Bab 11 — 7 Juni (Senin) Asamura Yuuta
Tanggal 7 Juni merupakan
tanggal spesial bagi keluarga Asamura-Ayase yang baru bergabung.
Tanggal tersebut jauh lebih
penting daripada hari libur nasional mana pun, tetapi tidak ada entri kalender
yang menyisihkan hari itu sebagai hari yang istimewa.
Namun, itu adalah acara yang
sangat besar bagi kami sehingga orang tua kami mengubah rutinitas harian
mereka, terutama untuk tanggal tersebut.
Tanggal 7 Juni adalah
peringatan satu tahun kami semua mulai hidup bersama.
Tepat satu tahun yang lalu,
Akiko-san, Ibu tiriku, dan Ayase-san, adik tiriku, pindah ke rumah tempat di
mana aku dan ayahku tinggal.
Tapi, hanya karena ini hari
jadi, tidak ada yang berubah. Selain kami berempat yang bersama, itu hanyalah pagi yang biasa.
Wajah pertama yang aku lihat di
meja sarapan adalah wajah Ayase-san, wajah itu sudah dicuci dan riasannya yang terlihat
natural sudah diterapkan, sudah siap untuk berangkat sekolah.
Sarapan ala Jepang Akiko-san
sama lezatnya dengan Senin lalu.
Aku duduk di meja dengan aroma
ikan bakar di udara. Ayase-san duduk di sebelahku, Ayahku di depanku, dan
Akiko-san di sebelahnya — tempat duduk tetap dari keluarga kami yang terdiri
dari empat orang. Ya, kami hanya berada di habitat alami sebagai sebuah
keluarga.
Saat ini bukanlah situasi yang
membuatku merasa gugup atau cemas, hanya santai.
Aku terlalu salting dengan
kehadiran Ayase-san akhir-akhir ini. Aku merasa keberadaanku sendiri seperti
awan gas tak berbentuk yang secara otomatis berubah bentuk saat dirinya berada
di dekatku. Aku telah tersiksa oleh perasaan melayang dan tidak berbobot
seolah-olah aku sedang berenang di udara dan tidak mampu menjaga kakiku tetap
di tanah.
Tapi sekarang, semuanya
baik-baik saja.
Walaupun aku bisa merasakan
kehadiran Ayase-san di sampingku, aku bisa tetap tenang. Pikiran dan
penglihatanku mulai terasa jernih, dan aku bahkan dapat melihat makarel
panggang di depanku dengan detail yang jelas.
“Bisakah kamu mengambilkan
kecap untukku — Saki?”
“Tentu, ini dia —
Yuuta-niisan.”
Ada sedikit keterlambatan,
tetapi dibandingkan minggu lalu, kami dapat menggunakan nama depan satu sama
lain dengan lebih lancar.
Saki sudah memanggilku “Nii-san” di hadapan orang tua kami
untuk sementara waktu sekarang, dan aku memanggilnya “Saki”, yang mana awalnya agak canggung, tetapi setelah beberapa
hari, akhirnya aku mulai terbiasa.
Ayahku tidak mendengus, dan
senyum Akiko-san dengan jelas menunjukkan bahwa dia menganggapnya menawan.
“Kalian berdua tampak lebih
akrab satu sama lain dibandingkan tahun lalu. Aku senang kalian berdua
tampaknya bergaul dengan baik. ”
“Banyak yang bisa berubah dalam
setahun,” kata Saki dengan santai saat Akiko-san menghela nafas lega.
Bukan hanya waktu yang bisa
menyelesaikan segalanya, tetapi sebaliknya juga, kami telah melalui perubahan
bertahap dan ketidakberaturan untuk mencapai posisi kami saat itu.
Menilik kembali k belakang, “Ada banyak yang bisa berubah dalam setahun”
merupakan ungkapan yang bisa menyimpulkannya
dengan cukup baik. Setidaknya, rangkuman sederhana itu sudah cukup bagi orang
tua kami—yang tidak tahu bahwa kami berjuang untuk menemukan jarak yang tepat
di antara kami hingga saat ini.
“Tapi jika ada sesuatu yang
tidak beres dengan pengaturan saat ini, beri tahu kami. Kami akan melakukan
yang terbaik untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi kalian berdua.”
“... Apa Ayah berbicara tentang
ujian UTS kami?”
“Ah, baiklah, itu... Kalian
berdua sepertinya mengalami masa-masa sulit dengan hal itu,” kata Ayahku
ragu-ragu.
Ia mungkin mencoba untuk
mempertimbangkan tekanan yang kami alami sebagai pelajar.
“Jangan khawatir. Aku sudah tahu
penyebabnya.”
“Benarkah?”
“Ya, kami tidak bisa sepenuhnya
berkonsentrasi pada ujian UTS kami karena kami disibukkan dengan ujian masuk
dan membiasakan diri dengan lingkungan sekolah baru. Tapi kami tidak akan
menggunakan itu sebagai alasan untuk mengendur. Kami tahu alasannya, jadi kami
bisa melakukan yang lebih baik lain kali.”
Aku tidak berbohong. Lebih
tepatnya, kurangnya konsentrasi disebabkan oleh hubunganku yang hampir saling bergantung
dengan Ayase-san. Tapi aku belum bisa mengatakan itu, dan aku juga tidak perlu
melakukannya.
“Aku juga sudah membicarakannya
dengan Saki.”
“Mm ... jangan khawatirkan
kami.”
“Baiklah. Jika kalian berdua
mengatakan kalau semuanya aman-aman saja, kami mempercayai kalian.”
“Hehe, lihat, ‘kan? Aku sudah
memberitahumu, bukan?”
Akiko-san tersenyum bangga
sambil menyentuh bahu orang tuaku yang merosot.
Apa
yang sedang dia maksud?
Saat Ayase-san dan aku bertukar
pandang dengan kebingungan, Akiko-san dengan nakal berbicara seperti anak SD
yang mengadu pada seseorang.
“Taichi-san khawatir ia mungkin
telah melakukan sesuatu yang aneh dan tanpa disadari menyebabkan semacam stres
bagi kalian berdua."
“Ah, Akiko-san, memangnya kamu
benar-benar perlu memberi tahu mereka tentang itu?”
“Tidak apa-apa, tidak perlu
menyembunyikannya segala. Selain itu, masalah ini terkait dengan percakapan
yang akan kita lakukan nanti.”
“Yah...iya, kamu benar. Itu
benar.”
Percakapan
apa yang akan kita lakukan nanti?
“Kalian berdua sepertinya
sedang berusaha keras, dan kami khawatir itu mungkin karena kami akan menikah.
Kami mengalami banyak hari ketika kami tidak berada di rumah karena pekerjaan,
dan meski kami baru-baru ini melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga, tapi
memang benar kalau kamu masih harus menghabiskan waktu untuk pekerjaan rumah
dan memasak. Kami pikir mungkin keluarga normal akan memberikan lingkungan yang
lebih baik untuk belajar.”
““Sama sekali tidak.””
Penolakan kedua kakak beradik
tiri itu saling tumpang tindih.
“Kamu sudah bersikap baik
kepada kami. Kami tidak ingin terlalu menuntut dan meminta lebih.”
“Hehe, apa yang kubilang,
Taichi-san? Mereka berdua sama-sama kuat dan dapat diandalkan. Semuanya akan
baik-baik saja.”
“Hahaha. Ya kamu benar. Aku
minta maaf karena tidak cukup mempercayai kalian berdua.”
Dengan dukungan Ayase-san dan
Akiko yang menggodanya, ayahku menggaruk bagian belakang kepalanya, terlihat
malu.
Meskipun ia tertawa malu, aku
tahu bahwa itu adalah masalah serius baginya.
Bersama dengan ibu kandungku,
dirinya mengira ia baik-baik saja, tetapi tanpa disadari, ikatan tersebut sudah
putus. Ayahku hanya berusaha bekerja keras dan menafkahi keluarganya, ia justru
disalahkan seolah-olah dirinya lah satu-satunya yang salah, dan hubungan itu
berantakan. Itu mungkin kenangan yang masih membekas di dalam ingatannya.
Ingatan tersebut sedikit
memudar sejak dirinya menikah lagi, tapi itu masih melekat sebagai residu keruh
jauh di dalam hatinya.
Itu sebabnya dirinya lumayan peka
terhadap ketidaknyamanan atau kegelisahan sekecil apa pun dari keluarga kami,
termasuk Saki dan aku, dan mengkhawatirkannya.
Kupikir fakta bahwa ayahku bisa
santai dan terlihat lega hanya dengan sedikit penyesuaian satu sama lain adalah
bukti bahwa ia telah mengatasi traumanya dan hidup bahagia sekarang.
...Tunggu,
kira-kira apa topik utamanya lagi?
Akiko-san tadi sempat mengatakannya,
“Selain itu, ini terkait dengan percakapan yang akan kita lakukan nanti."
“Um, aku mengerti kamu
khawatir, tapi ... tentang apa yang ingin Ayah bicarakan?”
“Oh, benar, benar. Tentang
itu…"
Ayahku mencondongkan tubuh ke
depan dan dengan penuh semangat menjelaskan, “Akhir pekan depan, aku berpikir
untuk melakukan perjalanan pada hari Sabtu dan Minggu.”
“Hah? Kita berempat?”
“Tidak. Um, maaf, aku ingin melakukan
perjalanan dengan kita berempat, tapi kali ini…”
“Hanya kalian berdua untuk merayakan
ulang tahun pernikahanmu, ‘kan?”
Melihat ayahku sedang berjuang
untuk mengeluarkan kata-kata, Ayase-san datang dengan bantuan.
Ah,
sekarang aku mengerti.
Keluarga baru kami telah
bersama selama setahun, tapi itu juga berarti itu adalah ulang tahun pernikahan
pertama Akiko-san dan ayahku.
“Walaupun sekarang agak
terlambat, tapi aku ingin merayakan hari pernikahan kami. Tapi Taichi-san
khawatir tidak ada gunanya membicarakan perjalanan pada saat kalian berdua
sedang berjuang dengan studi kalian.”
“Oh, jadi begitu ... aku tidak
tahu kamu bisa begitu perhatian, Ayah.”
“Yuuta, apa kamu sedang mengolok-olok
ayahmu?”
“Tidak, aku sebenarnya mengagumi
sifat tidak tahu malu ayah.”
“Wow, cara yang bagus untuk
mengatakannya. Kamu dengar itu, Akiko-san? Yuuta selalu seperti ini!”
“Hehehe.”
Godaan jenaka antara ayah dan putranya,
dan keluhan berlebihan dari ayah membuat ibu tertawa terbahak-bahak dan adik
perempuan menggelengkan kepalanya dengan senyum masam. Aku menyukai adegan kami
sebagai sebuah keluarga. Pikiran itu datang dengan sangat alami di dalam kepalaku.
Aku yakin Ayase-san merasakan hal yang sama seperti ketika aku meliriknya dan pandangan
mata kami bertemu, dia tersenyum lembut.
Dan aku tahu tanggapan kami terhadap
usulan orang tua kami sama: “Tidak apa-apa, silahkan pergi dan nikmati
perjalanan kalian berdua sebagai pasangan.”
Kalau dipikir-pikir, tahun lalu
yang menjadi salah satu kekhawatiran mereka ialah anak-anak mereka—yaitu, kami.
Belum banyak kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu berkualitas
bersama sebagai pasangan suami istri. Sebagai pasangan yang sama-sama bekerja
dan memiliki jadwal yang berbeda, aku ingin mereka menikmati hari perayaan
pernikahan mereka tanpa gangguan. Itulah perasaan tulus yang aku dan Saki
bagikan kepada orang tua kami.
“Terima kasih, kalau begitu aku
pasti akan bersenang-senang,” kata Akiko-san sambil
tersenyum.
Melihat wajah bahagia orang tua
kami, Saki dan aku yakin bahwa kami telah memilih kata yang tepat untuk
diucapkan.
Namun, itu hanya sebatas sampai
kami mendengar ucapan Akiko-san selanjutnya.
“Kalian berdua akan sendirian
selama akhir pekan, jadi berhati-hatilah saat mengunci. Kami akan meninggalkan
sejumlah uang untuk digunakan sesuka kalian berdua. Kalian bisa makan di luar
jika tidak punya waktu untuk memasak atau memasak di rumah. Kalian berdua
bahkan dapat menggunakannya sebagai uang jajan.”
Aku tidak tahu pernyatan
terkejut “Hah?" keluar dari
mulutku atau mulut Ayase-san. Mungkin itu keluar dari kami berdua pada saat
yang bersamaan. Akhir pekan tanpa orang tua kami. Kami pernah mengalami malam
tanpa kehadiran mereka sebelumnya, tetapi hampir tidak ada hari ketika mereka
tidak kembali sama sekali.
Aku menelan ludah dengan gugup.
Di sekolah, hubungan kami akan semakin lebih dekat, dan di rumah, kami akan menjaga jarak.
Bagi kami—yang telah mengambil
langkah pertama dalam kehidupan baru kami sebagai sepasang saudara tiri dan
kekasih—peristiwa ini mungkin merupakan tantangan nyata pertama kami.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya