Bab 5
Peristiwa ini terjadi sekitar
awal April, atau lebih tepatnya tiga bulan lalu. Kupikir itu terjadi tepat
setelah kami naik kelas. Bunga sakura yang bermekarn terlihat dari jendela
lorong, dengan anggota klub olahraga melakukan pelatihan mereka di bawahnya,
berlari dalam lingkaran atau antrian panjang. Aku bisa melihat beberapa wajah
baru di antara mereka.
Karena aku bukan bagian dari
klub mana pun, aku sekali lagi pergi untuk membantu Shibato-sensei dengan
pekerjaannya. Anehnya, itu tidak terkait dengan bimbingan konseling. Aku menuju
ruangan kelas 1-5. Kelas tersebyt merupakan kelas di bawah naungan
Shibato-sensei sebagai guru wali kelas. Karena aku pernah menjadi kelas 1
sampai sebulan yang lalu, aku masih ingat dengan jelas seperti yang harus aku
ambil. Aku mengintip ke dalam dari jendela, melihat seorang gadis menyiapkan
stand musik.
Sepertinya kelas ini digunakan
sebagai ruang latihan untuk orkestra seruling. Aku bahkan sempat merasa
ragu-ragu apa aku harus memasuki ruangan ketika menyadari siapa gadis itu sebenarnya. Ternyata
dia adalah teman sekelasku, Sako-san. Karena kami baru saja naik kelas 2, aku masih
belum bisa mengingat semua nama teman sekelasku, tetapi aku sudah mengenalnya
sejak aku kelas 1. Dia cukup populer di kelas kami, dengan semua anak cowok
menyukainya, dan dia selalu bertengger di peringkat atas.
Rupa wajahnya begitu
menakjubkan dan mempesona, kemampuan akademiknya menduduki peringkat tertinggi,
dan dia sempurna dalam segala hal— semua hal tersebut menggambarkan tentang
Sako-san. Meski demikian, aku mungkin tahu mengenai dirinya, tetapi dia tidak
tahu siapa aku. Kami tidak pernah berbicara, dan aku hanyalah teman sekelasnya.
Namun, jika itu adalah orang yang setidaknya aku kenal, memasuki ruang kelas
menjadi jauh lebih mudah.
“Halo ... Aku ada urusan di
sini, jadi jangan terlalu pedulikan aku ...”
Aku menggumamkan alasanku
dengan suara pelan dan berjalam melalui ruangan. Namun, segalanya masih terasa canggung.
Sako-san lalu memandangku, dan pandangan mata kami bertemu.
“Ah! Tsuyoshi-kun.”
Jantungku hampir copot ketika
dia memanggil namaku. Karena aku tidak benar-benar menonjol bahkan di kelas
baru ku, kupikir butuh waktu lama untuk ada orang yang bisa mengingat namaku.
“Kamu sudah mengingat nama-nama
semua teman sekelas kita? Sungguh cepat cepat sekali.” Aku menjawab.
“Tidak, belum. Aku hanya
mengingat punyamu karena kamu berada di komite bagian kecantikan lingkungan,
bukan?”
“Itu masih luar biasa.”
Sama seperti yang dikatakan
Sako-san, aku bergabung dengan komite kecantikan lingkungan. Kupikir aku
mungkin juga mencoba beberapa pekerjaan lain untuk sekolah di luar tugas
bimbingan konseling.
“Ketika kami memutuskan anggota
komite, Kamu lah yang paling termotivasi untuk itu. Itu sebabnya aku jadi
gampang mengingatnya.”
Dia tidak salah, tapi itu hanya
membuatnya jadi lebih memalukan.
“Aku berencana bergabung dengan
komite, tapi aku akan merasa tidak enakan untuk mengambil posisi yang populer,
jadi aku memilih yang tidak populer.”
Bahkan jika aku menawarkan
untuk bergabung dengan Festival Budaya atau Komite Festival Olahraga, itu
mungkin akan meninggalkan semua orang yang tidak termotivasi. Itu sebabnya aku
lebih memilih dengan komite kecantikan lingkungan sebagai gantinya. Namun,
Sako-san tampaknya tidak terlalu senang dengan pernyataanku, ketika dia
menyilangkan lengannya.
“Menurut pendapat pribadiku,
orang-orang yang termotivasi untuk panitia harus menangani pekerjaan itu. Pada
akhirnya, aku mendapat posisi jadi perwakilan kelas.”
Yap, dialah yang menjadi
perwakilan kelas kami. Posisi tersebut merupakan peran bagi orang yang bisa
menyatukan kelas. Namun, ketika orang acak mengatakan 'Sako-san harus menjadi perwakilan kelas!', Orang-orang lain
langsung mengangguk setuju, dan dengan demikian, dia terpilih sebagai
perwakilan kelas.
“Kupikir kamu cukup luar biasa,
Tsuyoshi-kun. Biasanya tidak mudah bagi seseorang untuk mengambil alih tugas
semacam ini. Sulit untuk menyuarakan tekadmu sendiri, tau?”
“Kurasa itu tidak seistimewa
yang kamu pikirkan.”
“Yah, tapi itulah yang
kurasakan. Itu cukup mengagumkan.”
Aku tidak yakin apa yang harus
dirasakan, tetapi aku pasti tidak benci dipuji. Terutama karena itu berasal
dari gadis populer di kelas.
“Jadi apa yang membawamu ke
sini, Tsuyoshi-kun? Tugas untuk komite?”
Ditanya oleh Sako-san, aku jadi
kembali ingat.
“Ya. Namun, itu hanya beberapa
pekerjaan sepele, sih. Aku seharusnya memeriksa apakah kami memiliki peralatan
pembersih yang cukup di sini,” kataku sambil membuka loker, mengambil semua
alat pembersih, dan menjejerkan mereka di lantai.
Sako-san bangkit dari kursinya
dan berjongkok di sebelahku.
“Apa mau aku bantu?”
“Engga usah, aku akan selesai
sebentar lagi, jadi tidak perlu.”
“Bukannya itu berarti kamu harus
melakukannya di kelas lain juga?”
“Tidak, hanya yang di sini
saja.”
“Hah? Tetapi ini ruangan kelas
1, ‘kan?”
“Yah, ini sebenarnya pekerjaan
guru kelas kelas ini, Shibato-sensei, tapi aku mengambil alih untuknya…”
“Benarkah? Aku merasa kasihan
untukmu ...”
“Tidak apa-apa, aku melakukan
ini karena aku mau. Membantu orang lain membuatku merasa senang dalam banyak
artian.”
“Membantu orang lain ... Wow
...”
“Tapi itu tidak mengubah fakta
bahwa Shibato-sensei adalah orang jahat. Ia hanya bisa berpikir untuk pulang
dengan cepat.”
“Hehe.” Sako-san terkikik.
“Beliau sama seperti rumor yang aku dengar.”
“Kamu bisa mengatakannya lagi.
Belum lagi bahwa kebanyakan dari mereka sebenarnya benar.”
Aku menemukan diriku tertawa.
Sepertinya cukup banyak desas-desus beredar di sekolah. Aku berharap ia
benar-benar menganggap itu serius sekali.
“Kamu juga persis sama dengan
desas-desus yang menggambarkanmu.”
“Hah? Memangnya ada gosip
tentang aku?”
Apa ada seseorang yang
menggunjing di belakang punggungku?
“Tidak, itu hanya rumor di dalam
diriku saja kok. Yah, aku mendengar sebagian besar dari Mayuko, sih.”
“Ummm, Mayuko tuh siapa, ya?”
“Nishida Mayuko. Kamu berada di
kelas yang sama dengannya selama kelas 1, bukan?”
“O-Oh, benar, maksudnya
Nishida-san, ya.”
Begitu mendengar nama
belakangnya, aku jadi mengingat wajahnya. Kurasa aku cukup kasar karena tidak
mengingatnya.
“Ngomong-ngomong, aku merasa
senang karena bisa berbicara denganmu, Tsuyoshi-kun. Kamu luar biasa seperti
yang kupikirkan. "
“Tidak, tidak, tidak, aku
bahkan tidak bisa berani untuk membandingkan dengan jenius di puncak angkatan
seperti kamu.”
“Aku tidak jenius sama sekali.”
“Bukannya kamu selalu mencetak
nilai terbaik seangkatan?”
“Yah, itu benar sih, tapi ...
kalau begitu, lihat ini. Meskipun ini mungkin bukan sesuatu untuk ditunjukkan
pada orang lain.”
Setelah berkata begitu, Sako-san
membentang punggungnya sekali, dan menunjuk buku catatan di mejanya.
“Aku berencana untuk meninjau
ulang apa yang kita pelajari selama kelas hari ini sebelum klub dimulai.”
“Sebelum klub dimulai? Dalam
waktu yang singkat begini?”
Bukankah itu agak terlalu berlebihan?
Kami hampir belum mempelajari istilah baru, dan materi pelajarannya tidak
terlalu sulit sejauh yang aku ingat.
“Jika aku tidak berusaha kersas
seperti ini, aku takkan bisa mempertahan nilai-nilaiku yang sekarang.”
“Jangan bilang ...”
“Itu benar. Kamu tahu kalau aku
berasal dari sekolah SMP yang berafiliasi?”
“Ya, aku pernah mendengarnya.”
Aku pernah mendengar gosip
kalau dia berasal dari sekolah SMP elit yang berafiliasi.
“Tepat setelah mendaftar di
sekolah SMP itu, aku hampir gagal. Tes kecil pertama dan ujian menjadi bencana
buatku.”
Bahkan sekarang, aku masih tak
bisa mempercayai bahwa kisah ini menceritakan tentang Sako-san. Mataku
membelalak dengan kaget.
“Lalu bagaimana kamu bisa
mendapatkan nilai-nilaimu yang tinggi ini?”
“Itu bukan sesuatu untuk
dibanggakan, tapi orang tua dan guruku mulai menjadi tidak sabar denganku. Aku
memfokuskan semua yang ada di kelasku, banyak berlatih dengan belajar mandiri
berpasangan. Aku hanya berhasil mencapai tahapan sekarang setelah mendaftar di
sekolah ini.”
Sako-san membuatnya terdengar
seolah-olah itu hal yang gampang, tapi aku sepenuhnya tahu bahwa hal tersebut
bukanlah perkara mudah. Bahkan demi bisa belajar mandiri, kamu memerlukan bakat
dan materi belajar yang tepat, bila seandainya kamu tidak cocok dengan hal
tersebut, kamu takkan pernah mendapatkan nilai terbaik tidak peduli seberapa
keras kamu berusaha. Aku telah diingatkan bahwa sejak aku mendaftar di sini di SMA
Nishijin. Itu sebabnya aku memahaminya. Dia bukannya gadis yang berbakat atau
semacamnya, dia hanya berusaha keras dalam belajarnya. Yang ada justru aku
sudah bersikap kasar karena memanggilnya jenius.
“Aku minta maaf karena sudah memanggilmu
jenius tanpa berpikir panjang!”
“Enggak apa-apa kok, aku tidak
keberatan.”
“Tapi kamu pasti sudah menghabiskan
banyak usaha, bukan? Belajar sepanjang hari ketika semester pertama baru
dimulai ... Memanggilmu seorang jenius akan terasa tidak sopan terhadap semua
kerja kerasmu.”
“Kamu benar-benar tidak perlu
meminta maaf seperti itu, Tsuyoshi-kun.”
Meski dia berkata begitu, tapi
aku masih merasa tidak enakan padanya.
“Kupikir rasanya sangat sulit
untuk mendapatkan hasil seperti yang kamu raih sekarang. Jika semua upayamu
tidak menunjukkan hasil, siapa pun pasti akan merasa depresi. Itu sebabnya aku
tidak ingin melakukan sesuatu seperti menyangkal kerja kerasmu.”
Semua orang akan berasumsi
bahwa orang-orang yang berdiri di puncak peringakt pastilah seseorang yang jenius.
Namun, Sako-san merangkak kemunculannya dengan kerja keras murni. Pada saat
yang sama ketika aku termenung di dalam pikiranku, Sako-san berkedip kepadaku
dalam kebingungan.
“Kamu ini orang yang aneh ya,
Tsuyoshi-kun. Biasanya orang hanya memujiku sambil melihat hasilnya, jadi ini
baru pertama kalinya ada yang memberitahuku begitu.”
“Aku benar-benar tulus merasa
seperti ini.”
“Yap, aku senang kamu merasa
begitu. Terima kasih.” Sako-san menunjukkan senyum malu-malu.
Sekilas, aku sepenuhnya
terpesona oleh senyumnya yang indah tetapi dengan cepat kembali ke pekerjaan
asliku. Jika aku terlalu lama di sini, Shibato-sensei akan mengeluh. Pada saat
yang sama, Sako-san berjongkok di sebelahku lagi.
“Biarkan aku ikut membantumu.
Kira-kira aku harus ngapain?”
“Seriusan, kamu tidak perlu
repot-repot begitu. Ini hanya pekerjaan sederhana.”
“Aku masih ingin membantumu.”
“Hmmm ... kalau begitu, bisakah
kamu meletakkan kembali peralatan pembersih yang aku periksa tadi ke dalam loker?”
“Oke.”
Seperti yang kuduga, Sako-san memang
gadis yang sempurna. Dia tampak anggun dan indah, unggul di bidang akademisnya
berkat kerja kerasnya, bersikap baik kepada semua orang, dan bekerja lebih
keras daripada orang lain. Beberapa cowok biasa macam diriku tidak bisa
membayangkan untuk berdiri di atas panggung yang sama dengannya. Aku tahu itu,
dan aku masih menemukan diriku mengaguminya.
“Seandainya saja aku bisa
bekerja sekeras Sako-san.”
“Secara pribadi, aku sendiri
ingin menjadi lebih sepertimu, Tsuyoshi-kun.”
“Hah? Apa bagusnya dari menjadi
sepertiku?”
Sako-san meletakkan jari
telunjuknya di mulutnya, menyeringai.
“Hehe, rahasia.”
“Oh ayolah…”
Aku merasa penasaran, tapi aku
ragu bahwa Sako-san benar-benar akan memberi tahuku. Dengan kami berdua bekerja
bersama, kami menyelesaikan pekerjaan serabutan yang aneh ini secara relatif
segera, dan begitu peralatan pembersihan terakhir kembali ke tempatnya, aku
menutup pintu loker.
“Terima kasih banyak karena
sudah membantuku. Aku akan membiarkan Sensei tahu bahwa aku sudah selesai di
sini.”
“Yap, sampai jumpa.”
Aku pikir itulah pertama
kalinya Sako-san dan aku pernah berbicara. Bahkan sekarang, ini adalah kenangan
berharga untukku. Dia bilang aku persis seperti 'Rumor yang beredar', tetapi bagiku, Sako-san bahkan melebihi dari
semua gosip yang pernah aku dengar. Awalanya kupikir dia hanyalah jenius yang
berbakat, tapi semua hasilnya itu berkat berjuang keras. Aku tahu kalau itu
mustahil, tetapi aku masih ingat kalau suatu hari nanti aku ingin menjadi
seperti dirinya.
*****
Suara elektronik yang berdering
nyaring membuat kepalaku bergetar, membangkitkanku dari alam mimpi. Dengan mata
setengah terbuka, aku mencari ponselku dan menghentikan alarm.
“Mimpi tentang Sako-san ...”
Meski aku sudah menolaknya, aku
terus menelusuri tindakan anehnya dengan mataku setiap saat. Ketika dia
memotong rambutnya, ketika dia memperpendek roknya, dan ketika dia memberiku
kotak makan siang yang mengerikan itu. Pada awalnya, aku hanya memikirkan
mengapa dia menambahkan seperti itu. Aku hanya ingin tahu tentang gadis yang bernama
Sako Machika. Namun, pada saat aku menyadarinya, aku terus-menerus
memikirkannya. Ekspresinya ketika bertindak aneh seperti itu terasa begitu
ceria bagiku, mau tak mau aku jadi menganggapnya lucu.
Entah itu sorot matanya
memancar sukacita, atau bibirnya yang membentuk senyum menggoda, maupun pipinya
yang merah merona, semuanya terbakar di otakku. Aku tahu sebutan apa untuk
emosi ini. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri lagi. Sejauh ini, aku
hanya mengagumi Sako-san. Aku hanya menghormatinya atas kerja kerasnya. Tapi
sekarang, semuanya berbeda. Aku tertarik pada Sako-san. Meskipun aku sudah
menolak pengakuannya, aku sekarang ingin berdiri di sampingnya.
Aku ingin menjadi anak laki-laki
yang layak dari Sako-san yang sempurna. Sejauh ini, aku tidak memiliki nilai
yang berharga untuk ditawarkan, tapi aku ingin lebih dekat dengan Sako-san. Dan
untuk itu, aku perlu mendapatkan kepercayaan diri. Aku perlu menjadi anak lelaki
yang dapat secara terbuka dan bangga berdiri di sisi Sako-san. Masalahnya
adalah ... Bagaimana aku melakukan itu? Aku membantu dengan semua pekerjaan
saerabutan sejauh ini untuk menjadi lebih percaya diri, tapi itu belum
menunjukkan tanda-tanda perubahan. Aku ingin berubah, tapi aku tidak tahu
caranya. Ketika aku dipenuhi dengan penderitaan dan emosi yang campur aduk, aku
turun dari tempat tidurku.
Bahkan selama jam pelajaran
hari ini, aku terus menerus memikirkan tentang Sako-san. Aku ingin kualifikasi
yang memungkinkan diriku untuk bersamanya. Aku tidak harus menjadi sempurna,
jika aku bisa menemukan satu hal yang bisa membuatku bangga, aku bisa menjadi
lebih percaya diri. Tapi aku masih kebingungan dengan satu hal tersebut. Dengan
pemikiran yang terus melamuni hal itu, lonceng pertanda akhir jam pelajaran
akhirnya berdering. Guru meninggalkan ruang kelas, dan aku meraih tasku untuk
menuju ke ruang konseling. Takumi yang berada di sebelahku juga meletakkan
tasnya yang besar di bahunya, ia kemudian berbalik menengok ke arahku.
“Tsuyoshi, kamu menghela nafas
terus selama jam pelajaran tadi.”
“Benarkah? Maaf, sepertinya aku
tidak sengaja melakukannya. "
“Kamu biasanya takkan pernah
bertingkah kayak orang kasmaran.”
“Bukan begitu, oke.”
Aku secara refleks
membantahnya, tapi kurasa memang ada benarnya. Takumi mengorek lebih jauh,
bertanya kepadaku dengan wajah lurus.
“Apa-apaan semua helaan nafas
tadi, ya? Itu benar-benar membuatku sedikit jengkel selama jam pelajaran, jadi
aku ingin kamu segera berhenti melakukan itu”
Dengan kata lain, ia mendesakku
untuk memberitahunya masalahku. Karena Takumi mempunyai otak yang pintar dan bijak, ia mungkin bisa
memberi jawaban yang aku cari. Harapan semacam itu memenuhi hatiku ketika aku
bertanya kepadanya.
“Apa yang harus kulakukan
supaya aku bisa percaya diri pada diriku sendiri?”
“Terus katakan pada dirimu 'Aku luar biasa!’?”
“Itu ... benar sih, tapi aku
ingin punya dasar untuk kepercayaanku.”
“Apa maksudmu dengan itu?
Selalu ada seseorang yang lebih tinggi darimu. Atau apa, memangnya pemain
olahraga tidak bisa percaya diri jika mereka bukan yang terbaik di seluruh
penjuru negeri?”
“Kurasa kamu benar.”
“Bahkan jika Kamu tidak
membuatnya sampai akhir, memenangkan pertandingan di pendahulu regional akan
membuatmu lebih percaya diri. Baik itu di tingkat nasional maupun regional,
kemenangan akan meningkatkan kepercayaan dirimu.”
“Jadi ... Aku seharusnya tidak
menanyakan ini, tapi apakah kamu percaya diri di klub bisbol SMA Nishin?”
Karena sekolah SMA ini lebih
berfokus pada akademik daripada klub, kebanyakan dari mereka tidak terlalu
kuat. Bahkan klub baseball biasanya tidak berhasil lolos melewati putaran
pre-eliminasi pertama. Aku tahu kalau ini mungkin pertanyaan yang menyinggung
buat Takumi, tetapi aku tetap merasa penasaran. Tanpa ada perubahan dalam
ekspresinya, Takumi memberiku tanggapannya.
“Jangan berpikir kita memiliki
kepercayaan diri sebanyak itu sekarang. Tetapi begitu turnamen berikutnya
dimulai, kami akan mengambil kecepatan dan sekali lagi menantang pertandingan.”
“Apa memang begitu cara kerjanya?”
“Seperti yang sudah kubilang
tadi, semua saran hanya bersifat subjektif. Setelah sampai pada pertandingan
yang sebenarnya, semua kerja keras yang kami masukkan ke dalam pelatihan kami
berubah menjadi kepercayaan diri. Kami percaya bahwa setelah turun ke lapangan,
kami bisa bertarung sama baiknya dengan yang lain.”
Aku bisa memahami alasan di
balik perkataan Takumi. Ketika aku mengikuti ujian masuk untuk sekolah ini, aku
terus mengatakan pada diriku sendiri, 'Aku
sudah belajar dengan benar, jadi aku seharusnya baik-baik saja.'
“Begitu rupanya, jadi itu hanya
saran subyektif ...”
“Pada akhirnya, jika kamu bisa
berdiri di sini sambil berkata kepada dirimu sendiri bahwa 'Aku luar biasa!’, kamu sudah cukup percaya diri pada saat itu
juga.” kata Takumi seolah-olah itu bukan hal yang besar.
Seperti yang kuduga, ia jauh
lebih bijaksana daripada kelihatannya. Aku merasa beruntung memilikinya sebagai
temaaku. Sementara aku mengaguminya, Takumi menarik tasnya.
“Bisa aku pergi sekarang? Aku
akan terlambat ke klubku.”
“Maaf karena sudah mencegatmu
dengan masalahku. Itu benar-benar membantuku, terima kasih banyak.”
“Woke, kalau gitu jangan
menghela nafas lagi besok. Kamu akan kehilangan kebahagiaanmu dan Sako.”
“Ayolah, jangan menggodaku
terus.”
Atau begitulah yang kukatakan,
tapi aku cukup yakin ia sudah melihat batinku. Bukannya berarti semua
kekhawatiranku tiba-tiba menghilang, tapi setidaknya aku merasa seperti sudah
membuat langkah penting. Karena sesi saran kami berakhir, Takumi meninggalkanku
di ruang kelas dengan singkat 'Sampai
jumpa lagi.' Aku memilih untuk menuju ke kantor bimbingan konseling bimbingan
seperti biasa.
Shibato-sensei anehnya sedang
keasyikan dengan pekerjaannya, memberitahuku untuk mengatur rak, dan itu saja
yang beliau katakan. Aku berpikir untuk meminta saran, tapi aku tidak ingin
mengganggunya ketika ia sangat sibuk. Oleh karena itu, aku menuju rak buku.
Sama seperti perpustakaan apa pun, rak buku kantor bimbingan memiliki struktur
tertentu, sehingga pengembalian dari siswa harus diletakkan di tempat yang
tepat setiap saat. Itulah yang akan menjadi pekerjaanku hari ini.
Suai membawa semua buku yang dikembalikan,
aku menempatkan mereka di mana mereka berasal. Karena aku sudah terbiasa dengan
pekerjaan semacam ini, aku jadi tahu lokasi sebagian besar buku. Sementara aku
membuat kemajuan yang baik, aku terus bergumam pada diri aku sendiri.
“Aku luar biasa, aku luar
biasa, aku luar biasa ...”
Aku mengerti apa yang ingin
dikatakan Takumi, tapi sugestti diri semacam ini ternyata jauh lebih sulit
daripada yang kuduga. Aku menghadapi rak buku sambil bergumam pada diriku
sendiri ketika seorang siswa memasuki ruangan. Ketika berbalik, aku disambut
oleh Sako-san. Karena aku memiliki mimpi itu tadi malam, aku menemukan diriku
terpesona oleh kecantikannya sekali lagi. Sekarang aku jadi sedikit baper
padanya, aku tidak tahu jarak yang tepat untuk dijaga. Aku mencoba yang terbaik
untuk tetap tenang ketika memanggilnya.
“Apa ada yang bisa kubantu,
Sako-san?”
“Ah, Tsuyoshi-kun. Aku datang
ke sini karena masa depanku.”
Sako-san menuju rak, melihat
melalui berbagai pamflet universitas. Dia sepertinya sudah memikirkan ujian
universitas. Sambil mengamati adegan itu di sudut mataku, aku terus bekerja
untuk mengembalikan buku kerja ujian universitas ke dalam rak-rak. Sekitaran
aku selesai dengan sebagian besar buku, Sako-san berbalik ke arahku.
“Jadi Tsuyoshi-kun yang mengembalikan
semua bukunya, ya?”
“Ya, Lagipula Sensei tidak bisa
repot-repot melakukannya.”
Keluhan 'cerewet' yang kesal
datang dari meja, di mana Sako-san mengeluarkan terkikih.
“Aku terkadang meminjam buku
referensi, tapi aku tidak tahu. Terima kasih untuk selalu mengembalikan buku
dengan benar.” Dia membungkukkan badannya sopan.
“Ini sama sekali bukan masalah
besar, serius.” Aku menggaruk kepalaku.
Selama gerakan itu, aku melihat
pamflet di tangan Sako-san. Atau lebih tepatnya, seluruh bundel, beberapa dari mereka
bahkan kampus yang berasal dari luar negeri.
“Kamu punya banyak pilihan
untuk perguruan tinggimu, ya? Seperti yang diharapkan.”
“Sebenarnya, aku hanya
kebingungan tentang perguruan tinggi mana yang ingin aku masuki.”
“Ah, benarkah?”
“Karena aku tidak pernah
memikirkan apa yang ingin aku lakukan, jadi aku tidak punya bidang tertentu.
Jadi sebagai permulaan, aku berpikir untuk memeriksa beberapa perguruan
tinggi.”
“Dan perguruan tinggi di luar
negeri dicampur di sana?”
“Ah, yang ini.” Dia menunjukkan
kepadaku pamflet dari beberapa yang dia pegang. “Aku cukup pandai bahasa Inggris,
jadi kupikir aku juga sekalian memeriksanya.”
“Oh ya, kemahiran bahasa
Inggrismu cukup bagus. Kira-kira berapa tingkatanmu, B2?”
“Tidak, B1. Tapi aku hanya diajarI
oleh ayahku, sedangkan aku tidak terlalu suka bahasa Inggris ...”
Suaranya menjatuhkan beberapa
nada, karena dia memasukkan pamflet kembali ke buku sekolahnya.
“Begitu ya... Kurasa memang
sulit untuk perguruan tinggi yang ingin kamu masuki.”
“Aku merasa kalau kamu pasti
akan segera menemukannya, Tsuyoshi-kun.”
“Tidak, tidak, tidak ada yang
benar-benar ingin aku pelajari.”
“Jika kamu memutuskan sesuatu,
kamu pasti akan memutuskan segera.”
“Aku sendiri tidak yakin
tentang itu.”
Aku tidak pernah benar-benar
memikirkan hal-hal semacam itu sebelumnya.
“Maksudku, kamu sedang membantu
Sensei, bukan? Kamu memilih untuk membantunya atas keinginanmu sendiri.Kupikir
tidak banyak orang yang bisa melakukan itu.”
Aku benar-benar merasa tidak
melakukan banyak hal mengenai itu, jadi aku hanya menanggapi dengan cara
sederhana.
“Itu hanya pekerjaan serabutan
yang mudah dilakukan. Semua orang bisa melakukan ini.”
“Bahkan jika memang begitu
masalahnya, kamu masih melakukan ini atas keinginanmu sendiri. Kamu pasti punya
alasan untuk melakukannya.”
“Yah, memang ada sih, tapi ...”
“Tolong beri tahu aku. Kenapa kamu
mulai membantu di sini? Aku ingin tahu bagaimana kamu menjadi dirimu yang
sekarang.”
Ttapan mata Sako-san terlihat berkilauan
dengan harapan. Sayangnya, alasanku mulai membantu di sini bukanlah alasan yang
bisa dibanggakan.
“Sebenarnya ini alasan yang
sangat payah ...”
“Aku tidak keberatan. Aku
menghargaimu atas dirimu pribadi, jadi aku ingin tahu.”
Jika dia mengatakannya seperti
itu, mana mungkin aku bisa menolaknya. Aku mempersiapkan diri untuk yang
terburuk dan membuka mulutku.
Sejak memasuki sekolah SMP, kemampuanku
selalu rata-rata, atau di bawah rata-rata, tidak peduli apa yang kulakukan. Aku
mulai membenci diri sendiri karena begitu tidak berguna. Tidak aneh rasanya
jika aku menyerah pada diriku sendiri dengan jalan pemikiran seperti itu, tapi aku
terus berjuang. Aku ingin mengubah diriku sendiri. Saat itulah aku mulai
belajar seperti orang kesurupan. Jika aku benar-benar ingin lebih percaya diri,
apa pun itu selain belajar juga tidak masalah. Namun, aku hanya tahu cara bekerja
keras ketika berkaitan dengan bidang akademik.
Setelah mengenangnya kembali
sekarang, kurasa aku hanya terpaku pada kursiku, mengerjakan studiku. Setiap
momen waktu luang selalu dihabiskan dengan belajar. Alhasil, aku berhasil
memanjat peringkat dengan cepat selama masa SMP dan berhasil melewati ujian
masuk di sekolah SMA Nishijin ini.
“Segera setelah sekolah SMA
dimulai, aku benar-benar jatuh dan kehilangan semua kepercayaan diri. Itu sebabnya
aku menggunakan setiap momen waktu luang untuk melakukan pekerjaan serabutan seperti
ini. Aku ingin membantu orang, tapi hanya sebatas ini saja dari perasaanku.”
Setelah berpikir kembali dan
menganalisis kehidupan sekolahku sejauh ini, aku menyadari bahwa kebanyakan
dari hanyalah upaya sia-sia. Aku berjuang tanpa hasil yang patut disebut
berharga. Setelah mendengar semua ini,
aku yakin Sako-san pasti kecewa denganku ... atau begitulah yang kupikirkan,
tetapi dia menunjukkan senyum lembut.
“Itu sangat mengagumkan. Mencoba
mengubah diri sendiri.”
“Maksudku, aku mungkin sudah
berusaha, tapi aku masih tidak berubah sama sekali. Aku cuma berbicara besar
doang.”
“Kupikir apa yang kamu lakukan
sekarang jauh lebih payah.”
“Hah?”
Seketika, nada Sako-san terdengar
agak agresif.
“Aku benar-benar berpikir kamu
luar biasa, Tsuyoshi-kun. Tetapi caramu mencoba untuk memaksakan dirimu dan
tidak menghargai diri sendiri tersa menyakitkan untuk ditonton.”
Tentu saja aku tahu itu, tapi aku
tidak bisa mengatakan apa-apa. Tetap saja, setelah ini ditunjukkan oleh
Sako-san rasanya cukup menyakitkan. Maksudku, bayangkan gadis yang kamu minati
memanggilmu 'payah' dan 'menyakitkan
untuk ditonton.'
“Selain itu.” Sako-san
melanjutkan. “Tidak baik untuk menyerah hanya karena kamu gagal dalam satu
ujian. Kamu seharusnya tidak mengevaluasi dirimu sendiri karena satu kegagalan.
Aku tahu betapa sulitnya kamu selalu bekerja untuk orang lain, Tsuyoshi-kun,
jadi aku tidak ingin kamu menyangkal dirimu sendiri.”
Oh ya, Sako-san menyebutkan
bahwa dia berasal dari sekolah berafiliasi, di mana dia sendiri berperingkat
rendah. Kurasa kami berdua berada di posisi yang sama sebelumnya. Namun, dia
berhasil membuatnya lebih jauh daripada yang aku lakukan. Kurasa aku benar-benar
tidak bisa menang melawannya. Tetapi pada saat yang sama, keinginanku untuk
berdiri di sebelahnya tumbuh menjadi semakin lebih kuat.
“Aku ...” Aku membuka mulutku.
“Aku ingin menjadi seseorang sepertimu, Sako-san.”
Pandangan matanya terbuka
lebar.
“Seperti aku? Mengapa?”
“Bekerja keras, membuahkan
hasil, dan lebih percaya diri.”
Sako-san berkedip sekali, tapi
dia kemudian menundukkan kepalanya.
“Aku juga cukup berjuang, tau?
Tetapi upaya berubah menjadi percaya diri, jika aku bahkan dapat mengatakan
itu.”
Setelah mendengar kata-katanya,
aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan Takumi sebelumnya.
"Begitu
sampai pada pertandingan yang sebenarnya, semua kerja keras yang kami masukkan
ke dalam pelatihan kami berubah menjadi kepercayaan diri. '
Hal yang sama berlaku untuk Sako-san.
Dia bisa percaya diri karena sudah bekerja sangat keras sampai di posisinya
yang sekarang. Lalu bagaimana denganku? Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan
terus-menerus? Sesuatu yang bisa memberiku kepercayaan diri, sesuatu yang
memungkinkan aku untuk menganggap diriku sebagai orang luar biasa?
“Mungkin aku bisa melakukannya
juga ...”
Ketika aku menurunkan kepalaku,
layaknya anak anjing yang ditelantarkan di luar di tengah hujan, Sako-san
tiba-tiba meraih pipiku dengan kedua tangannya dan mendongakkan kepalaku.
“Ap...” Aku tersentak.
“Yup, kamu jauh lebih keren dengan
punggung yang tegak.”
Aku bisa merasakan
kehangatannya langsung di pipiku. Senyumnya membuatnya terasa seperti akan
menerima semua padaku. Aku ingin menjawab kebaikannya. Aku ingin berdiri di
sebelahnya. Jika demikian, maka hanya ada satu hal yang harus dilakukan.
“Aku ... ingin mencoba lagi.
Sekali lagi.”
“Ya. Aku berharap kamu bisa menjadi
lebih percaya diri, Tsuyoshi-kun.” balas Sako-san sambil tersenyum bahagia.
Setelah percakapan sedikit
tenang, aku menjadi malu pada situasi sekarang. Rasanya seperti kami adalah
sepasang kekasih yang bermesraan secara diam-diam.
“Sako-san, kita harus—”
“Kalian berdua.” Suara lesu
berbicara dari samping kami. “Jangan bilang kalau kalian akan berciuman di
sini, ‘kan? Apa kalian berdua mencoba membuat pria lajang ini merasa sedih
selama pekerjaannya?” ucap Shibato-sensei sambil menunjukkan wajahnya.
“Ah, enggak, bukannya begitu!” wajah
Sako-san memerah dan menjauh dariku.
Beliau melihat kami dalam waktu
yang terburuk mungkin. Aku menjadi malu dan menunduk ke bawah. Sako-san
mengambil dua hingga tiga langkah mundur dan berbalik.
“Aku harus pergi ke klubku
sekarang! Sampai jumpa besok!” Dia berbicara tanpa membuang-buang waktu dan
segera keluar dari ruangan.
Aku dibiarkan tertinggal,
merasa terlalu canggung untuk melihat Shibato-sensei. Sesaat, aku merasa
ragu-ragu jika aku hanya harus menggunakan kesempatan ini untuk berlari seperti
Sako-san. Namun, Shibato-sensei meraih bahuku sebelum aku bisa melakukannya.
“Tunggu dulu, Tsuyoshi.”
Aku segera menyadari bahwa aku
akan dimarahi. Beliau menyeretku ke dekat mejanya, memaksaku duduk di kursi. Aku
sibuk mencoba membuat alasan ketika dia sudah membuka mulutnya.
“Bukannya ada sesuatu yang
harus kamu katakan kepada Sensei, Tsuyoshi?”
Kurasa ia hendak menceramahiku
ketimbang perasaan marah. Aku hanya akan mengandalkan harapan bahwa permintaan
maaf yang jujur akan menyelamatkanku.
“Aku minta maaf karena bermesraan
dengan gadis di lngkungan sekolah. Tapi itu hanya salah paham—”
“Dengar, aku di sini bukan
untuk memarahi mu. Meski melihatmu begitu dekat dengan seorang gadis memang
membuatku sedikit sebal.”
“Jadi Sensei merasa marah, ya?”
“Aku masih belum berencana
menceramahimu. Biarkan aku bertanya sekali lagi. Ada sesuatu yang harus kamu
katakan kepadaku, bukan?”
Aku tahu bahwa Shibato-sensei
bukanlah guru yang rajin, tetapi aku bisa mengatakan itu, pada suatu saat, ia
membawaku dan situasinya dengan serius.
“Aku tidak bermaksud menguping,
tapi aku kebetulan mendengar percakapanmu dengan Sako. Kamu baru saja mengubah
sudut pandangmu, bukan? Jika demikian, ada sesuatu yang harus kamu katakan.”
Aku menatapnya, terkesiap. Itu
sebabnya ia menghentikan kami tadi? Aku mengambil napas dalam-dalam, dan
berbicara.
“Jika memungkinkan, aku ingin pekerjaan
serabutannya lebih dikurangi...”
“Dikurangi? Aku tidak keberatan
jika kamu tidak mampir ke sini lagi.”
“Hah?”
Ia mengatakannya begitu
blak-blakan, jadi mau tak mau aku meragukan telingaku. Ia menyerahkan begitu
banyak pekerjaan padaku, dan sekarang ia sama sekali tidak keberatan kalau aku
tidak datang ke seni lagi?
“Kamu tertarik belajar lagi,
kan? Sensei pikir kamu mungkin ingin
menggunakan waktumu yang membantuku untuk belajarmu mulai sekarang.”
Sepertinya ia bisa melihat
segalanya. Tapi, aku masih merasa sulit untuk percaya bahwa ia akan bersedia
membiarkanku pergi.
“Apa anda yakin dengan itu? Anda
tidak akan bisa pulang lebih cepat jika saya tidak datang.”
“Aku masih seorang guru, ingat?
Aku tidak serius tentang itu ... Yah, aku ingin pulang lebihcepat, sih.”
“Sensei sendiri yang memberiku
kesempatan untuk bersinar dalam sesuatu selain bidang akademisku. Bukannya berhenti
sekarang akan menjadi seperti pengkhianatan?”
“Jangan khawatir, jangan
khawatir. Ketika kamu datang ke sini, kamu kehilangan kepercayaan pada nilaimu,
dan aku hanya memberimu sesuatu untuk mengisi kekosongan.”
“Sesuatu untuk mengisi
kekosongan ... jadi semua pekerjaanku hingga sekarang tidak ada gunanya?”
Mendengar komentarku, nada shibato-sensei
jatuh drastis.
“Tentu saja tidak, dasar otak
batu. Kamu sudah tumbuh sebagai orang berkat pekerjaan serabutan yang kamu
kerjakan. Kamu pasti akan meletakkan pekerjaan itu untuk digunakan dengan baik.”
“Tumbuh ... Aku ingin tahu apa
aku beneran tumbuh. Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali.”
“Kamu sudah melakukannya selama
setahun penuh, jadi tentu saja kamu sudah tumbuh. Hasil tersebut pasti akan
ditampilkan dalam waktu dekat, aku yakin itu.”
“Jika Sensei sampai bilang
begitu...”
Aku masih belum merasa puas,
tapi Sensei menunjukkan tatapan yang aneh.
“Jika ada satu hal yang membuat
Sensei kecewa, maka itu adalah kenyataan bahwa seorang gadis sebayamu membuatmu
sesemangat ini. Kurasa perkataannya jauh lebih ngena daripada seorang guru tua,
ya. Aku hampir ingin menangis.”
“....”
“Hanya sedikit nasihat dari
orang dewasa, cinta seharusnya jauh lebih terus terang. Memang tidak ada
salahnya berjuang keras dalam pelajaran demi gadis yang kamu sukai, tetapi kamu
masih SMA, jadi biarkan emosimu menuntunmu sekali.”
“Ini tidak seperti yang Sensei
pikirkan, tapi terima kasih.”
Mengapa bahkan Shibato-sensei
bisa melihat perasaanku? Memangnya samapi sejelas itu, ya?
“Karena kamu memutuskan ini, aku
tidak berencana ikut campur masalahmu, tapi aku pikir kamu harus meletakkan
batas yang jelas antara cinta dan pelajaran.”
“Aku sudah mengerti, jadi
tinggalkan aku sendiri!”
"Karena aku punya
pengalaman hidup lebih banyak darimu, aku akan senang jika kamu menerima
saranku, tapi ... yah, kamu akan belajar dari pengalamanmu, jadi orang tua ini
akan diam sekarang.”
Walaupun beliau tidak memiliki
pasangan, Shibato-sensei bertindak keren dan berpengetahuan luas. Ketika aku
memelototinya dengan tatapan jengkel, Shibato-sensei melambaikan tangannya.
“Ayolah, jangan memelototiku
seperti itu. Bagaimanapun, lebih baik mulai bekerja segera. Jangan ada alasan 'Aku akan melakukannya besok,’ paham?”
“Aku tahu, aku tahu.” Aku
berdiri, dan mengucapkan terima kasih. “Terima kasih banyak atas segalanya,
Sensei.”
“Terima kasih sudah sering
membantuku. Setidaknya mampirlah ke sini sesekali. Kamu bisa menggunakan ruang
wawancara jika kamu mau.”
Aku dengan sopan membungkuk
padanya sekali lagi dan meninggalkan ruang bimbingan konseling. Selama
masa-masa SMP-ku, ada satu ujian jangka pendek di mana aku berhasil mendapatkan
posisi teratas seangkatan. Dan saat itu benar-benar membuatku merasa seperti aku
bernilai sesuatu. Selama setahun terakhir, aku sebagian besar melakukan pekerjaan
serabutan, tetapi aku tidak pernah bisa membangun kepercayaan diri sebanyak
seperti di SMP. Begitu juga, karena aku tidak dapat melihat hasilnya hanya
dalam melakukan pekerjaan lain-lain, tidak seperti namaku muncul di peringkat
yang lebih tinggi.
Apa yang aku butuhkan saat ini
adalah keyakinan yang mudah dilihat. Sesuatu yang akan membiarkanku berdiri di
samping gadis itu. Mungkin alasannya
terlalu dangkal, tapi hanya itu saja yang aku butuhkan. Aku memutuskan untuk
belajar sampai-sampai itu membunuhku. Tujuanku adalah peringkat lebih tinggi
dari Sako-san dalam ujian akhir berikutnya. Dan kemudian, aku akan menjadi
orang yang menembaknya.
4 Juli,
Untuk pertama kalinya, aku
mendengar dari Tsuyoshi-kun tentang kehidupan sekolah SMP-nya.
Aku tahu dia bekerja keras
dalam pekerjaannya, tetapi aku tidak pernah tahu kalau itu semua demi dirinya
bisa berubah.
Ia memiliki kehendak dan tekad
yang kuat yang tidak akan kalah melawan siapa pun.
Karena aku tidak memiliki sifat
itu, mau tak mau aku jadi mengaguminya.
Jika aku bisa langsung
mengatakan semua hal yang ingin aku sukai, aku mungkin takkan menderita seperti
ini.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya