Roshi-dere Jilid 5 Epilog Bahasa Indonesia

Epilog — Sumpah

 

“Hiyaa tadi itu benar-benar pertandingan yang sengit dan menegangkan. Ohii-sama juga hampir saja menang.”

“Tidak, tidak, tapi dalam hal jumlah jawaban yang benar, Ohii-sama sudah menang, tau? Selain itu, dia bahkan mencoba mencari tahu aturan tersembunyi sambil menjawab pertanyaan kuis, loh? Hasil akhirnya memang berbanding terbalik, tetapi dari segi jumlah jawaban, Ohii-sama yang menang, bukan?”

“Meski kamu bilang dari jumlah jawaban yang benar, itu sih karena Kujou-san menjawab semua pertanyaan dengan salah dalam tema Trend. Di sebagian besar tema lainnya, Kujou-san sudah menang, dan dalam hal permainan kuis, dia juga masih menang, bukan?”

“Ngomong-ngomong tentang masalah aturan, Ayano-chan lah yang luar biasa! Kalian mungkin tidak mengetahuinya, tapi Ayano-chan menyadari aturan pembagian poin sejak awal, loh!?”

“Seriusan? Tapi jika kamu mengatakan itu, Kuze juga sama-sama menakjubkan. Ketika Ia menggunakan bantuan Help Call itu, awalnya aku penasaran apa yang sebenarnya Ia bicarakan ... lah, meski tanpa melakukan itu, jangan-jangan Ia juga sudah menebak isi dari pertanyaan terkahir?”

“Ohhh bener banget. Aku sampai merinding di bagian akhir.”

“Aku justru merasa terpukau dengan ucapan Kujou-san. Perilakunya yang bermartabat itu ketika dalam situasi kurang menguntungkan ... Aku sudah menjadi penggemarnya.”

“Oh, maka, begitu juga dengan Suou-sama. Dia sangat anggun ketika menanggapi keinginan Kujou-sama dan mengharapkan pertandingan yang serius dan adil.”

“Benar juga sih, .... rasanya seperti ketika semuanya berakhir, pada akhirnya siapa yang menjadi pemenangnya?”

“Aturan kuisnya lumayan istimewa sekali, iya ‘kan? Tapi itu sangat menarik!”

Sambil mendengarkan kegembiraan para penonton, Masachika dan Alisa duduk di kursi pipa di belakang panggung. Para panitia sibuk mempersiapkan acara berikutnya dan tidak ada seorang pun di sekitar mereka. Setelah pertarungan sengit tersebut, mereka berdua hanya duduk berdampingan tanpa bertukar kata-kata.

“Aku ingin menjadi rekan yang pantas untukmu.”

Akhirnya, Masachika diam-diam mendengarkan kata-kata yang barusan diucapkan rekannya itu. Alisa juga merenungkan ucapannya sambil melihat ke depan.

“Ada banyak orang yang mengandalkamu dan ... ada banyak orang mengakui kemampuanmu. Kemudian ... kamu dan Yuki-san terlihat seperti pasangan yang ideal ...”

Di sana, Alisa tergagap saat memasukkan lebih banyak energi ke dalam suaranya. Semangat kompetitif dan semangat juangnya membuncah ketika mengutarakan pemikirannya dengan kuat.

“Itulah sebabnya, aku ingin membuktikan kekuatanku. Aku ingin mengalahkan Yuki-san dengan kekuatanku sendiri, dan aku bukan hanya hiasan yang cuma menjadi beban bagimu. Akulah orang yang pantas untuk menjadi rekanmu. Aku hanya ingin diakui ….”

Kata-kata tersebut semakin memudar di bagian akhir. Alisa lalu menurunkan alisnya dan memandang Masachika.

“Tapi ... ternyata itu sia-sia. Pada akhirnya, tanpa bantuanmu, aku akan kalah.”

Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada mencela diri sendiri, Alisa menundukkan wajahnya. Ekspresi wajahnya disembunyikan oleh rambut perak dan tidak terlihat, tapi tangannya yang tergenggam erat di atas rok, secara jelas menunjukkan perasaannya.

(Menyilaukan sekali)

Masachika merasa iri ketika Alisa dengan jujur mengakui ketidakmampuannya sendiri dan merasa frustrasi. Ia menganggap integritas tersebut sebagai sesuatu yang mulia dari lubuk hatinya yang terdalam. Dan pada saat yang sama, Masachika memiliki firasat.

(Suatu hari nanti ...... Alya pasti tidak akan membutuhkanku lagi)

Bahkan jika dia tidak terburu-buru sekarang, Alisa akan menarik lebih banyak orang di masa depan. Banyak orang akan tersentuh oleh cara hidup Alisa yang penuh dedikasi dan kebanggaan serta akan berkumpul untuk mendukungnya. Di tengah-tengah itu semua, Alisa harus terus berjalan lurus seperti biasa. Dan kemudian … Masachika, yang selamanya terjebak di masa lalu, pasti tidak akan bisa mengimbanginya.

(Jika …)

Jika Masachika menegaskan ucapan Alisa di sini sekarang seraya mengatakan kata-kata hampa, “Mungkin saja begitu, tapi jangan khawatir karena aku akan terus mendukungku.” Alisa mungkin akan mengandalkan Masachika lagi. Dia mungkin meraih tangan Masachika dan tersenyum sambil berkata, “Mulai sekarang mohon bantuannya, ya?”

Tapi hal tersebut tidak boleh dilakukan. Hanya karena dirinya tidak bisa berjalan dengan kecepatan yang sama dengan pihak lain, dirinya tidak boleh mengatakan sesuatu yang akan menghalangi seseorang yang benar-benar bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri.

(Hal yang harus kulakukan sekarang adalah ...)

Masachika diam-diam duduk dan berputar di depan Alisa dan berlutut di depannya. Adegan itu mirip seperti seorang ksatria yang bersumpah kesetiaan kepada sang putri.

“Alya, sejak awal ... kamu tidak pernah kalah.”

Usai mendengar kata-kata itu, Alisa mendongak sedikit dan terbelalak oleh Masachika yang berlutut di depannya. Sembari menatap matanya dengan penuh perhatian, Masachika dengan lembut menggenggam kedua tangan Alisa yang tergenggam erat.

“Tekad dan harga diri yang kamu tunjukkan di atas panggung menarik banyak orang di sana. Banyak orang di tempat itu pasti ingin mendukungmu. Oleh karena itu, sejak awal kamu sama sekali tidaklah kalah.”

Dirinya tidak perlu menghiasi kalimatnya dengan ucapan manis. Yang perlu Masachika lakukan ialah menyampaikan langsung kata-kata dari hati.

“Semua yang kulakukan hanyalah melawan Ayano sebagai sesama kandidat wakil ketua ... dan hanya meraih kemenangan dalam pertandingan. Kamu justru mendapat sesuatu yang jauh lebih berharga dari itu. Semua itu berkat kekuatanmu sendiri yang menarik orang-orang di tempat itu, dan itu merupakan pencapaianmu sendiri. Jadi, tidak ada yang perlu disesali.”

Begitu mendengar kata-kata Masachika, tatapan mata Alisa bergetar. Tangan yang tadinya mengepal erat meraih tangan Masachika.

“Benarkah?”

“Hmm?”

“Apa menurutmu ... aku benar-benar diakui oleh semua orang?”

Dia pasti sangat tegang sepanjang waktu. Dia khawatir dan berjuang sendirian. Kurangnya pengalaman Masachika lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.

“Ya, tentu saja.”

Dia meyakinkan Alisa tentang hal ini sebagai cara untuk menebus kesalahannya, tetapi hal ini masih belum cukup untuk menghilangkan kecemasan Alisa.

“Kenapa kamu bisa mengatakannya dengan pasti?”

“Itu karena …”

Masachika kehilangan kata-kata sejenak, dan langsung merasa malu pada dirinya sendiri. Dirinya sudah memutuskan untuk tidak melontarkan kata-kata manis. Sesuai keinginannya, Masachika menyampaikan pemikirannya yang jujur.

“Itu karena … aku tertarik padamu di atas panggung lebih dari siapa pun.”

Mata Alisa membelalak ketika mendengar perkataan Masachika. Menyampaikan isi hatinya, Masachika melanjutkan lebih jauh.

“Kamu terlihat lebih keren dari siapa pun ketika menyatakan bahwa kamu akan mengalahkan Yuki secara langsung. Aku benar-benar merasa bangga memilikimu sebagai rekanku.”

Masachika kemudian memberitahunya dengan tegas sembari menunjukkan senyum yang sedikit sedih.

“Itulah sebabnya, kamu harus terus bergerak maju dengan bermartabat. Aku akan melenyapkan semua orang yang menghalangi jalanmu.”

Bahkan jika orang tersebut adalah diriku sendiri. Kata-kata itu ditambahkan hanya di dalam hatinya sendiri.

Alisa yang tidak menyadari hal itu, tiba-tiba tersenyum dengan wajah meringis.

“… Terima kasih.”

Setelah mengatakan itu dengan berbisik, Alisa menempelkan tangan Masachika ke dahinya.

“Aku merasa senang bahwa  kamulah yang menjadi pasanganku.”

Hati Masachika terasa sakit ketika mendengar bisikan yang sepertinya berasal dari hati Alisa yang tulus. Alisa dengan lembut menurunkan tangannya di lututnya dan tersenyum lembut ketika Masachika menahan ekspresinya supaya perasaannya tidak terlihat.

Masachika pun membalas senyumannya yang mekar itu dengan senyuman tulus. Kemudian, ketika mereka saling menatap dengan perasaan tenang, ….. salah satu anggota panitia yang menjabat sebagai staf manajemen kembali ke belakang panggung.

“E-Ehh!?”

Kemudian, ketika orang itu menatap pemandangan Masachika yang berlutut di hadapan Alisa yang sedang duduk sambil berpegangan tangan, orang itu melangkah mundur dengan kaget. Orang itu mengerjap beberapa kali, lalu perlahan-lahan menarik kakinya ke belakang dan …. menggaruk pipinya dengan campuran kebingungan dan rasa malu.

“Etto, ummm, ... apa kalian sedang melakukan lamaran?”

“Bu-Bukannya begitu! Ini hanya untuk memeriksa denyut nadiku saja....”

“Tidak, Alya. Kalau itu sih alasan yang enggak masuk akal banget.”

Ketika Masachika melakukan tsukkomi tanpa disengaja, staf manajemen teman seangkatannya mundur sambil setengah tersenyum.

“Ah, kalau begitu, silakan nikmati waktu kalian berdua ...”

“Tu-Tunggu dulu!”

Alisa bergegas bangkit dari kursinya, tapi mana mungkin dia mengikutinya hingga ke sisi panggung..

“~~~~!”

Alisa berjuang untuk memutuskan apakah akan mengejarnya atau tidak sambil  mengangkat sesuatu seperti suara erangan di mulutnya. Lalu di sampingnya, Masachika yang juga berdiri, tersenyum pahit.

“Apanya yang lamaran ... lagipula, kita masih belum bisa untuk menikah, iya ‘kan?

Ketika Masachika meminta persetujuannya, Alisa menatapnya dengan raut wajah tidak puas.

“Meski belum bisa menikah, tapi …. Kita masih bisa bertunangan, tau?”

“Enggak, enggak, enggak, jangan dijawab serius juga kali. Kita takkan melakukan dua-duanya, oke.”

“Ara, kamu merasa tidak puas denganku?”

Seketika itu juga, Alisa tersenyum jahat sambil menyeringai seperti setan kecil. Dengan napas tersengal dan suara 'ugh' di wajahnya, Masachika dengan cepat melarikan diri ke dalam pendapat standar masyarakat.

“Bukannya begitu ... hanya saja, mana mungkin kamu bisa bertunangan saat masih kelas 1 SMA.”

“Ara begitu? Aku sih tidak keberatan jika ada jika ada seseorang yang kuputuskan di dalam hatiku.”

“Hah?”

Mendengar tanggapan yang tidak terduga itu, Masachika mengangkat salah satu alisnya dan tersenyum provokatif. Ia kemudian dengan cepat bergerak untuk melakukan serangan balik.

“Mendengar jawabanmu pada kesempatan ini ... seakan-akan menyiratkan kalau kamu ingin mendesakku untuk melakukan sesuatu? Sebagai pria sejati, apa aku harus meminta pertunanganmu di sini?”

Alisa mengangkat dagunya dengan nada mengejek pada serangan balik Masachika.

“Ba~ka.”

Kemudian, sambil memainkan rambutnya dengan jari-jari tangan kirinya, Alisa pun berkata ….

 


 

 

  Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama