Bab 10 — 19 Februari (Jumat) Hari Ketiga Jalan-Jalan Sekolah — Asamura Yuuta
Aku tahu kalau Maru dan Yoshida
merupakan tipe orang yang bangun pagi setelah apa yang terjadi kemarin. Dan
fakta bahwa mereka juga akan segera memulai petualangan mereka. Meskipun itu
hanya msekedar pergi ke minimarket di sini di halaman hotel. Aku tahu kalau aku
akan ditinggal sendirian di kamar, itulah sebabnya aku menyetel alarm—Namun
tidak berdering. Ketika mataku terbuka, aku melirik jam di atas meja… dan
menyadari sudah jam 7 pagi. Tetapi ketika aku menyadari bahwa sudah waktunya
untuk sarapan, aku langsung panik.
Sudah jam 7 pagi?! Kepalaku
masih terasa sedikit mengantuk saat dengan panik mencari ponselku. Dan karena
gordennya ditutup, mungkin sesuatu yang dilakukan oleh dua orang lainnya agar
tidak membangunkanku, ruangan menjadi gelap, dan bahkan saat aku mengulurkan
tangan ke arah meja tempat yang kupikir aku meletakkan ponselku, tapi aku tidak
dapat menemukannya. Aneh. Aku menyalakan lampu di kamar dan akhirnya menemukan
ponselku terjatuh di tanah bersama dengan charger-ku.
Mungkin aku tidak sengaja mendorongnya
saat tidur, atau mungkin gempa memindahkannya saat aku… Tidak, seharusnya tidak
banyak gempa bumi di Singapura. Itu berarti aku tak sengaja menyenggolnya. Aku
mencoba menyalakan layar, tapi layarnya tetap hitam. Kurasa baterainya tidak
terisi dan sekarang aku memiliki baterai 0% yang solid. Aku jadi semakin panik.
Artinya, meskipun aku mendapat pesan atau semacamnya, aku takkan bisa melihatnya.
Dan jika Ayase-san merespon, maka aku juga tidak tahu—Oke, tenang. Aku
menghubungkan ponselku ke pengisi daya dan menunggu sampai smartphone-ku
menyala kembali. Logo yang familier muncul di layar, dan jantungku berdetak
kencang saat melihat ada pesan.
“… Cuma pesan dari Maru, ya.”
Dia memberitahuku bahwa sudah
waktunya untuk sarapan, api hanya itu pesan yang aku terima. Hanya untuk
memastikan, aku memeriksa apakah LINE telah memperbarui sejak kemarin dan
kemudian meninggalkan ruangan. Karena ponselku kehabisan daya, aku harus
meninggalkannya di pengisi daya untuk saat ini.
“Ya, Asamura. Bangun terlambat lagi
hari ini, ya?”
“Telepon aku kehabisan
baterai,” jawabku saat mulai mengambil prasmanan.
Sambil menyantap sarapanku, aku
mulai berpikir. Aku tidak berpikir itu akan menyelesaikan pengisian selama
jangka waktu sebentar ini. Oleh karena itu, aku tidak bisa menunggu di kamar aku
sampai terisi penuh. Memang, kami diberi cukup banyak kebebasan dalam kelompok
kami, tapi jika aku hanya tinggal di kamarku sepanjang waktu, orang lain akan
mengira kalau aku sakit.
“Maru, apa menurutmu kita punya
waktu untuk mampir ke minimarket dulu setelah ini?”
“Kita punya banyak waktu luang hari
ini, jadi seharusnya baik-baik saja. Apa yang salah? Apa perutmu berulah?”
Bahkan jika itu benar, aku
benar-benar berharap ia tidak mengatakannya begitu saja.
“Aku punya beberapa pil pahit
jika kamu membutuhkannya.”
“Tidak, aku baik-baik saja. Aku
membutuhkan pengisi daya portabel. Aku ingin tahu apakah mereka menjualnya di
sana.”
“Waktu tidak akan menjadi
masalah. Ada banyak cara menuju dan dari Pulau Sentosa, jadi selama kita tidak
terlambat ke titik pertemuan, jadi tidak masalah.”
“Oke.”
“Aku punya beberapa baterai
sebagai cadangan. Kamu ingin menggunakannya?” Maru menawarkan, tapi aku
menolak.
Ia mungkin membutuhkannya dalam
keadaan darurat.
“Ngomong-ngomong, kemana
perginya kelompok gadis-gadis?”
Kemarin, kami berenam pasti
sarapan bersama. Maru memberi isyarat dengan dagunya dan menyuruhku melihat ke
samping. Ketika aku melakukannya, aku melihat sekelompok besar gadis duduk di
tiga meja yang disatukan, mengadakan semacam pertemuan. Mereka juga dari
berbagai kelas. Bukan hanya dari kelas kami saja.
“Mereka akan berjalan-jalan
bersama?”
“Sepertinya begitu.”
“Kelihatannya seru.”
Ada bagusnya untuk memiliki
rencana.
“Yah, Shinjou juga masih populer
seperti biasanya.”
“Shinjou?”
Komentar Maru membuatku melihat
ke grup sekali lagi, dan kemudian aku melihat beberapa anak laki-laki juga ikut
tercampur. Di tengah mereka adalah Shinjou dari kelas sebelah kami. Ketika ia
mengangkat kepalanya, tatapannya bertemu denganku, dan ia melambai padaku. Aku
melakukan hal yang sopan dan balas melambai.
“Tunggu… Kalian berdua saling
kenal?” Yoshida menatapku dengan kaget.
“Yah, sedikit.”
“Serius, aku penasaran bagaimana
caranya ia bisa masuk ke dalam sekelompok gadis dengan begitu mudah. Aku merasa
cemburu.”
“Benarkah?”
Bukannya itu karena mereka
berhubungan baik? Yah, menjadi bagian dari kelompok sebesar itu hanya akan
lebih melelahkan bagiku.
“Jangan bilang ‘Hah?’ kepadaku begitu. Kenapa kamu
kelihatan begitu santai? Kamu bertingkah seolah-olah sudah punya pacar atau
semacamnya!”
“Hah? Memangnya aku tidak boleh
begitu, ya?”
“Bukannya kamu tidak boleh. Itu
akan membuat aku memiliki lebih sedikit saingan. Tapi Asamura... Kenapa kamu
mempertahankan sudut pandang yang begitu tenang? Atau… apa kamu benar-benar
sudah punya pacar, dasar kampret ?!”
Aku panik dan menggelengkan
kepala beberapa kali. Apa yang membuatnya begitu gelisah? Kami masih sarapan
sekarang.
“Seriusan… Yang kuinginkan
hanyalah jalan-jalan dan bersenang-senang dengan seorang gadis … Tapi masa
mudaku begitu abu-abu. Aku ingin berlarian di dunia mimpi dan mengejar tikus
sambil bergandengan tangan.”
Jangan kejar tikus malang itu.
Dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.
“Hei, Maru. Memangnya kamu
tidak bisa memanfaatkan pengetahuanmu yang luas untuk memberitahuku satu atau
dua kutukan yang bagus? Sesuatu yang akan membuatnya botak dalam dua puluh
tahun, atau dia akan menjadi gemuk. Apapun itu tidak masalah.”
Sungguh kutukan yang sangat
spesifik sekali.
“Aku tidak tahu tentang kutukan
apa pun… Tapi mungkin sesuatu seperti Eko
Eko Azarak, Elohim Essaim, atau “Aku
akan membalas dan menyelesaikan kebencianku!” mungkin? Bagaimanapun juga,
kupikir lebih baik kalau kamu harus berhenti melakukannya selagi bisa.”
“Kenapa?”
“Coba pikirkan baik-baik. Kamu
tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi. Bagaimana jika kita bertemu dengan
kelompok lain sama seperti kemarin? Apa kamu hanya akan mengutuk mereka?”
“Kamua da benarnya juga!”
Ekspresi Yoshida langsung
sumringah seolah dia merasa jauh lebih damai. Kurasa bujukannya itu berhasil.
“Asamura, ia hanya menggerutu
tentang omong kosong normies. Abaikan saja dirinya.”
“Benarkah?”
Tapi ia sepertinya membenci
mereka.
“Ingat: Mereka yang dengan
bebas mengungkapkan pikiran dan keinginannya adalah apa yang kamu sebut normies.
Mereka yang hidup dalam kegelapan seperti kita tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkan pikiran kita.”
Benar. Entah bagaimana itu masuk
akal, tetapi juga tidak.
“… Hal yang sama berlaku
untukmu, Maru?”
“No comment.”
Setelah kami selesai sarapan,
Maru dan Yoshida kembali ke kamar dan aku pergi ke minimarket dan membeli
charger portabel. Alat ini berfungsi dengan baik dan membutuhkan baterai juga.
Dan karena aku membeli beberapa, itu akan membuat smartphone-ku tetap stabil
sepanjang hari. Aku kembali ke kamarku dan memeriksa ponselku, yang baru saja
melewati 20%. Seperti yang kuduga, kurasa aku takkan bisa mengisinya sampai
penuh. Dan aku juga belum mendapat pesan apa pun dari Ayase-san. Aku
membayangkan kalau dia sibuk pagi ini juga.
◇◇◇◇
Bus kami sedang menuju Pulau
Sentosa sekarang. Dalam perjalanan, aku mendapat pesan lagi dari Ayase-san.
'Beri
tahu aku kapan kamu bisa meluangkan waktumu.'
Dia mungkin ingin aku
menghubunginya ketika aku menemukan kesempatan untuk keluar dari kelompok. Jika
aku harus menebak, mereka mungkin juga sedang menyeberangi jembatan untuk
menuju ke Pulau Sentosa saat ini. Dia bahkan mungkin berada di salah satu bus
di depan atau di belakang kami. Transportasi umum seperti ini memiliki wifi
gratis. Dia harusnya segera mendapat tanggapan, bukan? Dan apa dia akan berada
dalam kondisi di mana dia bisa melihatnya?
“Asamura,” Maru, yang duduk di
sebelahku di dalam bus, tiba-tiba memanggilku, yang membuatku cukup terkejut
hingga membuatku hampir menjatuhkan ponselku.
“Apa?”
“Aku bilang kita bebas bergerak
hari ini, tapi apa rencanamu?”
"Hah? Bukannya kita sudah
memutuskan?”
“Oh iya, benar. Hm, hmmm, ”Maru
bergumam sambil menatap ponselnya, menggesek layarnya.
“Apa kamu sudah membeli
oleh-oleh?”
“Hah? Aku sedang berpikir untuk
melakukan itu besok.”
Jadwal kami untuk besok juga
cukup santai, karena kami tinggal pulang. Namun, kami diberi waktu ekstra di bandara
agar bisa membeli oleh-oleh. Aku sedang berpikir untuk membeli sesuatu untuk
orang tuaku, tetapi karena aku tidak terlalu sering bertemu dengan kerabatku, aku
tidak perlu membeli terlalu banyak. Meskipun aku harus membeli sesuatu untuk
rekan kerjaku. Seperti seniorku yang dengan hati-hati (?) menjagaku.
“Bukan itu,” Maru merendahkan
suaranya sambil melanjutkan. “Maksudku untuk adikmu.”
…Hah? Sejujurnya, pemikiran itu
bahkan tidak terlintas di benakku. Awalnya, dia hanya tahu kalau aku punya adik
perempuan baru, yang menurutku jauh lebih muda. Tapi sekarang dia seharusnya
tahu bahwa adik yang dimaksud adalah Ayase-san.
“Mengapa kamu membeli oleh-oleh
dari tempat yang akhirnya kamu berdua kunjungi…?”
Suvenir merupakan pemberian barang
kepada orang lain dari penggalan pengalaman yang belum mereka alami. Aku tidak bisa
memahami alasan untuk membeli suvenir apa pun untuk Ayase-san, yang melakukan
perjalanan yang sama persis ke Singapura denganku.
“Kurasa aku tidak membuat
diriku cukup jelas. Aku bertanya apakah kamu akan membeli sesuatu untuknya. Aku
yakin itu akan menjadi kenangan yang luar biasa.”
“Ah.”
Jadi begitu maksudnya. Aku
mengerti apa yang ingin Maru sampaikan. Saat masa SMP, kamu akan saling
membelikan pedang kayu atau panji-panji atau semacamnya. Kalau dipikir-pikir
lagi sekarang, aku mungkin membelinya karena terbawa suasana. Namun, setiap
kali aku melihat panji di kamarku, hal tersebut mengingatkan aku pada teman
sekelasku yang dulu. Dan itu membuatku tersenyum tentang betapa bodohnya tingkah
kami. Kenangan perjalanan ini, ya? Aku pikir itu adalah sesuatu yang harus kita
berdua beli bersama. Atau aku bisa memberikannya sebagai hadiah. Setidakya, itu
kedengarannya menyenangkan.
“Apa kamu punya rekomendasi?”
tanyaku pada Maru.
“Pertanyaan bagus. Yoshida dan aku
akan menuju ke USS sekarang dan ada banyak toko di dalam dan di luar itu.”
USS yang dimaksdu Maru mengacu
pada 'Universal Studios Singapore.'
Mungkin tempat itu berada di puncak daftar hal-hal yang dapat dilihat di Pulau
Sentosa. Akan ada banyak siswa yang akan segera menuju ke sana. Faktanya,
gadis-gadis di kelompok kami mengatakan mereka juga akan berkunjung ke sana.
Mungkin Ayase-san juga akan ada disana. Jika demikian, menyelinap keluar dan
bertemu dengannya seharusnya terbukti mudah.
Berdasarkan tingkat perjalanan
kami saat ini, kami harusnya tiba di pulau sekitar tengah hari. Aku tidak tahu
dia akan makan siang di mana, tapi mungkin ada baiknya aku menghabiskan makan
siangku sebelum kami bertemu. Dan memberi hadiah untuknya mungkin akan lebih
baik jika itu menjadi kejutan, jadi aku takkan mengatakan apapun padanya sampai
saat itu. Setelah membuat keputusan tersebut, aku mengirim pesan kepada
Ayase-san.
'Maaf
atas balasan yang terlambat! Aku akan memastikan untuk keluar sore ini, jadi
kita bisa bertemu nanti!’
Dia segera membaca pesanku dan
menjawab.
'Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk menyediakan waktu. Kamu bisa memberitahuku
kapan waktu yang terbaik untukmu.’
Setelah membaca itu, aku
menoleh ke arah Maru dan berkata bahwa aku akan bergabung dengan mereka dalam
perjalanan ke USS.
Di pintu masuk, aku berpisah
dari Maru dan Yoshida. Aku pergi ke pusat perbelanjaan untuk makan sebentar dan
kemudian berjalan di dalam untuk mencari hadiah. Aku ingin tahu hadian apa yang
akan membuat Ayase-san senang. Mainan mewah? Beberapa perhiasan? Mungkin parfum
bergaya? Tidak, bukan itu. Kata kunci untuk kali ini seharusnya adalah
'Kenangan'. Yaitu, sesuatu yang akan mengingatkannya pada saat kami datang ke
Singapura bersama (secara teknis)
ketika kami berusia 17 tahun. Jika aku membelikannya sesuatu yang berhubungan
langsung dengan USS, dia mungkin salah mengartikannya dengan beberapa jenis
merchandise Osaka. Berarti itu juga harus menjadi sesuatu yang unik di negara
ini …
Aku melihat sekeliling dan melihat
gantungan kunci Merlion. Hadiah ini benar-benar terasa seperti oleh-oleh yang
sempurna untuk dibawa dari Singapura, tapi… rasanya juga tidak ada bedanya
dengan panji yang aku dapatkan saat SMP dulu. Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk membeli dua gantungan kunci tersebut. Lebih baik mendapat sesuatu
kalau-kalau aku berjalan-jalan dan kembali dengan tangan kosong. Aku
menyelesaikan pembayaran dan memutuskan untuk keluar untuk melakukan perburuan
hadiah asli ketika ponselku bergetar. Ketika aku mengeluarkannya, aku melihat
ada pesan dari Maru. Terlebih lagi ia melakukan panggilan telepon segala. Kurasa
itu pasti sesuatu yang mendesak.
“Ya, ini—”
Bahkan sebelum aku bisa
menyelesaikan kalimat aku, Maru sudah angkat bicara duluan.
“Bisakah
kamu kembali ke pintu masuk?"
“Tentu.”
Aku segera keluar dari toko dan
bergegas kembali.
'Kalau
begitu tolong lakukan. Seseorang pingsan karena anemia.”
“Siapa?”
'Aku
tidak tahu namanya. Hm?’
Seseorang pasti berbicara
dengan Maru.
'—Makihara.
Seorang gadis dari kelompok kelas tetangga. Aku melihat sekelompok orang dan
bertanya apa yang terjadi ketika—'
"Oke. Aku tidak
membutuhkan detailnya sekarang. Apa dia baik-baik saja?”
'Ya.
Tidak ada hal yang serius—'
Telepon Maru mendadak terputus.
Aku melihat layar ponselku dan melihat bahwa panggilan telah terputus. Entah
karena Maru berjalan ke suatu tempat atau karena aku berlari di luar jangkauan.
Aku mendapatkan intinya dan itu sudah cukup. Aku menatap langit-langit tembus pandang
di atasku. Seharusnya, Singapura harusnya sedang di musim hujan. Namun, langit
tidak bisa lebih biru lagi. Dan suhunya sangat tinggi. Itu bahkan membuat tenggorokanku
sedikit sakit. Gadis itu pingsan pasti karena sengatan panas. Aku melihat
ponselku lagi, tapi tidak ada pesan lanjutan yang datang dari Maru. Setelah
sekitar sepuluh menit, aku sampai di tempat kami awalnya berpisah. Aku bisa
melihat tubuh besar Maru di seberang gerbang, dengan gadis-gadis yang memiliki
ekspresi khawatir dan Yoshida menggendong seseorang di punggungnya. Itu pasti
gadis yang pingsan. Aku buru-buru mendekari mereka, saat Maru melihat kehadiranku
dan angkat bicara.
“Maaf tentang ini, Asamura.”
“Jangan khawatir. Jadi, apa
yang terjadi?”
“Kami menyuruhnya beristirahat
di kamar yang didinginkan untuk sementara waktu. Seorang karyawan datang untuk
memeriksanya, tetapi dia kembali bersama kami, dan dia sudah merasa jauh lebih
baik. Mereka baru saja memanggil wali kelas.”
Gadis-gadis itu mengangguk.
“Hal yang sama terjadi di
tempat lain, jadi Tsuji-sensei pergi ke sana lebih dulu…”
Menurut kabar yang disampaikan,
Makihara-san tidak pernah terlalu baik dengan cuaca panas. Dia tampaknya sudah
lumayan pulih, tetapi mereka memutuskan untuk membawanya kembali ke hotel.
“Maafkan aku…” Gadis itu
meminta maaf dengan suara lemah.
Aku menemukan mengapa Maru
memanggil aku ke sini dan mengangguk.
"Jadi, kamu ingin aku
memastikan dia kembali ke hotel dengan selamat?"
Salah satu gadis angkat bicara.
“… Tidak, seharusnya kita yang melakukan itu. Yuka adalah bagian dari grup
kami, dan kami tidak mau mengganggumu dengan hal ini.”
Jadi masalahnya adalah tentang
siapa yang pergi menemani mereka, ya? Kembali ke hotel sekarang berarti lamu
mungkin takkan bisa keluar lagi. Meski begitu, para guru sibuk di tempat lain,
dan kita tidak bisa membuatnya pulang sendirian dalam keadaan lemah.
“Aku tahu kamu punya rencana
lain jadi aku ingin menghindari meminta bantuanmu, tapi…”
“Aku mengerti. Kamu adalah
pemimpin kelompok.”
Hari ini, rombongan kami berada
di USS. Maru harus tetap berjaga kalau-kalau terjadi hal lain. Dan sangat
sia-sia memaksa seseorang pergi setelah mereka membayar tiket. Untungnya, aku
hanya melihat pusat perbelanjaan di sebelah studio, jadi aku tidak perlu
membayar biaya masuk. Dan ada juga kekhawatiran membayar ongkos taksi yang
lumayan. Aku mengerti mengapa dia memanggilku untuk ini.
“Ya… Bisakah aku meminta
bantuanmu di sini? Aku akan membayarmu nanti.”
“Jangan mengkhawatirkan itu.”
“Aku akan menggendongnya selama
sisa perjalanan pulang. Asamura, ambil barang-barangnya.”
“Hah? Ah, Yoshida!”
Bahkan sebelum aku bisa
mengatakan apa-apa, Yoshida berjalan melewati gerbang tiket tanpa ragu. Orang
yang paling bingung adalah gadis yang digendongnya.
“Um! Aku bisa berjalan, jadi…”
“Jangan khawatir, jangan
khawatir. Aku sudah terlatih dengan baik untuk hal ini. Dan aku sudah pergi
juga. Maaf meninggalkanmu, Maru.”
“Aku tidak keberatan… Oh,
baiklah. Asamura, ini barang milik Yoshida. Dan barang apa yang menjadi
miliknya?”
Salah satu gadis menyerahkan
ransel yang mungkin miliknya. Di dalamnya ada beberapa botol air dan
obat-obatan rumah tangga biasa. Pemimpin kelompok untuk para gadis mengatakan
dia akan ikut juga.
“Aku bisa menggendongnya jika
terlalu sulit, tau?”
“Aku bisa menangani ini tanpa
masalah. Kamu harus fokus untuk membawa kami kembali ke rumah.”
“Ahhh.”
Benar, bahasa Inggris. Yoshida
tidak terlalu pandai berbahasa Inggris. Dibandingkan dengan dirinya, aku
setidaknya bisa berkomunikasi dengan cukup baik. Dan ketua kelompok perempuan
juga tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Sebagai
permulaan, kami mencari area taksi yang tidak terlalu jauh dari gerbang tiket
depan. Seperti yang diharapkan dari tempat wisata populer. Aku ingat bahwa
pintu taksi di Singapura tidak terbuka secara otomatis, jadi aku membuka pintu
di belakang terlebih dahulu dan kemudian duduk di dalam bersama tiga orang
lainnya. Saat udara dingin dari AC berhembus ke kulitku, aku mendapati diriku
menghela napas lega. Aku mendengar suara minta maaf yang samar, diikuti oleh
Yoshida yang mencoba menghibur gadis itu.
Aku berbicara dengan sopir
taksi dan memberinya petunjuk arah ke hotel kami, dan kami segera berangkat ke
jalan yang sama dengan tempat kami berasal. Sepanjang perjalanan, gadis yang
pingsan itu meminta maaf berulang kali, tetapi Yoshida hanya mengatakan bahwa
kami harus saling membantu pada saat dibutuhkan. Setelah beberapa saat, kami
akhirnya sampai di hotel. Berkat Maru yang sudah menghubungi hotel sebelumnya,
seorang guru sudah menunggu kami dan menerima gadis itu. Maklum, karena lantai
yang ditinggali gadis-gadis itu terlarang bagi kaum laki-laki. Ketika kami
berpisah, gadis yang bernama Makihara Yuka-san, wajahnya masih agak pucat, dan
pemimpin kelompok gadis itu sekali lagi meminta maaf dan berterima kasih kepada
kami. Guru dan ketua kelompok kemudian membawa gadis itu ke kamarnya.
“Padahal aku tidak keberatan
membawanya sampai ke kamar.”
“Aku bisa mencium kekecewaan
dan motif tersembunyi dari sini.”
“Yah, aku tidak berbohong
mengenai itu.”
“Sungguh jujur sekali.”
“Ngomong-ngomong, aku senang
kita mengantarnya kembali dengan selamat,” Yoshida tersenyum dan aku
mengangguk. “Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Asamura?”
Yoshida berkata bahwa dirinya
lelah, jadi ia ingin tidur siang. Lagi pula, dia telah menggendong gadis itu
sepanjang waktu kecuali saat kami naik taksi. Dia melakukan pekerjaan dengan
baik. Tetapi bagiku… Aku menyadari aku telah melupakan sesuatu dan mengeluarkan
ponselku. Aku mendapat dua pesan baru. Dua pesan tersebut berasal dari
Ayase-san.
'Kami
sedang menuju ke Pantai Palawan sekarang.'
‘Aku
akan menunggu di sana, dan aku akan memberitahumu jika kami pindah.’
Oh sial. Sudah berapa menit
sejak saat pesannya dikirim?
“Aku harus segera pergi.”
“Hah?”
“Aku akan kembali ke pulau. Aku
akan menghubungimu nanti, jadi beri tahu Maru!”
“…Apa? Hei, Asamura?!”
Aku mendengar Yoshida
memanggilku, tapi aku langsung berlari keluar hotel.
Aku membuka aplikasi peta dan
memeriksa untuk menemukan rute terpendek ke Pantai Palawan. Berjalan sepanjang
jalan akan memakan waktu dua jam sepuluh menit — Itu mustahil. Menggunakan
kereta api bawah tanah dan monorel… Juga akan memakan waktu satu jam.
“Menggunakan taksi pasti akan
menjadi pilihan yang tercepat, bukan?”
Aku mencarinya, dan dikatakan
akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Jadi ketika aku meninggalkan
hotel, aku memanggil taksi berikutnya yang aku lihat, meminta mereka membawaku
ke Pantai Palawan di Pulau Sentosa. Aku tidak tahu di mana tepatnya dia
menunggu, tetapi ini mungkin kesempatan terbaikku. Untungnya, aku belum membeli
hadiah untuk Ayase-san, jadi aku punya cukup uang sisa untuk—Ah. Aku hanya
membeli gantungan kunci! Aku mengertakkan gigi dalam penyesalan dan menyerah
pada saat ini.
Yang lebih penting saat ini
adalah Ayase-san sedang menungguku. Sambil memelototi ponselku, aku secara
berkala melirik ke luar jendela. Lagipula tidak ada wifi… Sejak Ayase-san
mengirimiku pesan bahwa dia ada di Pantai Palawan, aku belum mendapatkan
pembaruan apa pun. Mungkin dia masih di sana, atau mungkin dia sudah pindah? Aku
tidak tahu, tetapi aku harus bergegas.
Waktu terasa seperti berlalu
lebih cepat dari biasanya, tapi mobil terasa sangat lambat. Memangnya jarak
menuju jembatan ke Pulau Sentosa sejauh ini? Akhirnya, aku sampai di pulau itu,
dan aku bisa melihat USS di sebelah kananku saat taksi terus melaju. Kemudian,
pengemudi tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadaku. Aku mencoba menerjemahkan
kata-katanya secara langsung, seperti yang dilakukan Ayase-san. Aku tidak
berpikir bahwa latihan kami akan membuahkan hasil di sini. Jika aku harus
menebak, ia ingin bertanya aku mau diturunkan di sebelah mananya pantai…
mungkin.
'Tolong
berkendara sampai anda bisa melihat pantai.'
‘Kita
sudah bisa melihatnya.’
Hah? Aku melihat ke arah yang
ditunjuk pengemudi. Di kiri dan kanan, aku bisa melihat langit biru sedikit di
depan kami, dan warna yang menyentuh tanah perlahan mulai menebal. Kami memang
sudah berada di tepi laut.
'Kemudian
di jalanan ini. Sampai anda bisa melihatnya.’
Sopir itu mengangguk. Perlahan
tapi pasti, laut yang terlihat semakin membesar. Kami sampai di terminal dan aku
diturunkan dari taksi. Setelah membayar biaya, aku berdiri di trotoar pejalan
kaki. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, aku memeriksa ponselku dan melihat
bahwa aku memiliki wifi. Syukurlah, tapi tidak ada lagi pesan yang masuk sejak
itu.
Sebagai permulaan, aku memilih
untuk menjelaskan kepada Maru kemana tujuanku. Ia mungkin tidak tahu bahwa aku
sudah kembali ke pulau. Dan karena ia tidak tahu aku akan pergi menemui
Ayase-san, ia mungkin mulai mengkhawatirkanku. Sementara aku melawan keinginan aku
untuk mulai berlarian secara acak, aku selesai memberitahunya dan kemudian
memeriksa pesan Ayase-san. Jika dia sudah pindah, maka aku harus menyusulnya
sekali lagi. Tetapi pada saat itu, sebuah pesan baru muncul.
'Aku
sedang menunggu di jembatan gantung di Pantai Palawan. Silakan datang.'
Aku panik dan langsung
menanggapinya.
'Maaf
sudah membuatmu menunggu. Aku sedang dalam perjalanan ke sana sekarang.’
Dan kemudian aku mulai berlari.
Seorang anak cowok SMA Jepang dengan panik berlari di sepanjang jalan menuju
laut, ingin bertemu dengan teman sekelasnya; Jika orang melihat ini, aku
penasaran apa yang mereka pikirkan? Aku hanya merasa tidak enak karena hal ini
dapat berdampak negatif pada nama baik SMA Suisei. Ponsel di kantongku kembali bergetar
dan aku mengeluarkannya sambil terus berlari. Ternyata itu pesan dari Maru. Yoshida
mungkin memberitahunya. Ia hanya menuliskan satu kalimat.
'Semua
orang yang sudah menjalin hubungan akan melakukan ini, jadi jangan khawatir.
Nyatanya, aku minta maaf karena sudah meminta bantuanmu.’
Maru menyebutkan sebuah
hubungan, yang membuatku terkesiap sejenak, tapi aku tidak punya waktu untuk
meminta penjelasan darinya. Aku hanya menyimpan kembali ponselku dan terus
berlari. Aku ingat pesan Ayase-san. Dia langsung memintaku untuk datang. Aku
belum pernah melihatnya secara langsung tentang permintaan sebelumnya. Ketika aku
memikirkan bagaimana perasaannya ketika mengirim pesan ini, aku tidak bisa
berhenti berlari.
Semua
pasangan melakukan ini—aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak.
Tapi paling tidak, aku tidak bisa membuat Ayase-san merasa kesepian dan sedih
hanya karena ingin terlihat keren. Aku terus berlari menuju Pantai Palawan, dan
semakin dekat, semakin banyak orang yang bisa aku lihat. Setiap kali aku
berpapasan dengan penduduk setempat, turis lain, atau bahkan pasangan, mereka
menoleh ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan mereka saat aku melewati mereka.
Tapi semua itu tidak masalah. Mungkin beberapa orang yang aku lewati bisa jadi
adalah teman sekelasku… Lantas kenapa? Biarkan mereka memiliki keraguan mereka.
Aku tidak peduli jika hubungan kami ketahuan. Yang paling penting—aku sudah berjanji pada Saki.
Karena suhu udaranya sudah agak
dingin, aku berhasil berlari ke sana. Ketika aku sampai di pantai, matahari
sudah mulai terbenam di bawah ufuk barat. Jadi dimana jembatan gantungnya? Aku
melihat ke kiri dan ke kanan lalu melihat garis sempit yang menghubungkan pulau
utama dengan pulau yang lebih kecil di kejauhan, hampir tidak tergantung di
atas air. Ketika aku berjalan lebih dekat, aku dapat mengatakan bahwa itu bukan
garis dan sebenarnya adalah jembatan gantung, dan aku melihat siluet gadis yang
sangat aku kenal berdiri di tengah-tengahnya.
Di sekitar jembatan ditutupi
oleh pepohonan, yang menutupi jembatan untuk sesaat. Beberapa turis yang
berkumpul di depan ini, tapi tidak satupun dari mereka mencoba menyeberangi
jembatan. Hanya karyawan yang berdiri di samping papan reklame yang menandai
titik awal jembatan yang tersisa. Mereka menyapaku dan memintaku untuk
berhati-hati… aku pikir. Aku berterima kasih kepada mereka dan melanjutkan
lebih jauh. Akhirnya, aku berdiri di ujung jembatan.
Gadis yang berdiri di tengah,
menyaksikan matahari terbenam, sekarang berbalik ke arahku. Rambutnya yang sedikit
panjang tapi berwarna cerah bersinar terang dengan hijaunya pulau kecil di
belakangnya. Dia menatapku, dan tatapan kami bertemu. Aku ingin segera berlari
ke sisinya, tetapi ketika aku menginjak jembatan, aku bisa merasakan guncangan
dan getarannya. Aku tidak ingin membuatnya takut, tapi aku juga tidak bisa
memperlambatnya. Dengan setiap langkah berirama, aku bisa merasakan getaran
samar di bawah telapak kakiku saat jembatan berguncang. Ekspresi wajah Saki
berubah dari keterkejutan menjadi kegembiraan dalam sekejap, tapi dia kemudian
mengalihkan pandangannya. Dan kemudian aku akhirnya sampai di hadapannya.
“Maaf…Ternyata butuh waktu lama
untuk ke sini …” kataku di antara napas yang tersenggal-senggal.
Dia mengangkat kepalanya dan
menatapku.
“Aku sudah menunggu lama
sekali, tau.” katanya sambil menatapku dengan matanya yang berkedip.
Dia marah. Itu suh sudah pasti.
Pnadangan mata berbicara lebih banyak daripada mulut, seperti yang mereka
katakan. Tidak ada perangkat lunak terjemahan di dunia yang dapat menyampaikan
emosinya dengan lebih akurat daripada yang dapat aku rasakan saat ini.
Narasaka-san memang benar. Bahkan saat itu, ekspresinya berbicara sendiri. Jauh
lebih banyak daripada kata-kata apa pun. Namun, tatapan marahnya segera
menghilang saat dia mengalihkan pandangannya sekali lagi.
“Tidak adil bagiku untuk
memaksakan semua perasaanku padamu, ya?”
“Tidak, aku senang kamu sudah
mau jujur padaku,” kataku dan mendekatinya.
Aku bisa melihat bahunya yang
kecil bergetar sedikit, memungkinkanku merasakan secara langsung betapa
kesepiannya dirinya.
“Maaf,” bisikku saat aku
meletakkan tanganku di pundaknya, dan dia menggelengkan kepalanya.
“Karena kamu sudah datang
untukku, jadi…” Katanya sambil juga berjalan selangkah ke arahku—dan memegang
punggungku. “Aku senang kita bisa bertemu satu sama lain.”
Dia membenamkan wajahnya di dadaku, membuatku tidak mungkin mengetahui ekspresi apa yang dia buat. Aku pun memeluknya dan menariknya lebih dekat. Dia mengangkat kepalanya, menatapku dari jarak yang sangat dekat. Kami mengangguk, lalu berhenti berpikir. Selain anting-antingnya yang bersinar merah samar karena matahari terbenam, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Aku hanya fokus pada bibir kami berdua yang tumpang tindih saat berbagi ciuman panjang.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya