Otonari no Tenshi-sama Jilid 5.5 Bab 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — Operasi Bersih-Bersih dan Insiden

 

Mahiru lumayan suka bersih-bersih. Tak lama setelah mereka bertemu, dia dan Amane membersihkan kamarnya bersama, dia sangat ahli dalam hal itu, dan menyelesaikannya tanpa kompromi.

Amane juga berusaha membersihkan dan merawat kamarnya dengan rajin, Mahiru jug sesekali memeriksa kamarnya dan menunjukkan area mana yang kurang dibersihkan. Amane sendiri merasa berterima kasih atas sarannya karena dia tidak mengomel padanya dan saran yang sering diberikannya membuat Amane menjadi lebih mudah untuk menghilangkan kotoran dan merawat rumah setiap hari.

“Seperti yang kupikirkan, lebih mudah untuk mengabaikan kotoran di sekitar air. Sepertinya kamu membersihkan di tempat yang bisa kamu lihat, tapi masih terdapat noda di sudut belakang yang sulit dilihat.”

Mahiru mengintip Amane yang sedang membersihkan bak mandi dan segera menemukan beberapa noda yang terlewat untuk dibersihkan. Walaupun sudah menduganya, tapi Mahiru hanya bisa tersenyum kecut. Seperti yang ditunjukkan Mahiru, jamur hitam telah tumbuh di di karet pintu dan di bagian bawah tempat penyimpanan sampo.

Amane tidak memperhatikan tempat-tempat seacam itu karena sulit dilihat, tetapi ia mulai menyadari noda-noda tersebut begitu melihatnya. Meskipun Amane dan Mahiru sudah mengambil berbagai tindakan pencegahan sejak bersih-bersih tahun lalu, Amane kembali diingatkan bahwa perjalanannya masih panjang.

"Kamar mandi rentan terhadap kelembapan dan jamur hitam bahkan ketika berventilasi. Terutama di sudut-sudut dan gasket karet di titik-titik yang tidak terlihat. Inilah yang terjadi jika kamu tidak membersihkannya secara sadar” ucap Mahiru.

“Kamu benar, seperti yang kamu katakan.”

“... Aku tidak marah, oke? Sebagian besar rumah akan menjadi kotor jika kamu tidak cukup berhati-hati.”

Ada kalanya noda seperti itu terjadi, ucap Mahiru serata mengangguk-angguk kecil dan tersenyum masam saat melihat bahu Amane terkulai.

“Jangan berkecil hati begitu, aku yakin kamu sudah melakukan pekerjaan yang baik dalam membersihkan seluruh bagian lain rumah.”

“Aku memang sangat berterima kasih, tapi tetap saja..”

“Jangan khawatir tentang itu sekarang, tapi kamu jangan melupakan itu di masa depan. Jika kamu punya waktu untuk menyesali hal-hal ini, lebih baik segera dibersihkan….. atau apa aku saja yang membersihkannya?”

Mahiru menepuk lengan Amane, ketika Amane balik menatapnya, tatapan mata Mahiru tampak bersemangat karena suatu alasan.

Mungkin karena dia suka bersih-bersih atau lebih tepatnya dia orang yang perhatian. Dia lebih suka melakukannya sendiri daripada memaksa Amane untuk membersihkannya.

Sedangkan bagi Amane, ia berpikir bahwa itu kesalahannya sendiri karena tidak memiliki mata yang jeli dan merasa senang karena Mahiru menunjukkannya kepadanya serta membantunya membersihkan.

Namun, Amane merasa lebih menyesal jika menyuruh Mahiru untuk membersihkannya.

“...Apa Mahiru sendiri tidak membencinya? Maksudku, membersihkan kamar mandi begini.”

“Aku tidak keberatan membersihkan kamar mandi. Tapi itu ruang pribadimu dan aku yakin kamu tidak ingin aku membersihkannya, Amane-kun.”

“Aku juga sama sekali tidak keberatan, dan Mahiru sendiri pernah menggunakannya sekali, ‘kan? Jadi aku yakin ini agak terlambat untuk merasa malu.”

Mahiru pernah melupakan kunci apartemennya di rumah Chitose dan menginap di rumah Amane, pada saat itulah dia menggunakan kamar mandinya untuk mandi. Dan bahkan ketika dia biasanya menggunakan kamar kecil, terkadang dia bisa melihat bagian dalam kamar mandi.

Seharusnya dia tidak perlu malu karena sudah pernah menggunakan kamar mandi, tapi dia mungkin khawatir memasuki kamar mandi lawan jenis.

“...It-Itu memang benar, sih..”

“Aku tidak bisa memuji diriku sendiri karena aku memanfaatkan kebaikan Mahiru untuk menyelesaikan pekerjaan. Tapi aku akan melakukannya sendiri meskipun sambil diawasimu.”

Noda sekecil itu mungkin diabaikan, jadi Amane berterima kasih kepada Mahiru untuk memeriksanya, tapi untuk beberapa alasan Mahiru tampak gusar saat pandangan matanya mengembara kemana-mana.

“... Ti-Tidak, jika kamu tidak keberatan, aku akan melakukannya, karena kamar mandi ini terlalu sempit untuk dibersilah oleh dua orang.”

“Benarkah? Aku benar-benar minta maaf, padahal ini hari liburmu yang berharga."

“Tidak, ini karena aku suka bersih-bersih.”

"Kalau begitu, silakan. Aku tidak punya rencana lain, jadi kurasa aku akan membersihkan dapur, aku ingin mencoba bagaimana rasanya menggosok wastafel.”

Amane pergi untuk membersihkan tempat lain karena hati nuraninya tidak tega membiarkan orang lain membersihkan rumahnya, sedangkan dirinya enak-enak beristirahat.

Tempo hari yang lalu, Amane kebetulan menonton video wastafel yang dipoles dan merasa tertarik dengan itu sehingga ia memutuskan untuk mencobanya. Tampaknya penting untuk meluangkan waktu dan memoles permukaan dengan hati-hati, jadi Amane yakin dirinya bisa melakukannya.

“Apa kamu memiliki alat yang tepat untuk itu? Kamu membutuhkan amplas tahan air dan penggosok untuk menyelesaikannya.”

“... Aku akan pergi membelinya sekarang.”

Amane hendak berlari untuk pergi berbelanja tetapi Mahiru menatapnya dengan wajah bermasalah.

“Yah, kupikir kamu akan mengatakan itu, tapi sebenarnya aku punya beberapa di apartemenku, jadi aku akan meminjamkannya padamu. Ada baiknya untuk menyiapkan semua alat bersih-bersih terlebih dahulu."

“Seperti yang diharapkan darimu. Aku minta maaf karena terlalu teliti.”

“Yah, yang paling penting Amane-kun mau melakukannya.”

“Bukannya kamu terlalu memanjakanku?”

“Fufu, kalau begitu aku akan membawanya setelah aku berganti baju”

“.... kenapa kamu repot-repot untuk berganti pakaian segala?”

“Karena aku akan melakukan bersih-bersih dengan sangat serius.”

Saat ini, dia mengenakan rok panjang bermotif herringbone abu-abu dengan rajutan hitam. Dia terlihat sangat bagus dalam pakaiannya yang tenang tanpa banyak memamerkan kulitnya.

Pakaian itu mungkin cocok untuk memasak, tapi pakaian tersebut tidak cocok untuk kegiata bersih-bersih, jika itu kotor atau warnanya pudar karena deterjen maka itu akan sebuah bencana. ‘Dia terlihat seperti gadis manis yang akan kesulitan bergerak dengan gaun itu.’ Saat Amane menggumamkan pikirannya dengan ringan pada dirinya sendiri, Mahiru melakukan pukulan di dekat pinggangnya karena suatu alasan. Tentu saja, itu hanyalah pukulan ringan dengan sedikit tekanan karena tidak meninggalkan rasa sakit.

“Apa sih yang tiba-tiba kamu lakukan, Mahiru-san.”

“ ...... Bukan apa-apa, jangan khawatirkan hal itu.”

“Meski kamu bilang apa-apa, tapi itu masih membuatku nyeri.”

“Sudah kubilang bukan apa-apa.”

Amane dibuat bingung oleh Mahiru yang berbalik dan berjalan keluar dari ambang pintu tanpa menjelaskan apapun.

 

♢♢♢♢♢

 

Dengan perangkat pemoles logam yang diberikan kepadanya oleh Mahiru yang sudah berganti pakaian, Amane segera mulai memoles wastafel.

Mahiru sendiri langsung menuju ke kamar mandi dengan mengenakan celana kasar, sarung tangan karet dan rambutnya diikat sanggul. Dia terlihat sangat antusias sampa-sampai Amane merasa takut kalau dia akan melakukannya dengan berlebihan.

Merasa tidak mau kalah dengan Mahiru, Amane pun memoles wastafel dengan amplas anti air di tangannya. Ia dengan cermat membersihkan bekas noda sambil berhati-hati agar tidak merusak wastafel dengan memperpanjang goresan yang ada.

Apartemen itu adalah apartemen sewaan, jadi mungkin ada sisa-sisa noda yang ditinggalkan oleh penghuni apartemen sebelumnya. Amane takkan menyebutnya kotor tetapi jauh dari mengkilap seperti baru mirip seperti iklan di TV.

Ketika Amane dengan sabar memoles permukaan untuk menghilangkan noda kerak, ia merasa lebih baik setelah menggunakan amplas kedua karena dia sekarang bisa melihat kilau logam dipulihkan. Hasil yang terlihat memotivasi Amane untuk tetap bekerja dengan tenang, karena biasanya sulit untuk menghentikannya jika da berkonsentrasi pada sesuatu dan Amane terus memoles secara diam-diam.

Tiba-tiba, Amane menoleh ke sampingnya dan tanpa disadari, Mahiru sudah berdiri tepat di sisinya seraya diam-diam mengawasi Amane yang bekerja.

“Jika kamu berdiri di sana, bilang sesuatu, dong. Kamu hampir saja membuat jantungku copot karena terkejut.”

“Maaf, kamu sepertinya begitu fokus sehingga aku tidak enakan memanggilmu.”

“Aku tidak keberatan jika kamu memanggilku .... tapi apakah kamu sudah selesai bersih-bersih, Mahiru?”

“Masih belum, aku sedang membersihan tempat-tempat noda yang membandel. Aku punya waktu luang satu jam lagi, jadi aku istirahat dulu.”

Amane tidak bisa menahan tawa pada Mahiru yang menjelaskan dengan ekspresi sangat serius bahwa perlu menggunakan deterjen untuk menghilangkan kotoran yang telah menembus area memandel tersebut.

“Amane-kun sih.... sepertinya masih belum selsai ya, masih jauh dari sebersih permukaan cermin.”

“Yah, aku akan memolesnya dengan semir halus sekali lagi dan kemudian menyekanya dengan kain yang dicelupkan ke dalam abrasif. Kelihatannya masih butuh waktu lama.”

“Yah, butuh waktu dan usaha untuk membersihkannya. Berhati-hatilah untuk tidak berlebihan atau kamu akan mempersingkat masa pakai wastafel.”

“Siap, nyonya.”

Amane juga memahami bahwa itu adalah properti sewaan dan akan ilegal jika ia terlalu berlebihan dalam membersihkannya. Ia mengerti bahwa itu harus dijaga dalam titik tengah pemeliharaan.

“Ngomong-ngomong, apa kamu terus memoles selama ini?”

 “Yah, aku cukup terbawa suasana.”

“Pekerjaan seperti ini bisa menyenangkan, bukan? Inilah bagian terbaik dari bersih-bersih.”

“Tapi yah aku tidak seserius Mahiru.”

“Meski kamu bilang begitu, tapi Amane-kun sendiri kelihatannya masih belum beristirahat. Beristirahat secukupnya juga merupakan hal yang penting, tau.”

Mahiru tertawa ringan dengan elegan, lalu mengeluarkan gelas dan membuka kulkas.

“Kamu ingin minum sesuatu, Amane-kun?”

“Uhmm, ada jus jeruk di dalam sana. Aku akan merasa bersyukur jika kamu menuangkannya untukku.”

“Oke.”

Rupanya dia mau menuangkan minuman untuk Amane. Ia mengucapkan terima kasih atas perhatian Mahiru, dan melihatnya menyiapkan jus jeruk permintaannya. Untuk beberapa alasan, Mahiru memasukkan sedotan ke dalam minuman saat dia akan mengambil gelasnya.

“Ini dia, Amane-kun.”

Mahiru menawarkan gelas itu kepadanya dengan senyum berseri-seri, sangat jelas ekali kalau dia tidak berniat membiarkan Amane mengambil gelas itu. Mahiru dengan hati-hati membawa sedotan mendekati mulut Amane seolah-olah mengatakan “Silakan diminum.”

“Terima… kasih?”

“Kurasa lebih baik melakukan ini karena tanganmu kotor."

Memang benar tangannya kotor karena cairan menghitam akibat gesekan, tapi Amane bisa meminumnya begitu ia mencuci tangannya.

Di satu sisi, itu bukanlah sesuatu yang perlu repot-repot Mahiru lakukan, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Mahiru akan mundur. Ketika Amane meliriknya, dia memberinya senyum berseri-seri seakan ingin mengatakan bahwa dirinya memiliki niat baik.

“….Bukannya ini terlihat sangat konyol?”

“Hal semacam itu…. mungkin tidak.”

“Kok mungkin?!”

“Aku hanya bercanda, kok. Tapi, jika kamu tidak mencuci tangan dengan baik, sulit untuk menghilangkan flek hitam dan lebih merepotkan untuk mencucinya tanpa henti, bukan? Jadi, menurutku, yang begini lebih efisien.”

“Itu memang benar sih, tapi tetap saja.”

Amane berpikir kalau itu mungkin lebih baik meletakkannya di sebelah wastafel, tapi dirinya tahu Mahiru tidak akan mengalah bahkan jika ia memberitahunya.

Amane mengganggap kalau berdebat lebih dari ini tidak akan ada gunanya, jadi ia memasukkan sedotan ke mulutnya, hal itu membuat Mahiru tersenyum puas. Seraya merasakan rasa asam dan manis dari jus jeruk menyebar di mulutnya, Amane menyembunyikan rasa malu yang muncul di hatinya.

“Apa rasanya enak?”

“Hmm, rasanya enak, makasih.”

Karena jus hanya dituangkan ke dalam setengah gelas yang tidak cukup besar, Amane meminumnya dengan cepat dan berterima kasih padanya. Mahiru tertawa dan menggelengkan kepalanya seolah-olah ingin mengatakan kalau ini tidak seberapa.

“Tolong panggil aku lagi kapan saja kalau kamu ingin minum lagi.”

“Tidak, lain kali aku akan mencuci tangan dan meminumnya seperti biasa.”

“Ara, sayang sekali.”

'Dia pasti sedang menggodaku.'

Kadang-kadang Mahiru memainkan lelucon sepele, tapi hal itu cukup mengejutkan bagi Amane sampai-sampai dirinya berpikir kalau dia mungkin mempermainkan hatinya dengan cara begini. Kali ini Mahiru benar-benar sedang menggodanya tetapi dia memiliki niat baik sehingga Amane tidak bisa mengeluh. Dirinya hanya bisa menatap Mahiru dengan senyum masam yang membuat Mahiru tertawa bahagia lagi.

 

♢♢♢♢♢

 

Mahiru kembali membersihkan dan Amane juga kembali memoles dengan amplas, dan mengganti butiran amplas sehingga akhirnya satu-satunya yang tersisa ialah tinggal melakukan polesan terakhir.

Walaupun wastafel tersebut sudah bersih kinclong, tapi sentuhan akhir akan membuatnya terlihat lebih baik.  Saat Amane sedang mencuci tangannya, ia mencari-cari handuk yang tidak dibutuhkan untuk dijadikan kain lap. Ketika dirinya sedang bimbang apakah harus memolesnya dengan penggosok, Amane mendadaka mendengar suara sesuatu yang besar jatuh dari arah kamar mandi.

Amane mempunyai firasat tidak mengenai hal itu, jadi ia bergegas menuju kamar mandi tanpa mematikan air yang mengalir, dan menemukan kalau Mahiru telah jatuh terduduk seolah-olah dia telah kehilangan tenaganya. Mahiru terlihat sedikit tertegun dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk bangun, bahkan ketika basah kuyup oleh air yang memercik dari pancuran yang tergeletak di lantai.

“Kamu baik-baik saja!?? Aku barusan mendengar suara yang sangat keras tadi!!”

“Aku terpeleset.... untungnya aku baik-baik saja, tapi pantatku sakit. Sungguh ceroboh sekali.”

Sepertinya Mahiru baru bergerak setelah mendengar suara Amane dan dia agak malu pada dirinya sendiri saat tatapannya melayang menatap Amane. Sepertinya dia terpeleset dan jatuh ketika sedang membilas, karena masih ada busa yang menggenang di sudut kamar mandi seolah didorong oleh air yang meluap dan pakaian Mahiru yang basah kuyup seolah-olah dia baru saja mandi sebelum jatuh.

“Maaf, karena aku menyerahkannya padamu ...”

“Tidak, karena aku sendiri yang menawarkan diri ...”

“Kakimu terkilir atau apa? Apa kamu bisa berdiri?”

Untuk saat ini, Amane mematikan pancuran yang dibiarkan menyala dan mengulurkan tangannya ke arah Mahiru. Mahiru yang sedang duduk menatapnya, dengan malu-malu mengalihkan pandangannya ke bawah saat dia meraih tangan Amane.

“Aku cuma jatuh terduduk saja, kok. Awalnya aku sedang berjongkok, jadi aku tidak jatuh dari tempat yang begitu tinggi. Suara yang besar tadi hanyalah peralatan mandi saja yang jatuh. Itu salahku sehingga aku jatuh, jadi tolong jangan khawatir tentang itu.”

“Tidak, mana mungkin aku tidak khawatir, tapi... kamu sampai basah kuyup begitu...”

Karena Amane tidak tega membiarkannya jatuh dua kali, jadi ia melangkah masuk untuk membantunya berdiri dan saat dia melihat ke arah Mahiru lagi untuk memastikan bahwa dia tidak terluka, badan Amane mendadak membeku. Mahiru basah karena air yang terus-menerus keluar dari pancuran.

Dia harus berganti dengan kemeja putih lengan panjang sederhana dan legging untuk memudahkan pergerakan, yang mana hal itu terlihat tidak nyaman di musim dingin tetapi karena dia membersihkan bagian dalam rumah, tapi bagi Amane hal tersebut menjadi racun di matanya.

Kenyataan bahwa pakaian tersebut berukuran ketat membuat dampak yang ditimbulkan semakin parah saat basah. Lebih jelasnya, pakaian tersebut benar-benar memamerkan garis lekukan tubuhnya , warna dan bentuk dari apa yang dia kenakan di bawahnya.

Ketika melihat warna kulitnya dan sesuatu yang berwarna hijau limau pucat ditampilkan melalui bajunya, Amane buru-buru membuang muka.

Mungkin jika ia melihat langsung ke arahnya, Amane akan mati karena malu, dan bahkan jika dia menatapnya, ia bisa membayangkan masa depan di mana Mahiru tidak berani menatapnya sama sekali.

Namun, Amane juga menyadari kalau dirinya terus mamlingkan muka, ia akan ditanyai, jadi setelah membuat Mahiru berdiri dengan tegap, Amane meletakkan handuk dari ruang ganti di sebelahnya di atas bahu Mahiru.

Untungnya, orang yang bersangkutan belum menyadari bahwa penampilannya sendiri sedang dalam masalah, atau mungkin dia menganggap tindakan Amane sebagai kebaikan dan dia tersenyum senang.

Ketika melihat wajah senangnya itu, Amane segera membalikkan punggungnya tanpa bisa menatap langsung ke arahnya.

Amane ingin meninju wajahnya sendiri karena sempat memikirkan sesuatu yang aneh-aneh, tapi kemudian dirinya berhasil menenangkan tubuhnya yang gelisah dengan alasan.

“Aku akan meminjamkanmu baju ganti, jadi kamu harus ganti baju dan pulang atau menunggu sampai kering. Jika kamu keluar dengan keadaan basah kuyup begitu, kamu nanti akan masuk angin.”

“Terima kasih atas perhatianmu ...... tapi aku lebih suka kamu menertawakan langsung di hadapanku daripada membuang muka dan menertawakanku.”

“Apa yang membuatmu berpikir kalay aku menertawakanmu! Aku hanya berusaha untuk tidak melihatmu karena pakaianmu kelihatan transparan!!”

Sebenarnya, Amane bermaksud hanya ingin segera melewati peristiwa ini dan menyuruhnya berganti pakaian, tetapi karena kesalahpahaman yang tidak terduga oleh Mahiru, ia secara tidak sengaja memberitahunya, dan kali ini menyebabkan pipi Mahiru memerah.

Setelah Mahiru menatap tubuhnya sendiri dan tersipu malu, Amane akhirnya menarik napas saat menyesuaikan handuk di depannya untuk menutupi tubuhnya.

Meski demikian, Amane tetap tidak bisa melakukan kontak mata dan tatapannya mengembara kemana-mana.

“Ah… itu, umm, te-terima kasih atas perhatianmu…”

“Ini benar-benar salahku karena membuatmu bersih-bersih ...... jadi aku akan menghargainya jika kamu mau berganti pakaian. Jika kamu ingin mandi, kamu bisa mandi untuk menghangatkan badanmu, dan aku akan membawakan beberapa pakaian untukmu.”

Mahiru mungkin tidak ingin berdiri di depan seorang pria dalam keadaannya saat ini, dan Amane juga merasa kesulitan untuk berduaan dengan Mahiru dalam kondisi rasionalitasnya yang sekarang. Jadi, setelah memberikan alasan yang tepat, Amane segera mengambil kesempatan untuk melarikan diri.

 

♢♢♢♢♢

 

Setelah menyerahkan baju ganti kepada Mahiru, Amane terus memoles wastafel.

Ia ingin mempertahankan rasionalitasnya, tapi bayangan insiden itu terus muncul ke permukaan pikirannya seolah-olah mencoba untuk menghancurkannya, jadi Amane tanpa berpikir memoles wastafel dengan abrasif, mencoba menghilangkan pemkamungan itu dari pikirannya.

Mahiru sepertinya sedang mandi, mungkin untuk mendinginkan kepalanya. Samar-samar Amane bisa mendengar suara air mengalir mengenai lantai dari kamar mandi.

Amane menggelengkan kepalanya lagi dan dengan cepat menghilangkan imajinasi buruk dari kepalanya, menyadari bahwa itu adalah situasi yang konyol bahwa ada seorang gadis yang sedang mandi di rumahnya.

Untuk sementawa waktu, ia terus memoles wastafel dan menemukan bahwa wastafel itu sudah memantulkan cahaya dengan cukup lancar sehingga ia bisa melihat wajahnya sendiri, meskipun pantulannya tidak sebagus cermin.

Pantulan dirinya memilih wajah dengan pipi yang memerah, jadi dia harus menenangjan dirinya kembali sebelum Mahiru keluar. Itu tidak lucu bahwa perasaan bersalah dan malu oleh hati nuraninya lebih kuat daripada emosi yang diasah.

(Cepat lupakan, cepat lupakan)

Amane merasa kalau pembersihan wastafel sudah cukup dan menyeka sisa cat di wastafel hingga bersih, membilasnya, dan mencuci tangannya.

Kemudian menyipratkan air ke wajahnya. Jika dirinyaa tidak menghilangkan panas ini dari wajahnya, maka ia tidak bisa menghadapi Mahiru. Amane terus berulang kali membasuh mukanya.

Setelah membasuh mukanya berulang kali untuk mendinginkan wajah dan kepalanya dengan sensasi nyaman dari air dingin musim dingin, Amane mendengar bunyi derit dan derit pintu kamar mandi.

Karena mengetahui kalau Mahiru akan segera keluar, jadi Amane memasukkan sesendok madu ke dalam cangkir susu dan memasukkannya ke dalam microwave untuk Mahiru, sementara dirinya mencoba menenangkan hatinya.

Ketika Amane baru selesai memanaskan minuman, Mahiru keluar dari ruang ganti sembari mengetuk-ngetuk lantai dengan sandalnya.

“… Aku akan meminjam pakaianmu.”

Mahiru berjalan menghampiri Amane yang sedang berada di dapur. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, jadi dia tampak lembut dan hangat.

Amane sengaja meminjamkan kaos yang terlalu besar untuknya, sehingga garis-garis tubuhnya tidak terlihat. Berkat itu, dia tampak mengenakan pakaian santai, tapi untuk beberapa alasan, hal tersebut tetap membuat jantung Amane berdebar kencang. Dirinyaa tidak lagi merasa nyaman tidak peduli apa yang Mahiru lakukan.

“Silakan, ambil ini.”

“ ….. terima kasih banyak.”

Amane kembali ke keadaan di mana dirinya bisa melihatnya secara langsung, jadi ia mencoba tampil setenang mungkin dan mengaduk susu panas dari microwave dengan sendok sebelum menyerahkannya kepada Mahiru.

Ketika Mahiru yang lebih menyukai rasa yang sedikit manis, memperhatikan aroma madu, dia tersenyum lembut dan ketika dia melihat ke arah wastafel, senyumnya semakin mengembang.

“Ara, ternyata kamu sudah melakukan pekerjaan dengan baik, ya. Kamu pasti sudah bekerja keras. Hebat banget.”

“… yah, ini tidak seberapa.”

Amane mengangguk dengan nada ambigu, tidak bisa mengatakan kalau dirinya melakukannya untuk menghilangkan kekesalan dari kepalanya. Ia lalu menyelonong melewati Mahiru dan duduk di sofa dengan gerakan alami.

Saat Amane mengambil napas dalam-dalam, dirinya masih merasa kurang nyaman karena Mahiru juga mengikutinya dan duduk di sebelahnya. Amane merasa semakin tidak nyaman saat mencium bau sabun tubuh yang sama dengan yang pernah ia gunakan.

Amane melirik ke arah sampingnya dan melihat tangan Mahiru menyelinap keluar dari lengan gaun kebesaran. Mahiru menggenggam cangkir dan meniupnya dengan sungguh-sungguh untuk mendinginkannya.

Dia memasukkannya ke dalam mulutnya, tapi langsung menariknya, mungkin masih terlalu panas. Alisnya berkerut saat melihat cangkir dengan pandangan mata yang berkaca-kaca, yang mana hal itu terlihat menggemaskan.

Dari sudut pandang Mahiru, dia seharusnya sangat serius tentang menjaga kepalanya tetap dingin, tapi Amane menemukan kalau dia terlihat sangat menawan, dan dikombinasikan dengan kalau pakaiannya saat ini tidak cocok untuknya, dia terlihat lebih muda dari dirinya sendiri.

Setelah berjuang sebentar, Mahiru akhirnya berhasil mendapat suhu yang bisa diminum dan dengan senang hati meminum susu panas. Namun, dia segera menjauhkan mulutnya dari cangkir dan memiringkan kepalanya, mungkin karena menyadari tatapan Amane.

“Apa ada yang salah?”

“Eh, tidak ....... Aku hanya khawatir jika kamu terluka.”

Amane tidak berbohong, tapi dirinya juga tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia khawatir Mahiru mungkin terluka ketika terjatuh tadi, ia juga khawatir kalau Mahiru akan masuk angin.

Dan meskipun Amane tidak melihatnya secara terbuka, dirinya melihat pemandangan Mahiru yang basah kuyup dengan baju yang hampir transparan, hal itu membuat sebagian hatinya merasa gelisah.

Mahiru tertawa dan mengalihkan pandangannya ke bawah seolah-olah dia terganggu oleh kata-kata Amane.

“... Aku minta maaf karena sudah membuatmu tidak nyaman hari ini.”

“Tidak, mana mungkin lah. Akulah yang sudah merepotkanmu. Apa kamu yakin kamu tidak benar-benar terluka?”

“Aku sudah baik-baik saja kok, pantatku juga tidak terasa sakit saat disentuh.... aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya, oke?”

“Tentu saja aku takkan menyentuhnya!”

“... Aku hanya bercanda, kok.”

Ketika Mahiru menertawakan reaksinya, Amane bergumam dengan suara pelan “Jangan meledekku terus” sambil dipenuhi perasaan capur aduk.

“Tidak, karena kamu tampak sedikit tertekan. Aku sendiri yang muai membicarakannya, jadi Amane-kun tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu, tau?”

“Tapi, ini terjadi karena aku biasanya tidak pandai bersih-bersih, jadi aku akan merenungkannya.”

Jika Amane membersihkan dengan benar secara teratur, Mahiru tidak perlu membersihkan kamar mandi dan dia takkan perlu basah kuyup segala.

“Yah, aku tidak bisa menyangkalnya, tapi cukup sulit untuk membuatnya benar-benar bersih, jadi kamu tidak perlu terlihat begitu menyesal.”

“... tapi tetap saja”

“Duhh, dibilangin aku enggak apa-apa, semua orang membuat kesalahan ketika mereka tidak terbiasa dengan sesuatu, jadi lain kali tinggal hati-hati saja…..Kamu harus tetap menjaga kebersihannya, oke?”

“Aku akan mengingatnya.”

“Bagus, jadi kamu tidak perlu menyesalinya, oke?”

Amane seriusan merasa sangat menyesal karena sudah membuat Mahiru terpleset, membiarkannya jatuh, dan melihat penampilan transparannya yang basah, tapi Mahiru pasti menganggapnya serius saat dia tersenyum sedikit pahit.

Setelah menempatkan cangkir di atas meja, Mahiru menepuk-nepuk pangkuan Amane dengan berkata “Jangan terlalu murung begitu, dong” seolah mencoba menghiburnya.

Karena pakaian Amane terlalu besar untuk si mungil Mahiru, jadi baju tersebut masih terlalu gombrang. Hal tersebut juga sering disebut lengan baju “moe”, yang digulung sedemikian rupa sehingga jari-jarinya tidak hanya terlihat, tetapi kelebihan kainnya juga terlipat, jadi hal itu bisa terlihat menjadi alat untuk menyerang, dan Mahiru mengayun-ngayunkan lengan bajunya dengan gembira.

“Aduh, sakit~.”

“Disengajanya kelihatan banget, loh.”

“Aduh, tapi itu beneran sakit, tau!”

Memang rasanya tidak sakit sama sekali tapi kelucuan dari perilaku Mahiru membuat hati Amane terasa sakit lebih dari apapun.

Tentu saja Mahiru tidak tahu bahwa hal tersebut menyakitinya di area itu, dan dia terus memarahi Amane dengan manis. Sedangkan bagi Amane, dirinya merasa kesulitan berurusan dengannya, karena setiap tindakannya terlihat sangat imut.

“Aku baik-baik saja sekarang, jangan khawatir. ...... Yah, aku minta maaf karena harus membuatmu mengganti pakaian.”

“Aku jatuh karena salahku sendiri, jadi ini lebih merupakan kasus yang menunjukkan bahwa aku harus memperhatikan langkahku. Aku minta maaf karena kamu harus meminjamkanku baju ganti ...”

“Tidak, itu sih...”

“Berhenti. Jika kita melakukan perckapan ini lagi maka Amane-kun akan mengadakan sesi curhat pendapat lagi, jadi aku akan mengakhirinya di sini. Paham?”

Mahiru tersenyum saat dia menutup mulut Amane dengan lengan bajunya yang terlipat, membuat Amane tersenyum kecut juga. Dia bersumpah untuk tidak pernah melupakan ingatan ini di relung hatinya dan menatap Mahiru dengan kausnya yang gombrang.

“Apa kamu ingin pulang dulu dan berganti pakaian?”

Amane menyarankan begitu karena berpikir karena dia mungkin ingin mengenakan pakaiannya sendiri, tapi secara mengejutkan, Mahiru dengan santai menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Aku ingin tetap seperti ini sebentar lagi.”

“... Begitu ya?”

Untuk beberapa alasan, Amane mempunyai keinginan menepuk-nepuk kepala Mahiru saat senyumnya terlihat berseri-seri sambil menyembunyikan mulutnya dengan lengan baju yang longgar.

“…. Ternyata Amane-kun tuh relatif ramping ya? Aku kaget dengan ukuran celanamu. Ini sangat kecil.”

“Itu karena lebih sulit untuk mendapatkan daging dibandingkan dengan wanita”

“Aku sedikit iri. Meski aku mengetahuinya, tapi aku masih sedikit iri.”

Dia menduga bahwa pria memiliki metabolisme yang lebih tinggi daripada wanita dan lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki lemak subkutan, yang tidak dapat dihindari karena perbedaan antara kedua jenis kelamin, tapi memang begitulah adanya.

Ekspresi serius Mahiru nyaris menyentak Amane dan menyentuh pinggang Amane dengan telapak tangannya. Amane menyadari kalau dirinya adalah pria kurus dan akan menolak kenyataan selama tidak ada yang menyebutkan otot-ototnya.

Dan sekarang, Amane dipenuhi dengan keinginan untuk meninju dirinya sendiri karena memberinya pakaian ini sekitar satu jam yang lalu.

Tujuan dari memberinya kaos gombrang adalah untuk membuat bentuk tubuhnya tidak terlalu terlihat, tapi hal itu justru benar-benar menjadi bumerang.

Amane menyukai pakaian dengan leher yang lebih longgar karena merasa tidak nyaman dengan kain yang menekan lehernya, tapi ternyata pakaian ini tidak pantas untuk dipakai Mahiru.

Karena ukuran tubuh Mahiru yang kecil, saat dia membungkuk ke depan, kain bajunya mengikuti gravitasi dan menciptakan lebih banyak celah di antara tubuhnya dan bagian tubuhnya yang lain. Melalui kerah baju itu, kulitnya yang seputih susu bisa terlihat.

Saat kain baju mematuhi hukum gravitasi, Amane bisa melihat sesuatu yang tidak dimilinya dibalik kain Mahiru ... sesuatu yang seakan-akan ingin menunjukkan keberadaannya. Itu adalah lembah dalam dan berwarna putih yang mempesona, yang biasanya tidak pernah terlihat.

Amane berbalik dengan wajah tersipu ketika melihat gunung kembar yang dibungkus dengan warna hijau limau pucat yang dia lihat sebelumnya di balik pakaiannya yang basah. Dirinya bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya yang bergema keras.

(Tolong lakukan sesuatu tentang menjadi tidak berdaya di tempat-tempat seperti ini)

Secara keseluruhan, Amane tidak berpikir bahwa  pertahanan Mahiru rendah. Dia menghabiskan banyak waktu di luar, menjadi sangat berhati-hati untuk tidak menunjukkan kulit apapun. Sebagian besar waktu dia berpakaian begitu tertutup sehingga dia hanya menunjukkan tangan dan wajahnya.

Kekuatan pertahanannya bisa dikatakan terbaik. Namun, inilah masalahnya, meskipun Amane adalah penyebab masalahnya, Mahiru saat ini tidak memperhitungkan posisi Amane saat ini.

Dia mungkin tidak menyangka kalau Amane akan melihat ke sana. Itu adalah keadaan tidak berdaya karena kepercayaan Mahiru kepadanya. Amane merasa bahwa jantungnya berdebar kencang saat mengingat pemandangan pakaian dalam Mahiru yang basah dan transparan serta garis-garis tubuhnya yang terekspos, meskipun Amane pikir kalalu dirinya sudah mendorongnya ke kedalaman ingatannya.

“... Amane-kun?”

Ketika namanya dipanggil dengan suara yang tampak seperti penasaran daripada kemarahan, Amane menggigit bibirnya dan buru-buru berdiri.  

Kyaa, Amane bisa mendengar jeritan kecil, tapi ia tidak berani melihat ke arah suara itu.

“… Ti-Tidak, bukan apa-apa, umm, ... kupikir aku akan mandi juga, karena tubuhku sudah lumayan berkeringat!”

Segera setelah mengatakan itu, Amane mencoba melarikan diri dari musuhnya, Mahiru, yang tidak memiliki pertahanan tetapi sangat baik dalam menyerang. Meninggalkan Mahiru yang kebingungan, Amane berlari masuk ke dalam kamarnya, mengambil pakaiannya, dan melarikan diri ke kamar mandi.

Amane merasa malu pada dirinya sendiri karena menjadi cowok mesum karena menatap gunung kembar Mahiru lekat-lekat, bahkan jika itu hanya sesaat.

Kali ini, giliran Amane yang jatuh di bak mandi, sebelum Mahiru berlari semenit kemudian untuk memeriksa keadaannya.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama