini bukan cara tidur yang benar kecuali
kita ini sepasang kekasih, tau! Kamu pasti sengaja melakukan ini untuk pamer ke
Alya, ‘kan!!)
Sambil berteriak di dalam hati
seperti itu, Masachika melirik ke sisi kirinya. Lalu disana juga ….
“Tunggu, ayolah Masha,
menjauhlah sedikit.”
“Hmmm.”
Lengan Alisa juga terjerat di
lengan kakaknya dan dia bersandar padanya.
Pipi Masachika berkedut saat
tertegun, karena Ia tidak menyangka ada
seseorang yang alami dan melakukan hal yang sama seperti Yuki.
“... Hah”
Segera setelah itu, Alisa
menghela nafas pasrah dan berhenti melawan. Kemudian, setelah melihat Yuki yang
juga bersandar pada Masachika dan mengerutkan alisnya sejenak, dia lalu
tersenyum ironis.
“Ini benar-benar menjengkelkan,
ya.”
“Ha, haha ...”
Masachika tertawa canggung pada
Alisa, yang mengatakan itu sambil melirik Maria. Karena pemandangan kepala
Maria yang bergerak di bahu Alisa membuatnya mengingat kembali peristiwa kemarin
pagi.
(Y-Yah, Masha-san yang mengigau memang
terlihat luar biasa dalam banyak artian...)
Mengingat kembali pemandangan
Maria yang dengan anggun tertidur empat kali di atasnya, Masachika berbalik
menghadap ke depan dengan rasa bersalah.
Sebagai seseorang yang sudah
menyadari perasaan kasih sayang Alisa kepadanya kemarin, mau tak mau Ia jadi merasa
bersalah tentang kenyataan kalau dirinya dan kakaknya telah berbagi tempat
tidur yang sama.
(Tidak, aku tidak berbuat aneh-aneh, kok...)
Usai membuat alasan seperti itu
di dalam hatinya, Masachika tiba-tiba menyadari bahwa dirinya berada dalam
situasi di mana Ia sedang berduaan dengan Alisa.
Dari lima orang yang duduk berdampingan,
tiga lainnya (sepertinya) sedang tidur. Tidak berlebihan untuk mengatakan kalau
situasi sekarang cuma ada mereka berdua. Ketua dan Wakil Ketua OSIS? Jika ada
yang mencari mereka berdua, mereka sedang duduk di kursi dua orang di bagian
paling depan gerbong, satu-satunya kursi yang menghadap ke arah perjalanan, dan
terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.
(E-Ehhh? Bukannya situasi ini cukup berbahaya?)
Perlahan-lahan, firasat buruk
mulai merayapi tulang belakang, dan menyebabkan pipi Masachika berkedut.
Tadi malam, setelah acarakembang
api selesai, Ia bergabung dengan anggota yang lain dan merahasiakan insiden
ciuman, lalu memberi penjelasan singkat kalau dirinya perlu menculik Alya
sebentar sebagai bagian dari sanksi hukuman game.
Setelah itu, Touya dan Chisaki
terus meledek mereka, lalu Yuki dengan sopan membombardirnya dengan pertanyaan,
jadi mereka tidak punya kesempatan untuk berduaan.
Hari ini entah bagaimana mereka
sulit untuk bertemu satu sama lain, jadi Ia tidak berani berduaan dengannya ...
dan ini pertama kalinya Ia berada dalam situasi berduaan dengan Alisa sejak
waktu itu. Kemudian, topiknya secara alami tentang ...
“Kembang api tadi malam ...
terlihat indah sekali, ya.”
(Sudah pasti tentang itu, iya ‘kan!)
Masachika merasa perutnya merasa
mulas pada topik percakapan yang sudah diduganya.
“Ah, iya. Itu memang indah.”
Namun Alisa tidak mengatakan
apa-apa terhadap jawaban Masachika yang jelas-jelas tidak antusias. Mungkin itu
wajar saja, karena yang sebenarnya ingin dia bicarakan bukanlah tentang kembang
api.
Masachika tahu itu, dan sebagai
seorang pria, Ia juga memahami kalau dirinya tidak boleh lari darinya.
Tapi sekarang, tempat ini
bukanlah waktu yang tepat.
Karena alasannya cuma ada satu.
(Yuki, nih adik tengil, aku yakin kalau
dia masih bangun!)
Selama masih ada adik
perempuannya yang bisa menguping dengan bebas, topik itu sangatlah gawat. Super
duper gawat. Jangan pernah sekali-kali mengungkit topik ciuman, bahkan jika itu
salah. Jangan pernah...……
“Jadi, ummm ...”
(Cepat atau lambat, pembicaraan itu
sepertinya akan disebutkan!”
Masachika dalam hati berteriak
pada Alisa, yang mengalihkan pandangannya seolah-olah dia kehilangan kata-kata.
Kemudian, setelah memutar otaknya dalam sekejap, Masachika memutuskan untuk menjadi
seorang cowok yang tidak bisa membaca suasana dengan sekuat tenaga.
“Ngomong-ngomong tentang
kembang api! Apakah ada pertunjukan kembang api juga selama festival di Rusia?”
“Eh? Ah, yah... iya.”
“Heee~, apa ada bedanya dengan
kembang api Jepang?”
“Um, ummm, aku belum
benar-benar menyadarinya, tapi ... kurasa itu tidak terlalu berbeda?”
“Benarkah? Ah, kalau gitu, apa
nama kembang apinya? Semua kembang api mempunyai nama yang cukup menarik di Jepang,
tapi apa itu juga sama di Rusia?”
Kemampuan komunikasi Masachika
langsung meningkat pesat.
Dari awal, kemampuan berbicara
Masachika jauh lebih baik daripada Alisa. Setelah kamu menguasai alur
pembicaraan, mudah sekali untuk menghindari topik tertentu.
“ .... Hei, apa kamu berusaha
menghindari sesuatu?”
Namun, hasilnya akan menusuk
balik jika melakukannya dengan terang-terangan. Jika dia mengatakan hal seperti
itu dengan alis berkerut dan pandangan matanya bergetar seolah-olah sedikit
tersakiti, Masachika tidak punya pilihan lain selain tetap diam.
“Kamu tidak perlu mencoba
menghindarinya secara terang-terangan juga kali. Bukannya kita sama-sama
sepakat akan berpura-pura kalau kemarin tidak terjadi apa-apa…..”
“Tidak, maafkan aku. Bisa
tenang dulu sebentar?”
“……Apaan sih.”
“Seriusan, tolong tenanglah
dulu sebentar.”
Masachika mengangkat tangan
kirinya dengan ekspresi serius dan menyela kata-kata Alisa.
Kemudian, Masachika tiba-tiba
mengeluarkan ponselnya dari sakunya, menaikkan volume speaker, dan memutar
video.
『Oi,
oi, kamu mendadak kenapa, sih? Aku memahami perasaanmu yang ingin memotretku,
tapi …. Jika kamu ingin memotretku, bisa tidak kamu melakukannya saat aku
sedikit lebih modis? 』
“!!?”
Lalu suara Masachika-sama dalam
mode ‘Ore-sama’ terdengar dari
smartphone-nya. Sementara tatapan mata Alisa melebar pada video yang tiba-tiba
diputar, Masachika melihat sekeliling untuk melihat reaksi dari ketiga orang lainnya.
Kemudian, setelah memastikan
bahwa tidak ada reaksi tertentu, Ia menghentikan pemutaran video tersebut.
“Yup, sepertinya mereka beneran
tidur semua, ya.”
“Ca-Cara memastikan macam apa
itu tadi.”
Masachika mengangguk puas, dan
Alisa, dengan ekspresi yang sangat tidak biasa di wajahnya, mengajukan
pertanyaan padanya saat dia menggeliatkan pipinya dan berusaha mati-matian
untuk menahan tawanya. Masachika lalu menanggapi dengan tatapan yang agak jauh.
“Karena video ini, jika kamu
masih bangun, kamu pasti akan bereaksi, ‘kan? Kamu juga bereaksi seperti itu.”
“Ka-Kamu berani mengatakan itu
sendiri? Atau lebih tepatnya, kamu masih menyimpannya, ya ...”
Video yang dibagikan dengan
anggota OSIS telah dihapus setelah Ia menjelaskan situasinya: “Aku mencoba hipnosis dengan Yuki dan
berakhir jadi seperti itu”. Itu sebabnya pemutaran video kali ini
benar-benar mengejutkan ...
“Meski kamu bilang begitu,
sebenarnya kamu masih menyimpannya juga, ‘kan?”
“Te-Tentu saja enggak. Aku sudah
menghapusnya dengan benar kok, enak saja..”
Ketika Ia menatap ke arahnya,
Alisa menjawab dengan tatapan membantah. Tapi Masachika tidak melewatkan momen
ketika tatapan matanya bergetar hebat untuk sesaat.
(Jadi kamu masih menyimpannya ...)
Masachika kembali ke topik
sambil merasakan kerusakan berkelanjutan pada kesehatan mentalnya saat
diingatkan oleh sejarah hitamnya.
“Lalu, yah ... maafkan aku.
Karena aku masih belum yakin apakah kita sudah berduaan, jadi itulah yang
terjadi ... tidak, yang itu kedengarannya cuma cari-cari alasan.”
Memang benar ada alasan yang
seperti itu. Tapi pada kenyataannya... Ia tidak memiliki keberanian untuk
menghadapi perasaan cinta Alisa. Karena Ia tidak memiliki keinginan untuk
menanggapinya atau bertekad untuk menerimanya. Jadi tidak salah jika dibilang
kalau Ia berusaha menghindarinya.
“Ya, maafkan aku. Sejujurnya,
aku memang mencoba menghindari topik itu, tapi bukannya aku berpura-pura kalau
itu tidak pernah terjadi. Namun … aku masih belum bisa memilah-milah
perasaanku.”
Ketika Masachika menatap lurus
ke mata Alisa tanpa main-main dan mengatakannya dengan tulus, pandangan mata
Alisa sedikit goyah dan berbalik ke depan.
Dan kemudian dia membuka
mulutnya dengan suara pelan.
“Kamu tidak perlu
melebih-lebihkan itu dengan sesuatu yang seperti …. memilah-milah perasaanmu
atau semacamnya. Kejadian tadi malam itu hanya …. benar, itu mirip seperti
ciuman anugerah.”
“… Anugerah?”
“Benar. Kemarin malam …. kamu
sudah melakukan banyak hal untuk menghibur Masha dan aku, tetapi kamu sedikit
murung karena mengacaukannya, ‘kan? Jadi umm, mirip seperti hadiah hiburan atau
sejenisnya ..... meski tidak berjalan lancar, tapi ciuman itu hanya bermakna ‘aku cukup bersenang-senang dan
menikmatinya, kok’. Paham!?”
Alisa secara bertahap mendekati
wajahnya sembari berbicara lebih cepat dan nada suara yang semakin lantang.
“Eh, ah iya.”
Sejujurnya, Ia merasa bisa
memahaminya atau tidak memahaminya, tapi Masachika mengangguk karena dorongan momentumnya.
Atau lebih tepatnya, Ia harus
menganggukkan kepalanya di sini karena mempunyai firasat kalau Ia menjawab “Aku tidak tahu”, perutnya pasti akan
disikut.
“Itu merupakan hadiah yang
sangat besar bagiku juga, ya. Itu berarti usahaku benar-benar sepadan, ‘kan?”
Masachika sedikit menyesali dengan
apa yang sudah Ia katakan, karena didorong untuk mengatakan sesuatu yang
sedikit aneh.
“... Hmmph, tentu saja.”
Alisa menatap tajam pada
Masachika dan berbalik dengan cemberut. Kemudian, sembari melirik Masachika,
dia melanjutkan dengan suara jutek.
“Asal kamu tahu saja ya, aku
takkan melakukan hal itu kepada siapa saja. Kemarin, karena hasil perintah
Yuki-san dan dikombinasikan dengan suasana romantis pertunjukan kembang api,
menyebabkan situasi yang seperti itu terjadi.”
“Tentu saja, aku tahu itu kok.”
Sambil mengangguk setuju,
Masachika dalam hati berpikir, ‘Yah,
mungkin itu batasnya?’. [Aku takkan
melakukan hal itu dengan ‘siapa pun’]
mungkin itu yang terbaik yang bisa dia lakukan untuk menunjukkan niat baiknya. Adapun
Masachika, yang telah memperhatikan cinta Alisa padanya, merasa agak lega.
(Yah, aku tidak tahu apakah dia
benar-benar tidak menyadarinya, atau mungkin dia sudah menyadarinya sendiri dan
berpura-pura tidak menyadarinya, tapi ... dia tetap tidak mau mengakuinya
dengan jujur, ya.)
Masachika tidak tahu bagian
mana yang Alisa sukai mengenai dirinya, tapi bagi Alisa yang mempunyai harga
diri yang begitu tinggi, mana mungkin akan mengakui dengan mudah kalau dia
jatuh cinta kepada seorang pemalas seperti Masachika.
(Sejujurnya, aku lebih bersyukur mengenai
itu ...)
Dirinya masih belum siap
menghadapi perasaan cinta Alisa. Jadi setidaknya sampai dirinya sudah merasa
siap, Alisa juga .....
【Karena aku hanya akan melakukan itu denganmu】
(... Yup, aku berharap kalau kamu hanya
menggunakan bahasa Rusia saat merasa malu-malu kucing ~?)
Apakah ucapan itu sekedar
godaan, atau ekspresi perasaan jujurnya ... Masachika sama sekali tidak bisa
membedakannya, jadi Ia bertanya seolah-olah itu sudah dipastikan.
“Eh, kamu bilang apa tadi?”
“Aku bilang, 'Aku hanya akan melakukan itu denganmu.'”
“O-Ohh, hmm??”
Masachika terkejut pada jawaban
yang sama sekali tidak terduga.
Ketika Masachika tertegun, Alisa
berbalik dengan ekspresi yang sepertinya menutupi rasa malunya dengan
ketidakpuasan. Dia kemudian berkata
dengan nada seolah-olah sedang mengeluh.
“Tadi sudah kubilang, ‘kan? Aku
takkan melakukannya dengan siapa pun. Aku akan merasa tersinggung jika kamu
mengira kalau aku adalah gadis yang dipengaruhi oleh lingkungan dan suasana,
jadi aku akan memberitahumu dengan tegas … karena hanya denganmu saja, yah,
kupikir setidaknya aku bisa memberimu ciuman di pipi, tau?”
“O-Ohh ... aku jadi merasa
terhormat?”
“Aku juga perlu mengatakan ini
dengan tegas, ini tidak ada kaitannya dengan perasaan romantis atau semacamnya.
Aku mempercayaimu sampai batasan tertentu sebagai pa-partnerku, oke? Aku juga
lumayan sedikit menghormatimu? Dan yang terpenting, yah, aku menganggapmu
sebagai teman terdekatku ... hanya itu
saja!”
“Eh, ya. Terima kasih?”
Pipi Alisa berubah menjadi
merah merona saat dia memelototi wajah Masachika dan mengatakannya dengan
cepat, dia mendengus ringan pada Masachika yang berterima kasih padanya dengan
canggung dan berbalik untuk menghadap ke depan.
Masachika tidak bisa menahan
tawa pada cara canggung untuk menyampaikan niat baiknya yang mirip seakan-akan
mengajak berkelahi. Entah kenapa, rasanya sangat menggambarkan sifat Alisa.
Tapi, oleh karena itu ...
ucapan tersebut mencapai hatinya.
Pernyataan tadi itu pasti
merupakan perasaan Alisa yang sebenarnya. Mungkin Alisa masih belum menyadari perasaan
cintanya yang samar.
Namun, dia mampu menyampaikan
jawaban yang dia temukan dengan menghadapi hatinya dengan caranya sendiri.
Seraya mengerahkan seluruh keberaniannya. Dengan segala kemampuannya dan
ketulusan hatinya.
(Astaga, makhluk lucu jenis apa ini. Dia
terlihat sangat menggemaskan sekali)
Pemikiran tersebut secara alami
muncul di benaknya ketika melihat Alisa yang
tampak cemberut dan ujung telinganya memerah. Dan Ia segera merenungkan
kesan konyol yang telah dibuatnya, meskipun cuma di dalam batinnya.
(Hah… itu benar-benar kebiasaan burukku.
Langsung bermain-main, membuat candaan, dan mencoba mengaburkan perasaanku yang
sebenarnya)
Begitulah cara Kuze Masachika
mempertahankan dirinya. Ia kehilangan kasih sayangnya dengan ibunya, kehilangan
cinta dengan gadis itu, bahkan
kehilangan harga dirinya, dan menjadi Kuze Masachika yang sekarang. Lalu tanpa
disadari, dirinya tidak berani menghadapi siapa pun secara langsung. Selalu
saja bercanda, meledek, berpura-pura, dan tidak terhubung secara mendalam dengan
siapa pun.
Jika Ia tidak terhubung secara
mendalam, Ia takkan merasa sedih jika kehilangan mereka.
Jika Ia tidak terhubung secara
mendalam ... Orang lain takkan bisa mengetahui sifat tak terelakkan dari
manusia yang bernama Kuze Masachika ini. Jika orang lain tidak mengetahuinya,
maka Ia tidak perlu menghadapinya. Kepada dirinya sendiri, yang sangat
dibencinya.
(Tapi ... hanya untuk saat ini saja)
Hanya untuk saat ini, Ia perlu
menghadapinya tanpa mencoba untuk menghindarinya.
Demi keberanian dan ketulusan
yang ditunjukkan gadis yang ada di depannya... Setidaknya, Ia ingin menjadi
tulus juga demi dirinya sendiri.
“Aku juga……”
Suara yang keluar dari
tenggorokannya terdengar serak dan gemetar. Mengatakannya dengan jujur sesuai
dari lubuk hati dan menyampaikan kasih sayang dengan tulus. Padahal hanya itu
saja, tapi rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Sudut mulutnya menyungging
sendiri dan Ia mencoba untuk tertawa. Ayo
tertawalah. Suara di dalam hatinya mengomel kepadanya untuk membodohi dirinya
sendiri dengan membuat lelucon seperti yang selalu dilakukannya.
Ia mati-matian mencoba untuk
menahannya, dan berhasil mengucapkan kata-kata yang tersangkut di
tenggorokannya.
“Aku juga... karena aku
melakukannya dengan Alya, aku jadi ingin berciuman.”
Mendengar ucapan Masachika, Alisa
berbalik dan menatap ekspresi yang semakin menyedihkan yang tidak pernah dia
lihat sebelumnya.
“Aku yakin jika itu dengan orang
lain, aku akan bercanda seperti yang biasa kulakukan dan berpura-pura tidak tau.
Tapi kamu …. karena melakukannya dengan Alya, aku ingin membalas ciuman juga.
Yah, mana mungkin aku bisa langsung mencium di pipi. , dan ketika ditanya apa
maksud dari ciumanku, aku sedikit kesulitan untuk menjawabnya… Yah, mungkin
karena aku juga sedikit terbawa oleh suasana kali?”
Pada akhirnya, itu berakhir
menjadi agak konyol dan sedikit bercanda. Ia bermaksud untuk berbicara sedikit
lebih baik. Mengapa mulut yang biasanya berceloteh dengan lancar malah berubah
jadi seperti ini?
“... Duhh, ya ampun. Apa-apaan
itu sih?”
Alisa juga terdengar tercengang
pada Masachika yang suaranya secara bertahap menjadi semakin pelan dan sedih.
Dan ketika wajah Masachika semakin lama semakin tertunduk ….. tangan kanan
Alisa meraih pipi Masachika, dan dengan lembut menngarahkannya ke depan.
Kemudian Alisa menatap lurus ke wajah Masachika dan tertawa bahagia dari lubuk
hatinya.
“Fufufu, bahkan Masachika-kun
bisa membuat wajah seperti ini, ya.”
“... Apaan sih? Memangnya wajah
macam apa yang kubuat?”
Masachika yakin kalau wajahnya terlihat
menyedihkan. Pemikiran semacam itu menyebabkan dirinya terdengar seperti sednag
merajuk. Segera, Ia merasa semakin malu dengan reaksi kekanak-kanakannya.
“....”
Masachika sedikit mengalihkan
pandangannya dalam diam. Yang ditanggapi oleh Alisa dengan senyum yang
bercampur sedikit kejahilan.
“Hmm benar juga... wajahmu
kelihatan cukup imut, kok?”
“Urgh!”
Evaluasi “imut” yang langsung dilontarkan dengan blak-blakan. Senyum iblis
kecil yang menatapnya dari jarak dekat membuat tulang belakang Masachika
merasakan sensasi bergidik manis. Demi menutupinya, Ia mengangkat alisnya
dengan wajah jengkel.
“... Kamu pasti sedang
meledekku, bukan?”
Meski Masachika mengatakannya
dengan nada marah, tapi Alisa tidak bergeming sama sekali.
“Itu tidak benar kok? Meski begitu,
ya …. Aku sempat penasaran kenapa memilih mencium rambutku~ tapi gampangnya,
kamu cuma merasa canggung saja, kan?”
(... Tidak, kamu juga sudah menyadarinya,
‘kan. Kamu sendiri jelas-jelas menghasutku dengan ejekan “Dasar tidak punya
nyali”)
Masachika membuka mulutnya
dengan sikap mencela pada Alisa yang berusaha keras untuk memastikannya.
“Astaga, wajar saja merasa
canggung, ‘kan? Bahkan melakukannya di rambut masih terlalu pribadi ... Kamu sendiri juga pasti tidak suka kalau
pipimu dicium dalam sanksi permainan, bukan.”
“Entahlah~?”
Sembari mengangkat satu alisnya
dan berkata begitu, Alisa melepaskan tangannya dari pipi Masachika dan menyolek
pipinya sendiri dengan jarinya.
Masachika terkesiap saat mendengar kata-kata itu. Bahkan jantungnya terasa seperti berhenti berdetak sesaat.
“Kamu bilang apaan tadi?”
Bahkan membalas dengan
basa-basi seperti itu membuatnya bertanya-tanya apa suaranya tidak terdengar
canggung. Bahkan Masachika tidak mempunyai cukup waktu untuk menganalisis apakah
ekspresinya menunjukkan tanda-tanda kegelisahan.
“Aku cuma bilang, 'mana kutahu?'”
Tapi untungnya, Alisa tampaknya
tidak terlalu peduli dan berbohong seperti biasa dengan senyuman. Kemudian, dia
menurunkan lengan kanannya, lalu dengan mudah melingkarkannya di sekitar lengan
Masachika dan kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Masachika.
“O-Ohh ...”
Setelah provokasi marah,
Masachika menegang ketika tubuhnya dibiarkan santai terlalu alami. Entah dia
menyadari atau tidak bahwa Masachika sepenuhnya berada di bawah belas kasihnya,
Alisa mulai membuat menguap kecil.
“Fuwaaaahh~, aku juga mulai
mengantuk, nih... Maukah kamu membangunkanku saat kita sudah sampai di
stasiun?”
“... Dengan kata lain, aku
tidak boleh tidur?”
“Oh, apa kamu yakin bisa tidur
sedekat ini denganku?”
“... Kurasa aku tidak sekurang
ajar itu.”
Alisa tertawa kecil ketika mendengar
kata-kata Masachika dan memejam matanya. Faktanya, Masachika sangat gugup sehingga
kata-katanya tadi bukanlah candaan ... Bagaimanapun juga, Ia berusaha mengistirahatkan
tubuhnya begitu menyadari bahwa serangan Alisa telah berakhir.
(Haa … ini sangat tidak baik buat
jantungku)
Sambil menghadap ke depan, Ia
bergumam pada dirinya sendiri di dalam hati. Kesenjangan antara keduanya cukup
besar karena hubungan saling ejek mereka yang biasa. Masachika yakin kalau
setengah dari itu cuma olok-olokannya saja …. Tapi ketika menyadari ada
perasaan cinta di balik tindakannya, Ia tidak yakin seberapa seriusnya Alisa.
(Ya ampun, aku ingin tahu berapa banyak
dia memahami apa yang sedang dia lakukan)
Ia melihat ke sampingnya dengan
senyum santai dan melihat wajah tidur Alisa yang terlihat sangat nyaman.
Keseriusan dan kewaspadaan yang selalu muncul di wajahnya tergantikan oleh
wajah nyaman dan damai ..... Perasaan hangat dan gila membuncah di dada
Masachika.
Rasa ingin melindungi,
menghargai, dan tidak ingin menyakitinya muncul di benak Masachika. Perasaan ini
mungkin adalah keinginan untuk menjaga dan menyayanginya.
(Sudah kuduga... ini bukan perasaan
cinta)
Perasaan ini berbeda dari
perasaan yang pernah Ia miliki kepada gadis
itu … atau itulah yang Ia pikirkan.
Meskipun Ia tidak bisa mengatakan dengan pasti karena Ia tidak dapat
mengingat perasaan cinta itu sendiri sekarang. Sejak gadis itu meninggalkannya…
(Ehh, tunggu?)
Di sana, Masachika
mempertanyakan pikirannya.
(Apa aku …. benar-benar ditinggalkan oleh
gadis itu?)
Bahkan saat Ia berusaha keras
untuk mengingatnya, kabut tebal yang melayang membuat ingatannya menjadi tidak
jelas. Senyum gadis itu tetap tersembunyi di balik kabut. Masachika masih tidak
bisa mengingatnya. Akan tetapi ... di
dalam dirinya, Ia mengetahui betul kalau cinta itu belum berakhir.
(Entah bagaimana ... aku terus
memendamnya)
Walaupun Ia berusaha mencoba
untuk melupakannya, tapi Ia masih terus mengingatnya. Hal tersebut jadi
mengingatkannya pada sesuatu. Itu pasti karena Masachika sendiri tidak ingin
melupakan gadis itu dari lubuk hatinya. Karena Ia masih memiliki penyesalan dan
terus merindukan gadis itu dalam ingatannya.
【Masaaachika!】
Julukan nama aneh itu masih
terngiang di kepalanya. Suara polos yang memanggilnya dari balik kabut membuat
hatinya sakit dan sesak.
“Hmm……”
Tapi kemudian, suara samar dari
samping kirinya membawa Masachika kembali ke dunia nyata. Ketika Masachika
mengedipkan matanya, Alisa yang bertubuh kecil dan bersandar di lengan kirinya,
kembali merangkul lengan kirinnya dengan erat. Masachika merasa sedang dihibur
oleh perasaan lembut yang menyelimuti tangannya.
(... Aku harus menyelesaikannya dengan
benar)
Ketika melihat wajah Alisa, Ia
secara alami membuat keputusan itu. Demi menghadapi dengan benar gadis di
hadapannya yang jatuh cinta pada dirinya yang sekarang. Ia akan benar-benar
mengakhiri cinta pertamanya dengan gadis itu dan memintanya mengembalikan cinta
yang masih terperangkap dalam dirinya. Jika Ia melakukan itu, maka...
“…...”
Lalu tiba-tiba, Yuki dengan
lembut mengangkat kepalanya. Dia melirik kakaknya yang berbalik diam-diam, dan
menatap Alisa, yang sedang tertidur sambil memeluk erat lengan kiri Masachika.
Setelah melihat pemandangan itu, Yuki mulai mengangguk dengan penuh pemahaman.
“Begitu rupanya, jadi begini
yang namanya netorare (NTR), ya.”
“Mendingan kamu tidur selamanya
saja sana, dasar kampret.”
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya