Bab 14 — Pertemuan Dengan Masa Lalu
“Hari ini kalian berdua keluar,
iya ‘kan?”
Pada pagi hari ketika mereka
berempat duduk bersama untuk menyantap sarapan, Shihoko bertanya seolah-olah
baru mengingatnya.
Melihat senyum yang terpampang di wajah Ibu dan Ayahnya membuat Amane
mengerti bahwa memberitahu rencanya kepada mereka merupakan sebuah kesalahan.
Mereka hanya menyebutkan, “Pasti rasanya membosankan berdiam diri di
rumah melulu,” dan tidak menggodanya.
“Yah, kita tidak berencana
pergi ke suatu tempat, hanya berjalan-jalan di sekitar lingkungan terdekat
saja.”
“Aku belum pernah melihat-lihat
daerah sini, jadi aku sangat menantikannya.”
Selama tiga hari terakhir,
selain berbelanja dengan Shuuto pada hari pertama, Mahiru selalu berada di
rumah. Selain karena alasan orang tua Amane yang menghiburnya, tapi juga tidak
mudah baginya untuk berjalan di sekitar daerah yang tidak dikenal.
Amane mengira kalau orang
tuanya akan membawa Mahiru jalan-jalan keluar, tetapi mereka malah
santai-santai saha di rumah. Ia merasa bahwa setidaknya dirinya harus memandu
Mahiru untuk melihat daerah sekitar rumahnya.
“Di sekitar sini hanya ada
beberapa taman dan supermarket saja. Mungkin akan lebih berbeda jika
mengunjungi kota, apa kamu ingin melihat-lihat di sana?”
“Tidak perlu, aku hanya ingin berjalan-jalan
bersama Amane-kun. Selama kita berjalan bersama, itu saja sudah membuatku
sangat senang.”
“… Begitukah?”
Amane sudah tahu bahwa Mahiru
tidak terlalu bersemangat untuk berkeliling daerah setempat. Dia hanya berharap
untuk pergi keluar dan menghabiskan waktu bersama Amane, yang mana mana
kenyataan itu menghangatkan hatinya.
Hanya melihat dari ekspresinya saja
Amane sudah tahu bahwa Mahiru hanya ingin bersamanya. Amane mengalihkan
pandangannya ke bawah dengan pipi yang merah merona karena menanggung rasa malu.
“Bagaimana bilangnya ya, mereka
berdua sepertinya sudah lebih dari sekadar orang pacaran, bukan?”
“Mereka berdua terlihat persis seperti
kita saat masih muda dulu.”
“Tidak, waktu itu Shihoko-san
tidak setenang Shiina-san, loh?”
“Ara, nyindir nih.”
“Meskipun Shihoko-san yang
begitu masih terlihat sangat manis.”
“Duhh~”
Melihat ekspresi malu-malu
Ibunya dan Ayahnya yang secara alami memujinya, Amane dengan cepat mengabaikan
mereka seraya berpikir 'Mereka lagi-lagi melakukannya,'
dan mulai makan telur dadar buatan ibunya.
Teladar telur dadarnya masih
seenak biasanya, tapi Amane merasa kalau hidangan buatan Mahiru jauh lebih baik. Alasan
terbesarnya karena itu dibuat oleh Mahiru, bukan karena masakan ibunya tidak
enak. Amane benar-benar tidak bisa lepas dari masakan Mahiru dan akhirnya
menemukan kesalahan dengan hidangan Shihoko sebagai hasilnya.
Amane menatapnya sambil
berpikir tentang meminta Mahiru untuk membantu membuat sarapan di lain waktu,
dan mendapati Mahiru memandangi orang tuanya dengan kerinduan, iri hati, dan
jejak rasa malu di balik pandangan matanya.
Amane kurang lebih memahami apa
yang dia pikirkan, dan menjadi sedikit malu.
(...
Aku benar-benar belum bisa melakukan hal itu dulu)
Walaupun dirinya berpikir
begitu, tapi dalam kenyataannya, Amane juga ingin mewujudkan jenis keintiman
yang digambarkan dalam hati Mahiru. Meski begitu, Ia masih belum bisa
mengatakannya dengan keras kepada Mahiru sendiri dulu.
Sekali lagi, Amane diam-diam
dibuat tersipu ketika menatap kemesraan orang tuanya dan membayangkan hari
istimewa tertentu di masa depan.
◇◇◇◇
“Kalau begitu, ayo pergi.”
Beberapa saat setelah orang tuanya
pergi bekerja, Amane memberitahu begitu kepada Mahiru yang sedang duduk di
sofa.
Walau waktunya masih pagi, Amane
tidak berencana untuk membawanya terlalu jauh dan hanya berjalan-jalan santai seperti
yang mereka sukai, jadi itu bukan masalah bahwa itu hampir siang hari. Mahiru
berencana untuk memasak pasta dengan bacon dan saus telur saat makan siang
nanti, jadi mereka takkan keluar terlalu lama.
“Ya, aku sudah siap untuk
keluar.”
“Kita tidak perlu membawa apa
pun untuk berjalan -jalan ... lain kali kita akan mengunjungi pusat kota.”
“… Apa ini ke-kencan?”
“Memang. Hari ini cuma
bersantai-santai saja dulu.”
Rencana kencan yang terlalu
mendadak akan merepotkan bagi wanita untuk melakukan persiapan, jadi Amane bena
-benar hanya ingin menikmati waktu santai mereka hari ini. Ketika memikirkan
definisi 'kencan', jalan-jalan santai
ini saja sudah termasuk kencan, tapi masih ada perbedaan dalam seberapa serius
mereka mempersiapkan diri untuk dua acara yang berbeda.
Sekarang setelah memiliki
kesempatan, Amane ingin menghabiskan sepanjang hari bersamanya, tapi berjalan
-jalan di luar untuk hari ini saja sudah cukup membuatnya puas.
Mahiru juga terlihat sangat
senang tentang kencan mereka berikutnya, wajahnya tampak berseri-seri dengan
senyum manis.
“Aku menantikan kencannya
nanti.”
“Tentu. Aku akan melakukan
rencana kencan kita nanti, jadi kamu bisa menantikannya.”
“Aku takkan keberatan pergi ke
mana saja asalkan bersama denganmu, Amane-kun.”
“Aku tahu, tapi mumpung kita ada
di sini, lebih baik memilih beberapa tempat dimana kita bisa bersenang
-senang.”
Mahiru sendiri sudah mengatakan
dengan jelas kalau dirinya sudah merasa puas hanya berada di sampingnya, dan
ini terbukti dari ekspresinya. Namun demikian, Amane berharap membuatnya benar-benar
bahagia sebagai pacarnya.
“Ngomong -ngomong, itu buat minggu
depan. Mari kita berjalan-jalan saja dulu sekarang.”
“Iya.”
Setelah Amane mengulurkan
tangannya, Mahiru secara alami menanggapinya.
Responnya yang terlalu alami
membuat Amane sedikit malu, dan Ia dengan ringan tersenyum untuk
menyembunyikannya sebelum berjalan bergandengan tangan bersama Mahiru.
Meskipun Amane belum mudik selama
setahun, dirinya tidak melihat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Amane
merasa nostalgia ketika mereka berjalan di sepanjang jalanan yang akrab.
Mereka berdua berpegangan
tangan sambil menyusuri jalanan. Setiap kali ada wanita yang kebetulan lewat,
mereka akan melirik Mahiru dengan iri. Amane menganggap kalau itu lumayan lucu,
jadi Ia tertawa.
Reaksi mereka itu membuktikan
betapa cantiknya Mahiru, yang mana itu merupakan hal yang baik, tapi karena dia
menarik begitu banyak tatapan jadi Amane merasa sedikit tercengang.
“Kenapa kamu tertawa terus,
Amane-kun?”
“Hmm? Karena Mahiru sangat
cantik sih, jadi kamu selalu menarik perhatian banyak orang.”
“Tidak ada gunanya bagiku untuk
menarik perhatian orang lain.”
“Bagaimana jika itu aku?”
“… Kalau begitu aku akan
menunjukkan kepadamu sebanyak yang kamu inginkan, kok?”
Mahiru tertawa nakal
seolah-olah ingin menggodanya, dan Amane juga tertawa sembari berkata, “Lalu aku akan melihatmu sampai puas saat
kembali ke rumah nanti,” Ia kemudian
menarik tangannya untuk membawanya ke taman terdekat.
Taman tersebut relatif besar
dan memiliki banyak pemandangan alam. Sebuah tempat yang sempurna bagi
orang-orang lingkungan sekitar untuk menghabiskan waktu dan bersantai.
Beberapa anak berteriak dan
bermain-main di dalam bak pasir besar, dan ada juga yang berbaris untuk turun
bermain perosotan di sebelah mainan pendakian. Orang tua mereka mengawasi
mereka di bangku terdekat atau ada juga yang ikut bermain dengan anak mereka.
Baik Amane dan Mahiru tersenyum
lembut setelah melihat pemandangan indah yang menenangkan ini.
“Semua orang terlihat sangat
energik, ya.”
“Kalau kita sih tidak seheboh
mereka, apalagi sampai bisa berlarian seperti itu.”
“Amane-kun sih sejak awal
memang tidak suka berlarian, kan?”
“Tidak juga, kalau berlarian
biasa sih oke-oke saja. Aku hanya benci dipaksa berlari dengan kecepatan yang
ditentukan selama jam pelajaran olahraga. ”
Selalu saja ada orang yang
tidak menyukai pelajaran olahraga, tapi bukannya berarti membenci berolahraga.
Mereka hanya tidak suka diawasi atau dipaksa untuk berolahraga dengan cara
tertentu. Amane merupakan salah satu dari orang-orang semacam itu, dirinya lebih
suka berolahraga dengan bebas sendirian. Ia tidak menyukai jam pelajaran
jasmani, tapi Ia bukannya membenci olahraga itu sendiri.
“Lalu, apa kamu mau kamu
bermain-main dengan anak-anak itu?”
“Aku nanti malah terlihat seperti
orang yang mencurigakan. Lagian juga, aku tidak tega meninggalkanmu , Mahiru.
Karena kamu mengenakan rok, jadi kamu tidak bisa berlari atau berjongkok.
"
“Benar juga sih... tapi aku
sempat kepikiran kalau yang beginian sangat bagus. Karena aku tidak pernah
bermain seperti itu ketika masih kecil dulu ...”
Mahiru diam-diam menambahkan
bahwa dia biasa bermain sendirian di halamannya, jadi Amane memegang tangan
mungilnya lagi.
“... Mungkin sekarang kita tidak
bisa bermain seperti itu. Tapi ... jika ada kesempatan bagi kita untuk bermain
seperti itu di masa depan, lalu ...”
“Ehh? Iy-Iya?”
Mahiru tampaknya tidak memahami
maksudnya. Amane merasa sedikit kecewa, tapi pada saat yang sama Ia mengira tidak
masalah jika Mahiru tidak menyadarinya.
Begitu mereka lulus dari
sekolah SMA, Amane berencana untuk membicarakan hal tersebut dengannya, jadi
tidak masalah jika dia tidak menyadarinya untuk saat ini. Amane ingin melakukannya
perlahan-lahan dengan Mahiru dan berpikir tentang membangun keluarga bersamanya.
Amane merasa kalau Mahiru takkan
menolaknya.
Ia tersenyum dan menutupinya
saat Mahiru masih kebingungan, Amane lalu dengan lembut memegang tangannya saat
mereka berkeliaran di sekitar taman.
Amane berjalan santai di bawah
naungan pohon yang rindang, melihat bunga-bunga mekar di hamparan bunga terdekat,
dan merasakan angin sepoi-sepoi bertiup dari antara pepohonan. Mereka
menghabiskan waktu bersama dengan santai.
Seorang istri tetangga di dekat
rumahnya menyadari wajahnya dan mengobrol dengannya, “Wahh, ternyata kamu putra dari keluarga Fujimiya yang itu, ya” dan
memberi mereka berkah dengan senyum lembut. Bukannya Ia merasa tidak menyenangkan tentang hal itu, Amane hanya
merasa malu saja.
Setelah berjalan cukup jauh,
mereka berdua membeli beberapa minuman dari mesin penjual otomatis dan beristirahat
di bangku yang cukup teduh.
“Kalau dipikir-pikir, kamu
sudah membuat dirimu cukup nyaman di rumahku ya, Mahiru.”
Setelah beristirahat dengan
meneguk minuman olahraga, Amane bertanya kepada Mahiru. Begitu mendengar topik yang
terlalu mendadak, matanya yang berwarna karamel berkedip terkejut dan ekspresi
berubah menjadi santai.
“Ya, aku sangat berterima kasih
untuk itu.”
“Sebaliknya, kamu bahkan lebih
terbiasa daripada diriku.”
“Be-Benarkan?”
“Iya tentu saja. Rasanya sudah
seperti berada di rumahmu sendiri ”
Mahiru sangat nyaman dengan keluarga
Fujimiya dan sangat disayangi sehingga bisa dibilang kalau dia sudah
menjadi bagian dari keluarga Fujimiya. Tentu
saja, seluruh keluarga Fujimiya mencintainya dan memanjakannya dengan baik.
Selain Amane, orang tua Amane
juga sangat menyayangi Mahiru seolah-olah dia adalah putri mereka sendiri, dan
Mahiru tampak sangat berterima kasih untuk itu.
“Apa kamu cukup bersenang-senang
di rumahku?”
“Iya. Fufufu, aku sangat senang
bisa mengunjungi rumah keluargamu, Amane-kun. Baik Shuuto-san dan Shihoko-san sudah
memperlakukanku dengan sangat baik. ”
“Ya, bahkan lebih memedulikanmu
daripada putranya sendiri.”
“Kamu tidak boleh ngambek loh, Amane-kun.”
“Enggak kok. Lagipula, kamu sedang
bersama denganku sekarang, Mahiru.”
“... Iya.”
Amane akhirnya berharap bahwa
Mahiru akan menjadi bagian dari keluarga Fujimiya. Mengesampingkan perlakuan
Amane, dirinya merasa senang melihat Mahiru bisa diterima dengan penuh kasih sayang
oleh keluarganya.
Amane tak keberatan diabaikan
orang tuanya selama Mahiru ada di sini. Jelas-jelas bahwa pada akhirnya dia akan
kembali ke pelukan Amane, jadi Ia tidak keberatan sama sekali jika ibunya
sesekali menghabiskan waktu bersama Mahiru. Meskipun Amane merasa rumit karena
waktu yang akan mereka habiskan semakin berkuran, tapi setelah mereka kembali
ke kamar apartemennya, Amane bisa memiliki Mahiru semua untuk dirinya sendiri.
Mahiru tampak malu begitu mendengar
perkataan Amane dan menyandarkan dahinya ke lengannya untuk menyembunyikan
wajahnya. Amane mengangap kalau reaksinya terlalu imut, dan ingin mengelus
kepalanya.
“… Fujimiya?”
Tangannya yang hendak mengelus
kepala Mahiru mendadak berhenti ketika mendengar suara itu.
Amane baru menyadari kalau ada
tanda-tanda orang di dekatnya. Mereka berdua terlalu asyik mengobrol satu sama
lain sehingga tidak menyadari kalau ada orang yang mendekat.
(Benar
juga. Karena aku pulang ke kampung halamanku sekarang, ada kemungkinan kalau
aku akan bertemu dengan mereka)
Di masa lalu, Amane bahkan
tidak ingin memikirkan mereka lagi. Setelah dirinya meninggalkan kampung
halamannya, Amane memutuskan hubungan dengan mereka, tapi bukannya mustahil
untuk bertemu dengan salah satu dari mereka sekarang setelah dirinya kembali
berkunjung.
Jauh di lubuk hatinya, Amane
merasa bahwa dirinya mungkin akan bertemu dengan mereka.
Satu-satunya alasan kenapa
Amane bisa menghilangkan kecemasan seperti itu dari dalam pikirannya mungkin
berkat kehadiran Mahiru yang ada di sampingnya.
Amane menghembuskan napas
sekali, badannya berhenti bergerak, Ia kemudian menurunkan tangannya, dan menoleh
ke arah suara itu... dan menemukan sosok lelaki yang membuatnya merasa
nostalgia dalam banyak artian.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya