Epilog — Sumpah
“Hiyaa tadi itu benar-benar pertandingan
yang sengit dan menegangkan. Ohii-sama juga hampir saja menang.”
“Tidak, tidak, tapi dalam hal
jumlah jawaban yang benar, Ohii-sama sudah menang, tau? Selain itu, dia bahkan
mencoba mencari tahu aturan tersembunyi sambil menjawab pertanyaan kuis, loh? Hasil
akhirnya memang berbanding terbalik, tetapi dari segi jumlah jawaban, Ohii-sama
yang menang, bukan?”
“Meski kamu bilang dari jumlah
jawaban yang benar, itu sih karena Kujou-san menjawab semua pertanyaan dengan
salah dalam tema 《Trend》. Di sebagian besar tema lainnya, Kujou-san sudah menang,
dan dalam hal permainan kuis, dia juga masih menang, bukan?”
“Ngomong-ngomong tentang
masalah aturan, Ayano-chan lah yang luar biasa! Kalian mungkin tidak mengetahuinya,
tapi Ayano-chan menyadari aturan pembagian poin sejak awal, loh!?”
“Seriusan? Tapi jika kamu
mengatakan itu, Kuze juga sama-sama menakjubkan. Ketika Ia menggunakan bantuan
Help Call itu, awalnya aku penasaran apa yang sebenarnya Ia bicarakan ... lah,
meski tanpa melakukan itu, jangan-jangan Ia juga sudah menebak isi dari
pertanyaan terkahir?”
“Ohhh bener banget. Aku sampai
merinding di bagian akhir.”
“Aku justru merasa terpukau
dengan ucapan Kujou-san. Perilakunya yang bermartabat itu ketika dalam situasi
kurang menguntungkan ... Aku sudah menjadi penggemarnya.”
“Oh, maka, begitu juga dengan
Suou-sama. Dia sangat anggun ketika menanggapi keinginan Kujou-sama dan
mengharapkan pertandingan yang serius dan adil.”
“Benar juga sih, .... rasanya
seperti ketika semuanya berakhir, pada akhirnya siapa yang menjadi
pemenangnya?”
“Aturan kuisnya lumayan
istimewa sekali, iya ‘kan? Tapi itu sangat menarik!”
Sambil mendengarkan kegembiraan
para penonton, Masachika dan Alisa duduk di kursi pipa di belakang panggung. Para
panitia sibuk mempersiapkan acara berikutnya dan tidak ada seorang pun di
sekitar mereka. Setelah pertarungan sengit tersebut, mereka berdua hanya duduk
berdampingan tanpa bertukar kata-kata.
“Aku ingin menjadi rekan yang
pantas untukmu.”
Akhirnya, Masachika diam-diam
mendengarkan kata-kata yang barusan diucapkan rekannya itu. Alisa juga
merenungkan ucapannya sambil melihat ke depan.
“Ada banyak orang yang
mengandalkamu dan ... ada banyak orang mengakui kemampuanmu. Kemudian ... kamu dan
Yuki-san terlihat seperti pasangan yang ideal ...”
Di sana, Alisa tergagap saat memasukkan
lebih banyak energi ke dalam suaranya. Semangat kompetitif dan semangat
juangnya membuncah ketika mengutarakan pemikirannya dengan kuat.
“Itulah sebabnya, aku ingin membuktikan
kekuatanku. Aku ingin mengalahkan Yuki-san dengan kekuatanku sendiri, dan aku
bukan hanya hiasan yang cuma menjadi beban bagimu. Akulah orang yang pantas
untuk menjadi rekanmu. Aku hanya ingin diakui ….”
Kata-kata tersebut semakin
memudar di bagian akhir. Alisa lalu menurunkan alisnya dan memandang Masachika.
“Tapi ... ternyata itu sia-sia.
Pada akhirnya, tanpa bantuanmu, aku akan kalah.”
Setelah mengatakan kalimat itu
dengan nada mencela diri sendiri, Alisa menundukkan wajahnya. Ekspresi wajahnya
disembunyikan oleh rambut perak dan tidak terlihat, tapi tangannya yang
tergenggam erat di atas rok, secara jelas menunjukkan perasaannya.
(Menyilaukan
sekali)
Masachika merasa iri ketika
Alisa dengan jujur mengakui ketidakmampuannya sendiri dan merasa frustrasi. Ia
menganggap integritas tersebut sebagai sesuatu yang mulia dari lubuk hatinya
yang terdalam. Dan pada saat yang sama, Masachika memiliki firasat.
(Suatu
hari nanti ...... Alya pasti tidak akan membutuhkanku lagi)
Bahkan jika dia tidak
terburu-buru sekarang, Alisa akan menarik lebih banyak orang di masa depan. Banyak
orang akan tersentuh oleh cara hidup Alisa yang penuh dedikasi dan kebanggaan
serta akan berkumpul untuk mendukungnya. Di tengah-tengah itu semua, Alisa
harus terus berjalan lurus seperti biasa. Dan kemudian … Masachika, yang
selamanya terjebak di masa lalu, pasti tidak akan bisa mengimbanginya.
(Jika
…)
Jika Masachika menegaskan
ucapan Alisa di sini sekarang seraya mengatakan kata-kata hampa, “Mungkin saja begitu, tapi jangan khawatir
karena aku akan terus mendukungku.” Alisa mungkin akan mengandalkan
Masachika lagi. Dia mungkin meraih tangan Masachika dan tersenyum sambil
berkata, “Mulai sekarang mohon
bantuannya, ya?”
Tapi hal tersebut tidak boleh
dilakukan. Hanya karena dirinya tidak bisa berjalan dengan kecepatan yang sama
dengan pihak lain, dirinya tidak boleh mengatakan sesuatu yang akan menghalangi
seseorang yang benar-benar bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri.
(Hal
yang harus kulakukan sekarang adalah ...)
Masachika diam-diam duduk dan
berputar di depan Alisa dan berlutut di depannya. Adegan itu mirip seperti
seorang ksatria yang bersumpah kesetiaan kepada sang putri.
“Alya, sejak awal ... kamu
tidak pernah kalah.”
Usai mendengar kata-kata itu,
Alisa mendongak sedikit dan terbelalak oleh Masachika yang berlutut di depannya.
Sembari menatap matanya dengan penuh perhatian, Masachika dengan lembut
menggenggam kedua tangan Alisa yang tergenggam erat.
“Tekad dan harga diri yang kamu
tunjukkan di atas panggung menarik banyak orang di sana. Banyak orang di tempat
itu pasti ingin mendukungmu. Oleh karena itu, sejak awal kamu sama sekali
tidaklah kalah.”
Dirinya tidak perlu menghiasi
kalimatnya dengan ucapan manis. Yang perlu Masachika lakukan ialah menyampaikan
langsung kata-kata dari hati.
“Semua yang kulakukan hanyalah
melawan Ayano sebagai sesama kandidat wakil ketua ... dan hanya meraih
kemenangan dalam pertandingan. Kamu justru mendapat sesuatu yang jauh lebih
berharga dari itu. Semua itu berkat kekuatanmu sendiri yang menarik orang-orang
di tempat itu, dan itu merupakan pencapaianmu sendiri. Jadi, tidak ada yang
perlu disesali.”
Begitu mendengar kata-kata
Masachika, tatapan mata Alisa bergetar. Tangan yang tadinya mengepal erat
meraih tangan Masachika.
“Benarkah?”
“Hmm?”
“Apa menurutmu ... aku
benar-benar diakui oleh semua orang?”
Dia pasti sangat tegang
sepanjang waktu. Dia khawatir dan berjuang sendirian. Kurangnya pengalaman
Masachika lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.
“Ya, tentu saja.”
Dia meyakinkan Alisa tentang
hal ini sebagai cara untuk menebus kesalahannya, tetapi hal ini masih belum
cukup untuk menghilangkan kecemasan Alisa.
“Kenapa kamu bisa mengatakannya
dengan pasti?”
“Itu karena …”
Masachika kehilangan kata-kata
sejenak, dan langsung merasa malu pada dirinya sendiri. Dirinya sudah
memutuskan untuk tidak melontarkan kata-kata manis. Sesuai keinginannya,
Masachika menyampaikan pemikirannya yang jujur.
“Itu karena … aku tertarik
padamu di atas panggung lebih dari siapa pun.”
Mata Alisa membelalak ketika
mendengar perkataan Masachika. Menyampaikan isi hatinya, Masachika melanjutkan
lebih jauh.
“Kamu terlihat lebih keren dari
siapa pun ketika menyatakan bahwa kamu akan mengalahkan Yuki secara langsung.
Aku benar-benar merasa bangga memilikimu sebagai rekanku.”
Masachika kemudian
memberitahunya dengan tegas sembari menunjukkan senyum yang sedikit sedih.
“Itulah sebabnya, kamu harus
terus bergerak maju dengan bermartabat. Aku akan melenyapkan semua orang yang
menghalangi jalanmu.”
Bahkan
jika orang tersebut adalah diriku sendiri. Kata-kata itu
ditambahkan hanya di dalam hatinya sendiri.
Alisa yang tidak menyadari hal
itu, tiba-tiba tersenyum dengan wajah meringis.
“… Terima kasih.”
Setelah mengatakan itu dengan
berbisik, Alisa menempelkan tangan Masachika ke dahinya.
“Aku merasa senang bahwa kamulah yang menjadi pasanganku.”
Hati Masachika terasa sakit ketika
mendengar bisikan yang sepertinya berasal dari hati Alisa yang tulus. Alisa dengan
lembut menurunkan tangannya di lututnya dan tersenyum lembut ketika Masachika
menahan ekspresinya supaya perasaannya tidak terlihat.
Masachika pun membalas senyumannya
yang mekar itu dengan senyuman tulus. Kemudian, ketika mereka saling menatap
dengan perasaan tenang, ….. salah satu anggota panitia yang menjabat sebagai
staf manajemen kembali ke belakang panggung.
“E-Ehh!?”
Kemudian, ketika orang itu
menatap pemandangan Masachika yang berlutut di hadapan Alisa yang sedang duduk
sambil berpegangan tangan, orang itu melangkah mundur dengan kaget. Orang itu
mengerjap beberapa kali, lalu perlahan-lahan menarik kakinya ke belakang dan ….
menggaruk pipinya dengan campuran kebingungan dan rasa malu.
“Etto, ummm, ... apa kalian
sedang melakukan lamaran?”
“Bu-Bukannya begitu! Ini hanya untuk
memeriksa denyut nadiku saja....”
“Tidak, Alya. Kalau itu sih
alasan yang enggak masuk akal banget.”
Ketika Masachika melakukan
tsukkomi tanpa disengaja, staf manajemen teman seangkatannya mundur sambil
setengah tersenyum.
“Ah, kalau begitu, silakan nikmati
waktu kalian berdua ...”
“Tu-Tunggu dulu!”
Alisa bergegas bangkit dari
kursinya, tapi mana mungkin dia mengikutinya hingga ke sisi panggung..
“~~~~!”
Alisa berjuang untuk memutuskan
apakah akan mengejarnya atau tidak sambil mengangkat sesuatu seperti suara erangan di
mulutnya. Lalu di sampingnya, Masachika yang juga berdiri, tersenyum pahit.
“Apanya yang lamaran ...
lagipula, kita masih belum bisa untuk menikah, iya ‘kan?
Ketika Masachika meminta
persetujuannya, Alisa menatapnya dengan raut wajah tidak puas.
“Meski belum bisa menikah, tapi
…. Kita masih bisa bertunangan, tau?”
“Enggak, enggak, enggak, jangan
dijawab serius juga kali. Kita takkan melakukan dua-duanya, oke.”
“Ara, kamu merasa tidak puas
denganku?”
Seketika itu juga, Alisa
tersenyum jahat sambil menyeringai seperti setan kecil. Dengan napas tersengal
dan suara 'ugh' di wajahnya, Masachika dengan cepat melarikan diri ke dalam
pendapat standar masyarakat.
“Bukannya begitu ... hanya
saja, mana mungkin kamu bisa bertunangan saat masih kelas 1 SMA.”
“Ara begitu? Aku sih tidak
keberatan jika ada jika ada seseorang yang kuputuskan di dalam hatiku.”
“Hah?”
Mendengar tanggapan yang tidak
terduga itu, Masachika mengangkat salah satu alisnya dan tersenyum provokatif.
Ia kemudian dengan cepat bergerak untuk melakukan serangan balik.
“Mendengar jawabanmu pada kesempatan
ini ... seakan-akan menyiratkan kalau kamu ingin mendesakku untuk melakukan
sesuatu? Sebagai pria sejati, apa aku harus meminta pertunanganmu di sini?”
Alisa mengangkat dagunya dengan
nada mengejek pada serangan balik Masachika.
“Ba~ka.”
Kemudian, sambil memainkan
rambutnya dengan jari-jari tangan kirinya, Alisa pun berkata ….
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya