Kanpeki no Sako-san Bab 4 Bahasa Indonesia

Bab 4

 

Setelah aku mulai mempersiapkan kotak makan siangku sekitar jam setengah 5 pagi, aku akhirnya mencapai sentuhan terakhir. Aku selesai membuat lauk pauk, sekarang ditugaskan untuk memasukkannya ke dalam. Sebagian besar waktuku biasanya hanya mempersiapkan kotak makan siang untuk diriku sendiri, tetapi hari ini aku tidak hanya membuat bagianku sendiri tetapi juga untuk Tsuyoshi-kun. Oleh karena itu, aku meminjam kotak makan siang dari Ayah.

Aku sadar bahwa membuat kotak makan siang adalah cara jadul untuk PDKT, tetapi aku tidak peduli dengan penampilanku di mata orang lain. Dan hari ini merupakan kesempatan sempurna untuk strategi ini. Biasanya Tsuyoshi-kun dan Isaka-kun makan siang di kantin, tapi karena kegiatan klubnya, Isaka-kun tidak bisa hadir. Hal itu membuatku lebih mudah untuk memberi Tsuyoshi-kun kotak makan siang ini.

Dan dengan begitu, pekerjaanku selesai. Kotak makan siang berwarna biru laut adalah milik Tsuyoshi-kun, dan kotak kuning yang lebih kecil adalah milikku. Tetapi karena membuat kotak makan siang akan memamerkan pesonaku, yang tidak aku inginkan, aku menambahkan rasa aneh pada makan siangnya. Pada dasarnya, aku akan menunjukkan betapa canggungnya diriku.

“Hehehe.”

Ketika membayangkan bagaimana tanggapan Tsuyoshi-kun, aku mendapati diriku cengengesan. Begitu ia makan siang ini, ia pasti akan berhenti menyebutku sempurna. Sambil merasa bersemangat, aku membungkus kotak makan siang itu dengan kain.

 

*****

 

Lonceng yang menandakan berakhirnya jam pelajaran keempat pun berbunyi. Begitu guru meninggalkan kelas, semua orang mengeluarkan kotak bekal makan siang mereka atau menuju kantin dan toko sekolah untuk membeli makan siang mereka.

“Takumi, jam pelajarannya sudah selesai tuh. Ayo pergi ke kantin.”

“Mm…Ah, ya…”

Takumi sangat ahli dalam tidur di kelas, ia tidak pernah diperingatkan oleh guru.  Dia sekarang menggosok matanya yang mengantuk dan berdiri.

"Aku harus pergi ke lapangan olahraga, maaf.”

“Oh, buat menguras air, ya.”

“Hujan kemarin lumayan deras.”

Pengeringan air yang dimaksud ialah menghilangkan genangan air dengan spons atau kain debu. Demi menggunakan waktu latihan mereka secara efektif setelah kelas, mereka tampaknya mulai melakukan ini selama istirahat makan siang. Pasti rasanya sulit menjadi bagian dari klub bisbol. Takumi mulai berjalan meninggalkan kelas, meninggalkanku sendirian. Karena selalu begini setelah hari hujan, aku tidak terlalu terganggu olehnya. Aku hanya akan membeli roti dari toko sekolah. Setelah memutuskan hal itu, aku berdiri dari tempat dudukku dan hendak meninggalkan kelas, tapi tiba-tiba ada suara seseorang yang menghentikanku.

“Tsuyoshi-kun, tunggu sebentar.”

Ketika aku berbalik, Sako-san berjalan ke arahku dengan kotak makan siang di tangan. Dan kemudian, dia mendorong tangan kanannya ke arahku, dengan kotak makan siang yang terbungkus.

“Aku membuatkanmu makan siang. Mari makan bersama?”

Bekal makan siang buatannya sendiri?! Terlebih lagi dari Sako-san, yang dikabarkan pandaii memasak. Memangnya aku benar-benar diperbolehkan  makan sesuatu seperti ini? Namun, ketika aku melihat sekelilingku, aku menyadari bahwa ini bukan waktunya untuk merasa bahagia. Semua tatapan teman sekelasku diarahkan padaku. Terutama mereka yang berasal dari anak laki-laki, tatapan mereka terasa setajam pisau. Sorot mata mereka dipenuhi dengan kecemburuan dan permusuhan.

Pada saat yang sama, gadis-gadis justru menunjukkan rasa penasaran daripada apa pun. Aku khawatir tentang rumor yang muncul akibat peristiwa ini. Bagaimanapun juga, aku hanya ingin keluar dari kelas ini secepat mungkin. Aku takkan bisa makan apa pun dalam suasana tegang begini. Aku menerima kotak makan siang yang dibungkus dan melangkah keluar dari kelas. Setelah itu, aku memberi isyarat kepada Sako-san.

“Sebelah sini. Aku tahu tempat yang sempurna untuk makan dengan tenang.”

Untungnya, ruang konseling bimbingan masa depan kosong bahkan saat makan siang. Shibato-sensei mungkin sedang makan di tempat lain. Aku menyalakan lampu ruang wawancara dan duduk di sofa. Sedangkan Sako-san duduk di seberang meja. Sebagai tambahan informasi, Sako-san mengembalikan roknya kembali ke panjang normalnya, meskipun sebelumnya menyatakan bahwa dia akan membuatnya tetap pendek.

“Apa kita benar-benar boleh makan siang di sini?” Sako-san melihat sekeliling ruangan.

“Jangan khawatir, kita akan baik-baik saja.”

Makan di sini sebenarnya dilarang, tapi Shibato-sensei tidak akan marah dengan masalah sepele begini, jadi seharusnya tidak masalah. Dan karena aku menyadari semua kesalahan sensei, ia tidak bisa mengancamku, apalagi marah.

“Kalau begitu tidak apa-apa! Ayo mulai makan!” Sako-san tampak bersemangat saat dia membuka kotak makan siangnya sendiri.

Sebelum aku membuka milikku, aku mengajukan pertanyaan yang membuatku penasaran.

“Aku beneran boleh memakan ini?”

Tentu saja, aku sangat senang dengan kotak makan siang buatannya sendiri, tapi aku akan merasa tidak enak menerimanya dari gadis yang baru saja aku tolak. Itu sebabnya aku ingin bertanya sekali lagi. Namun, tangan Sako-san tiba-tiba berhenti, dan dia menatapku dengan tatapan sedih.

“Kamu tidak mau…?” Alisnya menciptakan ekspresi kalah.

“Tidak! Aku akan dengan senang hati menerimanya!”

Benar sekali, dia sudah repot-repot membuat bekal makan siang ini untukku, jadi tidak sopan rasanya untuk tidak memakannya. Aku akan mengunyahnya seperti itu adalah makanan paling enak yang pernah ada. Aku membuka bungkusan makan siang, disambut dengan kotak makan dua tingkat.

“Woahh…!”

Makan siang Sako-san membuat mulutku berair. Ayam goreng, telur dadar gulung, sayuran rebus dengan kecap, salmon matang, salad kentang. Itu semua lauk pauk khas, membuatku merasa seperti baru saja membuka kotak harta karun. Nasi putih dikemas menjadi nori bento, terlihat lezatnya.

“Kamu yang membuat semua ini, iya ‘kan, Sako-san?”

“Ya.”

“Wow…! Aku belum pernah melihat kotak makan siang yang tampak begitu lezat.”

“Hehe terima kasih! Silakan dicoba dan dicicipi.”

“Terima kasih atas makanannya!”

Aku mengambil sumpitku, dan menggambil ayam goreng untuk awalannya. Sako-san terus menatapku sepanjang waktu, yang membuatku agak sulit untuk makan, tapi kurasa dia bersemangat. Dengan tampilan makanan yang begitu enak, aku yakin rasanya tidak akan mengecewakan. Ayam gorengnya juga dibuat persis seperti yang kusuka. Aku memasukkannya ke dalam mulutku, merasakan sensasi berkerak di setiap gigitan, ketika sensasi daging mulai mengisi mulutku. Rasanya sa…sa… sangat tidak enak sama sekali. Sebaliknya, itu sangat buruk.

Saat menggigit daging, kamu biasanya akan disambut dengan sensasi daging yang empuk dan lezat, namun rasa ayam goreng yang satu ini sama pahitnya dengan obat. Itu memang rasa daging, namun rasanya tidak mirip seperti itu sama sekali. Sebenarnya apa sih yang kumakan di sini? Aku menelan ayam goreng dengan upaya terbaikku, tetapi rasa pahitnya sudah memenuhi mulutku. Rasanya sama seperti ketika aku gagal meminum obat bubuk.

“Jadi? Bagaimana rasanya?” Sako-san menunjukkan senyum mempesona padaku.

Sejujurnya, rasanya sangat tidak enak sehingga aku harus berjuang untuk menyimpannya di mulutku, tetapi aku tidak tega memberitahunya. Dia pasti berusaha sangat keras untuk membuat ini, jadi aku tidak ingin menyakitinya.

“Rasanya sangat lezat.”

Ada kemungkinan besar dia gagal membuat ayam goreng, dan sisa makan siangnya masih baik-baik saja. Aku harusnya bakal tidak apa-apa jika aku memilih lauk yang lain. Lalu… selanjutnya adalah telur dadar gulung. Lauk tersebut tampak bersinar dalam warna emas cerah, mempertahankan bentuk yang tepat. Bisa dibilang lauk tersebut terlihat menggugah selera. Aku mengambil satu telur dadar dengan sumpitku dan membawanya ke mulutku—lalu mendadak berhenti di tengah jalan. Telur dadar itu mengeluarkan bau busuk yang kuat. Hanya mendekatkannya di depan wajahku saja sudah cukup bagiku untuk mengatakannya. Mengapa? Apa dia menggunakan telur busuk? Apa dia berniat ingin membunuhku?

“Apa ada yang salah? Tanganmu kok tiba-tiba berhenti.” Sako-san tampak bingung.

Dia akan menyadarinya jika aku tidak memakannya! Karena tidak ada pilihan lain, aku memasukkan telur dadar ke dalam mulutku. Meski aku sudah menduganya, tapi bau busuk telur dadar itu memenuhiku dengan keinginan untuk muntah. Padahal lauk ini terlihat sangat normal di luar, jadi bagaimana dia bisa mengacaukan ini?

“Te-Telur dadarnya… juga enak, kok.”

“Betulkah? Aku senang sekali!”

Jika hanya ada satu berkat yang menyelamatkan mentalku, maka itu pasti senyum cerah Sako-san. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengungkapkan apapun agar dia bisa terus tersenyum seperti itu. Masih banyak lauk yang tersisa. Beberapa di antara lauk tersebut pasti ada yang enak. Sekarang aku memilih beberapa nasi putih sederhana. Mana mungkin dia bisa mengacaukan rasa di sana, ‘kan?

Namun, begitu aku memasukkannya ke dalam mulutku, aku merasakan manisnya yang luar biasa. Dan itu mengeluarkan aroma yang aneh.

Sebut saja berumput, atau seperti laut, itu adalah aroma yang seharusnya tidak aku gambarkan dalam konteks ini. Aku menahan keinginanku untuk menutup hidung dan menelan nasi. Sebuah memori terlintas di dalam kepalaku. Tempat pembuangan sampah laut. Aromanya mengingatkanku pada tempat pembuangan sampah untuk sampah yang terdampar di pantai di pantai. Bahkan nasinya juga sama-sama terasa tidak enak. Sepertinya tidak ada jalan keluar dari neraka penyiksaan makan siang ini bahkan ketika aku ingin mengandalkan nasi putih.

Aku tidak ingin membuat Sako-san bersedih, jadi aku mempersiapkan diri untuk memakan semuanya, tapi semakin lama itu semakin sulit. Aku hampir tidak mengambil tiga gigitan. Pada saat yang sama, perutku keroncongan, meskipun itu bukan karena lapar, sih.

“Fufu, sepertinya kamu sedang lapar banget ya, Tsuyoshi-kun.”

“Ya, aku lapar…”

Aku berbohong dengan wajah datar. Suara gemuruh ini pasti karena perutku minta tolong. Aku akan sangat menderita ketika aku pulang hari ini.

“Kira-kira porsi segini cukup? Aku tidak tahu berapa sebanyak yang biasanya kamu makan saat makan siang.”

“Ah, ya, aku akan baik-baik saja.”

Kalau bisa, aku lebih suka tidak makan lagi. Aku bahkan takkan terkejut jika bekal makan siang ini telah membunuh orang sebelumnya. Namun, seburuk apa pun itu, membuat Sako-san merasa sedih akan lebih menyakitkan. Aku sudah menyakitinya sekali dengan menolak pengakuannya, jadi aku tidak bisa melakukannya untuk kedua kalinya. Aku mengambil keputusan dan menyiapkan sumpitku.

Aku menghabiskan semua lauk pauk dan nasi putih. Semakin banyak aku makan, semakin mulutku berteriak ketakutan, dan aku bahkan tidak bisa membedakan rasa masakannya. Lidahku sudah mati rasa, aku mulai mengeluarkan air mata, dan mengalami kesulitan bernapas. Setelah sekitar sepertiga dari kotak makan siang tersisa, tubuhku telah mencapai batasnya, ketika rasa sakit yang tajam memenuhi perutku.

Bukan hanya sakit perut ringan, aku merasakan bagian dalam perutku sedang terkoyak-koyak. Itu adalah sesuatu yang belum pernah aku alami sebelumnya. Butir-butir keringat terbentuk di dahiku, saat aku menggertakkan gigiku.

“Apa rasanya tidak enak?”

Otot-otot punggungku membeku. Kurasa hal tersebut tergambar jelas di wajahku.

“Tidak, tidak, tidak, rasanya sangat lezat, kok.”

“Tapi sepertinya kamu kesakitan. Ini sebenarnya tidak enak, iya ‘kan?”

“T-Tidak, aku menyukainya. Aku merasa ingin nambah lagi.” Aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum dan tidak menunjukkan apapun.

Namun, Sako-san terus menyeringai padaku.

"Tidak apa-apa kok, kamu boleh jujur padaku.”

Kenapa dia malah tersenyum? Bukannya dia akan merasa sedih jika mengetahui kalau makanannya tidak enak?

“Tidak, rasanya benar-benar enak.”

“Hmph, jadi kamu takkan mengakuinya apa pun yang terjadi, ya.”

Sako-san sepertinya masih bersenang-senang. Dia mungkin tahu bahwa aku bertingkah sok tegar, dan menggodaku. Ketika melihat meja di depanku, aku menyadari sesuatu. Sako-san bahkan belum menyentuh kotak makan siangnya sendiri.

“Kamu takkan makan apa-apa, Sako-san? Istirahat makan siangnya akan segera berakhir, loh.”

Aku menyadari sesuatu. Jika Sako-san memakan makan siangnya sendiri, dia mungkin menyadari betapa buruk rasanya. Aku menunjukkan ini dengan harapan begitu, tetapi Sako-san menanggapi dengan senyum cerah.

“Aku bisa memakannya nanti. Sebaliknya, aku ingin membakar pemandanganmu yang menyantap bekal buatanku ke dalam otakku.”

Kamu benar-benar tidak perlu melakukannya! Silakan menikmati makan siangmu sendiri!

“Kita masih ada jam pelajaran lagi setelah ini, jadi kamu harus makan sesuatu sekarang atau kamu takkan berhasil melewati sisanya.”

“Aku tidak terlalu banyak makan di siang hari, jadi aku baik-baik saja.”

Yahh, tapi perutku tidak baik-baik saja, oke! Aku masih memiliki sepertiga yang tersisa, tetapi perutku sudah menjerit ketakutan. Naluriku menyuruh lenganku untuk bergerak, tapi tubuhku tidak mau bergerak. Aku membeku seperti patung batu ketika Sako-san menghela nafas pelan.

“Heh, jadi kamu tidak ingin makan lagi, ya?”

Senyumnya hampir terlihat sangat sadis di mataku.

“Bukan begitu masalahnya. Aku tidak sabar untuk makan lebih banyak.”

Atau begitulah yang dikatakan mulutku, tapi tanganku tetap tidak bergerak.

“Kalau gitu…” Bibir Sako-san membentuk senyuman saat pipinya memunculkan rona merah samar. “Aku akan menyuapimu makan.”

“Hah?”

Dia langsung mencuri sumpitku, dan mengambil telur dadar gulung.

“Ini, ayo buka lebar-lebar~” Dia mendorong telur dadar itu ke arahku dengan senyum berseri-seri.

Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para pasangan. Sebagai cowok, aku selalu mengagumi situasi seperti ini. Namun, telur dadar yang disuguhkan itu terlalu berbahaya. Aku takkan tertipu meskipun kamu sendiri yang menyuapiku.

“Bukannya ini sesuatu yang harus kamu lakukan dengan pacarmu?”

“Jangan khawatir, toh tidak ada yang melihatnya, jadi tidak apa-apa. Ayo, buka lebar-lebar.”

Telur dadar yang didorong ke depan hidungku mengeluarkan bau yang menyengat.

 “Karena kamu orang yang baik, Tsuyoshi-kun, kamu akan memakannya untukku, kan?”

“Tidak, aku sama sekali bukan orang baik.”

“Tapi ketika kamu menolakku, kamu meluangkan waktu untuk memikirkannya dengan benar, bukan?”

“Ughh …”

Tolong hentikan. Aku akan merasa bersalah jika kamu mengangkat topik itu.

“Ayo, buka yang lebar~”

Meskipun adegan seperti ini akan menjadi sesuatu yang membuat setiap cowok manapun merasa iri, mau tak mau aku merasa tercengang dan khawatir. Senyum Sako-san tiba-tiba terasa sangat berbahaya, seperti dia telah berubah menjadi ilmuwan gila.

“Ayo, buka mulutmu, Tsuyoshi-kun.”

Sako-san terus mengulurkan telur dadar gulung ke arahku seolah-olah ingin mendesakku. Aku mengundurkan diri dan meneguknya sekaligus tanpa mengunyah. Pada saat yang sama, sakit perutku semakin bertambah parah.

“Lauk mana yang harus aku pilih selanjutnya, ya?”

Sako-san sepertinya belum puas dan membawa lauk berikutnya ke mulutku. Yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha menahan rasa sakit di perutku, menjadi benar-benar kosong. Melihat hal itu terjadi, Sako-san semakin tersenyum. Yang bisa aku lakukan hanyalah fokus untuk tidak memuntahkan semua yang ada di perutku. Rasanya tubuhku mau pecah. Aku masih bisa bertahan hidup karena aku tidak ingin menunjukkan penampilan yang menyedihkan di depan Sako-san. Akhirnya, aku mencapai gigitan terakhir dari kotak makan siang. Sako-san mengumpulkan sisa kecil di dalam kotak dan mendorongnya ke arahku.

“Ahhh.”

“A-Ahhh…”

Aku menelannya seperti pil. Dan akhirnya, kotak makan siang itu kosong. Pertempuranku akhirnya berakhir. Aku entah bagaimana berhasil melewati ini tanpa menyakiti Sako-san… Saat aku merasa lega setelah menderita begitu lama, semua rasa sakit secara ajaib menghilang. Atau lebih tepatnya, aku menjadi tidak bisa merasakan sakit yang sebenarnya. Bersamaan dengan hal itu, indra perasaku telah lenyap sama sekali. Mungkin itu takkan membutuhkan waktu yang lama sampai aku benar-benar pingsan. Aku bahkan tidak dapat menahan tubuh gemetarku, dan hanya jatuh kembali ke sofa.

 

*****

(Sudut Pandang Sako Machika)

Merangkum kesimpulan, Tsuyoshi-kun berhasil selamat, dan kami tidak perlu memanggil ambulans untuknya. Namun, setelah menghabiskan seluruh jam pelajaran ke-5 di toilet, ia kemudian melanjutkan untuk beristirahat di ruang UKS selama jam pelajaran ke-6. Meski begitu, ia masih belum sepenuhnya pulih setelah semua jam pelajaran berakhir, jadi Mayuko dan aku memutuskan untuk mengunjunginya.

Setelah ia pingsan, Mayuko dan aku menguji kotak makan siangku. Itu sudah melampaui tingkat menjijikan, tidak, mungkin itu sudah mencapai titik kriminal bahkan membiarkan manusia memakannya. Itu bahkan tidak bisa dimakan sebagai makanan hewan peliharaan. Kami berjalan menyusuri lorong yang dingin ketika Mayuko tidak bisa menyembunyikan rasa frustrasinya lagi.

“Dan Tsuyoshi memakan seluruh makan siang itu?”

“Ya…”

Lebih tepatnya, aku memaksanya untuk memakannya. Saat itu, aku sangat senang melihatnya berjuang untuk memakannya, aku tidak menyadari bahwa dirinya benar-benar pucat.

“Machika, rasanya benar-benar menjijikan, kamu tahu itu?”

“Ya…”

Saat Mayuko dan aku mencoba makan siang sebentar, kami berdua hampir muntah. Kami bergegas ke toilet dan mengkumur mulut kami, tetapi rasa tidak enak masih membekas mulutku. Berkat itu, Mayuko terus mengomel selama ini.

“Kupikir kamu harus menyadari bahwa ada batasan untuk hal-hal semacam ini, Machika.”

“Aku tidak menyangka akan menjadi seburuk ini… maafkan aku…”

Kami mencapai ruang UKS ketika Isaka-kun keluar.

“Sako dan Nishida? Maaf, tapi aku harus pergi ke klubku. Sampai bertemu lagi.” Ujarnya dan berjalan pergi membelekangi kami.

Kurasa aku melakukan sesuatu yang buruk, bahkan mengganggu Isaka-kun dengan ini.

“Ayo silakan ke sana, gadis yang hampir-saja-menjadi-pembunuh.” Mayuko menunjuk ke pintu.

Aku menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu. Segera setelah itu, aku bertemu dengan aroma desinfektan nostalgia.

“Um, aku ingin mengunjungi Tsuyoshi-kun.”

“Aye aye, ia ada di sini.”

“Terima kasih banyak.”

Perawat UKS memberitahuku di mana Tsuyoshi-kun berada, jadi aku berdiri di depan tirai. Ia mungkin memarahiku atau menyalahkanku atas apa yang terjadi. Tapi meski begitu, aku harus meminta maaf. Aku memejamkan mata dan dengan tenang memanggil anak cowok yang ada di balik tirai.

“Tsuyoshi-kun, ini aku, Sako. Boleh aku masuk?”

“Silakan.”

Aku membuka tirai, dan menemukan Tsuyoshi-kun dengan wajah pucat pasi, tampak kehilangan semua energinya yang biasa. Penampilannya yang melemah bertindak seperti pisau yang menusuk dadaku.

“Tsuyoshi-kun! Aku perlu memberitahumu sesuatu—”

“Tidak apa-apa, itu rasanya enak, kok.” kata Tsuyoshi-kun dengan nada meyakinkan.

Kebaikan Tsuyoshi-kun sungguh tidak mempunyai batas. Meskipun aku hampir membunuhnya dengan kotak makan siangku, ia tampak seolah-olah sudah mengampuni dosaku. Namun, aku masih datang ke sini untuk meminta maaf, jadi mengandalkan kebaikannya bukanlah pilihan.

“Apa bagusnya kotak makan siang itu…?”

“Ayam gorengnya agak dingin tapi crispy. Dan telur dadar itu digulung dengan sangat indah.”

“Apa lagi?”

“Kentang dari salad kentang juga dihaluskan dengan cara yang benar.”

“Apa lagi?”

“Tanpa tulang, salmon panggangnya sangat mudah dimakan.”

Ia tidak mengomentari rasanya sama sekali! Tetapi pada saat yang sama, aku terkejut ia berhasil menemukan begitu banyak hal lain untuk diangkat. Seperti yang kupikirkan, Tsuyoshi-kun adalah tipe orang yang benar-benar melihat melalui detail yang sangat kecil. Secercah kecil kerakusan membara di dalam diriku. Aku ingin Tsuyoshi-kun memakan makan siang yang aku buat dengan serius. Aku ingin dirinya mengetahui bahwa aku memang bisa membuat makan siang yang enak. Aku ingin ia mengatakan 'Lezat' dari lubuk hatinya.

Aku mencondongkan tubuhku ke depan, mendekati telinganya. Hanya kami berdua di dalam tirai ini sekarang, jadi aku bisa jujur ​​pada diriku sendiri.

“Aku ingin kesempatan kedua.”

“Kesempatan…?”

“Tepat sekali. Aku ingin membuatkan kotak makan siang lagi untukmu.”

Saat aku meminta ini, aku bisa melihat wajah Tsuyoshi-kun langsung menjadi ngeri. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan dan mulai gemetaran.

“Be-Bekal makan siang itu…sekali… lagi…?”

Giginya gemeretak ketakutan, membuatnya tampak seperti akan muntah. Melihat reaksinya yang bbegitu, aku menyadari bahwa kotak makan siangku telah menimbulkan trauma parah padanya. Aku yakin ia tidak akan memakan makan siangku lagi. Kami takkan pernah bisa bersenang-senang bersama saat istirahat makan siang. Fantasi bahagiaku hancur tak bersisa layaknya istana pasir.

“Aku minta maaf...aku sungguh minta maaf...” Aku menyingkap tirai dan berlari keluar dari ruang UKS.

“Machika?! Apa yang terjadi?!”

Aku mendengar suara Mayuko di belakangku, tapi aku mengabaikannya dan terus berlari.

“Waaaaaah!”

Raunganku yang dipenuhi air mata bergema di lorong sekolahan

 

 

 

29 Juni,

Upayaku untuk menunjukkan kurangnya pesona feminitasku berhasil.

Aku pikir citra Tsuyoshi-kun tentang 'Sako Machika yang sempurna' telah hilang.

Namun, ia mungkin tidak akan pernah menyentuh kotak makan siang buatanku lagi.

Meskipun rencanaku berhasil, aku merasa sangat sedih.

Seriusan, apa sih yang sudah aku lakukan.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama