Bab 1 — 14 Februari (Minggu) Asamura Yuuta
Pagi hari yang cerah sudah
tiba. Atau lebih tepatnya, sekarang sudah menunjukkan pukul 8:07 pagi. Karena
sekarang adalah hari Minggu, aku bisa tidur lebih lama dari biasanya. Matahari
bersinar di dalam dari jendela menerangi keran di kamar mandi. Aku berusaha
sedikit menahan menguapku saat memutar tuas ke arah 'hangat' untuk menetralkan rasa dingin di kakiku yang telanjang dan
menghangatkan wajahku dengan air. Setelah itu, aku membuka pintu ruang tamu
dengan ucapan “Selamat pagi.”
“Pagi, Yuuta.”
“Selamat … huaaamm… pagi, Yuuta-kun.”
Ayahku dan Akiko-san sudah
hadir di sana. Adapun Akiko-san, dia tampak cukup mengantuk. Sepertinya mereka
sudah selesai sarapan dan ketika aku melihat ke arah meja makan, aku melihat ada
dua piring sarapan terbungkus plastik. Seperti biasa untuk menu akhir pekan
kami, isinya hanya terdiri dari ham, telur dengan salad dan sup miso. Menu
semacam ini biasanya ditemani dengan roti panggang, tetapi Ayahku benar-benar
sudah menjadi korban sup miso Akiko-san, yang menciptakan kombinasi aneh ini.
Tapi lagi-lagi, jika kamus sudah terbiasa, rasanya masih sama enaknya.
“…Hm? Di mana Ayase-san?”
“Dia masih tidur.”
“Mungkin dia belajar sampai
larut malam lagi…”
Kurasa aku harus menunggunya.
Makan sendirian takkan membuat rasanya jadi lebih enak.
“Aku tidak tahu kapan dia akan
bangun, jadi makan saja tanpa perlu menunggunya.”
“Yah ... Oke, akan aku
lakukan.”
“Aku akan memanaskan sup miso
untukmu.”
“Terima kasih,” jawabku sambil
memasukkan irisan roti ke dalam alat pemanggang.
Setelah itu, aku meletakkan ham
dan telur di dalam microwave untuk menghangatkannya dan melepas bungkusnya.
Setelah itu aku mengambil roti panggang dari pemanggang, dan duduk di meja. Tak
berselang lama kemudian, Akiko-san membawakanku sup miso yang sudah dihangatkan.
“Dia sedang tidur di ruang
tamu. Dengan earphone-nya yang masih terpasang juga. Dia bahkan tidak
mendengarku pulang.”
Aku mengunyah roti bakar seraya
mendengarkan Akiko-san mengenai kejadian tadi malam. Bahkan jika dia pulang
lebih awal dari pekerjaan bartendingnya, kita berbicara mengenai jam 3 pagi di
sini. Apa dia masih belajar sampai selarut itu? Menurut Akiko-san, dia memasang
earphone dengan teks bahasa Inggris di depannya. Aku mengerti bahwa kita akan
mengadakan jalan-jalan sekolahan, yang berarti dia tidak akan bisa belajar
sebanyak mungkin, tapi itu masih sangat menakjubkan.
Walaupun jarang-jarang sekali
Ayase-san tidur di ruang tamu seperti itu. Dia biasanya berhati-hati untuk
tidak menurunkan kewaspadaannya saat berada di rumah, tapi kurasa mungkin itu
berarti dia lebih percaya pada kita? Ayahku dan Akiko-san menikah kembali dan
mereka tinggal bersama kami kembali pada bulan Agustus. Jika dia benar-benar
mulai merasa seperti kami adalah keluarganya, maka aku akan merasa senang. Yah,
dia akan segera bangun, aku yakin itu.
“Selamat makan.”
Aku menuangkan sedikit kecap ke
atas ham dan telur, lalu meletakkannya di atas roti panggangku dengan sumpit.
Hal terpenting di sini adalah menjaga agar kuning telur tetap bersih dan berada
di tengah roti panggang. Hal tersebut membuat pengaturan yang sempurna. Aku pun
kemudian mencicipinya. Semakin dekat aku mengunyah ke pusat telur, semakin
banyak kuning telur yang aku dapatkan di setiap gigitanku, dan konsistensi
seperti sup bercampur dengan tekstur yang renyah, memenuhi mulutku dengan rasa
telur. Memakannya seperti ini tanpa menghilangkan kuning telur sebenarnya
adalah kenikmatan yang sesungguhnya dan—
“Cara makanmu benar-benar mirip
seperti Taichi-san, Yuuta-kun.”
“Pffft! Uhuk! Uhuk!”
“Ya ampun. Ini, cepat minum air
dulu.” Dia menyodorkan gelas berisi air kepadaku.
“Te-Terima kasih…”
"Sama-sama. Pastikan untuk
makan perlahan dan luangkan waktumu, ”Akiko-san tersenyum ketika dia duduk di
seberang meja, meletakkan telapak tangannya di pipinya. “Tapi sungguh, kalian
berdua terlihat mirip satu sama lain.”
“Be-Benarkah?”
Aku tidak pernah menyadarinya,
tapi kurasa itu masuk akal. Di tambah lagi, aku juga tidak pernah benar-benar
memperhatikan Ayahku saat dia makan. Dan ketika aku sedang merenungi hal itu,
Akiko-san tiba-tiba bertepuk tangan.
“Hari ini adalah Hari
Valentine, ‘kan?”
“Um ... ya?”
“Kalau begitu… Ini dia!”
Dia memberiku sebuah kotak yang
dibungkus. Aku penasaran tentang apa itu ketika aku melihatnya di kursinya di
meja makan ketika aku sedang sarapan. Setelah melihat lebih dekat, aku bisa
melihat ada pita melilitnya, yang menandakan bahwa itu adalah hadiah. Aku ragu
sejenak, tapi pada akhirnya aku berterima kasih padanya. Kurasa inilah baris pertahanan terakhir dari cokelat wajib — cokelat Ibu. Memikirkan hal kecil seperti itu
bisa membuatku sadar bahwa aku sebenarnya punya ibu sekarang. Dan ketika aku
menjadi emosional, aku mendengar suara Ayahku dari sofa.
“Kalau aku bagaimana…?”
Sepertinya Ia belum mendapatkan
hadiahnya. Tapi… itu semua hadiah yang aku lihat di atas meja. Sementara itu,
Akiko-san melihat kursi kosong ayahku, lalu menatapnya, dan hanya melontarkan “Hah?” sebagai tanggapan.
“Mustahillllll…” Ayahku
mendesah tak percaya, dan Akiko-san menjulurkan lidahnya.
“Te hee. Hanya bercanda, aku juga
punya sesuatu untukmu, Taichi-san. ”katanya dan membuka pintu kulkas.
Dia kemudian mengeluarkan kotak
persegi panjang putih dan menawarkannya kepadanya. Ayahku lalu meletakkan kotak
itu di pangkuannya dan membukanya, di dalamnya ternyata berisi kue berwarna
cokelat.
“Ini kue sifon cokelat.”
“Kamu membuatnya hanya
untukku?”
“Karena ini acara spesial, jadi
kita harus membuatnya mudah diingat, kan? Aku memastikan untuk menjaga kadar
gula seminimal mungkin sehingga kamu tidak perlu khawatir dengan perutmu saat
memakannya.”
“H-Haha… Astaga. Kamu tidak
harus mengatakan itu,” Ayahku menggerutu sambil menggaruk hidungnya dengan
malu-malu.
Sungguh, dia kebalikan dari ibu
kandungku. Ibu kandungku adalah tipe orang yang biasa disebut 'tidak berguna', selalu mengubah cara
dia bertindak hanya berdasarkan orang yang dia hadapi. Bagiku, ibu kandungku
adalah sebuah kegagalan, sedangkan Akiko-san adalah wanita yang pengertian.
Lagipula, menurutku Akiko-san juga tidak sengaja mengolesi kita. Aku pikir itu
hanya menunjukkan bagaimana hubungan manusia tidak berjalan berdasarkan hal
tersebut.
Meskipun dia berusaha keras
untuk membuat kue terutama untuk menyenangkan Ayahku. Dan itu adalah sesuatu
yang biasa dilakukan Ayase-san juga. Kurasa mereka berdua benar-benar ibu dan
anak.
“Aku akan membuat kopi lagi,
sekalian akan mengambil pisau, garpu, dan piring.”
“Aku akan menanganinya, jangan
khawatir.”
“Terima kasih, Taichi-san.”
“Seharusnya aku yang harus
bilang begitu. Selamat Hari Valentine, Akiko-san.”
“Ya. Selamat Hari Valentine.”
Mereka berdua saling bertukar
pandang, tatapan mereka tampak seperti meleleh seolah-olah itu adalah cokelat.
Pemandangan itu membuatku teringat ketika Maru memberitahuku bahwa aku
menganggap wajar bagi pasangan untuk saling menggoda di depan orang… dan aku
harus mengatakan, pemikiranku tentang itu benar. Setidaknya di depan keluarga
mereka, Ayahku dan Akiko-san tidak menahan diri. Sambil berusaha sebaik mungkin
untuk tidak melihat ke arah dapur, aku dengan tenang mengunyah sisa roti
panggangku.
◇◇◇◇
Jadwal les pagi hari di sekolah
bimbelku akhirnya berakhir, dan sudah saatnya menikmati istirahat makan siang.
Aku meninggalkan gedung sekolah bimbel dan berjalan menuju minimarket terdekat
untuk membeli makan siang. Saat memasuki pintu otomatis, aku diserang oleh
rentetan warna merah. Baik itu kiri dan kanan, atas dan bawah, semuanya adalah
cokelat Valentine. Di bagian atas adalah kolaborasi dari toko super terkenal,
yang dikagumi oleh gadis-gadis seusiaku. Selanjutnya, seseorang yang tampak
seperti pegawai kantoran membeli paket termurah yang masing-masing berisi 50
potong cokelat, mungkin untuk dibagikan di tempat kerjanya. Aku melewati
rak-rak dan masuk lebih dalam ke dalam toko, merasa bimbang dengan apa yang
harus aku makan. Karena aku ingin menghemat sebagian uang jajanku untuk
jalan-jalan sekolah minggu depan, aku mungkin tidak harus membeli banyak. Itu
artinya… Ini. Aku mengambil paket dengan satu onigiri asin dan menuju ke meja
kasir, berdiri mengantri di belakang seorang wanita jangkung.
“Ah, aku baru saja selesai,
jadi tolong lanjutkan… Oh, kebetulan sekali.”
Orang yang berbalik sebenarnya
adalah teman bimbelku yang sudah aku kenal dengan baik.
“Ah, Fujinami-san.”
“Bayangkan ini. Juga, maaf, aku
akan menyingkir sebentar.”
“Tidak apa-apa.”
Aku memindai kode QR dan
menyelesaikan pembayaran dengan smarphone-ku, tapi merasa ragu sejenak ketika hendak
memasukkannya ke dalam tasku. Fujinami-san melihat hal itu dan angkat bicara.
“Jika kamu ingin memakannya di
sekolah bimbel, aku bisa membawanya untukmu,” dia lalu membuka kantong plastik
belanjaannya.
Di dalamnya ada beberapa
sandwich, roti, serta minuman cafe au
lait.
“Erm… Terima kasih. Aku bisa
membawakan plastik itu jika kamu mau.”
“Satu onigiri saja tidak
seberat itu. Yah, jika itu membuatmu merasa lebih baik, maka aku akan menerima
tawaran itu.”
Aku menjatuhkan onigiriku ke
dalam tas dan menerimanya dari Fujinami-san. Kami kemudian meninggalkan
minimarket dan menuju area jajanan di sekolah bimbel. Sebenarnya tempatnya cukup
ramai karena banyak siswa lain yang menggunakannya juga. Kami melihat dua kursi
terbuka dan duduk bersebelahan, setelah aku mengeluarkan onigiri milikku, aku mengembalikan
kantong plastik itu ke Fujinami-san.
“Terima kasih.”
“Jangan pedulikan itu. Terima
kasih sudah membawakannya.” Fujinami-san mengeluarkan semua isi belajaannya
dari kantong plastik dan melipatnya, menggunakannya sebagai alas makan siang
saat dia meletakkan makanan dan kafe au lait di atasnya.
Dia pasti menyadari bahwa aku
sedang menatapnya saat dia menatapku.
“Ini cuma kebiasaan pribadiku. Aku
berencana untuk menggunakannya sebagai kantong sampah setelah aku selesai.”
“Tidak masalah. Maaf karena sudah
menatapmu.”
“Jangan khawatir. Mumpung kita
sedang membahas masalah rasa ingin tahu, aku punya pertanyaan. Tapi tidak
masalah jika kamu tidak mau menjawabnya. Alasan kenapa kamu tidak ingin memasukkan
nasi onigiri ke dalam tasmu sendiri…apakah Kamu tidak melakukannya karena tidak
ingin nasi itu bersentuhan dengan yang lainnya?”
“Ahh… Um, tidak juga. Mungkin
kedengarannya sulit untuk dipahami, tapi aku masih ada pekerjaan sambilang di
toko buku setelah ini.”
“Oke?”
Wajahnya pada dasarnya bertanya 'Lantas, apa hubungannya dengan itu?'
“Dan itu bisa menjadi sangat
menegangkan selama bekerja.”
“Ketika seorang pelanggan baru
saja melampiaskan stresnya kepadamu?”
“Ada pemasalahan itu. Tapi
bagiku, ini mengenai tindakan mengutil. Tidak peduli seberapa hati-hatinya kamu,
tidak peduli apa yang kamu lakukan untuk menghentikan mereka, pasti selalu ada saja
orang yang mencuri barang.”
“Bukannya memasang kamera
pengawas di dalam toko akan menyelesaikan masalah itu?”
“Fakta bahwa aku tidak mempercayai
pelanggan itulah yang menyebabkan stresku jadi semakin menumpuk. Biasanya,
mereka akan sangat penting untuk bisnis kami. Tapi saat kamu bekerja sambilan
di tempat seperti itu, kamu mulai belajar untuk meragukan orang lain.”
“Aku tidak pernah tahu hal itu
bisa terjadi.”
“Aku hanya diberitahu oleh
seniorku yang ada di tempat kerja, jadi aku tidak tahu apakah ini sudah menjadi
kejadian biasa atau tidak. Namun, dia memperingatiku untuk terus waspada dari
pelanggan yang masuk dengan tas besar, apalagi jika sudah dibuka.”
“Misalnya saja seperti tas
olahraga?” Fujinami-san melihat tas di kakiku.
“Betul. Jika kamu membawa
kantong plastik seperti yang kamu dapatkan setelah pembelian, Kamu dapat
mengetahui apa yang ada di dalamnya, dan itu berubah bentuk.”
Dibandingkan dengan itu,
sesuatu seperti tas Boston jauh lebih kokoh, memungkinkan seseorang untuk
mengutil satu atau dua buku dan takkan ada yang bisa mengetahuinya. Dan begitu
mereka menutup ritsleting tasnya, sama sekali tidak mungkin untuk menyadarinya.
Itu sebabnya pelanggan seperti itu harus menjadi fokus utama para karyawan
ketika mereka masuk. Tetapi gagasan untuk meragukan orang lain seperti ini
dapat sangat membebanimu, dan merusak kesehatan mentalmu.
“Ah, begitu rupanya. Jadi meski
kamu sudah membayarnya, pihak karyawan takkan benar-benar tahu apa kamu beneran
membayarnya atau tidak. Dan bahkan jika kamu tidak melakukan kejahatan apa pun,
mau tak mau kamu jadi merasa perhatian dengan cara orang lain memandangmu.”
Aku mengangguk untuk menegaskan
perkataannya.
“Aku membangun ketahanan alami
untuk memasukkan barang ke dalam tasku. Tapi aku juga merasa tidak enak membawa
satu onigiri ke depan mesin kasir.”
Tapi aku tidak pernah menyangka
kalau dia akan melihat keraguan sesaatku dengan mudah. Jika bukan karena
tawarannya, aku mungkin akan memegang tanda terima dengan onigiri di tangan
saat meninggalkan toko.
“Kurasa itu masuk akal. Tapi di
sisi lain, aku merasa terkejut melihat porsi segitu sudah cukup untuk makan
siangmu. Apa kamu tipe yang tidak makan banyak?”
“Sebenarnya, sekolahku ada
acara jalan-jalan minggu depan, jadi aku ingin menghemat uang.”
“Jalan-jalan sekolah… selama
musim dingin ini?”
“Yah, aku tidak tahu. Tapi
setidaknya sekolahku melakukannya setiap tahun.”
Sekali lagi, aku tidak tahu
apakah ini umum atau tidak. Tapi aku pikir biasanya ada acara jalan-jalan
sekolah selama musim panas pertamamu ketika kamu menginjak kelas 3 SMP. Karena
SMA Suisei seharusnya menjadi sekolah persiapan, kemungkinan besar mereka tidak
ingin mengadakannya untuk anak kelas 3 supaya mereka dapat fokus pada ujian
mereka.
“Memangnya tujuannya ke mana?
Kyoto atau di sekitaran sana?”
“Singapura.”
“Luar negeri? Mengejutkan,
”gumamnya dengan suara yang terkesan, tapi menurutku tidak aneh bagi sekolah
seperti kami untuk memilih lokasi di luar negeri. “Aku ... sedikit iri.”
Sepertinya sekolahnya tidak
mengadakan jalan-jalan sekolah seperti itu.
“Yah, bahkan jika sekolahku bisa
mengadakannya, aku tidak terlalu yakin untuk berpartisipasi atau tidak. Ditambah
lagi, uang itu lebih baik dihemat untuk biaya sekolah.”
Aku bukan orang yang tidak terlalu
peka untuk mengatakan beberapa kata simpati padanya. Aku berani bertaruh bahwa
dia takkan senang bahkan jika aku mencoba mengatakan sesuatu tentang itu. Dalam
aspek itu, dia mungkin sangat mirip dengan Ayase-san.
“Oleh karena itu, begitu aku
mampu secara finansial di universitas, aku akan sering bepergian ke luar
negeri. Pergi ke sana-sini, dan bertemu dengan berbagai macam orang.”
“Aku yakin rasanya akan
menyenangkan jika kamu bisa berkomunikasi dengan mereka.”
“Aku cukup bagus dalam hal
bahasa Inggris, jadi aku harus bisa bertahan. Apa kamu pandai bahasa asing,
Asamura-kun?”
“Kurasa aku tidak bisa
menangani percakapan bahasa Inggris dengan baik.”
“Benarkah? Tidak kusangka.
Nilaimu cukup bagus, bukan?”
Hanya karena aku telah
mempraktekkan bahasa Inggris komunikatif untuk ujian, bukannya berarti aku bisa
langsung lancar melakukan keterampilan berbicara yang sebenarnya. Aku juga
tidak melakukan latihan mendengarkan secara teratur. Omong-omong, aku tiba-tiba
teringat bahwa Ayase-san tertidur larut malam karena dia sedang belajar bahasa
Inggris tadi malam.
“Apa kamu bisa berbahasa
Inggris dengan baik, Fujinami-san?”
“Sedikit, ya.”
“Itu luar biasa.”
“Itu semua berkat lingkungan hidupku,
jadi itu tidak seindah yang kamu bayangkan.”
Menurut apa yang dia ceritakan
sebelumnya, dia tinggal bersama orang tua angkatnya yang dia panggil Bibi. Dan
dari suaranya, salah satu orang yang dia jaga berasal dari Asia Selatan,
seseorang yang berbicara bahasa Inggris dengan cukup baik dan sering, dan orang
ini memiliki restoran yang sering dikunjungi Fujinami-san.
“Awalnya, aku tidak tahu apa
yang mereka katakan. Tapi saat mencoba untuk berbicara dengan mereka, aku
memperoleh keterampilan itu secara alami.”
“Kamu belajar dari apa yang ada
di sekitarmu tanpa kamu sadari, ya?”
“Aku pikir itu hanya
membiasakan diri, bukan hanya belajar. Saat melakukan perjalanan ke luar
negeri, ada hal-hal yang tidak dapat kamu alami tanpa berbicara bahasa tersebut.
Meskipun begitulah caraku melihat sesuatu. Yah, bahkan jika kamu berhasil
melakukan percakapan, bisa menyampaikan pikiran dan perasaanmu merupakan dua
hal yang sama sekali berbeda, dan beberapa hal mudah hilang jika kamu terlalu
terpaku pada percakapan saja.”
“Contohnya?”
“Misalnya saja kamu sampai lupa
waktu,” kata Fujinami-san. Dia memasukkan sampahnya ke dalam kantong plastik
dan mengikatnya hingga tertutup.
Baru kemudian aku menyadari
bahwa hampir tidak ada orang yang tersisa di tempat istirahat. Ketika aku
memeriksa waktu, aku mulai panik. Aku hampir tidak punya dua menit tersisa sampai
jadwal les sore dimulai.
“Masuk akal.”
“Ki-Kita harus bergegas. Aku
lebih suka tidak menyia-nyiakan biaya bimbel dengan membolos kelas.”
Kami bergegas menyusuri lorong
sambil berpikir bahwa masih banyak hal yang bisa dipelajari dari percakapan
seperti ini.
◇◇◇◇
Jadwal les di sekolah bimbel berakhir
untuk hari itu, dan matahari sudah terbenam saat aku meninggalkan gedung. Aku
mengenakan penghangat leher yang kuterima dari Ayase-san dan mengayuh sepedaku
menuju toko buku dekat stasiun kereta Shibuya. Hembusan angin menerpa pipiku
sangat dingin sampai-sampai hanya dengan berkedip membuatku hampir menangis. Aku
bahkan tidak ingin membayangkan betapa dinginnya setelah shiftku dimulai.
Mungkin aku harus berhenti membawa sepeda ke tempat kerja setidaknya selama
hari-hari yang dingin ini.
Aku menyimpan sepedaku di area
parkir biasa dan memasuki gedung yang diberkati dengan pemanas interior, yang mana
membuat desahan keluar dari bibirku. Setelah itu, aku menuju ke dalam area
karyawan toko buku. Setelah aku selesai mengganti seragam, aku melangkah keluar
ke area penjualan untuk berjalan-jalan dan melihat bagaimana tampilan rak dan
meja.
“Oh, Kouhai-kun!”
Seniorku di tempat kerja,
Yomiuri Shiori—Yomiuri-senpai memanggilku. Karena dia belum berganti seragam,
dia mungkin baru saja tiba di sini.
“Selamat malam—Tidak, selamat
pagi, bukan?”
“Kenapa kamu mengucapkan
selamat pagi padaku sesore ini?”
“Bukannya kamu sudah
memberitahuku sebelumnya bahwa industri meminta salam seperti itu?”
“… Ya, aku memang mengatakan
itu. Kamu ini memang rajin sekali ya, Phelps-kun.”
“… Dan siapa itu?”
Mengetahui kepribadian
Yomiuri-senpai, itu mungkin beberapa karakter dari novel, tapi aku benar-benar
berharap dia takkan membuat referensi acak bahkan tanpa memeriksa apakah aku
tahu apa yang dia rujuk. (TN: karakter Phelps mungkin dari salah satu cerita pendek
Sir Arthur Conan Doyle yang berjudul The Adventure of the Naval Treaty.)
“Siapa ya? Kenangan itu telah
dihapus secara otomatis.”
“Aku tidak berpikir kamu harus
melakukan itu.”
Dengan kata lain, dia bahkan
tidak mau repot-repot untuk mengingatnya.
“Heh heh heh… Oh? Di mana adik
perempuanmu?”
“Shift kerjanya baru saja
berakhir.”
Ayase-san bekerja dari jam 10
pagi sampai jam 6 sore hari ini, dan aku di sini untuk melanjutkan setelah
shiftnya. Aku pikir dia akan selesai berganti seragam sebentar lagi. Karena dia
akan menggunakan sebagian dari uang yang dia tabung untuk jalan-jalan sekolah,
dia mengambil shift yang cukup lama di akhir pekan selama paruh kedua bulan
Januari. Karena alasan itu, dia juga menyelesaikan pekerjaan lebih awal dari
biasanya. Dan itu membuat kami bekerja lebih sedikit pada shift yang sama. Aku
menjelaskan semua ini kepada Yomiuri-senpai saat kami berjalan menuju kantor.
“Oho, jalan-jalan sekolah, ya?
Kedengarannya bagus, tuh. Aku jadi iri.”
“Itulah sebabnya Ayase-san dan
aku tidak ada shift minggu depan.”
“Itu kekurangan tenaga kerja
yang menyakitkan yang harus kami kompensasi. Namun, bulan Februari biasanya
cukup santai. Tapi kedengarannya bagus. Aku di sini mengkhawatirkan pekerjaan,
sedangkan kamu asik-asikkan bermain. Rasanya tidak adil!”
“Mau bagaimana lagi. Tetap
saja, bahkan Senpai pun mengkhawatirkan tentang pekerjaan di masa depanmu, ya?”
“Apa maksudmu?”
“Kamu sepertinya tipe orang
yang bisa memisahkan antara pekerjaan dan hobi, jadi kupikir kamu akan
baik-baik saja di mana saja.”
“Yah, duh. Aku bisa terus membaca
terlepas dari apa pun pekerjaanku.”
Bingo.
“Meski begitu, aku butuh
pekerjaan yang gajinya cukup untuk mendanai kecanduan bukuku. Sebatas itu aku
sudah tahu, jadi… Kouhai-kun, menurutmu pekerjaan seperti apa yang cocok
untukku?” Dia mengatakan ini sambil menunjuk ke hidungnya.
“Mengingat kemampuan Senpai,
aku pikir kamu akan berhasil dalam apa pun yang kamu lakukan.”
“Kamu tidak mendapatkan apapun
dariku dengan pujian kosong begitu, tahu?”
"Kalau begitu, apa kamu
punya preferensi?”
“Hm… Entah bekerja di toko
buku, pindah ke penerbit, mungkin menjadi streamer
atau selebriti. Pekerjaan apa saja asalkan bisa mendapat uang cepat,
sungguh.”
Pada awalnya kedengarannya
sangat serius, tapi di akhir …
“Kupikir kamu bisa melakukan
semua itu,” kataku jujur.
Dia cukup cantik untuk
mendapatkan pengakuan secara teratur, dan dia adalah siswa berbakat yang akan
lulus dari Universitas Wanita Tsukinomiya. Bahkan bagian tentang menjadi
selebritas terdengar bisa dilakukan saat membicarakannya.
“Melakukan semua itu… ya?” Dia
menghela nafas dengan nada yang agak dalam. "Baiklah. Aku akan
meninggalkan kekhawatiran untuk nanti. Tetap saja, tanpa adik perempuanmu,
hanya aku dan kamu yang menjaga mesin kasir hari ini. Kemudian lagi…”
Yomiuri-senpai melihat sekeliling di dalam toko. “Saat ini, sepertinya kita
mungkin akan bosan untuk sebagian besar dari itu.”
“Ya.”
Walaupun sekarang hari Minggu,
toko buku kami tidak terlalu ramai. Februari di Jepang adalah periode ketika
musim dan perubahan lingkungannya paling parah. Dengan cuaca yang membekukan,
begitu pula permintaan, karena barang yang dijual biasanya lebih sedikit.
Industri buku tidak terkecuali untuk itu, dan sebagian besar buku mengalami
penurunan penjualan yang parah selain majalah manga dan karya super populer,
serta rilis terbaru penulis. Hal yang sama berlaku untuk kutu buku, karena
selain orang gila yang membaca pada hari ujian, kamu biasanya menunda waktu
membacamu.
“Ngomong-ngomong, mari kita
selesaikan hari ini, Kouhai-kun,” Yomiuri-senpai melambaikan tangannya padaku
saat menghilang ke ruang ganti.
Sedangkan diriku, aku pergi ke ruangan
kantor dan menyapa Pak Manajer. Jika ada sesuatu yang perlu beliau lakukan
sekarang, Ia biasanya bertanya padaku. Dan seperti yang diharapkan, Ia ingin aku
membantu membawa pengembalian ketika aku menemukan waktu sambil mengurus mesin
kasir. Semua pengiriman dan penjemputan dari grosir berhenti selama akhir pekan.
Pengembalian dan pengiriman biasanya terjadi bersamaan, dan kami penuh dengan
kotak kardus dengan pengembalian.
Sederhananya, banyak pekerjaan
fisik akan menantiku. Aku menyetujui permintaannya dan kemudian berjalan keluar
ke area toko. Tidak sampai satu jam kemudian, toko itu hampir benar-benar
kosong dan tidak ada siswa dan pegawai, yang mana hal itu membuat kami bosan.
Tumpukan barang pengembalian yang menggunung juga sudah diurus, dan bahkan jika
kami berdiri di kasir, kami menunggu pelanggan datang. Melihat waktu, aku masih
punya satu jam lagi. Pada akhirnya, Yomiuri-senpai dan aku hanya berdiri saja.
“Aku sangat bosan!”
“Rasanya waktu berjalan lambat,
ya."
“Hei, Kouhai-kun? Tujuan
jalan-jalan sekolahmu akan pergi kemana?”
Aku memberitahunya hal yang
sama seperti yang telah kujelaskan pada Fujinami-san sebelumnya. Bahwa kita
akan pergi ke Singapura, dan aku menabung uang untuk itu. Terlepas dari
kenyataan bahwa berbicara dengan penduduk setempat mungkin akan menyenangkan, tapi
aku tidak percaya diri dengan keterampilan percakapanku. Tak perlu dikatakan,
kami berbicara dengan suara pelan dan membantu setiap pelanggan sesuai
kebutuhan. Meski begitu, percakapan seperti ini sudah bisa diduga karena kami
tidak punya hal lain untuk dilakukan.
“Jalan-jalan dan Valentine…
Baunya seperti masa muda, ya?”
“Dari mana topik Valentine itu
berasal?”
“Shibuya penuh dengan pasangan,
jadi kupikir pergantian itu sudah cukup.”
“Begitu banyak prasangka…”
“Apa kamu mendapatkan cokelat,
Kouhai-kun?”
“Hah? Ah, tidak, yah. Hanya
dari keluargaku, itu saja.”
Ayase-san dan Akiko-san adalah
keluargaku, jadi mereka tidak terlalu diperhitungkan, dan Narasaka-san
menekankan fakta bahwa miliknya adalah cokelat wajib. Sekarang aku
memikirkannya, Fujinami-san bahkan tidak mengungkit percakapan Valentine, tapi
itu mungkin caranya menjaga jarak yang nyaman. Pokoknya, aku tidak ingin
Yomiuri-senpai meledekku seperti biasa, jadi aku membuat semuanya menjadi
ambigu.
Akhirnya, jadwal shiftku
berakhir dan aku kembali ke ruangan kantor. Yomiuri-senpai istirahat di waktu
yang sama, saat dia datang dari ruang ganti dengan tas kecil. Dia mengeluarkan
kotak merah kecil dan menyerahkannya kepada manajer.
“Pak manajer, ini cokelat
kewajiban anda.”
“Oh, terima kasih banyak,
Yomiuri-kun.”
Kewajiban? Bukannya wajib saja?
Aku memiringkan kepalaku dengan bingung, dan Yomiuri-senpai mendekatiku,
memberiku kotak merah kecil juga.
“Ini, cokelat wajib.”
Itu adalah cokelat yang sama
yang dia berikan kepada manajer, membuatku sedikit bingung.
“Memangnya ada perbedaan antara kewajiban dan cokelat wajib?"
“Perasaan yang terkandung di
dalamnya?”
“Mengapa itu terdengar seperti
pertanyaan?”
“Maksudku, jenis perasaan yang
dikemas ke dalam cokelat itu berbeda!”
Bagaimana itu masuk akal? Memangnya
ada sesuatu di dalam kemasan tersebut?
“Kasih sayang?”
“Sekali lagi, pertanyaan lain…”
“Kamu menulisnya dengan kanji
untuk 'Wajib' tetapi membacanya
dengan 'Cinta'.”
“Kupikir keduanya tidak
berkaitan satu sama lain.”
“Aku hanya berusaha mengatasi
stres di tempat kerja dengan menjadi senior yang baik dan mendukung kohai-ku.”
“Itu namanya tahap awal
pelecehan kekuasaan, tahu? Juga, jangan gunakan kouhai-mu untuk menghilangkan
stres.”
“Tapi aku juga ingin pergi ke
luar negeri! Hiks, hiks. Hei,
Junior-kun… Maukah kau mempekerjakanku sebagai pemandu selama acara jalan-jalan
sekolahmu?”
“Jika kamu begitu percaya diri
dengan kemampuan bahasamu, Kamu mungkin harus melamar ke perusahaan resmi untuk
hal semacam itu.”
“Setidaknya aku tidak cukup
baik untuk menyebut diriku mahir. Dan fakultasku juga tidak memiliki banyak
orang yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Meskipun mereka setidaknya bisa
bekerja melalui teks, sih.”
“Betulkah?”
“Kebanyakan disertasi dan esai
modern ditulis dalam bahasa Inggris, ya. Jadi kita harus membuat abstrak—pada
dasarnya ringkasan singkat dari makalah. Gampangnya, ketika mencari makalah dan
sebagainya, kami memeriksa semua abstrak untuk mencari satu atau dua hal yang dapat
berguna untuk argumen kami.”
“Begitu … ya?”
“Dan abstrak itu biasanya dalam
bahasa Inggris juga. Kamu akhirnya akan membaca banyak abstrak bahasa Inggris
dan kemudian membaca makalah yang lebih panjang, juga dalam bahasa Inggris. Itu
sebabnya—”
Terus terang saja, semua
pembicaraan abstrak dan abstrak ini membuat kepalaku pening.
“Ada banyak mahasiswa yang
dapat membaca makalah normal dan teks yang lebih panjang dengan baik. Selain
itu, mereka yang bersekolah di sekolah pascasarjana biasanya dapat melakukan
percakapan sehari-hari dengan baik. Tetapi kebanyakan mahasiswa biasanya tidak
mencapai level itu. Kudou-sensei setidaknya bisa berbicara sepanjang hari dalam
bahasa Inggris. Dia tahu kita semua tidak tahan dan mencoba membuat seminar
hanya dalam bahasa Inggris. Terakhir kali, dia menyeringai pada dirinya sendiri
ketika dia berbicara tentang membuat ujian yang diatur penuh dengan bacaan dan
pertanyaan yang sepenuhnya dalam bahasa Inggris… ”
Perguruan tinggi kedengarannya
tempat yang cukup menyulitkan. Atau mungkin profesor itu baru saja lepas
kendali. Aku tidak tahu. Aku merasa simpati padanya ketika aku meminta beberapa
trik ketika berbicara bahasa Inggris.
“Itu pertanyaan, oke. Yah, kurasa
pada akhirnya latihan menjadi sempurna.”
Dia pada dasarnya mengatakan
hal yang sama dengan Fujinami-san.
“Perusahaan kelas atas milik
asing biasanya ujian tertulisnya seluruhnya dalam bahasa Inggris. Baik membaca
maupun menjawab, itu!”
“Benarkah?”
“Itulah sebabnya aku pikir
sebaiknya kamu perlu mempelajari beberapa bahasa. Dan jika kamu dapat membaca
bahasa asing, Kamu dapat mengerjakan berbagai buku dan teks yang ingin kamu
baca sebelum diterjemahkan. Kamu dapat membaca semua novel fiksi ilmiah keren
sebelum Hollywood mengubahnya menjadi film!”
“Ohh!”
“Dan jika Kamu dapat melakukan
percakapan yang layak…”
“Jika aku bisa melakukan itu…?”
“Kamu dapat menikmati film
secara real-time dengan semua tampilan lain di seluruh dunia!”
“Oooh!”
“Dan itu bahkan akan membantumu
dalam pekerjaanmu! Yah… mungkin?”
"O-Ohh...?”
Bagian terakhir itu tidak
meyakinkan seperti yang seharusnya. Tapi bagaimanapun juga, aku dengan penuh
syukur menerima nasihatnya dan mendengarkan sampai dia kembali bekerja. Aku
kemudian meninggalkan toko buku dan menuju rumah.
◇◇◇◇
Setelah sampai di area
apartemenku, aku menyimpan sepedaku dan kemudian masuk ke dalam gedung
apartemen. Karena ini hari Minggu malam, tidak ada alasan khusus bagiku untuk
melakukannya, tapi karena kebiasaan, aku memeriksa apakah kami mendapat surat.
Karena dirasa kosong, aku tidak membuang banyak waktu dan naik lift ke
apartemenku. Sambil mengumumkan kepulanganku dengan suara pelan, aku membuka
pintu.
“Selamat datang kembali.”
“Hah? Ayase-san, kamu belajar
di sini?”
Aku disambut oleh Ayase-san,
yang sedang duduk di ruang tamu mengerjakan beberapa teks bahasa Inggris.
“Kamu pernah menyebutkan bahwa
perubahan lokasi bisa menjadi perubahan suasana yang bagus, kan? Aku merasa
sedikit tidak nyaman, jadi aku memutuskan untuk belajar di sini.”
“Aku senang bisa memberimu
beberapa saran. Tapi pertama-tama aku pulang.”
“Ya.” Ayase-san melepas
earphonenya. “Apa kamu ingin makan malam?”
Akhirnya aku mengangguk dan
berterima kasih padanya. Seperti biasa, ayahku sedang tidur, dan Akiko-san
sedang bekerja. Ketika aku meletakkan tas olahragaku di kamar, aku baru teringat
sesuatu. Aku mengeluarkan cokelat wajib yang kuterima dari Yomiuri-senpai dan meletakkannya
di dalam kulkas. Mungkin masih musim dingin, tapi membiarkannya di dalam
ruangan yang panas terlalu lama akan membuatnya meleleh.
“Itu…” gumam Ayase-san sambil
melihat tanganku.
“Ah, ya. Aku mendapatkan ini
dari Yomiuri-senpai. Ini cokelat wajib, ”jawabku dan menunjukkan kotak itu
padanya.
“Ah.”
“Hm?”
“Tidak, tidak apa-apa. Aku
hanya terkesan bahwa seorang mahasiswa seperti dia mampu membeli cokelat
bermerek… Ini cokelat wajib, bukan?”
“Paling tidak, itu bukan
cokelat kewajiban.”
“Hah?”
“Itu hanya candaan Yomiuri
lainnya jika kau bertanya padaku.”
Ayase-san tampak sama
bingungnya denganku, tapi aku tidak percaya diri untuk menjelaskan apa
sebenarnya yang dipikirkan Yomiuri-senpai secara reguler. Namun, jika
menyangkut dirinya, dia rupanya mencampurkan jawaban teka-teki rumit dengan
lelucon yang sama sulitnya, jadi agak sia-sia. Yah pokoknya, aku meletakkan tas
olahraga di kamarku dan kembali ke meja makan.
“Sebentar lagi hampir selesai.
Aku hanya perlu menghangatkannya sedikit.”
“Jangan khawatir.” Ayase-san
sedang sibuk menghangatkan sisa rebusan putih dari sore hari. Aku menyiapkan
peralatan makan, serta nasi dalam mangkuk kecil.
Dengan pengaturan waktu yang
tepat, Ayase-san meletakkan hidangan utama hari ini saat aku duduk dengan
semangkuk nasi di tangan.
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Beri aku waktu
sebentar, masih ada satu hal lagi.”
“Hm?” Aku melihat makanan di
depanku.
Ada sayuran dan ayam dari semur
putih hari ini, dengan nasi dan rumput laut rebus. Sejujurnya, itu sudah lebih
dari cukup untuk makan malam seperti ini. Tapi tak disangka-sangka, sebuah botol
kecil diletakkan di depanku.
"...Shichimi?” (TN: Campuran bumbu umum Jepang yang mengandung
tujuh bahan.)
“Ya. Dengan begini sudah
sempurna.”
“…Hah?”
Sekarang aku bahkan lebih
bingung. Aku bagian dari faksi kecap, jadi yang aku butuhkan hanyalah kecap
untuk memberikan rasa ekstra pada rumput lautku.
“Makanan penutupnya pasti
manis, jadi kupikir sedikit bumbu akan tercampur lebih baik.”
“Kupikir ... itu cukup bagus?”
“Kamu bisa menggunakannya
sesuai keinginanmu. Ngomong-ngomong, aku akan kembali belajar, ”katanya dan
berbalik ke arahku, dia lalu mengambil barang-barangnya, dan kembali ke
kamarnya.
Hal tersebut membuatku mulai
berpikir. Mungkin shichimi cocok dengan rebusan putih dengan sangat baik? Aku
mencoba mencicipinya dengan antisipasi itu, tetapi itu tidak membuatnya lebih
enak. Pada akhirnya, hari itu berakhir tanpa aku memahami mengenai apa semua
itu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya