Bab 10 — 1 Juni (Selasa) Ayase Saki
Aku mendongak ke atas langit yang
terlihat melalui celah di antara gedung-gedung ketika berjalan pulang dari
sekolah. Selama jam pelajaran berlangsung, langit tersebut hanyalah berwarna biru,
tapi sekarang awan putih telah merayap masuk. Matahari tersembunyi dan ketika
angin menyentuh kulitku membuatku menggigil. Aku mengusap lengan yang mencuat
dari baju lengan pendekku. Cuacanya menjadi semakin dingin, dan aku penasaran
apakah sebentar lagi akan turun hujan.
Ketika aku menurunkan pandanganku,
aku melihat celah di trotoar. Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, celah
itu membuatku kesal, jadi aku menendangnya dengan sepatuku.
...
Aduh.
Itu benar-benar menyakitkan.
Yah, tentu saja lah.
“Apa sih yang sedang kulakukan?”
Aku bergumam pada diriku sendiri, tapi kata-kata itu tersapu angin sebelum ada
yang bisa mendengarnya.
Aku berjalan pulang dengan
susah payah melalui jalanan yang sibuk di dekat Stasiun Shibuya, merasa kalah.
Hari ini kami mendapatkan hasil
ujian UTS-ku, dan aku sedikit senang karenanya.
Bersamaan dengan lembar jawaban bernilai untuk setiap mata pelajaran, kami diberi rapor dengan nilai
rata-rata untuk seluruh kelas, nilai standar sekolah, dan peringkat pribadi
kami.
Nilaiku benar-benar anjlok.
Baik itu dalam peringkat maupun nilai rata-rataku.
Aku akhirnya melakukannya lebih
buruk daripada saat kelas 2, dan keputusasaan yang gelap memenuhi penglihatanku.
Aku terlalu takut untuk melihat Asamura-kun, jadi aku praktis lari dari ruang
kelas.
“Mengapa bisa begini...?”
gumamku. Kurasa aku tidak perlu bertanya, karena aku sudah tahu alasannya.
Meski aku tidak mau
mengakuinya, tapi sekarang setelah semuanya menjadi seperti ini, aku tidak bisa
terus berpaling darinya.
Asamura-kun. Keberadaan
homosapien yang bernama Asamura Yuuta. Khususnya, kelemahanku karena benar-benar
terjerat dengan keberadaannya. Dan keberadaannya sangat mempengaruhi
konsentrasiku saat belajar. Yap, aman untuk mengatakan hari-hariku sebagai adik
tiri Asamura Yuuta adalah akar dari penyebab semua masalah… Oke, Saki, dibawa santai saja.
Oke, tetap tenang. Jangan
panik.
Aku tidak bisa merusak
kehidupan yang sedang dibangun oleh Ibuku dan pasangannya sekarang. Mana
mungkin ada orang tua dengan putrinya yang masih remaja menghadapi ujian masuk
tahun berikutnya akan tinggal bersama tanpa mempertimbangkan masa depan remaja
tersebut. Ibuku bahkan memberitahuku bahwa jika tampaknya terlalu sulit, kami
dapat hidup terpisah sampai aku lulus, dan dia bahkan akan menunggu sampai saat
itu untuk menikah.
Aku berbalik dan dengan keras
kepala bersikeras aku akan menunggu dan mulai hidup sendiri setelah lulus. Itu
akan menurunkan rintangan bagi ibu dan ayah tiriku untuk menikah.
Aku menginginkan Ibuku bahagia.
Aku tidak ingin dia menunda pernikahannya atau menyerah demi diriku. Aku pergi
ke rumah keluarga Asamura dengan kesadaran penuh akan risikonya.
Itu sebabnya aku memberitahu
Asamura-kun dengan tegas bahwa aku tidak mengharapkan apa pun darinya, dan aku
tidak ingin dirinya mengharapkan apa pun dariku. Aku ingin menjaga jarak
darinya.
Akan tetapi…
Mengapa
aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri dan membuatnya berharap
melakukan apa yang aku inginkan?
“Apa yang harus aku lakukan?”
Aku tidak ingin pulang dengan
perasaan ini, jadi aku memasuki restoran cepat saji pertama yang menarik
perhatianku.
Peristiwa ini mungkin pertama
kalinya aku pergi ke tempat seperti ini sendirian dengan seragam sekolahku. Aku
pun segera duduk, memegang satu cangkir kopi panas yang kupesan. Sambil
meletakkan sikuku di atas meja, aku meneguk sedikit cairan cokelat itu sambil
tenggelam dalam pikiranku.
Saatnya mengatur dan
mempertimbangkan situasi seperti saat ini. Bagian pertama mudah, nilaiku menurun
meskipun hanya tidak sebanding dengan ujian masuk.
Sebuah peradilan dimulai dalam
pikiranku.
[Penggugat]—Diriku.
[Tergugat]—Aku.
[Penonton publik]—Diriku.
[Hakim]—Juga aku.
[Objek tuduhan]—Penurunan
prestasi akademik.
Pertama-tama, pernyataan
argumen penuntut untuk penggugat.
——“Penyebabnya
adalah Asamura Yuuta! Keberadaannya harus segera dilenyapkan!”
——“Keberatan!” Teriak
pengacara di sisi terdakwa.
Hakim menggedor-gedor palunya
untuk membungkam ruang sidang, dan menyuruh jaksa untuk menjelaskan lebih
lanjut.
Seluruh ruangan, termasuk para
penonton, terdiam. Ekspresi semua orang serius. Yang dimaksud semua orang
adalah diriku semua.
Jaksa kembali berbicara lagi.
——
“Sudah sangat jelas bahwa konsentrasi Ayase Saki pada studinya telah menurun.”
Tidak ada yang keberatan.
Karena itu memang fakta yang tak terbantahkan.
——
“Penyebabnya adalah Asamura Yuuta. Kehadirannya selalu melintas di benakku,
menyebabkan kata-kata di hadapanku menari di buku teks, penaku jadi berhenti,
dan hippocampusku terlibat dalam sabotase!” Aku mengoceh sekaligus.
Diriku yang masih berusia 7
tahun di antara hadirin, yang penasaran dengan apa yang dimaksud dengan
'hippocampus', memiringkan kepalanya. Aku yang berusia 13 tahun, yang matanya
dipenuhi dengan kesedihan karena perlakuan kasar ayah kandungku terhadap ibuku,
mengangkat bahunya, dan diriku yang berusia 17 tahun menjelaskan, “Hippocampus adalah bagian dari otak yang
memutuskan apakah akan mengingat apa yang telah sudah lama kamu pelajari atau
tidak.”
Singkatnya, jaksa hanya
menggunakan kata-kata rumit untuk mengatakan terdakwa bermalas-malasan dalam studi
mereka. Orang-orang penting cenderung menggunakan kata-kata yang rumit.
Sebagai info tambahan, tidak
ada yang merasa keberatan saat itu juga. Rupanya, Ayase Saki dari berbagai
versi merasa setuju dengan semuanya sampai saat ini.
——
“Dengan demikian, terdakwa kurang konsentrasi dalam belajar, dan alasannya
jelas. Terdakwa lebih mementingkan keberadaan Asamura Yuuta daripada studi
mereka.”
Jaksa penuntut memelototi
pembela setelah mengatakan itu, dan pengacara terdakwa langsung melotot.
Hakim mengalihkan perhatiannya
ke arah pembela.
——
“Apa kamu menerima pernyataan jaksa?”
——
“Ya,” jawab pengacara pembela.
Apa!? Aku berteriak dalam hati.
Mereka menerimanya!? Yah, ya, kurasa itu memang menggangguku. Karena ini
tentang orang yang aku... sukai.
——
“Tapi, Yang Mulia!” Pengacara terdakwa memulai bantahan mereka.
Baik untuk mereka.
——
“Terdakwa menyadari perasaan romantisnya terhadap Asamura Yuuta ketika…”
Pe-Pe-Perasaan romantisku?! Aku
berteriak lagi dalam hati. Sungguh cara yang memalukan untuk mengatakannya.
Di ruang sidang yang ada di
dalam kepalaku, diriku yang versi SMA di bangku penonton dengan panik
melambaikan tangannya di depan wajahnya karena malu.
Hakim mengetuk palu lagi.
“Diam, Ayase Saki!” teriaknya.
Mengapa aku menegur diriku sendiri ...?
——
“Aku akan melanjutkan. Terdakwa, Ayase Saki, menyadari perasaan cintanya, atau
lebih tepatnya, kasih sayang, jauh sebelum menjadi siswa kelas 3 SMA. Jika
mengarahkan perasaan ini kepada siswa laki-laki adalah penyebabnya, penurunan
nilai akan terjadi jauh di masa lalu!”
Argumen pengacara terdakwa
terdengar logis. Pengacara pembela ini pintar! Yah, karena dia juga diriku
sendiri.
Di sana, di ruang sidang
pikiranku, aku pun tersadar.
Penurunan nilaiku dimulai
ketika aku sudah menjadi anak kelas tiga... Kenapa bisa begitu?
——
“Keberatan!” Jaksa penuntut berteriak.
——
“Aku belum mengatakan alasan perasaan romantisku!”
Aku terkesiap.
Meskipun hanya khayalan, aku
menunggu kata-kata jaksa berikutnya dengan napas tertahan.
——
“Penyebab situasi ini jelas. Keadaan diperparah ketika terdakwa menjadi siswa
kelas tiga SMA, yang berarti ada perubahan lingkungan terdakwa.”
Ah iya. Itu benar.
——
“Terdakwa, Ayase Saki, mengkonfirmasi perasaannya dengan Asamura Yuuta di
semester akhir kelas duanya, dan kesepakatan romantis dianggap telah dibuat
pada saat itu.”
Pe-Pe-Perasaan
romantisku–. Sebelum aku bisa menyelesaikan kata-kata itu, sanga hakim
mengetuk palunya.
Baiklah, aku akan diam.
——
“Lebih jauh lagi, mereka berpelukan di jembatan gantung di Pantai Palawan,
saling berciuman, dan bahkan tertidur bersama di tempat tidur. Jadi, aku ingin
bertanya kepada terdakwa…”
Sebuah peluru nyasar terbang ke
arahku.
——
“Bagaimana perasaanmu setelah kamu tertidur bersama dengannya?”
Aku menggali ingatanku. Sehari
setelah aku tertidur dengan Asamura-kun... Ya, untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku tertidur di kelas. Aku ceroboh. Prestasi akademikku benar-benar
anjlok…
—“Tidak,
tidak, aku tidak membicarakan tentang studimu. Bagaimana perasaanmu?”
Hah? Oh, benar. Aku ingat kalau
aku merasa murung sepanjang hari. Aku membuat kesalahan bahkan di tempat kerja.
Ketika sampai di rumah, aku tertidur dengan headphone kamu. Aku tidak bisa
menahannya, aku sangat mengantuk sehingga aku langsung tertidur.
——
“Terdakwa, Ayase Saki, tampaknya secara sadar mencoba untuk melupakan, tetapi
menderita kurang tidur yang signifikan pada saat itu.”
Aku terkesiap.
——
“Itu karena, sejak menjadi anak kelas tiga, dia tidak dapat berkonsentrasi,
studi ujiannya tidak berkembang, dan dia terus menghabiskan lebih banyak waktu
untuk belajar. Dia begadang di malam hari untuk belajar di mejanya, tapi masih
belum bisa menyelesaikannya.”
Ah…
——
“Tidak mengherankan jika dia tertidur di kelas sebelum itu. Namun, dia tidak
melakukannya sampai hari itu. Jadi apa ada yang spesial dari hari itu?”
Ah gawat, ini buruk. Aku mulai
sampai pada kesimpulan yang tidak ingin aku terima, dan aku tidak ingin
mendengarnya. Jangan katakan, jangan katakan, jangan katakan, jangan katakan,
jangan katakan, jangan katakan.
——
“Terdakwa menemukan ketenangan pikiran setelah merangkul Asamura Yuuta pada
malam sebelumnya!”
Ah.
Ahhhhhhhhh!
——
“Yah, sederhananya, kamu merasa lega dan aman, lalu kewaspadaanmu menurun!”
Dengan cemberut, jaksa
menunjukku di kursi terdakwa.
Jangan menunjuk orang. Aku
ingin menggigit jari yang terulur itu. Terpojok, aku memelototi jaksa dengan
pikiran itu di kepalaku. Tunggu… aku juga berperan sebagai jaksa.
Pengacara pembela mengangkat
bahu.
——“Ah
iya. Aku juga setuju.”
Berani-beraninya mereka setuju
di saat seperti ini.
—
“Kamu lengah, kan? Kamu lega, dan kemudian semua kelelahan yang kamu tahan
langsung keluar sekaligus. Itu sebabnya kamu merasa murung.”
Tunggu sebentar. Mengapa diriku
dipojokkan oleh jaksa penuntut dan pengacara pembela?
Hakim lalu menyesuaikan
kacamatanya.
——
“Hmm? Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita putuskan?”
Jaksa dan pengacara mulai
berbicara pada saat bersamaan. Di ruang sidang pikiranku, aku mendengar
kata-kata yang persis sama dari kedua sisi.
—— ““Kesimpulannya
sudah jelas.””
——
“Bagi terdakwa, Asamura Yuuta mirip seperti selimut Linus! Hanya dengan
dibungkus selimut dia bisa tidur nyenyak, dan tanpa kehadirannya, dia menjadi
cemas dan tidak bisa tidur. Terdakwa berada di kelas yang sama dengan Asamura
Yuuta sejak menjadi siswa kelas tiga, dan bisa dibilang jarak mereka semakin
dekat. Meski demikian, interaksi di antara mereka mengalami penurunan dibandingkan
dengan saat kelas 2. Dalam keadaan kekurangan selimut keamanannya, Asamura
Yuuta, kurang tidurnya menyebabkan kekurangan yang tidak normal konsentrasi dalam
studinya. Terdakwa menderita kasus serius kekurangan Asamura Yuuta!” (TN: Selimut Linus adalah istilah untuk menggambarkan benda,
kebiasaan, atau perilaku apa pun yang memberikan kenyamanan dan keamanan,
dinamai sesuai karakter dalam kartun Peanuts yang melekat pada selimut birunya)
Ke-Kekurangan Asamura Yuuta!?
Saat jaksa penuntut dan pembela
menyelesaikan pernyataan mereka, Saki yang berusia 7 tahun, Saki yang berusia
13 tahun, dan Saki yang berusia 17 tahun sebelum-bertemu-dengannya,
masing-masing memiliki reaksi mereka sendiri. Saki yang berusia 7 tahun
berseru, 'Wow!' Ayase Saki yang
berusia 13 tahun terkejut sembari berkata, 'Aku
sama sekali tidak menyangkanya.' Dan Saki yang berusia 17 tahun sebelum
bertemu dengannya mengangguk dalam-dalam, berkomentar, 'Begitu ya.'
Tidak ada yang mengajukan
keberatan. Ekspresi semua orang menunjukkan bahwa mereka diyakinkan.
Apa
kalian seriusan?
...Tapi, jika itu memang benar,
apa yang akan kulakukan?
Apakah kurangnya konsentrasiku
benar-benar karena kurangnya Asamura Yuuta? Dengan cara yang lebih blak-blakan,
apa itu berarti aku membutuhkan lebih banyak pelukan, ciuman, dan malam yang
dihabiskan untuk tidur bersama? Jika aku mendapatkan cukup dari itu, apa itu
berarti aku bisa kembali ke keadaan primaku seperi saat kelas dua dulu?
Tapi, kata-kata selanjutnya
yang diucapkan jaksa mengejutkan.
——
“Aku merekomendasikan untuk mengambil 'selimut keamanan Linus' dari Ayase
Saki.”
——
“Dan putus dengan Asamura Yuuta!”
Bagaimana
keputusan itu bisa terjadi?!
Ahhh!
Aku secara naluriah menutup
mulutku dengan kedua tangan. Hah? Aku tidak benar-benar berteriak dalam
kehidupan nyata sekarang, iya ‘kan?
Ketika aku membuka mataku, aku
dengan hati-hati melihat sekeliling restoran. Kelegaan menyelimutiku. Tidak ada
yang menatapku. Sepertinya aku hanya berteriak dalam pikiranku. Jantungku
berdegup kencang, aku meminum sisa kopi yang kupegang.
Aku takut dengan kesimpulan menakutkan
yang muncul di benakku.
Apa aku benar-benar
mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika Asamura-kun pergi...?
Tringting!
Aku dikejutkan oleh notifikasi
pesan. Ketika memeriksa ponselku, aku mendapat pesan LINE dari Maaya.
【Hiya
Saki~♪ gimana kabarmu?? BTW aku selalu di sini kalau perlu ngobrol lho~♪ Guk
guk♪】
... Oh Maaya.
Pesan itu disertai dengan
stiker anak anjing yang tertawa. Aku merasakan kenyamanan sesaat. Bagaimana dirinya
bisa tahu? Waktunya terlalu sempurna.
Aku merasakan dorongan yang
kuat untuk meminta nasihatnya. Maaya adalah satu-satunya teman yang bisa kuajak
bicara dengan nyaman.
Tapi dia juga bersiap-siap
untuk ujian masuk, jadi aku tidak ingin mengganggunya.
Apa
yang harus aku lakukan?
Jika aku tidak segera menyelesaikan
masalahku tentang Asamura-kun, mana mungkin aku bisa mengikuti ujian masuk
Universitas Wanita Tsukinomiya.
Kira-kira apa ada seseorang
yang dapat mendengarkan kekhawatiranku dan memberiku nasihat tanpa perlu
membuatku sakit secara emosional?
… Orang yang mudah membantu
seperti itu tidak ada. Berbeda dengan cerita dongeng, tidak ada ibu peri yang
muncul di hadapanku, melambaikan tongkat sihirnya saat kamu sangat
membutuhkannya.
Tiba-tiba, wajah seseorang
muncul di kepalaku.
Aku mengaduk-aduk tasku,
bertanya-tanya apakah aku masih memilikinya. Di bagian bawah, aku menemukan
selembar kertas terlipat dengan alamat email sederhana tertulis di atasnya. Ya,
aku masih memilikinya.
Aku ingat pernah diberikan
kartu namanya pada hari pembukaan Universitas Wanita Tsukinomiya. Profesor
Kudou lalu memberitahuku, “Jika kamu memiliki
masalah, kamu bisa menghubungiku.”
Aku mengumpulkan keberanianku
dan mengirim email. Kemudian, ketika aku bangun dari kursi kamu untuk pulang,
ponselku berbunyi bip.
Itu adalah suara notifikasi
email.
Ketika aku memeriksanya,
ternyata itu email dari Profesor Kudou. Aku hampir tidak bisa mempercayai
penglihatanku.
“Ini bahkan belum lima menit…”
Aku duduk kembali dan membuka
email.
『Aku
akan menunggu di ruangan tempat kita bertemu terakhir kali.』
...Hah?
Tunggu
apa? Apakah dia menyuruhku datang? Maksudnya, sekarang?
Saat aku memegang kepalaku di
tanganku, ponselku berbunyi bip lagi.
『Jika
kamu mau, kamu bisa membawa bocah Asamura-kun itu bersamamu. Aku sama sekali
tidak keberatan』
“Mustahil…”
Aku segera memeriksa email yang
baru saja aku kirim. Tapi tidak peduli berapa kali aku membacanya, tidak ada
satu pun nama Asamura-kun yang disebutkan selain fakta bahwa aku ingin
membicarakan sesuatu.
Bagaimana
dia bisa tahu !?
Aku lalu meletakkan cangkir
kopi kosong di atas nampan dan akhirnya berdiri dari tempat dudukku.
◇◇◇◇
Aku pun turun dari kereta dan
melewati gerbang tiket. Angin lembab menempel di tubuhku. Masih terlalu dini
untuk musim hujan, tetapi awan tebal yang menindas mengancam akan melepaskan
tetesan airnya kapan saja. Aku hanya bisa berharap tidak hujan sebelum aku
sampai di sana.
Saat melihat ke atas ke langit
kelabu, pandangan mataku ditarik ke bawah, seolah-olah menyerah pada berat awan
yang menjulang.
Satu-satunya hal yang dapat aku
andalkan untuk stabilitas adalah aspal padat di bawah kakiku. Aku terus
menunduk dan buru-buru menggerakkan kakiku.
Aku akhirnya tiba di pintu
masuk universitas, di mana aku hanya pernah mengunjungi sekali sebelumnya.
Tapi hari ini adalah hari kerja
biasa.
Berbeda dengan acara kampus
terbuka, suasananya bukan dalam “Mode
selamat datang” untuk orang luar. Tidak ada tanda-tanda apapun, dan tidak
ada orang lain yang memakai seragam SMA sepertiku. Dari gerbang bata merah,
paving taktil membentang ke arah belakang kampus. Seorang satpam berdiri tidak
jauh dari sana, mengamati semua orang yang memasuki kampus.
Apa
tidak apa-apa bagiku untuk masuk?
Ponselku kembali berdengung di
kantong. Aku segera mengeluarkannya — email lain dari Profesor Kudou. Katanya
tunjukin email ke satpam kalau kamu diinterogasi.
Aku secara naluriah melihat ke
kiri dan ke kanan dengan gugup. Apa aku sedang diawasi? Tidak ada alasan untuk
berpikir demikian, tetapi Profesor Kudou membaca setiap gerakanku dengan sangat
baik sampai-sampai membuatku merinding.
Aku mengumpulkan keberanianku
dan hendak melangkah maju—dan berhenti. Sekelompok mahasiswa berjalan melewati
gerbang. Aku cepat-cepat bergerak ke samping untuk menghindari bertabrakan
dengan mereka. Kelompok itu mengucapkan selamat tinggal dan berpencar ke
berbagai arah. Aku menarik napas lega.
“Hei kamu. Apa kamu mempunyai
beberapa urusan di sini?”
Aku sangat terkejut
sampai-sampai aku berpikir jantungku akan melompat keluar dari mulutku.
Aku berbalik untuk melihat dua
wajah yang baru saja aku lihat… sepasang wanita dari kelompok yang aku lihat
sebelumnya. Yang satu sangat tinggi, sementara wanita lainnya bertubuh mungil
dan terlihat seperti binatang kecil. Mereka berdua menatap lurus ke arahku.
“Eh, yah…”
“Seragam itu. Aku merasa
seperti pernah melihatnya sebelumnya, ”kata wanita jangkung itu dengan suara
yang agak serak.
“Itu seragam SMA Suisei,”
tunjuk wanita mungil di sebelahnya.
“Hah? Kita tidak berbicara
tentang pena.”
“Tidak, tidak. Jangan konyol,
Shizu-chan. Kami tidak berbicara tentang pena berbahan dasar minyak dan air.
Lihat, itu dari SMA Suisei. Itu adalah sekolah di sisi lain Tokyo tempat
anak-anak yang sangat pintar bersekolah.”
Sambil mengatakan “di sana,”
dia menunjuk ke arah stasiun, tapi SMA Suisei sebenarnya berada di arah yang
berlawanan.
Mereka sepasang kombinasi yang
aneh. Wanita mungil itu memberikan nuansa halus dan rapuh dan wanita lain,
mungkin setinggi sekitar 170cm, menjulang di atasnya.
Wanita jangkung itu mengangguk
mengerti pada kata-kata wanita mungil itu.
“Jadi, apa kamu punya urusan di
kampus kami? Kurasa kami belum memiliki kampus terbuka tahun ini.”
“Um, tidak, bukan itu. Yah, um,
aku dipanggil ke sini oleh Profesor Kudou.”
Saat kalimat ragu-ragu keluar
dari mulutku, kedua ekspresi mereka langsung berubah seketika.
“Ah—”
“Kasihan sekali.”
Eh? Hah? Hah?
“Baiklah aku mengerti. Oke,
kami akan menunjukkan jalannya.”
“Hah? Tidak perlu. Um... aku
sudah tahu di mana letaknya.”
“Sangat disayangkan sekali. Kamu
sudah terjerat.”
“Shizu-chan, jangan berkata
seperti itu!”
Mereka berdua bertukar
percakapan semacam itu saat mereka menjepitku dari kedua sisi. Apa? Tunggu sebentar.
“Pokoknya, jangan khawatir
tentang itu. Akan lebih mudah jika kita pergi bersama.”
“Ya, ya. Jangan khawatir, tidak
apa-apa, tidak apa-apa.”
“Kita harus memandu kelinci
percobaa—, maksudku, tamu kita dengan benar ke hadapan Profesor Kudou, kan?”
“Yup, yup, betul.”
Tunggu, apa mereka baru saja memanggilku
kelinci percobaan!?
“H-Hei, tolong jangan menarik
tanganku terlalu keras.”
Mereka mencengkeram lenganku
dengan kuat dari kedua sisi dan membawaku ke dalam kampus.
Ruangan Profesor Kudou sama
dengan tempat yang aku kunjungi terakhir kali. Duo kombi wanita aneh itu
membawaku ke pintu, mengucapkan selamat tinggal, dan pergi.
Saat mereka menyeretku, mereka
memberitahuku bahwa mereka berdua adalah murid Profesor Kudou. Terlepas dari
semua keributan itu, aku bisa sampai sejauh ini tanpa dihentikan dan ditanyai
berkat mereka. Jadi, aku berterima kasih. Belum lagi mereka berdua sedang dalam
perjalanan keluar gerbang ketika mereka berhenti untuk membantuku.
Tetap saja, mereka mengatakan
banyak hal yang membuatku cemas. Hal-hal seperti, “Jika sesuatu terjadi, cepat-cepat kabur” atau “Pastikan untuk mengamankan
rute pelarian dan jangan biarkan Profesor Kudou berdiri menghalangi pintu.”
Apa
Profesor Kudou diam-diam adalah seorang pembunuh atau semacamnya?
Berdiri di depan pintu, aku
menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Aku
sudah sampai sejauh ini. aku tidak bisa mundur sekarang.
Tok,
tok, tok.
Tidak ada jawaban.
Hmm?
Aku mencoba memutar kenop pintu
dengan lembut.
Pintunya malah terbuka.
... Mungkin dia sedang keluar
sebentar? Aku mengintip kepalaku sedikit untuk melihatnya.
“Um ... apa ada orang di sini?”
Masih belum ada tanggapan, dan aku
tidak bisa melihat siapa pun melalui celah yang kuintip. Tunggu, tunggu. Apa itu kaki seseorang yang bisa aku lihat di
sisi lain sofa, di antara kaki meja dan kursi? Mereka bertelanjang kaki. Mereka
tergeletak di lantai dekat jendela, dan aku bisa melihat ujung jas putih. Apa
ada seseorang yang pingsan?
Aku buru-buru membuka pintu dan
masuk ke dalam. Aku berlari ke meja dan menatap wajahnya—Profesor Kudou.
“Apa anda baik-baik saja!?”
“Mmm...?”
Dia berbaring miring saat
tidur.
Dia membuka matanya dan menguap
lebar—tunggu, menguap?
“Um, baiklah…”
“Saki-kun. Kamu ketinggalan
satu kereta, bukan?”
“Eh?”
Profesor Kudou perlahan duduk
dan mengeluarkan tangan kanannya dari sakunya. Dia sedang memegang smartphone.
Dia meletakkan telepon di atas meja, dengan santai membersihkan jas labnya, dan
merentangkan tangannya ke arah langit-langit.
“Mmm.”
“Apa anda habis tertidur?”
"Mau aku ngucapin 'selamat
pagi'? Oke, selamat pagi.”
Jadi
dia benar-benar tidur.
Orang ini ternyata sangat
nakal.
“... ya, selamat pagi.”
“Mm. Nah, duduklah.”
Dia menyuruhku duduk di sofa. Aku
ingat duduk di sofa itu ketika datang selama acara kampus terbuka.
“Ayo buat kopi. Itu akan
membangunkanku.”
"Aku baik-baik saja, terima
kasih, aku baru saja makan.”
“Lalu, bagaimana dengan teh
yang sama seperti tempo hari? Tidak, sebenarnya, aku memiliki sesuatu yang
lebih baik. Gyokuro.” (TN: Gyokuro adalah teh hijau Jepang mahal yang memiliki rasa
manis dan lembut, warna hijau cerah, dan manfaat kesehatan. Itu ditanam di
bawah naungan dan diseduh pada suhu yang lebih rendah, dan sangat dihargai
karena rasanya yang unik)
Saat dia mengatakan itu, dia
membuka sebuah lemari tinggi yang terlihat seperti untuk menyimpan perlengkapan
kebersihan. Hal itu dikemas dengan dokumen, tetapi satu rak berisi peralatan
teh dan daun teh sebagai gantinya.
...Sungguh periangnya.
“Gyokuro itu mahal, bukan?”
“Ada yang versi kantong teh.”
“...jadi harganya murah?”
“Bisa dibilang harganya mahal
kalau cuma versi kantong teh. Apa kamu pernah mencoba gyokuro?”
“Sudah, tapi sepertinya sia-sia
memasukkan daun teh berkualitas tinggi ke dalam kantong teh ...”
“Jika kamu melihatnya dari
perspektif mendapatkan pengalaman penuh minum teh mewah, kurasa kamu bisa
menyebutnya sia-sia. Tapi bahannya tidak berbeda, dan lebih praktis, jadi aku
menggunakannya.”
Saat dia berbicara, Profesor
Kudou sibuk bergerak di sekitar ruangan. Dia merebus air dalam ketel listrik,
menyiapkan cangkir teh, dan menyeduh gyokuro menggunakan kantong teh.
Dia membariskan kedua cangkir
di atas meja kaca di antara sofa yang saling berhadapan dan mengobrak-abrik
lemari lagi untuk mengambil sesuatu yang lain. Kelihatannya seperti sekantong
makanan ringan. Dia merobeknya dan menyebarkan isinya di atas meja. Ternyata
itu cemilan keripik kentang asin.
“Untuk menemani teh.”
“...Ah iya. Terima kasih
banyak.”
Tiba-tiba, aku melihat sesuatu
dan menatap kaki Profesor Kudou saat dia duduk bersila di depan kamu.
“Mengapa anda bertelanjang
kaki?”
“Karena aku kepanasan,” Dia
memberiku pandangan seolah itu adalah hal yang paling jelas di dunia.
“Jadi, apa anda tiduran di sana
karena kepanasan?”
“Tidak, kalau itu karena alasan
lain. Aku hanya melakukannya karena penasaran.”
“Penasaran?”
“Ya, kamu tahu, ketika pasangan
tidur bersama, mereka biasanya saling berhadapan, kan?”
“Benarkah?”
“Kalau tidak, kamu tidak bisa
berciuman, kan?”
Be-Berciuman?
Kenapa dia tiba-tiba membahas tentang itu?
“Itu berarti satu orang
memiliki sisi kiri, dan yang lainnya berbaring ke sisi kanan. Aku tiba-tiba
menjadi ingin tahu apakah itu mungkin terkait dengan umur dan kecenderungan
kesehatan pria dan wanita.”
“U-uh…”
Aku penasaran dengan apa
maksudnya. Merasakan ekspresi bingungku, Profesor Kudou mulai menjelaskan
dengan nada enggan.
Menurut penjelasannya, posisi
tidur bisa berdampak signifikan pada kesehatan. Tidur dengan posisi miring ke
kiri, di mana posisi jantung berada, secara alami dapat menekan jantungmu dan
membebaninya. Di sisi lain, tidur miring ke kanan dapat menekan perut dan menyebabkan
masalah pencernaan.
Apa
itu benar? Atau dia cuma mengelabuiku saja?
“Tapi orang bilang kalau
manusia tidur bolak-balik di malam hari, bukan?”
“Itu benar. Jika kamu tidur
sendirian di ranjang besar atau futon, memang begitulah adanya. Tapi bagaimana
jika pasanganmu tidur di ranjang yang sama?”
“Yah ... mereka akan
bertabrakan satu sama lain.”
“Benar, ‘kan?”
“Kurasa begitu.”
Begitu
ya, jadi kemungkinan untuk membalikkan badan hanya terbatas dalam kasus seperti
itu.
“Sekarang kamu mulai
memahaminya, ‘kan? Mungkin ada perbedaan dampak pada tubuh antara tidur di
lingkungan terbatas dan bisa dengan bebas membalikkan tubuh saat kamu tidur
sendirian.”
“Aku mengerti apa yang ingin
anda katakan, tapi ..."
Misalnya saja pasangan suami
istri yang tidur di futon atau ranjang yang sama.
“Misalnya, jika kita mengambil
sampel besar pasangan yang tidur di ranjang atau futon yang sama, kita mungkin bisa
menemukan bahwa ada kecenderungan satu orang untuk tidur di sisi tertentu
daripada secara acak.”
“Memangnya ada statistik yang
menunjukkan pria lebih cenderung tidur di satu sisi tempat tidur daripada sisi
lainnya?”
Mempertimbangkan kemungkinannya
50/50, mungkin ada perbedaan dalam kemampuan untuk membalikkan badan dengan
bebas di tempat tidur, tapi kupikir itu tidak ada kaitannya dengan gender.
“Aku merasa pria sering tidur miring
ke kiri di tempat tidur.”
“Apa dasar anda untuk
mengatakan itu?”
“Saat saling berhadapan, tidur
seperti itu berarti tangan kanan dominan mereka bisa bebas! Bukannya menurutmu
itu sangat penting bagi pria?”
Aku
penasaran apa memang benar begitu.
Setelah memikirkannya sebentar,
aku kembali teringat ketika aku tertidur bersama Asamura-kun, aku masih dalam
pelukannya ketika aku bangun. Itu berarti tidak satu pun dari kami yang bisa
membalikkan badan pada saat itu.
—Di
sisi mana aku tidur?
—Tidak,
apa sih yang kupikirkan?
Tidak masalah di sisi mana aku
berada.
Tidak menyadari kekacauan
batinku, Profesor Kudou dengan gembira melanjutkan penjelasannya.
“Aku tidak tahu apakah itu
kecenderungan yang nyata atau tidak, tapi jika memang demikian, hal itu dapat
mengarah pada penemuan bahwa penyebab perbedaan kesehatan yang sebelumnya
diyakini karena perbedaan jenis kelamin sebenarnya disebabkan oleh
ketidakseimbangan dalam kehidupan pernikahan.”
... Apa dia selalu memikirkan
hal-hal seperti ini secara normal?
“Aku mengerti logikanya,
tapi... tidak banyak bukti yang bisa didapat...”
“Yah, itu hanya sesuatu yang
hanya kupikirkan sekarang. Aku berencana untuk memancing melalui beberapa
makalah penelitian nanti.”
“Jadi anda akan memancing melalui
makalah penelitian, ya.”
Aku tidak yakin apakah dia
bersemangat dalam penelitiannya atau hanya memiliki terlalu banyak waktu luang.
“Aku mengerti proses berpikir
anda, tapi apa anda benar-benar harus tidur di lantai?”
“Aku hanya ingin berbaring dan
berpikir, dan lantainya terasa sejuk dan nyaman.”
“Dan aku ketiduran.”
"Ya. Kemudian aku sempat
kehilangan kesadaran setelah sekitar 5 menit.”
Alasannya agak lemah.
“Selain itu, ini salahmu karena
terlambat. Kamu ketinggalan kereta dan butuh waktu lebih dari lima menit untuk
pergi dari gerbang sekolah ke sini.”
“Bagaimana anda bisa tahu kalau
aku ketinggalan kereta?”
“Yah, jika aku memperhitungkan
rute perjalananmu dari SMA Suisei dan waktuku mengirimi email, aku bist menebak
di mana Kamu berada setelah sekolah. Dan, karena kamu tidak datang seperti yang
aku perkirakan, jadi aku berasumsi kamu ketinggalan kereta atau dihentikan oleh
satpam di gerbang.”
“Dan kemudian anda mengirimiku
email lain.”
“Benar.”
Dan dalam lima menit atau lebih
yang aku perlukan untuk sampai ke sana, dia malah tertidur.
“Yah... tidak apa-apa. Jadi,
tentang email yang kamu kirimkan kepadaku…”
Profesor Kudou menyeringai
lebar dengan wajah yang menyiratkan.
“Baiklah, ceritakan,”. Dia membusungkan dadanya dengan angkuh dan mengganti
kaki yang dia silangkan.
“Baiklah, berikan padaku.
Ceritakan semua tentang masalah Ayase Saki.”
◇◇◇◇
Aku kemudian menceritakan
semuanya.
Tentang hubunganku dengan
Asamura-kun, dan akibat kurangnya konsentrasi dan penurunan nilaiku. Aku tahu
kalau idealnya, kami harus menyelesaikan masalah bersama, tetapi kami tidak
bisa, jadi tekanan dari semua frustrasi tersembunyi kami terus menumpuk dan
memengaruhi nilaiku.
Sembari mendengar itu, Profesor
Kudou memintaku untuk berbagi lebih banyak tentang kecemasanku.
Sebenarnya, aku benar-benar
tidak ingin membicarakannya, tapi aku mulai memberitahunya sedikit demi sedikit
tentang hubungan ayah kandungku dan ibuku, dan bagaimana hal itu memengaruhi
cara berpikirku. Aku mencoba memotong beberapa bagian yang menurutku tidak
berhubungan, tapi menjelaskan semua itu masih membutuhkan waktu cukup lama. Aku
hanya belum terbiasa saja terbuka seperti ini.
Setelah mendengarkan sampai
akhir, Profesor Kudou menutup matanya, menggenggam tangannya di pangkuannya,
dan duduk diam saat dia memproses semuanya dalam keheningan.
Dia tampak seperti patung, jadi
untuk sesaat aku khawatir dia telah berubah menjadi batu—kalau bukan karena
kelopak matanya yang sesekali bergerak untuk memastikan bahwa dia sebenarnya
masih hidup.
“Hmm…”
“U-um…”
Dia perlahan membuka matanya
dan menatap langit-langit, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri. Aku tidak
bisa memahaminya.
“Jadi itu yang sedang kamu
cemaskan ya, Ayase Saki.”
“Ya.”
Aku duduk tegak di sofa.
Profesor Kudou menatapku dengan saksama, membuatku merasa seperti dia memiliki
penglihatan sinar-X atau semacamnya. Aku merasa benar-benar terbuka jelas di
matanya.
“Saki-kun.”
“Ya?”
“Impian masa depanku adalah
menjadi tetua desa dalam RPG.”
“Hah?”
Apa
sih yang sedang dibicarakan orang ini?
“Kamu tahu, mirip seperti
pensiunan kakek tua di sebuah blok flat yang biasa kamu lihat di rakugo. Saat
karakter seperti Hattsan, Kuma-san, atau Yotarou datang untuk meminta nasihat,
terkadang dia mengatakan hal-hal yang membantu, terkadang hanya berpura-pura
tahu, dan terkadang mengatakan hal-hal omong kosong.”
“Jadi dia tidak selalu memberikan
saran yang berguna…”
Lantas
mengapa mereka meminta nasihat darinya…?
“Tentu saja tidak! Para tetua
dan pensiunan hanyalah orang-orang yang berumur panjang dan tahu sedikit
tentang hal-hal lama. Itulah satu-satunya kualitas penebusan mereka.”
“Apa itu beneran baik-baik
saja?”
“Jika seseorang ingin
mengetahui nama-nama tradisional untuk anak-anaknya untuk berharap mereka
panjang umur dan pergi ke ahli bahasa atau sejarah kuno, itu pasti cuma merepotkan
ahlinya, bukan? Ini tidak seperti ada pendeta kuil di dekat mereka seperti di
masa lalu. Saat itulah peran sesepuh masuk, untuk mengajarimu hal-hal seperti
'jugemu jugemu'*. Dan jika kamu benar-benar perlu mengetahui sesuatu yang
khusus, sebaiknya tanyakan kepada ahlinya. Para tetua memiliki kebijaksanaan
seperti mampu mengiris tipis lobak daikon agar terlihat seperti kamaboko atau
membuat acar daikon terlihat seperti tamagoyaki. Itulah jenis kebijaksanaan
yang didapatkan seiring bertambahnya usia.” (TN: Jugemu Jugemu adalah salah satu cerita rakyat Jepang
terkenal yang sering digunakan sebagai nyanyian atau lagu yang tidak masuk
akal. Ceritanya melibatkan seorang anak laki-laki dengan nama yang sangat
panjang dan usahanya untuk membuat orang mengingatnya. Nama ini sering
digunakan dalam budaya populer Jepang sebagai cara mengungkapkan kemustahilan
atau kebingungan)
Apa
yang sedang dia bicarakan?
“Hmm. Yah, lobak daikon diiris
tipis-tipis, apa bentuknya seperti kamaboko? Ya, mungkin. Padahal teksturnya
sangat berbeda. Lobak daikon sebagai tamagoyaki? Itu sedikit berlebihan.
Satu-satunya kesamaan yang mereka miliki adalah warna kuning. Tamagoyaki
memiliki tekstur lembut yang tidak dimiliki lobak daikon sama sekali.”
“Begitu, jadi Saki-kun, kurasa
kamu tidak pandai bahasa Jepang?”
“Eh, baiklah…”
“Kamu harus mendengarkan cerita
rakugo ‘Nagaya no Hanami.’ Aku suka
cerita itu. Yah pokoknya, itu tidak penting. Apa yang ingin kukatakan ialah
bahwa aku suka mendengarkan keprihatinan kaum muda, tetapi aku tidak dapat
menjamin bahwa aku dapat memberikan nasihat yang bermanfaat.” (TN: Nagaya no Hanami
adalah istilah yang mengacu pada pesta melihat bunga sakura yang diadakan di
area perumahan sebuah kompleks apartemen di Jepang. Ini adalah cara populer
bagi penduduk kota untuk menikmati bunga sakura)
“Boleh aku pulang sekarang?”
“Tunggu sebentar. Jangan pergi dulu.
Bukannya aku tadi sudah bilang? Jika kamu ingin mengetahui sesuatu yang khusus,
tanyakan pada ahlinya. Dalam hal ini, pakar untuk masalahmu adalah seorang
psikolog klinis.”
“Seorang psikolog klinis...jadi
aku harus pergi ke klinik psikiatri?”
“Aku tidak bisa mengatakan
dengan pasti, jadi jika kamu berpikir kalau kamu tidak dapat menyelesaikannya
sendiri, sejujurnya aku akan merekomendasikanmu untuk bertanya kepada seorang
ahli. Meski begitu, aku masih bisa memberiku beberapa pendapatku sendiri
tentang itu.”
Dengan nada serius, Profesor
Kudou berkata, “Ada kondisi yang disebut kodependensi.”
“K...Kodependensi?”
Kodependensi─
Dalam kisah-kisah romantis,
kodependensi sering kali diromantisasi atau digambarkan dengan cara yang tampak
indah atau didambakan. Tapi pada kenyataannya, itu hanya kondisi bermasalah
yang tidak jauh berbeda dengan kecanduan lain seperti narkoba atau judi.
“Kodependensi adalah keadaan di
mana seseorang menjadi terlalu bergantung pada hubungan tertentu.”
“Terlalu bergantung pada suatu
hubungan?”
Aku
masih belum mengerti. Apa artinya bergantung pada suatu hubungan?
“Awalnya, istilah itu ditemukan
dalam hubungan antara pecandu alkohol dan keluarganya. Katakanlah ada anggota
keluarga yang berdedikasi untuk mendukung orang yang minum alkohol. Dalam hal
ini, jika tujuannya adalah untuk mendukung orang yang tidak bisa berhenti
minum, bukankah tujuan utamanya adalah membuat mereka berhenti minum?”
“Ya, kurasa begitu.”
“Tapi apa yang terjadi jika
mereka mendukungnya dengan ‘menyediakan
uang untuk minum alkohol’?”
Aku mencoba membayangkan
skenario itu di dalam pikiranku.
Jika tidak ada uang, mereka
tidak bisa membeli alkohol. Tetapi jika seseorang memberi mereka uang untuk
membeli alkohol, mereka dapat membelinya. Dan kemudian mereka takkan bisa
berhenti minum.
“Aku pikir sulit untuk menyebutnya
sebagai dukungan. Dan... itu tidak masuk akal. Mengapa mereka bertindak dengan
cara yang memungkinkan ketergantungan orang tersebut?”
“Mari kita perhatikan lebih
rinci lagi. Jelas sekali kalau pecandu alkohol bergantung pada alkohol, bukan?”
“Yah begitulah.”
“Yang sulit dipahami adalah apa
yang akan terjadi selanjutnya. Katakanlah pecandu alkohol terlalu bergantung
pada anggota keluarganya untuk membeli alkohol. Ambil contoh seorang suami yang
pecandu alkohol dan istrinya yang mendukungnya, atau sebaliknya — tidak masalah
pihak mana yang kecanduan.”
“...Oke.”
“Bahkan jika kehidupan
pendukung dihancurkan sampai ke titik kemiskinan untuk menyediakan uang untuk
alkohol, pecandu alkohol akan terus bergantung pada dukungan mereka untuk terus
minum. Ini bisa terjadi karena selama pendukung terus menyediakan, pecandu
alkohol akan terus bergantung pada mereka.”
“Karena mereka akan terus mengandalkannya,
ya...?”
“Ya. Bisa dibilang hal tersebut
lah yang membuat mereka merasa dibutuhkan.”
“Ah, kalau kamu mengatakannya
seperti itu, kurasa aku agak mengerti.”
Aku bisa memahami mengapa
merasa senang dibutuhkan oleh orang lain.
Aku bukan seseorang yang
umumnya suka diandalkan, tapi rasanya cukup menyenangkan bisa tampil dengan
pakaian yang serasi untuk Asamura-kun, dan aku benar-benar merasa seperti
seseorang yang ia butuhkan.
“Selama dukungannya sesuai,
tidak masalah. Adik laki-laki yang mengandalkan kakak laki-lakinya, seorang
junior mengandalkan senior, atau apa pun, biasanya bukan hal yang buruk untuk
menjaga mereka yang mengandalkan mu. Senang rasanya dibutuhkan, bukan?
“Apa itu juga berlaku bagi anda
yang mendengarkan masalahku juga?”
“Astaga, ya ampun. Hmm.
Katakanlah jika aku bisa mendapatkan rasa hormat dengan menunjukkan
pengetahuanku yang luas, maka tidak ada kesenangan yang lebih besar.”
Dia
sengaja menggunakan ungkapan yang terdengar agak tidak jujur, bukan?
“Mari kita kembali ke topik.
Ketika dukungan melewati ambang tertentu, itu bisa menjadi masalah. Bahkan jika
seseorang hidup dalam kemiskinan, terus-menerus menyediakan uang untuk alkohol,
hanya untuk mengalami kepuasan karena dibutuhkan, mengandalkan kegemaran dalam
melanggengkan hubungan ketergantungan itu.”
“Apa itu memang beneran bisa
terjadi?”
“Sepertinya begitu. Aku pernah membaca
di buku-buku yang mengatakan demikian. Seperti yang sudah aku sebutkan
sebelumnya, bidang keahlianku adalah etika, dan aku hanya menjelaskan apa yang kamu
pahami dari situ.”
“Jadi begitu. Tanyakan pada
ahlinya untuk detail lebih lanjut, bukan?”
“Benar sekali. Aku tidak dapat
menentukan apakah seseorang dalam keadaan tergantung atau tidak. Namun, kupikir
aku bisa mengerti ide dasarnya. Untuk terus diandalkan — untuk menjaga diri
dalam keadaan itu, seseorang tidak dapat berhenti bahkan jika itu menghancurkan
hidup mereka. Pada dasarnya tidak ada bedanya dengan kecanduan alkohol, bukan
begitu? Bisa dibilang mereka bergantung pada mempertahankan hubungan itu.”
“Ketergantungan dalam
mempertahankan hubungan… Meskipun objek ketergantungan mungkin berbeda, kedua
belah pihak saling mengandalkan, dan mereka tidak dapat melepaskan diri dari
keadaan itu. Apa itu yang dimaksud dengan kodependensi?”
“Benar. Hal tersebut membuat lebih
nyaman bagi kedua belah pihak. Semakin banyak mereka meminta uang untuk
alkohol, semakin banyak pihak lain menyediakannya, sehingga mereka takkan
pernah berhenti menuntutnya. Di sisi lain, semakin banyak pendukungnya
memberikan uang, semakin banyak penerima menjadi tidak dapat berhenti minum,
meningkatkan ketergantungan mereka kepada pendukung. Akibatnya, hubungan antara
keduanya terus berlanjut dan menjadi lebih kuat.”
Sambil mendengarkan, aku
menemukan diriku tanpa sadar memeluk tubuhku dengan tanganku. Itu adalah kisah
yang mengerikan. Seolah-olah kami berdua terjebak dalam jaring laba-laba satu
sama lain, tidak bisa lepas dari keterikatan.
“Namun, masalahnya terletak
pada ketergantungan yang berlebihan untuk mempertahankan hubungan. Hal ini
tentang mengandalkan satu sama lain pada tingkat yang tidak pantas. Seorang
suami mengandalkan istrinya, seorang istri mengandalkan suaminya — hal itu
sendiri tidak ada yang salah.”
Aku mengingat Ibuku pernah
mengatakan bahwa dia bisa beristirahat ketika dia sedang tidak enak badan
sekarang karena Ayah tiriku ada di sana. Mereka berdua mengandalkan satu sama
lain, tapi aku tidak pernah menganggap hubungan mereka buruk.
“Ada pepatah yang mengatakan 'Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.'
Masalahnya terletak pada hal yang berlebihan. Sama seperti alkohol, yang
terbaik adalah meminumnya dalam jumlah sedang.”
“Aku mengerti apa yang ingin
anda katakan.”
“Dengan kata 'kodependensi' yang semakin dikenal
luas, hal itu sering terlihat dalam cerita romantis akhir-akhir ini. Yah,
kebanyakan dari mereka hanyalah 'ketergantungan
palsu'.”
“Palsu ... apa maksudnya itu?”
“Yah, beberapa sampul mereka
menarik perhatianku, jadi aku membacanya—”
“Jadi anda membacanya, ya.”
Sekali lagi, aku semakin tidak
yakin apa dia hanya terlalu bersemangat dalam penelitian atau hanya memiliki
terlalu banyak waktu luang. Pilihan ketiga adalah dia secara mengejutkan
menyukai cerita romantis.
“—Jadi aku mencoba membacanya.
Cerita yang aku baca entah situasinya diselesaikan dengan menerima saran dari
orang lain atau hubungan mereka menjadi berantakan begitu saja.”
“Anda tidak menyukainya?”
“Setidaknya mereka cukup
menarik. Khususnya ada satu cerita dengan karakter wanita yang sangat aku
sukai. Dia memiliki kepribadian yang sangat rusak — yah, bukan itu intinya.
Intinya mereka tidak mencari bantuan dari psikiater, dan mereka menyelesaikan
masalah mereka dengan satu nasihat atau menyaksikan diri mereka jatuh ke dalam
kehancuran tanpa mencari bantuan. Itulah yang membuatku ingin menggaruk-garuk
rambutku.”
“Jika itu sudah ditahap
kodenpendensi, segeralah mencari bantuan professional, itulah yang ingin anda
katakan?”
“Benar. Seperti yang sudah
kubilang sebelumnya, itu bukan pekerjaan untuk tetua desa. Jika bisa
diselesaikan dengan satu nasihat, masalah semacam itu takkan menjadi masalah
sosial. Tapi dalam cerita roman dewasa muda, masalah itu hanya digunakan
sebagai bumbu penyedap cerita.”
“Jadi begitu...”
“Menurutku, jika pada tahap 'hanya untuk bersenang-senang', mencari saran
boleh saja. Tetapi jika lebih dari itu, saatnya bagi seorang profesional untuk
turun tangan. Sekarang, dalam kasusmu—”
Aku tiba-tiba teringat, Benar, kami membicarakan tentang diriku dan
Asamura-kun.
“Bukannya menurutmu ini
merupakan cerita umum bagi seseorang yang tidak diberkati dengan orang tua yang
penuh kasih dan haus kasih sayang untuk secara berlebihan mencari kasih sayang
pasangannya ketika mereka memasuki hubungan romantis?”
Aku dengan hati-hati menelaah
ucapan Profesor Kudou.
Mencari
kasih sayang secara berlebihan…
“Berlebihan”
berarti lebih dari biasanya.
“Sampai batas mana kata 'normal' berakhir dan 'berlebihan' dimulai?”
“Bagaimana seorang amatir tahu
itu? Semua orang mempunyai batas masing-masing. Bahkan jumlah alkohol yang tepat
tergantung pada orangnya.”
“Itu... memang benar sih,
tapi...”
Aku memegangi kepalaku dengan
tanganku.
Profesor Kudou pernah berkata
bahwa karena aku tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ayah kandungku,
aku mungkin akan mencari laki-laki yang kebetulan berada di dekatku untuk
menutupi kekurangan tersebut. Jika aku merasa tidak mendapatkan cukup kasih sayang
jauh di dalam hatiku, itu mungkin bisa saja terjadi.
Kekurangan Asamura Yuuta yang
serius — kesimpulan dari pengadilan pikiran Ayase Saki.
Jadi
begitu. Aku benar-benar perlu mempertimbangkan apakah aku sudah mencukupinya
atau tidak.
Seharusnya itu sudah cukup,
tapi rasa laparku akan hal itu mungkin begitu kuat sehingga terasa kurang.
Selalu ada kemungkinan itu.
“Apa menurutmu gadis yang
bernama Ayase Saki terlalu mencari kasih sayang fisik dari Asamura Yuuta?”
“... Anda serius bertanya
padaku sebagai gadis SMA?”
“Tentu saja tidak. Lupakan
tentang konsep 'gadis SMA' untuk saat ini. Itu hanya pedoman statistik. Jika
ada perbedaan fisik, bahkan dosis obat yang tepat pun akan berubah. Kamu tahu
bagaimana botol obat mengatakan berapa banyak pil yang harus diminum untuk
anak-anak, dan berapa banyak untuk orang di atas 15 tahun? Tetapi bagaimana
jika kamu berusia di atas 15 tahun dan tubuhmu tidak banyak berubah sejak
kecil? Faktor yang mempengaruhi reaksi kimia dalam tubuh adalah hukum fisika dan
kimia, bukan usia manusia.”
“Jadi, ada dosis yang tepat
untukku?”
“Ya, begitulah intinya. Hal
yang sama juga berlaku untuk kesehatan mental. Bahkan jika perkembangan
psikologis sebagian besar orang mengikuti jalan yang sama, itu tidak berlaku
untuk individu. Bahkan saat membuat aturan sosial, kita harus memperhitungkan
kesalahan statistik. Jika seseorang tetap terbelakang dalam aspek tertentu dari
pikirannya bahkan sebagai orang dewasa, kita harus memperlakukan bagian itu
seperti anak kecil.”
Aku mengerti apa yang coba
dikatakan Profesor Kudou. Ketika kamu berpikir tentang bagaimana hati seorang
anak tidak dapat menangani jumlah alkohol yang sama dengan hati orang dewasa, kurasa
itu masuk akal.
Jadi,
apakah jumlah kasih sayang fisik yang kumiliki dengan Asamura Yuuta terlalu
berlebihan untukku?
Karena aku telah mencari lebih
dari dosis yang dianjurkan, aku menjadi tergantung pada Asamura Yuuta. Dan
ketika aku tidak bisa mendapatkan “dosis”
tersebut, suasana hatiku menjadi tidak nyaman dan cemas, sehingga aku tidak
bisa tidur dan konsentrasi kamu terganggu… Apa begitu maksudnya?
Tunggu, tidak—
Kebalikannya juga bisa benar,
bukan?
Fenomena tersebut dimulai pada
saat menginjak kelas 3 SMA. Dan seperti yang ditunjukkan selama persidangan
batinku, mungkin penyebabnya adalah kurangnya kasih sayang fisik sejak awal
tahun ketiga, bukan konsumsi yang berlebihan, tetapi hanya kekurangannya.
“Aku tidak tahu lagi…”
Aku sangat kebingungan.
“Itulah sebabnya aku bilang,
jika kamu benar-benar dalam masalah, kamu bisa mengandalkan seorang
profesional. Tetapi pertama-tama, diperlukan pemahaman yang tepat tentang
situasi saat ini. Dan jika itu kodependensi, tidak ada gunanya untuk berusaha
sendirian.”
Aku tersadar—Oh, begitu rupanya. Asamura-kun juga
merasakan hal yang sama.
“Apa ada kemungkinan
Asamura-kun juga dalam keadaan kodependensi? Tapi, sepertinya ia tidak terlalu…
menginginkannya sebanyak aku… Maksudku, ia adalah orang yang pandai menahan
diri, ”kataku sambil menatap wanita di depanku dengan mata menengadah.
Profesor Kudou dengan elegan
memiringkan cangkir yang dipegangnya dan menyesap tehnya. Kakinya yang panjang
dan ramping menyilang, dia mengenakan jas labnya seperti jubah, dan duduk
santai di sofa bergaya, terlihat seperti bangsawan atau semacamnya.
Wajahnya proporsional dihiasi
dengan bulu mata yang panjang. Jika aku mengabaikan rambutnya yang acak-acakan
karena dirinya tertidur di lantai, aku akhirnya menyadari bahwa Profesor ini
sebenarnya adalah wanita yang sangat cantik.
Dia minum teh gyokuro mahal
dari cangkir teh biasa, dan lalu meletakkan cangkir kosong di piring dengan
dentingan.
“Bagian itulah yang
mencurigakan.”
“Hah?”
“Coba pikirkan baik-baik lagi
mengenai itu. Mengapa anak cowok SMA, ketika ada seorang gadis cantik sepertimu
yang berusaha mendekatimu, bersikeras pada perilaku yang terkendali seperti
itu?”
Aku tertangkap basah oleh
pertanyaannya. A-Aku, cantik?
“Rata-rata anak cowok SMA tidak
ada bedanya dengan monyet terangsang saat memasuki pubertas. Sungguh, mereka
cuma seekor monyet.”
Mo-Monyet?
“Apa maksudnya itu?”
“Itu berarti ia bisa
menghindari kemajuan karena kamu duluan yang membuatnya. Menurut pendapatku,
Asamura Yuuta bukanlah tipe orang yang secara aktif terlibat dengan orang asing
sendirian.”
Aku mencoba memikirkan apa yang
membuat Asamura-kun—Asamura-kun.
“Tapi ia pandai dalam layanan
pelanggan.”
“Itu bukan argumen tandingan.
Lagi pula, bahkan jika orang tidak menyukainya, mereka tetaplah pelanggan.”
Sekali lagi, aku tak bisa
membantahnya.
“Ada dua jenis orang yang
unggul dalam layanan pelanggan. Tipe pertama senang berinteraksi dengan orang
lain, termasuk kegagalan dan kesalahan, sebagai bagian dari pengalaman diri.
Tipe kedua mampu membuat gerakan dan pernyataan berani karena tidak ada hal
buruk yang terjadi jika upaya membangun hubungan gagal.”
“Maksudmu Asamura-kun adalah
tipe kedua?”
“Dari semua yang aku dengar
selama ini, sepertinya begitu. Ketika sampai pada itu, ia mungkin tidak punya
banyak teman.”
“Eh...”
I-Itu mungkin benar. Selain
Maru-kun, yang sering dibicarakannya, sepertinya Asamura-kun tidak punya teman
dekat. Dan ia tampaknya tidak secara aktif berusaha mencarinya. Aku juga sama,
jadi aku belum terlalu memikirkannya.
Kalau dipikir-pikir kembali, ia
sepertinya tidak pernah mendekati Yomiuri-senpai cantiknya secara proaktif. Itu
sebagian besar karena Yomiuri-senpai lah yang menggodanya. Aku tidak pernah
benar-benar memikirkannya sampai saat itu karena memang begitulah
kepribadiannya.
“Saat kamu mengembangkan
perasaan terhadap seseorang, wajar saja jika kamu ingin mendekatinya. Namun,
mendekati seseorang secara langsung mungkin membuat dia stres.”
“Melakukan pendekatan bisa
membuatnya stres…”
“Asamura Yuuta memiliki
kecenderungan untuk menahan diri dari bersikap asertif dengan seseorang yang
sangat ia sayangi dan tidak ingin disakiti. Itu sebabnya ia tidak ingin
mengubah dinamikamu yang membuat kemajuan padanya. Bahkan jika itu berarti kamu
menjadi tergantung padanya karena paparan yang berlebihan padanya. Jika ia
mengambil inisiatif, dia menjadi bertanggung jawab. Ia akan merasa perlu untuk
mengendalikan situasi. Ia bisa mengikuti arus karena ia menyerahkannya padamu.
Tapi untuk kalian berdua sekarang, itu lebih nyaman. Bukankah ini contoh
kodependensi yang bagus?”
Hmm.
Aku tidak pernah berpikir
seperti itu. Itu benar-benar mengejutkanku.
Tetap saja, aku tidak pernah
menyangka kalau diriku, sebagai seseorang yang mencari kekuatan untuk hidup
mandiri, akan jatuh ke dalam kodependensi. Aku tidak berpikir kalau mencari
cinta itu salah, dan aku yakin bahwa ikatan yang aku bagi dengan Asamura-kun adalah ikatan yang
bahagia. Tapi untuk berpikir bahwa masih ada jebakan bahkan ketika keinginanku
terpenuhi... Mengapa hubungan manusia tidak bisa berjalan lancar?
“Apa yang harus kamu lakukan?”
“Kamu sudah mengatakannya
berkali-kali, tetapi jika Kamu benar-benar dalam masalah, tanyakan pada
ahlinya. Tapi sebelum itu…”
Profesor Kudou berdiri dari
sofa.
Dia mengitari meja dan—seperti
seorang pembunuh—muncul di belakangku, meletakkan tangannya di sandaran sofa.
Aku merasakan kehadirannya di belakangku. Dia mengambil sesuatu dari sakunya
dan memegangnya di depan wajahku. Dia sedang memegang sesuatu—cermin tangan.
Dia tidak hanya mengenakan jas
lab, yang tidak diperlukan untuk seorang profesor etika, tetapi juga membawa
smartphone dan cermin tangan di sakunya.
Dia benar-benar orang yang
aneh.
Hanya mataku yang terpantul di
cermin tangan kecil.
“Coba perhatikan baik-baik.”
Pantulan Ayase Saki di cermin
balas menatapku.
“Kamu memiliki mata panda yang
mengerikan.”
Ugh...
Dia benar. Ada kantung mata di
bawah mataku yang tidak bisa disembunyikan dengan riasan tipisku.
Melihatnya seperti itu
membuatnya jelas. Aku memilikinya karena aku begadang setiap malam untuk belajar
untuk ujian tengah semester…
“Tidur. Pertama-tama, tidurlah
dengan nyenyak dan pulas. Segala sesuatu yang lain bisa menunggu.”
“Ya…”
Pembunuh Kudou mengitari meja
lagi dan kembali menjadi Profesor Kudou. Dia melihat cangkir kosong, membuat
wajah sedih, dan kemudian mengambil keripik kentang.
“Uhhh. Ini jelas lebih basah
daripada saat pertama kali dibuka.”
Setelah mengatakan sesuatu yang
sangat sepele, dia melanjutkan berbicara dengan nada seolah-olah dia masih
berbicara tentang kesannya pada keripik kentang.
“Kemudian, setelah bangun
tidur, bicaralah dengan Asamura Yuuta. Evaluasi kembali jarak yang tepat dalam
hubunganmu. Jika perlu, libatkan juga orang tuamu. Dan jika sepertinya kamu
tidak bisa menyelesaikannya—”
“Tanyakan kepada ahlinya, iya ‘kan?”
"Itu benar. Yah, semuanya
dimulai dengan tidur, dan kemudian bangun.”
Dan dengan begitu, percakapan
tiba-tiba berakhir. Sudah menjadi ciri khas Profesor Kudou untuk tidak menambahkan
“Semoga beruntung” di akhir obrolan.
Aku berdiri dari sofa. Melihat
ke luar jendela, aku melihat hari sudah mulai gelap.
“Kira-kira apa akan turun
hujan…”
“Untuk jaga-jaga, aku akan
meminjamkanmu payung.”
“Terima kasih, tapi kurasa itu
tidak perlu. Kurasa aku bisa pulang sebelum hujan, dan selain itu, akan sulit
bagiku untuk mengembalikannya.”
“Kamu bisa menitipkannya pada
Yomiuri-kun. Kalian berdua bekerja di tempat yang sama, bukan? Apa kamu ingin
masuk angin di sini dan memperburuk situasimu?”
“Uh ... baiklah, kalau begitu
aku akan meminjamnya.”
Ketika aku meninggalkan lingkungan
universitas, aku menerima pesan LINE dari ibuku.
Rupanya, ayah tiriku mempunyai
pertemuan pertemuan mendesak dan dia ingin aku menggantikannya memasak makan
malam.
Aku membalas “Dipahami” dan
menambahkan supermarket ke rute pulangku.
Syukurlah,
tidak hujan.
Pada saat aku tiba di gedung
apartemen, hari sudah mulai gelap. Aku pergi ke kamarku dan menjatuhkan diri ke
tempat tidurku, masih dalam seragamku.
Ketika aku menatap
langit-langit dan memikirkan semua yang terjadi hari ini, aku tertidur tanpa
menyadarinya.
Saat aku bangun, sudah waktunya
Asamura-kun pulang kerja.
Dengan panik, aku bergegas munju
ke dapur.
Mungkin karena aku tidur
seperti bayi, tapi kabut di kepalaku sedikit berkurang dan aku merasa jauh lebih
baik.
◇◇◇◇
“Sekarang sudah hampir ...
setahun, bukan?”
Saat kami berdua menikmati makan
malam, aku memulai percakapan seperti itu.
Asamura-kun segera mengerti
maksudku karena merujuk pada waktu sejak aku dan ibuku pindah. Kami berdua
mengenang saat pertama kali kami bertemu.
Lalu, dirinya mulai terbuka
padaku. Tentang bagaimana ia kesulitan berkonsentrasi sejak mulai kelas 3.
Tentang nilainya yang menurun. Tentang bagaimana ia menyesal karena tidak
membicarakannya denganku.
“Itu sama bagiku. Sejujurnya
aku pun mengalami kesulitan yang sama.” kataku, setelah mendengarkannya.
Kami berdua takut menyesuaikan
diri satu sama lain.
Aku juga terbuka padanya. Aku
mengatakan kepadanya kalau aku mengumpulkan keberanian untuk pergi ke
Universitas Wanita Tsukinomiya sepulang sekolah untuk mendapatkan nasihat
Profesor Kudou tentang masalahku baru-baru ini.
“Aku ingin kamu mendengarkan
apa yang telah aku pelajari, Asamura-kun. Kemudian, aku ingin kita
mengerjakannya bersama-sama. Bisakah kita melakukan itu?”
Aku kemudian memberitahunya
tentang percakapanku dengan Profesor Kudou.
Ceritanya panjang lebar, tapi
Asamura-kun mendengarkan dengan sabar dan tidak menyela.
Setelah cerita selesai, kami
berdua terdiam.
Setelah merenungkannya
sebentar, Asamura-kun adalah orang pertama yang angkat bicara.
“Itu pil pahit yang sulit untuk
ditelan …”
“Hah?”
“Bagaimana dia
mendeskripsikanku lagi? 'Asamura Yuuta
memiliki kecenderungan untuk menahan diri dari bersikap asertif dengan
seseorang yang benar-benar ia sayangi dan tidak ingin disakiti'.”
“Ah, a-aku minta maaf.”
Aku telah mengulangi apa yang
dikatakan Profesor Kudou kepadaku kata demi kata, tetapi jika dipikir-pikir,
itu mungkin terlihat sangat tidak sopan.
“Tidak, kamu tidak perlu
meminta maaf. Karena itu memang benar.”
“Benarkah?”
“Aku tidak bisa merasa yakin kalau
seseorang akan terus menyukaiku,” kata Asamura-kun sambil menunduk.
“Apa itu ... karena ibumu?”
“Mungkin. Aku samar-samar mengingat
bahwa dia dulu rukun dengan ayahku ketika aku masih kecil. Tetapi pada suatu
saat, dia mulai mengeluh tentang setiap hal yang Ayahku lakukan.”
Jadi
itulah yang terjadi…
“Tapi, sejujurnya, aku tidak
terlalu memperhatikan ayahku mengubah sikapnya di tengah jalan. Jadi, apa yang
harus ayahku lakukan? Ketika aku memikirkannya, aku tidak tahu bagaimana
mendekati seseorang yang tidak ingin aku sakiti. Kalau begitu, mungkin lebih
mudah untuk tidak terlalu terlibat dalam hubungan yang mendalam sama sekali.”
“Itu... tapi itu sangat
sia-sia, bukan? Maksudku, aku sangat akrab dengan Maru-kun, kan? Atau apa kamu
berpikir bahwa kamu akan berpisah suatu hari nanti juga?”
“Itu mungkin.”
Mendengar suaranya yang tegang,
hatiku merasa tersayat.
“Itu sama sekali tidak benar…”
“Kupikir aku takut. Karena
tidak disukai. Aku tidak membutuhkan teman atau kekasih jika itu berarti berpisah
pada suatu saat. Kupikir itu adalah perasaanku yang sebenarnya. Itu sebabnya aku
ingin menjaga jarak dari orang lain dan tidak tegas. Tetapi jika itu membuat
situasimu semakin buruk… Apa yang harus aku lakukan?”
“Tenanglah dulu, Asamura-kun.”
Aku mengulurkan tangan ke
seberang meja dan meletakkan tanganku di atas tangannya, membelainya dengan
lembut.
“Bukan kamu yang seharusnya
minta maaf, seharusnya itu aku.”
“Ayase-san?”
“Aku merasakan hal yang sama
sepertimu. Aku hanya bertindak sebaliknya. Karena aku tidak percaya diri dalam
hubunganku dengan orang lain, aku akhirnya bergantung padamu.”
“Begitu.”
“Aku mendorong terlalu keras,
kamu menjauh. Tapi meskipun kita bereaksi berbeda, bukankah kita berdua
mengabaikan untuk menyesuaikan diri satu sama lain?”
“Mencari jarak yang tepat,
huh... Entah kenapa rasanya tidak jauh berbeda dengan saat kita pergi ke
Singapura.”
Aku menggelengkan kepala.
Tidak
mirip seperti itu. Aku ingin memercaya itu tidak mirip seperti itu.
“Menilik ke belakang sekarang, aku
merasa hubungan kita relatif stabil selama kelas 2. Ditambah lagi, aku tidak
menyesali kenyataan bahwa kami saling menyatakan perasaan kita satu sama lain.”
“Aku juga.”
Apa yang baru saja dia katakan
membuatku merasa sangat bahagia. Hatiku terasa lebih ringan.
“Kamu masih mengingat apa yang
kita putuskan dalam perjalanan kita ke Singapura pada akhir Februari, ‘kan?
Untuk bersikap lebih normal satu sama lain.”
Asamura-kun mengangguk.
“Ngomong-ngomong, ketika kami
menginjak menjadi kelas 3, kami berakhir di kelas yang sama. Aku merasa sangat
senang tentang itu, tetapi pada hari upacara pembukaan, aku mengatakan bahwa
kami seharusnya hanya bertindak seperti teman sekelas biasa di sekolah, ingat?”
Kalau
tidak salah, semuanya bermula dari situ, pikirku.
“Akulah yang mengatakan itu.”
Aku diam-diam menggelengkan
kepalaku.
“Tidak, aku juga sama-sama
salah. Aku dengan santai mengatakan ‘Oke’
tanpa merenungi lebih dalam lagi. Juga, bukankah kita seharusnya lebih dari
sekedar teman sekelas? Bukankah agak aneh bagi kita untuk bertindak seperti itu
sekarang?”
“Yeah kurasa itu benar. Mungkin
rasanya sedikit aneh sekarang setelah kamu menyebutkannya.”
Tapi
kemudian, apa yang harus kita lakukan? Itulah bagian yang sulit.
Jika kami mundur selangkah dan
melihat gambaran yang lebih besar, semuanya akan masuk akal.
Pertama-tama, Asamura-kun dan
aku tidak pernah mendiskusikan seperti apa seharusnya “Hubungan normal antara teman sekelas”. Jadi kami akhirnya
bertingkah sangat aneh satu sama lain di sekolah.
Tidak melakukan kontak mata.
Tidak berbicara.
Bukannya itu perilaku siswa
yang saling membenci?
Itu sama sekali tidak normal.
“Misalnya saja seperti, kita
bahkan belum saling mengucapkan 'selamat
pagi' atau 'sampai jumpa' selama
dua bulan terakhir.”
“Ahhh, jangan ingatkan aku. Aku
baru menyadari betapa anehnya itu juga.”
“Juga, di rumah, meski
mengetahui ada Ibu dan Ayah tiri, kami berciuman, berpelukan, dan tidur bersama...
Apa itu normal?”
Asamura-kun akhirnya merosot di
atas meja. Aku memahami bagaimana perasaannya. Pada saat itu aku ingin
membenamkan wajahku di bantal dan memukul-mukul keras.
Asamura-kun tiba-tiba
mengangkat kepalanya.
Aku tersentak dan tanpa sadar
tegang.
Tapi ia tidak bermaksud
mengagetkanku.
“Aku menyerah…” gumamnya dengan
suara pelan
“Kita benar-benar bertingkah
sangat aneh, iya ‘kan?”
“Kurasa memang begitu. Aku
tidak menyadarinya sampai sekarang.”
“Benar. Aku juga tidak
menyadarinya. Tapi lalu bagaimana kita memperbaiki hubungan kita?”
“Aku punya ide.”
Ketika kami berdua berbicara
tentang enam bulan terakhir, ada pemikiran yang terlintas dibenakku.
“Kamu masih ingat ketika aku pertama
kali memanggilmu 'Nii-san'?”
Saat kata-kata itu keluar dari
mulutku, Asamura-kun sedikit menurunkan matanya. Aku merasakan sedikit rasa
sakit di hatiku melihat dirinya bereaksi seperti itu.
“Ah, pada musim panas... tahun
lalu, ‘kan?” Katanya dengan ekspresi kesakitan.
"Ya... itu setelah kita
pergi ke kolam renang, jadi pasti musim panas.”
Aku sengaja memanggilnya
seperti itu untuk membuatnya lebih terlihat seperti sepasang saudara dan untuk
menekan perasaanku padanya.
Tapi hasilnya justru—
“Pada akhirnya, itu malah mengakibatkan
efek sebaliknya. Aku akhirnya menjadi lebih sadar mengenai dirimu.”
“Menarik. Jadi keberadaanku
mirip seperti smartphone bagimu.”
“Hah?”
Melihat reaksiku yang kebingungan,
Asamura-kun menceritakan tentang kisah percobaan menggunakan smartphone.
Rupanya, semakin dekat sebuah
smartphone dalam jangkauan, semakin banyak perhatian kita tertuju padanya. Otak
manusia menggunakan banyak kekuatan untuk tidak memikirkan sesuatu di depan
kita.
Apa itu berarti upayaku untuk dengan
sengaja menjauhkan orang yang kusukai benar-benar membuatku lebih sadar akan
mereka?
“Kurasa memang benar begitu.”
“Tapi jika itu benar, berarti
cara kita menyapa satu sama lain berdampak besar pada seberapa sadar kita satu
sama lain, bukan?”
Asamura-kun segera mengangguk
setuju.
“Baiklah, jadi, jika kita ingin
memiliki jarak yang tepat, kita harus memilih untuk memanggil satu sama lain.”
“Ya. Ketika kamu memanggilku 'Nii-san', otakku sepertinya
menerjemahkannya sebagai 'seseorang yang
seharusnya tidak boleh aku sukai.' Tapi saat itu aku sudah menyukaimu. Jadi
itu terasa menyakitkan.”
“Mm. Seharusnya aku tidak
memanggilmu seperti itu.”
Aku mengangguk.
“Kupikir ada dua masalah utama
yang kita hadapi saat ini. Jarak abnormal antara kita saat kita di sekolah, dan
kedekatan intens kami saat berada di rumah.”
"Keduanya memang bermasalah.”
“Kupikir tidak ada salahnya
untuk mencoba dan menetapkan jarak yang tepat di antara kita terlebih dahulu,
sehingga kita dapat bekerja sama jika kita berada dalam hubungan kodependensi
atau tidak.”
Asamura-kun mengangguk.
“Hei, para pasangan biasa
memanggil apa satu sama lain?”
“Itu… tergantung pada
individunya, mungkin. Yah, kupikir menggunakan nama depan sudah lumayan umum.”
Rasanya mirip seperti dirinya
untuk segera memberikan alasan. Dan ketika ia mulai menjelaskan logikanya,
ekspresi ragu-ragu yang ia miliki sebelumnya menghilang.
“Kupikir memanggil seseorang
dengan nama depan mereka menunjukkan bahwa kamu mengenali mereka sebagai
individu yang mandiri dengan perasaan diri mereka sendiri. Nama keluarga mengacu
pada grup keluarga tempatmu berada, tetapi nama digunakan untuk
mengidentifikasi individu. Cinta bukan tentang keluarga tempatmu berada, ini
tentang orang yang bersamamu.”
“Ya, aku setuju.”
Setidaknya begitulah yang
terjadi di Jepang modern. Itu tidak seperti kamu menikah dengan keluarga. Padahal
idealnya harus seperti itu.
Dan aku setuju dengan pendapat
Asamura-kun. Hal itulah yang aku rasakan ketika mengunjungi rumah keluarga
Asamura saat tahun baru. Ah, semua orang
di sini adalah 'Asamura'. Jadi jika kamu memanggil “Asamura-kun,” mereka
semua berbalik sekaligus.
Ada terlalu banyak Asamura.
Tapi Asamura yang ingin aku
jalin hubungan baik dengannya adalah Asamura Yuuta.
“Jadi, untuk menjadi lebih
seperti pasangan normal, itu harus seperti ‘Yu…’ um, ‘Yuuta-kun,’ bukan ‘Asamura-kun.’”
“Jadi kalau gitu aku akan
memanggilmu 'Saki-san'.”
Ia pernah memanggilku seperti
itu beberapa kali sebelumnya, tapi hatiku terasa lebih ringan dan hangat saat panggilan
“Saki” keluar dari bibirnya. Hanya dirinya
yang menyebut namaku membuatku merasa begitu—
Suasana hatiku sebelumnya menghilang
entah ke mana, dan pipiku mengendur.
Sambil berdehem, aku berkata,
“Kita harus memperpendek jarak di sekolah, jadi kupikir kita harus mengincar
itu. Bagaimana menurutmu?”
“Ya aku setuju. Maksudku... ada
cowok di sekolah yang memanggil cewek dengan nama depannya, kan?”
“Apa, sungguh? Ada orang yang
melakukan itu?”
“Ada ... Tapi kurasa kamu tidak
menyadarinya?”
Perkataan Asamura-kun sekali lagi
membuatku menyadari betapa sedikitnya perhatian yang kuberikan pada kata-kata
dan tindakan orang lain. Ada kalanya aku percaya bahwa selama aku bisa
mengendalikan diri, aku tidak perlu peduli dengan apa yang terjadi di sekitarku.
“Aku tidak pernah tahu...
Baiklah, kita harus mencari kesempatan untuk menggunakan nama depan satu sama
lain. Jika kita tiba-tiba mengubah apa yang kita sebut satu sama lain besok,
itu akan menjadi aneh.”
“Aku punya ide untuk itu.”
Sekarang giliran Asamura-kun.
“Kamu mempunyai caranya...?”
“Merenungi situasi ini, aku
menyadari bahwa aku mencoba menyelesaikan semuanya sendiri bahkan ketika aku
tidak bisa. Aku harus lebih mengandalkan orang lain seperti yang kamu lakukan
dengan Profesor universitas, ”kata Asamura-kun dengan senyum mencela diri
sendiri.
“Kupikir aku juga sama. Jika
catatan itu tidak ada di tasku, aku tidak yakin apa aku akan pergi menemuinya.
“Jika itu aku, aku mungkin
tidak akan repot-repot mencari catatan itu. Tapi aku sadar tidak baik menjadi
seperti itu. Ada seseorang yang aku kenal yang dapat kuandalkan di saat-saat
seperti ini. Aku hanya akan bertanya kepadanya bagaimana menggunakan nama depan
seorang gadis dengan cara yang normal.”
“Mengerti. Aku akan menyerahkan
itu padamu kalau begitu. Sekarang, masalah yang tersisa adalah bagaimana kita
bersikap di rumah ini… Kita perlu membuat jarak yang lebih jauh, bukan? Kalau
tidak, aku ingin menyentuhmu lebih dan lebih bahkan di rumah. Jadi—”
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Nii-san. Aku ingin memanggilmu
seperti itu lagi.”
“Benarkah…? Mengapa?”
“Panggilan ‘Nii-san’ dan ‘Imouto’
adalah gelar yang mencerminkan posisi kita, kan? Kupikir itu berguna untuk
mendefinisikan peran kita secara objektif. Tapi, kamu lihat…”
Sekarang kita masuk ke inti
permasalahan.
“Jika hanya sebatas itu saja,
rasanya seperti kita menyangkal semua kenangan yang kita lalui bersama sepanjang
tahun. Memikirkannya saja membuatku stres.”
“Aku merasakan hal yang sama.
Ketika aku mengingat bagaimana perasaanku saat itu, itu membuat stres dengan
caranya sendiri. Baiklah kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?”
“Oke, jadi, aku menemukan cara
bagi kita untuk memanggil satu sama lain yang lebih akrab daripada menggunakan
nama kita, tapi tidak seintim 'kakak baeradik’.”
Aku sangat berharap Asamura-kun
akan menerima usulanku.
“Bagaimana dengan
'Yuuta-niisan'?”
Setelah mempertimbangkan
saranku sebentar, Asamura-kun perlahan mengangguk.
“Jika kamu mau. Tapi apa yang
harus aku lakukan? Bukankah Profesor Kudou mengatakan bahwa masalahku adalah aku
tidak cukup asertif dengan seseorang yang aku sayangi dan tidak ingin disakiti?
Jadi pada dasarnya aku harus lebih tegas dalam hubungan kami… Bukannya aku
tidak mau, sih.”
“Aku mengerti apa yang ingin kamu
katakan. Tapi jika aku menjauhkan diri, Asamura... eh, maksudku, Yuuta-niisan,
kupikir kamu akan bisa menilai jarak yang tepat dan mendekat sendiri. Jadi,
tidak apa-apa.”
“Aku tidak percaya diri…”
“Latihan membuatmu sempurna, ‘kan,
Yuuta-niisan?”
Asamura-kun menghela nafas dan
mengangkat kepalanya. Ia mengangkat bahu seolah berkata, “Yah, baiklah.”
"Mengerti. Aya—Saki.”
“Agh…”
“Hm?”
“Bu-Bukan apa-apa.”
Cara panggilannya mengejutkanku
karena kupikir dia akan memanggilku “Saki-san,”
tetapi ia tiba-tiba menghilangkan tambahan panggilan ‘–san’ itu secara
bersamaan.
Aku tidak bisa mengatakan itu
padanya, jadi aku memberinya senyum canggung dan berusaha menutupinya.
Jantungku berdebar kencang.
Setelah itu, kami melanjutkan
makan.
Kami berbicara tentang apa yang
kami inginkan di masa depan.
Kami tidak dapat membayangkan
pekerjaan seperti apa yang kami inginkan di masa depan, tetapi kami
menyimpulkan bahwa kami akan bekerja keras untuk masuk universitas terlebih
dahulu.
Demi mewujudkan itu, kami
memutuskan untuk membidik hubungan ideal yang semula kami pikirkan, alih-alih
hubungan yang terlalu nyaman dan terlalu sensitif yang kami miliki.
Suasana hatiku terasa lebih
ringan, dan kabut yang tersisa di kepalaku menjadi tampak jelas.
Mulai besok, kami berdua akan
menjadi sepasang kekasih di sekolah dan kakak beradik di rumah.
Kehidupan baruku sebagai adik tiri
akan segera dimulai.
Mohon
bantuannya mulai sekarang, Yuuta-niisan.