Chapter 6 — Kecemasan Masa Kecil Dan Kelegaan Masa Kini
Belakangan ini, sebagian besar
waktu akhir pekan Mahiru dihabiskan di unit apartemen Amane.
Dia memberikan alasan yang
masuk akal bahwa dirinya mengkhawatirkan kesehatan Amane, tapi pada kenyataannya
itu adalah tindakan dari perasaan egoisnya karena dia ingin berada di dekat
orang yang dia cintai.
Tentu saja, dia mengerti bahwa
waktu sendirian juga penting bagi dirinya dan Amane, oleh karena itu dia tidak
membatasinya. Dia mencoba untuk tetap dekat dengan Amane dengan diam-diam dan
hati-hati mengamatinya untuk melihat apakah Amane merasa keberatan atau
terganggu oleh kehadirannya.
Untungnya, Amane tidak
keberatan Mahiru berada di rumahnya dan menerima kehadirannya sebagai hal yang
biasa. Amane tersenyum sangat bahagia sehingga Mahiru sering salah mengartikan
senyumnya.
Hal pertama yang terlintas di
benak Mahiru adalah betapa gampangannya dirinya karena merasa senang hanya
dengan berkunjung ke rumah Amane, dan meskipun dia sedikit mengejek diri
sendiri, mulutnya masih sedikit tersenyum gembira.
Dia sedikit menampar pipinya
untuk mengencangkan wajahnya dan kemudian membuka pintu depan Amane dengan
kunci cadangan yang Amane berikan padanya. Dia masuk melalui pintu depan,
tetapi tidak ada suara yang menyambutnya.
Mahiru berpikir kalau Amane
mungkin sedang tidur tetapi terlambat menyadari bahwa ia sedang keluar ketika tidak
melihat sepatu kets yang biasanya Amane kenakan.
Dia setengah heran dan setengah
tertarik karena Amane merupakan tipe orang indoor
dan biasanya tidak keluar pada jam seperti ini. Tapi kemudian dia harus
memikirkan apa yang harus dirinya lakukan.
(Apa
itu boleh untuk bersantai di sini tanpa izin tanpa kehadiran pemilik rumah ini?)
Dia memiliki kunci cadangan dan
izin untuk datang dan pergi sesuka hatinya, tapi dia merasa tidak pantas berasa
di sini tanpa ada kehadiran Amane.
“Kamu
bisa masuk tanpa perlu menungguku, dan kurasa Mahiru tidak akan melakukan suatu
kesalahan.”
“Tentu
saja tidak, tapi menurutmu memang aku diperbolehkan memasuki ruang pribadi
tanpa izin?"”
“Apa
kamu ingin memasuki kamar tidurku?”
“Tidak,
aku takkan selancang itu .... tapi bukan begitu maksudku, bukannya kamu
khawatir mengenai aku yang sembarangan masuk dan melihat sesuatu?”
“Aku
tidak mempermasalahkannya karena tidak ada yang aku pedulikan. Dan aku tahu
kalau kamu tidak berminta memasuki kamar tidur, sehingga kamu bebas melakukan
apa pun yang kamu inginkan di ruang tamu.”
Meskipun mereka sudah melakukan
percakapan semacam itu sebelumnya, Mahiru masih merasa sangat ragu-ragu karena
itu masih rumah orang lain. Mereka masih memiliki aturan bahwa mereka akan
saling menelepon jika mereka akan terlambat. Jadi Mahiru tidak berpikir kalau
Amane akan pulang terlambat karena dia tidak mendengar apa-apa darinya.
(Apa
itu tidak masalah jika aku menunggu sebentar?)
Mahiru merasa sedikit bersalah
dan sedikit tidak bermoral, tetapi dia melepas sepatunya dan memasuki ruang
tamu dan mendapati ruang itu masih sepi dan kosong.
Meski aroma rumah Amane masih
terasa nyaman, namun entah kenapa terasa tidak nyaman dan dingin karena orang
yang disukainya masih belum ada.
Seperti biasa, dia duduk di
sofa dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran. Biasanya ketika dia duduk di sofa,
Amane sedang berada di sebelahnya. Ketika mereka bersantai setelah mengurus
urusan masing-masing, mereka duduk di sofa seperti ini seraya mengobrol banyak
hal dan menghabiskan waktu damai dengan bersantai.
Namun sekarang, keberadaan
Amane tidak ada di sampingnya. Suhu tubuh Amane sedikit lebih tinggi dari
Mahiru, dia memiliki aroma yang tenang dan segar, suaranya yang tenang tidak
terlalu rendah dan menenangkan untuk didengar, tubuhnya yang kurus tapi kokoh
tidak goyah ketika dia bersandar sedang tidak ada di sebelahnya. Ketika Mahiru
menyadari hal ini, dia merasakan rasa kesepian yang tak tertahankan.
“... Kuharap kamu akan segera
kembali.”
Mahiru melontarkan kata-kata
tersebut tanpa sengaja, menyebabkan dia tertawa dan penasaran apakah dia
benar-benar kesepian. Dia merasa bodoh dan malu pada dirinya sendiri karena
mencoba mengambil waktu Amane.
Bahkan meskipun dia sudah
terbiasa menyendiri, dirinya telah memasuki rumahnya tanpa izinnya dan sekarang
menunggunya. Dia menghela nafas pada keegoisannya dan menambah berat badannya
di sandaran.
Mahiru sudah terbiasa menunggu.
Dia telah menunggu sesuatu untuk sebagian besar hidupnya yang singkat selama
enam belas tahun. Dia telah menunggu selama bertahun-tahun dan sekarang dia
telah menyerah pada beberapa hal.
Menunggu sesuatu yang kamu tahu
bahwa seseorang akan kembali tidaklah sulit. Meski begitu, sebagian dari dirinya merasa
dadanya sesak saat mengingat beberapa kenangan lamanya.
(
… Hal ini mengingatkanku pada bagaimana aku dulu selalu menunggu orang tuaku)
Hal-hal yang selama ini
terdorong ke belakang dalam pikirannya, saat kenangan yang tidak menyenangkan
muncul ke permukaan.
Kenangan tentang adegan dia
menunggu sendirian untuk orang tuanya yang dia tidak tahu kapan mereka akan
kembali, muncul di benaknya, seolah-olah tidak mungkin baginya untuk menahannya.
♢♢♢♢
Sejak Mahiru masih kecil, tidak
ada seorang pun di rumahnya.
Dia tinggal di sebuah unit
apartemen di satu lantai sebuah gedung apartemen. Rumah itu cukup besar untuk
ditinggali sebuah keluarga. Rumah itu dilengkapi dengan perabotan yang nyaman
dan lengkap untuk ditinggali. Di rumah seperti itu, Mahiru tinggal sendirian.
Atau lebih tepatnya,
keluarganya tidak ada di rumah tetapi ada pembantu rumah tangga sekalgus
pengasuh yang bernama Koyuki, tapi bahkan dia harus pulang ke rumahnya sendiri.
Dan orang-orang yang seharusnya
bersamanya, yang memiliki hubungan darah dengannya, berada jauh dari rumah.
Orang tuanya sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga mereka jarang pulang ke
rumah dan tidak pernah muncul, seolah-olah mereka tidak peduli dengan
keberadaan Mahiru.
Namun, karena akan mendapat
pandangan tidak baik dari masyarakat jika mereka tidak melakukan apa-apa. Jadi
mereka memberinya dana yang cukup dan pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh,
Koyuki, untuk mendidiknya dan meninggalkannya sendirian seakan-akan mereka sudah
memenuhi kewajiban minimum mereka.
Baru ketika beberapa tahun
kemudian setelah dia memasuki sekolah SD, Mahiru mulai menyadari bahwa dia
diabaikan dan secara objektif memahami bahwa itu salah, lalu pada saat yang
sama dia menyadari bahwa dia ditelantarkan kedua orang tuanya. Dia juga menyadari
bahwa ibunya memiliki seorang simpanan.
Mahiru segera menyadarinya
karena dia lebih pintar dan ingin disayangi orang tuanya lebih dari anak-anak
lain. Jika dia tidak menyadarinya, dia akan tetap menjadi anak yang polos dan
lugu.
♢♢♢♢
“Okaa-sama.” (TN: Kalau
diterjemahkan ke bahasa Indonesia sih artinya, Ibunda)
Suatu hari, sekitar pertengahan
masa sekolah SD-nya, Mahiru benar-benar merasa senang melihat kehadiran ibunya
yang kebetulan pulang ke rumah.
Dia sangat senang melihat
ibunya yang tidak pernah menunjukkan wajahnya, dia berlari ke arahnya dan
berbicara kepadanya sambil tersenyum, tetapi ibunya tidak menanggapi.
Seolah-olah keberadaan Mahiru tidak pernah ada. Ibunya hanya memegang beberapa
bahan di tangannya dan bahkan tidak berbalik untuk melihatnya.
Mahiru bertanya-tanya apakah
ibunya baru saja pulang kerja, dan berpikir akan salah jika dia mengganggunya.
Tapi dia sangat senang melihatnya setelah sekian lama sehingga dia berbicara
dengannya tanpa melihat secara mendalam kondisi ibunya.
“Umm, aku sudah bekerja sangat
keras bahkan saat Okaa-sama pergi. Aku melakukan yang terbaik dalam ujian dan
olahraga, aku bahkan sering menjadi peringkat pertama dalam banyak hal.”
Mahiru memegang ujung gaunnya
sambil tersenyum, berniat untuk melaporkan bahwa dirinya sudah melakukan banyak
belajar dan berolahraga selama dia pergi. ...... Kemudian tubuh ibunya akhirnya
berbalik menatapnya.
Ini adalah pertama kalinya
ibunya benar-benar menghadapinya seperti ini. Mahiru biasanya hanya bisa menatapnya
dari kejauhan atau hanya melihat punggungnya sebelumnya, jadi ini adalah
pertama kalinya dia melihatnya begitu dekat dan jelas.
Wajah ibunya yang menoleh ke
arahnya mempunyai wajah tegas yang menolak semua orang di sekitarnya. Meskipun
wajahnya memiliki rupa yang baik seperti yang dikatakan Koyuki padanya, namun
wajahnya tidak begitu mirip dengan Mahiru.
Sementara Mahiru memiliki wajah
yang tenang dan lembut, mirip dengan ayahnya; sedangkan wajah ibunya terlihat
ketus dan galak, kebalikan dari wajah Mahiru. Dan itu bukan hanya wajahnya,
tetapi juga tindakannya.
Ibunya melihat Mahiru di depan
matanya, dia lalu menunduk dan menepis tatapan putrinya dengan tatapan dingin
dan kemudian mengabaikannya.
Aksinya mungkin tidak terlalu keras, karena mungkin dia sedang berurusan dengan seorang anak kecil. Tapi penolakannya yang begitu jelas menyebabkan Mahiru terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur.
Ibunya menatapnya dengan keheranan,
tidak ada kehangatan dalam tatapan yang dia curahkan padanya. Ketika dia
akhirnya mengenalinya, Ibunya memandangnya seolah-olah dia sedang melihat batu
di sisi jalan.
Dan pada saat itulah Mahiru
mengerti,
———bahwa
keberadaannya sama sekali tidak diinginkan
Rasa mual dan suara detak
jantungnya yang memuakkan menghentikannya untuk berpikir lebih jauh. Namun,
begitu pikirannya berputar, semua tindakan mereka sebelumnya mulai masuk akal.
——Mengapa dia ditelantarkan?
——Mengapa mereka tidak pernah pulang
ke rumah?
——Mengapa mereka bahkan tidak
ingin menyentuhnya?
(Karena
aku tidak dicintai dan tidak diinginkan)
Tatapan ibunya seolah-olah
menjawab pertanyaannya dengan lantang.
(...
Okaa-sama sama sekali tidak menginginkanku)
Sebelum dia memahaminya, Mahiru
sering bertanya kepada Koyuki, tetapi sekarang dia dengan cepat mendapatkan
jawabannya sendiri.
Mereka tidak merawatnya karena
dia tidak dibutuhkan. Mereka melahirkan seorang
anak dan melepaskan tugas mereka sebagai orang tua dan menelantarkannya. Oleh
karena itu, ibunya jarang muncul dan bahkan ketika Mahiru mengulurkan tangan
padanya, dia mengabaikannya begitu saja.
Sementara Mahiru terkejut dan
kecewa setelah menyadari kenyataan kejam dari situasinya, ibunya berbalik dan pergi
meninggalkannyabegitu saja, Mahiru hanya bisa menatap kosong punggungnya yang
semakin menjauh.
Mahiru mencoba mengulurkan
tangannya, tapi tangannya hanya menangkap udara kosong dan tidak menjangkau apa
pun. Tidak ada yang tersisa untuk Mahiru. Tidak, sejak awal dia tidak mempunyai
apa-apa.
Air mata menetes dari matanya
dan isak tangis keluar dari hatinya yang lembut yang dicungkil dengan kejam.
Hal yang bisa dia katakan dengan pasti ialah bahwa dirinya tidak dicintai.
Tidak peduli seberapa keras dirinya mencoba, jika dia tidak dicintai sejak awal
maka dia tidak akan pernah dipandang. Jadi semua usahanya sia-sia.
“Mengapa?”
Mahiru menangis dengan keras di
rumah yang kosong itu, mencoba mengatasi kemarahan yang meluap dari dalam
dirinya dan mengancam akan menghancurkan hatinya begitu dia menyuarakan
keraguannya.
Ketika Koyuki datang ke rumahnya,
Mahiru sudah berhenti menangis, tetapi bahkan dengan Koyuki, seseorang yang dia
sayangi, dia tidak bisa tersenyum setulus sebelumnya. Sesuatu
seperti kepasrahan mengisi tubuhku, dan senyumnya terasa menegang dan
membuatnya menjadi kaku.
(Jika
dia menolakku…)
Jika dia tidak tahu apa-apa,
dia mungkin akan memeluk Koyuki dan menangis sejadi-jadinya. Namun, Mahiru
menjadi takut ketika dia mengetahui bahwa orang tua kandungnya tidak
mencintainya. Koyuki menghormati dan merawat Mahiru, sosoknya sudah mirip
seperti pengganti orang tuanya—— tetapi itu karena hanya bagian dari
pekerjaannya.
Karena dirinya bahkan tidak
dicintai oleh orang tua kandungnya sendiri, jadi mana mungkin Koyuki akan
menyayanginya.
Jika dirinya bergantung pada
Koyuki, dirinya pasti akan bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar disayangi
atau tidak.
(Meskipun
itu mungkin tidak benar)
Dia tidak ingin menjadikan
Koyuki sebagai pengganti orang tuanya karena mereka tidak mencintainya, dan dia
takut ditolak.
Karena takut untuk
memastikannya, dMahiru mendorong Koyuki yang khawatir dengan senyum tipis dan
memegangi dadanya untuk menyembunyikan perasaannya saat dia terus menangis
kesakitan.
♢♢♢♢
Mahiru terluka oleh penolakan
ibunya, tetapi dia tidak bisa menyerah pada gagasan mengenai cinta. Dia
penasaran bahwa jika dia menjadi anak yang lebih baik, mereka setidaknya bisa
memberinya sedikit kesempatan untuk dipandang sebagai anak yang lebih baik.
Dia ingin mereka melihatnya,
dan Mahiru melakukan semua upaya yang dia bisa untuk membuat mereka melihatnya,
dia berusaha lebih keras dari sebelumnya. Dirinya akan merasa lebih dari cukup
jika mereka mengakui usahanya dengan satu kata “Kamu sudah melakukan yang terbaik”. Hanya satu kata itu saja sudah
sangat berharga baginya.
Bagaimanapun juga, mereka tetap
tidak mau memandangnya bahkan jika Mahiru meningkatkan kemampuannya dalam
pelajaran, atletik, dan penampilan. Bahkan jika dia berperilaku dengan cara
yang diinginkan sebagian besar orang, menjadi siswa teladan, atau bahkan jika
dia memuji orang tuanya, orang tuanya tidak pernah meliriknya.
Pada suatu hari ketika mereka
bertemu satu sama lain, ayahnya dengan canggung bertukar kata tetapi hanya itu
saja. Ayahnya tidak pernah benar-benar melihat situasi Mahiru dari luar atau
dalam dan lebih bertindak seolah-olah dia yang bersalah dan berpaling darinya.
Bagaimanapun, pernikahan mereka
adalah pernikahan bisnis dan dia merasa bahwa dirinya hanya eksistensi yang
lahir dari kesalahan cinta satu malam yang mereka lakukan.
(Jika
kalian tidak menyukai apa yang kalian lihat, kalian seharusnya tidak memilih
untuk melahirkan. Aku tidak meminta kalian untuk melahirkanku)
Betapa jauh lebih baik dirinya jika
dia bisa mengatakannya. Namun, saat ini, Mahiru telah belajar untuk bersikap peka
dan menekan emosinya, sehingga dia tidak berbicara melainkan menelan emosinya
dan mendorongnya jauh-jauh ke dalam hatinya.
Hatinya kini menjadi dingin dan
kosong, meski seharusnya diisi oleh perasaan dendam, kebencian, dan kotor,
tetapi di dalam dadanya terasa kosong dan angina dingin berhembus seolah-olah
tidak ada apa-apa di sana.
Hatinya terasa dingin, sedih
dan menyakitkan.
Mahiru tidak tahu apa yang akan
mengisi rongga di dalam hatinya ini. Tidak, bahkan jika dia mengetahui apa yang
akan mengisi hatinya, dia menyadari bahwa hal itu bukan sesuatu yang bisa dia
dapatkan.
Jika dia harus mengatakannya
dalam dua kata maka itu adalah kasih sayang, tidak peduli seberapa keras dia
mencoba untuk mencapainya, hal seperti itu hanya seperti dia mencoba untuk
mencapai ujung langit, dia bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ada atau
tidak.
Meskipun dia bertingkah seperti
anak yang baik, dia tidak bisa mendapatkan sedikit pun cinta dari orang tuanya,
yang dianggap remeh oleh anak-anak lain.
Untungnya atau sayangnya,
Mahiru juga mewarisi gen yang kuat dari orang tuanya untuk menjadi luar biasa,
berkat usahanya dia tumbuh menjadi gadis cantik dan meningkatkan kemampuannya
sampai-sampai bisa dikatakan serba bisa.
Pada saat Mahiru duduk di
tahun-tahun terakhir sekolah dasar, perbedaan gender mulai terlihat dan dia
menjadi sangat disukai oleh lawan jenis. Pada saat itu, dia sudah memahami
bagaimana berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain dapat menerimanya
dengan baik dan sebisa mungkin tidak membencinya.
Dia bersikap rendah hati tanpa
sombong, tetapi tetap lembut dan anggun agar tidak dianggap jutek dan
memperlakukan semua orang dengan kebaikan dan kesopanan, membentuk dirinya
menjadi wanita ideal yang kebanyakan orang bayangkan. Dan beginilah caranya keberadaan
yang terdistorsi muncul———
Sosok Tenshi-sama yang dikenal
semua orang.
Sebagai hasil dari permukaannya
yang mengeras sempurna, dia tumbuh menjadi gadis yang membuat semua orang iri,
tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui bahwa bagian dalamnya penuh dengan
lubang.
Dirinya telah menjadi
eksistensi kosong, karena meskipun dia mudah disukai orang-orang, tetapi dia
tidak mengetahui satu hal pun mengenai cinta.
Mahiru merasa hampa dengan
keberadaannya sendiri, namun dia tetap tidak berhenti memperbaiki diri.
——
Jika semua orang menyukainya, akankah perasaan kosong di hatinya terisi?
——Apakah
orang tuanya akan memandangnya?
——Apakah
mereka akan bisa memahaminya dan menyayanginya?
Dengan harapan yang hampir
pupus, Mahiru bertanya tanpa meminta siapa pun untuk mendengarkan.
“Padahal itu mungkin tidak
benar.”
Ini adalah jawaban yang keluar
dari dalam dirinya, bukan diberikan oleh orang lain.
“Meskipun aku sudah berusaha
keras, baik Otou-sama maupun Okaa-sama tetap tidak mau memandangku.”
Suara-suara ejekan bisa
terdengar tumpang tindih, bergema dengan lesu.
“Asumsi bahwa jika disukai
semua orang akan menyembuhkan hatiku saja sudah salah. Jika aku hanya bisa
disukai dengan berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan jati diriku, bagaimana
mungkin ada orang yang bisa mencintaiku apa adanya? Orang-orang hanya menyukai
topeng yang aku kenakan. Aku hanya seperti sedang mencekik diriku sendiri.
Tidak ada yang mau menatap jati diriku yang sebenarnya.”
Ekspresi Mahiru berubah dengan
jelas dan menertawakan jawaban yang diperolehnya.
♢♢♢♢
Kemudian, Mahiru perlahan-lahan
membuka kelopak matanya ketika merasakan kehangatan di sisinya. Aroma menenangkan
yang familiar berada di dekatnya dan dia mencoba melihat dari mana kehangatan
itu berasal.
Sementara matanya masih kurang
fokus, dia melihat sosok manusia yang tidak ada di sana beberapa saat yang
lalu. Dia menggosok pipinya ke arahnya dengan perasaan lega karena kehangatan
yang menenangkan, tapi … tiba-tiba dia mendengar tawa kecil.
“Selamat pagi.”
Suara yang baru saja dia dengar
adalah sesuatu yang dicari Mahiru. Dia menoleh dengan gerakan lambat dan melihat
Amane menatapnya dengan ekspresi dan tatapan mata yang lembut.
Terlambat menyadari bahwa dirinya
bersandar pada Amane, Mahiru mengangkat dirinya sendiri. Dia tidak tahu kapan
Amane kembali atau kapan dia tertidur.
“... ap-apa jangan-jangan aku
ketiduran?”
Ketika Mahiru dengan takut-taku
bertanya kepadanya, Amane hanya mengangguk dengan santainya.
“Benar, aku pulang sekitar satu
jam yang lalu dan sudah melihatmu dalam keadaan tertidur, jadi aku mencoba
untuk tidak membangunkanmu, tapi ketika aku duduk di sebelahmu, kamu segera bersandar
padaku, jadi aku meninggalkanmu begitu saja.”
“Ma-Maafkan aku. Aku datang ke
sini seenaknya ketika kamu tidak ada di sini dan bahkan ketiduran ...”
“Aku tidak keberatan jika kamu
masuk, dan kamu bahkan pernah ketiduran di kamarku sebelumnya, ‘kan?”
“Ugh.”
Karena bisa dibilang rumah
Amane terasa nyaman dan dia cenderung mengantuk sehingga dia tidak bisa
membantahnya, dan hanya bisa mengerang pelan. Setelah Amane menunjukkan hal
ini, Mahiru tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Pertama kali dia tertidur
adalah selama kunjungan Shihoko. Itu benar-benar tidur siang yang tidak
disengaja, tapi itu hanya karena dia memercayai Amane sehingga dia sedikit lengah.
Mana mungkin Mahiru bisa
tertidur ketika seseorang berada di sisinya, tapi keberadaan Amane itu spesial.
Sebagian itu karena dia suka dekat dengannya dan merasa nyaman ketika berada di
sisinya, sebagian lagi karena Mahiru percaya bahwa Amane takkan melakukan apa
pun padanya.
Ketika berada di dekat Amane,
dia merasa gugup sekaligus tenang. Hal itu mungkin karena jarak dan suasana
Amane yang pengertian.
Mahiru juga memiliki keyakinan
bahwa Amane akan menghormatinya, merawatnya dan menjaganya sehingga inilah yang
membuatnya merasa aman dan nyaman.
“Hal itu menunjukkan sebera nyamannya
kamu bisa berada di ruangan ini, tapi ... sepertinya kamu tidak bisa tidur dengannyenyak.”
“Eh…”
“Pada saat tidur tadi kamu
sedikit kesakitan. Kamu pasti mengalami mimpi buruk, ‘kan?”
Itu pasti efek samping dari
tertidur sambil mengenang masa lalu, tapi dia sepertinya ekspresinya bisa
terlihat jelas saat tertidur tadi. Ketika Amane menatapnya dengan khawatir,
Mahiru hanya bisa tersenyum samar sambil bertanya-tanya bagaimana
menjelaskannya.
“… Ya, bisa dibilang aku baru
saja mengalami mimpi buruk.”
“Begitu ya ... apa aku tidak
boleh bertanya mengenai itu?”
“Bukannya aku keberatan
ditanya... hanya saja, itu bukan cerita yang menarik. Kalaupun ada, itu akan
membuat Amane-kun merasa tidak nyaman.”
Tidak ada indikasi bahwa Amane
memiliki pandangan yang baik terhadap orang tua Mahiru ketika dia menjelaskan kepada
Amane tentang cara pengasuhan orang tuanya.
Dia memang memberitahunya
setiap episode yang bisa membuatnya merasa baik, meskipun lebih tepat untuk
mengatakan tidak ada episode seperti itu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Amane akan
memiliki perasaan buruk tentang mereka karena dia tahu tentang situasinya, dan
bahkan Mahiru menyadari bahwa kedua orang tuanya akan diklasifikasikan sebagai
bajingan di mata orang lain.
(…
Tetap saja, aku juga seorang anak-anak karena aku ingin dicintai oleh orang tuaku)
Tidak ada yang namanya cinta
tanpa syarat untuknya, setidaknya tidak antara dirinya dan orang tuanya. Mahiru
menjangkau dan berpegangan erat pada mereka karena dia sangat menginginkan
pengakuan mereka, tetapi dia masih tidak bisa mengangguk jika ditanya apakah
dia memiliki kasih sayang yang murni untuk mereka.
Amane sepertinya sudah menebak
mimpi macam apa yang Mahiru alami dari cara dia membujuknya dan ketika dia
memberikan sedikit keraguan. Jadi Mahiru balas tersenyum kepada Amane dengan
tatapan penuh perhatian.
“Itu bukan masalah besar, oke?
Aku hanya bermimpi buruk tentang masa lalu, ketika aku menunggu sendirian
sepanjang waktu. Mereka tidak pernah kunjung kembali dan tidak pernah
melihatku. Hanya itu saja.”
Tidak peduli berapa lama dirinya
menunggu, kedua orang tuanya tidak pernah kembali ke Mahiru dan bahkan tidak
melihatnya sebagai anak mereka. Itu hanyalah mimpi dari masa kecilnya.
“… Walaupun aku mencoba yang
terbaik, tapi pada akhirnya aku hanya bisa menjadi anak yang gampangan. Kupikir
jika aku menjadi gadis yang baik, mereka akan lebih sering melihatku, tetapi
sekarang aku mengerti bahwa mereka tidak perlu melihatku lagi. karena aku bukan
anak yang mereka inginkan.”
Dia mencoba untuk menjadi
semakin baik setelah terguncang, tetapi hal itu mungkin memiliki efek sebaliknya.
Mungkin karena orang yang mengambil banyak masalah menyebabkan masalah sebagai
orang tua tapi tidak ada sedikitpun rasa cinta.
Mahiru tidak ingin melakukan
apa-apa lagi karena sekarang sudah terlambat, dia tidak ingin mencari kasih sayang
dari orang tuanya di usianya saat ini. Tetapi bahkan sekarang, dia memikirkan
banyak perumpamaan di masa depan tanpa jawaban, jika saja dirinya seperti itu
maka mungkin…
Ketika Mahiru tertawa pelan
memikirkan perandaian yang tidak ada artinya seperti itu, sebuah telapak tangan
yang besar dan dapat diandalkan mendarat di kepalanya. Dia menatap Amane untuk menanyakan
apa ada yang salah, tatapan mata mereka bertemu, Amane menurunkan alisnya dan
menggelengkan kepalanya dengan meminta maaf, seolah-olah ia bermasalah.
“… Maaf ya, aku sudah membuatmu
merasa kesepian.”
“Kenapa malah Amane-kun yang
meminta maaf? aku datang ke sini atas kemauanku sendiri, menunggu di sini atas
kemauanku sendiri dan melihat mimpi itu atas kemauanku sendiri.”
“Memang ada kemungkinan kamu
akan datang ke rumahku dan aku tidak meneleponmu untuk memberi tahu kalau aku
akan keluar. Kamu sudah menunggu begitu lama sampai kamu ketiduran seperti ini,
kamu pasti lelah menungguku.”
Setelah mengatakan ini, Amane menurunkan
pandangannya dan kemudian menatap langsung ke arah Mahiru
“… Aku akan terus melihatmu dan
selalu kembali kepadamu, Mahiru.”
Suaranya tidak terlalu keras, tapi
terdengar kuat dan tulus. Matanya yang
jernih dan jujur membuat Mahiru merasakan
kelenjar air matanya mengendur, tapi dia masih bisa menahan air matanya dan
tersenyum kecil.
(Kurasa
itu sebabnya aku jatuh cinta padanya)
Amane memang sedikit kurang
jujur, tapi ia selalu bersikap lembut, penuh kasih sayang dan menatap lurus ke
matanya. Amane menerima dan menyayanginya baik bagian permukaan yang sudah
diperbaiki maupun bagian dalam yang rapuh.
Bagaimana mungkin dia tidak
jatuh cinta pada orang seperti itu? Tidak, dia sudah dibuat klepek-klepek
padanya.
“... Kedengarannya seperti
lamaran,ya.”
“La-Lamaran!? Aku tidak bermaksud
seperti itu!”
Ketika Mahiru menyampaikan
kesannya secara mendalam demi menyamarkan perasaannya yang hampir menangis, Amane
yang tampaknya telah menyadari bahwa perkataannya juga bisa dianggap begitu,
tersipu malu dan melambaikan tangannya secepat pemanas air instan. Hatinya merasa
tertusuk ketika melihat Amane menyangkalnya dengan keras, tetapi bahkan dia
tahu Amane tidak bermaksud seperti itu, jadi Mahiru bisa dengan cepat melupakan
rasa sakit tersebut.
“Aku tahu kok, aku hanya bercanda….
Tapi aku adalah salah satu tempat bagi Amane-kun untuk kembali, bukan?”
“… Bahkan Mahiru juga begitu ‘kan,
rumahku sudah seperti tempat kamu untuk pulang.”
Mahiru menertawakan suaranya
yang terdengar agak ragu-ragu seolah-olah dia mengira dia sedang diejek, tapi
dia juga malu dengan kata-kata Amane.
Memang, rumah Amane hampir
seperti tempat pulang bagi Mahiru. Ketika dia berada di rumahnya sendiri,
Mahiru merasa kesepian dan sendirian.
Mahiru pikir dia sudah
terbiasa, tepi dia merasa kesepian lagi karena dia bertemu dengan Amane atau
karena bersamanya? Jika ada, itu mungkin yang terakhir.
Setelah bertemu Amane, dia
merasa puas untuk pertama kalinya. Dia belajar tentang kegembiraan berbicara
dengan seseorang yang setara. Dia belajar kehangatan memiliki seseorang di
ssampingnya. Dia menemukan kenyamanan menghabiskan waktu damai bersama dan dia
belajar untuk mencintai seseorang dalam arti kata yang sebenarnya.
Lubang kosong di hatinya entah
bagaimana dipenuhi dengan banyak hal setelah menghabiskan waktu bersama Amane.
“Memang sih, aku bisa
mengetahui semua isi rumah Amane-kun sama seperti aku tahu rumahku sendiri.”
“Yang ada justru kamu tahu lebih
banyak ketimbang aku.”
“Kamu sering lupa di mana
barang-barangmu berada.”
“Cerewet.”
Ketika Mahiru mengatakan itu dengan
nada menggoda, Amane memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rasa malunya.
Meski dibilang lupa, tapi
Mahiru tahu karena Amane melakukan hal itu demi dirinya. Hal ini karena Amane sengaja
mengganti tata letak penggunaan barang ia gunakan, menjadi meletakkan
benda-benda yang biasa ia gunakan untuk mudah dijangkau Mahiru.
Sebelumnya, kebutuhan
sehari-hari juga disimpan di tempat yang tinggi, tetapi sekarang benda-benda
tersebut telah sedikit ditata ulang untuk memudahkan Mahiru yang tidak terlalu
tinggi untuk menggunakannya.
Kemudian, Amane juga
menyediakan tempat untuk barang-barang pribadi Mahiru. Jumlah barang-barang
pribadinya semakin berkembang pesat: selimut, sikat gigi, barang-barang perawatan
pribadi, piring dan peralatan lainnya.
Sejak mereka bertemu, sedikit
demi sedikit, rumah itu berubah untuk memudahkan Mahiru tinggal. Seolah-olah
Amane ingin mengatakan kalau dirinya bisa tinggal di sini, dan ini adalah
tempat Mahiru berada.
“… Lebih baik sekalian.”
“Sekalian?”
“…tidak, bukan apa-apa.”
Lebih
baik sekalian kalau aku bisa tinggal di sisimu selamanya, tapi
Mahiru tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Mereka belum memiliki hubungan
seperti itu. Dan itu akan mengganggu Amane karena dia adalah gadis dengan
perasaan yang berat.
Tapi itulah sebabnya Mahiru mencintai
dan mempercayainya. Betapa bahagianya dirinya jika mereka bisa menjalani
kehidupan yang damai dan hangat ini bersama-sama.
“... Ternyata aku ini orang
yang serakah, ya.”
“Aku tidak tahu atas dasar apa
kamu mengatakan ini, tetapi jika Mahiru serakah maka aku akan jauh lebih
serakah.”
“Kamu pasti bercanda, kan?
Amane-kun jarang meminta apa pun dari orang lain, malah kamu cenderung pendiam
dan perhatian.”
“Itu sama sekali tidak benar,
kok? Aku bertanya-tanya apakah aku harus mengajukan permintaan ke Mahiru.”
“Fufu,permintaan apa?”
Mahiru bertanya-tanya apakah
dia bisa melakukan apa yang Amane inginkan bahkan jika dia harus memaksakan
diri sedikit lebih keras untuk mewujudkannya, pemikiran itu membuatnya merasa
tenang. Dan jika ada sesuatu yang diinginkan Mahiru, maka Amane pasti akan
memenuhinya.
Ketika dia menatap Amane untuk
mencari tahu apa permintaannya, Amane menyapukan matanya ke arahnya karena da
tampak sedikit enggan untuk mengatakan apa pun. Tapi pandangan matanya tertuju
pada Mahiru seolah-olah ia sudah mengambil keputusan.
“Jika kamu mengalami kesulitan,
kamu bisa mengandalkanku.”
Itu adalah permintaan, tidak,
itu tidak lebih dari sebuah permintaan dan tidak kurang dari sebuah saran. Tapi
dia mengerti apa yang dipikirkan Amane dan mengapa ia mengatakan hal semacam
itu. Mahiru berpikir bahwa dirinya sangat beruntung saat dia tersenyum.
Senyumannya memang tidak terlihat secantik biasanya, tapi itu senyuman yang
berasal dari hatinya yang tulus.
“.. kalau begitu, bisakah kamu
memanjakanku?”
“Hmm, silakan saja, aku akan
melakukan apapun yang bisa aku bantu.”
Ketika Amane mengatakan hal itu
dan memasang ekspresi tegas, Mahiru sedikit bimbang, lalu ......, dia kemudian
berkata “Kalau begitu, aku takkan
ragu-ragu” seraya meletakkan kepalanya di pangkuan Amane yang berada di
sebelahnya, seolah-olah dia sedang berguling-guling.
Mahiru lalu menoleh ke arah
langit-langit, dan melihat Amane yang tertegun kaku karena tindakannya yang
tidak terduga, Mahiru hanya mengeluarkan tawa kecil sembari mengesampingkan
rasa malu yang dia rasakan.
“... Mahiru-san?”
“Ketika aku melakukannya kepada
Amane-kun sebelumnya, kamu terlihat seperti sedang disembuhkan, jadi kupikir
aku juga akan disembuhkan. Oleh karena itu, aku ingin mengalaminya sekali saja.”
“Memangnya kamu merasa disembuhkan
dengan mendapa bantal pangkuan dari seorang pria?”
“Yah, itu bukan tempat yang
nyaman untuk tidur.”
“Maaf soal itu.”
“Tapi ini tempat yang nyaman."
“ … Aku senang mendengarnya.”
Pahanya berotot yang sulit untuk
dijadikan bantal, tapi Mahiru bisa merasakan kehangatan dan kehadiran Amane
dengan kuat, keharuman khas Amane meresap ke dalam dirinya melepaskan
ketegangan yang tidak wajar. Hanya Amane saja satu-satunya orang yang ingin
Mahiru sentuh dan bermanja seperti ini.
“… Sebentar saja, boleh ya?”
“Sesuai permintaanmu,
Ojou-sama.”
Mahiru menatap ke arahnya
karena sedikit khawatir bahwa dia bertingkah sembrono, sementara itu Amane
sedikit tersipu seolah-olah merasa sungkan, dan mengelus-ngelus kepala Mahiru
dengan tangan yang canggung tapi sopan.
Tangan itulah yang menggenggam
Mahiru dengan kuat dan menariknya ketika dirinya akan tersesat, tangan itu juga
yang sudah merangkulnya ketika dirinya kesakitan dan perlu menangis, lalu tangan
tersebut akan membelainya ketika dia perlu ditenangkan atau dimanjakan.
Mahiru merasa bisa santai ketika
disentuh oleh tangan itu. Ketika ujung jari-jemarinya yang lebih kencang dan
lebih keras darinya sendiri, menyentuhnya dengan lembut, Mahiru bisa merasa
begitu nyaman bahkan mulutnya mengendur.
“... Amane-kun.”
“Hmm?”
“… Terima kasih, ya.”
“Aku tidak tahu apa yang kamu
bicarakan.”
Amane memalingkan wajahnya
seolah-olah tidak mau mengakui bahwa ia peduli dengan Mahiru, jadi Mahiru
pura-pura tidak melihat rasa malunya. Dia membalikkan badan untuk menjauh dari
Amane agar tidak mengungkapkan bahwa pipinya juga memerah karena malu.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya