Boku to Shinigami no Nanokakan Bab 2 Bahasa Indonesia

 

Penerjemah: Kuratari Translation

Bab 2: Malam Kedua 

 

Apa yang kualami malam tadi adalah pengalaman yang aneh. Kisah yang jika kubicarakan pada orang lain pasti aku akan dianggap aneh. Tak mungkin keberadaan fantasi seperti Dewa Kematian itu ada. Itu hanya ada di komik atau novel. Pasti aku sedang bermimpi. Pikirku begitu.

Namun, begitu membuka mata, orang ini bukanlah ilusi yang dibuat oleh hatiku, jadi aku langsung mengerti jika kejadian kemarin bukanlah mimpi, melainkan kenyataan.

“Selamat pagi!”

Suara bising di samping bantalku menjadi alarm pagi ini. Di depanku, seorang gadis yang malam tadi sangat-sangat tidak ingin kulihat menatapku dari dekat.

“ ... Jangan bilang, kau terus di sini sampai aku bangun?”

Sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewa Kematian itu tersenyum sambil melihat wajah tidurku.

“Iya! Lagian sebagai Dewa Kematian enggak akan mengantuk! Selain itu, kalau sudah menemukan orang yang akan meninggal, aku enggak boleh menjauh darinya. Karena itu aturan sebagai Dewa Kematian.”

Jadi selama aku tidur dia berdiri di samping bantalku. Sejujurnya itu cukup menyeramkan membayangkan dia terus menatapku dari samping seperti itu.

“Tenang aja, kamu enggak terlalu mendengkur, kok. Ya, kamu saat lagi tidur lumayan keren~~~”

“Ah, begitu ....”

Seperti biasa, suaranya begitu riang, yang tak cocok dengan gambaran sebagai Dewa Kematian. Namun, terlalu membebani otakku yang baru saja terbangun. Memang, jika di komik ini adalah situasi di mana teman masa kecil datang membangunkanmu, tetapi kini aku tak lagi iri. Jika setiap pagi terus terjadi, aku takkan tahan.

Saat aku berganti pakaian, Dewa Kematian meninggalkan kamar dengan sedikit malu. Sikap dan tindakannya benar-benar seperti perempuan pada umumnya. Masuk akal saja jika dia sebenarnya adalah perwujudan gadis cantik yang ada dalam imajinasiku.

“Selamat pagi, Ibu.”

Setibanya di ruang makan, Ibu tengah menyiapkan sarapan. Ayah tampaknya sudah pergi bekerja. Meski bertemu pun hanya canggung, jadi ini lebih baik.

Kenapa kau tidak bisa seperti Masato?

Kalimat yang dulu ayah lontarkan menggema dalam benak. Meski telah kucoba lupakan, tatkala wajah ayah terbesit maka kalimat itu terputar kembali. Kucoba untuk fokus sarapan. Sarapan berdua dengan Ibu. Aku sudah sangat terbiasa. Meja yang setahun lalu biasa digunakan berempat kini terasa luas.

Kursi keempat—yang tak lagi digunakan—tetap dibiarkan di sana. Meskipun, tidak seperti biasanya, terdapat sesuatu selain keluargaku yang ikut.

“Kenapa? Kamu tidak suka sarapannya?”

“Eh? Ah, tidak, tenang saja. Aku hanya sedang berpikir sedikit.”

Tampaknya, Ibu bingung kenapa aku tidak memakan sarapan karena aku mencemaskan Dewa Kematian yang terus memandangi dari samping. Tampak mencemaskan situasi, Dewa Kematian itu berdiri tepat di sampingku sembari melihat serapan yang tersaji di meja.

“Hmm-hmm. Begitu, ya. Nutrisinya seimbang. Bahkan, jumlahnya cukup untuk mengisi energi seharian, dengan memikirkan kamu enggak makan banyak saat pagi.”

Ditambah lagi, ia memberikan kesan terhadap masakan. Sebenarnya dia ini siapa, sih?

“Yup, istri dari dokter memang bukan main. Aku bisa langsung tahu kalau ibumu sangat memperhatikan kesehatan. Selain itu, seorang ibu ideal yang juga memperhatikan kesehatan kebiasaan makan anaknya. Poinnya tinggi, nih.”

Sudah kubilang, kau ini siapa? Kenapa harus kasih kritik juga?

Aku ingin ceplos menyuruhnya berhenti, tetapi aku urungkan. Itu hanya akan berakhir dengan terkejutnya ibu jika aku berbicara dengan Dewa Kematian. Tidak, itu masih lumayan. Alasan seperti kemarin takkan berguna, dan ibu akhirnya akan sepenuhnya cemas karena anaknya jadi gila.

Aku segera berbenah begitu menyelesaikan sarapan yang lebih lama dari biasanya.

Lalu, aku pun duduk di altar untuk melakukan ‘rutinitas’ sebelum pergi ke sekolah.

“Aku berangkat. Kak Masato.”

Sambil mempersembahkan dupa, kuarahkan tanganku ke foto kakak di altar Buddha.

Kakak dalam foto tersenyum segar, sama seperti sebelum ia meninggal.

Bulan pertama kepergian kakak, aku masih belum dapat menerimanya, bahkan aku takdapat mempersembahkan dupa dan menatap foto peninggalan di altar. Kini, setelah dapat tenang, menyapa foto peninggalan kakak menjadi rutinitasku.

Dewa Kematian duduk di sampingku, menatap ke arah yang sama denganku seraya menyatukan tangan. Lalu, ia pejamkan mata dan berdoa dengan ekspresi serius.

Kutatap wajahnya. Tidak ada niat buruk. Karena dia benar-benar serius berdoa untuk kakak.

Meski begitu, tak kusangka dia akan meratapi sampai sejauh itu pada seseorang yang tidak pernah sekali pun ia temui. Apa karena ia sebagai Dewa Kematian yang mengendalikan kematian? Atau, apa karena murni sifatnya?

“A-apa? Tadi, kamu melirik-lirikku, ‘kan?”

“ ... Ah, tidak. Aku hanya terkejut kau bisa buat wajah serius seperti itu.”

“Hah?! Tunggu tunggu! Apa maksudmu?! Kayak kerjaanku biasanya cuma bercanda doang!”

Suaramu terlalu kencang, tahu. Suaramu itu. Itulah yang kumaksud.

Aku pun berangkat ke sekolah setelah selesai menyapa kakak.

“ ... Kau benar-benar ingin ikut denganku?” Tanyaku, sambil terus menghadap depan pada gadis yang seolah sudah sewajarnya berjalan di sampingku.

“Iya! Kemarin aku sudah bilang, ‘kan? Demi mencari apa yang kamu ingin lakukan, pertama-tama aku harus lebih mengenalmu. Jadi aku akan melihat keseharianmu. Bukan cuma di rumah, tapi di sekolah juga. Kamu pasti punya teman atau guru yang mau kamu beri salam sebelum kamu meninggal, ‘kan? Aku akan memastikannya langsung.”

Berdasarkan apa yang Dewa Kematian ini katakan, dalam enam hari lagi aku akan meninggal. Sebenarnya aku tidak masalah, tetapi tampaknya sudah jadi tugas sebagai Dewa Kematian menyelesaikan masalah orang itu sebelum kematiannya. Kalau tidak, aku akan menjadi hantu dan takdapat menyeberang ke dunia sana. Demi menuntaskan tugasnya itu, ia penuh semangat mencari apa yang ingin kulakukan sebelum aku meninggal.

Padahal pengalaman cari kerja saja belum pernah, tidak kusangka di umur segini aku sudah harus menyiapkan kematianku. Benar-benar buat semangat turun.

Selain itu, aku merasa tidak enak dengan Dewa Kematian yang lagi semangat ini, tetapi di sekolah tidak ada ‘sesuatu’ seperti ekspektasinya. Aku tidak ikut ekskul atau komite apa pun. Di kelas pun aku tidak punya teman. Aku pun tak pernah melakukan percakapan dengan guru di luar jam pelajaran, jadi tidak ada guru yang ingin kuberi salam perpisahan.

Benar, tidak ada apa pun di sana. Selagi semuanya sibuk dengan ekskul dan romansa mereka, hanya akulah yang menghabiskan waktu tanpa arti.

“Selamat pagi!”

Para murid dan guru saling menyapa di depan gerbang. Semuanya benar-benar mengabaikan keberadaan orang asing, sebagai Dewa Kematian ini. Jika memang apa yang dikatakan Dewa Kematian benar, berarti hanya akulah di sini yang ajalnya telah dekat. Baguslah kalau begitu. Alasan kematianku memang abu-abu, tetapi kurasa takkan ada bencana besar yang akan memakan banyak korban.

“Hmmm. Semuanya pakai baju yang sama, ya.”

“ ... Tidak, namanya juga sekolah. Jelas seragam yang dipakai sama.”

Aku berjalan di gedung sekolah bersama Dewa Kematian. Dewa Kematian itu menatap siapa pun yang berpas-pasan dengannya di lorong. Awalnya aku bingung apakah ada sesuatu yang tak biasa, tetapi aku akhirnya mengerti. Dia sedang mengecek apakah ada ‘rekan kerja’ atau tidak. Jika ada yang bisa melihat sebagai Dewa Kematian, entah bagaimana pasti mereka akan bereaksi.

“Hei hei. Apa ada kantin?”

“ ... Iya, kalau itu ada. Biasanya menjual roti, minuman, dan beberapa alat tulis,” jawabku, atas pertanyaan Dewa Kematian dengan suara kecil.

“Wah! Benar ada, ya! Yang biasanya harus mengantre dulu buat jajan, ‘kan?! Pasti ada juga roti yakisoba yang biasanya selalu ludes habis terjual, ‘kan?!”

“ ... Hanya di komik. Yang seperti itu tidak ada. Lagi pula tidak murah, pilihannya tidak menarik, jadi pada dasarnya sepi.”

“Lah, serius? Enggak seru, ah.”

Aku taktahu apa yang ia harapkan, tetapi dia tampak kecewa.

“Ah! Nah, kalau pohon legenda ada enggak?! Yang kalau kamu menyatakan cinta di bawah pohon itu, pasti akan bahagia! Terus, ruang OSIS yang punya pengaruh besar di mana?!”

“Tidak ada.”

Aku penasaran dari mana ia dapat pengetahuan itu. Kurasa dia cukup mengidolakannya.

Dewa kematian itu mengikutiku hingga kelas. Tidak ada satu pun di kelas yang membuat reaksi saat gadis dengan pakaian berkabung masuk.

Aku pun duduk di kursiku, dan berusaha tidak berbicara dengan Dewa Kematian saat di kelas. Pasti teman sekelasku akan menganggapku orang aneh kalau ketangkap bergumam sendirian. Aku memang tak punya teman, tetapi aku memiliki posisi minimum di kelas, jadi kurasa aku akan kehilangan bagian ini.

Meskipun, posisi membosankan seperti,Siswa serius, yang rajin belajar dan mau mengajarkan seputar ujian.

Bel berdentang, kelas pun dimulai.

Dewa Kematian—yang berdiri di sampingku—mengikuti pelajaran dengan serius seolah dia memang murid. Lalu, saat guru bertanya, “Apa ada yang bisa menjawab soal ini?”

Kemudian, “Saya, Pak!”. Namun, tentu saja, guru tak kunjung menunjuk Dewa Kematian.

Ini pertama kalinya sejak SMA aku tidak dapat fokus saat kegiatan belajar karena terlalu terganggu oleh Dewa Kematian di sampingku.

“ ... Memangnya selangka itu, ya? Sekolahan?”

Setelah kelas usai dan memastikan tidak ada siapa pun di dekatku, aku bertanya kepada Dewa Kematian sembari melihat ke jendela, agar tidak ada teman sekelas lain yang melihat.

Kurasa bagi dirinya yang bukan manusia, sekolah yang dihadiri manusia memang hal langka. Semalam pun sama, jika menyinggung hal sekolah dia pasti akan langsung bersemangat. Matanya selalu berbinar di setiap hal yang ia lihat. Tadi pun, dia begitu semangat dengan pelajaran yang sebenarnya biasa saja.

“Hmmm, bukan pertama kalinya, sih, aku ke sekolah. Aku sudah beberapa kali masuk-keluar sekolah sejak aku jadi Dewa Kematian.”

Bagi Dewa Kematian yang tak siapa pun dapat lihat, dia bisa masuk-keluar suatu institusi dengan bebas. Dia pasti sudah datang ke berbagai tempat untuk mencari manusia yang dapat melihatnya. Terlebih, di tempat ramai seperti sekolah.

“Ah, iya! Pernah sekali aku dikira hantu! Di suatu sekolah, ada anak yang bisa melihatku, jadi heboh banget. Anak itu jadi panik, bahkan aku enggak bisa bicara sama dia juga, jadinya aku enggak bisa kasih tahu kalau dia sebentar lagi meninggal. Saat itu benar-benar kacau.”

Seorang gadis yang hanya dapat melihatnya. Jika memang ada, pasti dia akan meragukan rasionalnya, atau menganggap jika cerita hantu sekolah menjadi kenyataan. Apa pun itu, semuanya mengarah ke kepanikan. Aku hanya spesial, karena dapat mengobrol santai dengan Dewa Kematian seperti ini.

“ ... Jika bukan pertama kali, kau tak perlu seheboh itu, ‘kan?”

“Iya, sih, ini bukan pertama kalinya aku datang ke sekolah, tapi ini pertama kalinya aku punya seseorang yang bisa mengobrol denganku seperti ini. ‘Gimana, ya. Rasanya aku senang karena datang ke sini denganmu.”

Dewa Kematian menggumamkan pendapatnya sembari melihat kelompok siswi yang asyik mengobrol.

“Yah, aku juga enggak pernah punya kesempatan bicara santai dengan seseorang. Meskipun ada yang bisa melihatku, alih-alih dekat, yang ada malah enggak nyambung sama sekali. Jadi, bisa mengobrol denganmu seperti ini saja sudah benar-benar membuatku senang,” ujar Dewa Kematian, sambil tersenyum padaku.

Aku dapat merasakan jika ia benar-benar menikmatinya.

Semalam aku sudah berpikir seperti ini, tetapi dia jauh lebih hidup daripada aku, manusia yang hidup. Meskipun seorang Dewa Kematian, dia menikmati keseharian dunia.

“Kamu tidak punya teman sesama Dewa Kematian? Kau tidak mengobrol dengannya?”

“ ... Ada, sih. Tapi kami hanya bertemu sekali dulu. Sekarang aku enggak tau dia ada di mana.”

“Apa Dewa Kematian tidak punya sekolah?”

“Whoa! Tu-tunggu ... tunggu sebentar! Sesi tanya jawab tentangku selesai! Kamu enggak boleh lagi tanya tentangku lebih dari ini, ya!”

“Kenapa?”

“I-itu, lo! Dewa kematian itu enggak boleh membicarakan soal dirinya! Begitulah aturan Dewa KematianDewa kematian itu salah satu dari tujuh dosa besar!”

“ ... Hee, jadi ada, ya. Terus, keenam lainnya apa?”

“Membicarakan itu juga salah satu tujuh dosa besar! Pokoknya, selanjutnya yang tanya-tanya hanya aku, ya! Oke?!”

Lah? Tidak adil dong. Padahal dia terus menanyaiku tanpa ragu. Semalam pun, dia datang ke kamarku dan tidak memikirkan sedikit pun privasiku.

Aku tidak terlalu mengeti, tetapi kurasa ada dunia Dewa Kematian, dan dia dikirim dari sana ke dunia manusia. Aku memang penasaran, tetapi melihat kondisinya, tampaknya dia tidak ingin memberitahu, jadi kuurungkan bertanya lebih jauh.

Lo ...?

Sejenak.

Hanya sejenak. Saat aku berkedip, Dewa Kematian yang sedari tadi ada di sampingku tiba-tiba menghilang.

Ke mana perginya?

Aku pun melirik sekitar ruang kelas.

Lalu———

“Tung—?! A-apa yang kau lakukan?!”

Tanpa sadar aku pun berteriak.

Teman sekelas pun langsung menaruh perhatian padaku. “Apa, ada apa?”  “Kenapa?”. Suasana aneh pun memenuhi kelas.

Berpikir bahayanya keadaan, aku pun langsung memalingkan wajah ke jendela.

Sejak pagi aku sangat berhati-hati saat ingin berbicara dengan Dewa Kematian. Aku mencoba berbisik setelah memastikan tidak ada orang di dekatku. Namun, secara tidak sengaja aku berteriak ke arah Dewa Kematian.

Lagi pula, apa boleh buat.

Saat ini, dia tengah berjongkok.

Jika ditanya apa yang ia lakukan, saat ini ai tengah mengintip pakaian dalam seorang gadis yang tengah mengobrol dari belakang. Dewa Kematian yang mendengar teriakkanku, melihat ke arahku.

“Hm? Ah, begini. Aku cuma penasaran celana dalam macam apa yang biasa siswi SMA biasa kenakan zaman sekarang.”

Dia om-om, kah?! Sungguh, sebenarnya apa yang ia pikirkan!

Oh, sungguh apa ini. Kini, kejahatan sempurna yang tidak mungkin diketahui telah terjadi di kelas. Karena korban tidak bisa melihat pelaku.

Dewa Kematian melanjutkan tindak kriminalnya. Pada dua siswi yang mengobrol. Dia mencoba mengintip ke dalam rok keduanya.

“Hmm, susah melihatnya ....”

Akhirnya, Dewa Kematian berbaring di tanah, menempatkan kepalanya tepat di bawah gadis itu.

Bodoh! Hentikan!, aku hendak berteriak pada Dewa Kematian, tetapi aku tidak mungkin melakukan itu. Karena baru saja aku berteriak kencang, dua gadis itu kini sedang saling berbisik sambil sesekali melirikku. Aku pun bisa memastikan mereka membuat ekspresi semacam, “Duh, dia melihat ke kita, ya ...?”

Bukan begitu! Sekarang ini ada yang mengintip ke dalam rok kalian!, tetapi sekali lagi tidak mungkin aku mengutarakannya. Dewa Kematian yang tak terlihat itu kini masih terus menatap bagian memalukan mereka.

“Hmm, biasa aja. Cuma putih polos doang. ... Eh?! Perempuan ini pakai sesuatu yang berani banget, lo!”

“Woy! Sudah, hentikan! Aku tidak perlu penjelasanmu! ... ... Ah!”

Aku pun kembali keceplosan dengan suara kencang menanggapi ucapan Dewa Kematian.

 

*****

 

“Ha .... Lelah sekali ....”

Istirahat makan siang, aku pun pergi ke atap sekolah.

Sekolah kami terbagi menjadi dua gedung; Gedung Utara, yang merupakan gedung baru, dan Gedung Selatan, yang merupakan gedung sekolah lama. Atap Gedung Selatan jarang didatangi orang. Penuh dengan debu karena tidak dibersihkan dengan benar. Terlebih, ada kabar burung jika dulu ada seorang murid yang bunuh di sini.

Karena itu, di sinilah tempat paling menenangkan di sekolah. Saat istirahat makan siang, aku biasa menghabiskan waktu membaca buku di sini. Hari ini pun sama, tidak murid yang datang.

Dengan helaan napas panjang, aku pun duduk di tempat biasa. Lalu, seperti biasa, Dewa Kematian mengikutiku.

“Kamu kalau istirahat makan siang selalu sendirian di sini?”

Kuputuskan untuk mengabaikannya.

Baik buruknya, aku mencoba menghabiskan keseharianku di sekolah tanpa menonjol, tetapi karena insiden mengintip celana dalam tadi semuanya menjadi sia-sia. “Itu orang kenapa tiba-tiba teriak sendirian?”, dengan ekspresi seolah aku perusak suasana, teman sekelas menatapku.

Itu semua salah Dewa Kematian ini. Kehidupan sekolah damaiku berantakan.

Di pelajaran berikutnya pun sama. Mungkin karena bosan, karena dia keluyuran di sekeliling kelas tidak jelas, aku pun berdeham untuk menegurnya. Namun, guruku jadi mencemaskanku, “Mau ke UKS saja?”.

Karena sangat kesal, jadi kuputuskan untuk mengabaikan Dewa Kematian sepenuhnya. Lagi pula, seharusnya begini saja sejak awal. Dia takkan mengikuti jika aku mengabaikannya. Lagi pula, kenapa aku harus menarik minat pada Dewa Kematian ini?

“Ummm, apa kamu bisa mendengarku? Halooo?”

Aku takkan menjawabnya.

Dia heboh berkata, “Jangan abaikan aku ....”, tetapi semuanya aku abaikan. Aku pun berusaha tidak melihat ke arahnya.

Benar, aku memperlakukannya layaknya ia tidak ada. Layaknya yang lain, aku bersikap seolah aku takdapat melihat Dewa Kematian.

“Jangan-jangan kamu sudah tidak bisa melihatku lagi ...?”

Jika benar begitu pastinya aku akan sangat senang. Karena aku tidak perlu direpotkan olehnya lagi.

Benar juga, jika aku terus berpura-pura tidak melihatnya bukanlah ide buruk. Mungkin saja dia akan menyerah, lalu pergi mencari orang lain dan meninggalkanku.

“Serius ...? Padahal akhirnya ketemu ....”

Aku berusaha tidak melihat wajahnya, tetapi suaranya terdengar sangat sedih.

Mendengar suaranya, perlahan aku mulai merasa bersalah. Lagi pula dia sudah bilang sebelumnya. Dia sudah lama mencari dan tak pernah bertemu seseorang yang bisa diajak berbicara sepertiku ini. Karena itulah, hari ini ia terlihat sangat senang di sekolah.

 ... Selama ini, pasti dia sendirian.

Ah, jangan jangan!

Kenapa aku harus bersimpati pada Dewa Kematian? Aku harus menguatkan tekad. Lebih baik tetap abai saja, ‘kan?

“Oiii! Kamu benar enggak bisa melihatku? Halooo!”

Akhirnya, Dewa Kematian mengintip ke wajahnya dari jarak yang begitu dekat. Dengan jarak di mana hidung kami hampir saja saling menyentuh.

“Gah! Dekat, kau terlalu dekat! Suaramu berisik! Kupingku sakit!”

Tak lagi dapat menahan pendekatan kuat ini, akhirnya aku memberikan reaksi.

Dewa Kematian memelototiku.

“Apaan, sih! Itu masih bisa melihatku! Jangan jahil begitu dong! Tadi aku benar-benar berpikir kamu enggak bisa melihatku tau!”

“Duh, berisik banget! Lagi pula sejak awal ini salahmu! Kau membuatku malu di depan semuanya!”

“A-aku tadi sudah minta maaf, ‘kan?! Lagian, yang teriak kan kamu sendiri!

“Hah?! Yah, kalau kau melakukan itu siapa pun pasti teriak!”

Lalu, karena mendengar suara langkah kaki yang mendekat, aku pun berhenti berbicara. Sangat merepotkan jika sampai ada yang menangkap basah aku berbicara sendiri lagi.

“Tunggu tunggu. Enggak perlu sampai sembunyi juga, ‘kan?” Tanya Dewa Kematian, penasaran pada diriku yang bersembunyi di balik ketel.

“ ... Aku tidak mau ada yang tahu berada di tempat seperti ini sendirian.”

“Kenapa?”

“Terserah aku, abaikan saja.”

Setelah itu, aku menutup rapat-rapat bibirku di tempat.

Sedangkan Dewa Kematian pergi ke pintu masuk, mungkin karena penasaran dengan pengunjung itu.

“Hmm, yang ke sini ada dua orang siswa. Satunya siswa yang kelihatannya seram, rambutnya berwarna coklat. Yang satunya lagi tubuhnya kecil, kelihatannya pendiam, terus rambutnya warna hitam.”

Meskipun aku tidak meminta, Dewa Kematian memberitahuku apa yang terjadi di tempat yang tak mungkin kulihat dari posisiku.

Ternyata dia lumayan juga. Meskipun dia memang mengganggu, tetapi kurasa dia punya tugas bagus sebagai pengganti kamera pengawas.

Percakapan mereka tidak terdengar hingga tempatku, akibat bisingnya angin dan murid di lapangan.

“Hah?!”

Tiba-tiba, Dewa Kematian meninggikan suara.

Hm, ada apa?

Wajahnya kelihatannya sangat terkejut, memang ada apa?

“Se-serius?! Sesama laki-laki juga melakukan hal semacam itu?! Ja-jangan jangan! Enggak boleh!”

Hah?

“Dekat, kalian terlalu dekat! Ah! Kalian enggak boleh melakukan itu!”

Tu-tunggu sebentar. Memangnya apa yang mereka lakukan di sana?

Aku penasaran, tetapi aku tidak bisa melihat ke arah pintu masuk dari sini. Jika aku keluar sekarang lalu ketahuan hanya akan canggung, jadi kurasa lebih baik membayangkan apa yang terjadi di sana dari reaksi Dewa Kematian.

Dua laki-laki, yang berduaan di tempat sepi ....

Lalu, ucapan Dewa Kematian tadi ....

Ogah. Aku tidak mau melihatnya. Mau tahu pun enggan.

Dewa Kematian itu tampak panik sesaat, tetapi akhirnya terdiam.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan langkah lemas.

“Tenang saja, mereka sudah pergi.”

“ ... Apa yang kaulihat?”

Dewa Kematian yang kembali telah kehilangan semangatnya. Aku semakin mengerti jika hal mengerikan telah terjadi di sana.

“ ... Umm, pertama, siswa berambut coklat itu, kasih kabedon ke siswa rambut hitam.”

Kabedon ....

{Catatan: Kabedon itu di mana seseorang memojokkan seseorang ke tembok, dengan menutup jalur keluar dengan satu tangan. Dalam karya Jepang, ini sering muncul.}

Begitu, ya. Jadi Dewa Kematian jadi sangat heboh karena adegan yang biasanya terjadi di komik gadis. Gadis ini benar-benar suka hal semacam itu.

“Jadi, aku terkejut sesama laki-laki melakukan hal semacam itu. ... Tapinya, enggak begitu. Wajah siswa berambut coklat kelihatan menyeramkan, terus mengancam siswa rambut hitam .... Terus ... memalaknya ....”

Lah. Ternyata kabedon untuk itu. Hanya untuk mengintimidasi agar tidak dapat melarikan diri.

Terlebih, di sini ternyata jadi tempat pemalakan, ya. Ternyata di sekolah ini pun ada orang yang melakukan hal bodoh seperti itu.

... Tidak, seseorang yang melakukan ini pasti orang itu.

“Dia, murid dari kelas sebelah. Yang coklat hitam pasti si Akasawa. Lalu yang dipalak Kuromoto.”

“Eh? Ah, kalau kuingat-ingat namanya memang itu. ‘Berhenti, Akasawa-kun.’, sama ‘Berisik, Kuromoto. Cepat berikan.’. Tapi, ternyata kamu bisa tahu padahal kamu enggak bisa melihatnya dari sana.”

Biasa saja. Sangat mudah menebaknya dari apa yang diceritakan Dewa Kematian, ditambah hubungan keduanya.

Orang yang merundung dan dirundung, orang semacam itu memang biasanya mencolok. Informasi orang yang mencolok seperti itu dengan mudahnya terlintas dalam percakapan kelas. Aku takingin menjadi seseorang yang digisipkan seperti itu. Alasanku bersembunyi juga karena itu. Aku takingin digosipkan murid yang sendirian di atap sekolah. Karena itulah, hal mencolok yang kulakukan di kelas bertentangan dengan prinsipku, jadi aku cukup kesal dengan Dewa Kematian.

Mendiang kakakku orang yang mencolok. Selalu menjadi pusat semuanya. Saat ia masih hidup, aku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi seperti dirinya. Saat SMP pun aku jadi komite kelas dan berusaha memimpin kelas, aku juga mencoba berinisiatif saat ada acara sekolah. Saat itu aku cukup aktif.

Kurasa, mungkin karena reaksi saat itu. Kini aku sudah jadi orang yang berkebalikan dari saat itu. Aku takingin melakukan hal merepotkan dan tak ingin menonjol, aku bahkan tidak membuat teman.

“Anak yang dirundung, Kuromoto-kun? Dia kasihan .... Dia sangat kerepotan tadi ....”

Dewa Kematian menatap ke arah di mana Kuromoto dan Akasawa berada dengan ekspresi sedih.

“Yah, aku juga kasihan padanya. Tapi, dia dipalak juga karena apes saja. Rundung tidak berbeda dari kecelakaan mobil.”

Karena tidak suka. Karena lemah. Karena mencolok. Tak peduli alasannya. Mereka akan terus memeras sampai bosan. Begitulah rundung. Jika saja roda takdir diputar, mungkin saja aku yang menjadi targetnya. Paling mereka akan berkata, “Hanya karena nilaimu tinggi jangan sombong dong!”.

Kakak pernah memberitahuku jika ia hampir mengalaminya. Kakak yang sangat membenci merundung yang lemah, saat SMP Kakak melindungi anak yang dirundung dari perundung. Alhasil, secara terang-terangan Kakak diabaikan.

Dengan keceriaan dan energinya, Kakak dapat melalui rundungan semacam itu. Ia secara terang-terangan mengatakan pada mereka untuk berhenti melakukan hal konyol. Aku juga diberitahu oleh teman sekelas Kakak jika pada akhirnya, yang menindas akhirnya menyerah.

Itu hal yang tak mungkin bisa kulakukan. Kuyakin aku takkan bisa menyelesaikannya jika berada dalam posisi yang sama. Karena itu, aku berusaha menghindari ‘kecelakaan’ sejak awal.

“Hei hei! Ayo lakukan sesuatu!”

“ ... Hah? Apa?”

Aku meragukan apa yang kudengar dari Dewa Kematian.

Sebenarnya apa yang gadis ini katakan.

“Lagian, kalau terus begitu kasihan dia! Kuromoto-kun itu selalu dirundung sama Akasawa-kun, ‘kan? Aku entah bagaimana ingin menolongnya!”

‘Entah bagaimana’? Aku mengerti dia ingin menolong Kuromoto dari rundungan Akasawa, tetapi itu sudah jauh berbeda dari pekerjaan Dewa Kematian bukan? Kuromoto juga sepertinya tidak bisa melihat Dewa Kematian, jadi tidak ada tanda-tanda dia akan bunuh diri dalam waktu dekat karena dirundung.

Jika tidak bisa melihatnya, maka dia tidak ada hubungannya dengan Dewa Kematian. Seseorang yang tak perlu kau ikut campur.

Lagi pula———

“Meski ingin menolong, kau tidak bisa melakukannya, ‘kan ...?”

Dewa Kematian hanya dapat berinteraksi denganku. Akasawa juga takkan mendengarnya meski ia berteriak hentikan. Dia juga tidak bisa menyemangati Kuromoto yang dirundung.

“Iya, kamu benar. Aku enggak bisa apa-apa. Jadi, kamu yang menolongnya.”

“Hah?”

Tidak tidak, kenapa malah aku?

Memang aku juga kasihan padanya, aku juga punya nilai keadilan sama seperti yang lain. Aku juga ada sedikit perasaan jika bisa aku ingin menolongnya.

Jika dalam situasi ini, Kakak pasti akan menolong Kuromoto. Jika aku yang sebelum SMP, tanpa diperintah oleh Dewa Kematian ini aku akan melakukan hal yang pasti dilakukan Kakak dan menolongnya.

Namun.

“ ... Memangnya, itu orang tipe yang kalau disuruh berhenti mau berhenti? Atau mau mengadukannya ke guru? Aku tidak mau. Kalau sampai ketahuan, akulah yang akan jadi target rundungan.”

Jika aku menyelamatkannya, pasti targetnya akan dialihkan padaku, sama seperti kasus Kakak, dan aku tak ingin itu.

Lagi pula, aku dalam arti asli tidak menangkap basah mereka, Kuromoto sendiri juga tidak meminta pertolonganku. Jadi aku takpunya satu pun alasan untuk menolongnya.

“Dengar ya! Menolong Kuromoto-kun juga demi dirimu, lo!”

Dewa Kematian kembali mengatakan hal yang tak masuk akal.

“ ... Tidak, kenapa jadi begitu? Aku sendiri tidak pernah sekali pun berbicara padanya, dia sama sekali tidak ada hubungannya denganku, jadi apa untungnya buatku?”

“Karena, kalau kamu mengabaikannya begitu aja pasti akan jadi penyesalanmu nanti setelah meninggal.”

Mungkin Dewa Kematian ingin mengatakan seperti ini. Jika aku tidak menyelamatkan Kuromoto, maka itu akan menjadi penyesalanku setelah aku meninggal kelak. Karena ada rasa bersalah menutup mata atas tindakan rundung. Sudah jadi tugas Dewa Kematian menuntaskan perasaan yang belum tertuntaskan di dunia, jadi dia mau aku menolong Kuromoto.

Aku tidak menyangkal logika itu, dan apa yang dikatakan gadis ini ada benarnya juga. Aku akan terlihat menyedihkan jika tetap abai. Fakta aku mengabaikan Kuromoto pasti akan tertinggal di hatiku.

Dewa Kematian itu menatapku penuh harap.

“ ....”

 ... Kurasa dia benar.

Kulakukan saja.

Benar, lagi pula meski gagal sekali pun bukan masalah. Jikalau target ia diarahkan padaku bukan masalah sama sekali.

Lagi pula, sebentar lagi aku akan meninggal.

Bukan ide buruk juga berhasil menyelamatkan anak yang dirundung dan menjadi kebanggaan tersendiri di dunia lain nanti.

Namun, apa yang harus kulakukan? Akasawa bukanlah tipe orang yang akan mengindahkan jika aku blak-blakan menyuruhnya berhenti. Diabaikan saja, atau akan dipukuli. Jika dalam kekerasan, mungkin akulah yang akan dibantai.

Jika Kakak entah bagaimana pasti bisa. Dalam perkelahian dia takkan kalah, dia juga pasti akan terbesit ide bagus untuk memecahkan masalah.

“Baiklah! Aku pergi dulu sebentar, ya!”

Saat aku tengah sibuk berpikir, Dewa Kematian tiba-tiba berkata seperti itu lalu mulai berjalan ke arah pintu masuk.

“ ... Ha? Pergi? Pergi ke mana?”

“Ke Akasawa-kun yang melakukan rundung! Menghentikan perundungan memang sulit, tapi kalau cuma balikkan uang dipalak dari Kuromoto-kun ‘kan bisa dari sekarang!”

“Tidak tidak, bagaimana caranya? Dia tidak bisa melihatmu, ‘kan? Kau tidak bisa memintanya mengembalikan, kau juga tidak bisa mengambil dengan paksa. Pergi ke dia pun tidak ada gunanya.”

Meskipun ada keuntungan dia takdapat dilihat, ia takdapat memegang sesuatu. Jadi ia tidak bisa mengambil kembali uang dari dompet Akasawa.

“Akan aku pikirkan nanti di sana!”

Berkata begitu, Dewa Kematian meninggalkan atap. Aku tidak punya waktu menghentikannya, kutatap punggungnya sembari berpikir jika kata nekat benar cocok untuknya.

Dia mengatakan demiku, tetapi aku yakin itu hanya alasan. Dia pasti hanya bertindak atas perasaan pribadi saja. Ingin mengembalikan uang yang dipalak, meski hanya Dewa Kematian hatinya juga baik, ya.

Aku duduk di atap, sembari menatap langit dengan perasaan lelah.

Langitnya jernih. Berdasarkan prediksi cuaca, seminggu ini akan selalu cerah.

Kurasa aku akhirnya dapat bersantai setelah sekian lama sejak bertemu Dewa Kematian semalam. Dia selalu berada di sampingku, terlebih sejak pagi selalu saja bawel. Dewa Kematian terus membuatku tidak nyaman, hingga aku tak punya waktu untuk menenangkan diri.

Kapan terakhir kali aku menghabiskan waktu dengan berisik seperti ini? Saat Kakak masih hidup kurang lebih seperti ini. Bermain bersama Kakak, dan berteman dengan kenalan Kakak. Memanggil teman ke rumah lalu membuat banyak kebisingan. Kami bahkan mengadakan barbekyu di halaman.

Tiap harinya kala itu begitu menyenangkan.

Jikalau dapat kembali ke saat itu, aku pasti ingin hidup lebih lama.

Hari-hari, saat Kakak masih hidup.

Namun, tetap saja.

Apa benar aku sebentar lagi akan meninggal?

Aku sadar jika hatiku telah mati, tetapi tubuhku sehat sempurna. Aku juga tidak terjangkit penyakit mematikan.

Jika begitu, apa mungkin kecelakaan? Jika benar, cukup aneh aku akan mengalami nasib yang sama seperti Kakak. Yah, kurasa aku dapat menerimanya jika begitu. Jika aku dapat meninggal dengan cara yang sama dengan Kakak.

“Hei, hei!!”

“Whoa?!”

Aku pun melompat secara tidak sadar karena tiba-tiba dipanggil.

Yang memanggilku adalah Dewa Kematian. Aku baru saja menyadarinya, tetapi gadis ini tidak menimbulkan suara langkah kaki sama sekali. Karenanya aku taksadar jika ia mendekat, selalu saja tiba-tiba muncul di sampingku dan membuatku terkejut.

“Ja-jangan mengagetkanku .... Jadi, ada apa, kelihatannya senang begitu.”

Dewa Kematian itu pun tersenyum menang, “Mfufu.”

“Begini! Kita mungkin bisa membantu! Anak itu! Kuromoto-kun!”

“ ... Menolong? Nah, aku tanya bagaimana caranya?”

“Yah, tapi memang perlu bantuanmu.”

Setelah berkata begitu, Dewa Kematian menyunggingkan senyum seolah tengah merencanakan sesuatu.

 

*****

 

Aku akan melakukan rencana yang dibuat oleh Dewa Kematian. Rencana mengambil kembali uang Kuromoto yang dipalak oleh Akasawa. Aku juga merasa menolong orang tidak masalah. Seperti yang Dewa Kematian katakan, mungkin akan meninggalkan rasa bersalah jika aku mengabaikannya.

Apa yang bisa dilakukan Dewa Kematian terbatas. Hanya akulah yang dapat melihat, mendengar, dan berbicara padanya. Dia tidak bisa mengambil atau membawa benda, tetapi dia dapat mengumpulkan “informasi” dan memberikannya padaku. Menggunakan informasi yang didapat dari Dewa Kematian adalah kunci dari operasi ini.

Sepulang sekolah, aku dan Dewa Kematian datang ke pintu masuk. Menunggu waktu di mana sedikitnya murid. Jam piket usai, anggota ekskul akan pergi ke lokasi ekskul mereka, dan yang tidak punya ekskul akan langsung pulang.

Memastikan tidak ada siapa pun di area rak sepatu, aku pun berbicara pada Dewa Kematian.

“ ... Hei, kau tidak bohong padaku, ‘kan?”

“Tunggu tunggu! Kamu masih meragukanku?! Serius, aku enggak bohong! Aku yakin!”

Dewa Kematian penuh percaya diri menatapku—yang meragukannya.

“Kamu harus percaya pada mataku ini! Mata yang tulus ini! ... Tidak tidak, kok ekspresimu jadi begitu?! Jangan blak-blakan mencurigaiku begitu dong! Jangan menghela napas begitu!!”

Memang benar jika aku menggunakan informasi yang didapat Dewa Kematian, entah bagaimana mungkin berhasil, tetapi apa boleh kuterima mentah-mentah begitu saja? Aku juga ragu rencana yang dibangun oleh Dewa Kematian akan berjalan lancar.

Namun, sekarang hanya itulah satu-satunya cara. Cara untuk mengambil kembali uang Kuromoto yang dipalak Akasawa.

“Kalimatnya sudah benar seperti ini, ‘kan?”

Kucek kembali surat yang telah dipersiapkan untuk operasi.

Dewa Kematian hanya dapat membawakan informasi, jadi akulah yang bertanggung jawab atas berjalannya operasi. Surat ini adalah surat yang kutulis saat kegiatan belajar sore hari. Aku mencoba mengubah gaya tulisku karena ada kemungkinan akan ketahuan jika aku menggunakan gaya tulisku yang biasanya, dan itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.

“Sudah sempurna! Kamu bukan cuma suka baca, tapi tulisanmu juga bagus!”

Memang tidak ada maksud buruk di pujiannya, tetapi ini bukan gaya tulis yang patut dibanggakan. Aku hanya menuliskan seminimum dengan gaya tulis yang membosankan dengan beberapa hal implisit. Yah, mungkin menurut dia memang ini tulisan yang bagus. Awalnya aku menulis sesuai apa yang gadis ini katakan, tetapi isinya begitu menyeramkan. Semacam karya tulis anak SD. Karena itu, pada akhirnya akulah yang memikirkan isinya.

Ngomong-ngomong, hanya kalimat terakhir saja yang berasal dari ide Dewa Kematian.

Aku ragu menulisnya, tetapi karena dia mendesakku, “Ini rencanaku, jadi paling tidak masukkan itu!”. Apa boleh buat, jadi aku menulisnya.

Lalu, jadilah “surat ancaman” di tanganku ini.

“ ... Dan, sisanya tinggal aku masukkan surat ini ke kotak sepatunya.”

“Nah, begitu! Aku yakin saat Akasawa-kun melihatnya, dia pasti akan mengembalikan uang yang ia ambil dari Kuromoto-kun!”

Aku tak punya bukti akan berjalan lancar. Selain itu, misi ini bukankah terlalu membebaniku? Sejak awal memang aku yang bertugas memasukkan surat ini. Lalu, Dewa Kematian—yang tak siapa pun bisa lihat—akan selalu aman. Namun, aku yang punya fisik nyata, segala tindakan akan berisiko.

Mengesampingkan jika orang itu sendi ri yang melihat, tetapi jika ada orang lain yang melihatku memasukkan sesuatu ke kotak sepatunya, pasti informasi itu akan langsung sampai ke orang itu.

Dia berada di puncak kasta di sekolah ini. Dia dilindungi oleh keuntungan itu. Melawan akan berakhir rugi, dan dia akan melakukan apa saja demi keuntungannya. Itulah yang semuanya asumsikan. Karena itulah tanah ini tercipta untuknya agar dapat merundung.

“Tenang saja, aku akan mengawasi sekitar! Kalau ada yang ke sini nanti langsung aku kasih tau!”

Dewa Kematian berhormat dan mendesakku segera melakukan.

Aku tidak mempercayainya, termasuk isi dari surat ini.

Yah, meski gagal sekali pun, sebentar lagi aku juga akan meninggal. Apa pun hasilnya tidak peduli. Yang terjadi biarlah terjadi. Pokoknya, yang perlu kuperhatikan sekarang adalah menghindari Akasawa melihatku memasukkan sesuatu ke dalam kotak sepatunya, atau tanpa basa basi aku akan dihajar. Sungguh, aku takingin merasakan sakit.

Mengesampingkan kecemasanku, aku berhasil memasukkan surat ke kotak sepatu tanpa masalah, dan tak siapa pun melihatnya.

Di kotak sepatu masih ada sepatu Akasawa, jadi dia masih di sekolah. Jadi, Akasawa akan menerima surat ancaman yang kutulis saat meninggalkan sekolah nanti. Jika surat ancaman ini memberikan hasil, maka rencana sukses. Uang yang ia ambil dari Kuromoto pasti akan dikembalikan.

“Nah, oke! Sisanya serahkan saja pada Neng Dewa Kematian saja!!”

Dewa Kematianlah yang akan mengawasi sisanya. Baginya yang tak siapa pun dapat melihat, ia dapat mengawasi setiap pergerakan dari dekat.

 

*****

 

Kutinggalkan Dewa Kematian di pintu masuk, dan menuju bimbel seperti biasanya.

Awalnya kupikir, tidak seperti saat belajar di sekolah, mungkin aku bisa fokus karena tidak adanya Dewa Kematian. Namun, aku terus terpikir apakah rencananya berjalan lancar atau tidak, membuat apa yang dikatakan pengajar hampir tidak masuk ke dalam otakku. Meski tidak, karena sebentar lagi meninggal belajar pun tidak ada gunanya, pikiran semacam itu muncul dalam benakku. Kenapa aku menyeriusi sekolah dan bimbel dalam keadaan seperti ini?

Aku penasaran, apa yang orang biasa lakukan saat tahu sebentar lagi akan meninggal?

Mungkin mengabaikan sekolah atau pekerjaan dan melakukan apa yang disuka. Atau mungkin saja karena terlalu pasrah, akhirnya terjerumus ke dalam tindak kriminal.

Namun, aku bahkan takpunya kekuatan untuk melakukan itu.

Karena akan menguras banyak energi saat mencoba hal baru. Terlebih, karena akan meninggal, pasti ada pikiran itu takkan lagi tercapai, hasilnya tidak ada akhir yang terlihat.

Tidak ada gunanya membuat kenangan, lagi pula kau akan meninggal.

“Kerja bagus!”

Dewa Kematian menunggu di pintu masuk bimbel, pasti dia menungguku pulang.

Karena ada murid lain, kalau aku keceplosan menjawab akan jadi merepotkan lagi, jadi aku hanya memberikan lirikkan sekilas lalu lanjut berjalan.

“ ... Sepertinya berjalan lancar, ya.”

Dewa Kematian mengacungi jempol saat aku berbisik padanya.

“Iya, sempurna! Saking lancarnya sampai kocak!”

Mendengar itu, aku pun terkikik pada Dewa Kematian.

Inilah garis besar rencana kami.

Pertama, setelah meninggalkan atap, Dewa Kematian mengikuti Akasawa dan mendapatkan beberapa informasi. Informasi itu adalah rahasia jika sampai terbongkar akan berbahaya.

Bukan hal besar.

Dia mendua.

Dewa Kematian mengintip percakapan pesan Akasawa di ponselnya. Bagi Dewa Kematian yang tak terlihat, itu hal mudah. Dia bisa dengan santai mengintip tepat di samping Akasawa.

Akasawa bertukar pesan dengan dua perempuan. Dia mengirimkan pesan manis yang hampir sama, Kamu nomor satu.,Aku mau cepat ketemu denganmu.,Kamu satu-satunya untukku..

Dia mengencani dua perempuan sekaligus, sambil menggombali keduanya. Tidak, mungkin sebenarnya masih ada lagi, karena kebetulan Dewa Kematian hanya melihat dua itu saja. Pokoknya, tak salah lagi dia mengencani banyak perempuan bersamaan.

Jika fakta ini terungkap, bagi dirinya yang mengandalkan kekuatan sekali pun akan menjadi kelemahan besar. Itulah yang kutulis dalam surat ancaman. Aku banyak menulis hal yang tak mungkin diketahui jika tidak melihat langsung ke ponselnya. Untuk berjaga-jaga, aku juga menulis seperti ini, Aku dapat dengan mudah meretas isi ponselmu.atauAku bisa menguak lebih banyak hal memalukanmu..

Setelah itu, kutulislah topik utama.Hari ini, aku juga melihatmu memalak Kuromoto di atap. Aku (Watashi) membenci merundung orang yang lemah. Jadi, kembalikan uang Kuromoto.. Lalu, kutambahkan ancaman lagi, Atau, akan aku sebarkan semua rahasiamu..

Lalu, surat ancaman itu kumasukkan ke kotak sepatu Akasawa.

Itu keseluruhan rencana.

“Akasawa-kun saat lihat surat itu benar-benar terkejut, lo? Pasti kalau sampai ketahuan bakal bahaya banget itu. Soalnya dia cepat-cepat memasukkan suratnya ke saku.”

Jika dia orang yang tak peduli kelakuannya terbongkar, usaha kami akan sia-sia. Jadi, untuk berjaga-jaga aku tambahkan dapat membongkar hal yang lebih memalukan lagi. Dari sudut pandang Akasawa, pasti ia mengira ada seseorang yang meretas ponselnya. Tak mungkin dia bisa tahu jika ada seorang Dewa Kematian kasat mata yang mengintip ponselnya dari belakang.

Hasilnya seperti yang diharapkan, Akasawa jatuh dalam ancaman dan mengembalikan uang Kuromoto.

“Sumpah, sampah banget itu cowok! Dia juga memalak buat main sama cewek. Ohh, ‘gimana kalau sekalian kita kasih surat ancaman ke semua perempuan itu?!”

Tampaknya Dewa Kematian jadi sangat marah karena Akasawa dianggap sebagai musuh perempuan.

“Tidak, sudah cukup. Pokoknya kita sudah menyelamatkan Kuromoto, lagi pula uang Kuromoto juga sudah dikembalikan.”

“Iya, yah, kamu benar! Meskipun Kuromoto-kun bingung kenapa tiba-tiba uangnya dikembalikan, kupikir dia senang!”

Dewa Kematian yang mengatakan itulah yang paling senang. Fakta rencana yang ia buat berhasil. Fakta berhasil menyelamatkan Kuromoto. Fakta atas kedua itu.

“Hei hei, selain itu kombinasi kita mantap, ‘kan?!”

Dewa Kematian menghampiriku dengan momentum seolah ingin menyatukan pundak kami.

“ ... Hanya kebetulan berjalan lancar saja. Selain itu, meski bukan kita pasti tetap berhasil.”

“Enggak bukan itu, kok! Kalau bukan kita enggak akan berhasil! Kalau enggak ada aku kita enggak bisa tahu isi ponselnya, kalau enggak ada kamu kita enggak bisa menulis surat dan memasukkannya ke kotak sepatu. Pokoknya nice combination!!”

“Meski bukan Aku, ada orang lain yang bisa menulisnya. Selain itu, mungkin kali ini memang kita menyelamatkan Kuromoto, tetapi tidak ada jaminan ke depannya Akasawa tidak akan melakukannya lagi. Bahkan ada kemungkinan perlakukan terhadap Kuromoto akan bertambah parah jika dicurigai ialah pengirim surat itu. Tapi, aku takkan melakukan lebih dari ini untuknya. Lagi pula, enam hari lagi aku akan meninggal, ‘kan?”

“ ...!! Y-yah memang benar, sih ....”

Ekspresi Dewa Kematian menjadi sedih. Aku tak berniat mendesaknya, tetapi ekspresinya itu cukup menusuk di hatiku.

“ ... Kau, sebenarnya apa alasanmu sampai repot-repot melakukan ini? Ini tidak ada hubungannya dengan Dewa Kematian, ‘kan? Kau bilang demiku, tapi kau menolong karena ingin menolongnya, ‘kan? Apa ada alasan kau tidak bisa membiarkan Kuromoto begitu saja?”

Mengapa Dewa Kematian berusaha menyelamatkan Kuromoto? Dia pasti belum pernah bertemu sebelumnya. Aku todak mengerti alasan dibalik usaha kerasnya ini.

“Enggak ada hubungannya karena itu Kuromoto-kun atau bukan, dan itu memang bukan pekerjaan Dewa Kematian. Aku ini, suka berguna bagi orang lain. Aku suka melihat wajah senang orang lain. Kalau mereka sedih, aku ingin menolongnya, aku ingin membuatnya tersenyum.”

Gadis ini, dia mengucapkan hal yang sama dengan Kakak.

Dia lebih senang dari apa pun saat melihat orang lain senang. Jika ada yang sedih, dia akan mengulurkan tangan padanya. Dia senang membuat orang lain tersenyum. Kakak mengatakan itu tanpa malu sedikit pun.

Aku yang sebagai adiknya, berpikir jika dia layaknya seorang Santo. Aku menganggapnya keren dan aku mengaguminya. Dia adalah sosok ‘besar’ dalam hidupku. Aku selalu berpikir ingin menjadi seperti Kakak. Aku pun berusaha agar menjadi seperti dirinya.

Namun.

Karena Kakak meninggal, semua itu sirna.

“Kamu juga kalau berhasil menyelamatkan seseorang pasti senang, ‘kan? Karena itu juga kamu mau bekerja sama.”

Kali ini, Dewa Kematian balik bertanya.

“ ... Iya, kau benar. Memang benar terasa segar. Tapi, pada akhirnya menyelamatkan orang lain hanya kepuasan diri saja. Aku menyelamatkan bukan demi orang itu. Aku melakukannya karena terasa enak. Aku pun sama. Aku tidak peduli dengan Kuromoto. Aku membantunya karena terasa enak saja.”

Mendengar ucapanku, bibir Dewa Kematian tertutup rapat dengan sikap kesal.

“Kamu itu~~~”

“Hm?”

“Sifatmu itu lumayan bikin kesal juga.”

“ ... Bodo amat.”

Setidaknya aku paham akan sifatku sendiri. Aku sudah menyadarinya sejak SMP, tetapi sejak meninggalnya Kakak, pola pikir berkebalikan ini telah muncul dengan cepat.

“Karena sifat burukku itulah, aku tidak mempunyai teman. Aku sudah paham.”

“Aku enggak bilang buruk, lo. Aku cuma bilang sifatmu itu bikin kesal, karena kamu enggak mau jujur padahal kamu memikirkan orang-orang di sekitarmu. Kami ini tsundere, ya?”

“Ha ...?”

“Kamu itu orang baik yang memikirkan orang-orang di sekitarmu. Lagian, pas di atap tadi juga tau kalau Kuromoto yang dirundung, ‘kan? Orang yang enggak peduli sama siapa yang dirundung dan siapa yang merundung enggak akan tau soal itu. Itu bukti kamu selalu memperhatikan sekitar. Kamu membantunya bukan untuk kepuasan diri. Kamu bukan orang jahat. Sebaliknya, kamu orang baik.”

“Tidak, aku tidak ....”

Tiba-tiba merasa malu, aku pun mengalihkan pandangan dari tatapan lurus Dewa Kematian. Aku taktahu sudah berapa lama tidak dipuji selain nilaiku.

“ ... Lagi pula, kenapa kau malah tersenyum begitu.

Dewa Kematian menatapku sambil tersenyum. Apa mungkin dia tengah menjahiliku?

“Itu karena kamu tersenyum.”

“Eh?”

“Saat lagi memikirkan isi surat dan saat berhasil memasukkan surat ke kotak sepatu tanpa masalah kamu tersenyum, ‘kan? Tadi juga saat aku bilang rencananya berjalan lancar kamu tersenyum senang.”

“ ....”

Aku takdapat membalasnya.

Menyenangkan, seperti melakukan kejahilan dengan teman yang nakal. Aku memang tersenyum saat mendengar rencana kami berjalan lancar.

Aku berpikir jika semua itu menyenangkan.

“Ini pertama kalinya kamu tersenyum sejak kita bertemu. Kamu sudah lama tidak tersenyum, ‘kan?”

Tepat seperti yang dikatakan Dewa Kematian.

Sudah sejak lama aku tidak tersenyum dari lubuk hatiku. Jika tersenyum biasa sering aku lakukan, tetapi tersenyum penuh senang seperti ini benar sudah lama sekali. Sudah sejak lama aku tidak deg-degan seperti ini.

“Aku merasa berhasil melaksanakan pekerjaanku. Aku berhasil membuatmu tersenyum sebelum kamu meninggal. Penyesalanmu, sudah berkurang satu, ‘kan?”

Meskipun masih abu-abu apakah aku berhasil mengurangi satu perasaan mengganjal, tetapi fakta aku tersenyum sebelum meninggal memang benar. Bekerja sama dengan Dewa Kematian, membuatku merasa hari-hari suramku menjadi sedikit berwarna.

Namun, ada satu hal yang tidak kuterima.

“ ... Yang itu, asli enggak banget.”

“Apa maksudmu?”

“Soal nama itu. Kalimat terakhir yang kaupaksa aku menulisnya.”

“Eh ...? Itu keren, kok. Kelihatan kayak pahlawan, ‘kan?”

Pahlawan, ya ....

Baris terakhir di surat ancaman.

Aku berniat membuatnya tanpa nama, tetapi Dewa Kematian mendesakku menulis nama pengirim.

 

———Dewa Kematian keadilan tiba.

 

Ya, ditulis dengan sangat besar.

“Iya, asli itu aneh banget.”

“Eh?! Kok ‘gitu, sih?! Apanya yang aneh?! Itu keren!!”

“Sudah kayak anak SD saja.”

“Tidak tidak, apanya yang kayak anak SD?!”

Aku kembali tersenyum saat melihat Dewa Kematian mengembungkan pipinya sambil menolak ucapanku.

“Ngomong-ngomong.”

“Hm? Apa?”

“Namamu siapa?”

“Nama?”

Dewa Kematian memasang ekspresi bingung saat mendengar pertanyaanku.

“Iya. Dewa kematian setidaknya juga punya nama, ‘kan?”

“Namaku ...? Namaku itu ....”

Kenapa, ya? Ia terlihat kesulitan.

“Ah! Tunggu tunggu! Aku, sudah bilang, ‘kan?! Kamu enggak boleh menanyai tentangku! Kamu sudah melupakannya?! Itu aturan Dewa Kematian! Itu salah satu dari Sepuluh Perintah Dewa Kematian!!”

“ ... Sebentar, kok jadi bertambah? Tadi siang kaubilang tujuh dosa besar, ‘kan?”

“Eh?! La-laki-laki itu enggak usah bawel ke hal-hal kecil!! Pokoknya, sudah jadi aturan Dewa Kematian aku enggak boleh mengatakannya! Mengerti?!”

Yah, meskipun aku yakin dia memanfaatkan kata aturan Dewa Kematian itu, tetapi jika ia takingin mengatakannya aku tidak keberatan. Meskipun tahu hidupku tinggal enam hari lagi. Jadi, mengetahui tidak namanya pun bukan masalah.

Begitulah pikirku.

Namun, ada sisi lain hatiku yang penasaran dengan namanya.

 

*****

 

Karena bimbel telah usai, kini telah tiba waktu pulang di bawah langit malam.

Tak seperti kemarin, aku langsung pulang ke rumah.

Mungkin karena kami berhasil membantu seseorang dengan rencana yang ia buat sendiri, Dewa Kematian yang dalam perjalanan pulang pun sangat bersemangat. Dia mengikuti sambil terus bersenandung. Meskipun, tanpa nadanya itu sejujurnya sedikit menjengkelkan.

Namun, suasana hatiku pun juga sedikit bagus. Mungkin aku akan bersenandung juga jika sendirian.

“Aku pulang.”

“Selamat datang kembali.”

Ibu menyambutku seperti biasa. Ia sepenuhnya mengabaikan keberadaan Dewa Kematian sama seperti pagi tadi.

“Aku pulang, Hana.”

Setibanya di ruang tamu, Dewa Kematian bergegas menghampiri Hana yang tengah berbaring di sofa lalu melambai padanya. Tentu saja, karena tidak bisa melihatnya, tak ada balasan dari Hana, sama seperti Ibu.

Biasanya, aku juga akan segera menghampirinya, tetapi kali ini takbisa.

Karena.

Ayah duduk di samping Hana hari ini.

Tampaknya hari ini pekerjaannya cepat selesai. Ia duduk di sofa sambil memegang sekaleng bir, sambil menonton TV.

Alih-alih berbicara, kami pun tak saling bertukar tatapan. Kami tak mengatakan “Aku pulang” dan “Selamat datang kembali”.

Aku tak peduli.

Karena ini keseharian keluargaku.

Aku mengisi gelas dengan sebotol air dingin dari kulkas, lalu meneguknya sekaligus. Setelah melakukan satu hal itu, aku segera meninggalkan ruang keluarga.

“Apa kalian bertengkar?”

Melihat itu, Dewa Kematian bertanya padaku.

“ ... Apa maksudmu?”

“Apa kamu lagi bertengkar sama Ayahmu?”

“Tidak juga,” balasku, dengan dingin.

“ ... Yakin?”

“Dia memang begitu. Dia sama sekali tidak tertarik padaku, benar-benar orang yang acuh.”

Pertengkaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang akrab. Lalu, dapat berbaikan kembali. Pasti dapat diselesaikan jika hanya hal sepele seperti bertengkar. Siapa pun yang meminta maaf, pasti akan kembali normal.

Namun, kasusku tidak semudah itu.

Karena dia secara sepihak kehilangan minatnya padaku.

Kepergian Kakak, dan Ayah yang mengharapkanku menjadi pengganti Kakak. Pada malam aku gagal ujian masuk, dia menghujaniku dengan kalimat kekecewaan.

Sejak saat itu, aku dan Ayah tak sekali pun berbicara.

Saat Kakak masih hidup, kami berbicara secara normal. Sejak awal, dia bukan orang yang sering bicara, tetapi kami membicarakan tentang sekolah atau temanku. Sesekali aku melaporkan sesuatu, dan sesekali dialah yang bertanya. Meskipun ia begitu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit, saat libur awal tahun atau libur panjang akhir semester, dia sering mengajak keluarga pergi liburan.

Bagiku dan Kakak, dia sosok Ayah yang hebat. Jika ditanya suka atau tidak, maka aku akan jawab suka. Namun, aku tidak tahu mengapa hubungan kami berakhir seperti ini.

Setelah kepergian Kakak, Ayah pun berubah. Bahkan, aku pernah melihatnya minum sake. Percakapan kami semakin sedikit, dan kejadian malam itu menjadi puncaknya.

Benar. Jika membicaran akar masalah, semuanya menjadi aneh sejak hari itu.

Hari saat Kakak terlibat kecelakaan bus.

Bukan hanya hidup Kakak. Kecelakaan itu juga telah banyak merebut hal berharga dariku.

Yaitu, hubunganku dengan Ayah.

Serta, alasan hidupku.

“Apa? Kamu kenapa?”

Saat kutatap wajah Dewa Kematian, dia memberikan tatapan curiga.

“ ... Tidak, bukan apa-apa.”

“Serius? Kalau ada apa-apa enggak usah ragu bilang saja padaku,” ucap Dewa Kematian, sambil menyunggingkan senyum lembut.

———Hei, kenapa kau, tidak muncul di hadapan Kakak?

Jika dia tahu akan segera meninggal, mungkin saja dia takkan menaiki bus itu.

Ingin kuutarakan keluhan itu, tetapi kutelan kembali.

Gadis ini sudah mengatakannya. Takdir meninggalnya manusia telah ditetapkan, Dewa Kematian tidak bisa berbuat apa-apa. Jikalau gadis ini pun muncul di hadapan Kakak, hasil tetap akan sama.

Namun, jika dapat mengubah takdir kematian———

Malam hari kedua ini berlalu begitu sepi.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama