Gimai Seikatsu Jilid 8 Bab 9 Bahasa Indonesia

Bab 9 — 1 Juni (Selasa) Asamura Yuuta

 

 

Ruangan kelas terlihat lebih terang dari biasanya. Mulai bulan Juni, kami menanggalkan jaket berwarna gelap kami demi seragam berwarna lebih terang. Suhunya juga sudah mulai panas, dan hari ini panas seperti di bawah matahari, jadi jendela kelas sudah terbuka lebar sejak pagi.

Musim yang tepat untuk mengangkat semangat kita.

…Yang mana berlawanan dengan kami para anak kelas 3 di SMA Suisei hari itu, karena kami harus menghadapi cuaca yang suram, agak mendung dan kemungkinan hujan juga.

Itu adalah waktu belajar mandiri sepulang sekolah, dan seluruh kelas berdengung. Nada percakapannya adalah campuran kebahagiaan dan kesedihan sert wali kelas kami, yang biasanya meneriaki kelas karena berisik, tidak berusaha menenangkannya.

Tidak terlalu mengejutkan, pikirku sambil menatap lembaran nilai di depanku—hasil ujian tengah semesterku.

Aku sudah tahu nilai tiap mata pelajaran berdasarkan lembar jawaban yang dikembalikan guru masing-masing.

Yang aku pegang adalah rapor yang merangkum nilai semua mata pelajaran. Hal tersebut termasuk peringkat, nilai rata-rata, dan bahkan nilai standar internal seluruh sekolah. Singkatnya, aku sedang menatap cermin yang mencerminkan kemampuan akademisku.

Aku melihat angkanya—rata-rata nilai pribadiku kira-kira 74 poin.

Nilaiku turun…

Nilai segitu tidak buruk dibandingkan dengan kelas lainnya, tapi nilaiku benar-benar turun sejak ujian terakhir.

Tahun lalu, aku mungkin takkan terlalu peduli, tetapi tahun ini berbeda. Ujian masuk sudah mulai di ambang pintu. Siswa lain juga menyadari hal itu dan telah beralih ke mode belajar, jadi tentu saja, rata-rata keseluruhan juga melonjak.

Performaku yang menurun di saat seperti ini adalah masalah serius. Kenyataan kalau peringkatku tidak turun, tidak terlalu banyak membantu mengangkat semangatku.

Setelah obrolanku dengan Yomiuri-senpai, aku dengan naif berpikir aku akan memilih universitas yang bagus untuk memiliki pilihan yang lebih luas untuk masa depanku, tetapi pada tingkat ini mungkin itu hanyalah mimpi di siang bolong.

Dn yang terpenting, aku tidak bisa merasa bangga. Tidak di depan orang tuaku atau Ayase-san.

Didorong oleh rasa frustrasi, aku melihat ke arah Ayase-san untuk mengukur seberapa baik nilainya. Tapi, aku tidak bisa membaca apa pun dari sosoknya. Mungkin dia melakukannya dengan baik, atau mungkin tidak ada yang berubah.

Melirik ke sekeliling kelas, tampaknya semua orang merasa agak sedih—bahkan mereka yang nilainya meningkat. Baru saja mendapatkan hasil tengah semester adalah pengingat yang jelas bahwa kami semua adalah peserta ujian masuk.

Jadi meskipun wajah Ayase-san terlihat suram, terlalu sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia memang terlihat sedikit khawatir. Mungkin dia berada dalam keadaan yang sama juga.

Apa sih yang aku pikirkan?

Tidak peduli bagaimana hasil Ayase-san, hal tersebut tidak mengubah fakta nilai pribadiku yang menyedihkan.

Namun, didorong oleh kecemasanku sendiri, aku mendapati diriku memperhatikan perilaku Ayase-san untuk melihat apa dia merasa tidak enak dengan hasilnya. Seolah-olah aku berharap nilainya turun sama seperti diriku.

Aku benar-benar baj*ngan. Selang sesaat dalam penilaian atau tidak, berharap Ayase-san tidak melakukannya dengan baik hanya untuk membuat diriku merasa lebih baik merupakan perilaku paling brengsek.

Selain itu, dia pandai belajar mandiri. Ada banyak kemungkinan kalau dia meningkatkan peringkatnya, bukan jatuh. Dia mungkin hanya menyembunyikan kegembiraannya karena mempertimbangkan teman-teman sekelasnya yang lain. Membayangkan itu hanya menambah kecemasanku yang tak terlukiskan.

Aku ingin entah bagaimana mengubah pola pikirku dan meningkatkan nilai aku. Alangkah baiknya jika ada semacam pemicu untuk melakukan itu. Tanpa katalis, konsentrasiku mungkin tidak akan kembali normal.

Belajar mandiri berakhir, dan teman sekelasku meninggalkan ruangan. Ayase-san melirikku sebelum pergi juga. Sementara itu, Yoshida sudah menghilang. Anggota klub olahraga tahun ketiga biasanya berhenti pada bulan Juni dan memberikan tongkat estafet kepada junior mereka, atau, seperti Yoshida, mereka mendorong lebih keras sampai di menit-menit terakhir.

Lalu, keberadaan Maru muncul di kepalaku. Jika ia bersamaku, kami akan berdiskusi tentang hasil ujian kami seperti yang selalu kami lakukan, tetapi ini adalah musim panas terakhir untuk anggota klub bisbol tahun ketiga. Rasanya sangat egois jika aku mengganggunya dengan masalahku. Maru, dan mungkin Shinjo di klub tenis, pasti disibukkan dengan aktivitas klub dan belajar. Aku benar-benar tidak ingin mengganggu mereka.

Aku memasukkan rapor nilaiku ke dalam tas. Tidak ada gunanya menangisi hal itu. Ujian masuk akan datang apakah aku mengeluh atau tidak. Jika aku tidak mengubah sesuatu secepatnya, nilaiku akan terus turun, hanya itu yang aku pahami.

Hari Selasa sepulang sekolah. Biasanya aku akan  langsung berangkat kerja, tapi karena ujian tengah semester, aku memberitahu toko buku bahwa aku akan mengambil cuti sampai hari ini.

Aku telah menggunakan waktu itu untuk fokus menghadiri jadwal sekolah bimbel. Aku juga masih ada jadwal bimbel hari ini.

Jadi, aku menaiki sepedaku dan mengendarainya dengan kecepatan penuh langsung ke sana.

 

◇◇◇◇

 

Diiringi dengan ingatan segar dari nilai ujianku yang mengecewakan, aku memperhatikan dengan cermat materi pelajaran sekolah bimbel.

Meskipun aku pikir konsentrasiku lebih baik dari biasanya, aku masih merasa itu belum cukup baik. Saat bel berbunyi sebagai tanda berakhirnya pengajaran, aku mulai memikirkan cara untuk mengubah pola pikirku.

Hari ini adalah hari terakhir jadwal bimbel yang aku hadiri alih-alih bekerja. Waktu sangat penting.

Katalis yang aku cari jatuh tepat ke pangkuanku saat aku meninggalkan sekolah bimbel. Ini dia! pikirku saat melihatnya.

Aku berhenti di depan papan buletin dekat pintu masuk dan melihat selebaran yang menarik perhatianku.

Ditulis dengan huruf tebal, selebaran itu bertuliskan:Kamp Pemberlajaran Intensif Musim Panas

Rupanya itu melibatkan belajar intensif untuk ujian, tanpa harus pulang malam.

Aku tidak ingat kapan pamflet tersebut pertama kali dipasang, tetapi bukannya fakta bahwa itu menarik perhatianku merupakan tanda bahwa aku khawatir tentang pembelajaranku?

Yang benar-benar menarik perhatianku adalah dua karakter kanji yang berarti “konsentrasi”.

Tidak diragukan lagi kalau kurangnya konsentrasiku merupakan alasan dari nilai ujian tengah semesterku yang mengecewakan.

Sejak Ayase-san dan aku bergabung di kelas yang sama, aku selalu sadar akan dirinya.

Meskipun tidak ada kejadian khusus yang terjadi akhir-akhir ini, tapi konsentrasiku selalu buyar, dan jika kami berada di tempat yang sama, aku mengikutinya dengan mataku.

Bahkan saat kami tidak bertatap muka di rumah, hanya dengan mengetahui dia ada di kamar sebelah saja sudah mengalihkan perhatianku. Itu bukan salah Ayase-san. Tapi, aku takut jika aku terus dekat dengannya, semuanya akan lepas kendali sebelum aku menyadarinya.

Wujud sebenarnya dari kecemasan yang aku rasakan tentang hasil ujian tengah semesterku mulai terlihat jelas sekarang. Aku perlu menempatkan sumber kecemasanku di luar jangkauan tangan — cukup jauh sehingga aku tidak perlu secara sadar mencoba untuk tidak menyadarinya.

Sambil melihat pamflet, aku memikirkan rencanaku untuk liburan musim panas. Aku berencana untuk mengurangi shiftku di tempat kerja. Hal itu sudah jelas, karena nilaiku merosot, dan ujian masuk sudah dekat.

Aku dapat menggunakan waktu untuk menghadiri sekolah bimbel. Ayase-san bukan murid disini, jadi berkonsentrasi seharusnya tidak menjadi masalah. Faktanya, hari ini sedikit membuktikannya. Tapi dari segi uang, aku tidak mampu mengambil kursus lagi. Dengan pekerjaan yang tertunda, isi dompetku mungkin mulai menjerit.

Aku mungkin masih bisa menghadiri bimbel, tetapi akan sulit untuk membayar lebih. Apa bagusnya aku menggunakan ruang belajar mandiri saja seperti Fujinami-san? Tunggu sebentar — bukannya berjalan dengan susah payah di bawah terik matahari ke stasiun Shibuya yang padat, menjadi lelah, dan kemudian mencoba belajar sangat tidak efisien? Itulah yang akhirnya aku pikirkan.

Tetapi jika keadaan terus berlanjut, aku pasti akan mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Lalu apa yang akan terjadi? Aku akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Ayase-san. Kami akan bertemu saat bangun pagi, saat menyiapkan makan siang, di ruang tamu saat istirahat di malam hari, dan di ruang makan saat makan malam.

Itu buruk. Ah koreksi, itu tidak  terlalu buruk. Sejujurnya, aku sebenarnya merasa senang tentang itu, tetapi itu juga yang menjadi penyebab mengapa aku tidak senang.

Jika aku merasa seperti itu dalam kehidupan kami sehari-hari, apa yang akan terjadi saat liburan musim panas dimulai dan kami berada di bawah atap yang sama 24/7?

Aku mengambil selebaran untuk perkemahan musim panas dari amplop yang ditempelkan di papan buletin.

Demi masa depanku dengan Ayase-san, mungkin aku perlu sengaja membuat jarak di antara kami untuk sementara waktu.

Aku meninggalkan gedung dan mendongak ke atas, melihat bahwa langit tertutup awan tebal. Cuaca sepertinya semakin memburuk, dan angin yang menyapu kulitku terasa lembap. Aku bisa mencium aroma hujan. Bersamaan dengan tekad di hatiku, aku meninggalkan sekolah bimbel.

 

◇◇◇◇

 

Saat aku akan menarik sepedaku keluar dari tempat parkir sepeda, aku melihat ada notifikasi LINE di ponselku.

“…Dari ayah?”

Aku membuka aplikasi dan membacanya.

[Aku ada pertemuan mendadak. Akiko-san mengatur agar Saki-chan mengambil giliranku]

Hah? Oh, ia sedang berbicara tentang rotasi memasak, ya.

Karena ini hari Selasa, jadi ayahku seharusnya memasak. Awalnya, aku punya pekerjaan hari ini, makanya sekarang itu gilirannya. Itu sebabnya aku bisa menghadiri sekolah bimbel. Ayahku tahu aku akan pulang terlambat. Jika kami perlu beralih, kami tidak punya pilihan selain mengandalkan Akiko-san atau Ayase-san. Mungkin Akiko-san memiliki hal lain untuk dilakukan, atau Ayase-san setuju untuk mengambil alih sejak ujiannya sudah selesai.

Itu berarti ayahku juga akan terlambat hari ini, dan mengetahui Ayase-san, dia mungkin takkan makan malam sampai aku tiba di rumah.

Aku harus buru-buru pulang dan membantu. Dengan pemikiran seperti tiu, aku naik sepeda.

Semangatku sedikit terangkat, setelah membawa selebaran dari sekolah persiapan ke rumah.

Aku berkendara melalui jalan-jalan Shibuya, mengerahkan kekuatan untuk mengayuh saat aku menuju gedung apartemenku.

Sepertinya aku akan sampai di rumah sebelum hujan mulai turun.

 

◇◇◇◇

 

Ternyata prediksiku setengah benar dan setengah salah.

Ketika aku meluncur ke tempat parkir apartemen dan memarkir sepedaku, aku mengirim pesan LINE kepada Ayase-san untuk memberitahunya kalau aku sudah tiba di dekat apartemen. Dia bukan tipe orang yang keluar dan bersenang-senang hanya karena hasil ujian sudah keluar, jadi dia seharusnya sudah pulang sekarang.

Pesan balasannya hampir instan.

Maaf, makan malamnya belum siap. Harap tunggu sebentar lagi.

Aku terkejut karena aku mengira kalau Ayase-san tidak punya rencana khusus. Dia juga meninggalkan ruang kelas duluan.

Aku membuka pintu unit apartemenku dan berseru, “Aku pulang”. Tidak ada jawaban, tapi aku bisa mendengar suara dari dapur. Saat aku mengintip, Ayase-san sedang panik memasak makan malam.

“Ah, selamat datang di rumah. Maaf, aku sedikit terlambat pulang. Aku akan segera menyiapkannya.”

“Jangan khawatir, aku akan membantu.”

Aku melemparkan tasku ke dalam kamarku, dengan cepat berganti pakaian, dan kembali ke dapur.

Aku menawarkan untuk membantu, tapi hanya sebatas itu sehingga aku tidak melewati batas.

Karena kami telah memutuskan untuk membagi peran kami, kami sepakat untuk tidak merusak pengaturan kami sebanyak mungkin.

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa orang dengan tangan bebas seharusnya melakukan pekerjaan itu, tetapi melanggar sistem yang disepakati bisa berisiko.

Kebiasaan adalah hal yang menakutkan; begitu kamu mendapat bantuan beberapa kali, kamu mulai mengharapkan lebih banyak, dan bahkan mungkin mulai berpikir kalau pihak lainlah yang bersalah ketika tidak mendapatkannya.

Kami harus berpegang pada sistem yang telah kami sepakati bersama, karena kami peduli satu sama lain.

Singkat cerita, tindakan yang terbaik adalah membiarkan Ayase-san — yang mengambil giliran ayahku — untuk memasak sementara aku hanya bertindak sebagai asistennya.

Kami selesai membuat makan malam dan duduk bersama.

““Itadakimasu.””

Ayase-san dan aku saling berhadapan dan menyatukan tangan kami. Makan malam sedikit lebih lambat dari biasanya.

Menunya adalah sup miso, bayam ohitashi dan aburaage, salmon kukus dan jamur dengan mentega, dan nasi dengan acar lobak.

Sekilas hidangannya mungkin terlihat rumit, tetapi hidangannya praktis bersinar dengan teknik hemat waktu.

Yah, bahkan aku mungkin tidak menyadarinya jika kami tidak bekerja sama.

Pertama, aku membasahi mulutku dengan sup miso. Aku menghela napas lega. Aku memikirkan mengapa aku melakukan itu bahkan ketika musim dingin sudah lama berlalu. Mungkin karena sup misonya panas.

Sup miso memiliki rumput laut wakame dan daun bawang di dalamnya. Aroma laut dengan lembut menyebar di mulutku. Hmm, rasanya memang lezat.

Wakame hanya perlu direhidrasi dengan air, dan daun bawang langsung dikeluarkan dari freezer, jadi tidak perlu banyak tenaga untuk membuatnya. Ayase-san sepertinya lebih suka menggunakan sayuran segar sebanyak mungkin, tapi dalam hal ini dia memilih kepraktisan daripada rasa.

Idenya adalah memotong daun bawang, memasukkannya ke dalam kantong ziplock, dan membekukannya agar dapat digunakan kapan saja. Meski sedikit berbeda dari sayuran segar, aku tetap merasakan kelezatannya.

Selanjutnya, aku mengulurkan sumpitku untuk mengambil beberapa ohitashi dan aburaage. Saat aku mengunyah tahu gorengnya perlahan, kuahnya yang terbuat dari campuran dashi putih dan kecap asin merembes keluar. Bayamnya juga empuk dan enak.

Hidangannya tampak cukup sederhana, tetapi pengalaman membuat perbedaan.

Ayase-san memasukkan ohitashi bayam yang sudah jadi dan aburaage yang sudah dipotong sebelumnya ke dalam panci kecil, menambahkan bumbu secukupnya, dan mematikan api pada waktu yang tepat agar dingin. Dia mengatakan bahwa ketika hidangan yang direbus mendingin, rasanya akan meresap. Aku telah berjuang untuk mematikan api pada saat yang tepat ketika hidangan lainnya sudah siap dan pada suhu yang dapat dimakan.

Ayase-san menyatakan kalau itu hidangan sederhana. Dia baru saja membuang semua bahan menjadi satu dan selesai. Tetapi orang yang berpengalaman cenderung lupa bahwa akal sehat mereka tidak begitu umum bagi orang lain. Konon, hidangan jamur salmon dan mentega ini cukup sederhana bahkan untuk dibuat oleh juru masak rendahan seperti diriku.

Aku mengoyak salmon dengan sumpitku dan membawanya bersama beberapa jamur ke mulut u. Rasa kecap dan mentega memenuhi mulutku. Sumpit aku segera meraih nasi putih. Jamur itu disebut bunashimeji. Aku suka bagaimana aku masih bisa merasakan serat di dalamnya bahkan saat dimasak.

Hidangan utama hari ini adalah melakukan pekerjaan yang baik sebagai pencuri nasi. (TN: Pencuri nasi (飯 æ³¥ 棒 ) dapat merujuk pada hidangan atau masakan yang sangat lezat sehingga orang tidak dapat menahan diri untuk memakannya dalam jumlah banyak, seolah-olah mereka sedang “mencuri”.)

Rasanya sungguh mengejutkan bahwa hidangan lezat seperti itu bisa dibuat dalam microwave. Itu benar, alasanku mengatakan itu cukup sederhana sampai aku sendiri mungkin bisa membuatnya karena microwave. Tampaknya menggoreng atau memanggang lebih umum dalam memasak, tetapi hari ini semuanya tentang efisiensi maksimum. Mereka tidak dibutuhkan. Plus, melakukan lebih banyak berarti aku melangkahi peranku sebagai “asisten”.

Cepat dan mudah.

Itulah nama permainan untuk Resep Mudah Untuk Mengukus Ikan Salmon dan Jamur Mentega Dengan Microwave

Aku selalu kagum dengan repertoar resep Ayase-san.

Dia ingin memasak dengan benar tetapi juga realistis tentang apa yang bisa dia lakukan dengan waktu dan bahan yang tersedia untuknya. Ini sangat khas dari dirinya.

Yang aku lakukan hanyalah mengikuti instruksinya dan memasukkan bahan-bahannya untuk waktu yang sesuai. Ayase-san memotong dan membumbuinya. Namun, itu sesuai seleraku. Jumlah yang tepat dari rasa asin dan kekayaan. Kapan dia menyesuaikannya dengan seleraku, meskipun aku tidak pernah pilih-pilih makanan?

Saat aku makan nasi panas yang mengepul, aku mulai menginginkan sesuatu yang dingin. Saat itulah acar lobak daikon bersinar. Teksturnya yang renyah sangat kontras dengan nasinya, menambah warna dan kenyamanan pada makanannya. Masakan Ayase-san benar-benar enak, seperti biasa.

Saat aku sedang menikmati makan malamku, Ayase-san tiba-tiba mengangkat sebuah topik.

“Ini sudah hampir ... setahun, bukan?”

Sumpitku mendadak berhenti.

Apa yang dia bicarakan? Oh, benar.

Sudah setahun sejak kami bertemu dan mulai hidup bersama.

“Sejujurnya, aku sedikit terkejut saat itu. Kupikir aku akan mendapatkan seorang anak SD sebagai saudara tiriku, tetapi ternyata seorang gadis yang sebaya.”

“Ah ya, yang begitu pernah terjadi, bukan?”

Ayase-san memberiku senyum masam. Dia pasti ingat pertama kali kita bertemu.

Dia tidak suka difoto, jadi hanya ada foto dari masa kecilnya. Di tambah lagi, Akiko-san lupa menyebutkannya, jadi kupikir aku mendapatkan adik perempuan yang jauh lebih muda.

“Kamu tahu, pada saat itu aku sudah menyiapkan diri.”

“Menyiapkan diri?”

“Hidup dengan seseorang yang tidak bisa aku ajak berkomunikasi. Itu sebabnya aku senang itu kamu, Asamura-kun. Aku senang itu adalah seseorang yang mau menyesuaikan diri satu sama lain.”

“Akulah yang seharusnya mengatakan itu…”

Aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

“Aku tidak akan memiliki harapan besar darimu, jadi aku ingin kamu melakukan hal yang sama untukku.”

Itulah yang dikatakan Ayase-san saat kami pertama kali bertemu.

Tidak mengharapkan apapun dari satu sama lain, dan berinteraksi satu sama lain dengan asumsi begitu. Itu seharusnya menjadi saling pengertian kita.

Aku menyadari itu sama dengan masalah rotasi memasak kami.

Justru karena kami tidak melewati batas satu sama lain, kami dapat mempertahankan status quo. Tetapi untuk alasan yang sama, komunikasi yang baik di antara kita adalah kuncinya.

Begitulah cara kami membangun hubungan kami saat ini.

Sungguh menggelikan bahwa kami dapat membagi tugas-tugas rumah tangga kami tetapi tidak dapat membicarakan hal-hal yang paling penting.

Mungkin aku belum berkomunikasi dengannya sebanyak yang seharusnya.

Aku merasa seperti itu lagi.

“Hei, Ayase-san, mohon dengarkan,” kataku, dengan lembut meletakkan mangkuk nasi dan sumpitku.

Kemudian aku menumpahkan isi hati aku tentang frustrasi aku baru-baru ini.

Betapa sulitnya aku berkonsentrasi sejak kami bergabung di kelas yang sama. Bagaimana aku tidak bisa mengubah situasi tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Bagaimana nilaiku tidak membaik. Dan, yang terpenting, bagaimana aku mengesampingkan masalahku dan mengabaikannya.

Ayase-san juga berhenti makan untuk mendengarkan.

Setelah mendengarkan sampai akhir, dia perlahan membuka mulutnya untuk berbicara.

“Itu sama bagiku. Sejujurnya aku pun mengalami kesulitan yang sama.”

"Hah?"

“Nilaiku merosot dan aku bahkan tertidur di kelas…”

Terus terang saja, aku cukup terkejut. Aku tidak bisa mempercayai telingaku.

Ayase-san yang selalu berusaha sempurna, setidaknya di luar rumah, tertidur di tengah kelas?!

“Aku juga tidak mencoba menyesuaikan diri denganmu.”

Aku tidak menyadarinya. Tidak, aku tidak bisa menyadarinya. Pikiranku begitu sibuk dengan masalahku sendiri untuk memikirkan Ayase-san. Aku tidak menyadari bahwa dia juga berjuang juga.

“Tapi, kamu tahu, jika itu aku sampai kemarin, aku mungkin takkan bisa menyesuaikan satu sama lain dengan baik bahkan jika kita mencobanya. Sebenarnya…"

Dia memberitahuku tentang apa yang terjadi hari ini.

Sepulang sekolah, Ayase-san pergi jauh-jauh ke Universitas Wanita Tsukinomiya dan berkonsultasi dengan Profesor Kudou tentang kemerosotannya baru-baru ini.

“Aku ingin kamu mendengarkan apa yang telah aku pelajari, Asamura-kun. Kemudian, aku ingin kita mengerjakannya bersama-sama. Bisakah kita melakukan itu?”

Setelah menanyakan itu, Ayase-san mulai menceritakan percakapannya dengan Profesor Kudou.

Ada satu kata yang terus bermunculan: kodependensi.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama