Bab 9 — Liburan Musim Panas Dimulai
“Yuhuuuuu ! Liburan musim panas
kita akhirnya tiba juga!”
“Kenapa malah kamu yang paling
bersemangat?”
Pada pertengahan Juli saat
upacara penutupan, setelah diberikan berbagai ceramah dari pidato kepala sekolah, para siswa diperbolehkan untuk
pergi.
Di akhir upacara penutupan,
Itsuki tiba-tiba langsung kegirangan. Amane hanya bisa menatapnya dengan muka
tercengang.
“Bukannya itu sudah jelas?
Setelah masa ujian yang terasa seperti neraka berakhir, akhirnya kita bisa merasakan surga ..… ada
surga dunia yang sudah menunggu di
depan kita!”
“Itu sih cuma kamunya saja yang
tidak suka belajar. Aku sendiri tidak keberatan.”
“Bawel, luh. Jangan lupa Amane,
kamu sendiri juga punya banyak waktu untuk bermesraan dengan Shiina-san
sekarang.”
“Rasanya sangat menakjubkan
mendengarmu bilang kalau kami akan bermesraan satu sama lain… meski begitu,
bukannya berarti kami menghabiskan 24 jam bersama.”
Lebih baik mengatakan bahwa
mereka hanya punya lebih banyak waktu untuk berbicara.
Saat bersama, mereka lebih
sering belajar bersama atau mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka tidak
bermesraan melulu seperti yang dipikirkan Itsuki.
Bagi Mahiru, terlihat jelas
bahwa dia juga bekerja keras untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya. Amane
juga berusaha dengan caranya sendiri seperti lebih rajin berolahraga untuk
meningkatkan kemampuan fisiknya.
“… Izinkan aku mengulanginya.
Sadarilah perilaku kalian sendiri. Nyatanya, kamu nyaris tidak menyadari kalau
kalian berdua terus-menerus menggoda satu sama lain.”
“Itu sama sekali tidak benar
kok?”
“Kalian berdua kadang-kadang akan
saling tersenyum, saling merangkul, berpegangan tangan, dan sebagainya.”
“Yang itu sih aku tidak bisa
menyangkalnya.”
Meskipun Amane tidak terlalu
sering memeluk Mahiru, Ia sering melakukan kontak fisik kecil-kecilan.
Standar kasih sayang mereka
sedikit melenceng dari standar umum. Walaupun Amane menganggap kalau
perilakunya itu bukanlah saling menggoda, tapi di mata orang lain, mereka
justru dianggap sengaja memamerkan kemesraan hubungan mereka.
“Asal kamu tahu saja,
pertunjukkan kasih sayangmu membuat orang ikutan malu hanya dengan melihatmu,
benar ‘kan, Yuuta?”
“Ah, hahaha, iya. Aku selalu
merasa malu saat melihat kalian berdua.”
“Bahkan Kadowaki sampai berpikir
begitu…”
“Tapi berkat itu, semakin
sedikit orang yang ingin menghalangi hubungan kalian jadi itu bukan hal yang
buruk sama sekali.”
Setidaknya di kelas yang sama,
sudah tidak ada lagi golongan cowok yang menyinyir, cari-cari kesalahan, atau
mencoba mencuri Mahiru darinya.
Alasan utamanya karena Mahiru
tidak menyembunyikan seberapa besar dia menyukai Amane. Perhatiannya hanya tertuju
pada Amane, jadi orang lain yang berpiki kalau mereka masih punya kesempatan
langsung menyerah begitu saja.
Meski demikian, Amane sendiri
secara mental siap untuk beberapa efek dari pengumuman hubungan mereka, tapi
teman sekelas mereka justru menciptakan suasana yang jeli di sekitar mereka
karena suatu alasan. Sejujurnya, Amane merasa bingung.
“Sejujurnya, kamu tidak perlu
melakukan apapun, Amane. Itu semua berkat tekanan yang diberikan Shiina.”
“Tekanan?”
“Atau lebih tepatnya peringatan
keras? Apa lagi yang bisa diperbuat seseorang setelah melihat Shiina-san
seperti itu selama festival olahraga? Jika Amane mendapat perlakuan aneh, dia
pasti akan marah.”
“Mahiru yang marah… aku bahkan
tidak bisa membayangkannya.”
“Aku juga tidak bisa
membayangkannya, tapi dia pasti akan marah. Shiina jago dalam akademik dan
olahraga serta penampilan yang tulus, belum lagi para guru juga sangat
mempercayainya. Jika ada yang memusuhinya, itu akan berakhir dengan buruk.”
Itsuki diam-diam menambahkan “membuat marah orang yang alim pasti akan
berakhir mengerikan”, yang ikut disetujui Amane.
(Dia
mungkin tipe yang takkan marah)
Amane juga berpikir bahwa
Mahiru tidak mungkin marah.
Namun, itu masih dalam batas kemungkinan.
Mahiru selalu menunjukkan senyum
lembut di wajahnya, dan tidak pernah marah pada hal-hal sepele, tapi Amane
merasa jika ada seseorang yang melewati batas, dia hanya akan tersenyum dan
pihak lain takkan bisa membantahnya dengan alibi mereka. Mempertimbangkan apa
yang terjadi selama festival olahraga, itu bukannya mustahil.
Amane tidak ingin memprovokasi
Mahiru, dan jika Ia melakukannya, Amane sendiri akan merasa menyesal sebelum
marah padanya. Amane memutuskan untuk mencoba menjaga hati Mahiru tetap damai.
“… Apa kamu akan membuatku
marah?”
Setelah Amane bersumpah di
dalam hatinya, Mahiru dan Chitose berjalan menghampirinya.
“Shiina-san, kami tidak
membicarakan hal itu, tetapi jika seseorang melakukan sesuatu pada Amane, kamu
mungkin akan marah.”
“Itu sih sudah pasti… tapi aku
takkan terlalu marah. Aku akan berbicara dengan mereka secara langsung sampai
mereka mengerti apa yang harus kukatakan.”
Melihat senyum tipis Mahiru, tubuh
Itsuki sedikit bergetar.
Sepertinya Mahiru hanya akan
menggunakan kata-katanya untuk membuat pihak lain mengerti, seperti
pernyataannya barusan. Kemungkinan dia akan tetap tersenyum dan menyerang
dengan alasan untuk membuat pihak lain setuju. Dalam hal ini, Mahiru tidak
ingin membuat orang lain memusuhi dirinya.
“Amane, emangnya kamu tidak
pernah membuat Mahirun marah?” (Chitose)
“Aku tidak bisa melakukan
hal-hal yang membuatnya marah, jadi apa yang kamu ingin aku lakukan?” (Amane)
“…Misalnya saja berselingkuh
dengan gadis lain atau semacamnya?” (Chitose)
“Memangnya kamu benar-benar
berpikir kalau aku orang yang seperti itu?” (Amane)
“Kupikir itu mustahil? Mana mungkin
bagi seseorang dengan karakter Amane. Setelah kamu membuka hatimu untuk
seseorang, kamu akan menghargai bahkan bagian buruk mereka.” (Chitose)
“…Terima kasih atas pujiannya”
“Tapi kamu akan menjadi penakut
begitu mulai terlalu bucin. Misalnya saja, kamu cuma berani mencium pipinya.”
(Chitose)
“Mahiru?” (Amane)
“Bu-Bukan begitu, bukannya aku tidak
puas... tapi yah, Chitose-san memang menanyakan pendapatku.” (Mahiru)
“Baiklah, lupakan saja.”
(Amane)
Sekarang Mahiru sudah menceritakan
keseluruhan cerita setelah ditanya, Amane berpikir lebih baik membiarkannya
dulu.
“Ah, sungguh lihai sekali …”
“Itsuki.”
“Iya, iya santa saja bung, rasa
malumu merupakan poin lebihmu. Wajar-wajar saja jika kamu ingin melakukan 'hal-hal semacam itu,' itu sangat
normal, iya ‘kan?”
Itsuki berteriak “Iya ‘kan, Chi” dan kemudian berdiri
bersamanya. Amane bergumam dalam hati, “Kami
berbeda dengan kalian berdua yang sudah menaiki tangga kedewasaan.”
Mereka berdua sudah berpacaran
selama dua tahun, jadi tentu saja mereka telah mencapai tahap yang belum pernah
disentuh oleh Amane dan Mahiru. Selain itu, Amane sering mendengarkan Itsuki
berbicara tentang topik semacam itu, jadi Amane tidak terlalu terkejut.
Mungkin hal yang sama berlaku untuk
Mahiru, mungkin dia pernah mendengar topik semacam itu dari Chitose karena
wajahnya memerah dengan penuh kepulan. Mungkin apa yang dibayangkan Amane dan
Mahiru merupakan hal yang sama.
(...Mungkin
akan memakan waktu cukup lama bagi kami)
Mereka bahkan belum berciuman
dengan benar, jadi menggabungkan sentuhan tubuh mereka saja sudah termasuk
tahapan yang paling ekstrim. Selain itu, Amane tidak memiliki keinginan untuk
terburu-buru, jadi Ia memutuskan untuk perlahan-lahan memperdalam hubungannya
dengan temponya sendiri.
Setelah Amane dan Mahiru saling
bertukar pandang, muka Mahiru terlihat lebih memerah dan dia menundukkan
kepalanya. Amane juga sama-sama merasa malu sehingga dirinya memalingkan
wajahnya dari Mahiru.
◇◇◇◇
“Mahiru, bagusnya kapan kita
mengunjungi kampung halamanku?”
Setelah upacara penutupan
selesai, Mahiru pulang ke rumahnya terlebih dahulu sebelum mampir ke rumah
Amane seperti biasa, pada saat itulah Amane bertanya padanya.
Masalah ini seharusnya harus diputuskan
lebih awal, tapi karena Amane terlalu bucin
setelah mulai berpacaran dengan Mahiru, dan masih ada banyak hal yang harus
diurus, Ia jadi membicarakan perjalanan itu dengannya. Ibunya sudah memberitahu
kalau Amane boleh pulang kapan saja asalkan selama Mahiru punya waktu, mereka
harus pergi ke Festival Obon di bulan Agustus, sama seperti tahun-tahun
sebelumnya.
Mata Mahiru berkedip-kedip ketika
mendengar pertanyaan Amane.
“… Ah, sudah kuduga, kamu
sedikit enggan untuk mengunjungi kampung halamanku?”
“Bu-Bukannya begitu, aku hanya
baru mengingatnya kalau aku akan pergi ke kampung halamannya Amane-kun… aku
bisa melakukannya kapan saja, kok.”
“Baiklah, mau sampai berapa
lama kamu ingin tinggal? Tahun lalu aku pulang ke sana sekitar dua minggu
kemudian, bertepatan dengan Festival Obon.”
Melihat Mahiru buru-buru
melambaikan tangannya untuk menyatakan kalau dia tidak membenci pergi
mengunjungi kampung halamannya, Amane tersenyum pahit sembari mencemaskan mau berapa
lama mereka akan tinggal di sana.
Mengenai Festival Obon, Itsuki
dan Yuuta tidak mengundangnya karena secara umum Festival Obon akan dihabiskan
bersama keluarga. Oleh karena itu, mungkin lebih baik berada di kampung
halamannya selama periode waktu tersebut. Mereka sudah memasuki liburan musim
panas, jadi Ia bisa tinggal di sana selama masa liburannya habis.
Pada tahun lalu, Amane terlalu
malas untuk melakukan beres-beres kamar apartemennya, jadi Ia tinggal di
kampung halamannya selama lebih dari dua minggu. Tapi tahun ini Mahiru akan
datang bersama dengannya, jadi Ia harus menyesuaikan dengan jadwalnya Mahiru juga.
Dengan demikian, kunjungan mereka paling banter hanya akan berakhir satu atau
dua minggu. (TN:
Pulang-pulag bawa calon menantu :v)
“Aku tidak memiliki rencana
khusus, dan jalan-jalanku bersama Chitose-san masih belum diputuskan. Oleh
karena itu, Amane-kun bisa memutuskan sampai berapa lama kita akan tinggal.”
“Kalau begitu sekitaran dua minggu
atau lebih. Meski jangka waktunya cukup lama, tapi apa kamu tidak keberatan?”
“Ya, aku tidak keberatan sama
sekali, kok.”
Karena Mahiru tidak memiliki
rencana khusus, jadi dia menyerahkan keputusan akhir kepada Amane.
Mempertimbangkan bahwa Mahiru
adalah seorang wanita dan mungkin perlu membawa lebih banyak pakaian, Amane
menyarankan supaya mereka mengirim barang bawaan mereka terlebih dahulu, jadi
Amane mengirim pesan kepada Ibunya untuk memberi tahu kalau mereka akan
mengirimkan barang bawaan melalui paket.
Kemungkinan besar Ibunya masih
bekerja saat ini dan takkan langsung menjawab, tepi dia mungkin akan dengan
senang hati setuju dan benar-benar mencoba memperpanjang masa tinggal mereka.
Ibunya menyukai segala sesuatu yang lucu, dan berkat sifatnya, Mahiru sangat
disukai oleh Shihoko.
“Tapi yahh, ibuku pasti sangat
senang mengenai kedatanganmu.”
“Fufu, benar sekali”
“…Tapi kamu perlu bersiap-siap
juga.”
“Ehh?”
“Ibuku akan sering mengajak
kemana-mana dan terus mengganggumu”
Shihoko pasti akan terus
menempel pada Mahiru.
Lagipula, ibunya selalu menginginkan
anak perempuan. Memanfaatkan kesempatan ini, dia pasti akan bertindak
seolah-olah Mahiru adalah putri kandungnya, dan dia akan menghujaninya dengan
cinta.
“Aku sangat berterima kasih
untuk itu...”
“Semoga saja cuma sebatas itu
saja .. tapi bagaimana caranya kita harus memberitahunya?"
“Ya?”
“…Mengenai hubungan kita, apa
kita harus memberitahunya juga?”
Setelah Amane ragu-ragu dan
bergumam begitu, badan Mahiru juga menjadi kaku.
Sepertinya Mahiru belum melaporkan
hubungan mereka kepada Shihoko, tapi jika mereka mengunjungi kampung halaman
Amane bersama, Shihoko mungkin bisa menyadari hubungan mereka dari sikap
mereka, lalu meledek mereka karena berusaha menyembunyikan berita tersebut.
Amane merasakan dilema batin, Ia merasa bimbang apa dirinya perli
memberitahunya terlebih dahulu untuk mengurangi kejahilan yang akan dilakukan
ibunya nanti.
Akan tetapi, meski Amane bisa
mengurangi ledekan ibunya, di sisi lain itu bisa membuat segalanya menjadi lebih
buruk. .
“… Ap-apa yang harus kita
lakukan? Rasanya terlalu memalukan untuk memberitahunya ... “
“Benar sekali. Ibuku pasti akan
terus menerus mengajukan pertanyaan.”
“Namun, aku sudah menerima
Amane-kun yang sudah menjadi putra berharganya. Kupikir setidaknya aku harus
mengatakan sesuatu padanya.”
“Padahal kupikir akulah yang
menerimamu, Mahiru …”
Amane merasa masalah ini sudah
selesai jadi dia mengatakan itu, tapi begitu Mahiru mendengar kalimat itu, dia
langsung memeluk bantalnya dengan pipi yang merah merona.
“…Mampu mengatakan hal semacam
ini secara langsung merupakan sisi baik dari Amane-kun, tapi itu juga sisi
burukmu.”
“Jadi mana yang benar?”
“Fakta bahwa kamu hanya akan
mengatakan ini kepadaku adalah sisi bagusmu.”
“Memangnya menurutmu aku akan
mengatakan itu kepada orang lain ...?”
Amane tidak tertarik pada orang
lain dan Mahiru pasti mengetahuinya dengan baik, jadi Amane dibuat bingung
dengan apa yang dia khawatirkan.
“… Ada juga sisi lain darimu,
tapi jangan pedulikan itu. Aku pikir ini bukan hanya salah satu sifatmu, tapi
juga hasil dari didikan Shuuto-san.”
"Mengapa kamu tiba-tiba
mengungkit nama ayahku di sana?”
Nama Ayahnya tiba-tiba muncul,
jadi Amane semakin dibuat bingung, tapi saat melihat Mahiru bersandar ke arahnya sembari
masuh memeluk bantal, Amane menyentuh kepala Mahiru terlebih dahulu.
Tindakannya ini bukan demi
menghiburnya, karena itu cuma karena Mahiru terlalu imut. Setelah Amane
membelainya dengan penuh kasih sayang, Mahiru menurunkan matanya dengan
malu-malu, tapi membiarkan Amane terus mengelus kepalanya. Amane tidak tahu
apakah itu ilusi bahwa dia terlihat sangat nyaman, jadi seharusnya itu sama
sekali bukan hal yang buruk.
“…Kemungkinan besar, Amane-kun
akan terlihat sangat mirip dengan Shuuto-san di masa depan nanti.”
“Benarkah? Padahal aku tidak
memiliki wajah baby-face seperti
ayahku.”
“Tidak, aku berbicara tentang
kepribadianmu.”
“Aku tidak setenang dan sekalem
dirinya.”
“… Bukan itu yang kumaksud.”
Mahiru menggumamkan “baka"”dengan suara yang hampir
tidak bisa didengar Amane, lalu bersandar di lengannya. Amane dengan sengaja
menggerakkan tubuhnya ke belakang, dan tubuh Mahiru jatuh di atas pangkuan
Amane.
Mata karamelnya yang bersembunyi
di bawah kelopak matanya kembali muncul, lalu tertutup sekali lagi, lalu muncul
lagi. Amane tersenyum saat melihat reaksinya dan menelusuri pipi lembut Mahiru
dengan tangannya.
“Walaupun aku tidak bisa
menjadi pria terhormat seperti ayahku, aku akan berusaha memanjakanmu dengan
caraku sendiri.”
“… Itulah bagian yang aku
bicarakan.”
“Ayahku lebih baik dariku dalam
memanjakan orang.”
“… Aku sendiri merasa kalau
semakin hari aku semakin dimanjakan.”
Mahiru menyandarkan kepalanya
di atas pangkuan Amane, lalu menggenggam tangan Amane ke dalam tangannya dan
menunjukkan ekspresi lembut sebelum memejamkan matanya.
Mahiru mengambil inisiatif
untuk menggosok pipinya dengan tangan Amane dan tersenyum senang.
“… Apakah kamu kamu bisa terus
memanjakanku?”
“Aku bisa memanjakanmu sebanyak
yang kamu mau... tapi minggu depan jangan sampai tenggelam di kolam, oke.”
“…Baka!”
Kali ini, Mahiru berteriak imut
dengan suara yang begitu jelas. Amane menanggapinya dengan tertawa dan membelai
pipi Mahiru lagi.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya