Chapter 2 — Rutinitas Harian Dan Makanan Yang Mengesankan.
“... Kamu lagi menulis apa?”
Setelah makan malam ketika
Amane selesai mencuci piring, Ia memandangi Mahiru yang sedang duduk di sofa dan
menulis sesuatu di buku catatannya. Amane mengira kalau dia sedang mengerjakan
PR-nya, tapi sepertinya bukan seperti itu. Rasanya tidak sopan untuk melihat
isinya sehingga Amane tidak ingin mengintip di buku catatan, tapi ketika
dirinya kebetulan lewat di belakangnya, Amane tak sengaja melirik buku itu dan
melihat nama-nama beberapa hidangan yang ditulis dengan rapi. Sepertinyanya
Mahiru sudah terbiasa duduk di sebelahnya karena dia tidak bereaksi terhadapnya
ketika Amane duduk di sebelahnya dan dengan tenang menggeser pulpennya.
“Ini semua daftar menu yang
kita makan untuk makan malam kemarin. Rasanya sangat membantu jika aku mencatat
apa yang kamu buat.”
Mahiru menjawab dengan santai
setelah jeda sesaat.
“Sebagai juru masak, ada
baiknya mengulas apa saja yang sudah kamu makan.”
“Ini sangat rinci sekali.”
“Aku hanya mencatat ulang
hidangan yang pernah dibuat. Aku memang bisa memakan hal yang sama terus tapi aku
adalah manusia. Jika kita terus memakan makanan hal yang sama dalam jangka
waktu tertentu, itu sama sekali tidak bergizi dan menganggu keseimbangan nutrisi
dalam tubuh.”
Amane juga tipe orang yang bisa
terus makan jenis makanan yang sama, tapi dirinya lebih menyukai mencicipi
berbagai makanan. Pertama-tama, Mahiru sering menyajikan hidangan yang
bervariasi sehingga dia tidak pernah memasak hal yang sama dua kali. Paling
banter, dia cuma menggunakan sisaan kari atau saus daging dari hari sebelumnya
dan membuat versi hidangan yang dimodifikasi. Walaupun Amane tidak terlalu
memikirkannya, dirinya sering melihat masakan dengan bergizi seimbang seperti
daging, ikan, telur, kacang, dan produk susu. Amane bersyukur bahwa Mahiru
bukan tipe orang yang mubazir makanan, tetapi pada saat yang sama, Amane merasa
tidak enakan padanya.
“Entah bagaimana, aku benar-benar
sangat berterima kasih padamu.” ucapnya.
“Tolong hentikan, aku
melakukannya demi kepuasanku sendiri. Menyimpan catatan untuk manajemen gizi
juga tidak sulit, kok.”
“Benar, apalagi jauh lebih
mudah untuk memeriksa apa ada sesuatu yang salah dengan makanan saat rasanya
buruk atau rasanya tidak sesuai selera.”
“Bukannya aku ingin dipuji atau
semacamnya, tapi lebih mudah untuk membuat kebiasaan karena mungkin akan
berguna nanti.”
“Aku masih berpikir itu bagus
... jadi terima kasih.”
Amane benar-benar terkesan
dengan seberapa seriusnya Mahiru dan dirinya mendapatkannya tanpa usaha.
“Pada dasarnya aku cenderung
terampil dalam memasak daripada makan, jadi nama-nama hidangan tidak muncul di
benakku secepat itu, jadi aku mencoba untuk menjadi kreatif ...
ngomong-ngomong, Amane-kun sendiri luar biasanya. Kamu bisa mengentahui beberapa
hidangan saat disajikan di atas meja.”
“Ternyata kamu mengingatnya,
ya? Orang tuaku yang di rumah ... Atau lebih tepatnya kebanyakan dari ayahku,
Ia memasak banyak hal, jadi aku bisa menyicipi berbagai makanan yang enak
darinya.”
Jika ada yang mengatakan bahwa
lidahnya buruk karena Amane tidak bisa memasak, maka mereka salah kaprah. Sama
seperti tidak semua kritikus makanan adalah juru masak, seseorang bisa
meningkatkan rasa seleranya bahkan jika kamu tidak bisa memasak. Orang tua
Amane, terutama ayahnya, merupakan koki yang hebat dan dirinya sering pergi ke
restoran bersama mereka, sehingga lidahnya secara alami menjadi lebih peka. Dan
sekarang berkat Mahiru, kriteria evaluasinya menjadi lebih ketat, tapi Amane tidak
bisa mengatakan bahwa dirinya selalu benar.
“Begitu ya .... jika memang
begitu, rasanya jadi masuk akal. Karena aku juga sama begitu”
Mahiru tampaknya yakin dengan
penjelasan itu, tapi ekspresinya tidak jelas. Mungkin itu karena lingkungan
keluarganya. Amane tidak tahu banyak tentang urusan keluarga Mahiru dan tidak
masuk ke dalam urusan pribadinya, jadi dirinya menahan diri untuk tidak mengatakan
sesuatu lebih lanjut. Amane lalu melihat buku catatan yang sempat ditulis
Mahiru.
“Boleh aku melihatnya?”
“Buku catatan ini? Aku tidak
keberatan sih, tapi ini tidak terlalu rapi, loh.”
“Menurutku enggak begitu, tapi
aku tetap ingin melihatnya.”
Mahiru tampaknya tidak terlalu
khawatir dengan permintaan Amane karena dia hanya menyerahkan buku itu
kepadanya.
Amane lalu membuka buku setelah berterima kasih padanya, dan
menemukan bahwa nama-nama menu selama tiga bulan terakhir ditulis sesuai urutan
tanggal dengan tulisan tangan yang rapi dan bersih khas Mahiru.
Buku catatan tersebut dimulai
pada hari pertama mereka makan bersama. Di sana tertulis beberapa menu termasuk
sup miso, ikan rebus, sayuran hijau, gulungan telur dadar, dan hidangan
nostalgia lainnya. Amane tak bisa menahan senyumnya setelah membaca nama-nama
hidangan itu.
Amane berpikir bahwa sikap
Mahiru sudah semakin melunak sejak hari itu, dan dirinya terus melihat
nama-nama hidangan itu dengan perasaan nostalgia seolah-olah sedang melihat
kembali kenangan itu.
Mahiru pada dasarnya memasukkan
berbagai hidangan dari genre yang berbeda ke dalam menunya, tapi ketika
memeriksanya lagi seperti ini, Amane menyadari kalau ada banyak menu hidangan
bergaya Jepang. Karena Mahiru sangat menyadari kesukaan Amane pada telur, jadi hidangan
telur sering disajikan di atas meja, dan Amane sangat menyadari bahwa dirinya
telah diberi banyak perhatian.
“Oh, yang ini rasanya enak
banget.”
Di antara hidangan telur yang dibuat
Mahiru, Amane sangat menyukai Dashimaki
Tamago, itu adalah hidangan favoritnya. Selain itu juga ada Kinchaku tamago yang menjadi hidangan
kesukaannya yang lain. Amane menjadi sangat bersemangat ketika melihat telur
rebus dengan hiasan yang dia buat satu kali.
Mahiru yang duduk di sebelahnya
sedikit terkejut dan tersenyum cerah. Itu adalah hidangan di mana tahu goreng
berisi telur di dalamnya, lalu dimasak dengan saus manis dan pedas, dan
sepertinya tidak sulit bagi Mahiru. Tentu saja Amane tahu kalau Mahiru akan
merasa senang jika dirinya mengatakan bahwa apa yang dia buat rasanya enak.
Namun, semua hidangan yang dibuat Mahiru sangat lezat, jadi sisanya tinggal
masalah selera.
“…… Kamu itu beneran sangat
suka telur, ya?”
“Telur adalah makanan yang luar
biasa, loh? Rasanya masih tetap enak meski itu direbus, dipanggang, direbus,
digoreng, dikukus, maupun diasap, dan penuh protein juga. Aku ingin memakannya
setiap hari.”
“Secara nutrisi, tentu saja telur
merupakan makanan yang seimbang dan harus makan setidaknya satu kali sehari, tapi
jarang-jarang menemukan seseorang yang sangat menyukainya seperti Amane-kun.”
“Benarkah? Habisnya aku sangat menyukainya,
sih.”
“Apa kamu ingin makan kinchaku tamago?”
“Eh?”
Amane tertegun saat mendegar
tawaran Mahiru yang begitu mendadak. Ekspresi tenangnya yang biasa tetap tidak
berubah. Amane tidak berniat mendesaknya untuk membuatnya sama sekali. tapi
sepertinya Ia membuat Mahiru menjadi khawatir dengan membicarakan kecintaannya
pada telur.
“Entah kenapa, aku minta maaf
untuk itu.”
“Kamu enggak perlu meminta maaf
segala, lagian kita sudah kehabisan telur, jadi aku akan sekalian membelinya.
Yah, menu besok sudah sudah ditetapkan, jadi kita dapat menyesuaikannya untuk
hari lusa nanti. Aku akan membuat beberapa lauk lain untuk mencocokkannya
supaya gizinya seimbang, kalau hanya sebatas itu aku siap menerima
permintaanmu., kok….?
“Benarkah?”
Amane mendapati dirinya menatap
Mahiru dengan gembira. Mahiru untuk beberapa alasan berdeham setelah menerima
tatapan Amane, dan kemudian menjawab, “Aku
tidak keberatan.” Amane tidak melewatkan perkataan Mahiru, yang menjawab
dengan pipinya yang merah merona
“Asyikk, aku jadi sangat menantikan hari besok.”
Amane selalu menantikan makanan
Mahiru setiap hari, tapi jika dia membuat makanan kesukaannya, Amane jadi
sangat menantikannya. Hari lusa nanti dirinya harus berlari marathon karena
pelajaran olahraga dan hal itu akan menjadi neraka baginya. Tetapi karena Ia
bisa mencicipi masakan Mahiru, Amane merasa bisa berlari melalui dengan sekuat
tenaganya.
“... jika kamu sangat menikmatinya,
maka ada baiknya dibuat. Yah karena Amane-kun adalah tipe orang yang selalu
memuji masakan apapun yang kubuat.”
“Karena makanan yang lezat
tetap makanan lezat. Apalagi, masakan yang dibuat Mahiru selalu enak.”
“…… Terima kasih banyak.”
“Karena itu sesuatu yang selalu
aku nantikan setiap hari, sih. Kamu sangat membantuku, terima kasih.”
Amane menyampaikan perasaannya
seperti yang dia rasakan, tetapi Mahiru tampak terang-terangan terganggu dan
secara halus terkejut. Setelah bergerak sedikit tidak nyaman, dia dengan lembut
menghela nafas dan tampak agak lelah.
“Bahkan jika kamu terlalu
memujiku, kamu takkan mendapatkan apa pun dariku, oke.”
“Tapi aku akan mendapatkan
makanan yang sangat enak, iya ‘kan?”
“… Hal semacam itu benar-benar
salah satu kelebihan darimu, Amane-kun.”
“Apanya?
“Tidak, bukan apa-apa, kok.”
Amane sedikit panik karena
berpikir kalau dirinya mungkin mengatakan sesuatu yang menyinggung Mahiru
karena dia menolak untuk melakukan kontak mata dengannya.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya