Chapter 3 — Poin Bagus Yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Mahiru berpikir bahwa alasan
mengapa Amane tidak populer karena sisi baiknya tidak terlihat sama sekali.
Pertama-tama, cara bicaranya
agak kasar, yang mana hal itu memberi kesan bahwa ia sulit untuk diajak bicara.
Namun, cara berbicara kasar bukan dalam artian vulgar atau menggunjing, tapi ia
terlalu blak-blakan. Jika seseorang mendengarkannya dengan seksama, Amane
merupakan cowok yang cukup normal.
Wajahnya juga tidak jelek,
melainkan bisa dibilang masuk kategori tampan, tapi ia memiliki poni yang
sangat panjang, cenderung menundukkan kepalanya dan memancarkan nuansa orang
yang murung. Matanya yang sedikit tajam membuat orang menjauh darinya.
Jika bukan karena kesempatan
yang kebetulan, bahkan Mahiru takkan pernah tahu sifat aslinya.
(Ia
benar-benar orang yang sangat disayangkan dalam banyak artian)
Dia terus menatap Amane yang
diam-diam mengerjakan tugasnya duduk di sebelahnya sambil berpikir bahwa ia
merupakan pria yang baik dan sopan jika kamu melihat bagian dalamnya dengan
benar. Dia sangat senang bisa mengenalnya.
Amane yang terlihat memiliki
tampang dingin, tapi sebenarnya memiliki ekspresi tenang di wajahnya, diam-diam
menggerakkan penanya karena dia sepertinya tidak memperhatikan tatapan Mahiru.
Ia sepertinya cukup fokus karena dirinya bahkan tidak melihat kopi yang dia
seduh sendiri.
Mahiru mengambil cangkirnya,
sambil berusaha untuk tidak membuat suara sedikit mungkin, dan dengan tenang
menyeruput kopinya yang hangat. Mungkin karena Amane sudah memahami selera
Mahiru, Kopi tersebut memiliki sedikit rasa manis di balik rasa pahitnya, dan
ada sedikit susu untuk melembutkan rasanya.
Amane sepertinya pernah
mendengar Mahiru yang bergumam bahwa dia tidak suka kopi dengan tingkat
keasaman yang tinggi, jadi kopi itu adalah merek yang berbeda dari yang Amane miliki
di rumah sebelumnya.
Pada saat itu, Mahiru
menatapnya dengan tatapan yang seolah-olah ingin mengatakan, “Kenapa kamu tidak membawa kopi yang sesuai
seleramu sendiri?” Tapi Amane hanya tertawa dengan muka polis seraya
menjawab, “Kopi yang ini rasanya lebih
enak” Jadi mau tak mau dirinya harus mundur tanpa banyak bicara.
Entah bagaimana Mahiru merasa
tidak nyaman mengingat betapa perhatiannya Amane kepadanya, jadi dia menyesap
kopi lagi. Setelah menyesap kopinya, Amane mengangkat kepalanya untuk
menatapnya.
“.... Apa jangan-jangan rasanya
enggak enak?”
“Tidak, bukan begitu masalahnya.
Aku baru saja menikmati kelezatannya.”
“Yah, kuharap itu sesuai dengan
seleramu. Aku menjadi jauh lebih baik dalam menyeduh, bukan?”
Melihat matanya melembut karena
lega, pipi Mahiru secara alami mulai mengendur.
“Ketika kamu menyeduhnya
sebelumnya, kamu memasukkan terlalu banyak bubuk kopi dan air panas ke dalamnya
dan air panas itu meluap ke saringan. Aku penasaran kenapa kamu memasukkannya
begitu keras?”
“It-Itu sih karena tanganku
terpeleset, aku takkan melakukan kesalahan yang sama lagi, karena aku sudah
belajar dari kesalahan.”
“Fufu, kegagalan adalah langkah
awal dari kesuksesan, jadi jika kamu bisa memanfaatkan kegagalanmu dengan
sebaik-baiknya, maka kopi yang tumpah itu tidak akan sia-sia.”
“Ayolah, jangan terlalu
menggodaku begitu.”
“Aku tidak menggodamu, kok?”
Jika Mahiru tertawa saat
mengatakan itu, Amane akan menggerutu sedikit 'Tapi wajahmu kelihatan menggodaku, tau?’, tapi ia bahkan tidak
mengeluh, karena dirinya tahu kalau Mahiru tidak benar-benar menertawakannya.
Amane yang bibirnya sedikit
cemberut, terlihat sedikit kekanak-kanakan dan bahkan menggemaskan baginya.
Ia seharusnya bisa dengan mudah
menjadi populer jika lebih sering menunjukkan ekspresi ini, tetapi Mahiru
merasa dia tidak ingin Amane tidak ingin menunjukkan ekspresi ini kepada orang
lain, jadi dia tidak berkata apa-apa kepada Amane.
“... Mahiru, apa kamu sedang
istirahat?”
“Ya, aku sudah menyelesaikan
tugasku, jadi kupikir aku akan beristirahat dulu sebentar.”
“Kurasa aku akan istirahat
sebentar juga, aku sedikit lelah mengerjakan tugas.”
Setelah mengangkat kedua
tangannya dan memutar bahunya seolah-olah ingin meregangkan badannya, Amane
lalu berdiri dan menuju ke dapur.
“Aku mau memakan cemilan, apa
kamu mau sesuatu juga?”
Ketika Amane melihat ke dalam
kotak makanan ringan dan berbalik untuk bertanya, Mahiru hanya menjawab, “Aku akan menyerahkannya padamu.”
Makanan di rumah Amane pada
dasarnya adalah untuk mereka berdua. Tentu saja, mereka sudah mencantumkan
label pada makanan yang mungkin tidak ingin dimakan orang lain, tetapi selain
itu mereka sering berbagi makanan. Ia sering mendengar kalau dendam gara-gara makanan
itu cukup mengerikan, tetapi mereka berdua tidak terlalu terikat pada makanan,
jadi mereka lumayan santai.
Mereka memiliki kotak makanan
ringan bersama yang mereka banggakan, tetapi isinya tidak pernah habis karena
mereka lebih suka merekomendasi satu sama lain untuk menyantapnya.
Amane sering memasukkan produk
manis dan asin yang sepertinya disukai Mahiru dan Mahiru sendiri juga sering
menyetok makanan manisan ke dalamnya. Itu hanya masalah selera, tapi Mahiru juga
terkadang memakan camilan yang asin.
Tapi belakangan ini, Amane menaruh
manisan panggang yang dia pikir mungkin disukai Mahiru, jadi ia harus
sering-sering memeriksa tanggal kedaluwarsa dengan rajin. Seperti yang
diharapkan, produk yang dibeli dari toko kue klasik lebih cepat kadaluwarsa
daripada produk komersial dengan lebih banyak bahan tambahan. Amane sudah
mempelajari hal ini karena tinggal bersama Mahiru, dan ia membawa makanan
panggang yang diletakkan di depan kotak karena makanan tersebut sudah mendekati
tanggal kedaluwarsa.
“Aku hanya mengambilnya secara
acak, apa kamu tidak keberatan?”
“Aku sangat bersyukur karena
kamu sudah mengambilnya untukku juga, Padahal sebenarnya biar aku saja yang
mengambilnya karena aku punya lebih banyak waktu luang.”
“Karena aku lebih dekat dengan
dapur, jadi jangan khawatir tentang itu.”
Ketika Amane duduk dengan
senyum kecil di wajahnya, Mahiru memanfaatkan niat baiknya dan mengambil
sekantong kue yang dibawanya.
Amane mengerti bahwa Mahiru
tidak makan banyak makanan di luar makanan bergizinya, jadi Amane sering membelikan
kue yang sesuai dengan seleranya. Mahiru sangat berterima kasih atas cemilan
tersebut.
Dia menggigitnya menjadi
potongan-potongan kecil, sembari berhati-hati agar tidak menumpahkan sedikit
pun, dan aroma mentega yang kaya keluar dari mulutnya dan mencapai hidungnya.
Mahiru sangat penasaran dengan
jenis campuran apa yang kue tersebut gunakan, tapi dia mempunyai cara untuk
mengetahuinya, jadi dia hanya mengatupkan bibir dan menikmati kue tersebut
dengan mata terpejam gembira.
Hal pertama yang terlintas
dalam benak Mahiru adalah Amane mempunyai selera yang sangat baik dalam menilai
sesuatu, dan lidahnya sangat peka. Tapi entah kenapa, Amane hanya tersenyum
saat Mahiru sedang mengunyah kuenya. Dia tidak berpikir kalau dirinya sedang
diolok-olok tapi itu tapi tatapan hangat yang Amane berikan sedikit
mengkhawatirkan.
“… Ada apa?”
Ketika dia bertanya kepadanya
setelah menelan ludah, Amane tampak enggan mengatakan, “Tidak, gimana bilangnya, ya?”
“Memangnya ada yang salah
denganku?”
“Bu-Bukannya begitu, hanya saja….
Aku berpikir kalau kamu itu kelihatan imut banget seperti binatang kecil.”
“Apa kamu pikir kamu sedang
memujiku karena mengatakan itu?”
“Kupikir itu pujian, kok.”
Amane mungkin terkesan dengan
pemandangan makannya, tapi satu-satunya yang bisa Mahiru lakukan hanyalah
memalingkan wajahnya karena merasa terlalu malu dan senang.
(...
Terkadang itu buruk untuk hatiku)
Pada dasarnya, Amane adalah
orang yang tidak pandai berbohong. Ada beberapa kali ketika ia mencoba
menyembunyikan sesuatu atau mencoba menipunya tetapi ia tidak berbohong dengan
cara yang mungkin dapat menyakiti orang.
Di permukaan, Amane mungkin tidak
begitu lugas, tapi Ia sebenarnya orang yang sangat jujur, hal
itu justru membuat Mahiru merasa lebih tersipu dan tatapannya mengembara
kemana-mana.
Meskipun Mahiru sudah terbiasa
dipuji, tapi lain halnya ketika orang yang memujinya adalah Amane.
Amane sendiri merupakan tipe
orang yang memuji secara langsung, mungkin karena didikan ayahnya, Shuuto. Dalam
arti tertentu, ia adalah lawan yang sulit untuk ditangani.
Amane selalu memberi perhatian
pada detail kecil dan itu tidak haya terjadi pada kali ini saja, tapi juga di
banyak lain kesempatan dan hal tersebut sangat buruk untuk hati Mahiru.
Akhir-akhir ini, ketika ia tahu
Mahiru mungkin akan pulang terlambat, Amane dengan santai datang menjemputnya.
Meski itu sangat merepotkan untuk mengubah gaya rambutnya supaya tidak
dikenali, tapi Amane tetap berusaha keras untuk datang menjemputnya.
Saat berjalan bersama, Amane
berjalan di samping jalan jalan untuk melindunginya, atau dengan santainya
mengambil barang bawaan yang dibawanya jika ada. Ia segera memperhatikan jika
Mahiru tidak enak badan dan merawatnya dengan sangat baik.
Amane lebih sensitif terhadap
perubahan penampilan daripada yang dia pikirkan dan memujinya secara teratur
pada rambut dan pakaiannya. Dan karena Mahiru sering menghabiskan lebih banyak
waktunya di apartemennya, ada beberapa tempat yang berada di luar jangkauannya.
Jadi Amane menyiapkan tangga kecil sehingga Mahiru bisa mencapai tempat yang
tinggi.
Dia berterima kasih kepada
Amane karena sudah menyelesaikan masalah yang bahkan tidak disadari Mahiru,
Amane bahkan tidak membicarakannya dan melakukannya secara alami, tapi Mahiru
merasa tidak enakan karenanya.
Pada awalnya, Mahiru berpikir kalau
Amane merupakan cowok yan tidak bisa diandalkan, kasar, dan ceroboh. Tetapi
begitu bagian kepolosan dan kecerobohannya hilang, maka Amane akan menjadi
orang paling ideal yang bisa dia pikirkan.
Ya, baginya, Amane adalah
tetangga yang baik, dan seorang teman yang baik, dan seorang—
Ketika Mahiru berpikir sejauh
itu, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan buru-buru, merasa bahwa dia
seharusnya tidak berpikir terlalu jauh ke depan.
“Apa ada yang salah?”
Amane terkejut dengan gelengan
kepalanya yang tiba-tiba dan memanggilnya dengan cemas saat Mahiru berhasil
menyembunyikan gejolak batinnya.
“…..Aku penasaran, kenapa
Amane-kun tidak populer, ya?”
“Entah kenapa, aku merasa
seperti kamu sedang ngajak berantem.”
Mahiru-lah yang salah mengucapkannya
kali ini. Jika Amane tidak tahu apa yang dipikirkan Mahiru, mungkin terdengar
seperti dia sedang mengolok-oloknya. Mahiru mungkin menyadari cara pengucapannya
saat dia mengoreksi dirinya sendiri.
“Maaf. Aku tidak bermaksud
seperti itu. Hanya saja aku merasa aneh bahwa Amane-kun memiliki kepribadian
yang baik tapi kamu masih belum terkenal.”
“Aku merasa seperti diberitahu
untuk menghadapi kenyataan bahwa aku tidak populer. Yah, karena aku tidak
pernah terlibat dengan gadis-gadis, jadi kupikir itulah masalahnya sebelum
membahas aku populer atau tidaknya....”
Amane hanya terlibat dengan
Chitose di sekolah, dan dianggap sebagai orang yang sedikit pemurung daripada
keren, sehingga dapat dimengerti jika sifat-sifat baiknya tersembunyi dan tidak
terlihat.
“Yah, pertama-tama, aku tidak
ingin menjadi populer atau semacamnya.”
“Apa memang begitu masalahnya?”
“Aku tidak tahu tentang cowok
lain, terlebih lagi aku tidak terlalu ingin mencari pacar.... selama aku bisa
menemukan seseorang yang ingin kudampingi selama jidupku, aku berpikir tidak
ada masalah untuk tidak menjadi populer saat ini.”
Saat Amane bergumam dalam
bisikan tanpa menyembunyikan rasa malunya, Mahiru merasakan kehangatan yang berangsur-angsur
memenuhi dadanya, dan sudut mulutnya hampir naik ke atas.
“Amane-kun tuh…”
“Apa, apa kamu mau mencoba
mengatakan kalau aku terlalu banyak mengkhayal?”
“Tidak, kupikir itu luar biasa.
Kamu ternyata orang yang berpikiran lurus, ya.”
“Aku merasa seperti sedang diejek.”
“Kenapa malah dianggap begitu,
moou”
Dia tidak mengerti mengapa Amane
malah menganggapnya begitu, dan ketika Mahiru menyolek-nyolek wajahnya, Amane
menurunkan alisnya seakan-akan dia merasa terganggu, lalu berpaling.
Mahiru merasa kalau dia melihat
gerakan kecil di mulutnya, tetapi tidak peduli berapa banyak dia bertanya,
Amane tetap tidak mau mengatakan apa yang ia gumamkan tadi.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya