Otonari no Tenshi-sama Jilid 5.5 Bab 6 Bahasa Indonesia

Chapter 6 — Kecemasan Masa Kecil Dan Kelegaan Masa Kini

 

Belakangan ini, sebagian besar waktu akhir pekan Mahiru dihabiskan di unit apartemen Amane.

Dia memberikan alasan yang masuk akal bahwa dirinya mengkhawatirkan kesehatan Amane, tapi pada kenyataannya itu adalah tindakan dari perasaan egoisnya karena dia ingin berada di dekat orang yang dia cintai.

Tentu saja, dia mengerti bahwa waktu sendirian juga penting bagi dirinya dan Amane, oleh karena itu dia tidak membatasinya. Dia mencoba untuk tetap dekat dengan Amane dengan diam-diam dan hati-hati mengamatinya untuk melihat apakah Amane merasa keberatan atau terganggu oleh kehadirannya.

Untungnya, Amane tidak keberatan Mahiru berada di rumahnya dan menerima kehadirannya sebagai hal yang biasa. Amane tersenyum sangat bahagia sehingga Mahiru sering salah mengartikan senyumnya.

Hal pertama yang terlintas di benak Mahiru adalah betapa gampangannya dirinya karena merasa senang hanya dengan berkunjung ke rumah Amane, dan meskipun dia sedikit mengejek diri sendiri, mulutnya masih sedikit tersenyum gembira.

Dia sedikit menampar pipinya untuk mengencangkan wajahnya dan kemudian membuka pintu depan Amane dengan kunci cadangan yang Amane berikan padanya. Dia masuk melalui pintu depan, tetapi tidak ada suara yang menyambutnya.

Mahiru berpikir kalau Amane mungkin sedang tidur tetapi terlambat menyadari bahwa ia sedang keluar ketika tidak melihat sepatu kets yang biasanya Amane kenakan.

Dia setengah heran dan setengah tertarik karena Amane merupakan tipe orang indoor dan biasanya tidak keluar pada jam seperti ini. Tapi kemudian dia harus memikirkan apa yang harus dirinya lakukan.

(Apa itu boleh untuk bersantai di sini tanpa izin tanpa kehadiran pemilik rumah ini?)

Dia memiliki kunci cadangan dan izin untuk datang dan pergi sesuka hatinya, tapi dia merasa tidak pantas berasa di sini tanpa ada kehadiran Amane.

“Kamu bisa masuk tanpa perlu menungguku, dan kurasa Mahiru tidak akan melakukan suatu kesalahan.”

“Tentu saja tidak, tapi menurutmu memang aku diperbolehkan memasuki ruang pribadi tanpa izin?"”

“Apa kamu ingin memasuki kamar tidurku?”

“Tidak, aku takkan selancang itu .... tapi bukan begitu maksudku, bukannya kamu khawatir mengenai aku yang sembarangan masuk dan melihat sesuatu?”

“Aku tidak mempermasalahkannya karena tidak ada yang aku pedulikan. Dan aku tahu kalau kamu tidak berminta memasuki kamar tidur, sehingga kamu bebas melakukan apa pun yang kamu inginkan di ruang tamu.”

Meskipun mereka sudah melakukan percakapan semacam itu sebelumnya, Mahiru masih merasa sangat ragu-ragu karena itu masih rumah orang lain. Mereka masih memiliki aturan bahwa mereka akan saling menelepon jika mereka akan terlambat. Jadi Mahiru tidak berpikir kalau Amane akan pulang terlambat karena dia tidak mendengar apa-apa darinya.

(Apa itu tidak masalah jika aku menunggu sebentar?)

Mahiru merasa sedikit bersalah dan sedikit tidak bermoral, tetapi dia melepas sepatunya dan memasuki ruang tamu dan mendapati ruang itu masih sepi dan kosong.

Meski aroma rumah Amane masih terasa nyaman, namun entah kenapa terasa tidak nyaman dan dingin karena orang yang disukainya masih belum ada.

Seperti biasa, dia duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran. Biasanya ketika dia duduk di sofa, Amane sedang berada di sebelahnya. Ketika mereka bersantai setelah mengurus urusan masing-masing, mereka duduk di sofa seperti ini seraya mengobrol banyak hal dan menghabiskan waktu damai dengan bersantai.

Namun sekarang, keberadaan Amane tidak ada di sampingnya. Suhu tubuh Amane sedikit lebih tinggi dari Mahiru, dia memiliki aroma yang tenang dan segar, suaranya yang tenang tidak terlalu rendah dan menenangkan untuk didengar, tubuhnya yang kurus tapi kokoh tidak goyah ketika dia bersandar sedang tidak ada di sebelahnya. Ketika Mahiru menyadari hal ini, dia merasakan rasa kesepian yang tak tertahankan.

“... Kuharap kamu akan segera kembali.”

Mahiru melontarkan kata-kata tersebut tanpa sengaja, menyebabkan dia tertawa dan penasaran apakah dia benar-benar kesepian. Dia merasa bodoh dan malu pada dirinya sendiri karena mencoba mengambil waktu Amane.

Bahkan meskipun dia sudah terbiasa menyendiri, dirinya telah memasuki rumahnya tanpa izinnya dan sekarang menunggunya. Dia menghela nafas pada keegoisannya dan menambah berat badannya di sandaran.

Mahiru sudah terbiasa menunggu. Dia telah menunggu sesuatu untuk sebagian besar hidupnya yang singkat selama enam belas tahun. Dia telah menunggu selama bertahun-tahun dan sekarang dia telah menyerah pada beberapa hal.

Menunggu sesuatu yang kamu tahu bahwa seseorang akan kembali tidaklah sulit.  Meski begitu, sebagian dari dirinya merasa dadanya sesak saat mengingat beberapa kenangan lamanya.

( … Hal ini mengingatkanku pada bagaimana aku dulu selalu menunggu orang tuaku)

Hal-hal yang selama ini terdorong ke belakang dalam pikirannya, saat kenangan yang tidak menyenangkan muncul ke permukaan.

Kenangan tentang adegan dia menunggu sendirian untuk orang tuanya yang dia tidak tahu kapan mereka akan kembali, muncul di benaknya, seolah-olah tidak mungkin baginya untuk menahannya.

 

♢♢♢♢

 

Sejak Mahiru masih kecil, tidak ada seorang pun di rumahnya.

Dia tinggal di sebuah unit apartemen di satu lantai sebuah gedung apartemen. Rumah itu cukup besar untuk ditinggali sebuah keluarga. Rumah itu dilengkapi dengan perabotan yang nyaman dan lengkap untuk ditinggali. Di rumah seperti itu, Mahiru tinggal sendirian.

Atau lebih tepatnya, keluarganya tidak ada di rumah tetapi ada pembantu rumah tangga sekalgus pengasuh yang bernama Koyuki, tapi bahkan dia harus pulang ke rumahnya sendiri.

Dan orang-orang yang seharusnya bersamanya, yang memiliki hubungan darah dengannya, berada jauh dari rumah. Orang tuanya sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga mereka jarang pulang ke rumah dan tidak pernah muncul, seolah-olah mereka tidak peduli dengan keberadaan Mahiru.

Namun, karena akan mendapat pandangan tidak baik dari masyarakat jika mereka tidak melakukan apa-apa. Jadi mereka memberinya dana yang cukup dan pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh, Koyuki, untuk mendidiknya dan meninggalkannya sendirian seakan-akan mereka sudah memenuhi kewajiban minimum mereka.

Baru ketika beberapa tahun kemudian setelah dia memasuki sekolah SD, Mahiru mulai menyadari bahwa dia diabaikan dan secara objektif memahami bahwa itu salah, lalu pada saat yang sama dia menyadari bahwa dia ditelantarkan kedua orang tuanya. Dia juga menyadari bahwa ibunya memiliki seorang simpanan.

Mahiru segera menyadarinya karena dia lebih pintar dan ingin disayangi orang tuanya lebih dari anak-anak lain. Jika dia tidak menyadarinya, dia akan tetap menjadi anak yang polos dan lugu.

 

♢♢♢♢

 

“Okaa-sama.” (TN: Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia sih artinya, Ibunda)

Suatu hari, sekitar pertengahan masa sekolah SD-nya, Mahiru benar-benar merasa senang melihat kehadiran ibunya yang kebetulan pulang ke rumah.

Dia sangat senang melihat ibunya yang tidak pernah menunjukkan wajahnya, dia berlari ke arahnya dan berbicara kepadanya sambil tersenyum, tetapi ibunya tidak menanggapi. Seolah-olah keberadaan Mahiru tidak pernah ada. Ibunya hanya memegang beberapa bahan di tangannya dan bahkan tidak berbalik untuk melihatnya.

Mahiru bertanya-tanya apakah ibunya baru saja pulang kerja, dan berpikir akan salah jika dia mengganggunya. Tapi dia sangat senang melihatnya setelah sekian lama sehingga dia berbicara dengannya tanpa melihat secara mendalam kondisi ibunya.

“Umm, aku sudah bekerja sangat keras bahkan saat Okaa-sama pergi. Aku melakukan yang terbaik dalam ujian dan olahraga, aku bahkan sering menjadi peringkat pertama dalam banyak hal.”

Mahiru memegang ujung gaunnya sambil tersenyum, berniat untuk melaporkan bahwa dirinya sudah melakukan banyak belajar dan berolahraga selama dia pergi. ...... Kemudian tubuh ibunya akhirnya berbalik menatapnya.

Ini adalah pertama kalinya ibunya benar-benar menghadapinya seperti ini. Mahiru biasanya hanya bisa menatapnya dari kejauhan atau hanya melihat punggungnya sebelumnya, jadi ini adalah pertama kalinya dia melihatnya begitu dekat dan jelas.

Wajah ibunya yang menoleh ke arahnya mempunyai wajah tegas yang menolak semua orang di sekitarnya. Meskipun wajahnya memiliki rupa yang baik seperti yang dikatakan Koyuki padanya, namun wajahnya tidak begitu mirip dengan Mahiru.

Sementara Mahiru memiliki wajah yang tenang dan lembut, mirip dengan ayahnya; sedangkan wajah ibunya terlihat ketus dan galak, kebalikan dari wajah Mahiru. Dan itu bukan hanya wajahnya, tetapi juga tindakannya.

Ibunya melihat Mahiru di depan matanya, dia lalu menunduk dan menepis tatapan putrinya dengan tatapan dingin dan kemudian mengabaikannya.

Aksinya mungkin tidak terlalu keras, karena mungkin dia sedang berurusan dengan seorang anak kecil. Tapi penolakannya yang begitu jelas menyebabkan Mahiru terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur.

Ibunya menatapnya dengan keheranan, tidak ada kehangatan dalam tatapan yang dia curahkan padanya. Ketika dia akhirnya mengenalinya, Ibunya memandangnya seolah-olah dia sedang melihat batu di sisi jalan.

Dan pada saat itulah Mahiru mengerti,

———bahwa keberadaannya sama sekali tidak diinginkan  

Rasa mual dan suara detak jantungnya yang memuakkan menghentikannya untuk berpikir lebih jauh. Namun, begitu pikirannya berputar, semua tindakan mereka sebelumnya mulai masuk akal.

——Mengapa dia ditelantarkan?

——Mengapa mereka tidak pernah pulang ke rumah?

——Mengapa mereka bahkan tidak ingin menyentuhnya?

(Karena aku tidak dicintai dan tidak diinginkan)

Tatapan ibunya seolah-olah menjawab pertanyaannya dengan lantang.

(... Okaa-sama sama sekali tidak menginginkanku)

Sebelum dia memahaminya, Mahiru sering bertanya kepada Koyuki, tetapi sekarang dia dengan cepat mendapatkan jawabannya sendiri.

Mereka tidak merawatnya karena dia tidak dibutuhkan.  Mereka melahirkan seorang anak dan melepaskan tugas mereka sebagai orang tua dan menelantarkannya. Oleh karena itu, ibunya jarang muncul dan bahkan ketika Mahiru mengulurkan tangan padanya, dia mengabaikannya begitu saja.

Sementara Mahiru terkejut dan kecewa setelah menyadari kenyataan kejam dari situasinya, ibunya berbalik dan pergi meninggalkannyabegitu saja, Mahiru hanya bisa menatap kosong punggungnya yang semakin menjauh.

Mahiru mencoba mengulurkan tangannya, tapi tangannya hanya menangkap udara kosong dan tidak menjangkau apa pun. Tidak ada yang tersisa untuk Mahiru. Tidak, sejak awal dia tidak mempunyai apa-apa.

Air mata menetes dari matanya dan isak tangis keluar dari hatinya yang lembut yang dicungkil dengan kejam. Hal yang bisa dia katakan dengan pasti ialah bahwa dirinya tidak dicintai. Tidak peduli seberapa keras dirinya mencoba, jika dia tidak dicintai sejak awal maka dia tidak akan pernah dipandang. Jadi semua usahanya sia-sia.

“Mengapa?”

Mahiru menangis dengan keras di rumah yang kosong itu, mencoba mengatasi kemarahan yang meluap dari dalam dirinya dan mengancam akan menghancurkan hatinya begitu dia menyuarakan keraguannya.

Ketika Koyuki datang ke rumahnya, Mahiru sudah berhenti menangis, tetapi bahkan dengan Koyuki, seseorang yang dia sayangi, dia tidak bisa tersenyum setulus sebelumnya. Sesuatu seperti kepasrahan mengisi tubuhku, dan senyumnya terasa menegang dan membuatnya menjadi kaku.

(Jika dia menolakku…)

Jika dia tidak tahu apa-apa, dia mungkin akan memeluk Koyuki dan menangis sejadi-jadinya. Namun, Mahiru menjadi takut ketika dia mengetahui bahwa orang tua kandungnya tidak mencintainya. Koyuki menghormati dan merawat Mahiru, sosoknya sudah mirip seperti pengganti orang tuanya—— tetapi itu karena hanya bagian dari pekerjaannya.

Karena dirinya bahkan tidak dicintai oleh orang tua kandungnya sendiri, jadi mana mungkin Koyuki akan menyayanginya.

Jika dirinya bergantung pada Koyuki, dirinya pasti akan bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar disayangi atau tidak.

(Meskipun itu mungkin tidak benar)

Dia tidak ingin menjadikan Koyuki sebagai pengganti orang tuanya karena mereka tidak mencintainya, dan dia takut ditolak.

Karena takut untuk memastikannya, dMahiru mendorong Koyuki yang khawatir dengan senyum tipis dan memegangi dadanya untuk menyembunyikan perasaannya saat dia terus menangis kesakitan.

 

♢♢♢♢

 

Mahiru terluka oleh penolakan ibunya, tetapi dia tidak bisa menyerah pada gagasan mengenai cinta. Dia penasaran bahwa jika dia menjadi anak yang lebih baik, mereka setidaknya bisa memberinya sedikit kesempatan untuk dipandang sebagai anak yang lebih baik.

Dia ingin mereka melihatnya, dan Mahiru melakukan semua upaya yang dia bisa untuk membuat mereka melihatnya, dia berusaha lebih keras dari sebelumnya. Dirinya akan merasa lebih dari cukup jika mereka mengakui usahanya dengan satu kata “Kamu sudah melakukan yang terbaik”. Hanya satu kata itu saja sudah sangat berharga baginya.

Bagaimanapun juga, mereka tetap tidak mau memandangnya bahkan jika Mahiru meningkatkan kemampuannya dalam pelajaran, atletik, dan penampilan. Bahkan jika dia berperilaku dengan cara yang diinginkan sebagian besar orang, menjadi siswa teladan, atau bahkan jika dia memuji orang tuanya, orang tuanya tidak pernah meliriknya.

Pada suatu hari ketika mereka bertemu satu sama lain, ayahnya dengan canggung bertukar kata tetapi hanya itu saja. Ayahnya tidak pernah benar-benar melihat situasi Mahiru dari luar atau dalam dan lebih bertindak seolah-olah dia yang bersalah dan berpaling darinya.

Bagaimanapun, pernikahan mereka adalah pernikahan bisnis dan dia merasa bahwa dirinya hanya eksistensi yang lahir dari kesalahan cinta satu malam yang mereka lakukan.

(Jika kalian tidak menyukai apa yang kalian lihat, kalian seharusnya tidak memilih untuk melahirkan. Aku tidak meminta kalian untuk melahirkanku)

Betapa jauh lebih baik dirinya jika dia bisa mengatakannya. Namun, saat ini, Mahiru telah belajar untuk bersikap peka dan menekan emosinya, sehingga dia tidak berbicara melainkan menelan emosinya dan mendorongnya jauh-jauh ke dalam hatinya.

Hatinya kini menjadi dingin dan kosong, meski seharusnya diisi oleh perasaan dendam, kebencian, dan kotor, tetapi di dalam dadanya terasa kosong dan angina dingin berhembus seolah-olah tidak ada apa-apa di sana.

Hatinya terasa dingin, sedih dan menyakitkan.

Mahiru tidak tahu apa yang akan mengisi rongga di dalam hatinya ini. Tidak, bahkan jika dia mengetahui apa yang akan mengisi hatinya, dia menyadari bahwa hal itu bukan sesuatu yang bisa dia dapatkan.

Jika dia harus mengatakannya dalam dua kata maka itu adalah kasih sayang, tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk mencapainya, hal seperti itu hanya seperti dia mencoba untuk mencapai ujung langit, dia bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ada atau tidak.

Meskipun dia bertingkah seperti anak yang baik, dia tidak bisa mendapatkan sedikit pun cinta dari orang tuanya, yang dianggap remeh oleh anak-anak lain.

Untungnya atau sayangnya, Mahiru juga mewarisi gen yang kuat dari orang tuanya untuk menjadi luar biasa, berkat usahanya dia tumbuh menjadi gadis cantik dan meningkatkan kemampuannya sampai-sampai bisa dikatakan serba bisa.

Pada saat Mahiru duduk di tahun-tahun terakhir sekolah dasar, perbedaan gender mulai terlihat dan dia menjadi sangat disukai oleh lawan jenis. Pada saat itu, dia sudah memahami bagaimana berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain dapat menerimanya dengan baik dan sebisa mungkin tidak membencinya.

Dia bersikap rendah hati tanpa sombong, tetapi tetap lembut dan anggun agar tidak dianggap jutek dan memperlakukan semua orang dengan kebaikan dan kesopanan, membentuk dirinya menjadi wanita ideal yang kebanyakan orang bayangkan. Dan beginilah caranya keberadaan yang terdistorsi muncul———  

Sosok Tenshi-sama yang dikenal semua orang.

Sebagai hasil dari permukaannya yang mengeras sempurna, dia tumbuh menjadi gadis yang membuat semua orang iri, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui bahwa bagian dalamnya penuh dengan lubang.

Dirinya telah menjadi eksistensi kosong, karena meskipun dia mudah disukai orang-orang, tetapi dia tidak mengetahui satu hal pun mengenai cinta.

Mahiru merasa hampa dengan keberadaannya sendiri, namun dia tetap tidak berhenti memperbaiki diri.

—— Jika semua orang menyukainya, akankah perasaan kosong di hatinya terisi?

——Apakah orang tuanya akan memandangnya?

——Apakah mereka akan bisa memahaminya dan menyayanginya?

Dengan harapan yang hampir pupus, Mahiru bertanya tanpa meminta siapa pun untuk mendengarkan.

“Padahal itu mungkin tidak benar.”

Ini adalah jawaban yang keluar dari dalam dirinya, bukan diberikan oleh orang lain.

“Meskipun aku sudah berusaha keras, baik Otou-sama maupun Okaa-sama tetap tidak mau memandangku.”

Suara-suara ejekan bisa terdengar tumpang tindih, bergema dengan lesu.

“Asumsi bahwa jika disukai semua orang akan menyembuhkan hatiku saja sudah salah. Jika aku hanya bisa disukai dengan berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan jati diriku, bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencintaiku apa adanya? Orang-orang hanya menyukai topeng yang aku kenakan. Aku hanya seperti sedang mencekik diriku sendiri. Tidak ada yang mau menatap jati diriku yang sebenarnya.”

Ekspresi Mahiru berubah dengan jelas dan menertawakan jawaban yang diperolehnya.

 

♢♢♢♢

 

Kemudian, Mahiru perlahan-lahan membuka kelopak matanya ketika merasakan kehangatan di sisinya. Aroma menenangkan yang familiar berada di dekatnya dan dia mencoba melihat dari mana kehangatan itu berasal.

Sementara matanya masih kurang fokus, dia melihat sosok manusia yang tidak ada di sana beberapa saat yang lalu. Dia menggosok pipinya ke arahnya dengan perasaan lega karena kehangatan yang menenangkan, tapi … tiba-tiba dia mendengar tawa kecil.

“Selamat pagi.”

Suara yang baru saja dia dengar adalah sesuatu yang dicari Mahiru. Dia menoleh dengan gerakan lambat dan melihat Amane menatapnya dengan ekspresi dan tatapan mata yang lembut.

Terlambat menyadari bahwa dirinya bersandar pada Amane, Mahiru mengangkat dirinya sendiri. Dia tidak tahu kapan Amane kembali atau kapan dia tertidur.

“... ap-apa jangan-jangan aku ketiduran?”

Ketika Mahiru dengan takut-taku bertanya kepadanya, Amane hanya mengangguk dengan santainya.

“Benar, aku pulang sekitar satu jam yang lalu dan sudah melihatmu dalam keadaan tertidur, jadi aku mencoba untuk tidak membangunkanmu, tapi ketika aku duduk di sebelahmu, kamu segera bersandar padaku, jadi aku meninggalkanmu begitu saja.”

“Ma-Maafkan aku. Aku datang ke sini seenaknya ketika kamu tidak ada di sini dan bahkan ketiduran ...”

“Aku tidak keberatan jika kamu masuk, dan kamu bahkan pernah ketiduran di kamarku sebelumnya, ‘kan?”

“Ugh.”

Karena bisa dibilang rumah Amane terasa nyaman dan dia cenderung mengantuk sehingga dia tidak bisa membantahnya, dan hanya bisa mengerang pelan. Setelah Amane menunjukkan hal ini, Mahiru tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Pertama kali dia tertidur adalah selama kunjungan Shihoko. Itu benar-benar tidur siang yang tidak disengaja, tapi itu hanya karena dia memercayai Amane sehingga dia sedikit lengah.

Mana mungkin Mahiru bisa tertidur ketika seseorang berada di sisinya, tapi keberadaan Amane itu spesial. Sebagian itu karena dia suka dekat dengannya dan merasa nyaman ketika berada di sisinya, sebagian lagi karena Mahiru percaya bahwa Amane takkan melakukan apa pun padanya.

Ketika berada di dekat Amane, dia merasa gugup sekaligus tenang. Hal itu mungkin karena jarak dan suasana Amane yang pengertian.

Mahiru juga memiliki keyakinan bahwa Amane akan menghormatinya, merawatnya dan menjaganya sehingga inilah yang membuatnya merasa aman dan nyaman.

“Hal itu menunjukkan sebera nyamannya kamu bisa berada di ruangan ini, tapi ... sepertinya kamu tidak bisa tidur  dengannyenyak.”

“Eh…”

“Pada saat tidur tadi kamu sedikit kesakitan. Kamu pasti mengalami mimpi buruk, ‘kan?”

Itu pasti efek samping dari tertidur sambil mengenang masa lalu, tapi dia sepertinya ekspresinya bisa terlihat jelas saat tertidur tadi. Ketika Amane menatapnya dengan khawatir, Mahiru hanya bisa tersenyum samar sambil bertanya-tanya bagaimana menjelaskannya.

“… Ya, bisa dibilang aku baru saja mengalami mimpi buruk.”

“Begitu ya ... apa aku tidak boleh bertanya mengenai itu?”

“Bukannya aku keberatan ditanya... hanya saja, itu bukan cerita yang menarik. Kalaupun ada, itu akan membuat Amane-kun merasa tidak nyaman.”

Tidak ada indikasi bahwa Amane memiliki pandangan yang baik terhadap orang tua Mahiru ketika dia menjelaskan kepada Amane tentang cara pengasuhan orang tuanya.

Dia memang memberitahunya setiap episode yang bisa membuatnya merasa baik, meskipun lebih tepat untuk mengatakan tidak ada episode seperti itu.

 Tidak dapat dipungkiri bahwa Amane akan memiliki perasaan buruk tentang mereka karena dia tahu tentang situasinya, dan bahkan Mahiru menyadari bahwa kedua orang tuanya akan diklasifikasikan sebagai bajingan di mata orang lain.

(… Tetap saja, aku juga seorang anak-anak karena aku ingin dicintai oleh orang tuaku)

Tidak ada yang namanya cinta tanpa syarat untuknya, setidaknya tidak antara dirinya dan orang tuanya. Mahiru menjangkau dan berpegangan erat pada mereka karena dia sangat menginginkan pengakuan mereka, tetapi dia masih tidak bisa mengangguk jika ditanya apakah dia memiliki kasih sayang yang murni untuk mereka.

Amane sepertinya sudah menebak mimpi macam apa yang Mahiru alami dari cara dia membujuknya dan ketika dia memberikan sedikit keraguan. Jadi Mahiru balas tersenyum kepada Amane dengan tatapan penuh perhatian.

“Itu bukan masalah besar, oke? Aku hanya bermimpi buruk tentang masa lalu, ketika aku menunggu sendirian sepanjang waktu. Mereka tidak pernah kunjung kembali dan tidak pernah melihatku. Hanya itu saja.”

Tidak peduli berapa lama dirinya menunggu, kedua orang tuanya tidak pernah kembali ke Mahiru dan bahkan tidak melihatnya sebagai anak mereka. Itu hanyalah mimpi dari masa kecilnya.

“… Walaupun aku mencoba yang terbaik, tapi pada akhirnya aku hanya bisa menjadi anak yang gampangan. Kupikir jika aku menjadi gadis yang baik, mereka akan lebih sering melihatku, tetapi sekarang aku mengerti bahwa mereka tidak perlu melihatku lagi. karena aku bukan anak yang mereka inginkan.”

Dia mencoba untuk menjadi semakin baik setelah terguncang, tetapi hal itu mungkin memiliki efek sebaliknya. Mungkin karena orang yang mengambil banyak masalah menyebabkan masalah sebagai orang tua tapi tidak ada sedikitpun rasa cinta.

Mahiru tidak ingin melakukan apa-apa lagi karena sekarang sudah terlambat, dia tidak ingin mencari kasih sayang dari orang tuanya di usianya saat ini. Tetapi bahkan sekarang, dia memikirkan banyak perumpamaan di masa depan tanpa jawaban, jika saja dirinya seperti itu maka mungkin…

Ketika Mahiru tertawa pelan memikirkan perandaian yang tidak ada artinya seperti itu, sebuah telapak tangan yang besar dan dapat diandalkan mendarat di kepalanya. Dia menatap Amane untuk menanyakan apa ada yang salah, tatapan mata mereka bertemu, Amane menurunkan alisnya dan menggelengkan kepalanya dengan meminta maaf, seolah-olah ia bermasalah.

“… Maaf ya, aku sudah membuatmu merasa kesepian.”

“Kenapa malah Amane-kun yang meminta maaf? aku datang ke sini atas kemauanku sendiri, menunggu di sini atas kemauanku sendiri dan melihat mimpi itu atas kemauanku sendiri.”

“Memang ada kemungkinan kamu akan datang ke rumahku dan aku tidak meneleponmu untuk memberi tahu kalau aku akan keluar. Kamu sudah menunggu begitu lama sampai kamu ketiduran seperti ini, kamu pasti lelah menungguku.”

Setelah mengatakan ini, Amane menurunkan pandangannya dan kemudian menatap langsung ke arah Mahiru

“… Aku akan terus melihatmu dan selalu kembali kepadamu, Mahiru.”

Suaranya tidak terlalu keras, tapi terdengar  kuat dan tulus. Matanya yang jernih dan jujur ​​membuat Mahiru merasakan kelenjar air matanya mengendur, tapi dia masih bisa menahan air matanya dan tersenyum kecil.

(Kurasa itu sebabnya aku jatuh cinta padanya)

Amane memang sedikit kurang jujur, tapi ia selalu bersikap lembut, penuh kasih sayang dan menatap lurus ke matanya. Amane menerima dan menyayanginya baik bagian permukaan yang sudah diperbaiki maupun bagian dalam yang rapuh.

Bagaimana mungkin dia tidak jatuh cinta pada orang seperti itu? Tidak, dia sudah dibuat klepek-klepek padanya.

“... Kedengarannya seperti lamaran,ya.”

“La-Lamaran!? Aku tidak bermaksud seperti itu!”

Ketika Mahiru menyampaikan kesannya secara mendalam demi menyamarkan perasaannya yang hampir menangis, Amane yang tampaknya telah menyadari bahwa perkataannya juga bisa dianggap begitu, tersipu malu dan melambaikan tangannya secepat pemanas air instan. Hatinya merasa tertusuk ketika melihat Amane menyangkalnya dengan keras, tetapi bahkan dia tahu Amane tidak bermaksud seperti itu, jadi Mahiru bisa dengan cepat melupakan rasa sakit tersebut.

“Aku tahu kok, aku hanya bercanda…. Tapi aku adalah salah satu tempat bagi Amane-kun untuk kembali, bukan?”

“… Bahkan Mahiru juga begitu ‘kan, rumahku sudah seperti tempat kamu untuk pulang.”

Mahiru menertawakan suaranya yang terdengar agak ragu-ragu seolah-olah dia mengira dia sedang diejek, tapi dia juga malu dengan kata-kata Amane.

Memang, rumah Amane hampir seperti tempat pulang bagi Mahiru. Ketika dia berada di rumahnya sendiri, Mahiru merasa kesepian dan sendirian.

Mahiru pikir dia sudah terbiasa, tepi dia merasa kesepian lagi karena dia bertemu dengan Amane atau karena bersamanya? Jika ada, itu mungkin yang terakhir.

Setelah bertemu Amane, dia merasa puas untuk pertama kalinya. Dia belajar tentang kegembiraan berbicara dengan seseorang yang setara. Dia belajar kehangatan memiliki seseorang di ssampingnya. Dia menemukan kenyamanan menghabiskan waktu damai bersama dan dia belajar untuk mencintai seseorang dalam arti kata yang sebenarnya.

Lubang kosong di hatinya entah bagaimana dipenuhi dengan banyak hal setelah menghabiskan waktu bersama Amane.

“Memang sih, aku bisa mengetahui semua isi rumah Amane-kun sama seperti aku tahu rumahku sendiri.”

“Yang ada justru kamu tahu lebih banyak ketimbang aku.”

“Kamu sering lupa di mana barang-barangmu berada.”

“Cerewet.”

Ketika Mahiru mengatakan itu dengan nada menggoda, Amane memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rasa malunya.

Meski dibilang lupa, tapi Mahiru tahu karena Amane melakukan hal itu demi dirinya. Hal ini karena Amane sengaja mengganti tata letak penggunaan barang ia gunakan, menjadi meletakkan benda-benda yang biasa ia gunakan untuk mudah dijangkau Mahiru.

Sebelumnya, kebutuhan sehari-hari juga disimpan di tempat yang tinggi, tetapi sekarang benda-benda tersebut telah sedikit ditata ulang untuk memudahkan Mahiru yang tidak terlalu tinggi untuk menggunakannya.

Kemudian, Amane juga menyediakan tempat untuk barang-barang pribadi Mahiru. Jumlah barang-barang pribadinya semakin berkembang pesat: selimut, sikat gigi, barang-barang perawatan pribadi, piring dan peralatan lainnya.

Sejak mereka bertemu, sedikit demi sedikit, rumah itu berubah untuk memudahkan Mahiru tinggal. Seolah-olah Amane ingin mengatakan kalau dirinya bisa tinggal di sini, dan ini adalah tempat Mahiru berada.

“… Lebih baik sekalian.”

“Sekalian?”

“…tidak, bukan apa-apa.”

Lebih baik sekalian kalau aku bisa tinggal di sisimu selamanya, tapi Mahiru tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Mereka belum memiliki hubungan seperti itu. Dan itu akan mengganggu Amane karena dia adalah gadis dengan perasaan yang berat.

Tapi itulah sebabnya Mahiru mencintai dan mempercayainya. Betapa bahagianya dirinya jika mereka bisa menjalani kehidupan yang damai dan hangat ini bersama-sama.

“... Ternyata aku ini orang yang serakah, ya.”

“Aku tidak tahu atas dasar apa kamu mengatakan ini, tetapi jika Mahiru serakah maka aku akan jauh lebih serakah.”

“Kamu pasti bercanda, kan? Amane-kun jarang meminta apa pun dari orang lain, malah kamu cenderung pendiam dan perhatian.”

“Itu sama sekali tidak benar, kok? Aku bertanya-tanya apakah aku harus mengajukan permintaan ke Mahiru.”

“Fufu,permintaan apa?”

Mahiru bertanya-tanya apakah dia bisa melakukan apa yang Amane inginkan bahkan jika dia harus memaksakan diri sedikit lebih keras untuk mewujudkannya, pemikiran itu membuatnya merasa tenang. Dan jika ada sesuatu yang diinginkan Mahiru, maka Amane pasti akan memenuhinya.

Ketika dia menatap Amane untuk mencari tahu apa permintaannya, Amane menyapukan matanya ke arahnya karena da tampak sedikit enggan untuk mengatakan apa pun. Tapi pandangan matanya tertuju pada Mahiru seolah-olah ia sudah mengambil keputusan.

“Jika kamu mengalami kesulitan, kamu bisa mengandalkanku.”

Itu adalah permintaan, tidak, itu tidak lebih dari sebuah permintaan dan tidak kurang dari sebuah saran. Tapi dia mengerti apa yang dipikirkan Amane dan mengapa ia mengatakan hal semacam itu. Mahiru berpikir bahwa dirinya sangat beruntung saat dia tersenyum. Senyumannya memang tidak terlihat secantik biasanya, tapi itu senyuman yang berasal dari hatinya yang tulus.

“.. kalau begitu, bisakah kamu memanjakanku?”

“Hmm, silakan saja, aku akan melakukan apapun yang bisa aku bantu.”

Ketika Amane mengatakan hal itu dan memasang ekspresi tegas, Mahiru sedikit bimbang, lalu ......, dia kemudian berkata “Kalau begitu, aku takkan ragu-ragu” seraya meletakkan kepalanya di pangkuan Amane yang berada di sebelahnya, seolah-olah dia sedang berguling-guling.

Mahiru lalu menoleh ke arah langit-langit, dan melihat Amane yang tertegun kaku karena tindakannya yang tidak terduga, Mahiru hanya mengeluarkan tawa kecil sembari mengesampingkan rasa malu yang dia rasakan.

“... Mahiru-san?”

“Ketika aku melakukannya kepada Amane-kun sebelumnya, kamu terlihat seperti sedang disembuhkan, jadi kupikir aku juga akan disembuhkan. Oleh karena itu, aku ingin mengalaminya sekali saja.”

“Memangnya kamu merasa disembuhkan dengan mendapa bantal pangkuan dari seorang pria?”

“Yah, itu bukan tempat yang nyaman untuk tidur.”

“Maaf soal itu.”

“Tapi ini tempat yang nyaman."

“ … Aku senang mendengarnya.”

Pahanya berotot yang sulit untuk dijadikan bantal, tapi Mahiru bisa merasakan kehangatan dan kehadiran Amane dengan kuat, keharuman khas Amane meresap ke dalam dirinya melepaskan ketegangan yang tidak wajar. Hanya Amane saja satu-satunya orang yang ingin Mahiru sentuh dan bermanja seperti ini.

“… Sebentar saja, boleh ya?”

“Sesuai permintaanmu, Ojou-sama.”

Mahiru menatap ke arahnya karena sedikit khawatir bahwa dia bertingkah sembrono, sementara itu Amane sedikit tersipu seolah-olah merasa sungkan, dan mengelus-ngelus kepala Mahiru dengan tangan yang canggung tapi sopan.

Tangan itulah yang menggenggam Mahiru dengan kuat dan menariknya ketika dirinya akan tersesat, tangan itu juga yang sudah merangkulnya ketika dirinya kesakitan dan perlu menangis, lalu tangan tersebut akan membelainya ketika dia perlu ditenangkan atau dimanjakan.

Mahiru merasa bisa santai ketika disentuh oleh tangan itu. Ketika ujung jari-jemarinya yang lebih kencang dan lebih keras darinya sendiri, menyentuhnya dengan lembut, Mahiru bisa merasa begitu nyaman bahkan mulutnya mengendur.

“... Amane-kun.”

“Hmm?”

“… Terima kasih, ya.”

“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”

Amane memalingkan wajahnya seolah-olah tidak mau mengakui bahwa ia peduli dengan Mahiru, jadi Mahiru pura-pura tidak melihat rasa malunya. Dia membalikkan badan untuk menjauh dari Amane agar tidak mengungkapkan bahwa pipinya juga memerah karena malu.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama