Prolog — Asamura Yuuta
Gundukan padat salju yang
memenuhi dunia perlahan menghilang pada hari ke-12 di bulan Februari, membawa
kami ke hari Jumat pagi. Aku membuka kotak sepatuku dengan sensasi tangan yang mati
rasa karena kedinginan dan ada suara memanggilku tepat ketika aku mengganti sepatu
indoor-ku.
“Pagi, Asamura.”
Ketika aku berbalik, aku
melihat teman baikku, Maru, menyapaku dengan senyum misterius.
“Pagi juga, Maru. Pagi hari ini
enggak ada latihan?”
“Salju memaksa kami masuk ke
dalam, jadi mau tak mau harus berhenti lebih awal. Tapi kamu sama sekali tidak
ragu-ragu, ya?”
“Hah?” Aku sama sekali tidak
mengerti apa yang Maru bicarakan, jadi aku mengeluarkan suara tercengang. “Apa
maksudmu?”
“Aku hanya mengagumi bagaimana
kamu bisa membuka kotak sepatumu tanpa
jeda sedikit pun.”
“Memangnya itu buruk?”
“Biasanya enggak, sih. Tapi …
lihat tuh.” Tatapan Maru mengembara ke arah anak cowok dari kelas di sebelah
kami.
Cowok tersebut tampak ragu-ragu
untuk membuka kotak sepatunya sejenak. Tapi begitu membukanya, Ia mendesah
pelan, tapi masih cukup keras untuk kudengar.
“14 Februari jatuh pada hari
Minggu tahun ini, ‘kan?”
“Ah, rupanya begitu.”
Aku sangat menyadari bahwa
tanggal 14 Februari dikenal sebagai Hari Valentine. Dalam agama Kristen, hari
itu dianggap sebagai hari ketika kamu memberi hadiah kepada orang-orang yang kamu
sayangi dengan sesuatu yang berasal dari hati, dan tradisi tersebut diwariskan
bahkan ke Jepang. Kecuali entah bagaimana itu berubah menjadi hari di mana
gadis akan memberi cokelat ke cowok. Akhir-akhir ini, tradisi itu menjadi
sedikit longgar (atau lebih tepatnya
telah kembali ke akarnya), di mana anak cowok dan gadis sama-sama
memberikan cokelat kepada orang yang mereka sayangi. Dan karena hari tersebut
jatuh pada akhir pekan tahun ini, itu berarti cokelatnya lebih baik diberikan
pada hari ini, Jumat, atau pada hari valentine sendiri.
“Mungkin saja ada cokelat
menunggu di kotak sepatumu, jadi biasanya kamu akan ragu sejenak sebelum
membukanya. Tapi aku baru saja membukanya dengan cuek, ya?”
“Tepat.”
“Tapi apa yang begituan memang
sering terjadi? Maksudku menemukan cokelat di kotak sepatumu.”
Aku tidak ingat pernah menerima
cokelat seperti itu, aku juga tidak pernah mendengar hal itu terjadi pada siapa
pun di sekitarku. Di zaman sekarang ini di mana kita sangat peduli dengan
kebersihan, memasukkan makanan ke dalam loker sepatu tampaknya sangat tidak
sehat dan tidak ada gunanaya. Belum lagi kotak sepatu anak sekolahan bukanlah
contoh utama dari lingkungan yang bersih. Kalau sebatas surat mungkin
satu-satunya hal yang ingin kamu ambil risiko di sana.
“Itu argumen yang valid untuk
memastikannya, tapi… Asamura, memikirkan tentang kebersihan di hari Valentine
dan berusaha membuatnya realistis… bukan seperti yang dipikirkan kebanyakan
anak cowok, loh.”
“Kamu ... tidak berpikir begitu?”
“Otakmu mungkin memahami
logikanya, tetapi kamu tidak dapat menggoyahkan secercah harapan itu. Sangat
normal untuk berasumsi bahwa mungkin ada… Tidak, setidaknya harus ada satu
gadis yang menyukaimu.”
“Itu tidak normal sama sekali.”
“Tapi kita semua anak cowok
agak sedikit gila. Jadi, itu normal.”
“Sungguh logika yang salah
kaprah dan aneh.”
Kami mencapai ruang kelas kami
selama obrolan kami, dan tanpa sadar aku melihat sekeliling untuk melihat apakah
suasananya terasa berbeda atau tidak. Singkatnya, suasana di dalam kelas agak
tenang, dan tidak banyak orang yang membicarakan Valentine. Itu mungkin karena
SMA Suisei lebih merupakan sekolah lanjutan daripada yang biasa. Namun,
sepanjang hari, aku melihat anak perempuan saling memberi cokelat, atau anak
cowok menerima cokelat jika mereka memiliki banyak teman perempuan. Namun,
orang yang punya pasangan yang kami kenal tidak saling memberi cokelat di
kelas. Aku penasaran mengapa mereka tidak memberi cokelat? Akhirnya, bel
terakhir untuk jadwal pelajaran hari itu berbunyi, dan Maru berbalik.
“Kamu itu sedang kerasukan apa,
Asamura? Larak-lirik dengan ekspresi aneh di wajahmu sepanjang hari.”
“Ekspresi aneh…? Pasti sudah
sangat jelas bahkan jika orang yang duduk di depanku menyadarinya.”
“Kamu memiliki wajah seorang
filsuf.”
Sekarang tunggu sebentar. Aku
bukan Socrates, Platon, Nietzsche, atau Satre, oke? Juga, aku tidak terlalu
memeras otakku.
“Aku tidak mencoba mengatasi
kelaparan dunia atau semacamnya. Aku hanya berpikir bahwa bahkan pasangan yang
berpacaran secara terbuka tidak saling memberi cokelat di depan semua orang.”
Setelah mendengar itu, Maru
menatapku dengan wajah ragu.
“Asamura... Pernyataan itu pada
dasarnya mengungkapkan asumsi dasarmu bahwa semua pasangan tak keberatan
bermesraan satu sama lain secara terbuka di depan orang lain, tau?”
“Itu…”
Tidak
benar—aku ingin mengatakan begitu, tapi kemudian wajah orang
tuaku dan Akiko-san muncul di benakku. Kurasa itu mungkin benar. Segala jenis
percintaan yang kulihat akhir-akhir ini hanyalah mereka berdua.
“... kemungkinannya saja?”
“Hei ayolah… Memangnya orang
pacaran yang kamu kenal dengan berani berpelukan dan berciuman bahkan di depan
umum?”
“Aku belum pernah melihat yang
seperti itu… Tapi jika mereka melakukannya, itu takkan mengejutkanku.”
Aku tidak tahu apakah ayahku
dan Akiko-san saling berciuman saat pergi kencan keliling kota, tapi aku tidak
akan terkejut jika mereka setidaknya bergandengan tangan saat berjalan...
Padahal, sebagai putra mereka, aku lebih suka tidak memiliki fantasi tentang
kehidupan cinta orang tuaku.
“Kamu mungkin terlalu banyak
menonton film Amerika. Nyatanya, pasangan seperti itu akan diledek jika hanya
berjalan bersebelahan. Menampilkan segala jenis skinship terlalu memalukan.”
“Memalukan… Ya, kurasa itu
masuk akal.”
Alasan Ayase-san dan aku tidak
melakukan hal semacam ini pasti karena kami merasa malu,...kan? Rasanya seperti
itu masalahnya, tapitidak juga. Aku samar-samar ingat apa yang terjadi ketika
kami mengunjungi keluarga ayahku selama Tahun Baru. Setelah aku menjelaskan
maksudku kepada kakekku, aku kembali ke kamarku dan pergi tidur, tapi Ayase-san
kemudian menyentuh punggungku dan berkata “Terima
kasih, Yuuta-kun.”
Aku tidak pernah mengeluh
tentang Ayase-san menjadi adik perempuanku. Menyadari bahwa dia mendengar
pembicaraanku dengan kakek membuatku merasa bingung, tapi aku senang perasaan
tulusku tersampaikan padanya. Masih ada risiko kerabat kami mengetahui tentang
kami, dan orang tua kami bisa kembali kapan saja, dan terlepas dari bahaya ini,
Ayase-san mendekatiku dan mencari kontak fisik. Seiring dengan apa yang dia
katakan, bagaimana mungkin aku tidak merasakan apa-apa?
Ayase-san tidak mengatakan
apa-apa lagi setelah itu, dan dia dengan cepat kembali ke dalam futonnya
sendiri, tapi jantungku berdegup kencang sehingga kesulitan untuk tidur.
Terlepas dari bahaya kemungkinan terlihat, kami melakukan kontak fisik. Fakta
itu saja membuatku penasaran mengapa Ayase-san melakukan sesuatu yang sangat
berisiko. Hal itu sangat berbanding dari sifatnya untuk melakukan hal seperti
itu, tapi aku merasa senang bahwa kami bisa terikat dengan cara begitu.
Argumen yang dibuat Maru
tentang asumsi bawah sadarku diputar ulang di kepalaku. Jauh di lubuk hatiku…
apa jangan-jangan aku ingin secara terbuka melakukan skinship di hadapan orang
lain? Dan karena aku hanya merasa malu, itulah sebabnya aku tidak mau?
“Asamura, seseorang
memanggilmu, tuh.” kata-kata Maru membuatku mengangkat kepalaku.
Aku melihat seorang gadis
mengintip ke dalam ruang kelas kami di pintu. Ternyata teman baik Ayase-san
dari kelasnya, Narasaka Maaya-san. Dia melambaikan tangannya padaku, memberi
isyarat padaku untuk datang, jadi aku mengucapkan selamat tinggal pada Maru,
dan Ia pergi ke ruang klubnya.
“Narasaka-san? Apa ada
keperluan denganku?”
“Ayo ikut denganku dulu
sebentar.”
Dia menyeretku ke tangga bawah
dekat gudang penyimpanan di sudut lantai. Tak disangka-sangka, Ayase-san sudah
menunggu di sana.
“Maaya tidak mau diam tentang
memberikan ini padamu…”
“Memberi… apa untukku?”
Narasaka-san menoleh ke arahku
sambil tersenyum.
“Aku lebih suka adik
perempuanmu yang menggemaskan tidak cemburu padaku karena aku memberimu cokelat
secara diam-diam. Jadi ini dia!” Dia memberiku paket terbungkus yang dia
sembunyikan di belakang punggungnya dan mengulurkannya ke arahku sambil
menjelaskan dirinya sendiri.
“Ini hadiah Valentine-mu,
tolong diterima!”
“Dan ini dariku. Walaupun itu
tidak ada yang spesial, sih.” Ayase-san juga memberiku paket yang sudah dibungkus.
Dia tidak memberikannya padaku di rumah… tapi di sekolah? Maksudku, itu tidak terlalu mengejutkan, karena dia mungkin tidak bisa membantah Narasaka-san.
“Um... Makasih.”
Aku sedikit bimbang apa aku
harus membuka hadiah seperti ini saat itu juga, tapi ada kalanya melihat reaksiku
akan membuat mereka senang, jadi setidaknya aku memeriksanya terlebih dahulu.
“Boleh aku membukanya?”
"Tentu saja! Tidak ada
surat cinta atau apapun di dalamnya sih.” Narasaka-san berkata sambil
tersenyum, jadi dia mungkin mengatakan yang sebenarnya.
“Kalau begitu aku akan mulai
dengan milikmu,” aku merobek bungkus hadiah Valentine Narasaka-san,
memperlihatkan cokelat yang dibeli di toko.
Dan untuk benar-benar menghilangkan
kemungkinan kesalahpahaman, dia bahkan sampai repot-repot menulis “Wajib” di
sampulnya.
“Ini adalah contoh sempurna
dari cokelat wajib yang takkan menimbulkan kesalahpahaman!”
“Terima kasih. Hal itu membuat
menerima cokelat wajib ini jauh lebih mudah.”
“Bener banget, ‘kan? Aku luar
biasa!”
Setelah selesai membukanya, aku
beralih ke hadiah Ayase-san. Aku segera tahu kalau hadiahnya tidak dibeli dari
toko dan dia berusaha keras untuk membuat cokelatnya sendiri. Faktanya, ini
lebih mirip seperti cokelat truffle, jadi aku tidak yakin apa ini masih bisa
disebut cokelat. Dia bahkan menyebarkan apa yang tampak seperti serpihan hiasan
di luarnya.
“Kamu membuat ini hanya
untukku?”
“Wow! Saki, itu pasti memakan
waktu lama! Apa kamu juga membuat feuillantine itu sendiri?”
"Tentu saja tidak. Aku
membelinya dan menaburkannya di atas truffle.”
“Feu… Apa tadi itu?”
“Feuillantin. Itu yang ada di
cokelat bundar. Ada banyak nama dalam produk ini, tapi itulah yang biasa didapatkan
dengan memanggang krep mentah dan kemudian menggilingnya dengan hati-hati.”
“Begitu rupanya. Jadi seperti
krekers beras panggang tapi digiling jadi bubuk?”
“Y-Ya… Sesuatu seperti itu.
Meskipun menjelaskannya seperti itu hanya akan merusak keajaiban Valentine dan
mengubahnya menjadi seperti permen dari Tante tetangga sebelah yang baik, jadi
hentikan. Tapi kelihatannya bagus, kan?” Narasaka-san bertanya.
“Tunggu… jadi itu penyebab
kenapa lampu dapur menyala sampai larut malam?”
“Y-Yah, begitulah. Hanya
sebatas ini masih normal untuk sesama saudara, ‘kan?”
Ujar Ayase-san, tapi aku tidak
tahu apakah itu benar atau tidak. Sejujurnya, ini baru pertama kalinya aku
mendapatkan cokelat buatan sendiri, jadi aku tidak tahu emosi seperti apa yang
harus aku miliki saat ini. Dan menilai dari reaksi Narasaka-san, pasti butuh
waktu lama untuk membuatnya.
“Ini bukan perkara besar,
sungguh.” kata Ayase-san dan memalingkan wajahnya yang jelas-jelas tersipu.
Narasaka-san menyaksikan ini
dari samping dan kemudian berbisik padaku.
“Tidak buruk, Asamura-kun.
Mungkin kamu jauh lebih lihai daripada yang kuperkirakan?”
“Aku sama sekali tidak paham
apa yang kamu bicarakan.”
Mengapa menerima cokelat
sebagai hadiah membuatku menjadi semacam playboy? Aku tidak bisa mengikuti
proses pemikirannya sama sekali.
“Apa yang sedang kalian berdua
bicarakan?”
“Aku hanya mengatakan seberapa
pekerja kerasnya kamu, Saki. Nah, dengan kakak laki-laki seperti dirinya,
kurasa kamu akan berusaha keras!”
“Aku tidak melakukannya karena
itu Asamura-kun…”
“Heeeeee masaa? Yah, baiklah.
Bagaimanapun juga, misinya sudah tercapai. Kamu bebas pulang sekarang, Onii-san~”
“Ya, ya.”
“Sampai jumpa, Asamura-kun,”
kata Ayase-san dan memunggungiku, berjalan pergi.
Karena masih tertinggal,
Narasaka-san berlari kembali ke arahku.
“Jalan-jalan sekolah sebentar
lagi, ‘kan?”
Aku mengangguk sedikit,
meskipun aku tidak tahu persis apa yang akan dia katakan.
“Aku akan melakukan yang
terbaik agar kalian berdua bisa jalan-jalan bareng.”
“Hah? Bareng?”
“Kamu akan kesepian jika tidak
bisa bersama Saki, ‘kan?”
“T-Tidak juga kok, jangan
pedulikan aku.”
“Tidak perlu menahan diri
begitu! Ini perjalanan pertamamu dengan adik perempuanmu yang manis, kan?”
Sebenarnya, kami sudah melalui
itu ketika kami mengunjungi kampung halaman ayahku, tapi jika aku mengatakan
itu, aku mungkin mengisyaratkan apa pun yang terjadi antara diriku dan Ayase-san.
Walaupun ketika aku melihat Narasaka-san menyeringai seperti itu, hal itu
membuatku khawatir bahwa dia mungkin sudah menyadari bahwa sudah ada beberapa
bentuk perubahan dalam hubungan kami. Entah bagaimana aku berhasil menanggapi
dan memuaskan Narasaka-san, tapi setelah dia akhirnya pergi, aku bisa merasakan
diriku bercucuran keringat, menyadari betapa paniknya aku di dalam hati. Namun,
pada saat yang sama, aku tidak merasa terlalu terganggu dengan ledekan Narasaka-san.
Sebaliknya, itu membuatku bahagia… dan geli di dalam. Jadi… jika ini
benar-benar kebahagiaan, kenapa aku merasa perlu untuk menjaga jumlah skinship
dengan Ayase-san seminimal mungkin?
Aku mengambil sebutir cokelat
truffle dan memasukkannya ke dalam mulutku. Feuillantine
memberikan sensasi berkerak saat mengunyahnya, dan cokelatnya meleleh dan
memenuhi mulutku dengan rasa manis.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya