Chapter 6 — Seriusan, Aku Sama Sekali Tidak Bersalah
“Oh~Luar biasa sekali~”
Tanggal 1 September, hari
pertama semester kedua setelah liburan musim panas. Setelah menyelesaikan
upacara pembukaan dan jam wali kelas, Masachika melihat keluar halaman sekolah melalui
jendela kelas dan berteriak seolah-olah itu urusan orang lain. Di ujung garis
pandangnya terdapat antrian panjang yang membentang dari pintu masuk gedung
gymnasium hingga ke luar. Ada banyak sejumlah siswa berlarian melintasi halaman
sekolah untuk bergabung dalam antrian. Tempat tersebut begitu ramai
sampai-sampai membuatmu berpikir ada selebriti di sana, tapi tentu saja bukan
itu masalahnya. Hal yang sedang terjadi di sana sekarang adalah penjualan
seragam. Ya, itu adalah penjualan seragam musim panas baru yang telah
diperbarui berkat upaya Kenzaki Touya sebagai ketua OSIS.
Namun, hanya karena seragam
musim panas baru sudah tersedia, bukan berarti semuanya akan diganti sekaligus.
Seragam musim panas baru akan tersedia untuk dibeli, dan setiap siswa bebas
untuk memutuskan apakah akan membelinya atau tidak. Setidaknya untuk murid
kelas 3, mereka diizinkan untuk mengenakan seragam musim panas yang lama atau baru.
Namun, diputuskan pada rapat staf bahwa konter penjualan sementara akan didirikan
di gimnasium hanya untuk hari ini karena menduga akan terjadi antrian keramaian
... tapi tampaknya keputusan tersebut bukanlah sebuah kesalahan.
Jika ini hanya untuk pembelian,
lorong-lorong akan kacau dengan siswa yang mengantri untuk membeli seragam baru
dan siswa yang mencoba untuk pulang.
“Mau bagaimanapun juga, semua
orang sudah muak dengan seragam blazer lengan panjang ini...”
Alisa bergumam sambil memasang
ekspresi yang sedikit rumit pada teman-teman sekelasnya yang bergegas keluar
menuju lorong.
Ada juga pihak keberatan di
antara para siswa tentang pergantian seragam, dan pada kenyataannya, dengan
mempertimbangkan pendapat tersebut, aturannya menjadi “Seluruh siswa diperbolehkan mengenakan seragam lama atau baru untuk
sementara waktu”, … tapi jika dilihat dari sisi lain, tampaknya
sebagian besar siswa siap beralih ke seragam baru mereka. Ketika semester baru
telah dimulai, panasnya musim panas yang begitu gerah dan lembab membuat semua
orang ingin cepat-cepat beralih dengan seragam baru mereka, dan ternyata orang
yang beralih ke seragam baru lebih banyak
daripada yang diperkirakan karena mungkin mereka berpikir “Loh? Jika aku tidak memakai seragam baru,
aku akan ketinggalan nih”.
Walaupun alasannya masih belum
jelas, tapi sepertinya pembaharuan seragam yang digagas Touya sudah diterima
oleh kebanyakan siswa.
“Jadi, pada akhirnya, bukannya
semua orang ingin berganti ke seragam baru? Apalagi hari ini cuacanya lagi
panas banget.”
Takeshi mengatakan itu sembari
mengipasi wajahnya dengan tangannya. Hikaru juga mengangguk dan berbicara
dengan penuh emosi.
“Tapi aku merasa sangat
bersyukur karena aku akhirnya bisa bebas dari blazer ini mulai besok ... karena
seragam ini wajib dipakai saat berangkat dan pulang sekolah, iya ‘kan.”
“Aku minta maaf karena sudah mengganggu
kesenanganmu, tapi dengar-dengar katanya seragam baru itu lumayan bikin gerah,
loh?”
“Hah? Kenapa? Kok bisa?”
Masachika mengangkat bahu ke
arah Takeshi dan Hikaru, yang saling bertukar pandang seolah-olah mengatakan “Yang benar saja?!”
“Sebagai gantinya, seragam
tersebut terbuat dari bahan yang tidak bisa berubah menjadi transparan sedikit
pun. Sepertinya para siswa Akademi Seirei tidak diperbolehkan menunjukkan
penampilan memalukan mereka di tempat umum.”
“Ap-Apa, tunggu sebentar...
bukannya itu berarti ...”
Setelah mengatakan itu dengan
ekspresi kaget, Takeshi melirik Alisa dan bertanya pada Masachika dengan suara
bisik-bisik supaya Alisa tidak bisa mendengarnya.
“(Apa itu berarti peristiwa
dimana bra gadis bisa terlihat karena seragam yang transparan takkan pernah
terjadi...?)”
Masachika mengangguk serius
pada Takeshi yang bertanya dengan ekspresi serius yang konyol.
“(......Yah, begitulah adanya)”
“(Mu-Mustahil… )”
Takeshi terhuyung-huyung dan
bersandar pada bingkai jendela. Ia kemudian melihat ke luar jendela dan
tersenyum sedih.
“Sungguh kejam sekali ... memangnya
tidak ada yang namanya mimpi atau harapan di dunia ini...?”
“Apa yang kamu bicarakan di
Jepang yang damai begini?”
“Bahkan hari ini, tidak ada kemunculan
murid pindahan cantik yang mengaku sebagai tunanganku meskipun sekarang sudah
memasuki semester baru ...”
“Emangnya peristiwa semacam itu
bisa terjadi di dalam kehidupan nyata? Ngomong-ngomong tentang murid pindahan, sekarang lagi
terkenal dengan cerita mantan anggota Pasukan Khusus atau mantan pahlawan yang
mendambakan kehidupan biasa.”
“Itu sih yang jadi karakter
utamanya. Aku nantinya cuma kebagian jadi karakter pendukung doang!”
“… Ohh”
“Apa-apaan dengan jeda tadi?”
“Tidak, bukan apa-apa ....”
Masachika mengalihkan
pandangannya pada pengejaran Takeshi. Hikaru dan Alisa juga terdiam dengan
ekspresi yang agak keheranan di wajah mereka.
Setelah jeda aneh yang berlangsung
selama beberapa detik, Hikaru berbicara dengan suara yang sedikit lebih ceria
seolah-olah ingin mengubah suasana.
“Tapi itu tetap menakjubkan
sekali, bukan? Kupikir upaya semacam ini yang mencoba mematahkan tradisi
takkan mendapatkan persetujuan dari Raikoukai.”
Raikoukai adalah nama resmi
perkumpulan alumni yang terdiri dari ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS Akademi
Seirei di masa lalu.
Meski akademi ini adalah
sekolah swasta bergengsi, biaya sekolahnya sendiri tidak setinggi yang
dibayangkan. Justru sebaliknya, biayanya cukup murah dibandingkan dengan fasilitas
lengkap dan programnya yang beragam.
Alasannya karena para alumninya
mengirim sejumlah besar sumbangan ke sekolah.
Di antara sumbangan tersebut,
jumlah sumbangan yang dikirim Raikoukai tak ada tandingannya, dan tentu saja,
pengaruhnya terhadap akademi juga lumayan kuat sebanding dengan jumlah uang
yang mereka kucurkan.
Tentu saja, karena sejumlah
besar sumbangan yang digunakan untuk pembaharuan seragam, rencana kali ini
tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya persetujuan Raikokai.
“Yah, sepertinya anggota
relatif muda lah yang benar-benar menyuarakan oposisi mereka.”
Ketika Masachika mengatakan itu
dan mengangkat pundaknya, Takeshi mengangkat alisnya karena terkejut.
“Eh, masa? Kupikir cuma Jii-san
keras kepala saja yang akan menentang hal semacam ini.”
“Yah, karena orang-orang tua di
Raikokai benar-benar kelas berat di dunia politik dan bisnis, iya ‘kan~…
Mungkin mereka sudah tidak peduli lagi dengan masalah sepele semacam itu?”
“... Yah, aku tidak bisa
membayangkan Niikura-san mengeluh tentang seragam almamaternya.”
“Benar banget, ‘kan?”
“? Niikura-san?”
Melihat Alisa dengan tanda tanya,
Masachika berpikir, “Eh, memangnya kamu
tidak tahu itu?” seraya menambahkan.
“Eh, kamu enggak tahu? Itu loh,
Perdana Menteri Niikura.”
“!? Ehh!?”
“Apa kamu tidak tahu,
Kujou-san?”
Alisa terlihat benar -benar terkejut,
dan Takeshi bertanya dengan nada suara suara yang terdengar di antara sopan dan
sok akrab. Walaupun mereka sudah membentuk band bersama, tapi Ia masih sedikit
sungkan dalam berinteraksi dengannya.
“Yah, Raikoukai bukanlah
organisasi yang melakukan banyak aktivitas public, sih. Kamu harus mendengar
dari orang-orang yang terlibat untuk bisa mengetahui dengan pasti.”
Meski begitu, keberadaan mereka
relatif terkenal di kalangan siswa
Akademi Seirei. Bukannya seperti ada rumor hebat mengenai mereka, jadi tidak
mengherankan bahwa Alisa, yang tidak memiliki banyak teman, tidak mengetahuinya
... jadi Masachika dengan lembut menjelaskannya kepada Alisa.
Ngomong-ngomong, alasan mengapa
tidak ada desas-desus karena itu bukanlah hal yang tidak biasa. Lagi pula, di
antara anggota Raikokai yang masih hidup, ada empat orang yang pernah menjabat
sebagai perdana menteri, termasuk Perdana Menteri Niikura. Kalau termasuk orang
yang sudah tiada, jumlahnya pasti beberapa kali lipat jumlah itu. Jika itu
sekolah biasa, mereka pasti akan mengumumkan dengan bangga, “Salah satu lulusan kami adalah mantan perdana menteri Jepang!” ,
adapun pihak Akademi Seirei, mereka hanya menanggapinya dengan “Eh? Perdana Menteri? Ahh~ kami tidak bisa
mengetahuinya jika tidak dicari dulu, tapi mungkin dia memang lulusan kami?”.
Oleh karena itu, tidak ada yang terlalu
memedulikan tentang itu.
“Ngomong-ngomong, kalau
membicarakan orang yang terkenal, bisa dibilang ada Menteri Keuangan Oonuma,
dan Gubernur Tokyo Nanase, loh? Selain itu, ada ayahnya Taniyama-san, CEO dari
perusahaan Industri Berat Taniyama, CEO perusahaan Zilks, Presiden Bank Eimei
dan direktur utama Clarique ... kalau disebutin semua enggak ada habisnya.”
Masachika menghitung dengan
jari-jarinya dan menyerah di tengah jalan karena itu terlalu merepotkan.
Kemudian, Hikaru menambahkan dengan nada santai.
“Selain itu, kalau tidak salah
kakeknya Suou-san juga sama, iya ‘kan? Bukannya beliau mantan duta besar untuk
Amerika Serikat?”
“... Ah, yah begitulah.”
Masachika menyadari bahwa
suaranya menjadi lebih rendah dari biasanya. Takeshi tampaknya tidak terganggu
dengan hal ini, tapi ketika Ia menyadari bahwa Alisa dan Hikaru menatapnya
dengan curiga, Masachika mendecakkan lidahnya karena kecerobohannya sendiri.
“Yahoo kerja bagus~”
Namun, saat itu, orang yang
ditunggu akhirnya muncul, dan Masachika berbalik dengan ekspresi acuh tak acuh
di wajahnya.
“Ke-Kerja bagus ...”
Orang yang memasuki ruangan
kelas adalah Nonoa dengan rambut dikuncir kuda. Namun, ketika melihat seragam
yang dikenakannya, Masachika dan yang lainnya membeku serempak. Karena seragam yang
dikenakan Nonoa adalah seragam musim panas baru yang dijual di gymnasium saat
ini. Pra-penjualan? Tidak ada perlakuan khusus seperti itu. Hal tersebut tak
diragukan lagi karena Masachika, selaku anggota OSIS, berkata demikian.
“... kenapa kamu sudah memakai
seragam musim panas yang baru?”
Ketika Masachika mengajukan
pertanyaan itu sebagai perwakilan, Nonoa memiringkan kepalanya dengan mata
setengah terbuka.
“Hmm~~… yah, ada deh?”
“... Ada deh, ya … hmm~”
Setelah diberitahu begitu,
Masachika tidak mau melanjutkannya lebih jauh. Dalam sembilan dari sepuluh
kasus, dia mungkin tidak mau repot-repot menjelaskan, tetapi menurutnya tidak
ada gunanya juga untuk menyelidiki detailnya. Jika Nonoa mengatakan ada berbagai
hal, maka pasti begitu.
"Ah~... tumben sekali kamu
tidak main-main dengan smartphonemu hari ini, Miyamae.”
Untuk mengalihkan pembicaraan, Masachika
berkata begitu kepada Nonoa yang duduk di kursi terdekat dan menatap kosong,
dan dia membalas “Ah~” sebelum
mengangkat bahunya.
“Mamahku memarahiku karena
terlalu banyak bermain smartphone. Aku sedang mencoba sedikit mengendalikan
diri.”
“Oh, gitu ya....”
Masachika terus terang terkejut
dengan ucapan tak terduga yang keluar dari mulut Nonoa, “Aku sudah diperingatkan oleh orang tuaku”. Tampaknya bukan
Masachika saja satu-satunya yang merasa terkejut, karena Takeshi membuka
mulutnya dengan sedikit ragu-ragu.
“Miyamae-san tuh ... orang yang
menuruti perkataan orang tuamu sendiri, ya.”
“Hah? Aku biasanya menurutinya,
kok? Yah, meskipun aku takkan mendengarkan apa yang guru katakan sih ~~ haha”
Dengan ekspresi lesu yang sama
sekali tidak terlihat aneh, Nonoa mengatakan sesuatu yang membuatnya sulit
untuk dinilai apakah dia serius atau bercanda. Takeshi dan Hikaru juga tampak
bingung untuk menanggapinya dan cuma bisa tersenyum kaku.
(Hmmm,
aku jadi khawatir ke depannya bakal gimana)
Takeshi adalah tipe orang yang
gampang gugup dengan perempuan terlepas dari penampilannya, dan Hikaru sama
sekali kurang akrab dengan perempuan. Sedangkan Alisa sangat buruk dalam
berteman.
Di sisi lain, Nonoa benar-benar
seenaknya sendiri, dan Sayaka tidak terlalu peduli dengan perasaan orang lain.
Sejujurnya, Masachika tidak bisa membayangkan masa depan di mana para anggota
ini bermain dalam sebuah band yang harmonis setelah mengumpulkan mereka sendiri.
(Itu
sebabnya aku harus menengahi mereka dengan baik)
Saat dirinya memperbarui tekad,
Sayaka akhirnya datang. Dengan mengucapkan salam seperlunya, dia segera memulai
pertemuan.
“Baiklah, kalau begitu, ayo
kita mulai dengan menentukan nama band dulu. Ada yang punya pendapat? Kalau ada
yang mau mengusulkan, silakan angkat tangan kalian.”
Di ruang kelas yang kosong
berisi enam orang, Sayaka berdiri di podium seolah-olah dia adalah seorang guru
dan melihat sekeliling ke arah kelima siswa tersebut. Setelah jeda singkat,
Hikaru mengangkat tangannya dan berkata, “Ya,
aku.”
“Ya silahkan, Kiyomiya-san.”
“Umm ... Bagaimana dengan 'Colorful' ? Seperti yang kamu lihat,
kita semua memiliki kepribadian dan keunikan masing-masing ... Kurasa akan
lebih baik jika memakai nama yang sederhana.”
“Begitu rupanya, kurasa itu
tidak buruk juga.”
Sambil mengatakan itu, Sayaka
menulis “Colorful” di papan tulis.
Dan ketika dia mendesak yang lain, “Apa ada
lagi?”, Takeshi mengangkat tangannya dengan penuh semangat.
“Ya, Maruyama-san.”
Setelah diperbolehkan Sayaka,
Takeshi menunjukkan senyum tanpa rasa takut seolah-olah Ia habis mendapatkan
ide brilian. Lalu Ia berkata perlahan sembari menyunggingkan ujung
bibirnya dengan percaya diri.
“Bagaimana kalau dengan nama …
‘Sunrise of Paddy’ ?”
Untuk beberapa alasan, Takeshi
tampak sangat percaya diri, tetapi kelima orang lainnya tidak begitu yakin.
Dengan
alis yang sedikit terangkat, Sayaka mendorong bingkai kacamatanya.
“Kalau diterjemahkan secara
harfiah, maka artinya ... 'Matahari
Terbit di Sawah'? Memangnya ada maksudnya tersendiri?”
Takeshi mengangkat jari telunjuknya
pada pertanyaan Sayaka yang masuk akal.
“Saat menentukan nama band
seperti ini, pertama-tama aku mengambil inisial nama semua orang... Ta, Hi, A, Sa, dan No,
oke. Setelah menjejerkan dan merombak ulang, namanya menjadi “Ta no Asahi ('Matahari Terbit di Sawah)” ! Dengan
kata lain, ‘Sunrise of paddy’ !
Gimana menurut kalian!?”
“Norak banget”
Ocehan pedas tanpa ampun gadis gyaru menghantam hati rapuh Takeshi! Takeshi berhasil ditumbangkan!
“... Apa aku perlu menghapus usulan tadi dari daftar
kandidat?”
Dan komite disiplin pun tak
memberinya ampun. Sayaka berdeham ringan dan mengalihkan perhatiannya ke arah
Nonoa, yang telah membabat habis mental Takeshi dan membuangnya.
“Apa kamu sendiri punya ide,
Nonoa?”
“Ehh~?”
Melihat Nonoa yang memainkan rambutnya
dan mengalihkan pandangannya, Masachika berpikir dalam hati, ‘Palingan dia akan mengatakan nama yang ada
kilau-kilau dan gemerlap, jadi kurasa tidak perlu bertanya padanya juga kali.'
(Palingan
juga ada kata ‘Maji’, ‘Bari’, atau
‘Age’? Aku yakin itu pasti nama panjang yang jelek banget)
Di depan tatapan antisipasi
Masachika, Nonoa meninggikan suaranya, “Ah.”
“Kalau begitu, nama 'Tsukune Daimyoujin'.”
“Nama apaan itu?”
“Eh~ bukannya itu kurang
bagus?”
“Kedengerannya seperti nama
warung Izakaya?”
Saat Masachika membalas dengan
wajah datar, Sayaka pun bertanya pada Nonoa dengan ekspresi kesulitan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana
kamu bisa kepikiran nama itu?”
“Hah? Asal ceplos doang, kok?”
“...”
Sayaka diam-diam meletakkan
tangannya di dahinya ketika mendengar tanggapan langsung Nonoa. Meski begitu, Sayaka
masih tetap menulis “Tsukune Daimyojin” di
papan tulis, dan Nonoa bertanya balik padanya.
“Ngomong-ngomong, kalau usulan
nama Sayacchi sendiri gimana?”
“Usulan dariku? Kalau gitu, ….”
Setelah berbalik sedikit dan
mengangkat alisnya, Sayaka menggerakkan kapurnya melintasi papan tulis dan
menulis “昏—”
“Yup, tunggu dulu sebentar, Taniyama.”
“Ada apa sih?”
“Ya, tunggu saja dulu. Dan ayo
bicara sedikit di sebelah sana.”
Segera setelah huruf pertama
ditulis di papan tulis, Masachika mendesak Sayaka ke lorong. Tapi tentu saja
Sayaka mengernyit keningnya dengan kebingungan.
“... memangnya kamu tidak bisa
menunggu sampai aku selesai menulis ini dulu?”
“Hmm~, Sayacchi~? Kupikir lebih
baik kalau kamu melakukan apa yang diminta Kuzecchi, loh~?”
“Nonoa...”
Sayaka dengan enggan meletakkan
kapur setelah mendengar perkataan teman masa kecilnya dan pergi menuju lorong bersama
Masachika. Dan begitu pintu ditutup, Masachika melakukan kabedon pada Sayaka. (TN: Udah pada tau kan istilah kabedon? Itu loh yang
memojokkan seseorang sampai di dinding, cek aja ke google kalau mau tau lebih
jelasnya)
“Tadi kamu ingin mencoba
menulis apa?”
“Apanya... haahh”
Ketika Masachika mengajukan
pertanyaan seperti itu, Sayaka mendorong kacamatanya dan menjawab dengan acuh
tak acuh.
“昏き夜会 (Pesta Malam Gelap) ... itulah yang
ingin aku coba tulis.”
“Ohhoo, ternyata ini lebih
berbahaya daripada yang kubayangkan. Kamu bahkan hampir meninggalkan dampak
mental padaku.”
“Apa yang kamu bicarakan,
sih...?”
“Seharunya aku yang bertanya
begitu! Apa sih yang kamu bicarakan! Ngomong-ngomong, bagaimana cara
membacanya?”
“Ah, kamu memang peka seperti
biasanya ... huruf 昏き夜会 dibaca
sebagai Nightmare.”
“Kamu emang enggak bisa
ketolong lagi, ya~? Kamu Chuunibyou, ya? Kamu Chuunibyou yang telat puber, ya?”
Tebakan Masachika tepat
sasaran. Nyatanya, rekam jejak Sayaka yang menjadi otaku masih belum terlalu
lama.
Sayaka menjadi seorang otaku
pada bulan Juni saat masih duduk kelas 2 SMP. Ya, hal tersebut terjadi setelah dia
dikalahkan oleh Yuki dan Masachika dalam pemilihan ketua OSIS SMP.
Sampai saat itu, Sayaka adalah
seorang anak yang tidak memiliki keraguan untuk mencapai hasil dan memenuhi
harapan orang tuanya. Dia menjalani hidup penuh keteladanan seperti yang
diharapkan oleh orang tuanya dan bersekolah di sekolah bergengsi seperti yang
diharapkan oleh orang tuanya. Bagi Sayaka, kekalahan dalam pemilihan tersebut
merupakan pengalaman pertamanya karena gagal memenuhi harapan orang tuanya.
Hukuman macam apa yang akan dia
terima?... Ketika Sayaka pulang ke rumah dengan sangat ketakutan, dia justru
disambut oleh rasa bangga orang tuanya atas kerja kerasnya. Setelah menanggapi
perasaan mereka, Sayaka merasa lega, dan pada saat yang sama, dia menyadari
bahwa dialah yang memaksa dirinya untuk menjadi ... ‘seseorang yang memenuhi harapan orang tuanya.Dan kemudian dia mulai
berpikir, “Bukannya tidak masalah untuk
menjalani hidup seperti yang kuinginkan?”. Akibatnya ...Sayaka menjadi
otaku yang sehat, dan sudah dua tahun lebih sejak hari itu. Dengan kata lain,
sekarang! Sayaka sekarang berada dalam tahap mengembangkan penyakit Chuunibyou-nya!
“Aku bukannya meledekmu, tapi seriusan
kamu jangan menulis itu. Jika tidak, hobi wibumu bakal ketahuan.”
“! Itu sih memang
bermasalah...”
Sepertinya nasihat itu lumayan
berhasil untuk Sayaka, yang seorang otaku tersembunyi. Setelah memikirkannya
sebentar, dia kembali ke dalam kelas, menghapus kata “昏” di papan tulis seolah tidak terjadi apa-apa, dan mengalihkan
perhatiannya ke Alisa.
“Kalau begitu, Kujou-san. Apa kamu
punya ide?”
“Eh, aku...?”
Alisa dibuat terkejut karena
dirinya tiba-tiba ditanya. Di sisi lain, Takeshi dan Hikaru tidak mengatakan
apapun secara khusus. Sepertinya mereka berdua juga samar-samar bisa menebak
sesuatu.
(Yah,
dia lumayan hebat juga hobi wibunya tidak ketahuan sampai sekarang...)
Ketika Masachika diam-diam
memberikan kesan yang tidak bisa dikatakan sebagai kekaguman atau kekecewaan,
Alisa mengajukan pendapatnya dengan sedikit ragu.
“Umm, bagaimana kalau dengan
nama ‘Fortitude’ ?”
“Fortitude? Temannya Fortissimo? Memangnya ada simbol musik seperti
itu?”
Sayaka menyembunyikan matanya
di balik kacamatanya dan menjawab dengan tenang kepada Takeshi, yang
melontarkan lawakan garing.
“Maksudnya itu adalah ‘ketabahan’.”
“Oh, be-begitu ya?”
“Artinya menjadi ketabahan sih memang
benar, tapi ... aku lebih menyukai kalau maksudnya adalah kegigihan.”
“Kegigihan...”
Alisa memberi tahu Hikaru yang
sedang menggulung kata-kata itu di mulutnya.
“Sama seperti orang Jepang yang
menganggap sikap rendah hati sebagai suatu kebajikan… Di Rusia, ada aspek di
mana kegigihan dianggap sebagai suatu kebajikan. Semangat kegigihan, sikap
dimana seseorang yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan apapun ... Mungkin
itu nilai khas Rusia karena lingkungannya yang keras.”
“Keadaan sulit...”
Pada saat itu, baik Hikaru dan
Takeshi sepertinya menyadari apa yang ingin Alisa coba katakan. Kemudian, Hikaru
tersenyum lembut dan mengangguk ke arah Alisa.
“Bagus tuh, aku cukup
menyukainya.”
“Aku juga! Kedengarannya juga keren!”
Dengan persetujuan mereka
berdua, ada suasana yang seolah-olah akan menerapkan ide Alisa. Sayaka dan
Nonoa juga saling memandang dan berkomunikasi melalui tatapan mata mereka.
“Kalau begitu, aku ingin
menerapkan usulan dari Kujou-san. Apa ada yang mau memberikan pendapat lain?”
Semua orang diam-diam setuju
dengan perkataan Sayaka. Di antara mereka, Takeshi meninggikan suaranya dengan
sedikit ragu.
“Umm, bukannya aku bermaksud
keberatan sih, tapi ...kalau boleh tahu, bagaimana kegigihan itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Rusia?”
“Ehh? Несгибаемые”
"Nisgiba...? Ah, yup ...
mendingan pakai nama ‘Fortitude’
saja.”
Alhasil, nama band “Fortitude” resmi diputuskan.
◇◇◇◇
“Lalu selanjutnya, tentang lagu
yang akan dibawakan di festival sekolah …. waktu pertunjukannya adalah lima
belas menit per grup. Jika kita menyertakannya dengan pengenalan diri, tiga
lagu saja sudah cukup. Lembar musik terakhir yang kudapatkan terakhir terdiri dari tiga lagu cover dan satu lagu orisinil ... jadi bagaimana pendapat
kalian?”
Takeshi dan Hikaru saling bertukar
pandang pada pertanyaan Sayaka. Kemudian, Takeshi tergagap sedikit dan berkata.
“Ahh~ aku minta maaf karena
sudah terlanjur mengirimkannya kepadamu, tapi lagu orisinil itu dibuat oleh
band sebelumnya ... Jadi kira-kira kali ini kita akan melakukannya secara
berbeda.”
“Begitu ya ... kalau begitu,
bagaimana kita melanjutkan dengan tiga lagu cover secara berurutan?”
“Ya. Mempertimbangkan waktu
latihan, kurasa itu pilihan yang paling masuk akal.”
Walaupun Ia mengatakan itu, ada
aura ketidakpuasan dari nada suara Hikaru. Perasaan sejatinya pasti ingin
memainkan lagu orisinalnya sendiri.
“Bukannya tidak ada salahnya
memainkan lagu original juga? Lagipula, kita masih punya waktu satu bulan
lagi.”
“Meski dibilang tinggal sebulan
lagi ... Lagian, aku dan Takeshi tidak pandai menulis liriknya, apalagi
mengarang lagu...”
Bahkan ketika Masachika menawarkan
bantuan, Hikaru tidak segera mengatakan, “Ayo
kita lakukan.” Takeshi juga terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi
Ia tetap tutup mulut. Baik Takeshi maupun Hikaru, sebagai pihak yang melibatkan
orang luar dalam aktivitas band mereka, memiliki beberapa kesungkanan kepada
para gadis.
Tapi kemudian, orang yang tak
terduga mulai angkat bicara.
“Jika kamu ingin memainkan lagu
orisinal, kupikir kita bisa melakukannya. Karena aku sudah memutuskan untuk
bekerja sama. Aku ingin memastikan bahwa semua orang di sini melakukan
pertunjukan dengan perasaan puas.”
Takeshi dan Hikaru membuka mata
mereka lebar-lebar ketika Alisa meninggikan suaranya. Masachika juga sedikit
terkejut dengan keagresifan partnernya yang tak terduga. Terlebih lagi ….
(Bukan
‘aku’, tapi ‘semua orang’, ya...)
Dia sudah tidak mengejar
idealismenya sendiri lagi. Masachika sedikit tersentuh oleh kata-katanya, yang menetapkan
tujuan bersama untuk semua orang dan menyemangati semua orang untuk mencapai
tujuan tersebut.
“Tidak, aku merasa senang
dengan perasaan Kujou-san, tapi ... seperti yang sudah kubilang tadi,
lagunya...”
“Kalau begitu, kenapa tidak
menggunakan lagu orisinil Sayacchi aja?”
Ucapan Nonoa secara blak-blakan
menyela keengganan Hikaru, dan kali ini tatapannya terfokus pada Nonoa dan
Sayaka.
“Sayacchi, kamu menulis
beberapa lagu orisinal, bukan?”
“Yah, memang sih ... tapi cuma
ada partitur musik untuk gitarnya saja, lho?”
“Eh, Taniyama ... kamu bisa
bermain gitar juga?”
“Tidak semahir orang lain, sih”
Sayaka mengatakannya dengan
santai. Menanggapi hal tersebut, Nonoa memandang Hikaru dengan matanya yang setengah
tertutup seperti biasa.
“Oleh karena itu, masalah lagu
sudah tuntas, oke? Lagian, pemilihan lagu cover itu sendiri juga dari band
sebelumnya, ‘kan? Terus terang saja, ada beberapa lagu yang tidak cocok dengan
suara Alisa, jadi bukannya lebih baik memulainya dari sana?”
“Ah ... Yah”
“Ada benarnya juga sih.”
“Lalu, bagaimana kalau kita memulai
semuanya dari awal? Lagu cover maupun orisinil tidak ada bedanya dalam
memainkannya.”
Takeshi dan Hikaru saling bertukar
pandang dan menganggukkan kepala mereka pada keagresifan yang ditunjukkan oleh
para gadis.
“Ya, oke ... baiklah! Ayo kita
lakukan!”
“Yosh!! Oh iya Taniyama-san.
Apa kamu memiliki file suaranya? Aku ingin mendengar lagu original yang
dimaksud.”
“Tentu saja ada … jika kamu
tidak keberatan dengan video latihan yang kuambil dengan smartphone.”
“Oh, seriusan! Aku ingin mendengarnya,
aku ingin mendengarnya!”
Takeshi dan Hikaru yang
langsung dipenuhi motivasi, mendekati Sayaka dengan penuh semangat. Kemudian, setelah
mendengarkan beberapa lagu bersama—
『
Ini cuma imajinasiku saja atau memang …. Semua lagunya mirip seperti lagu
anime? 』
『Apalagi
judulnya itu sedikit ... 』
『Jangan
sampai dibilang semua』
Para pria berkomunikasi melalui
kontak mata dengan ekspresi kaku yang tidak wajar.
“Bagaimana? Aku merasa bangga
pada diriku sendiri karena ini berhasil diselesaikan dengan baik.”
Di sisi lain, Sayaka anehnya merasa
sangat percaya diri.
“Yabai~”
Nonoa melarikan diri dengan
melontarkan pujian ambigu yang bagus, spesialisasi khas gadis gyaru. (TN: Seruan Yabai
tuh mempunyai banyak makna berlapis)
“Menurutku itu adalah lagu yang
bagus karena menunjukkan sudut pandang Taniyama-san yang unik.”
Hanya satu orang yang memuji
dengan polosnya, Alisa. Poin kesukaan kelima orang itu terhadap Alisa langsung
naik drastis.
“Secara pribadi, aku cukup menyukai
lagu kedua.”
“Begitu ya... itu cukup bagus.”
“Ah, menurutku itu yang terbaik...
yang pernah aku dengar!”
“Iya, rasanya cukup menenangkan,
itu bagus!”
“Yabai~”
Alisa memilih lagu yang paling
mendekati normal, dan semua orang ikut bergabung untuk menyuarakan pendapat
mereka. Dengan demikian, lagu untuk dinyanyikan pada pertunjukkan nanti
berhasil diputuskan tanpa masalah.
“Kalau begitu, mari kita mainkan
lagu 'Mugen' yang dibuat oleh
Taniyama-san, oke?”
“Ah, judul lagunya itu dibaca
dengan nama 'Phantom'.”
“Fwah...? Eh, be-begitu ya.”
Masachika merasa bahwa ada satu
orang yang tidak bisa menjaga martabatnya karena hampir ketahuan dengan
kewibuannya ... tapi sepertinya tidak ada masalah, karena orangnya sendiri
tidak menyadarinya.
◇◇◇◇
(Sialan……)
Keesokan harinya, Masachika sedang
berjalan menyusuri lorong dengan perasaan sangat mendesak.
(Cepat…
Cepat, aku harus cepat, jika tidak…)
Langkah kakinya sedikit goyah,
dan pandangannya menjadi samar dan kabur. Meski begitu, Ia tetap mati-matian
menyeret kakinya untuk bergerak maju.
Jika dirinya berhenti sekali
saja, riwayatnya bakalan tamat. Pada saat itu, pasti...
(Kalau
begini terus, aku benar-benar akan tertidur sambil berdiri!!)
…. Hal tersebut mungkin
terdengar konyol, tapi nyatanya memang begitu.
Pada kenyataannya, setelah
menjadi anggota OSIS, Masachika sudah memperbaiki sikap kesehariannya supaya
tidak mempermalukan rekannya, Alisa. Sedikit demi sedikit, Ia berusaha untuk
tidur lebih banyak di malam hari dan melunasi hutang tidurnya supaya tidak ketiduran
di sekolah.
Namun, ketika liburan musim
panas dimulai, rutinitas tidurnya kembali terganggu akibat sering begadang, dan
bangun di siang hari. Alhasil, begitu semester kedua dimulai, Masachika
menderita kantuk berat di siang hari.
Meski begitu, entah bagaimana
dirinya berhasil bertahan selama jam pelajaran pagi ... Tidak, itu bohong. Sejujurnya,
ingatannya sudah lumayan kabur di akhir jam pelajaran keempat. Tapi Masachika
merasa bersyukur karena Alisa tidak mengkritiknya karena itu. Mau tak mau Ia
merasa seperti sedang ditatap dengan pandangan yang sedikit curiga... seolah-olah
ingin menghindari tatapan itu, Masachika segera melesat langsung menuju ruang
OSIS.
(Jika
di sana ... aku seharusnya bisa tidur siang tanpa perlu takut ketahuan orang
lain)
Dengan demikian, Masachika
berhasil tiba di ruang OSIS tanpa ketiduran. Namun, pada titik ini, sekitar 30%
kapasitas otak Masachika sudah terlelap.
(Ah,
seperti yang diharapkan, aku harus menyetel alarm dulu…)
Ketika Masachika membuka pintu
dan melangkah masuk, Ia berjalan menuju sofa sambil mengeluarkan ponselnya dari
sakunya. Kemudian, setelah memilih waktu yang tepat dari pengaturan alarm yang
tersimpan, Ia melepas blazer dan sepatunya, lalu jatuh terbaring di atas sofa.
Bersamaan dengan momentum itu, Ia meletakkan smartphone dengan alarm di atas
meja di depan sofa….. dan Masachika benar-benar tertidur dengan begitu nyenyak.
◇◇◇◇
Setelah selesai makan siang,
Maria sedang dalam perjalanan menuju ruang OSIS dengan membawa kantong kertas
berisi seragam musim panas barunya.
Karena antrian kemarin terlalu
padat, jadi Maria memutuskan, “Yah, aku
akan membelinya besok saja,” dan berangkat ke sekolah dengan seragam musim
panas model lama lagi hari ini, tapi. .. hari ini adalah hari terpanas di bulan
September. Selain itu, Maria duduk di dekat jendela yang menghadap ke luar.
Dikelilingi oleh siswa berlengan pendek membuatnya merasa gerah. Di sisi lain,
dirinya mengenakan kemeja, rok jumper, dan blazer, yang membuatnya ingin
berteriak “Jangan meremehkan pemanasan
global!”. Bahkan Maria pun sudah mencapai batasnya di pagi hari.
Oleh karena itu, dia memutuskan
untuk membeli seragam baru pada jam istirahat pagi dan menggunakan istirahat
makan siangnya untuk berganti pakaian. Namun, masalahnya justru di mana dia harus
berganti pakaian. Dia merasa tidak nyaman menggunakan ruang ganti untuk alasan
pribadi seperti itu, dan toilet merupakan tempat yang tidak cocok untuk OSIS
maupun dengan selera estetika Maria. Jika demikian, kandidat pertama yang
muncul di benaknya adalah ruangan OSIS karena cuma beberapa siswa saja yang
diperbolehkan masuk dan keluar dan ruangannya juga bisa dikunci dari dalam.
“Permisi~.”
Karena berpikir tidak ada orang
di dalam, Maria menyuarakan salam untuk memastikan dan masuk ke dalam. Kemudian
dia melihat sebuah jaket tergeletak di lantai dan sebuah kaki mencuat dari tepi
sofa.
“Uwahhh, bikin aku kaget saja
...”
Bahunya tersentak tanpa sadar,
tapi sesuatu yang terbaring di sofa itu tidak bergerak sama sekali.
“...”
Maria dengan hati-hati mendekat
sambil sedikit waspada. Dan kemudian, ketika doa diam-diam mengintip dari balik
sofa…. Funyaa~, dia langsung
menyingkirkan semua kewaspadaannya
“Kyaa~ imut sekali~!”
Maria melewatkan semua
kehati-hatiannya dan dengan cepat berjongkok di depan Masachika. Kemudian, dia
mengintip ke wajah tidur Masachika yang terlihat lugu dan meletakkan tangannya
di pipinya sembari berteriak “Kyaa~”
dengan suara melengking.
“Fufufu♡ dasar Sa-kun tukang tidur~♪”
Dengan ekspresi mirip seperti
seorang ibu yang menjaga bayinya, Maria tersenyum bahagia.
Maria terlahir dengan rasa
keibuan dan kasih sayang yang jauh lebih kuat dari orang lain. Dia selalu memiliki
keinginan untuk merawat orang yang dicintainya, memanjakannya, dan mengagumi
dengan penuh kasih sayang. Sampai sekarang, keinginan itu terutama ditujukan
pada adik perempuannya, tapi ... Alisa sendiri adalah tipe orang yang lebih
bisa diandalkan daripada kakak perempuannya, dan dia bukan tipe orang yang
bergantung pada kakak perempuannya. Akibatnya, Maria selalu dalam keadaan aura
penuh keibuan dan kasih sayang yang melimpah.
Dan kemudian muncul Masachika,
orang yang disukainya, terlihat kelelahan. Melihatnya benar-benar menunggu
untuk diurus (dari sudut pandang Maria)
membuat perasan Maria jadi lepas kendali. Jika Ia tertidur di tempat tidur atau
lantai, Maria pasti akan tidur bersama dengannya atau memberinya bantal
pangkuan.
“Fufufu~, imutnya~♡”
Dia tidak berniat mengganggu
hubungan Masachika dan Alisa, Maria dengan tulus mengatakan kepada Masachika
untuk memprioritaskan Alisa. Akan tetapi, masalah itu ya itu, ini ya ini. Jika
seseorang yang dia cintai sedang menunggu untuk dirawat di depannya, wajar saja
jika dia merawatnya. Semuanya itu salah Alisa karena tidak ada di sini.
(Duhh,
dasar Alya-chan, kamu tidak bisa mendukung Kuze-kun saat Ia lemah begini...)
Setelah memikirkannya, Maria
menyadari bahwa itu karena Masachika sendiri yang menginginkannya seperti itu. Alasan kenapa Masachika
beristirahat di sini justru karena Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya
kepada Alisa ... Ketika menyadari hal tersebut, perasaan kasih sayang dan
keinginan untuk melindunginya semakin tumbuh besar di dalam batin Maria.
(Duhh,
Kuze-kun memang laki-laki jantan, deh ... kalau begitu biar aku saja yang memanjakan
Kuze-kun untuk menggantikan bagian Alya-chan!)
Maria yang mendapat pembenaran
sebagai pengganti Alisa, menyolek-nyolek pipi Masachika untuk sementara waktu.
“Fufufu~♪ hore~hore,
klitikklitikklitik~”
Dia menggelitik pipi Masachika
dengan ujung jarinya, melihat alisnya berkedut, dan menggelengkan kepala dari
sisi ke sisi. Dia sudah memercikkan tanda hati di seluruh kepalanya.
(Oh
iya! Aku harus mengabadikan wajah tidur imut ini didalam kamera!)
Dengan pemikiran tersebut,
Maria mulai merekam video di sudut ruangan agar suara kamera tidak membangunkan
Masachika. Kemudian, seolah-olah juru kamera yang mencoba membuat kejutan,
Maria dengan cepat mendekatkan wajah Masachika ke depan kamera. (TN: Trivial info,
kamera ponsel di jepang itu enggak bisa memoto dalam mode diam, artinya kalau
mau memfoto pasti bakal menimbulkan suara jepretan, sudah dari pengaturan
pabriknya karena demi meminimalisir tindak kejahatan asusila atau pelecehan
seksual)
“(Iyaaa~n, duhh makin suka~♡)”
Dengan suara rendah dan
menggeliatkan badannya, Maria sekali lagi menyolek pipi Masachika. Dia menikmati
sentuhan halus dan lembut pipi anak SMA sepuasnya.
(Hmm~,
apa yang harus kulakukan dari sini~?)
Kemudian dia berpikir tentang
bagaimana cara merawat Masachika. Masalahnya karena ada sofa yang jadi
penghalangnya. Karena Maria tidak bisa tidur bersama atau memberinya bantal
pangkuan, satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah mengelus kepalanya atau
menyanyikan lagu pengantar tidur...
(Ara?
Kok aku sudah melakukan keduanya?)
Maria mengedipkan matanya saat menyadari
bahwa dia tanpa sadar menepuk-nepuk kepala Masachika dengan lembut sambil
menyenandungkan lagu pengantar tidur. Namun, saat melihat wajah tidur Masachika
yang terlihat tenang dan damai, Maria kembali tersenyum lembut. Pada dasarnya,
Maria beralih dengan cepat dan tidak peduli dengan detailnya. Dia merasa alasan
kenapa wajah tidur Masachika menjadi lebih tenang karena ada seseorang yang
menyolek-nyolek pipinya, tapi dia tidak memedulikan hal sepele semacam itu!
“(Yosh~ yosh~ tidurlah dengan
nyenyak, ya~?)”
Di akhir lagu pengantar tidurnya,
Maria berbisik dengan lembut. Kemudian, dia tiba-tiba mengubah senyumannya dan
berbicara kepada Masachika dengan suara tenang.
“Apa Kuze-kun menganggapku
sebagai orang yang berhati besar dan rela berkorban…. ?”
Tentu saja tidak ada jawaban.
Namun, Maria tampaknya tidak peduli sama sekali, dan tertawa kecil sambil
berkata, “Padahal bukan begitu maksudku…”
“Karena aku ...”
Jadi, setelah menutup mulutnya
sejenak, Maria diam-diam berbisik.
【Я думаю, у вас с Алей-тян не ладится.】
Dan kemudian, dengan tatapan
mata yang sedikit sedih dan penuh kasih, Maria kembali mengelus kepala
Masachika.
【Вот
увидишь, ты терпеть не сможешь быть
рядом с Алей-тян.】
Saat dia mengatakan itu dengan
suara yang sangat kecil, bibir Maria sedikit cemberut dan dia menggelitik
telinga Masachika.
“Oleh karena itu ... aku sama
sekali tidak sebaik itu, tahu? Apa kamu sudah paham sekarang?”
Setelah mengatakan itu dengan tingkah
kekanak-kanakan, Maria sekali lagi mengelus kepala Masachika dengan ekspresi lembut.
Dan kemudian, seolah-olah baru kepikiran, dia menyikat poni Masachika dan
ekspresinya kembali cengengesan.
“Ihh~ Dahimu juga kelihat imut~♡”
… Maria dengan cepat beralih
dan memiliki kepekaan yang sedikit unik. Dengan wajah yang dipenuhi kasih
sayang, dia menatap kening Masachika. Saat sedang melakukan itu, Marija
merasakan keinginan yang besar untuk menciumnya.
(Aku
ingin mencium dahi yang imut ini... Ah, bahkan mungkin pipinya?)
Dan kemudian wajah Alisa
tiba-tiba muncul di benaknya.
(Ah,
jangan salah sangka dulu, Alya-chan. Ini bukan hal semacam itu kok, ini mirip
seperti ciuman selamat malam untuk anak kecil , atau lebih tepatnya ciuman
sayang, bukan ciuman cinta...)
Di dalam bayangannya, Maria
tanpa sadar membuat alasan untuk adik
perempuannya, tapi alasan seperti itu kehilangan kekuatannya saat dia
melihat wajah tidur Masachika. Maria kemudian menarik nafas kecil, dia lalu meletakkan
smartphonenya di lantai dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah tidur Masachika.
“(Semuanya salah Alya-chan karena
kamu tidak ada di sini…)”
Begitu wajah mereka begitu
dekat sehingga mereka bisa merasakan napas satu sama lain….
Tok,
tok, tok.
“!?”
Bunyi ketukan pintu bisa terdengar
di ruang OSIS.
◇◇◇◇
“……? Apa yang sedang kamu
lakukan?”
Alisa mengunjungi ruang OSIS
dengan membawa kantong kertas di tangannya dan membuka pintu setelah
mengetuknya. Dia lalu sedikit memiringkan kepalanya saat melihat Maria, yang
sepertinya buru-buru berdiri.
“A-Alya-chan? Enggak kok,
karena ada Kuze-kun yang sedang tidur, jadi aku hanya memperhatikannya
sebentar.”
“...?”
Dia mengerutkan kening pada
kakak perempuannya, yang terlihat lebih tersipu dari biasanya dalam posisi
pintu terbuka. Dan saat melihat ke arah sofa, Alisa melihat sebuah kaki mencuat
dari sofa yang sepertinya milik Masachika.
“Apa Alya-chan juga mau
mengganti seragammu di sini?”
“? iya sih, tapi ......”
Alisa mengangkat alisnya ke
arah kakaknya yang jelas-jelas terlihat gelisah, dan menatap wajah Maria. Kemudian,
Maria memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapannya dan tersenyum kaku
seraya tatapannya mengarah ke sana-kemari.
“Kalau begitu, kita harus
berganti dengan cepat, iya ‘kan? Aku juga tadinya mau menggantiseragamku...”
“Tidak, mana mungkin aku bisa
melakukan itu selama Masachika-kun ada di sini.”
Begitu mendengar kakaknya
mengatakan sesuatu yang keterlaluan seolah-olah hendak menutupi sesuatu, Alisa menatapnya
dengan curiga seakan menyiratkan “Aku takkan tertipu.” Tapi reaksi Maria
terhadap hal itu justru di luar imajinasinya.
“Ehh? Kenapa?”
“Hah?”
Bukan karena menghindari
sesuatu dan juga bukan karena hal lain, tapi itu murni pertanyaan yang tulus.
Setidaknya, seperti itulah anggapan Alisa.
“Mumpung Kuze-kun sedang
tertidur lelap, jadi kita tinggal mengunci pintunya saja dan segera berganti
dengan cepat.”
“Enggak, enggak, enggak!”
“Alya-chan, Ssssttt”
“Ah...”
Dia berteriak tanpa sengaja,
dan Alisa bergegas menutup mulutnya. Dia lalu melihat Masachika yang masih
tertidur tanpa ada gerakan apapun.
“... Nah, ‘kan? Dengan kondisi
seperti itu, kurasa Kuze-kun tidak gampang terbangun.”
“Tidak, tapi ….”
“Kalau begitu, apa ada tempat
lain di mana kamu bisa berganti pakaian?”
Alisa tak bisa membalas
pertanyaan Maria. Sejak awal, baik Maria maupun Alisa memilih ruang OSIS
setelah mempertimbangkan berbagai hal. Mereka berdua sama sekali tidak bisa
memikirkan tempat lain yang pas.
“Jangan khawatir~ jangan
khawatir. Selama kita berganti seragam dengan cepat dan menyelinap keluar,
semuanya akan baik-baik saja~.”
Sementara itu, Maria mengunci
pintu dari dalam, lalu menutup tirai jendela untuk berjaga-jaga, kemudian meletakkan
kantong kertas di atas meja dan benar-benar mulai berganti pakaian.
“Tu-Tunggu sebentar….”
“Alya-chan juga harus
cepat-cepat, jika tidak, jam istirahat makan siang akan segera selesai, loh~?”
Begitu mendengar perkataan
Maria, dia melihat jam tangannya dan mengerutkan kening saat menyadari bahwa jam
istirhat makan siang hanya tersisa tinggal sepuluh menit lagi. Memang benar
jika dia mencari tempat lain dan berganti pakaian mulai sekarang, dia takkan
sempat untuk kembali ke ruang kelas.
(Tapi……)
Bagaimana jika Masachika bangun
saat dia sedang berganti pakaian? Membayangkannya saja sudah membuat seluruh
tubuh Alisa memanas seperti terbakar api.
(Mungkin
lebih baik tidak usah ganti seragam segala ...)
Itulah yang Alisa putuskan, tapi
kemudian dia tiba-tiba mempunyai ide.
Setelah berganti pakaian di
sini, bagaimana kalau membangunkan Masachika? Kemudian, ketika Masachika
menyadari bahwa seragamnya sudah berubah, dia akan berkata, “Aku baru saja ganti baju di sini, loh~.”
Pada waktu itu, ekspresi seperti apa
yang akan ditunjukkan Masachika ... ketika membayangkan itu, ide nakal mulai
membuncah di dada Alisa.
Rasanya sangat menghibur bagi
Alisa ketika melihat Masachika yang biasanya memiliki sikap bercanda dan sikap
santai, menjadi tersipu dengan kata-kata dan tindakannya sendiri. Ketika Alisa
melihat Masachika yang kadang-kadang terlihat sangat bisa diandalkan sehingga
membuatnya gusar, tersipu seperti anak kecil, terlihat sangat imut dan
menyedihkan sehingga dia tergoda untuk menjahilinya. Dia ingin menggodanya
sepuasnya, bahkan jika itu berarti menggunakan semua pesonanya sebagai gadis.
(Jika
aku mengatakan, ‘Aku baru saja mengganti bajuku di sini’…. Aku penasaran reaksi
macam apa yang akan ditunjukkan Masachika-kun? Apa Ia akan terkejut? Atau Ia
cuma membalas “Hee hee~” dan terlihat tidak terlalu peduli?)
Jika Masachika berpura-pura
santai-santai saja, dia akan menunjukkan seragam yang baru saja dilepas
kepadanya. Mungkin sebaiknya membiarkan Masachika menyentuh seragamnya dan
berkata, “Lihat, masih hangat, iya
‘kan?”. Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya terbakar karena rasa malu, tapi lebih dari itu, dia
tidak bisa berhenti menyeringai.Sensasi menggigil menjalar di punggungnya
ketika membayangkan Masachika di bawah belas kasihnya.
(Ah,
waktu itu juga reaksinya sangat imut...)
Beberapa hari yang lalu di
sebuah restoran keluarga, Alisa menjahili Masachika dengan cara menggelitik
tangannya. Pada saat itu, dia harus melakukannya dengan hati-hati karena
mengingat lokasinya yang masih di depan publik, tapi hari ini dia akan
menyerang lebih agresif ──
“A-Alya-chan...?”
“!!”
Dan kemudian Maria yang sedang melepas
blazernya, menatapnya dengan tatapan yang sedikit menyeramkan, dan ekspresi
Alisa menegang. Kemudian, dia memelototi Maria dengan kesal dan mulai mengganti
bajunya sebelum dia bisa mengatakan apa-apa lagi.
Dia melepas seragamnya dengan
cepat dan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Kemudian Alisa melepas
pitanya, disusul bajunya, dan mengambil seragam barunya. Tapi pada saat itu….
『Lets go!
Terbang tinggiiiiii! 』
Bahu Alisa tersentak kaget
karena mendengar suara teriakan keras yang tiba-tiba, dan menjatuhkan seragam
yang dia pegang di tangannya.
◇◇◇◇
“!!”
Masachika langsung melompat
terbangun dalam sekejap ketika mendengar alarm lagu anime yang familiar, dan
secara refleks menjangkau sumber suara.
“Ah, uh-huh”
Ia turun dari sofa dengan
terlalu banyak momentum dan mengeluarkan erangan kecil. Lalu….
“Ah, jangan!”
Masachika segera berbalik
karena mendengar suara jeritan yang tak terduga. Dan kemudian Ia melihat
pemandangan surga dunia.
Di hadapannya terdapat dua
kakak beradik cantik yang hanya mengenakan kaus kaki dan pakaian dalam saja.
Payudara dan bokong Alisa yang besar, subur, bulat, dan kencang. Dibandingkan
dengan itu, pinggangnya terlihat ramping dan langsing. Di sisi lain, tubuh Maria
yang dipenuhi feminitas, secara brutal tidak proporsional dengan wajah
kekanak-kanakannya. Alisa membanggakan sosok sempurna yang sulit dipercaya kalau
usianya 15 tahun, dan Maria membanggakan garis tubuh montok yang sulit
dipercaya bahwa usianya 16 tahun. Tubuh mereka berdua terpampang jelas di depan
mata Masachika tanpa menyembunyikan apapun. Bahkan celana dalam yang
menyembunyikan bagian sensitive tubuh mereka seolah-olah meminta maaf karena
sudah berubah seperti hiasan yang menghiasi tubuh telanjang mereka yang terlalu
indah.
“…??”
Masachika yang masih dalam
keadaan setengah sadar, tidak bisa membedakan apakah pemandangan itu adalah
mimpi atau kenyataan, dan menatap mereka dengan mulut terbuka lebar. Kondisinya
mirip seperti komputer yang nge-lag setelah dibombardir dengan sejumlah besar
data tepat setelah dinyalakan.
“Tunggu, jangan lihat ke sini!”
“An-Anu, umm, aku bahkan merasa
malu kalau kamu melihat-melihat terus seperti itu …”
Namun, otak Masachika akhirnya
mulai memproses dengan kekuatan penuh ketika mendengar ucapan dua gadis yang
tersipu malu. Namun, prosesnya masih tidak bisa mengikuti, dan Masachika
mengacungkan jempol dengan setengah tersenyum, merasa tidak yakin pada dirinya
sendiri.
“Jangan khawatir! Ini tidak
jauh berbeda dengan baju renang!”
Pada dukungan tindak lanjut
yang sesuai dengan suasana, tatapan mata Alisa sudah berkaca-kaca, dia segera
meraih kemeja putih yang digantung di kursi dan melemparkannya dengan sekuat
tenaga. Sebelum Masachika bisa menghindarinya, kejutan ringan menghantam
wajahnya, dan menghalangi pandangannya.
Suhu tubuh Alisa secara
bertahap disalurkan melalui kemeja yang menutupi wajahnya. Bau keringat dan
kulit seorang gadis yang merangsang lubang hidungnya. Otak Masachika yang masih
agak lamban karena kombinasi berbagai faktor, mengeluarkan kesan jujurnya di
sini.
“Ah, baunya wangi.”
Seketika itu juga, kejutan
misterius menghantam wajah Masachika dari sisi lain baju, dan membuatnya
kehilangan kesadaran secara paksa.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya