Otonari no Tenshi-sama Jilid 5 Bab 15

Bab 15 — Berpisah Dengan Masa Lalu

 

“Ternyata kamu beneran Fujimiya, ya. Pada awalnya aku tidak menyadarinya sampai aku mendengar namamu.”

Toujo, mantan teman Amane yang dulu, sedang menatapnya. Penampilannya tidak banyak berubah sejak SMP.

Tapi Amane justru sebaliknya. Selama dua tahun terakhir, penampilan dan temperamennya sudah berubah drastis. Saat ini, Amane berpenampilan bagus karena dirinya jalan-jalan keluar bersama Mahiru, jadi Toujo tidak bisa mengenalinya dengan mudah.

Meski dirinya mempublikasikan hubungannya dengan Mahiru, Amane tahu tidak mudah bagi kenalan masa lalunya untuk menyamakan dirinya di masa lalu dengan dirinya yang sekarang. Oleh karena itu, Ia menanggap wajar reaksi Toujo.

Seolah-olah meniru Itsuki, Toujo memasang senyum yang tampak sembrono. Perbedaannya dengan Itsuki ialah kalau Itsuki terlihat lucu, sedangkan Toujo terlihat nakal.

Menyadari kurangnya reaksi Amane, Toujo mengernyit sedikit dengan tidak senang, lalu mencibir dengan sinis.

“Sudah lama tidak ketemu ya, Fujimiya.”

“Ya, memang.”

“Katanya kamu meninggalkan kampung halamanmu? Apa kamu baru kembali sekarang?”

“Aku hanya berkunjung untuk menghabiskan liburan musim panas. Syukurlah melihatmu begitu energik seperti dulu.”

Amane berhasil membalasnya lebih santai daripada yang dirinya duga, terlihat sedikit terkejut tapi tetap teguh.

Amane lalu memilah-milah pemikirannya.

Mereka berdua tinggal di daerah setempat, jadi sudah sewajarnya kalau mereka akan berpapasan, terlebih lagi itu hanya kebetulan mereka bisa bertemu lagi. Selain itu, Amane hanya melakukan kunjungan sementara, jadi Toujo dan mantan teman lainnya hanyalah orang asing yang tidak ada hubungannya dengannya.

Secuil kegelisahan menghinggapi hati Amane ketika mengingat masa lalu, tapi hal tersebut segera lenyap dan menghilang begitu saja ketika Ia merasakan kehangatan Mahiru di sebelahnya.

“Ada apa dengan gadis itu? Apa kamu menggertaknya atau semacamnya?”

“Tentu saja tidak. Karena dia adalah pacarku.”

“Hah?”

Toujo menatap Mahiru dengan tatapan yang sama ketika menatap Amane. Begitu mendengar kata 'pacar', Toujo menatap mereka dengan wajah tidak senang.

Tojo kadang-kadang menunjukkan ekspresi seperti itu ketika mereka masih berhubungan baik dengannya, tapi sekarang Amane mengerti alasan dibalik ekspresi itu.

Ia hanya akan menunjukkan ekspresi itu ketika orang lain memiliki sesuatu yang tidak dirinya miliki.

“Kamu bahkan mempunyai pacar sekarang. Padahal dulunya kamu sangat imut dan cengeng, tapi kamu sudah berubah menjadi cowok tulen sekarang.”

Toujo mengatakan itu dengan nada menyindiri dan tertawa, tapi Amane tidak terlalu memikirkannya. Amane awalnya mengira dirinya akan merasa lebih terluka. Namun kenyataannya, Ia tidak merasakan apa-apa. Rasanya seperti angin sepoi-sepoi yang lewat, dan itu bahkan tidak terasa sakit sama sekali. Amane justru mengkhawatirkan Mahiru yang duduk di sebelahnya. Ia khawatir kalau Mahiru mungkin akan merasa marah ketika mendengar kalimat mengejek Toujo.

Amane melirik sekilas ke arah Mahiru dan melihat tatapan matanya yang berkedip.

Dia kemudian tersenyum.

Amane sudah melihat banyak dari berbagai senyuman Mahiru, tapi bahkan Amane sendiri yang sudah berada di sisinya begitu lama, belum pernah melihat ekspresi seperti itu. Senyumnya yang sekarang berbeda dari senyuman saat Amane dipermalukan di festival olahraga tempo hari ataupun senyum yang dia gunakan pada cowok yang berusaha merayunya di kolam renang. Senyumnya sekarang tidak mengandung emosi apapun.

Amane tidak tahu apa dirinya bisa merasa nyaman ketika melihat senyuman seperti itu, dan sebenarnya terganggu oleh reaksi Mahiru. Kemudian, Toujo tersenyum menyeringai padanya.

“Apa pacarmu sudah tahu? Meski orang ini terlihat sedikit lebih baik sekarang, tapi dulunya Ia sering diejek karena terlihat seperti cewek dan wajahnya meringins kayak hampir menangis.”

“Rasanya benar-benar nostalgia sekali.”

Perkataan jahatnya tidak membuat Amane bereaksi sama sekali.

Pertama-tama, Mahiru memegang tangannya di sampingnya, dan yang lebih penting, setelah bertemu Tojo, Amane hanya menganggapnya sebagai orang biasa.

Toujo dulunya memiliki fisik yang lebih tinggi dan lebih besar dari Amane. Ia adalah cowok periang, cerah, dan sering mengungkapkan pendapatnya sendiri, serta memiliki banyak teman.

Amane dulunya takut menerima kedengkian dari seseorang yang lebih baik darinya. Amane juga menderita dari pelecehan dan kemudian pengkhianatannya.

Tapi sekarang, Amane bertingkah begitu tenang. Bukannya dirinya tidak merasakan apa-apa sama sekali, tapi Amane bisa merasa tenang karena sudah menganggap sebagai kejadian yang sudah berlalu. Walaupun Amane mengingat kembali kejadian waktu itu, dirinya tidak akan gemetar seperti dulu lagi.

Mungkin karena merasa tidak puas dengan reaksi lemah Amane, wajah Tojo sedikit memerah seolah menahan amarah, dan matanya tiba-tiba menjadi lebih tajam.

“Sepertinya kamu bisa tetap tenang, ya … buat mbak pacar, apa sih yang kamu lihat dari cowok seperti ini? Ia sama sekali bukan apa-apa selain keluarganya yang kaya. Memangnya kamu tidak tahu betapa pengecutnya cowok dulu?”

Toujo menoleh ke arah Mahiru, tapi senyum tenang Mahiru masih tetap tidak berubah.

“Amane-kun sudah memberitahuku semuanya. Meskipun aku masih belum melihat betapa menggemaskannya dia dulu sih…”

“Aku sengaja tidak mengatakannya karena takutnya nanti kamu akan melihat fotoku”

“Hehe, sayangnya, aku sudah melihatnya.”

Mahiru lalu menambahkan dengan bisikan, “Kamu terlihat sangat imut,” dan Amane hanya bisa menatapnya dengan ketidakpuasan. Untuk sesaat, Mahiru menunjukkan senyum aslinya tetapi segera kembali menjadi senyum ala malaikatnya

Amane tertawa kecil pada Toujo, yang membeku sesaat melihat senyuman asli Mahiru.

“Aku tidak peduli apa yang kamu katakan. Lagi pula, memang begitulah yang kamu rasakan. Tidak seperti sebelumnya, aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan padamu, dan aku percaya kalau pacarku takkan berubah pikiran  ketika dia mendengar sesuatu yang buruk mengenai diriku.”


Sekarang Amane tidak perlu lagi takut pada Toujo karena dirinya memiliki seseorang yang sangat menyayangi dan mendukungnya. Masalah Amane sekarang sudah menjadi masa lalu, dan lukanya sudah lama sembuh.

Bersama gadis tercinta di sampingnya, Amane tidak perlu merasa takut lagi.

“Kejadian waktu itu sudah lama berlalu bagiku, Toujo.”

Itu sebabnya, tidak peduli apa yang kamu katakan sekarang, hal itu takkan mempengaruhiku sama sekali… Amane dengan tenang menatap Toujo seraya menyampaikan kata-kata itu. Sikap tenang Amane sepertinya membuat Toujo kesal dan Ia mengangkat alisnya. Tapi, sebelum Amane terus melanjutkan, Mahiru sudah berbicara terlebih dahulu.

“…Ngomong-ngomong, kamu baru saja bertanya apa yang aku lihat dari Amane-kun, ‘kan?”

Dia berdiri di samping Amane sembari menegakkan punggungnya dan menatap Toujo. Tojo tersentak di hadapan sikap martabat Mahiru yang luar biasa.

Mahiru membekukan suasana di sekitar mereka. Dirinya diam-diam mengarahkan matanya yang jernih dan berkepala dingin ke arah Toujo.

“Apa kamu memilih pasangan hanya berdasarkan uang saja? Apa kamu memilih teman berdasarkan kegunaan mereka? Jika kamu melakukan itu terus menerus, Kurasa kamu takkan pernah mendapatkan apa yang benar-benar kamu inginkan dan takkan pernah merasa puas.”

“Apa…”

“Walaupun sudah memiliki banyak uang, aku sama sekali tidak pernah puas… Aku tidak pernah sekalipun mencemaskan masalah uang, tapi hatiku tetap dingin dan kesepian.”

Mahiru meletakkan tangannya di dadanya dan berbisik pelan, hal itu membuat hati Amane sedikit tersentuh.

Keluarga Mahiru sangat berkecukupan, bahkan bisa dibilang cukup kaya karena mampu menyewa pembantu rumah tangga. Kebanyakan barang yang dia miliki juga terlihat berkualitas tinggi. Dia bahkan pernah berkata bahwa satu-satunya yang bisa diberikan orang tuanya adalah uang.

Oleh karena itu, Mahiru tidak menganggap serius nilai uang. Dia lebih menghargai kehangatan emosi manusia.

Amane tidak terganggu oleh masalah Toujo tapi tertekan saat memikirkan keadaan Mahiru. Alasannya karena Amane sudah melupakan Toujo.

“Setelah bertemu Amane-kun, aku merasakan kebahagiaan sejati mulai memenuhi hatiku untuk pertama kalinya… bukan karena perihal uang, bukan juga karena penampilannya, tapi kepribadian lembutnya lah yang paling aku hargai dalam dirinya. Aku tidak akan pernah menggunakan standar rendahan seperti itu untuk menentukan kelebihannya.”

Setelah menyatakannya dengan tegas, Mahiru tidak mengasihani Toujo maupun mencibirnya, dia hanya dengan tenang mengamatinya.

“Jika kamu hanya bisa menilai orang berdasarkan finansial saja, itu tidak masalah karena itu hakmu. Aku takkan menyangkal jalan pemikiran orang lain, selama Amane-kun mengerti bahwa di dalam hatiku, aku sangat menghargainya.”

Saat Mahiru menoleh ke arah Amane, senyum ala malaikatnya segera berubah menjadi senyuman tulus, tenang dan berseri-seri.

Hanya itu saja, sudah cukup untuk Amane.

“Sudah cukup, Mahiru”

“Tapi…”

“Tidak apa-apa, aku malah merasa terlalu malu karenanya … tapi aku juga sangat senang, sih. Ayo lanjutkan begitu saat hanya ada kita berdua saja.”

“…Iya.”

Jika Amane tidak menghentikannya, Mahiru pasti akan mulai menjelaskan satu persatu semua kelebihan Amane.

Jika itu terjadi, Toujo akhirnya akan melihat senyum murni dan polos Mahiru, dan Amane tidak menginginkan itu. Baginya, Toujo hanyalah orang asing yang sudah tidak ada hubungan dengannya lagi.

“Terima kasih banyak, ya.”

Setelah berbisik pelan, Amane berjalan selangkah di depan Mahiru seolah-olah ingin melindunginya.

Sekali lagi, Amane merasa semua yang terjadi di antara dirinya dan Toujo sama sekali tidak ada artinya. Di masa lalu, sosok Toujo terlihat memesona, menjulang tinggi, namun juga menakutkan. Tapi setelah tumbuh secara signifikan sejak saat itu, Amane tidak lagi merasa terganggu dengan orang-orang semacam dirinya.

“Toujo.”

“Ap-Apa?”

 Ketika Amane memanggil namanya dengan sura tenang, Toujo membalasnya dengan nada tergagap.

 (… Aku benar-benar tidak terikat lagi dengan masa lalu.)

Alasan kenapa Amane tidak terlalu terpengaruh karena seperti yang dirinya bilang sebelumnya. Amane sudah menganggap Toujo sebagai sesuatu dari masa lalu.

Suasana hati Amane bgitu tenang sekarang. Dulu ketika dirinya meninggalkan kampung halamannya dan takut bertemu Toujo, Ia tidak bisa membayangkan dirinya begitu tenang. Mahiru merasakan niat Amane dan tidak menghentikannya.

(Aku harus menyelesaikan semuanya di sini.)

Entah itu masa lalu yang selalu Amane hindari, atau ingatannya tentang Tojo yang menjadi penyebabnya, maupun dirinya sendiri yang lemah dan terluka, semua itu akan terlupakan.

Dalam arti tertentu, seseorang bisa menyebut takdir ini. Setelah baru saja memperbaiki diri, reuni mereka memberi Amane kesempatan untuk berpisah dengan masa lalu.

Bertentangan dengan Amane yang tenang, Toujo justru terlihat gelisah dan gugup seraya menunggu Amane untuk melanjutkan.

Melihat keadaan Toujo yang begitu, Amane tertawa kecil.

“Aku sebenarnya sangat berterima kasih padamu. Kamu memanfaatkanku dan aku merasa sakit hati, tapi sejujurnya aku masih merasa bersenang-senang saat itu. Namun berkat itu, aku bisa menemukan kebahagiaanku sendiri.”

Amane tidak berniat mengeluh padanya.

Amane terluka secara mental dan menderita karenanya, tapi dirinya yang sekarang menganggapnya sebagai sebuah pengalaman. Justru karena Ia mengalami peristiwa semacam itu, Amane tumbuh menjadi dirinya yang sekarang.

Amane menyukai dirinya yang baru, hal itu dikarenakan semua pengalaman itu mengarahkannya untuk bisa bertemu Mahiru dan membangun hubungan dengannya.

“Itu sebabnya, melihat bagaimana semuanya berakhir, aku bisa mengatakan dengan tenang kalau aku merasa senang bisa bertemu denganmu. Karena berkat itu aku akhirnya bisa bertemu dengan pacarku. Berkat disakiti, aku menjadi dewasa setelah melalui pengalaman itu. Aku mendapatkan banyak hal yang berharga berkat mengatasi kesulitan yang kamu berikan.”

Bila dilihat dari sudut pandang lain, Toujo dan teman-temannya yang lain memainkan peran penting dalam pertemuan antara Amane dan Mahiru.

Tapi itulah satu-satunya makna dari keberadaan mereka.

“Terima kasih… aku takkan bertemu denganmu lagi, dan tidak ada yang perlu dikatakan lagi, hanya itu yang ingin kusampaikan.”

Ucapan terima kasih yang juga berfungsi sebagai ucapan selamat tinggal dengan masa lalu.

Amane tidak punya niat untuk berhubungan dengannya lagi. Mereka bersekolah di sekolah yang berbeda, tinggal di provinsi yang berbeda, dan keduanya menjalani kehidupan yang berbeda. Mereka berdua sudah lama menjadi orang asing.

Amane berbalik memunggungi Toujo yang tertegun bak disambar petir setelah mendengar kata-kata tulusnya.

Bekas luka yang ditinggalkan Toujo kini telah menghilang.

“Kalau begitu Mahiru, ayo kita kembali.”

“Iya.”

Begitu Amane meraih tangannya, Mahiru menunjukkan sedikit rasa malu.

Mahiru mengikuti arahan Amane dan segera mulai mengabaikan Toujo, yang hanya menatap Amane.

Melihat bagaimana tindakan Mahiru, Amane tersenyum kecut dan meninggalkan taman tanpa menoleh ke belakang, mengabaikan ketertarikannya pada mantan teman-temannya.

 

◇◇◇◇

 

Pada malam itu, Amane berbaring di tempat tidur dan memejemkan matanya, menunggu rasa kantuk menghampiri dirinya. Amane hanya berbaring dengan tenang di atas kasurnya.

Amane biasanya gampang tertidur dengan cepat, tapi hanya hari ini dirinya kesulitan untu tidur.

Amane bertanya-tanya mengapa dan berpikir alasannya terletak pada pertemuannya dengan Toujo hari ini.

Orang itu adalah mantan teman dan salah satu penyebab luka mental Amane, tapi penyesalan atau bekas luka yang disebabkan olehnya sudah lama menghilang di hati Amane.

Setelah pertemuan mereka, Amane merasa lega bahkan sedikit emosional.

Amane merasakan pencapaian yang tak terlukiskan saat menyadari seberapa banyak dirinya didukung dan seberapa banyak Ia telah tumbuh sejak bertemu dan menghabiskan waktu bersama Mahiru.

(… Aku senang karena sudah mengikuti nasihat ayah dan meninggalkan kampung halamanku)

Jika dirinya tetap tinggal di kampung halamannya, Ia mungkin tidak akan mampu mengatasi bekas luka masa lalunya, dan tidak akan pernah tumbuh menjadi dewasa. Mungkin saja dirinya akan hidup sambil menahan rasa sakitnya dan menipu dirinya sendiri.

Amane merasa berterima kasih kepada Mahiru dan Itsuki atas semua yang sudah mereka lakukan untuknya, dan merasa nyaman dengan kenyataan bahwa dirinya bisa mengatasi rintangan tersebut.

Tapi jika dipikirin terus, Ia takkan bisa tertidur, jadi Amane bangun untuk mencari udara segar.  Setelah mengenakan sandalnya, Amane berjalan menuju balkon kamarnya untuk mencari udara segar supaya bisa menjernihkan pikirannya.

Embusan udara lembab menerpa wajahnya begitu dirinya membuka jendela, dan membuatnya sedikit tidak nyaman karena sudah terbiasa dengan kamarnya yang ber-AC. Hal tersebut membuatnya tetap sejuk dari malam musim panas yang gerah meskipun dirinya tertidur.

Terlepas dari itu, udara luar terasa menyegarkan; tanpa lampu buatan di dekatnya, bintang-bintang yang indah dapat dilihat dengan segala kemegahannya. Amane bisa menghabiskan waktu dan menghilangkan kebosanan sebelum bisa tertidur.

Amane bersandar di pagar, menikmati pemandangan yang tenang dan kemerlap bintang yang bercahaya. Tiba-tiba, Ia mendengar suara pintu geser terbuka.

Bukan berasal dari kamar Amane, melainkan dari kamar tetangga yang terhubung dengan balkon. Amane menoleh dan melihat Mahiru mengenakan baju tidurnya, setengah menjulurkan tubuhnya keluar jendela untuk melihatnya.

“…Mahiru, kamu masih bangun?”

Amane tidak menyangka Mahiru masih terjaga.

Mahiru biasanya tidur sebelum tengah malam, dan karena ini sudah masuk waktu dini hari, Amane tidak menyangka kalau dia masih bangun, apalagi keluar ke teras seperti ini.

“Entah kenapa, aku tidak bisa tidur… Amane-kun, kamu juga masih bangun.”

“Yah ... karena ada banyak yang terjadi hari ini.”

“… Begitu ya.”

Sambil berjalan mendekati balkon, Mahiru sedikit menunduk menanggapi perkataannya.  Amane tersenyum padanya dan berkata, “Ah, aku tidak sedang membicarakan itu.:

“Aku tidak mengkhawatirkannya, kok? Aku justru memikirkan tentang seberapa banyak aku tumbuh.”

Kekhawatiran sesaat Mahiru tidak diperlukan.

Amane tidak lagi memikirkan perkara Toujo; Ia hanya merasakan perubahan dalam dirinya sendiri. Amane bahkan tidak merasa terancam maupun memusingkannya.

Begitu mendengar Amane mengatakannya dengan senyuman seperti itu, Mahiru merasa lega dan menunjukkan senyuman kecilnya sendiri.

“Ufufu… kamu sudah menjadi kuat dan dewasa sekarang, Amane-kun. Sejak masa SMP, kamu pasti sudah banyak berkembang juga.”

“Ya. Kurasa setidaknya aku sudah tumbuh sekitar 20cm.”

“Itu hebat sekali.”

“Nah, ‘kan~?”

Amane sudah berubah. Tidak hanya dalam pertumbuhan fisik, tapi juga dalam keadaan pikiran dan perspektifnya.

Kalau dipikir-pikir lagi, Amane menganggap dirinya sebagai cowok songong yang tidak ramah dan acuh tak acuh. Lagi pula, karena orang-orang itu, dia tidak bisa menyangkal sikapnya yang tidak bisa didekati.

Amane merasa dia lebih tenang dan kalem dari sebelumnya.

Alasan dibalik sikap tenangnya itu terletak pada gadis yang paling dia cintai.

“Seperti yang kamu katakan, Amane-kun, kamu pasti sudah tumbuh, baik secara fisik maupun mental.”

“…Ya”

“Apa kamu lebih percaya diri?”

“Ya.”

“Syukurlah kalau begitu. Bahkan jika tidak, aku akan tetap mendukungmu, Amane-kun.”

“Aku sangat mensyukurinya.”

Mahiru tersenyum lembut dan bersandar di pagar untuk menatap langit malam, memberi Amane dorongan kuat untuk menghujaninya dengan kasih sayang.

Mahiru mendongak dan tersenyum pada dirinya sendiri, sama seperti dia tersenyum pada Amane. Dengan Amane di sisinya, dia akan terus mendukung dan menyemangatinya. Dia berharap bisa terus bersama Amane. Dia merupakan keberadaan yang langka, dan Amane sangat mencintainya seraya berharap ingin tinggal di sampingnya.

“…Umm, Mahiru.”

“Iya?”

“…Aku ingin menyentuhmu.”

“Hah?”

Mahiru menoleh ke arah Amane setelah mendengar kalimat yang mengejutkan.

Amane menatap mata Mahiru, yang terguncang karena kebingungan, dan merasa malu dengan apa yang dia katakan, tapi tidak berniat untuk memperbaikinya.

“… Aku ingin menyentuhmu sedikit saja, boleh enggak?”

Amane sangat ingin menyentuh pacarnya.

Dirinya ingin merasakan kehangatan Mahiru yang mencintai dan mendukungnya, serta ingin menerima kenyataan bahwa dia berada di sisinya.

Karena tatapan lurus Amane, mata karamel Mahiru bergetar, lalu tertunduk malu.

“… Bukannya enggak boleh, sih…”

Mendengar kata-kata lembut ini, Amane merasakan lebih banyak kehangatan di hatinya.

Begitu menyadari kalau Mahiru sudah mengizinkanny, Amane mengulurkan tangannya ke Mahiru.

Namun, Amane merasa ragu untuk memeluknya di balkon, jadi dirinya menyentuh Mahiru dengan telapak tangan..

Amane meraih tangan lembutnya yang menopangnya dan membimbing Mahiru untuk mengikutinya. Amane menuntunnya untuk masuk ke dalam kamarnya.

Karena waktunya sudah sangat larut, Amane diam-diam menutup jendelanya dan menyuruh Mahiru duduk di tempat tidurnya. Karena hanya di situ satu-satunya dia bisa duduk karena tidak ada sofa. Begitu dia duduk, tubuh Mahiru menjadi kaku dan menatapnya dengan canggung, yang mana hal itu membuat Amane tertawa kecil.

“Aku tidak akan melakukan apapun, kok.”

“Be-Benarkah?”

“Apa kamu mengharapkan sesuatu?”

“Mana mungkin lah?”

“Ketika kamu mengatakan itu, aku merasa cukup rumit sebagai seorang pria…”

“Ehh”

“Aku hanya bercanda, kok … saat ini, aku hanya ingin menyentuhmu, Mahiru.”

Amane tidak berniat melakukan apa yang Mahiru waspadai, bahkan tidak untuk sesaat. Dirinya ingin menunggu sampai Mahiru benar-benar siap, dan tidak ingin memaksakan dirinya.

Setelah Mahiru merilekskan tubuhnya, Amane perlahan memeluk punggungnya, dan Mahiru melakukan hal yang sama.

Merasakan hatinya dipenuhi dengan sensasi hangat, Amane memusatkan perhatian pada aroma harumnya yang familiar, dan itu memberinya rasa bahagia yang tak terlukiskan. Sambil sekali lagi menyadari perasaan cinta yang membuncah, Amane memeluknya seolah-olah ingin memberikan kasih sayangnya sebanyak  mungkin pada Mahiru.

Mahiru juga menggeliat dengan nyaman di dalam pelukannya.

Meski tidak mengungkapkan seberapa bahagianya dirinya, melihat mulutnya membentuk senyum tenang dan aura puas yang dilepaskannya, Mahiru merasakan hal yang sama seperti Amane.

(...Aku sangat mencintainya)

Jauh di lubuk hatinya, perasaan itu terus mengirimkan kehangatan dan kebahagiaan, yang secara bertahap meningkatkan kegembiraannya.

Amane mengira dirinya tidak bisa mencintainya lebih dari yang sudah dia lakukan, tapi perasaannya menjadi semakin dalam, dan sekarang tidak akan pernah hilang. Mungkin sama seperti orang tuanya, cinta mereka satu sama lain akan terus tumbuh menjadi bentuk yang menenangkan, lembut, dan semakin menguat sehingga takkan pernah hilang.

Amane mencintainya dari lubuk hatinya, dan tidak akan pernah goyah saat menyatakannya.

Dengan emosinya yang tak terbendung, Amane mengangkat dagu Mahiru secara alami dengan tangannya, dan bibirnya tumpang tindih dengan bibir Mahiru dengan senyuman basah.

Mata karamel di depannya berkedip beberapa kali.

Segera setelah itu, rasa sakit tumpul mendarat di dahinya. Amane menjauhkan wajahnya karena terkejut.

Sekarang giliran Amane yang mengedipkan matanya karena rasa sakit yang menggema perlahan. Sensasi itu sepertinya berasal dari Mahiru, matanya berputar-putar panik dan dia jelas kacau.

“… Aduduh.”

“Ma-Maaf, aku hanya terkejut..."

“Tidak, tidak apa-apa, akulah yang harus disalahkan karena melakukannya begitu mendadak … maafin aku, ya.”

Amane tahu bahwa Mahiru secara naluriah membenturkan kepalanya karena dia ketakutan. Selain itu, Amane sudah menciumnya tanpa izin. Tidak mengehrankan dia bereaksi seperti itu.

Amane menyesal melihat tanggapan Mahiru, berpikir dirinya seharusnya menunggu sedikit lebih lama, tapi Mahiru mengkerut dan melihat sekeliling dengan malu-malu.

“Bu-Bukannya aku membencinya. Aku benar-benar terkejut. Um… tolong…, kumohon lakukan sekali lagi. Kali ini, aku akan baik-baik saja.”

Sambil menahan rasa malu dalam suaranya yang bergetar, tapi Mahiru memejamkan matanya dan mengangkat dagunya seolah bersiap menerimanya. Melihat tanggapannya, Amane tersenyum kecil dan kembali menyambar bibir Mahiru.

Sebelumnya, Amane tidak sempat menikmatinya sejak Mahiru menyundulnya, tapi kali ini karena dia sudah siap, Amane bisa menikmatinya dengan baik.

Bibirnya terasa lembab dan lebih lembut dari miliknya.

Amane khawatir membuat Mahiru merasa tidak nyaman jika bibirnya terlalu kering, tapi kelihatannya dia menikmatinya. Amane menggigit bibirnya dengan lembut, dan Mahiru menggoyangkan tubuhnya karena merasa geli. Hal itu membangkitkan keinginan Amane untuk semakin memanjakannya.

Mereka berpisah sejenak, tapi Mahiru terlihat terlalu menggemaskan dan hal itu mematahkan kesabaran Amane. Ia kembali mencicipi bibir Mahiru sekali lagi.

Amane mendengar suara “Mm~” pelan, tidak yakin apa itu suara memprotes atau hanya terkejut, tapi begitu dirinya mengecup bibirnya lagi, suara Mahiru menjadi pelan.

Tidak, dia sesekali menyeruput dan mewarnai ciuman di mulutnya.

Menggemaskan sekali … pikir Amane seraya menyipitkan matanya, dan menciumnya lagi dan lagi, sebelum memeluk tubuh mungilnya.

Setelah bibir mereka saling bersentuhan beberapa kali, Amane menjauhkan mulutnya dan Mahiru membenamkan wajahnya di bahu Amane.

“… Ka-Kamu tidak pernah bilang akan melakukannya beberapa kali.”

“Ap-Apa kamu tidak mau?”

“Bu-Bukannya begitu, aku tidak punya kesempatan untuk mempersiapkan diri… umm, aku merasa sangat malu.”

Mahiru bergumam pelan, “Padahal ini pengalaman pertamaku,”.  Jantung Amane tersentak saat Ia membayangkan arti yang berbeda dalam kata-katanya.

“… Apa ini benar-benar pertama kalinya bagimu, Amane-kun? Kamu lebih tenang daripada aku.”

“Bagaimana aku bisa tenang… Aku hanya sangat ingin mencium Mahiru sehingga aku tidak memikirkan hal lain, jadi aku mungkin sedikit memaksa…”

“Ma-Mana mungkin aku membencinya… jika aku tahu kalau kamu mau menciumku, aku bisa mengatasinya… bahkan jika… kita melakukannya sedikit lama lagi.”

Setelah melihat Mahiru menatapnya dengan begitu menggemaskan, mana mungkin Amane bisa menahan diri.

Amane mencium bibir lembut Mahiru sekali lagi, tapi kali ini mereka hanya saling bersentuhan perlahan, seolah-olah menyamai kecepatan Mahiru.

Sebaliknya, Amane memegang bagian belakang kepala Mahiru di telapak tangannya dan tidak melepaskannya.

Seolah ingin menikmati bibir satu sama lain, mereka  berdua sedikit memiringkan wajah mereka dan terus berciuman. Jantung Amane berdetak hampir sampai meledak.

“…fufu”

Di sela-sela melakukan ciuman, Mahiru tertawa kecil, lalu menyandarkan tangannya di dada Amane dan berdiri menghadap Amane.

“…Sebelum aku menyukai Amane-kun, aku sempat penasaran apakah menciummu bisa memiliki maksud tertentu. Tapi sebagai seseorang yang benar-benar mencintaimu, itu membuatku sangat bahagia.”

“… Lalu, apa kamu merasa bahagia sekarang?”

“Iya, aku merasa sangat bahagia.”

“… Aku juga.”

“Fufu, Kita berdua sama persis, ya.”

Mahiru menunjukkan senyum riang namun malu-malu. Amane kembali mencium bibir manisnya sekali lagi, dan tubuhnya menggigil.

Amane menyadari keengganannya dan menarik bibirnya menjauh. Mahiru menghiburnya dengan berkata ‘Bukannya aku tidak mau’ dan kemudian bersandar padanya seraya bergumam.

“Kamu sangat hangat, Amane-kun.”

“… Apa kamu tidakkedinginan?”

“Yah,  sepertinya AC-nya belum dimatikan…”

Meskipun AC diatur pada suhu yang lebih tinggi dari pada siang hari, namun udaranya masih cukup sejuk. Amane biasanya mematikan AC-nya beberapa jam setelah dia tertidur, tapi Mahiru pasti kedinginan karena masih menyala.

Baju tidur Mahiru adalah gaun lengan pendek, tidak heran dia kedinginan karena lengannya terbuka.

“Apa kamu ingin aku menghangatkanmu?”

“Ara, memangnya kamu bisa menghangatku?”

Amane bertanya dengan bercanda, dan Mahiru ikut meladeni candaannya.

“Apa yang kamu ingin aku lakukan?”

“Menurutmu apa yang aku ingin kamu lakukan?”

“Kira-kira apaan, ya.”

“Ayo coba tebak.”

“… Aku tidak akan membiarkanmu melarikan diri.”

“Fufu, aku takkan kalah kali ini.”

“Iya deh, iya deh, kalau gitu mari lakukan begini buat Mahiru-san.”

Amane kembali merangkulnya dan dengan lembut berguling ke tempat tidur.

Rambut kuning muda Mahiru berkibar di lengannya, dan matanya yang berwarna karamel melebar karena terkejut.

Amane mencium pipinya yang dingin dan menutupi mereka berdua dengan selimut besar di sampingnya. Mahiru yang menyadari situasinya, dengan lembut menyandarkan wajahnya ke dada Amane.

“Dengan begini, kita berdua bisa sama-sama hangat.”

“…Iya.”

“Ada juga layanan tambahan seperti bantal lengan.”

“Apa kamu mau?” Amane bertanya dan mengulurkan tangannya. Mahiru tersenyum lembut dan dengan sungkan meletakkan kepalanya di lengannya.

Amane juga tersenyum sembari memikirkan seberapa dekat wajah mereka, dan senyum Mahiru berubah sedikit nakal..

“Kira-kira berapa harga untuk layanan tambahan ini?”

“Diskon waktu terbatas hanya untuk Mahiru, aku mau telur dadar untuk sarapan besok.”

“Kalau begitu aku akan menerimanya dan berbaring.”

“Kamu sudah berbaring dari tadi.”

Mereka tertawa satu sama lain, Amane menutup matanya saat Ia meletakkan tangannya di punggung Mahiru dengan tangan satunya yang bebas dan memeluknya.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama