Prolog — Asamura Yuuta
Jalanan yang dipenuhi bunga sakura, sekarang
benar-benar tertutup dedaunan. Saat aku berjalan di sepanjang jalanan sempit
yang menjadi rute sekolah dan menaiki lereng yang berkelok-kelok, aku bisa
melihat bangunan SMA Suisei mengintip dari balik bukit.
Aku melirik jam tanganku dan
melihat kalau masih ada banyak waktu untuk sampai ke gedung aula sebelum upacara
pembukaan dimulai. Meski begitu, aku masih mempercepat langkahku dan bergegas
menuju gerbang masuk sekolah.
Hari ini merupakan pengumuman
pergantian kelas, jadi pertama-tama aku perlu memeriksa di mana kelasku berada.
Sedikit maju di depan loker sepatu, para siswa memadati selembar kertas besar
yang ditempel di dinding, mencantumkan nama-nama siswa dan kelas sesuai urutan.
Sebagai seseorang yang hampir
tidak memiliki teman dekat di sekolah, atau lebih tepatnya, terutama di
sekolah, momen semacam ini bisa sedikit menegangkan. Hingga menginjak kelas 2,
Maru selalu sekelas denganku, jadi aku merasa mudah untuk berada di dalam kelas.
Aku tidak terlalu terganggu oleh
perasaan kesepian, tapi sebagai pelajar, sering kali diperlukan kerja kelompok
dan adanya seseorang yang mendukungmu akan membuat kehidupan sekolahmu jadi
lebih mudah. Jadi, bisa dibilang itu argumen yang masuk akal bahwa aku harus
sedikit keluar dari cangkangku dan lebih ramah dengan teman sekelasku yang
lain.Tapi sekali lagi, terkadang aku merasa menginvestasikan terlalu banyak
energi ke dalam hubungan merupakan hal yang tak sepadan.
Yah, kupikir memiliki beberapa
teman yang mendukungmua saat musim ujian memang terasa nyaman. Di sisi lain, aku
mungkin terlalu memikirkan hal ini secara berlebihan, dan Maru akan mengatakan
sesuatu yang sarkastik seperti, “Toleransimu
terhadap rasa kesepian terlalu tinggi, cuy.”
Saat kerumunan para siswa mulai
sedikit mereda, aku menyelinap masuk dan dengan hati-hati mencari-cari namaku
di antara daftar kelas. Karena namanya dalam urutan abjad, memiliki nama “Asamura”
sebagai nama belakang rasanya cukup praktis di saat-saat seperti ini. Jika aku
hanya mengikuti daftar dari atas, aku pasti bisa menemukannya dengan cepat.
Coba aku lihat… bukan di Kelas 3-1. Bukan di Kelas 3-2. Kelas 3-3 juga bukan. Aku menggeser penglihatanku lebih jauh
ke arah kanan–
Hmm?
Cahaya keemasan memasuki ujung
pandanganku. Ketika aku secara naluriah menoleh untuk melihat, aku melihat
seorang gadis dengan rambut berwarna cerah yang sedikit lebih panjang berdiri
di sebelah kananku. Dia sedikit mengernyit, menatap daftar nama kelas dengan
penuh perhatian.
Ayase Saki.
Murid kelas 3 di SMA Suisei—— dan
juga adik tiriku.
Ayahku dan ibunya menikah pada
bulan Juni lalu, dan kami menjadi saudara tiri.
Aku menemukan diriku memandangi
sosoknya untuk sementara waktu. Rambut Ayase-san, yang tadinya dipotong pendek,
kini mulai tumbuh hampir sama panjangnya dengan saat kami pertama kali bertemu.
Gaya rambut yang sama dan sosok
yang sama... tapi kesan yang kurasakan darinya sekarang sangat berbeda dari
dulu. Kesan ‘berbeda’, yang kumaksud
bukanlah masalah penampilannya. Warna rambut yang mencolok atau riasan yang
tampak alami cukup halus untuk tidak melanggar peraturan sekolah. Tidak, bukan
itu yang kumaksud, hal yang kumaksud ialah ekspresi wajahnya. Ayase-san benci
difoto karena menurutnya matanya terlihat mengintimidasi, tapi itu bukan karena
fitur wajahnya yang alami. Mungkin karena dia selalu tegang di sekitar orang
lain, dan ketegangan itu terlihat di wajahnya.
Kesanku padanya sudah cukup
berubah untuk memahami itu.
Ketika kami pertama kali
bertemu, dia mengeluarkan nuansa layaknya binatang buas, selalu waspada dan
siap menggigit apa pun yang mencoba menyakitinya, walaupun dia mungkin akan
marah jika aku mengatakannya di depan wajahnya. Sekarang, aku mengerti mengapa
Ayase-san menyebut riasan dan pakaiannya sebagai ‘persenjataan’. Kupikir kewaspadaannya berasal dari ketidakpercayaan
terhadap ayah kandungnya yang sudah menceraikan ibunya. Aku juga memiliki perasaan
pahit terhadap ibu kandungku, yang sudah menceraikan Ayahku, jadi aku sedikit
memahami bagaimana perasaannya. Atau mungkin karena kami sudah lama tinggal di
bawah atap yang sama dan lambat laun aku mulai memahaminya.
“Asamura-kun.”
Tiba-tiba, dia berbalik ke
arahku dan berbicara.
“A-Ayase-san.”
“Hmm? Maaf, apa aku
mengejutkanmu?”
“Yah, tidak juga.”
Itu tidak sepenuhnya benar. Aku
hanya sedikit terkejut karena kami biasanya tidak melakukan percakapan santai
di sekolah. Selain itu, aku merasa sedikit canggung karena sudah menatapnya
untuk sementara waktu.
“Kita berada di kelas yang sama
tahun ini. Jadi, mohon kerja samanya, ya.”
“Eh?... Hahhh?”
Aku melihat kembali pengumuman
daftar kelas. Aku sudah memeriksa sampai Kelas 3-3. Jadi, itu berarti…. Kelas 3-4.
Sudah kuduga. Nama ‘Asamura Yuuta’ dicetak
di bagian atas, tepat di sebelah ‘Ayase
Saki’.
“Ah, beneran.”
“Ah, beneran? Eh tunggu, jangan bilang kalau kamu tidak mau sekelas
denganku?”
Ayase-san mengerutu, terdengar
sedikit kesal. Aku lalu buru-buru menjelaskan,
“Tidak, tidak, bukan seperti itu. Aku hanya
berpikir kalau mereka biasanya tidak menempatkan anggota keluarga di kelas yang
sama.”
Aku tidak tahu apakah
sebenarnya ada peraturan seperti itu, tapi pihak sekolah seharusnya sudah tahu
kalau Ayase-san dan aku adalah keluarga sekarang. Aku baru saja berasumsi
mereka akan memisahkan kami ke kelas yang berbeda.
“Tapi tidak ada aturan semacam
itu, ‘kan?”
Sekarang setelah dia
menyebutkannya, aku mulai merasa tidak begitu yakin lagi.
Ketika aku mencari ingatanku, aku
ingat bahwa di SMP ada saudara kembar dan sepupu yang berada di kelas yang
sama. Sepertinya banyak pekerjaan hanya untuk menyeimbangkan kemampuan akademik
dan kepribadian siswa di setiap kelas, apalagi harus mempertimbangkan hubungan
dan persahabatan mereka juga.
“Sekarang setelah kamu menyebutkannya,
mungkin saja memang begitu.”
“Ngomong-ngomong, sepertinya
aku tidak sekelas lagi dengan Maaya.”
“Ah, benarkah?”
“Hal yang sama berlaku untukmu,
kan?”
“Hah?”
Aku berbalik untuk melihat
daftar kelas lagi. Hmm, coba lihat... Ah, Maru tidak ada. Aku memindainya lagi
dan melihat nama Maru di Kelas 3-3.
“Maaya ada di Kelas 3-3.”
“Itu berarti Maru sekelas dengannya,
ya.”
Jika keduanya bersama, itu akan
menjadi kelas yang menarik. Walaupun aku tidak tahu kenapa mereka berdua selalu
bersaing.
“Karena kita bersebelahan, kita
mungkin akan memiliki jam pelajaran olahraga bersama. Tapi, ketika sudah masuk
kelas 3, ada lebih banyak jam pelajaran yang dipisahkan oleh pilihan jurusan,
jadi mungkin tidak masalah jika kita tidak berada di kelas yang sama seperti
mereka.”
Karena kelas yang kami pilih
bervariasi berdasarkan apakah mereka mengambil jurusan IPA atau IPS, atau
apakah mereka bertujuan untuk universitas nasional atau swasta, kami akan lebih
sering dipisahkan ke dalam kelas yang berbeda dari sebelumnya.
“Sepertinya Maaya ingin memilih
jurusan IPA.”
“Hah?”
Bukannya itu sedikit mengejutkan? Kalau dipikir-pikir, kupikir Maru juga
mengincar bidang yang berhubungan dengan sains. Mereka berdua mungkin lebih
mirip dari yang kukira.
“Dia bilang mimpinya adalah
menjadi ilmuwan gila.”
“Kamu yakin dia tidak sedang
membicarakan tentang anime...?”
“Benarkah? Aku tidak yakin apa
dia sedang bercanda atau tidak.”
Kami berdua memiringkan kepala,
karena sama-sama tidak memahaminya.
“Yah, pokoknya, mohon kerja
samanya selama setahun ini ya, Asamura-kun.”
“Aku juga sama, Ayase-san.”
Bagaimanapun juga, mulai
sekarang, kami berdua akan menghabiskan satu tahun bersama di kelas yang sama
dan di sekolah yang sama. Intinya, aku merasa sangat senang.
Saat kami berjalan berdampingan
menuju upacara pembukaan, kami membicarakan hal-hal seperti itu.
Tidak ada lagi orang di sekitar
kami. Semua orang sudah bergegas ke gedung aula. Itu sebabnya kami bisa
berjalan perlahan dan mengobrol santai seperti ini.
“Jadi, apa yang harus kita
lakukan?”
“Maksudmu mengenai di sekolah?”
Kami belum secara resmi
mengumumkan kalau kami adalah saudara tiri. Kami tidak ingin menarik perhatian
yang tidak perlu atau menjadi topik pembicaraan yang aneh. Aku lalu memilih
perkataanku dengan hati-hati.
“Pada dasarnya, kupikir tidak
ada salahnya untuk tetap sama seperti dulu. Misalnya, kita bisa berjalan dan
mengobrol tentang hal-hal seperti bagaimana kita berakhir di kelas yang sama,
seperti yang kita lakukan sekarang.”
Kurasa
itu wajar-wajar saja bagi siswa untuk melakukan hal-hal seperti itu. ketika
aku mengatakan begitu, Ayase-san menanggapinya dengan terkekeh.
“Itu berarti, kita cukup
bertingkah seperti teman sekelas biasa, ya?”
“Betul. Rasanya bakalan aneh jika kita menghindari pembicaraan.”
“Baiklah, aku mengerti,” kata
Ayase-san sembari mengangguk.
Meski demikian—
Mempertimbangkan kepribadian
Ayase-san, dia mungkin takkan bisa berbicara dengan mudah di sekolah layaknya dia berbicara di rumah. Dan karena Maru tidak bersamaku lagi, mungkin ada kalanya
ketika aku takkan berbicara dengan siapa pun di sekolah.