Penerjemah: Kuratari Translation
❈
Epilog ❈
Begitu terbangun di pagi hari, nuansa dingin kurasakan.
Malam segera menjadi gelap. Para pohon telah kehilangan daun, kota pun dipenuhi
pohon-pohon tanpa daun.
Musim telah menjadi musim dingin.
Dengan liburan musim dingin yang mendekat, banyak murid
yang bersemangat di sekolah. Mungkin karena acara besar seperti Natal, malam
tahun baru, dan tahun baru berlangsung berurutan.
Aku menghabiskan hari-hari seperti biasa. Pergi ke
sekolah dan juga bimbingan belajar. Makan, membaca buku, dan tertawa jika ada
hal lucu.
Sama seperti musim gugur di mana aku melewati pengalaman
aneh.
Bolos sekolah selama perjalanan itu tidak menimbulkan
perubahan besar padaku, kecuali rusaknya rekorku yang tak pernah terlambat dan
tak pernah membolos. Seolah tidak ada apa-apa, kehidupanku yang sebelumnya pun
kembali. Meskipun, semua teman sekelasku mengira aku tidak masuk karena
penyakit serius. Karena aku tertangkap basah pernah membuat keributan sendiri
di kelas.
Begitu aku kembali, makam untuk Hana telah dibuat.
Dibangun di pemakaman hewan, Hana bersemayam di sana.
Seharusnya kini ‘telah’ jadi rencanaku ke sana, tetapi karena aku masih hidup,
aku dapat mengunjungi makam Hana.
Fakta kepergian kakak dan Hana. Hal menyedihkan yang
takkan bisa kulupakan. Aku yakin aku akan terus dibayang-bayangi.
Namun, tidak lagi seperti sebelumnya.
Meskipun sesekali aku akan melihat ke belakang, tetapi
telah kutetapkan untuk malangkah maju.
Aku akan hidup untuk bagian kakak dan Hana.
Aku tidak akan menjadi kakak. Aku akan memberikan
dorongan pada ayah dan ibu sebagai diriku sendiri. Aku akan menjadi orang yang
berguna bagi dunia sebagai diriku sendiri. Itulah janji yang kutetapkan pada
diriku di depan makam Hana.
——Hana, kau tidak kesepian di sana, ‘kan?
——Karena juga ada kakak di sana.
Aku sangat sedih, tetapi tampaknya untuk saat ini aku
tidak akan ke sana. Aku tidak mengerti mengapa, tetapi telah tiga bulan berlalu
dan aku masih hidup.
Apa satu minggu itu hanya mimpi? Lagi pula, mungkin saja
gadis Dewa Kematian itu hanyalah keberadaan yang diciptakan
oleh pikiranku saja. Apa semua kejadian yang kuhabiskan dengan Dewa Kematian
hanya khayalan? Terkadang, aku berpikir begitu.
Namun, itu bukanlah mimpi.
Aku dan dia pernah bersama.
Itulah yang ingin kuyakini.
Di ponselku, ada sejumlah foto yang kuambil selama
liburan. Ada banyak foto dengan ruang aneh di sebelahku. Dia tidak terfoto,
tetapi dia benar ada di sampingku.
Meski tidak terlihat, tetapi aku mengingatnya.
Karena itu, orang itu masih hidup.
*****
Dihadapkan kebosanan, aku pun mulai berkeliling kota
mencarinya.
Aku bahkan mengunjungi tempat yang kukunjungi bersamanya,
berpikir mungkin saja ia akan kembali. Tempat yang dikunjungi selama kencan.
Toko manisan——Aku memakan parfait kelewat besar
menggantikannya. Aku masih ingat betapa merepotkannya karena perutku begitu
kenyang. Toko pakaian——aku ingat mencoba berbagai pakaian yang disarankan
karyawan toko dan Dewa Kematian. Aku pun terkejut ternyata itu adalah toko yang
sering dikunjungi kakak. Bioskop——Saat itu, dia benar-benar heboh. Padahal
awalnya begitu enggan, tetapi setelah film usai, dia bahkan tampak lebih
bersemangat lebih dariku yang memutuskan film yang ditonton. Dia tenggelam
dalam menceritakan kesan film tersebut.
Aku tidak bisa melupakan senyum saat ia mengunjungi
berbagai tempat.
Senyum di wajahnya yang berkeliling sekolah dengan
hebohnya. Senyum di wajahnya yang mengucapkan “selamat pagi” lebih cepat dari
siapa pun begitu aku bangun. Senyum di wajahnya yang terus berada di sisiku
saat aku ingin mati setelah kehilangan Hana.
Apa kau mau bilang itu hanya imajinasiku?
Itu tidak mungkin.
Itu bukan mimpi maupun ilusi.
Semua itu adalah kenangan tak tergantikan.
*****
Sekarang upacara penutupan. Setelah upacara di aula,
melakukan bimbingan kelas, lalu bubar. Akhirnya tibalah liburan musim dingin
mulai esok.
Sepulang sekolah, kucoba pergi ke atap sekolah setelah
sekian lama. Sebelumnya, aku biasa menghabiskan istirahat makan siang sendirian
di sini, tetapi kini tak pernah kudatangi lagi.
Anehnya memunculkan nostalgia. Di sini aku dan Dewa
Kematian bertengkar sedikit, lalu kebetulan menjadi saksi mata pemalakan.
Akasawa dari kelas sebelah mengancam Kuromoto dan memalak uangnya. Aku dan Dewa
Kematian berhasil mengembalikan uang itu.
Ngomong-ngomong, sejak saat itu Akasawa sama sekali tidak
mengganggu Kuromoto lagi.
Itu pun meyakinkanku keberadaan Dewa Kematian. Surat yang
kami berdua tulis tampaknya memilik pengaruh besar melebihi ekspektasi kami.
Aku dengar dari teman sekelasku jika Akasawa membeberkan
adanya Dewa Kematian Kebajikan atau apalah, dan mengatakan dia diincar Dewa
Kematian atau semacamnya. Mendengar itu, tanpa sadar aku pun tertawa.
Oh, iya. Benar, sejak itu aku berhasil mendapatkan teman.
Saat festival, aku bertanggung jawab atas alat peraga,
dan hubunganku dengan tiga anggota lain dari alat peraga pun membaik.
Akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu makan siang bersama mereka, dan tak lagi
pergi ke atap.
Aku ingin memberitahunya.
Jika aku dapat menikmati hari-hariku.
Karena aku mendapatkan teman, waktuku di sekolah menjadi
lebih menyenangkan. Ketegangan berkepanjangan dengan ayah pun hilang dan kini
aku bisa berbicara dengannya seperti dulu. Kami berjanji akan pergi ke tempat
yang jauh saat liburan musim dingin.
Sekarang aku memiliki harapan untuk hidup.
Namun, sayangnya. Kenapa tercipta luban di hatiku?
Tidak. Aku sebenarnya mengerti apa itu.
Karena itulah begitu menyesakkan.
“ ... Kenapa kau tiba-tiba menghilang ....”
Kutaruh tanganku di pagar atap.
Seolah meluapkan perasaan, kutuangkan lebih banyak tenaga
pada genggamanku.
“Kenapa kau menghilang tanpa mengatakan apa pun ...?
Kenapa kau berbohong soal kematianku ...? Kenapa kau muncul di hadapanku saat
itu ...?”
Padahal aku sudah mulai berpikir ingin terus hidup.
Hatiku kembali redup. Padahal hari-hariku seharusnya menyenangkan, tetapi
terkadang aku merasa sedih.
Sebenarnya dia itu apa. Jika orang yang bisa melihatnya
akan meninggal itu kebohongan, lalu mengapa aku dapat melihatnya? Kenapa dia
berbohong dengan mengatakan aku akan meninggal? Kenapa dia mencoba mencari
penyesalanku? Apa yang sebenarnya ingin ia lakukan?
Meski kupikirkan pun tetap tidak mengerti.
Namun, dari begitu banyak pertanyaan, ada satu hal besar
yang pasti.
Yaitu, fakta ia tidak ada di sisiku.
Padahal hanya satu minggu. Namun, satu minggu yang
kuhabiskan bersamanya takkan terlupakan. Tidak adanya ia di sampingku begitu
menyakitkan. Rasa seolah diserang akibat kehilangan sebagian dari diriku. Rasa
pahit yang kurasakan sama seperti saat kehilangan kakak dan Hana.
Aku ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin berterima
kasih secara langsung.
Pada gadis yang berada di sisiku saat berada di jurang.
Pada gadis yang membuatku berpikir ingin terus hidup.
Aku ingin menemuinya.
Aku ingin menemuinya.
Aku ingin bertemu dengannya.
Ke mana perginya? Apa terdapat dunia Dewa
Kematian dan ia kembali ke sana? Jika benar, bagaimana caraku untuk ke
sana?
Aku tidak tahu, tetapi yang pasti ia bukanlah makhluk
dari bumi ini.
Mungkin, jika aku meninggal dapat bertemu dengannya lagi.
Perasaan semacam itu muncul dalam diriku.
Dapat kulihat tanah dari balik pagar atap. Akan sulit
dilewati, tetapi bukan mustahil.
Kuletakkan kakinya di sana, memastikan apakah aku dapat
naik.
Kukaitkan tanganku—yang mulai mendingin—pada pagar. Lalu,
kukerahkan semua kekuatanku pada kaki.
Ya, jika mau, aku bisa melewati pagar ini.
Jika seperti ini aku dapat melompat ke sana.
“——Duh, kamu ini ngapain, sih?”
“?!?!”
Mendengar suara tak asing dari belakangku, karena
terkejut aku pun tergelincir. Karena aku baru mulai memanjat, jadi tidak ada
luka serius.
“Lihat, ‘kan? Bahaya tau. Kan sudah kubilang.”
Awalnya kukira ilusinasi suara.
Namun, aku mendengar dengan jelas. Suara『Gadis』itu.
Dengan takut, aku pun berbalik.
Lalu.
“Aa .... Aaaa ....”
Di sana, gadis itu ada di sana.
Gadis ini sama sekali tidak berubah dari hari itu. Ia
berdiri di hadapanku dengan rambut hitamnya, hanya mengenakan pakaian berkabung
bahkan tanpa mantel meski di musim dingin.
Kurasakan sekitaran dadaku mengencang. Dapat aku
rasakan—tubuhku yang mendingin akibat angin musim dingin—menghangat.
“ ... Kita ... bertemu lagi ....”
Mataku dan matanya saling menatap dengan pasti.
Mata bulat yang takkan pernah kulupakan.
“ ... Eh?”
Ekspresi takutnya berganti menjadi keterkejutan.
“ ... Syukurlah .... Kita, bertemu lagi ....”
Wajah, penampilan, suara, semuanya sama. Tetap seperti
waktu itu.
Tanpa sadar aku mengulurkan tangan, tetapi tidak dapat
menyentuhnya. Tidak ada kehangatan. Lenganku hanya membelah angin.
Meski begitu aku tidak peduli. Gadis itu ada di
hadapanku. Hanya itu saja sudah cukup membuatku senang. Aku mendekatinya lalu
menunduk.
“Maafkan aku, soal yang waktu itu ....”
“ ... Kenapa kamu minta maaf?” Tanya gadis itu, ekspresi
terkejut masih tersisa di wajahnya.
“Kau tiba-tiba menghilang, karena aku membentakmu, ‘kan
...? Maaf, saat itu aku marah. Tapi, kau juga jahat karena tiba-tiba menghilang
....”
Memang salahku juga, tetapi bukan berarti dia boleh
tiba-tiba menghilang seperti itu. Apa dia tahu seberapa cemasnya aku padanya?
Apa dia tahu sepahit apa yang aku rasakan?
“Terima kasih.”
Menerima jawaban itu, kali ini aku yang tertegun.
“ ... Kau sendiri, itu terima kasih untuk apa?”
“Terima kasih karena sudah terus mencariku. Terima kasih
karena tetap mengingatku,” ucapnya, sambil tersenyum padaku.
“Sejak saat itu aku selalu melihatmu. Aku melihatmu
berbaikan dengan ayahmu. Saat kamu mendapatkan teman dekat di kelas. Saat kamu
berkeliling ke tempat yang kamu kunjungi denganku. Aku melihat semuanya.”
“Hah?! Ka-kau melihatnya?!”
Tampaknya yang diucapkan gadis itu benar. Karena semua
itu adalah sesuatu yang takkan diketahui jika tidak melihat dari dekat. Di
antaranya, itu cukup memalukan gadis yang kucari sambil berkeliling kota
ternyata melihatku.
“Kenapa kau mengumpat?! Acuh tak acuh sekali ....”
Saat aku mengatakan itu, ia menggelengkan kepala.
“Enggak, kok. Aku enggak sembunyi. Sama seperti satu
minggu itu, aku selalu ada di sampingmu. Kamu hanya menjadi tidak bisa
melihatku. Sama seperti orang di sekitar.”
“ ... Tunggu. Kalau begitu, apa artinya kamu bisa bebas
menghilangkan tubuhmu?”
Malam di penginapan saat itu, dia terlihat tiba-tiba
menghilang dari hadapanku memang bukan sekadar imajinasiku saja.
“Kalau begitu, kenapa kau berbohong mengatakan hanya
orang yang akan meninggal yang bisa melihatmu?”
“Aku enggak bohong, kok. Karena aku hantu, aku hanya bisa
dilihat oleh orang yang sebentar lagi meninggal.”
Eh?
‘Hantu’?
“Orang yang bisa melihat hantu seperti kami akan
meninggal dalam seminggu. Seenggaknya, soal ini aku enggak bohong.”
Aku pun dibuat bingung oleh perkataannya. Ada banyak hal
yang ingin aku tanyakan.
“Tu-tunggu sebentar! Itu aneh! Sekarang ini aku masih
tetap hidup! Apa maksudnya ini?! Lagi pula, ‘hantu’ yang kau maksud itu apa
...?”
“Sebenarnya, aku bukan Dewa Kematian.”
Sambil melihat langit musim dingin tanpa awan, gadis itu
mulai bercerita dengan sedih.
“Aku hantu yang meninggal tanpa bisa melakukan apa pun.
Gadis yang meninggal dengan penyesalan di dunia ini. Aku sudah bilang ‘kan
orang yang punya penyesalan akan jadi hantu? Itulah aku.”
Dia bukan Dewa Kematian. Hanya hantu.
Kalimatnya dengan begitu mudah memasuki benakku. Tampaknya ia berpikir telah
membohongiku, karena kecanggungan terlukis di wajahnya.
Padahal tidak ada yang perlu dipikirkan.
Siapa dia sebenarnya aku tidak peduli. Itu takkan merubah
bahwa ia adalah sosok yang berharga bagiku.
“Aku yang meninggal dengan penyesalan, berakhir
gentayangan di dunia ini. Bahkan aku beberapa kali berpas-pasan denganmu. Malam
sebelum pertama kali kita berbicara, aku berpas-pasan denganmu, tapi kamu enggak
menyadariku. Lalu, malam itu pertama kalinya kamu melihatku. Karena itu aku
yakin. Kalau satu minggu lagi kamu akan meninggal.”
Sesaat, ia menunjukkan ekspresi sedih, tetapi segera
kembali melukis ekspresi ceria seperti biasanya.
“Tapi, kamu berharap ingin hidup. Malam itu di
penginapan, kamu mengatakan penyesalanmu di dunia ini padaku. Karena itu kamu
tidak meninggal. Kalau tidak, kamu akan tetap meninggal di malam ketujuh itu.
... Dengan bunuh diri.”
“Aku ... pada diriku sendiri ...?”
Aku memang terkejut, tetapi juga merasa masuk akal.
Diriku saat itu sudah tidak peduli pada apa pun.
Kepergian kakak menjadi pelatuk dari hatiku yang mulai mati. Lalu, saat
kepergian Hana, hatiku sepenuh mati. Membenturkan amarahku pada sikap tak acuh
ayah, merasa terkhianati oleh ibuku yang berpikir memihakku, dan aku telah siap
membuang nyawaku sendiri.
Namun, tidak kulakukan.
Karena dia ada tepat di sisiku.
Dialah alasanku aku tetap ingin hidup.
Jadi begitu. Seharusnya, penyebab kematianku adalah bunuh
diri.
Sebagai kematian Hana sebagai pelatuk, aku sepenuhnya
kehilangan keinginan untuk hidup. Seharusnya, aku akan mengakhiri hidupku
sendiri.
Namun, takdir itu berubah. Jika aku tidak bertemu
dengannya, sudah dipastikan aku akan meninggal. Melewati hari bersamanya, aku
pun mulai berpikir ingin hidup. Takdir bunuh diriku berubah karena aku
menemukan harapan untuk hidup.
Mendengar perkataan gadis ini di penginapan malam itu
sebelum bunuh diri, aku pun sepenuhnya kehilangan keinginan mengakhiri hidup.
Karena itu, di malam ketujuh aku tidak meninggal.
... Tidak, tetapi itu aneh.
“ ... Bukankah takdir kematian tidak dapat diubah?”
Dia memberitahuku. Takdir kematian telah ditentukan sejak
awal. Kematian bukanlah sesuatu yang Dewa Kematian bisa ikut
campur. Begitulah yang dikatakannya.
“Benar. Takdir enggak bisa diubah. Meninggal karena
penyakit maupun kecelakaan biasa itu takdir. Namun, kasus kematianmu bukanlah
takdir. Melainkan keinginanmu sendiri. Lagian, itu pilihanmu sendiri, ‘kan?
Kalau kamu enggak bunuh diri, maka enggak akan terjadi. Itu bukan takdir. Kamu
memilih untuk hidup.”
Hidup atau tidaknya akulah yang menentukan——
“Karena kamu memilih hidup, kamu tidak meninggal malam
itu. Seharusnya kematian masih ada di depan. Karena itu kamu jadi enggak bisa
melihatku.”
——Namun, aku dapat memilih pilihan itu karena ada dia.
Dia adalah penyelamat hidupku.
Jika aku tetap bunuh diri, aku takkan bisa berbaikan
dengan ayah. Bahkan tidak memiliki kesempatan lagi untuk berbicara dengannya.
Aku dapat hidup seperti ini adalah berkat Dewa Kematian.
“ ... Apa, kamu datang untuk menyelamatkan hidupku? Demi
mencegahku bunuh diri.”
“Bukan. Ini bukan kalkulasi, tapi keajaiban. Keajaiban
yang terjadi akibat gabungan banyak hal. Kamu memilih hidupmu sendiri karena
kamu tersadar selagi kita bersama. Lagian juga, aku enggak punya kekuatan
mengetahui siapa yang akan meninggal dan bagaimana caranya. Kita dapat bertemu
juga bukan karena kekuatan anehku. Karena ada seseorang yang mempertemukan
kita.”
Seseorang yang mempertemukanku dengannya.
Wajah orang itu langsung terbesit dalam benakku.
“ ... Kakak, ya.”
“Iya, kamu benar. Kamu bisa tau ternyata.”
Samar-samar aku merasa begitu. Ada beberapa hal yang
membuatku berpikir seperti itu.
Di penginapan malam itu rasanya ia mengatakan pernah
bertemu kakak, dan bukan kebetulan dia membawaku ke toko pakaian yang sering
dikunjungi kakak, tetapi karena kakak memang pernah menceritakan itu padanya.
Jika dipikir-pikir, dia bisa tahu alasan meninggalnya kakak akibat kecelakaan
meskipun belum kuberitahu.
Mungkin, dia juga mendengar tentang Hana dari kakak. Aku
tidak memberitahu jika Hana adalah jantan. Karena namanya Hana, ada banyak
orang yang berpikir Hana betina, tetapi dia mengatakan padaku jika Hana adalah『kakak laki-lakiku』yang lain.
Dia pernah bertemu kakak entah di mana.
“Semasa hidupku, aku banyak merepotkan Masato. Lalu, aku
ingin menjadi seperti Masato, sama sepertimu. Aku ingin seperti Masato yang
bisa membuat orang lain tersenyum. Jadi, aku membulatkan tekad saat melihatmu
menangis. Aku akan membuatmu tersenyum menggantikan Masato.”
Ia tersenyum.
“Benar, memang sebuah keajaiban dapat menyelamatku. Aku
hanya ingin membuatmu tersenyum. Dan itu berakhir menyelamatkan
nyawamu. Lalu, aku dapat bertemu denganmu berkat Masato. Karena Masato begitu
baik padaku, aku juga ingin membuatmu tersenyum. Banyak hal terjadi dan itu
menyelamatkanmu.”
Lalu, bisa dikatakan secara tidak langsung kakak
menyelamatkan nyawaku.
Meski telah pergi, tetapi masih melindungiku.
Sungguh, aku benar-benar bukan tandingannya.
Sudah kuduga, dia memang pahlawanku.
“ ... Karena itu enggak boleh. Kamu enggak boleh
menyia-nyiakan keajaiban ini. Padahal kamu sudah ingin hidup, kenapa malah mau
mengakhiri hidup lagi?”
Oh, jadi soal itu. Aku mengerti semuanya.
Dia selalu mengawasiku. Lalu, mengapa aku takdapat
melihatnya? Karena orang yang akan meninggal saja yang bisa melihatnya. Malam
itu, dari lubuk hatiku aku berpikir ingin hidup.
Karena itu, aku takdapat melihat sosoknya.
Lalu, mengapa aku dapat melihat wujudnya?
Baru saja, aku membayangkan untuk bunuh diri agar bertemu
dengannya. Aku benar-benar berpikir ingin menghabisi nyawaku sendiri dengan
kedua tanganku.
Alasan aku dapat melihatnya adalah karena aku sempat
terbesit ingin bunuh diri, dan itu hanya sementara.
“ ... Dengan kata lain, sekarang aku bisa melihatmu
karena aku ingin mati. Tapi, saat aku berpikir ingin hidup maka aku tidak bisa
melihatmu. ... Seperti itu?”
Ia mengangguk.
“Apa-apaan itu ....”
Aku menghela napas kesal.
“Aku berpikir ingin hidup karena ada kamu di sisiku!
Meski begitu, saat aku ingin hidup aku tidak bisa bertemu denganmu! Aku tidak
ingin itu! Apa yang harus kulakukan!”
Alasanku ingin hidup karena ada dirinya.
Karena ucapan yang ia berikan padaku. Karena hari-hari
menyenangkan dengannya. Karena dia menyokongku di saat aku terpuruk.
Namun, saat aku berpikir ingin hidup aku takkan bisa
bertemu dengannya.
Itu terlalu kejam.
Aku tidak butuh keajaiban setengah-setengah itu. Kenapa
keajaiban itu tidak membiarkanku terus bersamanya?
“Aku juga, enggak mau ...,” air mata terbentuk di
matanya.
“Pelik rasanya enggak bisa berbicara denganmu .... Aku
ingin pergi ke berbagai tempat denganmu .... Aku ingin melakukan hal bodoh dan
tertawa bersamamu ....”
“Kalau begitu!”
“ ‘Kalau begitu’ apa? Kamu juga ingin jadi hantu?”
“Aku tidak peduli. Aku tidak ingin membiarkanmu sendiri,”
ucapku, tanpa ragu.
Sendirian mengarungi dunia ini. Aku juga merasa itu hal
yang sulit. Seseorang takkan bisa apa-apa jika sendirian. Aku juga sedikit
mengerti perasaanku. Aku mengarungi kota sendirian, tanpa adanya dia di sisiku.
“Aku ingin bersamamu. Demi itu mati pun tidak masalah.
Aku tidak keberatan menjadi hantu. Jika sekarang, aku pasti akan menjadi hantu.
Karena meninggalkanmu sendiri akan menjadi penyesalan.”
“ ... Jangan katakan itu. Aku akan membencimu kalau kamu
bilang begitu.”
“Kenapa ...?”
“Sejujurnya, selama ini aku cemas. Semakin banyak waktu
yang kuhabiskan denganmu membuatku berpikir bagusnya kalau ini berlangsung
selamanya. Aku berpikir kamu menjadi hantu sama sepertiku. Jika begitu kita
bisa terus bersama. Aku jadi berpikir begitu.”
Dia menggelengkan kepalanya dengan wajah masam, seolah
menekankan pada diri sendiri.
“Tapi, enggak boleh begitu. Aku enggak bisa melibatkanmu
ke dalam keegoisanku.”
Sambil berpikir seperti itu, ia menyemangatiku di
penginapan malam itu. Kalimat yang membuatku ingin terus hidup lagi.
Berkat itu aku ingin terus hidup.
Pada saat yang sama, itu menjadi perpisahanku dengannya.
Itulah alasan ia menangis di penginapan malam itu.
Karena rasa senang karena aku takkan meninggal, dan rasa
sedih karena tidak dapat lagi berbicara padaku.
“Padahal aku sudah berusaha, dan aku akan membencimu
kalau kamu memikirkan hal bodoh begitu. ... Selain itu, sebenarnya kamu enggak
bisa, ‘kan? Meninggalkan semuanya.”
Keberadaan dia dalam hatiku besar. Itu tidak diragukan
lagi.
Namun, ada banyak hal berharga bagiku yang sama besarnya.
Ayah dan ibu. Teman baru yang kudapatkan. Orang-orang
yang akan kutemui mulai sekarang.
Jika aku meninggal, maka aku akan kehilangan semua itu.
“Kalau kamu memikirkanku meskipun kecil, lakukan apa yang
aku mau. Aku mau kamu hidup. Meski kamu enggak bisa melihatku, aku akan terus
mengawasimu, jadi hiduplah sebaik mungkin. ... Aku mohon.” Ia tertawa, dengan
wajah yang seolah ingin menangis.
Sial, itu tidak adil. Masih banyak keluhan yang ingin
kukatakan, ada protes yang ingin kubenturkan, tetapi jika kau membuat wajah
seperti itu aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Mungkin, aku juga membuat ekspresi yang sama dengannya.
Aku ingin menertawakan wajah menyedihkannya, tetapi aku tidak dapat menahan air
mataku saat melihat sosoknya di depanku ini.
Tidak boleh. Dia pasti akan berpura-pura polos dan akan
mengolok-olokku. Namun, itu masih mending. Buruknya lagi, dia akan
mencemaskanku dan berakhir melukainya. Hanya itu yang sangat tidak kuinginkan.
Apa yang bisa kulakukan untuknya adalah terus hidup.
Sebaik mungkin menjalani hidup—yang diberikan
olehnya—untuk bagiannya juga.
Aku yakin tak lama lagi ia akan menghilang dari
hadapanku.
Karena aku sudah berpikir ingin hidup dari lubuk hatiku
yang terdalam.
Untuk diriku, dan juga untuk dirinya.
Kuseka air mataku dengan tanganku sendiri, lalu kembali
tersenyum padanya.
Namun, hanya itu yang bisa kulakukan. Bahkan, di detik
ini pun ia bisa menghilang kapan saja. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan,
tetapi hanya dengan melihat bendungan air mata di matanya membuat hatiku campur
aduk, hingga kehilangan kata-kata.
“ ... Maaf, ya. Karena aku membohongimu kalau aku Dewa
Kematian.”
Menanggapi diriku yang tetap diam, dia yang berbicara
lebih dulu sama seperti saat kami pertama bertemu.
“ ... Tidak apa-apa. Lagian, aku juga merasa ada sesuatu,
kalau kamu bukan Dewa Kematian. Yah, auramu sama sekali tidak
kelihatan seperti Dewa Kematian. Tidak ada martabatnya.”
“Ehh?! En-enggak begitu, kok! ... Eh, tapi ....”
Ia silangkan tangan sambil memiringkan kepala. Tanpa
sadar aku pun tertawa kecil.
“ ... Hei, sebelum kamu menghilang, boleh beritahu aku
satu hal? Nama aslimu.”
Aku—yang lebih tenang berkat Dewa Kematian—mengucapkan
pertanyaan itu yang entah kapan kulupakan.
“Namaku ...?”
“Iya. Bukan Dewa Kematian. Tapi, nama aslimu.”
Sudah sejak lama aku penasaran.
Nama dari orang yang berharga bagiku.
Setelah memberikan jeda, untuk pertama kalinya ia
menjawab pertanyaanku.
“——Mirai.”
Mirai.
Ya, nama yang bagus, pikirku.
Berkatnya aku dapat menatap masa depan.
Benar-benar nama yang cocok untuknya.
“ ... Namamu sangat bagus begitu, kenapa kau
memperkenalkan dirimu sebagai Dewa Kematian?”
“Dulu, aku pernah bertemu hantu semacam itu. Aku menirunya.
Aku kira kamu bakal was-was kalau sejak awal aku bilang hantu.”
Tidak tidak, kamu bilang Dewa Kematian sudah
cukup membuatku was-was.
“Selain itu, aku enggak tahu harus memperkenalkan diriku
sendiri apa.”
“ ... Malaikat, bagaimana?”
Kata yang secara spontan keluar dari bibirku terdengar
begitu kuno, meski begitu tidak ada rasa malu yang kurasakan.
“Ma-Malaikat?! Ka-kalau itu mah bukannya terlalu bagus
...?”
Berkebalikan, ia tampak lebih malu dengan pipi meronanya.
Aku lanjut berbicara, pada sosoknya yang begitu memikat, yang bahkan membuatku
ingin memeluknya meski tidak bisa.
“Tidak. Setidaknya bagiku kamu Malaikat. Aku ada di sini
karena ada kamu. Aku bisa tertawa seperti ini karena ada kamu. Aku bisa hidup
juga karena ada kamu.”
“ ... Begitu, ya. Mendengar itu membuatku ada gunanya
terlahir.”
Setelah ia tertawa senang, air mata mengalir di pipinya.
Kuhampiri dirinya yang menunduk.
Lalu.
Kudekap dirinya.
Tentu saja, hanya dalam bentuk saja.
Meski begitu, aku memeluknya dari lubuk hatiku yang terdalam.
“ ... Selama aku hidup, aku selalu berpikir kelahiranku
enggak ada artinya. Tapi, aku bisa menemukannya karena bertemu denganmu. Aku
memperkenalkan diri sebagai Dewa Kematian juga karena aku membenci namaku.
Karena aku berpikir hidupku enggak ada artinya. Hidup tanpa ada masa depan,
namaku sama sekali enggak bernilai. ... Tapi, tapi aku bisa mengatakan dengan
bangga namaku.”
Ia pun perlahan merangkulku.
Sesungguhnya tidak ada sedikit pun sentuhan.
Meski begitu, untuk pertama kalinya aku merasa dapat
merasakan kehangatannya.
“Namaku Mirai.”
“ ... Iya. Takkan kulupakan. Tidak akan. Baik namamu,
juga dirimu.”
Sambil mengatakan itu, kutuangkan tenaga dalam pelukanku.
“Aku tidak akan bertemu denganmu sementara waktu, tapi
aku akan hidup. Aku tahu tidak bisa berbicara denganmu sulit, tapi aku akan
tetap terus hidup. Karena aku punya arti untuk hidup. Aku akan terus
hidup, atas nyawa yang kau berikan padaku ini.”
Mataku bertemu dengannya, air mata membendung di sana.
Seseorang yang berharga bagiku.
Ada satu hal penting, yang ingin kupertegas padanya.
“Kau memberikanku arti untuk hidupku. Terima kasih.
Mirai.”
Aku tersenyum.
Ia pun tersenyum.
Itulah yang terakhir.
Tanpa peringatan, aku tidak lagi dapat melihat wujudnya.
Aku berdiri sendirian di atap sekolah yang luas. Jika ada
seseorang yang datang, pasti ia akan berpikir seperti itu.
Namun, aku tahu.
Jika di sini tidak hanya ada diriku.
Lalu, meskipun berpikir tidak ingin, pada akhirnya kami
akan bertemu kembali. Entah itu sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau lebih dari
itu. Aku tidak tahu. Sampai jangka hidupku habis. Aku akan menunggu hingga saat
itu.
“Mari bertemu lagi,” ucapku, padanya yang di suatu tempat
melihatku.
Langit musim dingin.
Meskipun embusan angin di atas terasa begitu dingin,
anehnya dadaku terasa hangat.
Saat aku bertemu dengannya lagi, aku akan katakan dengan
bangga.
『——Hidup yang kulalui terasa
begitu indah.』
Kukatakan, dengan senyuman.
Sebelumnya
|| Daftar isi ||
Selanjutnya