Roshi-dere Jilid 5 Bab 6

Chapter 6 — Seriusan, Aku Sama Sekali Tidak Bersalah

 

“Oh~Luar biasa sekali~”

Tanggal 1 September, hari pertama semester kedua setelah liburan musim panas. Setelah menyelesaikan upacara pembukaan dan jam wali kelas, Masachika melihat keluar halaman sekolah melalui jendela kelas dan berteriak seolah-olah itu urusan orang lain. Di ujung garis pandangnya terdapat antrian panjang yang membentang dari pintu masuk gedung gymnasium hingga ke luar. Ada banyak sejumlah siswa berlarian melintasi halaman sekolah untuk bergabung dalam antrian. Tempat tersebut begitu ramai sampai-sampai membuatmu berpikir ada selebriti di sana, tapi tentu saja bukan itu masalahnya. Hal yang sedang terjadi di sana sekarang adalah penjualan seragam. Ya, itu adalah penjualan seragam musim panas baru yang telah diperbarui berkat upaya Kenzaki Touya sebagai ketua OSIS.

Namun, hanya karena seragam musim panas baru sudah tersedia, bukan berarti semuanya akan diganti sekaligus. Seragam musim panas baru akan tersedia untuk dibeli, dan setiap siswa bebas untuk memutuskan apakah akan membelinya atau tidak. Setidaknya untuk murid kelas 3, mereka diizinkan untuk mengenakan seragam musim panas yang lama atau baru. Namun, diputuskan pada rapat staf bahwa konter penjualan sementara akan didirikan di gimnasium hanya untuk hari ini karena menduga akan terjadi antrian keramaian ... tapi tampaknya keputusan tersebut bukanlah sebuah kesalahan.

Jika ini hanya untuk pembelian, lorong-lorong akan kacau dengan siswa yang mengantri untuk membeli seragam baru dan siswa yang mencoba untuk pulang.

“Mau bagaimanapun juga, semua orang sudah muak dengan seragam blazer lengan panjang ini...”

Alisa bergumam sambil memasang ekspresi yang sedikit rumit pada teman-teman sekelasnya yang bergegas keluar menuju lorong.

Ada juga pihak keberatan di antara para siswa tentang pergantian seragam, dan pada kenyataannya, dengan mempertimbangkan pendapat tersebut, aturannya menjadi “Seluruh siswa diperbolehkan mengenakan seragam lama atau baru untuk sementara waktu”, … tapi jika dilihat dari sisi lain, tampaknya sebagian besar siswa siap beralih ke seragam baru mereka. Ketika semester baru telah dimulai, panasnya musim panas yang begitu gerah dan lembab membuat semua orang ingin cepat-cepat beralih dengan seragam baru mereka, dan ternyata orang yang beralih ke seragam baru lebih banyak  daripada yang diperkirakan karena mungkin mereka berpikir “Loh? Jika aku tidak memakai seragam baru, aku akan ketinggalan nih”.

Walaupun alasannya masih belum jelas, tapi sepertinya pembaharuan seragam yang digagas Touya sudah diterima oleh kebanyakan siswa.

“Jadi, pada akhirnya, bukannya semua orang ingin berganti ke seragam baru? Apalagi hari ini cuacanya lagi panas banget.”

Takeshi mengatakan itu sembari mengipasi wajahnya dengan tangannya. Hikaru juga mengangguk dan berbicara dengan penuh emosi.

“Tapi aku merasa sangat bersyukur karena aku akhirnya bisa bebas dari blazer ini mulai besok ... karena seragam ini wajib dipakai saat berangkat dan pulang sekolah, iya ‘kan.”

“Aku minta maaf karena sudah mengganggu kesenanganmu, tapi dengar-dengar katanya seragam baru itu lumayan bikin gerah, loh?”

“Hah? Kenapa? Kok bisa?”

Masachika mengangkat bahu ke arah Takeshi dan Hikaru, yang saling bertukar pandang seolah-olah mengatakan “Yang benar saja?!”

“Sebagai gantinya, seragam tersebut terbuat dari bahan yang tidak bisa berubah menjadi transparan sedikit pun. Sepertinya para siswa Akademi Seirei tidak diperbolehkan menunjukkan penampilan memalukan mereka di tempat umum.”

“Ap-Apa, tunggu sebentar... bukannya itu berarti ...”

Setelah mengatakan itu dengan ekspresi kaget, Takeshi melirik Alisa dan bertanya pada Masachika dengan suara bisik-bisik supaya Alisa tidak bisa mendengarnya.

“(Apa itu berarti peristiwa dimana bra gadis bisa terlihat karena seragam yang transparan takkan pernah terjadi...?)”

Masachika mengangguk serius pada Takeshi yang bertanya dengan ekspresi serius yang konyol.

“(......Yah, begitulah adanya)”

“(Mu-Mustahil… )”

Takeshi terhuyung-huyung dan bersandar pada bingkai jendela. Ia kemudian melihat ke luar jendela dan tersenyum sedih.

“Sungguh kejam sekali ... memangnya tidak ada yang namanya mimpi atau harapan di dunia ini...?”

“Apa yang kamu bicarakan di Jepang yang damai begini?”

“Bahkan hari ini, tidak ada kemunculan murid pindahan cantik yang mengaku sebagai tunanganku meskipun sekarang sudah memasuki semester baru ...”

“Emangnya peristiwa semacam itu bisa terjadi di dalam kehidupan nyata? Ngomong-ngomong  tentang murid pindahan, sekarang lagi terkenal dengan cerita mantan anggota Pasukan Khusus atau mantan pahlawan yang mendambakan kehidupan biasa.”

“Itu sih yang jadi karakter utamanya. Aku nantinya cuma kebagian jadi karakter pendukung doang!”

“… Ohh”

“Apa-apaan dengan jeda tadi?”

“Tidak, bukan apa-apa ....”

Masachika mengalihkan pandangannya pada pengejaran Takeshi. Hikaru dan Alisa juga terdiam dengan ekspresi yang agak keheranan di wajah mereka.

Setelah jeda aneh yang berlangsung selama beberapa detik, Hikaru berbicara dengan suara yang sedikit lebih ceria seolah-olah ingin mengubah suasana.

“Tapi itu tetap menakjubkan sekali, bukan? Kupikir upaya semacam ini yang mencoba mematahkan tradisi takkan mendapatkan persetujuan dari Raikoukai.”

Raikoukai adalah nama resmi perkumpulan alumni yang terdiri dari ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS Akademi Seirei di masa lalu.

Meski akademi ini adalah sekolah swasta bergengsi, biaya sekolahnya sendiri tidak setinggi yang dibayangkan. Justru sebaliknya, biayanya cukup murah dibandingkan dengan fasilitas lengkap dan programnya yang beragam.

Alasannya karena para alumninya mengirim sejumlah besar sumbangan ke sekolah.

Di antara sumbangan tersebut, jumlah sumbangan yang dikirim Raikoukai tak ada tandingannya, dan tentu saja, pengaruhnya terhadap akademi juga lumayan kuat sebanding dengan jumlah uang yang mereka kucurkan.

Tentu saja, karena sejumlah besar sumbangan yang digunakan untuk pembaharuan seragam, rencana kali ini tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya persetujuan Raikokai.

“Yah, sepertinya anggota relatif muda lah yang benar-benar menyuarakan oposisi mereka.”

Ketika Masachika mengatakan itu dan mengangkat pundaknya, Takeshi mengangkat alisnya karena terkejut.

“Eh, masa? Kupikir cuma Jii-san keras kepala saja yang akan menentang hal semacam ini.”

“Yah, karena orang-orang tua di Raikokai benar-benar kelas berat di dunia politik dan bisnis, iya ‘kan~… Mungkin mereka sudah tidak peduli lagi dengan masalah sepele semacam itu?”

“... Yah, aku tidak bisa membayangkan Niikura-san mengeluh tentang seragam almamaternya.”

“Benar banget, ‘kan?”

“? Niikura-san?”

Melihat Alisa dengan tanda tanya, Masachika berpikir, “Eh, memangnya kamu tidak tahu itu?” seraya menambahkan.

“Eh, kamu enggak tahu? Itu loh, Perdana Menteri Niikura.”

“!? Ehh!?”

“Apa kamu tidak tahu, Kujou-san?”

Alisa terlihat benar -benar terkejut, dan Takeshi bertanya dengan nada suara suara yang terdengar di antara sopan dan sok akrab. Walaupun mereka sudah membentuk band bersama, tapi Ia masih sedikit sungkan dalam berinteraksi dengannya.

“Yah, Raikoukai bukanlah organisasi yang melakukan banyak aktivitas public, sih. Kamu harus mendengar dari orang-orang yang terlibat untuk bisa mengetahui dengan pasti.”

Meski begitu, keberadaan mereka  relatif terkenal di kalangan siswa Akademi Seirei. Bukannya seperti ada rumor hebat mengenai mereka, jadi tidak mengherankan bahwa Alisa, yang tidak memiliki banyak teman, tidak mengetahuinya ... jadi Masachika dengan lembut menjelaskannya kepada Alisa.

Ngomong-ngomong, alasan mengapa tidak ada desas-desus karena itu bukanlah hal yang tidak biasa. Lagi pula, di antara anggota Raikokai yang masih hidup, ada empat orang yang pernah menjabat sebagai perdana menteri, termasuk Perdana Menteri Niikura. Kalau termasuk orang yang sudah tiada, jumlahnya pasti beberapa kali lipat jumlah itu. Jika itu sekolah biasa, mereka pasti akan mengumumkan dengan bangga, “Salah satu lulusan kami adalah mantan perdana menteri Jepang!” , adapun pihak Akademi Seirei, mereka hanya menanggapinya dengan “Eh? Perdana Menteri? Ahh~ kami tidak bisa mengetahuinya jika tidak dicari dulu, tapi mungkin dia memang lulusan kami?”. Oleh karena itu, tidak  ada yang terlalu memedulikan tentang itu.

“Ngomong-ngomong, kalau membicarakan orang yang terkenal, bisa dibilang ada Menteri Keuangan Oonuma, dan Gubernur Tokyo Nanase, loh? Selain itu, ada ayahnya Taniyama-san, CEO dari perusahaan Industri Berat Taniyama, CEO perusahaan Zilks, Presiden Bank Eimei dan direktur utama Clarique ... kalau disebutin semua enggak ada habisnya.”

Masachika menghitung dengan jari-jarinya dan menyerah di tengah jalan karena itu terlalu merepotkan. Kemudian, Hikaru menambahkan dengan nada santai.

“Selain itu, kalau tidak salah kakeknya Suou-san juga sama, iya ‘kan? Bukannya beliau mantan duta besar untuk Amerika Serikat?”

“... Ah, yah begitulah.”

Masachika menyadari bahwa suaranya menjadi lebih rendah dari biasanya. Takeshi tampaknya tidak terganggu dengan hal ini, tapi ketika Ia menyadari bahwa Alisa dan Hikaru menatapnya dengan curiga, Masachika mendecakkan lidahnya karena kecerobohannya sendiri.

“Yahoo kerja bagus~”

Namun, saat itu, orang yang ditunggu akhirnya muncul, dan Masachika berbalik dengan ekspresi acuh tak acuh di wajahnya.

“Ke-Kerja bagus ...”

Orang yang memasuki ruangan kelas adalah Nonoa dengan rambut dikuncir kuda. Namun, ketika melihat seragam yang dikenakannya, Masachika dan yang lainnya membeku serempak. Karena seragam yang dikenakan Nonoa adalah seragam musim panas baru yang dijual di gymnasium saat ini. Pra-penjualan? Tidak ada perlakuan khusus seperti itu. Hal tersebut tak diragukan lagi karena Masachika, selaku anggota OSIS, berkata demikian.

“... kenapa kamu sudah memakai seragam musim panas yang baru?”

Ketika Masachika mengajukan pertanyaan itu sebagai perwakilan, Nonoa memiringkan kepalanya dengan mata setengah terbuka.

“Hmm~~… yah, ada deh?”

“... Ada deh, ya … hmm~”

Setelah diberitahu begitu, Masachika tidak mau melanjutkannya lebih jauh. Dalam sembilan dari sepuluh kasus, dia mungkin tidak mau repot-repot menjelaskan, tetapi menurutnya tidak ada gunanya juga untuk menyelidiki detailnya. Jika Nonoa mengatakan ada berbagai hal, maka pasti begitu.

"Ah~... tumben sekali kamu tidak main-main dengan smartphonemu hari ini, Miyamae.”

Untuk mengalihkan pembicaraan, Masachika berkata begitu kepada Nonoa yang duduk di kursi terdekat dan menatap kosong, dan dia membalas “Ah~” sebelum mengangkat bahunya.

“Mamahku memarahiku karena terlalu banyak bermain smartphone. Aku sedang mencoba sedikit mengendalikan diri.”

“Oh, gitu ya....”

Masachika terus terang terkejut dengan ucapan tak terduga yang keluar dari mulut Nonoa, “Aku sudah diperingatkan oleh orang tuaku”. Tampaknya bukan Masachika saja satu-satunya yang merasa terkejut, karena Takeshi membuka mulutnya dengan sedikit ragu-ragu.

“Miyamae-san tuh ... orang yang menuruti perkataan orang tuamu sendiri, ya.”

“Hah? Aku biasanya menurutinya, kok? Yah, meskipun aku takkan mendengarkan apa yang guru katakan sih ~~ haha”

Dengan ekspresi lesu yang sama sekali tidak terlihat aneh, Nonoa mengatakan sesuatu yang membuatnya sulit untuk dinilai apakah dia serius atau bercanda. Takeshi dan Hikaru juga tampak bingung untuk menanggapinya dan cuma bisa tersenyum kaku.

(Hmmm, aku jadi khawatir ke depannya bakal gimana)

Takeshi adalah tipe orang yang gampang gugup dengan perempuan terlepas dari penampilannya, dan Hikaru sama sekali kurang akrab dengan perempuan. Sedangkan Alisa sangat buruk dalam berteman.

Di sisi lain, Nonoa benar-benar seenaknya sendiri, dan Sayaka tidak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Sejujurnya, Masachika tidak bisa membayangkan masa depan di mana para anggota ini bermain dalam sebuah band yang harmonis setelah mengumpulkan mereka sendiri.

(Itu sebabnya aku harus menengahi mereka dengan baik)

Saat dirinya memperbarui tekad, Sayaka akhirnya datang. Dengan mengucapkan salam seperlunya, dia segera memulai pertemuan.

“Baiklah, kalau begitu, ayo kita mulai dengan menentukan nama band dulu. Ada yang punya pendapat? Kalau ada yang mau mengusulkan, silakan angkat tangan kalian.”

Di ruang kelas yang kosong berisi enam orang, Sayaka berdiri di podium seolah-olah dia adalah seorang guru dan melihat sekeliling ke arah kelima siswa tersebut. Setelah jeda singkat, Hikaru mengangkat tangannya dan berkata, “Ya, aku.”

“Ya silahkan, Kiyomiya-san.”

“Umm ... Bagaimana dengan 'Colorful' ? Seperti yang kamu lihat, kita semua memiliki kepribadian dan keunikan masing-masing ... Kurasa akan lebih baik jika memakai nama yang sederhana.”

“Begitu rupanya, kurasa itu tidak buruk juga.”

Sambil mengatakan itu, Sayaka menulis “Colorful” di papan tulis. Dan ketika dia mendesak yang lain, “Apa ada lagi?”, Takeshi mengangkat tangannya dengan penuh semangat.

“Ya, Maruyama-san.”

Setelah diperbolehkan Sayaka, Takeshi menunjukkan senyum tanpa rasa takut seolah-olah Ia habis mendapatkan ide brilian. Lalu Ia berkata perlahan sembari menyunggingkan ujung bibirnya dengan percaya diri.

“Bagaimana kalau dengan nama … ‘Sunrise of Paddy’ ?”

Untuk beberapa alasan, Takeshi tampak sangat percaya diri, tetapi kelima orang lainnya tidak begitu yakin. Dengan alis yang sedikit terangkat, Sayaka mendorong bingkai kacamatanya.

“Kalau diterjemahkan secara harfiah, maka artinya ... 'Matahari Terbit di Sawah'? Memangnya ada maksudnya tersendiri?”

Takeshi mengangkat jari telunjuknya pada pertanyaan Sayaka yang masuk akal.

“Saat menentukan nama band seperti ini, pertama-tama aku mengambil inisial  nama semua orang... Ta, Hi, A, Sa, dan No, oke. Setelah menjejerkan dan merombak ulang, namanya menjadi “Ta no Asahi ('Matahari Terbit di Sawah)” ! Dengan kata lain, ‘Sunrise of paddy’ ! Gimana menurut kalian!?”

“Norak banget”


Ocehan pedas tanpa ampun gadis gyaru menghantam hati rapuh Takeshi! Takeshi berhasil ditumbangkan!

“... Apa  aku perlu menghapus usulan tadi dari daftar kandidat?”

Dan komite disiplin pun tak memberinya ampun. Sayaka berdeham ringan dan mengalihkan perhatiannya ke arah Nonoa, yang telah membabat habis mental Takeshi dan membuangnya.

“Apa kamu sendiri punya ide, Nonoa?”

“Ehh~?”

Melihat Nonoa yang memainkan rambutnya dan mengalihkan pandangannya, Masachika berpikir dalam hati, ‘Palingan dia akan mengatakan nama yang ada kilau-kilau dan gemerlap, jadi kurasa tidak perlu bertanya padanya juga kali.'

(Palingan juga ada kata ‘Maji’, ‘Bari’,  atau ‘Age’? Aku yakin itu pasti nama panjang yang jelek banget)

Di depan tatapan antisipasi Masachika, Nonoa meninggikan suaranya, “Ah.”

“Kalau begitu, nama 'Tsukune Daimyoujin'.”

“Nama apaan itu?”

“Eh~ bukannya itu kurang bagus?”

“Kedengerannya seperti nama warung Izakaya?”

Saat Masachika membalas dengan wajah datar, Sayaka pun bertanya pada Nonoa dengan ekspresi kesulitan.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa kepikiran nama itu?”

“Hah? Asal ceplos doang, kok?”

“...”

Sayaka diam-diam meletakkan tangannya di dahinya ketika mendengar tanggapan langsung Nonoa. Meski begitu, Sayaka masih tetap menulis “Tsukune Daimyojin” di papan tulis, dan Nonoa bertanya balik padanya.

“Ngomong-ngomong, kalau usulan nama Sayacchi sendiri gimana?”

“Usulan dariku? Kalau gitu, ….”

Setelah berbalik sedikit dan mengangkat alisnya, Sayaka menggerakkan kapurnya melintasi papan tulis dan menulis —”

“Yup, tunggu dulu sebentar, Taniyama.”

“Ada apa sih?”

“Ya, tunggu saja dulu. Dan ayo bicara sedikit di sebelah sana.”

Segera setelah huruf pertama ditulis di papan tulis, Masachika mendesak Sayaka ke lorong. Tapi tentu saja Sayaka mengernyit keningnya dengan kebingungan.

“... memangnya kamu tidak bisa menunggu sampai aku selesai menulis ini dulu?”

“Hmm~, Sayacchi~? Kupikir lebih baik kalau kamu melakukan apa yang diminta Kuzecchi, loh~?”

“Nonoa...”

Sayaka dengan enggan meletakkan kapur setelah mendengar perkataan teman masa kecilnya dan pergi menuju lorong bersama Masachika. Dan begitu pintu ditutup, Masachika melakukan kabedon pada Sayaka. (TN: Udah pada tau kan istilah kabedon? Itu loh yang memojokkan seseorang sampai di dinding, cek aja ke google kalau mau tau lebih jelasnya)

“Tadi kamu ingin mencoba menulis apa?”

“Apanya... haahh”

Ketika Masachika mengajukan pertanyaan seperti itu, Sayaka mendorong kacamatanya dan menjawab dengan acuh tak acuh.

昏き夜会 (Pesta Malam Gelap) ... itulah yang ingin aku coba tulis.”

“Ohhoo, ternyata ini lebih berbahaya daripada yang kubayangkan. Kamu bahkan hampir meninggalkan dampak mental padaku.”

“Apa yang kamu bicarakan, sih...?”

“Seharunya aku yang bertanya begitu! Apa sih yang kamu bicarakan! Ngomong-ngomong, bagaimana cara membacanya?”

“Ah, kamu memang peka seperti biasanya ... huruf 昏き夜会 dibaca sebagai Nightmare.”

“Kamu emang enggak bisa ketolong lagi, ya~? Kamu Chuunibyou, ya? Kamu Chuunibyou yang telat puber, ya?”

Tebakan Masachika tepat sasaran. Nyatanya, rekam jejak Sayaka yang menjadi otaku masih belum terlalu lama.

Sayaka menjadi seorang otaku pada bulan Juni saat masih duduk kelas 2 SMP. Ya, hal tersebut terjadi setelah dia dikalahkan oleh Yuki dan Masachika dalam pemilihan ketua OSIS SMP.

Sampai saat itu, Sayaka adalah seorang anak yang tidak memiliki keraguan untuk mencapai hasil dan memenuhi harapan orang tuanya. Dia menjalani hidup penuh keteladanan seperti yang diharapkan oleh orang tuanya dan bersekolah di sekolah bergengsi seperti yang diharapkan oleh orang tuanya. Bagi Sayaka, kekalahan dalam pemilihan tersebut merupakan pengalaman pertamanya karena gagal memenuhi harapan orang tuanya.

Hukuman macam apa yang akan dia terima?... Ketika Sayaka pulang ke rumah dengan sangat ketakutan, dia justru disambut oleh rasa bangga orang tuanya atas kerja kerasnya. Setelah menanggapi perasaan mereka, Sayaka merasa lega, dan pada saat yang sama, dia menyadari bahwa dialah yang memaksa dirinya untuk menjadi ... ‘seseorang yang memenuhi harapan orang tuanya.Dan kemudian dia mulai berpikir, “Bukannya tidak masalah untuk menjalani hidup seperti yang kuinginkan?”. Akibatnya ...Sayaka menjadi otaku yang sehat, dan sudah dua tahun lebih sejak hari itu. Dengan kata lain, sekarang! Sayaka sekarang berada dalam tahap mengembangkan penyakit Chuunibyou-nya!

“Aku bukannya meledekmu, tapi seriusan kamu jangan menulis itu. Jika tidak, hobi wibumu bakal ketahuan.”

“! Itu sih memang bermasalah...”

Sepertinya nasihat itu lumayan berhasil untuk Sayaka, yang seorang otaku tersembunyi. Setelah memikirkannya sebentar, dia kembali ke dalam kelas, menghapus kata “” di papan tulis seolah tidak terjadi apa-apa, dan mengalihkan perhatiannya ke Alisa.

“Kalau begitu, Kujou-san. Apa kamu punya ide?”

“Eh, aku...?”

Alisa dibuat terkejut karena dirinya tiba-tiba ditanya. Di sisi lain, Takeshi dan Hikaru tidak mengatakan apapun secara khusus. Sepertinya mereka berdua juga samar-samar bisa menebak sesuatu.

(Yah, dia lumayan hebat juga hobi wibunya tidak ketahuan sampai sekarang...)

Ketika Masachika diam-diam memberikan kesan yang tidak bisa dikatakan sebagai kekaguman atau kekecewaan, Alisa mengajukan pendapatnya dengan sedikit ragu.

“Umm, bagaimana kalau dengan nama ‘Fortitude’ ?”

Fortitude? Temannya Fortissimo? Memangnya ada simbol musik seperti itu?”

Sayaka menyembunyikan matanya di balik kacamatanya dan menjawab dengan tenang kepada Takeshi, yang melontarkan lawakan garing.

“Maksudnya itu adalah ‘ketabahan’.”

“Oh, be-begitu ya?”

“Artinya menjadi ketabahan sih memang benar, tapi ... aku lebih menyukai kalau maksudnya adalah kegigihan.”

“Kegigihan...”

Alisa memberi tahu Hikaru yang sedang menggulung kata-kata itu di mulutnya.

“Sama seperti orang Jepang yang menganggap sikap rendah hati sebagai suatu kebajikan… Di Rusia, ada aspek di mana kegigihan dianggap sebagai suatu kebajikan. Semangat kegigihan, sikap dimana seseorang yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan apapun ... Mungkin itu nilai khas Rusia karena lingkungannya yang keras.”

“Keadaan sulit...”

Pada saat itu, baik Hikaru dan Takeshi sepertinya menyadari apa yang ingin Alisa coba katakan. Kemudian, Hikaru tersenyum lembut dan mengangguk ke arah Alisa.

“Bagus tuh, aku cukup menyukainya.”

“Aku juga! Kedengarannya juga keren!”

Dengan persetujuan mereka berdua, ada suasana yang seolah-olah akan menerapkan ide Alisa. Sayaka dan Nonoa juga saling memandang dan berkomunikasi melalui tatapan mata mereka.

“Kalau begitu, aku ingin menerapkan usulan dari Kujou-san. Apa ada yang mau memberikan pendapat lain?”

Semua orang diam-diam setuju dengan perkataan Sayaka. Di antara mereka, Takeshi meninggikan suaranya dengan sedikit ragu.

“Umm, bukannya aku bermaksud keberatan sih, tapi ...kalau boleh tahu, bagaimana kegigihan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia?”

“Ehh? Несгибаемые”

"Nisgiba...? Ah, yup ... mendingan pakai nama ‘Fortitude’ saja.”

Alhasil, nama band “Fortitude” resmi diputuskan.

 

◇◇◇◇

 

“Lalu selanjutnya, tentang lagu yang akan dibawakan di festival sekolah …. waktu pertunjukannya adalah lima belas menit per grup. Jika kita menyertakannya dengan pengenalan diri, tiga lagu saja sudah cukup. Lembar musik terakhir yang kudapatkan terakhir terdiri dari tiga lagu cover dan satu lagu orisinil ... jadi bagaimana pendapat kalian?”

Takeshi dan Hikaru saling bertukar pandang pada pertanyaan Sayaka. Kemudian, Takeshi tergagap sedikit dan berkata.

“Ahh~ aku minta maaf karena sudah terlanjur mengirimkannya kepadamu, tapi lagu orisinil itu dibuat oleh band sebelumnya ... Jadi kira-kira kali ini kita akan melakukannya secara berbeda.”

“Begitu ya ... kalau begitu, bagaimana kita melanjutkan dengan tiga lagu cover secara berurutan?”

“Ya. Mempertimbangkan waktu latihan, kurasa itu pilihan yang paling masuk akal.”

Walaupun Ia mengatakan itu, ada aura ketidakpuasan dari nada suara Hikaru. Perasaan sejatinya pasti ingin memainkan lagu orisinalnya sendiri.

“Bukannya tidak ada salahnya memainkan lagu original juga? Lagipula, kita masih punya waktu satu bulan lagi.”

“Meski dibilang tinggal sebulan lagi ... Lagian, aku dan Takeshi tidak pandai menulis liriknya, apalagi mengarang lagu...”

Bahkan ketika Masachika menawarkan bantuan, Hikaru tidak segera mengatakan, “Ayo kita lakukan.” Takeshi juga terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Ia tetap tutup mulut. Baik Takeshi maupun Hikaru, sebagai pihak yang melibatkan orang luar dalam aktivitas band mereka, memiliki beberapa kesungkanan kepada para gadis.

Tapi kemudian, orang yang tak terduga mulai angkat bicara.

“Jika kamu ingin memainkan lagu orisinal, kupikir kita bisa melakukannya. Karena aku sudah memutuskan untuk bekerja sama. Aku ingin memastikan bahwa semua orang di sini melakukan pertunjukan dengan perasaan puas.”

Takeshi dan Hikaru membuka mata mereka lebar-lebar ketika Alisa meninggikan suaranya. Masachika juga sedikit terkejut dengan keagresifan partnernya yang tak terduga. Terlebih lagi ….

(Bukan ‘aku’, tapi ‘semua orang’, ya...)

Dia sudah tidak mengejar idealismenya sendiri lagi. Masachika sedikit tersentuh oleh kata-katanya, yang menetapkan tujuan bersama untuk semua orang dan menyemangati semua orang untuk mencapai tujuan tersebut.

“Tidak, aku merasa senang dengan perasaan Kujou-san, tapi ... seperti yang sudah kubilang tadi, lagunya...”

“Kalau begitu, kenapa tidak menggunakan lagu orisinil Sayacchi aja?”

Ucapan Nonoa secara blak-blakan menyela keengganan Hikaru, dan kali ini tatapannya terfokus pada Nonoa dan Sayaka.

“Sayacchi, kamu menulis beberapa lagu orisinal, bukan?”

“Yah, memang sih ... tapi cuma ada partitur musik untuk gitarnya saja, lho?”

“Eh, Taniyama ... kamu bisa bermain gitar juga?”

“Tidak semahir orang lain, sih”

Sayaka mengatakannya dengan santai. Menanggapi hal tersebut, Nonoa memandang Hikaru dengan matanya yang setengah tertutup seperti biasa.

“Oleh karena itu, masalah lagu sudah tuntas, oke? Lagian, pemilihan lagu cover itu sendiri juga dari band sebelumnya, ‘kan? Terus terang saja, ada beberapa lagu yang tidak cocok dengan suara Alisa, jadi bukannya lebih baik memulainya dari sana?”

“Ah ... Yah”

“Ada benarnya juga sih.”

“Lalu, bagaimana kalau kita memulai semuanya dari awal? Lagu cover maupun orisinil tidak ada bedanya dalam memainkannya.”

Takeshi dan Hikaru saling bertukar pandang dan menganggukkan kepala mereka pada keagresifan yang ditunjukkan oleh para gadis.

“Ya, oke ... baiklah! Ayo kita lakukan!”

“Yosh!! Oh iya Taniyama-san. Apa kamu memiliki file suaranya? Aku ingin mendengar lagu original yang dimaksud.”

“Tentu saja ada … jika kamu tidak keberatan dengan video latihan yang kuambil dengan smartphone.”

“Oh, seriusan! Aku ingin mendengarnya, aku ingin mendengarnya!”

Takeshi dan Hikaru yang langsung dipenuhi motivasi, mendekati Sayaka dengan penuh semangat. Kemudian, setelah mendengarkan beberapa lagu bersama—

Ini cuma imajinasiku saja atau memang …. Semua lagunya mirip seperti lagu anime?

Apalagi judulnya itu sedikit ...

Jangan sampai dibilang semua

Para pria berkomunikasi melalui kontak mata dengan ekspresi kaku yang tidak wajar.

“Bagaimana? Aku merasa bangga pada diriku sendiri karena ini berhasil diselesaikan dengan baik.”

Di sisi lain, Sayaka anehnya merasa sangat percaya diri.

“Yabai~”

Nonoa melarikan diri dengan melontarkan pujian ambigu yang bagus, spesialisasi khas gadis gyaru. (TN: Seruan Yabai tuh mempunyai banyak makna berlapis)

“Menurutku itu adalah lagu yang bagus karena menunjukkan sudut pandang Taniyama-san yang unik.”

Hanya satu orang yang memuji dengan polosnya, Alisa. Poin kesukaan kelima orang itu terhadap Alisa langsung naik drastis.

“Secara pribadi, aku cukup menyukai lagu kedua.”

“Begitu ya... itu cukup bagus.”

“Ah, menurutku itu yang terbaik... yang pernah aku dengar!”

“Iya, rasanya cukup menenangkan, itu bagus!”

“Yabai~”

Alisa memilih lagu yang paling mendekati normal, dan semua orang ikut bergabung untuk menyuarakan pendapat mereka. Dengan demikian, lagu untuk dinyanyikan pada pertunjukkan nanti berhasil diputuskan tanpa masalah.

“Kalau begitu, mari kita mainkan lagu 'Mugen' yang dibuat oleh Taniyama-san, oke?”

“Ah, judul lagunya itu dibaca dengan nama 'Phantom'.”

“Fwah...? Eh, be-begitu ya.”

Masachika merasa bahwa ada satu orang yang tidak bisa menjaga martabatnya karena hampir ketahuan dengan kewibuannya ... tapi sepertinya tidak ada masalah, karena orangnya sendiri tidak menyadarinya.

 

◇◇◇◇

 

(Sialan……)

Keesokan harinya, Masachika sedang berjalan menyusuri lorong dengan perasaan sangat mendesak.

(Cepat… Cepat, aku harus cepat, jika tidak…)

Langkah kakinya sedikit goyah, dan pandangannya menjadi samar dan kabur. Meski begitu, Ia tetap mati-matian menyeret kakinya untuk bergerak maju.

Jika dirinya berhenti sekali saja, riwayatnya bakalan tamat. Pada saat itu, pasti...

(Kalau begini terus, aku benar-benar akan tertidur sambil berdiri!!)

…. Hal tersebut mungkin terdengar konyol, tapi nyatanya memang begitu.

Pada kenyataannya, setelah menjadi anggota OSIS, Masachika sudah memperbaiki sikap kesehariannya supaya tidak mempermalukan rekannya, Alisa. Sedikit demi sedikit, Ia berusaha untuk tidur lebih banyak di malam hari dan melunasi hutang tidurnya supaya tidak ketiduran di sekolah.

Namun, ketika liburan musim panas dimulai, rutinitas tidurnya kembali terganggu akibat sering begadang, dan bangun di siang hari. Alhasil, begitu semester kedua dimulai, Masachika menderita kantuk berat di siang hari.

Meski begitu, entah bagaimana dirinya berhasil bertahan selama jam pelajaran pagi ... Tidak, itu bohong. Sejujurnya, ingatannya sudah lumayan kabur di akhir jam pelajaran keempat. Tapi Masachika merasa bersyukur karena Alisa tidak mengkritiknya karena itu. Mau tak mau Ia merasa seperti sedang ditatap dengan pandangan yang sedikit curiga... seolah-olah ingin menghindari tatapan itu, Masachika segera melesat langsung menuju ruang OSIS.

(Jika di sana ... aku seharusnya bisa tidur siang tanpa perlu takut ketahuan orang lain)

Dengan demikian, Masachika berhasil tiba di ruang OSIS tanpa ketiduran. Namun, pada titik ini, sekitar 30% kapasitas otak Masachika sudah terlelap.

(Ah, seperti yang diharapkan, aku harus menyetel alarm dulu…)

Ketika Masachika membuka pintu dan melangkah masuk, Ia berjalan menuju sofa sambil mengeluarkan ponselnya dari sakunya. Kemudian, setelah memilih waktu yang tepat dari pengaturan alarm yang tersimpan, Ia melepas blazer dan sepatunya, lalu jatuh terbaring di atas sofa. Bersamaan dengan momentum itu, Ia meletakkan smartphone dengan alarm di atas meja di depan sofa….. dan Masachika benar-benar tertidur dengan begitu nyenyak.

 

◇◇◇◇

 

Setelah selesai makan siang, Maria sedang dalam perjalanan menuju ruang OSIS dengan membawa kantong kertas berisi seragam musim panas barunya.

Karena antrian kemarin terlalu padat, jadi Maria memutuskan, “Yah, aku akan membelinya besok saja,” dan berangkat ke sekolah dengan seragam musim panas model lama lagi hari ini, tapi. .. hari ini adalah hari terpanas di bulan September. Selain itu, Maria duduk di dekat jendela yang menghadap ke luar. Dikelilingi oleh siswa berlengan pendek membuatnya merasa gerah. Di sisi lain, dirinya mengenakan kemeja, rok jumper, dan blazer, yang membuatnya ingin berteriak “Jangan meremehkan pemanasan global!”. Bahkan Maria pun sudah mencapai batasnya di pagi hari.

Oleh karena itu, dia memutuskan untuk membeli seragam baru pada jam istirahat pagi dan menggunakan istirahat makan siangnya untuk berganti pakaian. Namun, masalahnya justru di mana dia harus berganti pakaian. Dia merasa tidak nyaman menggunakan ruang ganti untuk alasan pribadi seperti itu, dan toilet merupakan tempat yang tidak cocok untuk OSIS maupun dengan selera estetika Maria. Jika demikian, kandidat pertama yang muncul di benaknya adalah ruangan OSIS karena cuma beberapa siswa saja yang diperbolehkan masuk dan keluar dan ruangannya juga bisa dikunci dari dalam.

“Permisi~.”

Karena berpikir tidak ada orang di dalam, Maria menyuarakan salam untuk memastikan dan masuk ke dalam. Kemudian dia melihat sebuah jaket tergeletak di lantai dan sebuah kaki mencuat dari tepi sofa.

“Uwahhh, bikin aku kaget saja ...”

Bahunya tersentak tanpa sadar, tapi sesuatu yang terbaring di sofa itu tidak bergerak sama sekali.

“...”

Maria dengan hati-hati mendekat sambil sedikit waspada. Dan kemudian, ketika doa diam-diam mengintip dari balik sofa…. Funyaa~, dia langsung menyingkirkan semua kewaspadaannya

“Kyaa~ imut sekali~!”

Maria melewatkan semua kehati-hatiannya dan dengan cepat berjongkok di depan Masachika. Kemudian, dia mengintip ke wajah tidur Masachika yang terlihat lugu dan meletakkan tangannya di pipinya sembari berteriak “Kyaa~” dengan suara melengking.

“Fufufu dasar Sa-kun tukang tidur~

Dengan ekspresi mirip seperti seorang ibu yang menjaga bayinya, Maria tersenyum bahagia.

Maria terlahir dengan rasa keibuan dan kasih sayang yang jauh lebih kuat dari orang lain. Dia selalu memiliki keinginan untuk merawat orang yang dicintainya, memanjakannya, dan mengagumi dengan penuh kasih sayang. Sampai sekarang, keinginan itu terutama ditujukan pada adik perempuannya, tapi ... Alisa sendiri adalah tipe orang yang lebih bisa diandalkan daripada kakak perempuannya, dan dia bukan tipe orang yang bergantung pada kakak perempuannya. Akibatnya, Maria selalu dalam keadaan aura penuh keibuan dan kasih sayang yang melimpah.

Dan kemudian muncul Masachika, orang yang disukainya, terlihat kelelahan. Melihatnya benar-benar menunggu untuk diurus (dari sudut pandang Maria) membuat perasan Maria jadi lepas kendali. Jika Ia tertidur di tempat tidur atau lantai, Maria pasti akan tidur bersama dengannya atau memberinya bantal pangkuan.

“Fufufu~, imutnya~

Dia tidak berniat mengganggu hubungan Masachika dan Alisa, Maria dengan tulus mengatakan kepada Masachika untuk memprioritaskan Alisa. Akan tetapi, masalah itu ya itu, ini ya ini. Jika seseorang yang dia cintai sedang menunggu untuk dirawat di depannya, wajar saja jika dia merawatnya. Semuanya itu salah Alisa karena tidak ada di sini.

(Duhh, dasar Alya-chan, kamu tidak bisa mendukung Kuze-kun saat Ia lemah begini...)

Setelah memikirkannya, Maria menyadari bahwa itu karena Masachika sendiri yang  menginginkannya seperti itu. Alasan kenapa Masachika beristirahat di sini justru karena Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada Alisa ... Ketika menyadari hal tersebut, perasaan kasih sayang dan keinginan untuk melindunginya semakin tumbuh besar di dalam batin Maria.

(Duhh, Kuze-kun memang laki-laki jantan, deh ... kalau begitu biar aku saja yang memanjakan Kuze-kun untuk menggantikan bagian Alya-chan!)

Maria yang mendapat pembenaran sebagai pengganti Alisa, menyolek-nyolek pipi Masachika untuk sementara waktu.

“Fufufu~♪ hore~hore, klitikklitikklitik~”

Dia menggelitik pipi Masachika dengan ujung jarinya, melihat alisnya berkedut, dan menggelengkan kepala dari sisi ke sisi. Dia sudah memercikkan tanda hati di seluruh kepalanya.

(Oh iya! Aku harus mengabadikan wajah tidur imut ini didalam  kamera!)

Dengan pemikiran tersebut, Maria mulai merekam video di sudut ruangan agar suara kamera tidak membangunkan Masachika. Kemudian, seolah-olah juru kamera yang mencoba membuat kejutan, Maria dengan cepat mendekatkan wajah Masachika ke depan kamera. (TN: Trivial info, kamera ponsel di jepang itu enggak bisa memoto dalam mode diam, artinya kalau mau memfoto pasti bakal menimbulkan suara jepretan, sudah dari pengaturan pabriknya karena demi meminimalisir tindak kejahatan asusila atau pelecehan seksual)

“(Iyaaa~n, duhh makin suka~)

Dengan suara rendah dan menggeliatkan badannya, Maria sekali lagi menyolek pipi Masachika. Dia menikmati sentuhan halus dan lembut pipi anak SMA sepuasnya.

(Hmm~, apa yang harus kulakukan dari sini~?)

Kemudian dia berpikir tentang bagaimana cara merawat Masachika. Masalahnya karena ada sofa yang jadi penghalangnya. Karena Maria tidak bisa tidur bersama atau memberinya bantal pangkuan, satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah mengelus kepalanya atau menyanyikan lagu pengantar tidur...

(Ara? Kok aku sudah melakukan keduanya?)

Maria mengedipkan matanya saat menyadari bahwa dia tanpa sadar menepuk-nepuk kepala Masachika dengan lembut sambil menyenandungkan lagu pengantar tidur. Namun, saat melihat wajah tidur Masachika yang terlihat tenang dan damai, Maria kembali tersenyum lembut. Pada dasarnya, Maria beralih dengan cepat dan tidak peduli dengan detailnya. Dia merasa alasan kenapa wajah tidur Masachika menjadi lebih tenang karena ada seseorang yang menyolek-nyolek pipinya, tapi dia tidak memedulikan hal sepele semacam itu!

“(Yosh~ yosh~ tidurlah dengan nyenyak, ya~?)”

Di akhir lagu pengantar tidurnya, Maria berbisik dengan lembut. Kemudian, dia tiba-tiba mengubah senyumannya dan berbicara kepada Masachika dengan suara tenang.

“Apa Kuze-kun menganggapku sebagai orang yang berhati besar dan rela berkorban…. ?”

Tentu saja tidak ada jawaban. Namun, Maria tampaknya tidak peduli sama sekali, dan tertawa kecil sambil berkata, “Padahal bukan begitu maksudku…”

“Karena aku ...”

Jadi, setelah menutup mulutnya sejenak, Maria diam-diam berbisik.

Я думаю у вас с Алей-тян не ладится.】

Dan kemudian, dengan tatapan mata yang sedikit sedih dan penuh kasih, Maria kembali mengelus kepala Masachika.

Вот увидишь ты терпеть не сможешь быть рядом с Алей-тян.】

Saat dia mengatakan itu dengan suara yang sangat kecil, bibir Maria sedikit cemberut dan dia menggelitik telinga Masachika.

“Oleh karena itu ... aku sama sekali tidak sebaik itu, tahu? Apa kamu sudah paham sekarang?”

Setelah mengatakan itu dengan tingkah kekanak-kanakan, Maria sekali lagi mengelus kepala Masachika dengan ekspresi lembut. Dan kemudian, seolah-olah baru kepikiran, dia menyikat poni Masachika dan ekspresinya kembali cengengesan.

“Ihh~ Dahimu juga kelihat imut~

… Maria dengan cepat beralih dan memiliki kepekaan yang sedikit unik. Dengan wajah yang dipenuhi kasih sayang, dia menatap kening Masachika. Saat sedang melakukan itu, Marija merasakan keinginan yang besar untuk menciumnya.

(Aku ingin mencium dahi yang imut ini... Ah, bahkan mungkin pipinya?)

Dan kemudian wajah Alisa tiba-tiba muncul di benaknya.

(Ah, jangan salah sangka dulu, Alya-chan. Ini bukan hal semacam itu kok, ini mirip seperti ciuman selamat malam untuk anak kecil , atau lebih tepatnya ciuman sayang, bukan ciuman cinta...)

Di dalam bayangannya, Maria tanpa sadar  membuat alasan untuk adik perempuannya, tapi alasan seperti itu kehilangan kekuatannya saat dia melihat wajah tidur Masachika. Maria kemudian menarik nafas kecil, dia lalu meletakkan smartphonenya di lantai dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah tidur Masachika.

“(Semuanya salah Alya-chan karena kamu tidak ada di sini…)”

Begitu wajah mereka begitu dekat sehingga mereka bisa merasakan napas satu sama lain….

Tok, tok, tok.

“!?”

Bunyi ketukan pintu bisa terdengar di ruang OSIS.

 

◇◇◇◇

 

“……? Apa yang sedang kamu lakukan?”

Alisa mengunjungi ruang OSIS dengan membawa kantong kertas di tangannya dan membuka pintu setelah mengetuknya. Dia lalu sedikit memiringkan kepalanya saat melihat Maria, yang sepertinya buru-buru berdiri.

“A-Alya-chan? Enggak kok, karena ada Kuze-kun yang sedang tidur, jadi aku hanya memperhatikannya sebentar.”

“...?”

Dia mengerutkan kening pada kakak perempuannya, yang terlihat lebih tersipu dari biasanya dalam posisi pintu terbuka. Dan saat melihat ke arah sofa, Alisa melihat sebuah kaki mencuat dari sofa yang sepertinya milik Masachika.

“Apa Alya-chan juga mau mengganti seragammu di sini?”

“? iya sih, tapi ......”

Alisa mengangkat alisnya ke arah kakaknya yang jelas-jelas terlihat gelisah, dan menatap wajah Maria. Kemudian, Maria memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapannya dan tersenyum kaku seraya tatapannya mengarah ke sana-kemari.

“Kalau begitu, kita harus berganti dengan cepat, iya ‘kan? Aku juga tadinya mau menggantiseragamku...”

“Tidak, mana mungkin aku bisa melakukan itu selama Masachika-kun ada di sini.”

Begitu mendengar kakaknya mengatakan sesuatu yang keterlaluan seolah-olah hendak menutupi sesuatu, Alisa menatapnya dengan curiga seakan menyiratkan  “Aku takkan tertipu.” Tapi reaksi Maria terhadap hal itu justru di luar imajinasinya.

“Ehh? Kenapa?”

“Hah?”

Bukan karena menghindari sesuatu dan juga bukan karena hal lain, tapi itu murni pertanyaan yang tulus. Setidaknya, seperti itulah anggapan Alisa.

“Mumpung Kuze-kun sedang tertidur lelap, jadi kita tinggal mengunci pintunya saja dan segera berganti dengan cepat.”

“Enggak, enggak, enggak!”

“Alya-chan, Ssssttt”

“Ah...”

Dia berteriak tanpa sengaja, dan Alisa bergegas menutup mulutnya. Dia lalu melihat Masachika yang masih tertidur tanpa ada gerakan apapun.

“... Nah, ‘kan? Dengan kondisi seperti itu, kurasa Kuze-kun tidak gampang terbangun.”

“Tidak, tapi ….”

“Kalau begitu, apa ada tempat lain di mana kamu bisa berganti pakaian?”

Alisa tak bisa membalas pertanyaan Maria. Sejak awal, baik Maria maupun Alisa memilih ruang OSIS setelah mempertimbangkan berbagai hal. Mereka berdua sama sekali tidak bisa memikirkan tempat lain yang pas.

“Jangan khawatir~ jangan khawatir. Selama kita berganti seragam dengan cepat dan menyelinap keluar, semuanya akan baik-baik saja~.”

Sementara itu, Maria mengunci pintu dari dalam, lalu menutup tirai jendela untuk berjaga-jaga, kemudian meletakkan kantong kertas di atas meja dan benar-benar mulai berganti pakaian.

“Tu-Tunggu sebentar….”

“Alya-chan juga harus cepat-cepat, jika tidak, jam istirahat makan siang akan segera selesai, loh~?”

Begitu mendengar perkataan Maria, dia melihat jam tangannya dan mengerutkan kening saat menyadari bahwa jam istirhat makan siang hanya tersisa tinggal sepuluh menit lagi. Memang benar jika dia mencari tempat lain dan berganti pakaian mulai sekarang, dia takkan sempat untuk kembali ke ruang kelas.

(Tapi……)

Bagaimana jika Masachika bangun saat dia sedang berganti pakaian? Membayangkannya saja sudah membuat seluruh tubuh Alisa memanas seperti terbakar api.

(Mungkin lebih baik tidak usah ganti seragam segala ...)

Itulah yang Alisa putuskan, tapi kemudian dia tiba-tiba mempunyai ide.

Setelah berganti pakaian di sini, bagaimana kalau membangunkan Masachika? Kemudian, ketika Masachika menyadari bahwa seragamnya sudah berubah, dia akan berkata, “Aku baru saja ganti baju di sini, loh~.” Pada waktu itu, ekspresi  seperti apa yang akan ditunjukkan Masachika ... ketika membayangkan itu, ide nakal mulai membuncah di dada Alisa.

Rasanya sangat menghibur bagi Alisa ketika melihat Masachika yang biasanya memiliki sikap bercanda dan sikap santai, menjadi tersipu dengan kata-kata dan tindakannya sendiri. Ketika Alisa melihat Masachika yang kadang-kadang terlihat sangat bisa diandalkan sehingga membuatnya gusar, tersipu seperti anak kecil, terlihat sangat imut dan menyedihkan sehingga dia tergoda untuk menjahilinya. Dia ingin menggodanya sepuasnya, bahkan jika itu berarti menggunakan semua pesonanya sebagai gadis.

(Jika aku mengatakan, ‘Aku baru saja mengganti bajuku di sini’…. Aku penasaran reaksi macam apa yang akan ditunjukkan Masachika-kun? Apa Ia akan terkejut? Atau Ia cuma membalas “Hee hee~” dan terlihat tidak terlalu peduli?)

Jika Masachika berpura-pura santai-santai saja, dia akan menunjukkan seragam yang baru saja dilepas kepadanya. Mungkin sebaiknya membiarkan Masachika menyentuh seragamnya dan berkata, “Lihat, masih hangat, iya ‘kan?”. Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya terbakar  karena rasa malu, tapi lebih dari itu, dia tidak bisa berhenti menyeringai.Sensasi menggigil menjalar di punggungnya ketika membayangkan Masachika di bawah belas kasihnya.

(Ah, waktu itu juga reaksinya sangat imut...)

Beberapa hari yang lalu di sebuah restoran keluarga, Alisa menjahili Masachika dengan cara menggelitik tangannya. Pada saat itu, dia harus melakukannya dengan hati-hati karena mengingat lokasinya yang masih di depan publik, tapi hari ini dia akan menyerang lebih agresif ──

“A-Alya-chan...?”

“!!”

Dan kemudian Maria yang sedang melepas blazernya, menatapnya dengan tatapan yang sedikit menyeramkan, dan ekspresi Alisa menegang. Kemudian, dia memelototi Maria dengan kesal dan mulai mengganti bajunya sebelum dia bisa mengatakan apa-apa lagi.

Dia melepas seragamnya dengan cepat dan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Kemudian Alisa melepas pitanya, disusul bajunya, dan mengambil seragam barunya. Tapi pada saat itu….

Lets go! Terbang tinggiiiiii!

Bahu Alisa tersentak kaget karena mendengar suara teriakan keras yang tiba-tiba, dan menjatuhkan seragam yang dia pegang di tangannya.

 

◇◇◇◇

 

“!!”

Masachika langsung melompat terbangun dalam sekejap ketika mendengar alarm lagu anime yang familiar, dan secara refleks menjangkau sumber suara.

“Ah, uh-huh”

Ia turun dari sofa dengan terlalu banyak momentum dan mengeluarkan erangan kecil. Lalu….

“Ah, jangan!”

Masachika segera berbalik karena mendengar suara jeritan yang tak terduga. Dan kemudian Ia melihat pemandangan surga dunia.

Di hadapannya terdapat dua kakak beradik cantik yang hanya mengenakan kaus kaki dan pakaian dalam saja. Payudara dan bokong Alisa yang besar, subur, bulat, dan kencang. Dibandingkan dengan itu, pinggangnya terlihat ramping dan langsing. Di sisi lain, tubuh Maria yang dipenuhi feminitas, secara brutal tidak proporsional dengan wajah kekanak-kanakannya. Alisa membanggakan sosok sempurna yang sulit dipercaya kalau usianya 15 tahun, dan Maria membanggakan garis tubuh montok yang sulit dipercaya bahwa usianya 16 tahun. Tubuh mereka berdua terpampang jelas di depan mata Masachika tanpa menyembunyikan apapun. Bahkan celana dalam yang menyembunyikan bagian sensitive tubuh mereka seolah-olah meminta maaf karena sudah berubah seperti hiasan yang menghiasi tubuh telanjang mereka yang terlalu indah.

“…??”

Masachika yang masih dalam keadaan setengah sadar, tidak bisa membedakan apakah pemandangan itu adalah mimpi atau kenyataan, dan menatap mereka dengan mulut terbuka lebar. Kondisinya mirip seperti komputer yang nge-lag setelah dibombardir dengan sejumlah besar data tepat setelah dinyalakan.

“Tunggu, jangan lihat ke sini!”

“An-Anu, umm, aku bahkan merasa malu kalau kamu melihat-melihat terus seperti itu …”

Namun, otak Masachika akhirnya mulai memproses dengan kekuatan penuh ketika mendengar ucapan dua gadis yang tersipu malu. Namun, prosesnya masih tidak bisa mengikuti, dan Masachika mengacungkan jempol dengan setengah tersenyum, merasa tidak yakin pada dirinya sendiri.

“Jangan khawatir! Ini tidak jauh berbeda dengan baju renang!”

Pada dukungan tindak lanjut yang sesuai dengan suasana, tatapan mata Alisa sudah berkaca-kaca, dia segera meraih kemeja putih yang digantung di kursi dan melemparkannya dengan sekuat tenaga. Sebelum Masachika bisa menghindarinya, kejutan ringan menghantam wajahnya, dan menghalangi pandangannya.

Suhu tubuh Alisa secara bertahap disalurkan melalui kemeja yang menutupi wajahnya. Bau keringat dan kulit seorang gadis yang merangsang lubang hidungnya. Otak Masachika yang masih agak lamban karena kombinasi berbagai faktor, mengeluarkan kesan jujurnya ​​di sini.

“Ah, baunya wangi.”

Seketika itu juga, kejutan misterius menghantam wajah Masachika dari sisi lain baju, dan membuatnya kehilangan kesadaran secara paksa.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama