Bab 1 — 19 April (Senin) Asamura Yuuta
Kelopak bunga sakura sudah
tidak menumpuk di selokan lagi, dan suasana kota didekorasi dengan warna hijau
cerah. Hal tersebut merupakan pemandangan yang aku lihat setiap
tahun—kelopak-kelopak berwarna merah jambu digantikan oleh pepohonan yang
memberi kehidupan, dan pemandangan berubah saat akhir musim semi berlangsung.
Hal itu selalu sama.
Tapi bagi kami para pelajar SMA,
tidak semuanya tetap sama. Naik kelas merupakan perubahan yang signifikan bagi
kami. Tumpukan tangga yang kami naiki untuk mencapai kelas kami bertambah satu.
Sembari melihat ke luar jendela dari sudut pandang baru, aku dapat melihat
deretan pohon berbaris di luar, dan pandanganku ke halaman sekolah lebih luas
dari sebelumnya. Perbedaan kecil ini cukup membuatku merasa selangkah lebih
dekat menuju kedewasaan dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal yang sama juga berlaku
untuk pemandangan di dalam kelas. Di antara barisan siswa yang tersusun rapi,
seperenam dari wajah-wajah familiar dari tahun sebelumnya telah hilang, dan
digantikan oleh wajah-wajah baru. Tentu saja, itu berarti suasana di dalam
kelas juga berubah, dan butuh sedikit waktu untuk membiasakan diri.
Aku merogoh tasku untuk
mengeluarkan buku pelajaran dan mulai bersiap-siap untuk jam pelajaran pertama.
Sementara sedang melakukan itu, aku juga mengambil buku catatan serta pensil
mekanik untuk mencatat.
Sekarang kami berada di kelas
yang sama, kursi Ayase-san berada dua baris di depan dan satu baris di sebelah
kananku. Aku hampir tidak bisa melihat rambutnya yang berwarna cerah di antara
sekelompok gadis di dekatnya. Aku sudaah menepati janjiku kepada Ayase-san dan
tidak banyak berbicara dengannya di sekolah. Yah, bagaimanapun juga aku tidak
mendapatkan banyak kesempatan untuk berbicara dengan gadis-gadis secara alami.
Gadis-gadis itu mengobrol
dengan penuh semangat dalam lingkaran, meskipun mereka hanya punya waktu
sepuluh menit setelah jam wali kelas berakhir sebelum jam pelajaran dimulai. Aku
tidak tahu bagaimana mereka bisa memiliki banyak hal untuk dibicarakan.
Ayase-san sepertinya berbaur
dengan grup dengan cukup baik, berpartisipasi dalam percakapan mereka secara
normal tanpa terlihat seperti orang luar. Dia tampaknya telah mengambil
perubahan yang dibawa oleh perombakan kelas dengan tenang.
Aku sendiri justru kebalikannya.
Kalau dipikir-pikir, saat aku bersama Maru selama jam pelajaran olahraga
kemarin, ia sempat berkata, “Yo, Asamura, aku mengkhawatirkanmu. Kamu
makan siang sendirian?” Aku lalu mengatakan kepadanya kalau aku benar-benar
tidak terlalu keberatan dan ia tidak perlu khawatir tentang itu—
Tapi kemudian aku tersadar.
Sekarang sudah tanggal 19 hari ini. Bulan April hampir berakhir. Jika aku tidak
segera lebih dekat dengan teman sekelas baruku, aku tidak memiliki banyak
kesempatan tersisa sebelum liburan Golden
Week dimulai, yang mana tinggal 10 hari lagi.
“Liburan Golden Week akan segera tiba, iya ‘kan? Rasanya sedikit menyebalkan
karena kita baru saja mengenal satu sama lain, tapi kita tidak akan bisa
bertemu satu sama lain untuk sementara waktu,” aku mendengar seorang gadis dari
gerombolan mereka berkomentar demikian.
Karena aku bara memikirkan hal
tersebut, jadi mau tidak mau aku menguping pembicaraan mereka. Gadis yang
mengatakan itu tampak kecewa, berdiri di sana dengan bahu merosot. Gadis-gadis
lain di sekitarnya menepuk punggungnya dan membelai kepalanya.
“Aww, kamu kok imut banget sih,
Ryou-chan! Aku juga akan kesepian!”
Gadis-gadis yang lain
menggangguk setuju, dan salah satu dari mereka menindaklanjuti dengan saran
untuk pergi ke karaoke bersama.
“Hei, Ayase-san, apa kamu punya
rencana selama Golden Week?”
Jantungku berdegup kencang saat
mendengar nama yang keluar dari mulut gadis yang bernama Ryou-chan.
Melebur dalam kelompok gadis-gadis,
Ayase-san berkata, “Aku mungkin cuma akan belajar untuk ujian try-out nanti.”
“Kamu ini ternyata gadis yang
cukup serius, ya?”
“Kamu pikir begitu?”
“Uh huh. Maaf saja kalau ini
kedengarannya sedikit kasar, tapi aku merasa kalau kamu tuh orang yang sangat
serius ketika berbicara denganmu. Maksudku, kita semua sama-sama mengikuti
ujian masuk, tapi tetap saja, hanya ada satu liburan Golden Week untuk tahun ini, loh?”
“Hanya ada satu liburan Golden Week tidak peduli kapan tahunnya.”
“Ta-Tapi, Ayase-san,
menghabiskan seluruh waktumu untuk belajar terdengar membosankan. Emangnya kamu
tidak ingin melakukan hal lain?”
“Hal lain...? Seperti apa misalnya?”
“Misalnya saja melakukan banyak
hal dengan pacarmu, contohnya… ahem ahem,”
Ryou-chan segera berhenti dengan terbatuk sendiri. Aku merasa aneh bahwa dia
malu dengan sarannya sendiri; Aku tidak bisa benar-benar membaca dia dengan
baik.
(Ups,
aku pasti menguping, bukan?)
“Oi, yang anak cowok! Kalian
dilarang menguping!” Salah satu gadis, yang mana merupakan ketua kelas kami,
berteriak.
Semua anak laki-laki memalingkan
wajah mereka serempak. Sebagai seseorang yang menjadi salah satu dari mereka, aku
merasakan keterkejutan jauh di lubuk hatiku. Tapi seorang anak cowok yang punya
nyali, membantah dengan berteriak, “Hei, aku tidak menguping! Aku hanya bisa
mendengarmu, itu saja!”
(Memangnya
ia bocah SD?)
“Memangnya kamu ini masih bocah
SD apa?!”
Tawa menyebar ke seluruh kelas,
karena Ketua Kelas mengatakan apa yang kami semua pikirkan – bahkan anak
laki-laki yang berpura-pura tidak mendengarkan pun terlibat. Melihat
sekeliling, semua orang memiliki senyum setengah geli, dan setengah serius di
wajah mereka. Heh, sepertinya aku
bergabung dengan kelas yang bagus, dan merasakan kehangatan menyebar di
dadaku.
“Ngomong-ngomong, apa yang kamu
maksud dengan 'melakukan banyak hal'?
Apa yang sebenarnya harus kita lakukan?”
“Oh? Ayase-san, kamu sudah
punya pacar?”
“...Bukanbeg itu maksudku. Um,
maksudku, hanya melakukan hal-hal dengan laki-laki pada umumnya.”
“Itu berarti kamu tertarik, ya~.”
Si gadis ketua kelas
menyeringai, seolah-olah ucapannya tepat mengenai sasaran.
“Y-Yah, tidak secara khusus
...”
“Hmm benar juga, mungkin kamu
bisa pergi berkencan?”
“Kencan…?”
“Iya kencan, misalnya seperti
makan bersama, menonton film, nongkrong-nongkrong di rumah, atau membuat makan malam
bersamanya—hal-hal semacam itu.”
“Begitu, ya. Um, hanya itu
saja?”
“Yah, kurang lebihnya sih
begitu … tapi apa kamu mengatakan kalau kamu ingin melakukan lebih dari itu,
Ayase-san?”
Gumaman penasaran mulai muncul
dari siswa lain. Bibir Ayase-san bergerak saat mencoba mengatakan “Tidak, bukan begitu maksudnya.” –
tetapi tepat sebelum dia bisa melakukannya, bel jam pelajaran pertama berbunyi
dan pintu kelas terbuka dengan bunyi keras. Guru pengajar Sastra Jepang Modern
kami masuk. Kebisingan dan obrolan di ruangan berangsur-angsur mereda.
Saat aku melihat punggung
Ayase-san, aku merenungkan percakapan mereka tadi. Makan, nonton film, dan memasak bersama di rumah, kan? Kami sudah
melakukan semua itu. Tanggapan Ayase-san kira-kira seperti, “Hanya itu
saja?” Tapi itu bukannya berarti dia benar-benar ingin melakukan lebih dari itu,
bukan? Bagaimanapun, ini bukanlah sesuatu yang harus aku pikirkan selama jam
pelajaran pertama.
Aku melirik ke arah Ayase-san.
Pandangan mata kami bertemu. Dia tampak sedikit gelisah, dan segera memalingkan
muka dengan cepat untuk menghadap papan tulis.
Akhir-akhir ini, Ayase-san dan
aku lebih sering melakukan kontak mata di dalam kelas. Aku tidak tahu apakah
itu hanya kebetulan, atau karena aku secara tidak sadar mengikuti sosoknya dengan
mataku. Mungkin karena aku terlalu sering memperhatikannya sehingga dia
memergokiku menatap ketika dia menoleh, dan kami akhirnya saling bertatapan…
“...mura-kun.”
Dan karena aku melamun tentang
hal seperti itu, aku terkadang jadi kehilangan konsentrasi.
“Asamura-kun... Asa-mu-ra-kun!”
“Y-Ya!”
Aku bahkan tidak menyadari guru
memanggil namaku. Hal tersebut merupakan hukuman karena aku tidak memperhatikan
pelajarannya.
“Tolong lanjutkan membaca dari
bagian terakhir yang kita bahas.”
Sembari memegang buku pelajaran
di tangan, aku buru-buru berdiri dan mulai membaca di depan kelas seperti yang
diinstruksikan.
“...Cukup sampai di situ,” kata
guru tersebut, dan aku menghela nafas lega saat duduk kembali.
Meskipun syairnya pendek,
literatur dari periode Meiji masih sulit dibaca oleh kami para siswa modern. Aku
menelusuri kalimat yang baru saja aku baca dengan mataku.
[Sungguh,
aku yang sekarang kembali setelah pergi ke Timur, tidak sama dengan orang yang
memulai perjalanannya ke Barat di masa lalu]
Tidak
sama dengan dirimu yang dulu, ya?
“Selanjutnya adalah Ayase-san.”
“Ya.”
Suara yang diucapkan dengan
baik menangkap telingaku, dan aku mendongak. Ayase-san yang berdiri dari kursinya
di sebelah kananku, mulai membaca dari buku pelajaran. Suaranya yang menenangkan
melafalkan teks kuno, perlahan-lahan melayang di ruang kelas dan masuk ke
telingaku. Dia sangat pandai membaca
sastra Jepang, bukan?
Sudah hampir setahun sejak
orang tua kami menikah lagi dan kami mulai hidup bersama, namun aku masih
menemukan sisi baru dan mengejutkan dari adik tiriku. Setiap kali aku menemukannya,
diriku selalu dibuat terkesan olehnya.
“Cukup. Kerja bagus.”
“Terima kasih banyak.”
Guru Sastra Jepang Modern kami adalah tipe orang yang memuji hal-hal kecil, misalnya seperti seperti mengetahui peribahasa yang sulit.
Ketua Kelas yang duduk di sebelah
Ayase-san, menepuk pundaknya saat dia duduk kembali.
“Kamu memiliki suara yang
sangat bagus ya, Ayase-san.”
Ayase-san membalas senyum ketua
kelas dengan senyum kecilnya sendiri. Aku penasaran apa Ayase-san dari setahun
yang lalu akan balas tersenyum seperti itu. Dia mungkin hanya akan mengatakan “terima kasih” dengan suara ketus tanpa
mengubah ekspresinya sama sekali.
Aku tidak bisa menentukan
dengan tepat kapannya, tapi seiring berjalannya waktu, Ayase-san perlaha-lahan telah
berubah. Dia masih mempertahankan kepribadian intinya—tidak berusaha terlalu keras untuk menyenangkan orang lain—tapi itu
tidak sama seperti ketika dia biasa menyebut Narasaka-san sebagai satu-satunya
teman dekatnya.
Sekarang, dia bisa berbicara
santai dengan gadis-gadis di kelas kami. Tidak hanya dengan Narasaka-san atau
orang-orang yang pergi ke kolam bersamanya pada saat musim panas lalu, tapi
juga dengan teman sekelas yang baru dia temui ketika tahun ajaran baru dimulai.
Salah satunya saja si Ketua kelas. Dia sering dipanggil Ketua kelas* daripada
nama aslinya, mungkin karena kualitas kepemimpinannya yang luar biasa.
Ayase-san berbicara dengannya seolah-olah itu hal yang biasa. (TN: Kalau yang
sering nonton anime tema sekolahan pasti tau panggilan macam gitu, Ketua kelas
= Iinchou)
Baru dua minggu sejak tahun
ajaran baru dimulai, tapi dia sudah akrab dengan teman sekelas yang baru saja
dia temui. Aku benar-benar kagum melihat seberapa banyak dia berubah.
Apa
aku juga sudah berubah ketimbang dulu?
Aku mengingat apa yang terjadi
ketika kami pergi ke rumah kakek nenekku saat
Tahun Baru. Kakekku memandang sebelah mata Ayase-san karena
penampilannya yang mencolok seperti anak berandalan, dan aku langsung
membelanya.
[Saki adalah orang yang baik, tulus, dan
pekerja keras]
Ya, dia selalu melakukan yang
terbaik.
Aku ingin mengatasi sesuatu
yang tidak aku kuasai. Aku berpikir tentang Ayase-san yang mengobrol dengan
gadis-gadis lain tadi. Sama seperti dirinya, mungkin aku harus mencoba menjadi
lebih positif dan mudah bergaul dengan orang lain. Maru pernah memberitahuku
kalau aku tidak menunjukkan minat yang cukup pada orang lain.
Aku meletakkan daguku di
tanganku, pikiranku melayang kemana-mana. Aku sedang menatap papan tulis ketika
namaku dipanggil lagi, dan karena aku tidak mendengarkan, aku tidak tahu
bagaimana menjawabnya kali ini. Tidak ada gunanya mencoba berbohong, jadi
kupikir aku akan jujur saja.
“Aku tidak tahu.”
“Tidak, aku belum bertanya
apa-apa.”
“Ahh.”
Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak.
Kurasa aku terlalu banyak melamun, ya.
Aku berhasil menjawab
pertanyaan guru tanpa menarik perhatian lagi pada diriku sendiri, dan segera
jam istirahat pun tiba.
Yoshida datang ke mejaku untuk
meledekku. “Sup, Asamura. Aku
menganggapmu sebagai tipe yang serius, tapi ternyata kamu salah satu yang
sering tertidur di kelas, ya?”
“Aku terus bangun sepanjang
waktu.”
“Apa kamu habis begadang tadi
malam? Habis menonton film pekob atau semacamnya?”
“Tidak, bukan seperti itu. Aku
hanya melamun sedikit.”
“Begitu ya. Tapi tidak biasanya
kamu begitu, ‘kan?”
“Yah, bisa dibilang bgitu.”
“Hmm. Yah, aku mungkin mendapat
kesan yang salah. Sejujurnya, kita tidak banyak bicara sampai jalan-jalan
sekolah tempo hari.”
Aku menjawab dengan “Memang” seraya menganggukkan kepalaku. Yoshida
dan aku berada di kelas yang sama saat kelas 2 kemarin, tetapi aku tidak
benar-benar berbicara dengan siapa pun kecuali Maru, jadi hubunganku dengannya
tidak berbeda sekarang dari sebelum perombakan kelas.
Aku mengenalnya sedikit lebih
baik selama acara jalan-jalan sekolah kami ketika Yoshida, Maru, dan aku
berbagi kamar. Dia adalah pria yang cukup ramah dan orang pertama yang
berbicara denganku setelah pergantian kelas.
“Sepertinya kita berada di
kelas yang sama lagi. Ayo saling mengenal lebih dekat lagi, bung.” Sejak saat
itu, ia sesekali mengobrol denganku.
Berbeda dengan Maru, aku tidak
memiliki banyak kesamaan dengan Yoshida, jadi tidak banyak yang bisa kami
bicarakan. Namun, Yoshida adalah pria yang baik, dan selalu puas dengan jawaban
samarku. Aku tidak proaktif dalam memulai percakapan dan sebelum aku
menyadarinya, dua minggu penuh telah berlalu. Tetapi jika aku ingin memulai
percakapan, apa yang harus aku bicarakan?
“Hei, Yoshida.”
“Hmm?”
Sial, apa yang harus kkubicarakan
sekarang? Jika lawan bicaranya Maru, topic apapun dengan mudah terlintas di dalam
pikiranku, tetapi sekarang ketika aku mencoba untuk melakukan percakapan santai
seperti ini, aku tidak dapat memikirkan apa pun untuk dibicarakan.
“Jadi, bagaimana denganmu?”
Pertanyaanku sebenarnya bukan
pembuka percakapan, aku sendiri paham betul.
Jika dia bertanya kepada aku, “Jadi, bagaimana denganmu?” Aku akan
kebingungan harus menjawab apa. Aku tahu itu adalah upaya yang menyedihkan
untuk memulai percakapan, tetapi Yoshida, sebagai orang yang baik, menerima
usaha cerobohku.
“Aku? Nah, pada malam hari aku
biasanya mendengarkan musik atau menonton video.”
Ah. Aku kira Yoshida
menafsirkan pertanyaanku yang tidak jelas dan tidak berarti sebagai “Jika kamu yang begadang, apa yang biasa kamu
lakukan?”
Dia kemudian mendaftarkan
beberapa lagu favoritnya, tetapi aku belum pernah mendengarnya sebelumnya. Aku
mencoba mencarinya di smarphone-ku.
“Ayo kita lihat... Oh, rupanya
itu lagu pembuka anime.”
“Ehh, masa?”
“Itulah yang tertulis di sini,”
kataku sambil menunjukkan hasil pencariannya. Dia menjawab “Wow, aku tidak tahu
itu,” jadi kurasa ia hanya tahu lagu itu karena sedang tren daripada karena dia
tertarik dengan anime atau manga. Yoshida menambahkan ia tidak terlalu sering
menonton anime atau membaca manga.
Aku sendiri kebanyakan membaca
buku dan manga, tetapi berkat pengaruh Maru, aku juga menonton anime larut
malam. Tapi yang mengejutkan, aku masih ketinggalan tren terbaru dan tidak tahu
lagu itu. Aku melakukan pencarian cepat dan menemukan situs web resmi anime
telah memposting lagu tersebut sebagai promo. Aku membuat catatan mental untuk
memeriksanya nanti.
“Kamu benar-benar pria yang
baik, Asamura.”
Aku mendongak dari layar
smartphone-ku karena terkejut dengan komentarnya.
“Hah? Kenapa?”
“Maksudku, jika kamu tidak tahu
tentang lagu tersebut, kamu bisa saja mengabaikannya, tapi kamu berusaha
mencarinya untuk bisa sefrekuensi denganku. Kamu benar-benar berbeda, coy.”
Hmm,
apakah aku benar-benar melakukan itu? Sejujurnya aku sendiri tidak yakin apakah
itu benar.
Aku sendiri sadar kalau aku
lumayan bias dalam hal genre favoritku. Tidak hanya dengan buku, tetapi juga
dalam bidang musik dan film. Pandangan bias itu bisa mengarah pada pemikiran
sempit, arogansi, dan narsisme.
Aku belajar rasa takut menjadi
orang yang tertutup dari membaca buku. Dan itulah sebabnya ketika aku membaca
buku, aku mencoba untuk tidak hanya membaca fiksi, tetapi juga literatur yang
mendalami filosofi Jepang, bisnis, otobiografi, sains populer, sejarah, dan
sebagainya. Bias adalah bentuk lain dari individualitas seseorang, sehingga
keberadaannya tidak bisa dihindari. Tapi aku mencoba untuk tidak terpaku pada
hal tersebut.
Dalam hal musik, aku tidak ingin
ketidaktahuan menjadi alasanku tidak mendengarkan lagu. Dan jika aku tetap mendengarkan
sesuatu, mengapa tidak menikmatinya?
Jadi, aku menjelaskan alasanku
kepada Yoshida.
“Ah, begitu. Aku tidak begitu
mengerti, tapi okelah.”
“Artinya aku suka mendengarkan
orang lain membicarakan hal-hal yang mereka sukai. Ada hal lain yang kamu
sedang kamu minati belakangan ini?”
“Ohh tentu. Jika memang begitu,
maka rekomendasiku adalah—”
Yoshida berbicara tentang para
YouTuber, lagu-lagu populer, drama, dan sejenisnya. Mereka kebanyakan genre
baru dan terdengar asing bagiku. Maru biasanya hanya merekomendasikan agar aku
menonton live-streaming game VTuber.
Aku mencoba mengikuti
percakapan dengan mencari kata-kata asing di ponselku setiap kali kata-kata itu
muncul. Aku tidak yakin apakah ini dianggap sebagai percakapan yang tepat.
…
Seperti ini obrolan ringannya?
Pokoknya, aku berhasil menapaki
jalanku melalui jam istirahat yang tersisa. Aku merasa sangat terkesan mengenai
betapa mudahnya semua orang dapat melakukan hal-hal seperti ini. Ketika bel
untuk memulai kelas berbunyi, Yoshida kembali ke tempat duduknya.
Aku mendongak setelah membuka
buku teksku dan melihat sekilas rambut berwarna cerah melewati garis pandangku.
Untuk sesaat, mataku bertemu dengan mata Ayase-san. Dia dengan cepat berbalik
dan menghadap papan tulis, tapi aku benar-benar merasa dia sedang menatapku.
Atau mungkin karena aku selalu
secara sadar mencarinya sehingga aku memperhatikan hal-hal semacam itu...?
◇◇◇◇
Sepulang sekolah, aku mampir
dulu di rumah sebelum menuju ke toko buku tempatku bekerja.
Pak manajerku memanggilku saat
aku barus masuk ke kantor, “Asamura, kemari sebentar.”
“Masalahnya, Yomiuri-kun mengirimiku
pesan yang memberitahu kalau dia tidak akan bisa bekerja semua shiftnya minggu
ini karena dia harus pergi mencari pekerjaan.”
Hari ini, hanya ada empat orang
yang bekerja—aku, Ayase-san, dan dua mahasiswa yang baru memulai musim semi
ini. Jadi, secara kebetulah, aku sudah menjadi anggota staf yang paling
berpengalaman.
“Asamura-kun, kupikir kamu
sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui hal ini, tapi menangani
pengembaliannya akan sangat sulit minggu ini.”
“Ah, ya. Kurasa begitu."
Minggu depan adalah awal dari
liburan Golden Week, libur panjang,
jadi jadwal pengiriman akan dihentikan. Dengan kata lain, majalah yang
seharusnya terbit pada hari Senin tidak akan sampai. Hal tersebut akan menimbulkan
masalah bagi pelanggan kami. Orang ingin membaca majalah biasa secepat mungkin,
dan jika ada buku yang dirilis setiap bulan, mereka berharap buku itu akan
tersedia di toko buku pada tanggal 25.
Jika ini masalah pelanggan, itu
menjadi masalah toko buku juga. Lantas, apa yang biasanya terjadi? Yah, ketika
tanggal rilis suatu produk, dalam hal ini buku, bertepatan dengan hari libur,
maka jadwal rilisnya akan dimajukan lebih awal. Hikmah di baliknya mungkin
adalah, “Lebih baik datang lebih awal
daripada terlambat.”
Jadi, sebelum liburan Golden Week dimulai, buku-buku yang
setara satu minggu akan mengalir deras ke dalam toko buku kami. Toko buku kami
berukuran lumayan, jadi jumlah buku yang masuk akan mencerminkan hal itu. Dan
selama Golden Week, pengembalian
tidak dapat dikeluarkan. Jadi jika kita tidak menumpuk inventaris di kantor,
kita harus mengembalikan majalah dan buku yang sudah terjual jauh sebelum
Golden Week. Dengan begitu, kita bisa membuat ruang di dalam rak.
Jika Yomiuri-senpai ada di
sini, dia akan memberikan pemrosesan pengembalian kepada anggota staf lainnya,
tetapi karena dia tidak ada, jadi akulah yang harus memimpin.
Aku terus mengingat percakapan
dengan manajer saat berjalan ke rak. Ketika aku melewati bagian kasir, aku
melakukan kontak mata dengan Ayase-san, yang bekerja pada shift yang sama
denganku. Aku memberinya sedikit anggukan dan berjalan menuju rak untuk mulai
mengaturnya.
Umumnya, saat aku mengerjakan
rak, Ayase-san akan menjaga meja kasir, dan begitu juga sebaliknya. Kami
berusaha untuk tidak berbicara terlalu banyak selama shift kami, sesuai
kesepakatan kami. Itu adalah keputusan untuk tidak terlalu banyak berbicara
satu sama lain di tempat kerja sehingga kami dapat mempertahankan tingkat
profesionalisme tertentu. Artinya, kami melakukannya dalam batas yang wajar.
Selama masa istirahat kami,
mahasiswa laki-laki kebetulan memasuki ruang istirahat pada saat kami berada di
sana, sehingga Ayase-san dan aku tidak dapat melanjutkan percakapan kami dengan
tenang. Jadi, kami akhirnya hanya menyesap teh kami tanpa banyak bicara satu
sama lain. Mahasiswa laki-laki tersebut menyelesaikan jam istirahatnya dan
pendatang baru lainnya, seorang mahasiswi, masuk tepat saat dia pergi. Saat
mereka berpapasan, mereka bertukar pesan singkat, “Aku akan kembali,” dan
“Tentu.” Wanita itu membungkuk sedikit ke arah kami dan melakukan kontak
mata singkat sebelum duduk dan mengeluarkan buku dari sakunya untuk dibaca. Dia
memancarkan aura yang menyiratkan, ‘Jangan
bicara padaku’.Melihatnya yang begitu, aku pun berpikir–
“Saat ini, kamu mungkin
berpikir kalau aku sama seperti dia, bukan?”
Ayase-san, yang duduk di
sebelahku, bergumam dengan suara yang hanya bisa kudengar. Aku hampir
memuntahkan teh yang kuminum.
Tanpa menunggu jawabanku,
Ayase-san meraih cangkir kertasnya dan segera meninggalkan kantor. Mahasiswa
perempuan itu sebentar mendongak dari bukunya dan menatapku dengan curiga.
(Apa?
Aku tidak melakukan apa-apa, kok)
Dan begitu saja, jadwal shiftku
selesai. Aku diingatkan betapa pentingnya keberadaan Yomiuri-senpai, pengatur
suasana, bagi kami. Misalnya saja seperti, jika dia ada di sana hari ini, dia
akan dengan santai melibatkan dua pemula dan kami dalam percakapan. Aku mungkin
akan baik-baik saja untuk berbicara dengan Ayase-san secara normal juga.
Saat Ayase-san dan aku
sendirian, sepertinya aku tidak bisa menyesuaikan diri untuk menjaga jarak
profesional di antara kami, yang mana hal itu membuatku takut. Bahkan jika kami
tidak berniat untuk bersikap terlalu dekat satu sama lain, jika kolega kami
melihat hubungan kami seperti itu, kami mungkin akan dikritik atau dituduh
melakukan sesuatu yang tidak pantas di tempat kerja. Jadi kami menahan diri.
Tapi sebagai efek sampingnya, kami akhirnya menjauhkan diri dari dua pekerja
paruh waktu baru lainnya. Hal tersebut sedikit membuatku frustrasi.
Ketika giliran kerja kami
berakhir, Ayase-san dan aku kembali ke kantor bersama, hanya untuk menemukan
Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan setelan wawancara, meskipun dia
seharusnya sedang libur.
Sembari mengenakan kemeja putih
di bawah setelan biru laut, dan dengan rambut hitam panjangnya diikat ke
belakang menjadi gaya ekor kuda, Yomiuri-senpai terlihat sangat berbeda dari
gaya biasanya yang membiarkan rambutnya terurai ke bahunya. Mungkin akan
dianggap menyinggungnya jika aku berkomentar bahwa dia terlihat seperti
seseorang yang pandai dalam pekerjaannya, jadi aku menggigit lidah untuk
menghindari risiko membuatnya marah.
Saat kami memasuki kantor,
Yomiuri-senpai menyapa kami dengan suara lucu.
“Yaaahooo~! Apa kalian berdua kesepian
tanpa senpai kesayangan kalian?”
Dia menyeringai lebar, mirip seperti
kucing Cheshire. Karena sifat keras kepala, aku mendapati diriku tidak ingin
mengakui bahwa aku sebenarnya sedikit kesepian.
“Yah, aku tidak benar-benar
kesepian, tapi aku benar-benar merasakan betapa merepotkannya kekurangan staf.”
“Oh?”
“Ngomong-ngomong, bukannya kamu
seharusnya sedang libur hari ini?”
“Ya ampun, apa-apaan ini? Apa
aku sekarang sudah dianggap sebagai pengganggu? Apa itu yang terjadi padaku?”
“Tidak, sama sekali tidak.”
“Ahh, sungguh jahat sekali. Aku
datang jauh-jauh ke sini untuk mendukung kerja keras semua orang, dan inilah
ucapan terima kasih yang kudapatkan?”
“Jika kamu mengatakan kamu
datang ke sini untuk mengolok-olok kerja keras kami, maka aku mempercayainya.”
“Perkataanmu sungguh kejam
sekali, Kouhai-kun. Hiks hiks, hwee, hiks.”
Dia mengadakan acara sandiwara
yang tidak perlu dari rutinitas menangis palsunya.
“Umm...”
Sebagai cowok SMA yang pernah
melihat wanita lebih tua menangis, langkah efektif di sini adalah mengubah
topik pembicaraan.
“Jadi, kenapa Senpai ada di
sini?”
“Yah, aku baru menyadari kalau
liburan Golden Week akan segera tiba,
jadi kupikir aku harus menjadi lebah pekerja kecil yang baik dan datang
membantu, bahkan jika itu harus menjalani shift malam yang ditakuti.”
Jadi rupanya setelah wawancara
kerja, Yomiuri-senpai diminta untuk bekerja lembur karena dia tahu toko buku
akan sibuk. Namun, dia masih berencana untuk bekerja pada shift regulernya di
atas itu. Ayase-san sepertinya menyadari hal ini hampir bersamaan denganku dan
segera menundukkan kepalanya dengan rasa terima kasih.
“Terima kasih banyak.”
“Tidak, tidak, ini bukan
masalah besar, kok... Tapi silakan saja, kalian bisa memujiku sebanyak yang
kalian mau.”
Rasanya jadi sedikit sulit
untuk memujinya ketika dia sendiri yang mengungkitnya. Atau hal itu cuma
caranya untuk menyembunyikan rasa malunya?
Aku juga berterima kasih
padanya dari lubuk hatiku. Lagi pula, perkataanku yang mengatakan kalau kami
kekurangan tenaga kerja adalah kebenaran.
Kami selesai lebih awal dari
yang diharapkan dan mampir ke kantor lagi setelah berganti pakaian normal.
Yomiuri-senpai sedang bersantai di kursi sembari menikmati sekaleng kopi di
tangannya.
Aku hendak mengucapkan selamat
tinggal padanya, tetapi ada sesuatu yang mengusik rasa penasaranku jadi aku
bertanya padanya, “Senpai, Apa mencari pekerjaan itu sulit?”
“Oho, kamu tertarik, Kouhai-kun?
Tapi kalian berdua berencana untuk kuliah, kan?”
Ayase-san menganggukkan kepalanya
bersama denganku.
“Ya. Aku berencana masuk
universitas, tapi aku juga berpikir untuk mencari pekerjaan sesudahnya.”
“Kalian berdua memang sepasang
anak remaja yang rajin, ya? Ketika aku seusiamu, yang bisa kupikirkan hanyalah
mengikuti ujian masuk.”
Dia kemudian menceritakan
pengalaman berburu pekerjaannya. Dia sudah melamar ke banyak perusahaan,
termasuk penerbit buku akademis, toko e-book,
perusahaan IT, pekerjaan kantor di pabrik, dan banyak lagi.
Aku terkejut dengan jumlah
perusahaan yang dia lamar, tetapi sejujurnya, aku lebih terkejut mengetahui
bahwa dia sudah melamar ke berbagai industri meskipun hanya memiliki preferensi
untuk beberapa dari mereka.
“Aku mengira kamu adalah tipe
orang yang langsung melamar pekerjaan yang diinginkan saja. Apa kamu
benar-benar melamar ke begitu banyak perusahaan yang berbeda?”
“Emangnya kelihatan seperti
itu, ya?”
Ayase-san mengangguk.
“Benar.”
“Oh, benarkah? Apakah aku
terlihat seperti orang yang sudah mengetahui semuanya?”
“Tidak persis seperti itu.”
“Uh-huh, uh-huh, lalu bagaimana
aku bisa bertemu denganmu, Saki-chan? Aku jadi merasa bersemangat untuk
mendengar suaramu yang menarik.”
“Umm...”
Ayase-san mengerang dan
terdiam. Aku mengerti mengapa Ayase-san berjuang untuk mengungkapkan pikirannya
dengan kata-kata. Sederhananya, kepribadian Yomiuri-senpai sulit untuk
dijelaskan.
Melihat kurangnya respon
Ayase-san, aku dengan enggan mengambil alih, “Kamu adalah tipe orang yang akan
mengikuti arus ketika kamu bepergian dengan seseorang, tetapi ketika harus
memutuskan ke mana harus pergi sendiri, kamu hanya memilih tempat yang benar-benar
ingin kamu kunjungi.”
Ayase-san mengangguk setuju.
“Aku juga menganggapnya seperti
itu.”
“Kamu bersedia untuk pergi
bersama dengan orang lain, tetapi kamu juga keras kepala tentang apa yang kamu
inginkan.”
“Oho. Memangnya kamu bisa
mengatakan kalau aku ini cuma mengikuti arus? Aku mungkin cukup jago
berpura-pura tersenyum, tapi bukannya kamu baru saja menyebutku keras kepala?”
Yah,
aku memang bilang begitu.
Tapi meski begitu, aku merasa
seperti aku memilih kata-kataku dengan hati-hati.
“Wow, sungguh orang yang aneh
banget, ya? Kalian kira orang dengan kepribadian keterlaluan seperti itu
benar-benar ada?”
Baik Ayase-san dan aku menatap
kosong pada orang yang berdiri di depan kami. Yomiuri-senpai menjerit dramatis
dan mencengkeram dadanya seolah-olah dia ditusuk dengan tombak transparan.
“Tatapa mata kalian… mereka
melukaiku! Ini adalah serangan psikologis! Sejak kapan kalian berdua mulai
mengombinasi serangan kalian? Tunjukkan sedikit belas kasihan, ya?”
“Lagipula, kami dilatih oleh
seorang guru tanpa ampun. Orangnya sendiri sudah mirip seperti sejenis iblis.”
“Oke, oke, baiklah. Yah, aku
mengerti apa yang ingin kamu coba katakan. Tetapi ketika aku memilih kampusku, aku
tidak terlalu pilih-pilih tentang hal itu sesuai dengan prospek pekerjaanku.”
Yomiuri-senpai memberi tahu
kami bahwa dia tidak memilih universitas berdasarkan karir yang dia inginkan di
masa depan, tetapi karena itu adalah lokasi yang nyaman untuk tinggal di Tokyo
setelah pindah dari pedesaan. Sepertinya dia melakukan perjalanan untuk
mengubah ritme kehidupannya, mencoba mencari tahu apa yang ingin dia lakukan.
“Jadi sekarang aku sedang
mencari pekerjaan, aku belum benar-benar mempersempit pilihanku.”
Ayase-san dan aku mendengarkan
cerita Yomiuri-senpai dengan campuran keheranan dan kekaguman. Kami tidak
pernah berpikir bahwa seseorang akan mendaftar ke universitas wanita bergengsi
karena alasan seperti itu.
Jadi, Kouhai-kun dan Saki-chan,
kalian juga harus segera memikirkan hal itu."
“Oke.”
“Dipahami.”
Aku memiliki gagasan samar
bahwa mengincar universitas dengan nilai ujian masuk yang tinggi akan membuka
lebih banyak peluang bagiku di masa depan, tetapi melihat contoh nyata dengan
kedua mataku sendiri membuatku tersadar bahwa aku harus lebih memikirkan tujuanku.
“Ahhh, perutku! Sakitttt banget!
Aku ingin tahu apakah aku akan mendapat tawaran dari beberapa perusahaan dalam
waktu dekat."
Yomiuri-senpai menggerakkan
tangannya dari dada ke perutnya saat dia mengeluh, dan sepertinya manajer kami,
yang baru saja memasuki kantor, mendengar ocehannya. “Jika kamu begitu mengkhawatirkannya, kenapa kamu tidak bekerja di
sini saja sebagai karyawan tetap?” pak manajer mengatakannya dengan bercanda,
tapi nadanya sangat serius.
“Oh, yang bener saja pak,
jangan bercanda terus, deh.”
“Bayarannya mungkin cukup
bagus, loh.”
“Aku akan mengingatnya, terima kasih.”
Meski baru saja sampai di sini,
manajer dengan cepat meninggalkan ruangan lagi. Yomiuri-senpai mengantar
kepergiannya dengan lambaian tangan, lalu berbisik dengan suara yang cuma bisa
kami dengar.
“Sejujurnya, aku belum berpikir untuk tinggal
di sini dalam waktu lama. Maksudku, aku tidak membenci pekerjaan atau apa pun,
tapi kupikir aku akan bosan jika terus melakukan hal yang sama. Aku ingin
beberapa rangsangan baru, kalian mengerti maksudku, ‘kan?”
Karena waktunya sudah cukup
larut, jadi kami hanya menanggapinya dengan senyum masam dan berjanji untuk
merahasiakannya sebelum meninggalkan kantor.
◇◇◇◇
Mencari
pekerjaan, ya…
Ayase-san dan aku mulai
berjalan pulang, dengan aku mendorong sepedaku di sampingnya.
Pergantian musim semi ke awal
musim panas mulai terasa, dan aku jarang merasa kedinginan lagi saat berjalan
di luar. Cabang-cabang pohon yang berjejer di pinggiran jalan pun mulai dirimbuni
dengan dedaunan hijau, dan orang-orang yang kami lewati di jalan mengenakan
warna-warna cerah, menghilangkan warna gelap dan berat di bulan-bulan yang
lebih dingin. Di beberapa etalase toko, manekin mengenakan pakaian lengan
pendek seolah-olah siap menyambut musim panas.
Ayase-san mengintip melalui
kaca toko yang kami lewati untuk melihat pakaian yang dipajang. Aku juga
mengikuti pandangannya dan sesekali berkomentar.
“Sepertinya ada banyak pakaian
yang berwarna ungu muda.”
“Lavender digital.” Ayase-san
menunjuk ke gaun ungu muda.
“Jadi itu nama warnanya?”
“Ya. lalu, aku juga mendengar
kalau katanya warna itu akan segera menjadi tren.”
Mungkin karena aku terlihat
tertarik, jadi Ayase-san berbicara tentang pakaian apa yang trendi, tetapi dia
menggunakan banyak istilah teknis dan mana mungkin aku bisa mengingat semuanya.
Dia juga mengajariku beberapa kombinasi warna yang trendi, tetapi aku mungkin
akan segera melupakannya besok.
Namun, kata ‘tren’ digunakan untuk sesuatu yang
sedang populer, dan karenanya tidak dapat digunakan untuk sesuatu yang belum
ada. Ungkapan ‘tren berikutnya’ jelas
berlawanan dengan makna tersebut. Meski begitu, itu biasa digunakan di dunia
mode. Rasa-rasanya hampir seperti bisa memprediksi masa depan.
“Warna ini juga digunakan untuk
sampul buku, kan?”
“Ya, kurasa begitu.”
Sama seperti maraknya novel
percintaan yang lembut atau meningkatnya popularitas cerita isekai.
“Dan juga, bukankah ada orang
yang mengatakan hal-hal seperti 'ini akan
menjadi tren besar selanjutnya'?”
“Mungkin ada.”
Oh
begitu. Waktu penemuan tren dan puncak popularitasnya pasti berbeda.
“Jika ada yang mencoba untuk
memaksanya, masih ada kemungkinan itu tidak akan populer, maka itu tidak akan
menjadi tren.”
“Kurasa itu masuk akal.”
Jika seorang pakar mode
mengatakan demikian, aku sangat tidak setuju. Hal tersebut bukan tentang memprediksi
masa depan atau semacamnya, tapi hanya membuat tebakan. Jadi, jika kamu
menganggapnya sebagai bentuk meramal, Kamu tidak perlu terobsesi untuk mengejar
tren selanjutnya. Dengan mengingat hal itu, rekomendasi Ayase-san mungkin
benar-benar melekat padaku. Mungkin.
Kami berbelok dari jalan utama
dan memasuki gang sempit menuju apartemen kami. Cahaya terang pusat kota
Shibuya memudar di belakang kami. Jalanannya jadi lebih sulit untuk dilihat,
dengan hanya percikan lampu jalan yang menerangi jalan di depan secara redup.
Kebisingan kota juga memudar, jadi rasanya jauh lebih mudah untuk berbicara
sekarang. Tapi, anehnya, kami berdua terus berjalan dalam diam.
Kami cukup dekat untuk
merasakan panas tubuh satu sama lain, dan bahu kami hampir bersentuhan. Tanpa
kata-kata untuk mengisi keheningan, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah
nafas kami yang sesekali berhembus di malam hari.
“Mencari pekerjaan, ya…” gumam
Ayase-san saat aku melihat pintu masuk ke gedung apartemen kami, menggemakan
pemikiran yang kumiliki ketika kami meninggalkan pekerjaan. Kata-katanya
dipenuhi dengan kecemasan samar tentang masa depan. Aku berharap seorang ahli
pencari kerja, atau mungkin bisa dibilang pembimbing karir, akan membaca
keberuntungan karirku seperti yang dilakukan para fashionista untuk pakaian.
Kami menaiki lift dan membuka
pintu unit kamar apartemen kami dengan salam “Aku pulang”. Orang tua kami belum pulang. Hal tersebut normal bagi
Akiko-san untuk tidak berada di rumah, karena dia baru saja pergi untuk
pekerjaan bartendingnya. Tapi Ayahku sama-sama sedang sibuk juga, karena tahun
fiskal baru dimulai, dan sering tidak pulang sampai lewat tengah malam.
Ayase-san dan aku makan malam
dan mencuci piring bersama, setelah itu kami kembali ke kamar masing-masing dan
mandi secara bergiliran. Ayase-san menyarankan agar kami tidak perlu mengganti
air mandi setiap saat untuk menghemat air, dan sekarang kami memutuskan siapa
yang akan pergi lebih dulu dengan baradu suit. Kegiatan itu sudah menjadi
rutinitas kecil kami.
Setelah beres membersihkan
badan, aku melanjutkan belajar atau membaca buku jika sudah selesai. Itu adalah
waktu yang damai sebelum tidur.
Di tengah rutinitas semacam
itu…
“Boleh aku masuk?” Ayase-san
memanggil sambil mengetuk pintu kamarku. Aku membalasnya dengan silakan saja,
dan dia masuk membawa dua cangkir yang mengepul.
Angin sepoi-sepoi dari AC
meniup aroma menyenangkan dari rambutnya yang baru dicuci ke lubang hidungku.
Aku memutar kursiku untuk menghadapnya, dan Ayase-san berjalan mendekat ke
arahku, lalu meletakkan mug di atas meja.
“Teh susu?”
“Ya. Kupikir itu lebih baik
daripada kopi sebelum tidur.”
“Terima kasih.”
Ayase-san membalasnya dengan
tersenyum “Sama-sama.”
“Hei, jadi, hari ini... Kamu
sedang berbicara dengan Yoshida-kun, ‘kan?”
Mungkin yang dia maksud adalah
percakapan kamu setelah jam pelajaran sastra Jepang Modern.
“Ya. Dia bertanya apa aku
begadang atau semacamnya.”
"Dan guru memanggil namamu
berkali-kali, kan?”
“Waktu itu aku terus-terusan
melamun. Jadi, kami mulai berbicara tentang apa yang kami lakukan sebelum
tidur. Misalnya saja seperti ini…” Aku menunjuk ke arah buku yang sedang
kubaca.
“Aku membaca buku, sementara
Yoshida mendengarkan musik, jadi dia merekomendasikan beberapa lagu populer
untuk didengarkan.”
Aku mencantumkan semua judul
lagu dan Ayase-san sepertinya tahu semuanya. Dia memberi tahuku lagu
favoritnya, dan menanggapi kalau aku mungkin akan mendengarkannya nanti.
Lalu aku mencoba bertanya
kepadanya, “Kamu sedang mengobrol dengan gadis ketua Kelas yang duduk di
sebelahmu, kan?”
Sudah menjadi bagian dari rutinitas
kami untuk membicarakan hal-hal sepele semacam ini sebelum tidur. Seolah-olah
kami mencoba menutupi fakta bahwa kami tidak bisa bersikap seperti pasangan di
kelas atau di tempat kerja.
Kami masuk di kelas yang sama
dan kami sangat sadar satu sama lain, namun–
“Sejujurnya... aku merasa
sedikit kesepian.” Ayase-san bergumam, kepalanya menunduk dan bahunya terkulai.
“Aku ingin berbicara lebih
banyak denganmu di kelas. Aku ingin lebih dekat denganmu.”
“Maaf. Aku tidak pandai memulai
percakapan.”
Ayase-san menggelengkan
kepalanya, rambutnya yang sedikit lembab bergoyang perlahan mengikuti gerakan.
“Aku sendiri yang bilang kalau
kita akan lebih baik seperti itu.”
Kami tidak ingin menarik
perhatian dengan bersikap seperti pasangan secara terbuka.
“Aku tahu, tapi tetap saja...”
Tapi kami juga tidak ingin
menekan perasaan kami lagi. Itulah yang kami sepakati selama perjalanan sekolah
kemarin. Jadi, kami memutuskan untuk bertindak secara alami. Tapi untuk
beberapa alasan, semakin kita mencoba untuk bertindak secara alami, kita menjadi
semakin tidak yakin bagaimana berperilaku di sekitar satu sama lain.
Tangan yang menggenggam cangkir
Ayase-san bergetar. Karena tidak tahan melihatnya, aku segera berdiri dari
kursiku dan memeluk tubuh rampingnya. Ayase-san mendorong kepalanya ke dadaku
dan mengusapnya. Aku bisa mendengar suaranya yang teredam berkata, “Asamura-kun...”
“Cium aku.”
“Baiklah.”
Kami mendekatkan wajah kami dan
memejamkan mata. Getaran mug yang terjepit di antara kami berdua mulai berhenti tanpa
kami sadari.
Ayase-san menarik diri dari
pelukan kami dan berkata “selamat malam”, lalu kembali ke kamarnya sendiri.
Aku menghela nafas pelan dan
duduk kembali di kursiku. Pintu kamarku kembali tertutup rapat, hanya menyisakan
dengungan suara AC di telingaku.
Detak jantungku
berangsur-angsur melambat, dan aroma Ayase-san yang tersisa direnggut dari
lubang hidungku saat itu memudar.
(Apa
tidak apa-apa bagi kami untuk tetap seperti ini?)
Aku dibuat bimbang mengenai berapa
jarak yang sempurna di antara kami.
Aku mulai membaca buku di mejaku
lagi, tapi tak satupun dari tulisan-tulisan tersebut berhasil memasuki kepalaku.
Sebelumnya | Daftar isi |
Selanjutnya