Bab 11 — 20 Februari (Sabtu) Hari Keempat Jalan-Jalan Sekolah (Hari Terakhir) — Asamura Yuuta
Hujan terus mengguyur tanpa
henti di Bandara Changi hari ini, seakan-akan ingin melakukan pembalasan atas
cuaca cerah yang kami alami selama beberapa hari terakhir. Langit sekarang
dipenuhi awan kelabu, dan tetesan air perak jatuh ke tanah. Meski begitu, hal
tersebut takkan berpengaruh pada penerbangan kami, jadi kami hanya menjalani
prosedur yang sama saat pertama kali berangkat di Jepang dan mulai berjalan
dari ruang tunggu. Setelah melewati gerbang, kami kemudian naik ke pesawat.
Aku yakin kalau ini kebetulan
bahwa aku duduk di kursi yang sama saat dalam perjalanan ke sini, tapi saat aku
menatap ke luar jendela, pemandangannya sama sekali berbeda. Atau lebih
tepatnya, aku bahkan tidak bisa melihat langit. Tetesan air hujan menghantam
jendela, dan segala sesuatu di luar jendela tampak buram. Aku sedang menghitung
tetesan yang bisa aku lihat dan bersandar di kursi ketika ada suara yang
mengahak berbicara dari sebelahku.
“Kelihatannya kamu sangat damai
hari ini, ya?”
“Aku merasa aku bisa melewatinya
dengan lancar bahkan jika kita jatuh sampai mati.”
“Jangan ngibul terus, deh.”
“Sudah kelihatan jelas, ya?”
“Aku lebih suka bertaruh pada
fakta bahwa iblis sendiri yang akan menyuruhmu pulang.”
“Jadi kamu sudah memutuskan
bahwa aku akan berakhir di neraka?”
“Jika Yoshida tahu tentang ini,
ia pasti akan mengatakannya,” kata Maru dan melirik ke sampingnya.
Sama seperti ketika kami tiba
di hari pertama, kami duduk dalam barisan empat, dimulai denganku yang di
sebelah jendela, diikuti oleh Maru dan Yoshida. Yang terakhir sedang sibuk berbicara
dengan tetangga gadisnya—
“Meski kamu bilang begitu, tapi
sepertinya ia cukup puas.” Aku berbisik kembali ke Maru.
Alasannya cukup sederhana.
“Mereka bahkan bertukar ID
LINE,” kata Maru.
Ia sudah bekerja keras, jadi aku
pikir hadiahnya lebih dari pantas.
“Tapi kenapa kamu malah
melampiaskannya padaku seperti ini?”
“Yah, dengarkan aku dulu. Apa
aku perlu memberitahumu kalimat pemilik penginapan dari game paling terkenal di
dunia?”
“Dan apa itu?”
“Kamu kelihatannya tidur
nyenyak, aku—”
“Aku tidak pulang selarut itu,
oke ?!”
Kurasa aku mengatakannya
sedikit lebih keras dari yang aku duga karena bahkan Yoshida dan orang-orang di
sekitar kami menoleh untuk melihatku. Sungguh gambaran yang disesalkan yang dia
lukis untukku. Aku berharap ia tidak meracuni pikiranku seperti itu. Yang kami
lakukan setelah itu hanyalah menyaksikan matahari terbenam bersama dalam diam
dan kemudian kembali ke hotel bersama. Dari cara bicaranya yang mengatakan itu,
Maru pasti menyadari hubungan seperti apa yang Ayase-san dan aku miliki. Ia
bahkan menggunakan kata 'hubungan'
dalam pesannya kepadaku sebelumnya. Dan kelihatannya ia belum selesai, karena
ia menyipitkan matanya saat aku membersihkan tenggorokanku.
“Jadi apa yang terjadi?”
... Aku sudah menduga kalau
akhirnya akan menjadi begini. Tapi sekali lagi, dengan begitu banyak orang di
sekitar kita, itu bukanlah sesuatu yang dapatku nyatakan dengan lantang dan
percaya diri. Itu sebabnya aku menyatakannya seambigu mungkin.
“Yah ... semuanya berjalan
dengan lancar.”
“Aku tahu itu.”
Komentar Maru membuatku
mengangguk pasrah, tapi itu membuatku berpikir tentang bagaimana ia bisa
mengetahuinya. Aku tidak pernah menyebutkan bahwa aku pergi menemui Ayase-san.
Bagaimana ia bisa tahu? Mana mungkin dari Ayase-san sendiri.
“Boleh aku bertanya bagaimana
kamu bisa mengetahuinya?”
“Sayangnya aku tidak bisa
memberi tahu informasi pribadi apa pun tentang klienku.”
“Biro detektif macam apa yang
kamu masuki?”
“Ngomong-ngomong, aku senang semuanya
berjalan lancar. Apa kamu akhirnya mau mengakui sebanyak itu?”
“Yah…”
Dalam perjalanan pulang kembali
ke hotel, Ayase-san dan aku mendiskusikan beberapa hal. Dia meminta maaf karena
membuat kesalahan dengan membiarkan Narasaka-san mencari tahu tentang hubungan
kami, tapi aku baru saja menyebutkan bahwa Maru mungkin sudah mengetahuinya
juga, jadi kami sama-sama canggung. Dan kemudian kami memutuskan bahwa kami
akan berhenti mencoba memaksakan hal-hal untuk tetap tersembunyi. Hubungan kami
mungkin bukan sesuatu yang bisa kami pamerkan di depan umum, tetapi itu bukanlah
sesuatu yang harus kami korbankan demi menyembunyikan keinginan kami.
Hubungan kami sebagai saudara
dan kekasih mungkin akan ditanggapi dengan tatapan hina oleh pasangan lain di
dunia ini. Meski begitu, kami berdua sudah menempuh jalan ini sampai pada titik
di mana kami tidak ingin berbalik lagi. Kehangatan yang kami rasakan saat
saling berpelukan di jembatan itu adalah sesuatu yang kami berdua hargai.
“Aku harus melangkah di tempat
yang diperlukan, iya ‘kan?”
“Kamu bukan semacam peramal...
Aku tidak mengira semuanya akan berakhir seperti ini.”
“Benarkah? Yah… semua yang
sudah membuatmu menghangat mungkin akan sedikit mendingin ketika ujian masuk
sudah dekat.”
Ia membuatnya terdengar seperti
itu sebabnya ia memberi aku dorongan. Rasanya aku hanyalah bidak dalam drama
yang disutradarai oleh penangkap terbaik SMA Suisei di klub bisbol. Meskipun
aku tidak menyadarinya sedikit pun.
“Aku yakin kalau kamu sadar,
tapi cobalah untuk tidak berlebihan. Kalian akan menjadi peserta ujian mulai
April mendatang.”
Dan sekarang dia menyuruhku
untuk tidak berlebihan… Memangnya ia tidak menyadari apa yang sudah ia lakukan
kepadaku dan Ayase-san?
“Kamu bukan ibuku.”
“Wahai sohibku, kamu mungkin
tampak rasional sekarang, tapi itu karena pengalaman masa lalumu lah yang
membuatmu mengerem saat diperlukan. Jangan terlalu mempercepat hubungan kalian sekarang.”
“Ya, ya.”
“Hei, apa yang kalian
bicarakan?” Yoshida menoleh ke arah kami.
“Kami membicarakan kalau aku
membantu Asamura dengan studi ujian masuknya.”
“Ughh, kamu sudah
mengkhawatirkan itu ?!”
“Yoshida… Kamu tahu bahwa kita
semua akan menjadi peserta ujian sebulan lagi, tau?” Kata Maru, dan Yoshida
mengerang.
“Aku tidak mau memikirkan itu!”
“Waktu tidak berhenti untuk
siapa pun.”
Dan sekarang ia berganti
pekerjaan dari seorang peramal menjadi orang bijak. Mesin yang kami tumpangi
bergetar sebentar karena berakselerasi di landasan. Garis air menjadi semakin
horizontal. Pada saat aku merasa diriku ditekan ke kursi, kami sudah berandar
ke belakang, dan kami menyerbu ke atas melalui awan hitam. Pesawat berguncang
lebih keras daripada yang terjadi dalam perjalanan kami ke sini, dan tanda
sabuk pengaman tidak mati.
“Aku benar-benar ingin
mengingat saat-saat terakhir sebelum kita meninggalkan tempat ini…” kata Maru
dengan nada menyesal, dan Yoshida menjawab tanpa khawatir.
“Kamu bisa datang lagi, ‘kan?”
Setelah mendengar itu, aku
setuju. Kami selalu bisa datang lagi. Ayase-san dan aku… bersama. Dan begitu
pesawat berhasil menembus awan hitam, kami disambut dengan langit biru yang tak
berujung. Tanda sabuk pengaman juga dimatikan. Tepat di bawah kami, kami masih
bisa melihat garis pantai Singapura. Dan selama seluruh penerbangan kembali, aku
bahkan tidak tidur semenit pun. Aku akhirnya bisa menikmati makanan pesawat
terkenal yang sudah sering aku dengar.
◇◇◇◇
Saat kami sampai di Jepang,
matahari sudah mulai terbenam. Setelah masing-masing kelompok saling
membubarkan diri di bandara, Ayase-san dan aku menunggu kereta kami dan
menaikinya. Dibandingkan dengan saat kami berangkat beberapa hari yang lalu,
tempat ini jauh lebih ramai, tapi karena ini adalah perhentian pertama, kami
dengan mudah menemukan tempat duduk. Dengan sensasi goncangan yang kuat, kereta
mulai bergerak. Seperti yang bisa dibayangkan, kami berdua sangat kelelahan.
Kami kebanyakan hanya menguap, dan tidak ada percakapan yang tepat yang muncul.
Setelah keheningan singkat, aku
menyadari bahwa ada sedikit beban di pundakku. Ketika menoleh ke samping, aku
melihat Ayase-san bernafas dengan lembut saat dia tertidur. Aku pernah
melihatnya tertidur beberapa kali dari kejauhan, tapi kurasa ini mungkin
pertama kalinya aku melihat wajah tidurnya dari jarak yang begitu dekat. Aroma wangi
rambutnya menggelitik hidungku. Dan bulu matanya sangat panjang… Semua hal
kecil ini menarik perhatianku.
Bersamaan dengan nafasnya yang terdengar pelan, dadanya perlahan bergerak naik turun. Aku hampir bisa merasakan denyut nadinya menjalar ke arahku, yang membuat detak jantung aku melonjak. Ketika aku menyadari hal ini, aku menjadi khawatir bahwa Ayase-san mungkin bisa merasakannya juga. Oh iya, saat kami mengunjungi rumah kakekku, kami tidur di kamar yang sama, tapi meski begitu, aku tidak sempat melihat wajah tidurnya. Saat ini, dia terlihat sangat tidak berdaya. Ketika menyadari bahwa hubungan kami semakin dekat membuatku merasa hangat dan bahagia.
—Tapi
itu karena pengalaman masa lalumu lah yang membuatmu mengerem saat diperlukan.
Perkataan Maru mendadak
terlintas di benakku. Mengerem, ya? Apa aku sudah membuka hatiku padanya
seperti yang dia lakukan padaku? Mungkin aku harus mencoba membawa posisi kami
ke level yang setara? Lagi pula, mengandalkan orang lain di saat-saat seperti
ini sangatlah penting. Setiap goncangan gerbong kereta menyatu menjadi satu
untuk menciptakan ritme yang menyenangkan saat tubuhku digoyang lembut ke kiri
dan ke kanan. Meskipun aku yakin rasanya akan jauh lebih menyenangkan jika semuanya
tetap tenang.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya