Bab 12 — 20 Februari (Sabtu) Hari Keempat Jalan-Jalan Sekolah (Hari Terakhir) — Ayase Saki
*CATATAN: Ya, tidak ada epilog
maupun kata penutup. Jilid berikutnya keluar pada tanggal 25 April 2023.
Satu-satunya agenda yang
tersisa ialah pulang kembali ke Jepang. Aku selesai membeli oleh-oleh terakhirku
di bandara, dan sambil menunggu semua pemeriksaan selesai, aku membuka aplikasi
YouTube aku. Ketika aku mengetik 'Melissa
Woo', aku langsung menemukan channel, dan aku bisa melihatnya dakam
thumbnail. Dia memiliki 837 subscriber—atau 838 sekarang berkat diriku. Tapi
sejujurnya aku tidak tahu apakah jumlah segitu banyak atau tidak. Aku biasanya
tidak epot-repot untuk berlangganan saluran. Yang aku tahu adalah ada 800+
orang di dunia yang mendengarkan lagu-lagunya.
Jumlah tersebut jauh lebih banyak
daripada jumlah siswa kelas 3 yang ada di SMA Suisei. Dibandingkan dengan itu,
aku malah merasa gugup hanya bernyanyi di depan beberapa orang di karaoke. Dan
dia tidak punya masalah bahkan bernyanyi di panggung besar di restoran itu. Aku
memutuskan untuk menonton salah satu videonya. Melihat tanggal unggahannya, dia
biasanya mengeluarkan lagu baru setiap tiga bulan. Aku mendengarkan beberapa,
tetapi masing-masing dinyanyikan dengan penuh semangat. Bertentangan dengan
kepribadian dan sikapnya, dia tampak sangat rajin dalam hal musik. Lagu
terbarunya diunggah dua hari yang lalu, mungkin tepat setelah dia berpisah
denganku. Meskipun dia mengatakan kalau dia akan pergi untuk menonton anime
larut malam.
Melalui pertemuan dengannya, aku
belajar betapa pentingnya menemukan tempat yang memberiku kedamaian dan
kelegaan mutlak. Di mana aku bisa terbuka tentang segalanya. Oleh karena itu, aku
menambahkan komentar di video tersebut, dengan mengatakan, “Aku dapat mendengarkan ini selamanya. Terima
kasih telah memberiku keberanian,” dalam bahasa Inggris. Menjaga agar
semuanya tetap ambigu dengan apa yang aku tinggalkan dan hal-hal yang aku bawa.
Aku ingin tahu apakah dia akan menyadari itu kalau komentar itu dariku. Nama
penggunaku adalah 'saki', tapi tidak
masalah jika dia tidak menyadarinya.
“Sakiii! Kita akan jalannn!”
Suara Maaya membuatku
mengangkat kepalaku. Dia duduk di barisan teman sekelas lainnya,
melompat-lompat saat dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku menunjukkan
senyum masam, tapi, anehnya, tidak merasa terlalu malu—Oke, mungkin sedikit.
Dia harusnya tidak perlu melakukannya sejauh itu. Aku masih akan berhati-hati
lingkunganku.
Di Bandara Narita, semua orang
pulang ke rumah masing-masing. Aku menghubungi Asamura-kun dan memutuskan
tempat untuk bertemu. Kami naik kereta dan duduk bersebelahan. Kami kemudian
saling bercerita tentang perjalanan kami. Apa yang menyenangkan, apa yang
menegangkan… dan betapa indahnya matahari terbenam yang kami saksikan bersama
di jembatan gantung. Saat matahari terbenam, sinarnya menyinari cakrawala untuk
menciptakan kilau putih yang indah, mewarnai laut biru dengan warna ungu tua.
Dan saat warna laut berubah, kami berdua sama-sama menatapnya, dalam pelukan hangat
satu sama lain.
Tetapi karena kami berdua lelah
dari perjalanan kami, kami mulai berbicara lebih sedikit, dan aku bahkan tidak
tahu lagi apa yang dia katakan di beberapa titik. Dengan AC yang menciptakan
suhu yang nyaman di dalam kereta, aku mulai melamun dan menjadi semakin
mengantuk. Bahu kiriku bersandar di bahu kanannya, membiarkanku merasakan
kehangatannya. Dan semua ini terasa sangat menghibur sehingga aku tidak bisa
melawan kantukku — sampai aku terguncang dengan lembut dan terbangun.
“Kita sudah sampai.”
“Ah maaf.”
Aku sedikit panik dan mengambil
koperku, tindakan tersebut hampir membuatku terjatuh. Jika Asamura-kun tidak
mendukungku, aku mungkin akan mendarat dengan muka terlebih dahulu di depan
pintu. Wajahku merah padam saat aku menarik koperku. Sungguh kesalahan yang memalukan.
Aku bahkan tidur sambil bersandar di bahunya sepanjang waktu.
Saat kami melangkah keluar dari
gerbang tiket di stasiun Shibuya, langit di atas sudah gelap. Pada hari Sabtu yang biasa ini,
stasiun kereta api dan sekitarnya dipenuhi orang di mana-mana. Banyak orang
pasti keluar untuk bersenang-senang sekarang. Dan sementara kami mencoba yang
terbaik untuk menghindari mereka, Asamura-kun dan aku berjalan pulang ke rumah.
Selama waktu itu, aku ingat
sekali lagi bahwa aku tidur di sebelahnya tanpa peduli pada dunia, dan aku
merasakan darah mengalir deras ke dalam kepalaku. Aku merasa kalau aku mendadak
jadi berkeringat. Ketika kami harus berganti kereta dan membangunkanku, ia
pasti melihat wajah tidurku. Dan kupikir aku bahkan memiliki air liur yang
menempel di sisi mulutku saat itu. Aku tidak berpikir kalau Asamura-kun akan
menatapku, tapi aku juga tidak menyangka kalau aku akan seceroboh ini… Aku
bahkan tidak berani melihatnya lagi. Tapi sekali lagi, kami kembali ke rumah
yang sama, sehingga banyak hal yang mungkin mustahil.
“Kita sudah pulang, ya?”
“Tentu saja. Aku lelah, tapi
itu pengalaman yang menyenangkan.”
“Kamu benar.”
Kami saling memandang dan
tersenyum. Kami benar-benar pulang… ke tempat kami menghabiskan keseharian kami.
Bersama-sama, kami melangkah melewati pintu masuk. Ayah tiri harusnya sedang
libur hari ini, dan pekerjaan Ibu belum dimulai, jadi mereka berdua akan menyambut
kepulangan kami. Mereka akan menyambut kami dan menyapa saat kami kembali.
Selama beberapa hari terakhir kami pergi, Asamura-kun dan aku semakin dekat.
Jarak di antara kami cukup dekat untuk berdiri bersebelahan, tapi celah kecil
itu pun telah menghilang. Karena kami sudah memutuskan bahwa kami akan menjadi
seperti yang kami inginkan.
“Kami pulang, Ibu, Ayah.”
Kami berbicara pada saat yang
sama, dan gantungan kunci Merlion yang tergantung dari koper kami berguncang bersamaan
saat kami melangkah masuk ke rumah.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya