Bab 9 — 1 Juni (Selasa) Asamura Yuuta
Ruangan kelas terlihat lebih
terang dari biasanya. Mulai bulan Juni, kami menanggalkan jaket berwarna gelap
kami demi seragam berwarna lebih terang. Suhunya juga sudah mulai panas, dan
hari ini panas seperti di bawah matahari, jadi jendela kelas sudah terbuka
lebar sejak pagi.
Musim yang tepat untuk
mengangkat semangat kita.
…Yang mana berlawanan dengan
kami para anak kelas 3 di SMA Suisei hari itu, karena kami harus menghadapi
cuaca yang suram, agak mendung dan kemungkinan hujan juga.
Itu adalah waktu belajar mandiri
sepulang sekolah, dan seluruh kelas berdengung. Nada percakapannya adalah
campuran kebahagiaan dan kesedihan sert wali kelas kami, yang biasanya
meneriaki kelas karena berisik, tidak berusaha menenangkannya.
Tidak
terlalu mengejutkan, pikirku sambil menatap lembaran nilai di
depanku—hasil ujian tengah semesterku.
Aku sudah tahu nilai tiap mata
pelajaran berdasarkan lembar jawaban yang dikembalikan guru masing-masing.
Yang aku pegang adalah rapor
yang merangkum nilai semua mata pelajaran. Hal tersebut termasuk peringkat,
nilai rata-rata, dan bahkan nilai standar internal seluruh sekolah. Singkatnya,
aku sedang menatap cermin yang mencerminkan kemampuan akademisku.
Aku melihat angkanya—rata-rata nilai
pribadiku kira-kira 74 poin.
Nilaiku
turun…
Nilai segitu tidak buruk
dibandingkan dengan kelas lainnya, tapi nilaiku benar-benar turun sejak ujian
terakhir.
Tahun lalu, aku mungkin takkan
terlalu peduli, tetapi tahun ini berbeda. Ujian masuk sudah mulai di ambang
pintu. Siswa lain juga menyadari hal itu dan telah beralih ke mode belajar,
jadi tentu saja, rata-rata keseluruhan juga melonjak.
Performaku yang menurun di saat
seperti ini adalah masalah serius. Kenyataan kalau peringkatku tidak turun,
tidak terlalu banyak membantu mengangkat semangatku.
Setelah obrolanku dengan
Yomiuri-senpai, aku dengan naif berpikir aku akan memilih universitas yang
bagus untuk memiliki pilihan yang lebih luas untuk masa depanku, tetapi pada
tingkat ini mungkin itu hanyalah mimpi di siang bolong.
Dn yang terpenting, aku tidak
bisa merasa bangga. Tidak di depan orang tuaku atau Ayase-san.
Didorong oleh rasa frustrasi,
aku melihat ke arah Ayase-san untuk mengukur seberapa baik nilainya. Tapi, aku
tidak bisa membaca apa pun dari sosoknya. Mungkin dia melakukannya dengan baik,
atau mungkin tidak ada yang berubah.
Melirik ke sekeliling kelas,
tampaknya semua orang merasa agak sedih—bahkan mereka yang nilainya meningkat.
Baru saja mendapatkan hasil tengah semester adalah pengingat yang jelas bahwa
kami semua adalah peserta ujian masuk.
Jadi meskipun wajah Ayase-san
terlihat suram, terlalu sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dia rasakan.
Dia memang terlihat sedikit khawatir. Mungkin dia berada dalam keadaan yang
sama juga.
Apa
sih yang aku pikirkan?
Tidak peduli bagaimana hasil
Ayase-san, hal tersebut tidak mengubah fakta nilai pribadiku yang menyedihkan.
Namun, didorong oleh kecemasanku
sendiri, aku mendapati diriku memperhatikan perilaku Ayase-san untuk melihat
apa dia merasa tidak enak dengan hasilnya. Seolah-olah aku berharap nilainya
turun sama seperti diriku.
Aku
benar-benar baj*ngan. Selang sesaat dalam penilaian atau tidak,
berharap Ayase-san tidak melakukannya dengan baik hanya untuk membuat diriku merasa
lebih baik merupakan perilaku paling brengsek.
Selain itu, dia pandai belajar
mandiri. Ada banyak kemungkinan kalau dia meningkatkan peringkatnya, bukan
jatuh. Dia mungkin hanya menyembunyikan kegembiraannya karena mempertimbangkan
teman-teman sekelasnya yang lain. Membayangkan itu hanya menambah kecemasanku
yang tak terlukiskan.
Aku ingin entah bagaimana
mengubah pola pikirku dan meningkatkan nilai aku. Alangkah baiknya jika ada semacam
pemicu untuk melakukan itu. Tanpa katalis, konsentrasiku mungkin tidak akan
kembali normal.
Belajar mandiri berakhir, dan
teman sekelasku meninggalkan ruangan. Ayase-san melirikku sebelum pergi juga.
Sementara itu, Yoshida sudah menghilang. Anggota klub olahraga tahun ketiga
biasanya berhenti pada bulan Juni dan memberikan tongkat estafet kepada junior
mereka, atau, seperti Yoshida, mereka mendorong lebih keras sampai di
menit-menit terakhir.
Lalu, keberadaan Maru muncul di
kepalaku. Jika ia bersamaku, kami akan berdiskusi tentang hasil ujian kami
seperti yang selalu kami lakukan, tetapi ini adalah musim panas terakhir untuk
anggota klub bisbol tahun ketiga. Rasanya sangat egois jika aku mengganggunya
dengan masalahku. Maru, dan mungkin Shinjo di klub tenis, pasti disibukkan
dengan aktivitas klub dan belajar. Aku benar-benar tidak ingin mengganggu
mereka.
Aku memasukkan rapor nilaiku ke
dalam tas. Tidak ada gunanya menangisi hal itu. Ujian masuk akan datang apakah aku
mengeluh atau tidak. Jika aku tidak mengubah sesuatu secepatnya, nilaiku akan
terus turun, hanya itu yang aku pahami.
Hari Selasa sepulang sekolah.
Biasanya aku akan langsung berangkat
kerja, tapi karena ujian tengah semester, aku memberitahu toko buku bahwa aku
akan mengambil cuti sampai hari ini.
Aku telah menggunakan waktu itu
untuk fokus menghadiri jadwal sekolah bimbel. Aku juga masih ada jadwal bimbel
hari ini.
Jadi, aku menaiki sepedaku dan
mengendarainya dengan kecepatan penuh langsung ke sana.
◇◇◇◇
Diiringi dengan ingatan segar
dari nilai ujianku yang mengecewakan, aku memperhatikan dengan cermat materi
pelajaran sekolah bimbel.
Meskipun aku pikir konsentrasiku
lebih baik dari biasanya, aku masih merasa itu belum cukup baik. Saat bel
berbunyi sebagai tanda berakhirnya pengajaran, aku mulai memikirkan cara untuk
mengubah pola pikirku.
Hari ini adalah hari terakhir
jadwal bimbel yang aku hadiri alih-alih bekerja. Waktu sangat penting.
Katalis yang aku cari jatuh
tepat ke pangkuanku saat aku meninggalkan sekolah bimbel. Ini dia! pikirku saat melihatnya.
Aku berhenti di depan papan
buletin dekat pintu masuk dan melihat selebaran yang menarik perhatianku.
Ditulis dengan huruf tebal,
selebaran itu bertuliskan:『Kamp
Pemberlajaran Intensif Musim Panas』
Rupanya itu melibatkan belajar
intensif untuk ujian, tanpa harus pulang malam.
Aku tidak ingat kapan pamflet
tersebut pertama kali dipasang, tetapi bukannya fakta bahwa itu menarik
perhatianku merupakan tanda bahwa aku khawatir tentang pembelajaranku?
Yang benar-benar menarik
perhatianku adalah dua karakter kanji yang berarti “konsentrasi”.
Tidak diragukan lagi kalau
kurangnya konsentrasiku merupakan alasan dari nilai ujian tengah semesterku
yang mengecewakan.
Sejak Ayase-san dan aku
bergabung di kelas yang sama, aku selalu sadar akan dirinya.
Meskipun tidak ada kejadian
khusus yang terjadi akhir-akhir ini, tapi konsentrasiku selalu buyar, dan jika
kami berada di tempat yang sama, aku mengikutinya dengan mataku.
Bahkan saat kami tidak bertatap
muka di rumah, hanya dengan mengetahui dia ada di kamar sebelah saja sudah
mengalihkan perhatianku. Itu bukan salah Ayase-san. Tapi, aku takut jika aku
terus dekat dengannya, semuanya akan lepas kendali sebelum aku menyadarinya.
Wujud sebenarnya dari kecemasan
yang aku rasakan tentang hasil ujian tengah semesterku mulai terlihat jelas
sekarang. Aku perlu menempatkan sumber kecemasanku di luar jangkauan tangan —
cukup jauh sehingga aku tidak perlu secara sadar mencoba untuk tidak
menyadarinya.
Sambil melihat pamflet, aku
memikirkan rencanaku untuk liburan musim panas. Aku berencana untuk mengurangi
shiftku di tempat kerja. Hal itu sudah jelas, karena nilaiku merosot, dan ujian
masuk sudah dekat.
Aku dapat menggunakan waktu untuk
menghadiri sekolah bimbel. Ayase-san bukan murid disini, jadi berkonsentrasi
seharusnya tidak menjadi masalah. Faktanya, hari ini sedikit membuktikannya.
Tapi dari segi uang, aku tidak mampu mengambil kursus lagi. Dengan pekerjaan
yang tertunda, isi dompetku mungkin mulai menjerit.
Aku mungkin masih bisa
menghadiri bimbel, tetapi akan sulit untuk membayar lebih. Apa bagusnya aku menggunakan ruang belajar mandiri saja seperti
Fujinami-san? Tunggu sebentar — bukannya berjalan dengan susah payah di bawah
terik matahari ke stasiun Shibuya yang padat, menjadi lelah, dan kemudian
mencoba belajar sangat tidak efisien? Itulah yang akhirnya aku pikirkan.
Tetapi jika keadaan terus
berlanjut, aku pasti akan mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Lalu
apa yang akan terjadi? Aku akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan
Ayase-san. Kami akan bertemu saat bangun pagi, saat menyiapkan makan siang, di
ruang tamu saat istirahat di malam hari, dan di ruang makan saat makan malam.
Itu buruk. Ah koreksi, itu
tidak terlalu buruk. Sejujurnya, aku
sebenarnya merasa senang tentang itu, tetapi itu juga yang menjadi penyebab
mengapa aku tidak senang.
Jika aku merasa seperti itu dalam
kehidupan kami sehari-hari, apa yang akan terjadi saat liburan musim panas
dimulai dan kami berada di bawah atap yang sama 24/7?
Aku mengambil selebaran untuk
perkemahan musim panas dari amplop yang ditempelkan di papan buletin.
Demi masa depanku dengan
Ayase-san, mungkin aku perlu sengaja membuat jarak di antara kami untuk
sementara waktu.
Aku meninggalkan gedung dan
mendongak ke atas, melihat bahwa langit tertutup awan tebal. Cuaca sepertinya
semakin memburuk, dan angin yang menyapu kulitku terasa lembap. Aku bisa mencium
aroma hujan. Bersamaan dengan tekad di hatiku, aku meninggalkan sekolah bimbel.
◇◇◇◇
Saat aku akan menarik sepedaku
keluar dari tempat parkir sepeda, aku melihat ada notifikasi LINE di ponselku.
“…Dari ayah?”
Aku membuka aplikasi dan
membacanya.
[Aku
ada pertemuan mendadak. Akiko-san mengatur agar Saki-chan mengambil giliranku]
Hah?
Oh, ia sedang berbicara tentang rotasi memasak, ya.
Karena ini hari Selasa, jadi
ayahku seharusnya memasak. Awalnya, aku punya pekerjaan hari ini, makanya
sekarang itu gilirannya. Itu sebabnya aku bisa menghadiri sekolah bimbel. Ayahku
tahu aku akan pulang terlambat. Jika kami perlu beralih, kami tidak punya
pilihan selain mengandalkan Akiko-san atau Ayase-san. Mungkin Akiko-san memiliki
hal lain untuk dilakukan, atau Ayase-san setuju untuk mengambil alih sejak
ujiannya sudah selesai.
Itu berarti ayahku juga akan
terlambat hari ini, dan mengetahui Ayase-san, dia mungkin takkan makan malam
sampai aku tiba di rumah.
Aku
harus buru-buru pulang dan membantu. Dengan pemikiran seperti tiu,
aku naik sepeda.
Semangatku sedikit terangkat,
setelah membawa selebaran dari sekolah persiapan ke rumah.
Aku berkendara melalui
jalan-jalan Shibuya, mengerahkan kekuatan untuk mengayuh saat aku menuju gedung
apartemenku.
Sepertinya aku akan sampai di
rumah sebelum hujan mulai turun.
◇◇◇◇
Ternyata prediksiku setengah
benar dan setengah salah.
Ketika aku meluncur ke tempat
parkir apartemen dan memarkir sepedaku, aku mengirim pesan LINE kepada Ayase-san
untuk memberitahunya kalau aku sudah tiba di dekat apartemen. Dia bukan tipe
orang yang keluar dan bersenang-senang hanya karena hasil ujian sudah keluar,
jadi dia seharusnya sudah pulang sekarang.
Pesan balasannya hampir instan.
【Maaf,
makan malamnya belum siap. Harap tunggu sebentar lagi.】
Aku terkejut karena aku mengira
kalau Ayase-san tidak punya rencana khusus. Dia juga meninggalkan ruang kelas
duluan.
Aku membuka pintu unit
apartemenku dan berseru, “Aku pulang”. Tidak
ada jawaban, tapi aku bisa mendengar suara dari dapur. Saat aku mengintip,
Ayase-san sedang panik memasak makan malam.
“Ah, selamat datang di rumah.
Maaf, aku sedikit terlambat pulang. Aku akan segera menyiapkannya.”
“Jangan khawatir, aku akan
membantu.”
Aku melemparkan tasku ke dalam
kamarku, dengan cepat berganti pakaian, dan kembali ke dapur.
Aku menawarkan untuk membantu, tapi
hanya sebatas itu sehingga aku tidak melewati batas.
Karena kami telah memutuskan
untuk membagi peran kami, kami sepakat untuk tidak merusak pengaturan kami
sebanyak mungkin.
Beberapa orang mungkin
berpendapat bahwa orang dengan tangan bebas seharusnya melakukan pekerjaan itu,
tetapi melanggar sistem yang disepakati bisa berisiko.
Kebiasaan adalah hal yang
menakutkan; begitu kamu mendapat bantuan beberapa kali, kamu mulai mengharapkan
lebih banyak, dan bahkan mungkin mulai berpikir kalau pihak lainlah yang
bersalah ketika tidak mendapatkannya.
Kami harus berpegang pada
sistem yang telah kami sepakati bersama, karena kami peduli satu sama lain.
Singkat cerita, tindakan yang
terbaik adalah membiarkan Ayase-san — yang mengambil giliran ayahku — untuk
memasak sementara aku hanya bertindak sebagai asistennya.
Kami selesai membuat makan
malam dan duduk bersama.
““Itadakimasu.””
Ayase-san dan aku saling berhadapan
dan menyatukan tangan kami. Makan malam sedikit lebih lambat dari biasanya.
Menunya adalah sup miso, bayam
ohitashi dan aburaage, salmon kukus dan jamur dengan mentega, dan nasi dengan
acar lobak.
Sekilas hidangannya mungkin
terlihat rumit, tetapi hidangannya praktis bersinar dengan teknik hemat waktu.
Yah, bahkan aku mungkin tidak
menyadarinya jika kami tidak bekerja sama.
Pertama, aku membasahi mulutku
dengan sup miso. Aku menghela napas lega. Aku memikirkan mengapa aku melakukan
itu bahkan ketika musim dingin sudah lama berlalu. Mungkin karena sup misonya
panas.
Sup miso memiliki rumput laut
wakame dan daun bawang di dalamnya. Aroma laut dengan lembut menyebar di
mulutku. Hmm, rasanya memang lezat.
Wakame hanya perlu direhidrasi
dengan air, dan daun bawang langsung dikeluarkan dari freezer, jadi tidak perlu
banyak tenaga untuk membuatnya. Ayase-san sepertinya lebih suka menggunakan
sayuran segar sebanyak mungkin, tapi dalam hal ini dia memilih kepraktisan
daripada rasa.
Idenya adalah memotong daun
bawang, memasukkannya ke dalam kantong ziplock, dan membekukannya agar dapat
digunakan kapan saja. Meski sedikit berbeda dari sayuran segar, aku tetap
merasakan kelezatannya.
Selanjutnya, aku mengulurkan
sumpitku untuk mengambil beberapa ohitashi dan aburaage. Saat aku mengunyah
tahu gorengnya perlahan, kuahnya yang terbuat dari campuran dashi putih dan
kecap asin merembes keluar. Bayamnya juga empuk dan enak.
Hidangannya tampak cukup
sederhana, tetapi pengalaman membuat perbedaan.
Ayase-san memasukkan ohitashi
bayam yang sudah jadi dan aburaage yang sudah dipotong sebelumnya ke dalam
panci kecil, menambahkan bumbu secukupnya, dan mematikan api pada waktu yang
tepat agar dingin. Dia mengatakan bahwa ketika hidangan yang direbus mendingin,
rasanya akan meresap. Aku telah berjuang untuk mematikan api pada saat yang
tepat ketika hidangan lainnya sudah siap dan pada suhu yang dapat dimakan.
Ayase-san menyatakan kalau itu hidangan
sederhana. Dia baru saja membuang semua bahan menjadi satu dan selesai. Tetapi
orang yang berpengalaman cenderung lupa bahwa akal sehat mereka tidak begitu
umum bagi orang lain. Konon, hidangan
jamur salmon dan mentega ini cukup sederhana bahkan untuk dibuat oleh juru
masak rendahan seperti diriku.
Aku mengoyak salmon dengan
sumpitku dan membawanya bersama beberapa jamur ke mulut u. Rasa kecap dan
mentega memenuhi mulutku. Sumpit aku segera meraih nasi putih. Jamur itu
disebut bunashimeji. Aku suka bagaimana aku masih bisa merasakan serat di
dalamnya bahkan saat dimasak.
Hidangan utama hari ini adalah
melakukan pekerjaan yang baik sebagai pencuri nasi. (TN: Pencuri nasi (飯 泥 棒 ) dapat merujuk pada hidangan atau masakan yang sangat lezat
sehingga orang tidak dapat menahan diri untuk memakannya dalam jumlah banyak,
seolah-olah mereka sedang “mencuri”.)
Rasanya sungguh mengejutkan
bahwa hidangan lezat seperti itu bisa dibuat dalam microwave. Itu benar, alasanku
mengatakan itu cukup sederhana sampai aku sendiri mungkin bisa membuatnya
karena microwave. Tampaknya menggoreng atau memanggang lebih umum dalam
memasak, tetapi hari ini semuanya tentang efisiensi maksimum. Mereka tidak
dibutuhkan. Plus, melakukan lebih banyak berarti aku melangkahi peranku sebagai “asisten”.
Cepat dan mudah.
Itulah nama permainan untuk 『Resep Mudah Untuk Mengukus Ikan Salmon dan Jamur Mentega Dengan Microwave』
Aku selalu kagum dengan
repertoar resep Ayase-san.
Dia ingin memasak dengan benar
tetapi juga realistis tentang apa yang bisa dia lakukan dengan waktu dan bahan
yang tersedia untuknya. Ini sangat khas dari dirinya.
Yang aku lakukan hanyalah mengikuti
instruksinya dan memasukkan bahan-bahannya untuk waktu yang sesuai. Ayase-san
memotong dan membumbuinya. Namun, itu sesuai seleraku. Jumlah yang tepat dari
rasa asin dan kekayaan. Kapan dia menyesuaikannya dengan seleraku, meskipun aku
tidak pernah pilih-pilih makanan?
Saat aku makan nasi panas yang
mengepul, aku mulai menginginkan sesuatu yang dingin. Saat itulah acar lobak
daikon bersinar. Teksturnya yang renyah sangat kontras dengan nasinya, menambah
warna dan kenyamanan pada makanannya. Masakan Ayase-san benar-benar enak,
seperti biasa.
Saat aku sedang menikmati makan
malamku, Ayase-san tiba-tiba mengangkat sebuah topik.
“Ini sudah hampir ... setahun,
bukan?”
Sumpitku mendadak berhenti.
Apa yang dia bicarakan? Oh, benar.
Sudah setahun sejak kami
bertemu dan mulai hidup bersama.
“Sejujurnya, aku sedikit
terkejut saat itu. Kupikir aku akan mendapatkan seorang anak SD sebagai saudara
tiriku, tetapi ternyata seorang gadis yang sebaya.”
“Ah ya, yang begitu pernah
terjadi, bukan?”
Ayase-san memberiku senyum masam. Dia
pasti ingat pertama kali kita bertemu.
Dia tidak suka difoto, jadi
hanya ada foto dari masa kecilnya. Di tambah lagi, Akiko-san lupa
menyebutkannya, jadi kupikir aku mendapatkan adik perempuan yang jauh lebih
muda.
“Kamu tahu, pada saat itu aku
sudah menyiapkan diri.”
“Menyiapkan diri?”
“Hidup dengan seseorang yang
tidak bisa aku ajak berkomunikasi. Itu sebabnya aku senang itu kamu,
Asamura-kun. Aku senang itu adalah seseorang yang mau menyesuaikan diri satu
sama lain.”
“Akulah yang seharusnya
mengatakan itu…”
Aku tiba-tiba menyadari
sesuatu.
“Aku
tidak akan memiliki harapan besar darimu, jadi aku ingin kamu melakukan hal
yang sama untukku.”
Itulah yang dikatakan Ayase-san
saat kami pertama kali bertemu.
Tidak mengharapkan apapun dari
satu sama lain, dan berinteraksi satu sama lain dengan asumsi begitu. Itu
seharusnya menjadi saling pengertian kita.
Aku menyadari itu sama dengan
masalah rotasi memasak kami.
Justru karena kami tidak
melewati batas satu sama lain, kami dapat mempertahankan status quo. Tetapi
untuk alasan yang sama, komunikasi yang baik di antara kita adalah kuncinya.
Begitulah cara kami membangun
hubungan kami saat ini.
Sungguh menggelikan bahwa kami
dapat membagi tugas-tugas rumah tangga kami tetapi tidak dapat membicarakan
hal-hal yang paling penting.
Mungkin
aku belum berkomunikasi dengannya sebanyak yang seharusnya.
Aku merasa seperti itu lagi.
“Hei, Ayase-san, mohon
dengarkan,” kataku, dengan lembut meletakkan mangkuk nasi dan sumpitku.
Kemudian aku menumpahkan isi
hati aku tentang frustrasi aku baru-baru ini.
Betapa sulitnya aku
berkonsentrasi sejak kami bergabung di kelas yang sama. Bagaimana aku tidak
bisa mengubah situasi tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Bagaimana nilaiku
tidak membaik. Dan, yang terpenting, bagaimana aku mengesampingkan masalahku
dan mengabaikannya.
Ayase-san juga berhenti makan
untuk mendengarkan.
Setelah mendengarkan sampai akhir,
dia perlahan membuka mulutnya untuk berbicara.
“Itu sama bagiku. Sejujurnya
aku pun mengalami kesulitan yang sama.”
"Hah?"
“Nilaiku merosot dan aku bahkan
tertidur di kelas…”
Terus terang saja, aku cukup
terkejut. Aku tidak bisa mempercayai telingaku.
Ayase-san yang selalu berusaha
sempurna, setidaknya di luar rumah, tertidur di tengah kelas?!
“Aku juga tidak mencoba
menyesuaikan diri denganmu.”
Aku tidak menyadarinya. Tidak, aku
tidak bisa menyadarinya. Pikiranku begitu sibuk dengan masalahku sendiri untuk
memikirkan Ayase-san. Aku tidak menyadari bahwa dia juga berjuang juga.
“Tapi, kamu tahu, jika itu aku
sampai kemarin, aku mungkin takkan bisa menyesuaikan satu sama lain dengan baik
bahkan jika kita mencobanya. Sebenarnya…"
Dia memberitahuku tentang apa
yang terjadi hari ini.
Sepulang sekolah, Ayase-san pergi
jauh-jauh ke Universitas Wanita Tsukinomiya dan berkonsultasi dengan Profesor
Kudou tentang kemerosotannya baru-baru ini.
“Aku ingin kamu mendengarkan
apa yang telah aku pelajari, Asamura-kun. Kemudian, aku ingin kita mengerjakannya
bersama-sama. Bisakah kita melakukan itu?”
Setelah menanyakan itu,
Ayase-san mulai menceritakan percakapannya dengan Profesor Kudou.
Ada satu kata yang terus
bermunculan: kodependensi.