Bab 9 — 19 Februari (Jumat) Hari Ketiga Jalan-Jalan Sekolah — Ayase Saki
Demi membaca surat yang ditulis
di atas kertas, kamu membutuhkan cahaya. Namun, pesan di ponsel dapat dibaca
dalam kegelapan tanpa masalah apapun. Bahkan pesan dari Asamura-kun bisa tetap
tersembunyi dari orang lain selama aku menutupi kepalaku dengan selimut. Hal
tersebut demi tidak menarik rasa penasaran orang lain. Adapun bagaimana aku memandang
orang lain dari luar — aku tidak memikirkannya sama sekali.
Hal pertama yang kulakukan
setelah bangun adalah mengambil smartphone-ku dan menarik selimut menutupi
wajahku, memeriksa aplikasi LINE-ku… Namun, tidak ada jawaban. Yah, karena ini
masih jam 6 pagi. Sarapan jam 7, jadi ia mungkin masih tidur. Mungkin ia memberi
tahu kelompoknya bahwa ia ingin berjalan-jalan sendirian hari ini. Jawabannya
mungkin datang kapan saja. Tidak perlu terburu-buru.
“Puwah!”
Aku mendorong selimut dari
kepalaku dan menghela nafas. Di samping tempat tidurku, Maaya sedang sibuk
menyisir rambutnya, saat mata kami bertemu.
“Ohh, Saki. Apa kamu sedang melakukan
kejuaraan menyelami selimut?”
Aku tidak berpikir ada
kejuaraan semacam itu.
“Suhunya cukup panas, ya?”
“… Aku ingin tahu kenapa,”
Maaya memberiku tatapan dingin.
Aku sadar bahwa aku pasti
terlihat seperti orang idiot. Itu sebabnya aku mengabaikan dia sepenuhnya. Aku
memakai pakaianku, sarapan di kafetaria, dan mengecek ponselku lagi, tapi tetap
tidak ada jawaban. Aku mulai khawatir, berpikir bahwa mungkin seharusnya aku
tidak bertanya padanya. Mungkin aku harus mengiriminya pesan lagi? Tetapi aku
tidak ingin ia berpikir kalau aku sok gatel. Dan sementara aku ragu-ragu, kami
bersiap untuk berangkat. Lagipula, kami pergi ke tempat yang sama, jadi saat
kami bersama sebagai satu kelompok, kami seharusnya bisa bertemu sekali atau
dua kali, kan? Tidak perlu panik… atau begitulah aku terus membuat alasan demi
alasan saat kami berangkat.
◇◇◇◇
Pulau Sentosa merupakan pulau
kecil yang terletak di sebelah selatan Singapura itu sendiri. Tempat tersebut
terkenal sebagai tempat rekreasi yang memiliki banyak tempat wisata populer,
seperti Universal Studios Singapore, Mega Adventure Park, dan Pantai Palawan.
Walau kami tidak bisa memasukinya, tapi di sana juga ada kasino. Pulau tersebut
terhubung ke pulau utama Singapura oleh sebuah jembatan besar, yang dapat
dilalui dengan mobil, bus, taksi, berjalan kaki, monorel, kereta gantung, dan
sebagainya. Namun, kamu harus membayar biaya masuk untuk memasukinya. Rombongan
kami memilih bus. Ada empat jalur di jembatan hanya untuk satu sisi, karena
kami sepenuhnya fokus pada samudra biru luas di kiri dan kanan kami. Hanya
dengan melihat jembatan yang menghubungkan pulau-pulau itu, tidak jauh berbeda
dengan Tokyo Bay Aqua-Line—Sebenarnya, itu tidak benar. Ada empat jalur mobil
hanya untuk satu sisi di sini, dan warna lautan terasa lebih… selatan? Semua
orang bersemangat saat mereka menatap ke luar jendela, tetapi sedangkan diriku,
aku terus menatap ponselku dan mengirim pesan kepada Asamura-kun.
'Beri
tahu aku kapan kamu bisa meluangkan waktu.'
Tentu saja, itu setelah kami
sampai di pulau. Saat ini, kami semua siswa harus bepergian ke pulau. Mungkin saja… Aku mendongak dan menatap
ke luar jendela. Ada beberapa mobil berbaris di sebelah mobil kami, tapi aku tidak
melihat bus lain. Mungkin ia sudah sampai di pulau itu, atau mungkin ia baru
saja menuju ke sana. Aku menghela nafas lagi saat ponselku bergetar, membawaku
kembali ke dunia nyata. Aku buru-buru menatap ponselku.
'Maaf
atas balasan yang terlambat! Aku akan memastikan untuk keluar sore ini, jadi
kita bisa bertemu nanti!’
Itu adalah tanggapan yang relatif
singkat, tapi hal tersebut membuatku merasa lega. Untunglah. ia berusaha
membuatnya agar kita bisa bersama,. Tapi apa Asamura-kun masih belum memberi
tahu kelompoknya? Yah, Maaya sudah tahu tentang hubunganku dengan Asamura-kun,
jadi aku mendapat dukungan penuh darinya sebagai ketua kelompok. Namun, hal
yang sama tidak berlaku untuk Asamura-kun. Bahkan jika ia memberi tahu mereka
bahwa ia ingin berjalan-jalan di sekitar pulau sendirian, mereka mungkin akan
marah padanya karena keluyuran sendirian. Karena dia bilang dia ingin keluar
sore ini, aku harus percaya padanya.
Asamura-kun mungkin ingin
tinggal bersama kelompoknya setidaknya untuk pagi hari. Aku tidak ingin menghalangi
pertemanannya, dan jika kami bisa bertemu sore ini, maka aku harus senang
dengan itu. Aku tidak boleh serakah. Dan aku menyadari bahwa percakapan ini
anehnya terdengar tidak asing di telingaku. Rasanya seperti ada batu yang berat
mendarat jauh di dalam perutku. Aku teringat akan percakapan rutin antara ayah
dan ibuku. Dia bekerja di bar tertentu di Shibuya sebagai bartender, pulang
terlambat setiap hari.
Hal ini semua terkait dengan
pekerjaan, jadi mau bagaimana lagi, dan ayahku seharusnya tahu itu. Namun
ketika perusahaannya diujung kebangkrutan dan kehilangan kepercayaan pada orang
lain, ia hanya memandang orang lain dengan keraguan dan ketidakpercayaan.
Setiap hari, ayah akan mengeluh. “Terlambat
lagi?” ia akan bertanya pada Ibu. Suara marahnya membuat aku meringkuk
ketakutan, dan aku merasakan teror yang nyata sebagai seorang anak. Aku
penasaran bagaimana dia bisa mengatakan hal-hal ini dan marah pada Ibu. Saat
itu, ia adalah orang yang tidak masuk akal. Akar dari semua kejahatan. Aku
ingin ia berhenti menyalahkan Ibu atas segalanya. Dan Ibu hanya menerima
semuanya dalam diam. Dia mungkin menyadari bahwa membalasnya takkan membawa
kita kemana-mana. Karena tidak berdasarkan logika. Itu semua berpusat pada
perasaannya.
Aku melihat layar ponselku
lagi. Asamura-kun masih tidak menanggapi. Tapi ia punya pertemanan dan hubungan
sendiri, dan kami masih dalam karyawisata sekolah, jadi ia tidak punya waktu
luang tanpa batas. Aku hanya egois karena mengharapkan tanggapan segera. Aku mengerti
kalau aku seharusnya tidak merasa seperti ini. Kedengarannya memang tidak adil
merasa kesal karena ia belum bisa menyediakan waktu untukku. Aku tidak ingin
menjadi seperti ayah kandungku yang terus melontarkan pikiran buruk apa pun
yang terlintas di benaknya. Aku mengusap layar ponselku, dan mengetik pesan
baru.
'Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk menyediakan waktu. Kamu bisa memberitahuku
kapan itu yang terbaik untukmu.’
Setelah mengirim pesan itu, aku
mengangkat kepalaku.
“Hei, Maya.”
“Ada apa,sayaku? Perlu ke
toilet?”
“Bi-Bisa enggak mulutmu ini
tidak ngomong hal yang ngaco?”
Kami dikelilingi oleh
orang-orang. Mulut pispot apa yang mengatakan hal-hal kasar ini, ya?
“Ithyu syhakhit!”
“Aku sengaja membuatnya menyakitkan!
Jangan bercanda lagi, oke?”
“Ofay ofay, akwhu twhidyak
bhwecywanwa!”
Aku berhenti menarik pipinya
dan berdehem untuk kembali ke jalur semula.
“Aku hanya ingin tahu apakah
perutmu sakit karena ekspresimu yang tegang begitu. Ah, apa kau sesak?”
“… Aku akan menarik pipimu
lagi.”
“Maafkan aku!”
“Jangan bercanda melulu. Aku
hanya ingin tahu apa jadwal rencana kita setelah kita sampai di pulau.”
“Ah, benar. Selama kita bertemu
di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, pihak sekolah akan membiarkan kita
melakukan apa pun yang kita inginkan. Tapi itu membuat kami memiliki terlalu
banyak pilihan untuk dipilih, jadi aku mencari beberapa tempat yang
direkomendasikan dan menambahkannya ke catatan di grup LINE.”
“Oooh!” Anggota lain dari
kelompok kami mengeluarkan erangan kekaguman.
Satou-san bahkan ikut bergabung. “Itu sangat membantu! Wah,” gumamnya.
Dan dia benar. Karena kami diberi banyak kebebasan, dia bisa saja berleha-leha.
Namun dia mempertimbangkan setiap kemungkinan. Inilah yang membuatnya menjadi
orang yang bisa diandalkan.
“Universal Studios tepat
setelah kita turun dari jembatan. Dan sedikit lebih jauh ke barat, ada Mega
Adventure Park.”
“Hm. Menurutmu mana yang lebih
baik?” tanyaku, dan Maaya menyilangkan lengannya dan mulai berpikir.
“Tidak peduli ke mana kita
pergi, ada terlalu banyak hal untuk dilihat hanya dalam satu hari yang kita
miliki. Kecuali kalian memiliki ketertarikan khusus yang ingin kalian lihat.”
“Begitu ya.”
“Dan kita akan pulang dengan
bus yang sama nanti, jadi jadwal kita relatif padat. Jika terjadi sesuatu, pastikan
untuk tetap saling menghubungi. Di sekitar sini ada banyak wifi gratis,
setidaknya sejauh yang aku tahu.”
Kami semua anggota kelompok
berkata 'Okeee!' secara serempak,
seperti anak kecil setelah mendengarkan instruksi keselamatan. Jelas kami semua
memiliki kepercayaan besar pada pemimpin kelompok kami. Aku merasakan hal yang sama.
“Tapi secara teori, kita harus
mulai dengan yang terjauh. Berjalan-jalan dengan suvenir setelah membelinya
terlalu dini akan menjadi hambatan.”
Semua orang mengangguk. Segera
setelah itu, kami turun dari bus, dan setelah mempertimbangkan dengan
hati-hati, anak laki-laki memutuskan untuk pergi ke Mega Adventure Park,
sedangkan kami para gadis akan bertemu dengan teman Satou-san, Mio-chan di
tengah jalan, dan kemudian kami semua akan menuju ke Universal Studios
Singapura bersama. Kurasa anak laki-laki tidak bisa membanta melawan pesona 'Petualangan' seperti nama tempatnya.
“Belum lagi itu bukan sembarang
petualangan biasa! Tapi petualangan besar!” atau begitulah kata mereka, tapi aku
tidak tahu apa yang hebat tentang itu atau mengapa mereka bahkan
mempermasalahkannya. Maaya mengatakan bahwa anak laki-laki menyukai istilah
seperti 'mega' atau 'giga.' Dan mengingat dia memiliki
banyak adik laki-laki, argumen itu terdengar lebih meyakinkan. Kami para gadis
mulai berjalan ke gerbang tiket gedung Universal Studios. Bangunannya relatif
mudah dilihat, karena bagian depannya dihiasi dengan bola dunia biru besar yang
bertuliskan 'Universal' dalam huruf
abjad. Tapi saat kami semakin dekat, Maaya berbisik lembut ke telingaku.
“Kamu yakin akan ikut dengan
kami? Kupikir kamu takkan bisa pergi dengan cepat setelah masuk.”
Dia mungkin bertanya padaku
tentang pertemuanku dengan Asamura-kun. Namun, aku juga belum mendapat
tanggapan sejak kami turun dari bus. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa
hanya akan membuatku gelisah.
“Tidak apa-apa. Ayo kita
bersenang-senang saja.”
Itulah yang paling aku butuhkan
saat ini. Aku hanya bisa memikirkan sisanya begitu Asamura-kun benar-benar
mengirimiku pesan. Ia seharusnya sedang berjalan-jalan sendiri di suatu tempat.
Tidak apa-apa. Asamura-kun sudah bilang ia akan memberitahuku. Kami membeli
tiket dan kemudian masuk melalui pintu depan.
◇◇◇◇
Matahari sudah mencapai
puncaknya. Sinar matahari terasa lebih kuat dari kemarin, dan suhu pun naik
karenanya. Aku hampir melupakan bahwa kami baru setengah jalan di bulan
Februari. Kami diberi tahu bahwa hampir setiap hari hujan bisa turun karena
Singapura saat ini sedang mengalami musim hujan, tapi tidak ada awan yang
terlihat. Aku hanya berharap tabir suryaku berfungsi saat kami berjalan-jalan
di dalam taman hiburan. Sampai sekarang, kami hanya bersenang-senang. Kupikir aku
bisa sedikit lebih santai karena hanya ada golongan gadis. Yang paling
mengejutkanku adalah fakta bahwa Satou-san dari semua orang paling
bersenang-senang di rollercoaster. Dia ingin mengendarainya beberapa kali, jadi
aku berlindung di bawah atap dan melihat kepergian gadis-gadis yang ingin
menikmati wahana lagi. Jika dibiarkan terus, saraf telingaku tidak akan
bertahan pada tingkat ini. Aku bahkan merasa pusing saat memainkan game 3D di
layar lebar. Dan… aku juga sangat takut.
Aku menyambut kembali
gadis-gadis itu dan kami memutuskan untuk makan sesuatu di restoran taman. Kupikir
kami kemudian akan melihat beberapa atraksi lagi di sore hari, tetapi Maaya
mengatakan dia ingin melakukan lebih banyak tamasya. Dengan keputusan itu, kami
menuju ke Pantai Palawan. Sekitar pukul 3 sore, setelah matahari mulai bergerak
ke barat, cahaya matahari semakin redup. Aku berpura-pura memeriksa waktu di
ponselku tetapi malah melihat pesanku. Aku pikir aku telah melakukan itu lebih
sering begitu siang berlalu. Namun tidak ada pesan yang masuk.
Memang, kami dapat mengandalkan
wifi gratis yang disediakan oleh pemerintah, tapi aku tidak tahu kapan itu
terputus secara acak, jadi aku mem-boot LINE dan mengirim pesan lain kepada
Asamura-kun.
'Kelompokku
sedang menuju ke Pantai Palawan sekarang.'
Dari segi waktu, hal terbaik yang
bisa kami lakukan mungkin adalah berbelanja oleh-oleh nanti. Dan jika kami
ingin membuat kenangan bersama, wisata pantai juga merupakan tempat terbaik. Aku
takut mungkin kami akan berpapasan tanpa menyadarinya. Walaupun itu bukan
masalah besar, tapi itu salah satu yang ingin aku hindari. Aku menunggu
sebentar, tapi ia bahkan tidak membaca pesanku. Aku menjadi sedikit khawatir,
bertanya-tanya apakah sesuatu telah terjadi.
“Aku
akan menunggu di sana, dan aku akan memberitahumu jika kami pindah tempat
lagi.”
Aku sangat berharap pesanku bisa
sampai kepadanya…
“Baiklah, waktunya jalan!”
Saat Maaya mengatakan itu, aku
berdiri. Dan kemudian kami mulai bergerak menuju tempat terakhir kami hari itu.
◇◇◇◇
Pulau Sentosa berbentuk seperti
segitiga terbalik, dengan area selatan mencuat, meski sulit dilihat di peta.
Dan Pantai Palawan yang dimaksud berada di wilayah barat daya (membentang dari kiri atas ke kanan bawah).
Jika menurut peta, wilayah pantainya terlihat seperti pantai berbentuk angka 3.
Dan dari Universal Studios, area pantainya hanya berjarak 2 km, yang kira-kira
dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit. Kami melihat bahwa itu
adalah jarak yang dapat kami tempuh dengan berjalan kaki, jadi kami segera
memulai perjalanan. Kita mungkin juga menikmati pemandangan di jalan.
“Jika kita tersesat, kita bisa
meminta Saki menanyakan arah kepada seseorang.”
“Aku?!”
“Lagipula, kamu adalah penutur
bahasa Inggris paling mahir di antara kami semua,” kata Maaya dan Satou-san
mengangguk.
A-Aku
tidak semahir itu... atau begitulah yang ingin kukatakan, tapi kalau
dipikir-pikir, hanya aku yang benar-benar berbicara dengan Melissa kemarin.
Kami berjalan menuju pantai berjalan di belakang Universal Studios tempat kami
baru saja keluar. Pintu keluar yang kami gunakan seperti pusat perbelanjaan
dengan banyak restoran. Karena kami sudah makan siang, kami tidak memiliki niat
untuk memeriksanya, tapi kami masih bisa mendengar sorakan dari pelbagai atraksi.
Kami meninggalkan daerah itu
dan menyusuri jalan setapak yang mungkin merupakan jalan utama. Kami bisa
sekali lagi melihat langit biru jernih di atas kami. Sinar matahari pasti
kurang intens dari sebelumnya, tapi masih cukup kuat, yang membuat mataku sakit
saat melihat ke atas, dan keringat mulai menumpuk di kulitku. Suhunya juga
naik.
“Dengan cuaca seperti ini, aku jadi
ingin punya payung,” kata Maaya dan Satou-san mengangguk sekali lagi.
Ya, cuaca ini pasti membawa
risiko terkena sengatan panas. Terutama karena kami hanya berjalan di sepanjang
jalan seperti ini. Bagian kiri dan kanan kami adalah hutan, dan kami merasa
seperti sedang berjalan menembus melalui hutan, tanpa toko atau tempat
peristirahatan lain yang terlihat.
“Kudengar ada hotel raksasa di
seberang hutan sini,” kata Maaya.
Dia pasti berbicara tentang
hotel bintang lima yang bisa kita lihat di peta itu sendiri. Padahal pepohonan
menghalangi pemandangan saat ini. Dan di antara deretan pohon itu tumbuh
pohon-pohon palem seolah-olah mereka selalu ada sejak awal.
“Ah, lautnya…”
Ketika aku mendengar suara
Satou-san, aku segera menoleh untuk melihat lurus ke depan. Di kejauhan, aku
bisa melihat warna biru yang berbeda, dan ombak menerjang pantai secara
berkala.
“Uwahhhh!” Maaya tersentak.
“Lautnya bisa kelihatan!
Bagaimana kalau kita mulai berlari ke arahnya dan kemudian melompat pada saat
yang bersamaan?”
“Tolong jangan. Kamu hanya akan
menyakiti dirimu sendiri.”
Bagian yang menakutkan tentang
Maaya adalah dia benar-benar akan melakukan hal seperti itu jika kamu tidak
memberitahunya dengan cepat.
“Tapi itu rasanya benar-benar
masa muda banget.”
“Dan apa yang akan dipikirkan
oleh semua penduduk dan turis jika mereka melihat seorang gadis muda
meneriakkan sesuatu dalam bahasa asing saat dia berlari di jalan?”
“Sungguh ceria sekali gadis itu,
mungkin?”
“Aku tidak akan menyangkal itu,
tapi tetap saja…”
“Narasaka-san, kamu seharusnya
tidak—”
“Ayo, Ryou-chan, kamu sudah
bisa memanggilku Maaya.”
“…Maaya-san. Itu sesuatu yang kamu
lakukan saat menginjakkan kaki di pantai berpasir, bukan?
“Oh, benar juga! Ryou-chan,
kamu jenius!”
Maaya membuat tanda peace dengan jarinya dan mengulurkannya
ke arah Satou-san. Teman Satou-san menyebutkan bahwa dia belum pernah
melihatnya terbuka secepat ini dan dia hampir sedikit iri.
“Mari kita mulai tarian pemandu
sorak di pantai berpasir dengan bahu kita bersama!" Maaya tiba-tiba
mengungkit ide aneh lainnya.
“Hal itu takkan terjadi.”
“Jika kamu meregangkan kaki dan
mengambil foto, aku yakin kakakmu juga akan senang.”
“Mustahil!”
…Ah, aku tidak bermaksud berteriak
seperti itu.
“Jadi kamu punya kakak laki-laki,
Ayase-san? Atau apa ini mengenai… lebih banyak pembicaraan tentang memiliki
atribut adik perempuan?” Kata Satou-san.
“Yah, um, sebenarnya… aku punya
satu.”
“Enak, ya. Karena aku anak
tunggal, jadi aku selalu menginginkan saudara.”
“Dan dia benar-benar menyukai
kakaknya.”
“Aku jadi sedikit cemburu.”
“Ini tidak ada hubungannya
dengan apa pun!” Aku terus memprotes dan mencoba mengakhiri pembicaraan, tapi
Maaya masih menyeringai padaku.
“… Ia masih belum menghubungimu,
ya?”
“Ugh…” aku mengangguk lemah.
Dia benar-benar bisa menebak
semuanya. Semakin kami berjalan, semakin besar laut mulai terlihat. Aroma asin
mulai melayang ke arah kami juga, dan itu menggelitik hidungku. Setiap kali
berada di negara selatan, kamu selalu mendapatkan aroma berbatu ini. Kemudian
lagi, itu masuk akal. Lagipula itu terhubung ke laut. Akhirnya, pantai
terbentang di kiri dan kanan kami.
“Wow! Warnanya putih bersih!”
Ujar Satou-san dengan kagum.
Di luar pantai ada laut biru
dan langit biru. Dan secara diagonal ke kanan, kami bisa melihat sebuah pulau
kecil.
“Itu Pulau Palawan. Kamu bahkan
dapat melihat jembatan gantung yang terkenal.”
Ada jembatan kecil dan sempit
yang menghubungkan sisi kami ke pulau. Tampaknya… panjangnya sekitar 50 meter.
Jembatan itu juga hampir tidak tergantung di atas permukaan air.
“Apa itu tempat yang terkenal?”
“Yah, selalu ada fotonya, tidak
masalah jika kamu memeriksa buku panduan, pamflet, atau situs web Pantai
Palawan.”
"Jembatan itu...
kelihatannya tidak terlalu bisa diandalkan.”
“Tidak masalah, Ryou-chan.
Kedalamannya hampir satu meter di sana, dan ada tali di kedua sisi untuk
memastikan kamu juga tidak jatuh.”
Seperti yang dikatakan Maaya,
ada jaring seperti tali di kedua sisi yang terlihat seperti rel pemandu.
“Begitu… ya?”
Kurasa dia ada benarnya.
“Pokoknya, ayo pergi! Karena
Pulau Palawan sangat kecil, kita harusnya bisa melakukan tur singkat dan
kemudian berjalan kembali!”
“O-Oke.”
Tapi apa kami benar-benar akan
berjalan melintasi jembatan itu? Setelah kami menyusuri jalan setapak di
sepanjang pantai berpasir, kami sampai di papan reklame dengan peraturan dan
mendengarkan pemandu di sana. Gerbang tinggi di depan kami kemudian terbuka,
saat kami berjalan di sepanjang jalur hijau, kami akhirnya mencapai awal
jembatan. Pengungkapan yang tiba-tiba ini membuat jantungku berdetak kencang.
Apa tempatnya sengaja dibangun seperti ini?
“Berlarian di sini bisa
berbahaya, jadi mari luangkan waktu kita untuk berjalan, oke?”
Memangnya kamu perlu mengatakan
itu, Maaya? Kamu adalah orang yang terus berlari ke depan. Tapi dia tidak
salah. Setiap kali seseorang melangkah di jembatan, jembatan itu berguncang
dengan lembut ke kiri dan ke kanan. Bagiku, seluruh cobaan ini jauh lebih
menakutkan daripada rollercoaster mana pun yang aku naiki hari ini. Saat
berpapasan dengan seseorang yang kembali dari pulau, seseorang harus
mencondongkan tubuh ke kiri atau ke kanan untuk menghindari mereka, yang mana membuat
jembatannya semakin berguncang. Parahnya, kami masih terus bertemu mereka dari
waktu ke waktu. Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, dan meskipun aku
tahu aku tidak bisa jatuh, aku benar-benar tidak menyukai sensasi semacam ini.
Akhirnya, kami akhirnya mencapai pantai, dan memiliki tanah yang kokoh di bawah
kakiku membuatku menghela nafas lega. Saat kami berjalan di sepanjang pantai
itu, kami sudah bisa melihat laut di seberang.
“Ini benar-benar pulau yang kecil!”
Maaya benar. Sejujurnya itu
sangat mengecewakan. Setidaknya berjalan-jalan di seluruh pulau seharusnya
tidak memakan waktu terlalu lama. Kelompok kami kembali melanjutkan perjalanan,
mengambil pasir dari pantai berpasir, dan kami menghabiskan waktu menatap ombak
dengan angin sepoi-sepoi bertiup ke arah kami. Meskipun suhu panasnya sudah
agak berkurang, tapi aku merasa kelelahan jadi aku duduk di kursi acak yang
kebetulan tersedia di sana.
“Besok kita sudah pulang, ya…?”
kata Maaya.
“Rasanya hampir tidak nyata.
Tapi kami pasti bepergian ke luar Jepang, ”kata Satou-san sambil memotret
sebuah kapal besar yang berlayar di laut lepas.
Dia tampak agak kecewa karena
cahaya dari matahari tidak cukup untuk memantulkan semuanya dengan baik.
“Kita bahkan tidak bisa melihat
banyak tempat, ‘kan? Aku jadi ingin datang sekali lagi!”
“Memangnya kita benar-benar
bisa?”
“Jika biaya perjalanan tidak
terlalu menjadi masalah, kami bisa datang setiap minggu. Tapi ini sungguh
tempat yang bagus. Banyak pemandangan yang indah dan aman, tetapi rasanya
sangat merepotkan jika kamu payah dalam bahasa Inggris.”
“Tapi kamu masih bisa, ‘kan? Kamu
hanya tidak bisa melakukan percakapan yang benar, ” balasku kepada Maaya.
“Aku cuma tinggal menggunakan
jasa pemandu saja.”
“Kamu tidak mengacu padaku,
kan?”
“Hei, Saki, apa kamu ingin
berbulan madu di sini di Singapura?”
"Kamu sebaiknya jangan
menggunakan bulan madu orang lain sebagai alasan untuk ikut dengan mereka dalam
perjalanan.”
Ide-ide apa yang sedang dia
buat? Setelah istirahat sejenak, kami memutuskan untuk kembali ke pulau utama.
Setelah mencapai pantai, aku berbalik sekali lagi. Matahari mulai tenggelam di
bawah cakrawala, tapi langitnya masih terlihat biru. Di Jepang, saat ini senja
perlahan berubah.
“Langitnya masih terlihat
cerah, ya?”
“Bahkan setelah jam 7 malam,
matahari masih belum terbenam.”
“Aku dengar matahari terbenam
di Singapura terjadi sekitar pukul 19.20,” kata Satou-san kepada kami.
“Hm? Ryou-chan, apa kamu
mencarinya secara online?”
“Ya.”
“Oh, kamu benar! Kita ’kan
punya wifi di sini… Ah!” Maaya tiba-tiba terlihat seperti dia mengingat sesuatu
dan menoleh ke arahku. “Kamu ingin tetap di sini?”
“Hah?”
Apa yang dia bicarakan?
“Ada satu halte bus dari sini
ke titik pertemuan, jadi bisakah kita melanjutkan? Kami akan menunggu di toko
suvenir.”
Kata-kata Maaya membuatku
mengingat pesan yang telah kukirim ke Asamura-kun.
'Kami
sedang menuju ke Pantai Palawan sekarang.'
‘Aku
akan menunggu di sana, dan aku akan memberitahumu jika kami pindah.’
Aku sudah berkata kalau aku
akan memberitahunya jika kami pindah lagi. Tapi di Pulau Palawan, kami berada
di luar jangkauan wifi gratis. Jika aku tidak memberitahunya sekarang, aku
harus menunggu di sini sepanjang waktu.
"Kurasa ini mungkin tempat
terakhir yang bisa kita lihat dengan pemandangan yang begitu indah.”
“Ah, kamu berencana untuk
bertemu seseorang?” perkataan Satou-san menyebabkan jantungku berdetak kencang.
“Bagaimana kamu…”
“Yah, kamu kelihatan gelisah
selama ini.”
Maaya tertawa terbahak-bahak
saat mendengarnya.
"Kurasa sudah waktunya
untuk menghentikan akting 'Gadis jutek'mu,
Saki!”
Gadis jutek… Nama panggilan
macam apa itu? Aku tidak pernah melihat diriku sebagai orang yang jutek atau
jauh. Aku hanya mencoba menjalani hidupku seperti yang aku inginkan tanpa
terbawa arus.
“Masih ada sinar matahari yang
tersisa. Kamu akan dapat menemukannya dengan mudah jika tinggal di sini. Tapi
pastikan untuk kembali tepat waktu untuk pertemuan.”
“Dan aku juga ingin membeli
oleh-oleh,” kata Satou-san.
“Kita bisa melakukan itu, bukan
masalah besar! Ngomong-ngomong… kami akan menyusulmu nanti, Saki.”
“Selamat bersenang-senang.”
“…Hah? Apa kamu yakin?”
Bahkan sebelum aku bisa mengatakan
apa-apa, mereka berdua sudah pergi dengan Maaya mengacungkan jempol dan
menggerakkan mulutnya sambil berkata: “Semoga
berhasil.” Aku bersumpah, dia selalu memaksa begitu… Melihat keduanya
berjalan menuju jalan utama, aku menghela nafas dan mengeluarkan ponselku. Dia
benar, aku masih memiliki koneksi wifi. Tapi aku tidak menerima panggilan atau
pesan apa pun. Aku melihat sekelilingku dan kemudian kembali ke jembatan
gantung lagi. Setelah mencapai pusat, aku berhenti.
Matahari bergerak menuruni
langit dan menuju ujung cakrawala. Sang mentari mulai terlihat lebih kecil dan
lebih kecil. Dan saat aku berdiri di tengah jembatan, dikelilingi oleh air,
rasanya seperti memasuki duniaku sendiri. Aku bisa mendengar suara
burung-burung yang terbang jauh di atas kepalaku, ombak yang saling
bertabrakan, dan angin mendesis melalui jaring jembatan. Dan sesekali, aku bisa
mendengar peluit dari perahu di kejauhan.
Dari segi waktu, sepertinya
sebagian besar turis telah pulang pada hari itu, dan tidak ada orang lain yang
datang untuk menyeberangi jembatan, memungkinkan diriku untuk fokus hanya pada
suara di sekitarku. Ketika aku melihat ke pantai, aku melihat masih ada
sekelompok orang yang berkeliaran. Dan kemudian aku mendengar suara-suara
mendekat. Seorang pria dan wanita datang dari Pulau Palawan, jadi aku buru-buru
memberi ruang untuk mereka. Mereka pasti pasangan pengantin baru. Mereka berpegangan
tangan sambil tersenyum satu sama lain, melewatiku dengan cepat seraya
mengatakan “Excuse me” ketika mereka
melewatiku, aku melihat sekilas ke arah mereka lagi, saat mereka melihat
matahari terbenam dengan kagum.
Dengan laut di kedua sisinya,
melihat matahari terbenam di cakrawala jelas merupakan pemandangan yang langka.
Aku yakin itu akan menjadi kenangan indah bagi mereka. Dan setelah mereka
berjalan beberapa langkah, mereka melihat ke barat seperti yang aku lakukan
sebelumnya. Pria itu bergerak untuk memeluk bahu wanita itu dengan erat, saat
mereka saling memandang, dan — aku menyadari kalau aku terlalu kama menatap mereka
dan dengan panik mengalihkan pandanganku.
Tidak sopan menatap seperti
itu. Akhirnya, mereka berdua berpisah dan berjalan lebih jauh menyusuri
jembatan, membuatku menghela nafas lega. Mereka bahkan tidak peduli dengan
kehadiranku yang ada di sana. Hal tersebut membuatku sadar bahwa aku telah
datang jauh dari Jepang. Apa ini karena kami berada di luar negeri? Atau karena
keduanya begitu asyik satu sama lain? Mungkin saja karena anggapanku masih
kuno?
“Bagusnya.”
Aku menyadari apa yang baru
saja kukatakan dan dengan cepat menutup mulutku karena terkejut. Dan aku
melihat sekeliling dengan panik untuk melihat apa ada orang yang mendengarku.
Keseimbangan antara hasrat dan nalar—tidak peduli waktu dan periodenya, hampir
selalu berakhir sebagai dua garis paralel.
Shirakawa no kiyoki ni gyo mo
sumikanete
Moto no nigori no Tanuma
koishiki*
Aku ingat sedikit pengetahuan
dangkal yang aku dapatkan selama kelas sejarah Jepang. Ketika aku memikirkan
orang-orang seperti itu melakukan apa yang mereka suka di depan orang lain, aku
juga diingatkan bahwa manusia juga binatang dan itu adalah naluri mereka. Dibandingkan
dengan itu, aku masih merasa ragu-ragu dengan Asamura-kun. Aku khawatir aku
terlalu memaksakan keinginanku… Tidak, bukan itu. Aku takut mengungkapkan
keinginanku yang sebenarnya. Meskipun kami mengatakan betapa pentingnya
menyesuaikan diri satu sama lain.
Dan agar itu bisa terjadi, aku
perlu mengungkapkan jati diriku secara terbuka sejak awal. Tidak apa-apa jika orang
lain mulai tidak menyukaiku. Aku harus mengungkapkan keinginanku sendiri. Apa
yang terjadi setelahnya… Aku akan mengkhawatirkannya nanti. Aku terlalu
terburu-buru. Aku mengepalkan ponselku dan berjalan menyusuri jembatan. Setelah
mencapai pantai, aku memastikan aku masih memiliki koneksi wifi.
'Aku
sedang menunggu di jembatan gantung di Pantai Palawan. Silakan datang.'
Aku membuat tempat pertemuan
kami sejelas mungkin. Namun alih-alih hanya mengatakan 'Aku akan menunggu di sini,' aku memutuskan untuk lebih tegas dan
memintanya untuk datang. Tepat setelah itu, aku mendapat pemberitahuan baca di
pesanku.
'Maaf
sudah membuatmu menunggu. Aku sedang dalam perjalanan sekarang.’
…Apa? Aku segera mengangkat
kepalaku, tapi aku tidak bisa melihatnya di kejauhan. Sekarang… Kapan itu akan
terjadi? Karena merasa khawatir, aku bergegas kembali ke jembatan gantung. Aku
bisa melihat bayanganku dari matahari yang perlahan menghilang di balik
cakrawala. Rasanya seperti kegelapan malam perlahan merayapiku. Kegelisahan dan
pikiran sempit adalah bagian darinya.
Kemudian, jembatan gantung sedikit
bergetar. Aku bisa mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku memalingkan muka
dari matahari terbenam dan berbalik. Aku melihat seorang anak laki-laki berlari
ke arahku, terengah-engah, dan dadaku sesak. Aku bisa tahu siapa itu hanya dari
siluetnya saja. Terengah-engah, bersimbah keringat, Asamura-kun berlari ke
arahku dan berbicara.
“Maaf… Ternyata aku butuh waktu
lama untuk ke sini…”
Melihat kedatangannya saja
sudah membuatku lega, semua kecemasan dan kekhawatiran yang mengisiku langsung sirna
seketika. Apa yang terjadi yang menyebabkan ia begitu lama? Kenapa dia akhirnya
tiba di sini selarut ini? Ada banyak sekali pertanyaan yang memenuhi kepalaku
meskipun aku tahu Asamura-kun pasti punya alasan yang sah untuk menjadi seperti
ini. Logika mendikte pemikiran ini. Namun, aku menyadari bahwa menahan diri
sepanjang waktu akan membuat hal-hal tidak tersampaikan. Aku tidak bisa begitu
saja menghapus kegelisahan dan pikiran sempit yang baru saja memenuhi kepalaku.
Dan semua perasaan ini… sama seperti ayahku yang menyalahkan Ibu. Ia berselisih
dengannya, mengamuk padanya, dan mengecewakannya. Dan begitulah semuanya
berakhir.
“Aku sudah menunggu lama
sekali, tau.” kataku, dan ekspresi Asamura-kun menjadi kaku karena menyesal.
Aku bisa melihat ekspresi wajah
ibuku dari bertahun-tahun yang lalu di wajahnya. Itu sebabnya aku melanjutkan.
“Tapi karena kamu datang
untukku, jadi…” kataku padanya dan ingat bahwa ada sesuatu yang lebih penting
yang perlu kukatakan.
Aku berjalan ke arahnya dan
memeluknya dengan kedua tanganku.
“Aku senang kita bisa bertemu
satu sama lain.”
Dan saat warna matahari
terbenam melebur ke langit di atas kami, siluet kami berubah menjadi satu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya
________________________________________
*Sebuah sajak komedi dari
periode Edo, dan pada dasarnya bermuara pada “Daripada Matsudaira saat ini, aku lebih memilih mantan Tanuma.”
Mereka berdua sama-sama penguasa, dan sementara Tanuma sedikit lebih longgar
dalam hal keputusan politik, orang-orang lebih memilih itu daripada Matsudaira
yang lebih ketat setelahnya.