Bab 2 — 19 April (Senin) Ayase Saki
“Liburan Golden Week akan segera tiba, ya?”
Ketika seseorang mengatakannya
dengan nada seperti itu, aku terkejut dengan sudah seberapa banyak waktu yang
berlalu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu kami mengambil kursi baru kami
untuk jam wali kelas pertama di semester baru. Saat mendengar kalau hanya ada
10 hari tersisa di bulan April membuatku jadi ingin melakukan sesuatu.
Memangnya
sudah selama itu?!
Seperti yang dikatakan banyak
orang-orang, waktu berlalu dalam sekejap mata, dan dengan cara yang sama, aku merasa
terkagum dengan lingkungan sekitarku yang sudah banyak berubah sejak menjadi
anak kelas tiga.
Yang lebih mengejutkanku ialah situasi
yang aku alami——— menghabiskan waktu istirahat dengan mengobrol bersama sekelompok
gadis lain dari kelasku. Jika seseorang mengatakan kepadaku setahun yang lalu kalau
aku akan berada di posisiku hari ini, aku akan tertawa terbahak-bahak di
hadapan mereka.
Harus kuakui, ketika aku
melihat daftar kelas, aku memang sedikit kecewa. Aku tidak sekelas lagi dengan
Maaya, belum lagi gadis-gadis lain yang baru saja mengobrol denganku di kelas
sebelumnya.
Berbicara dengan Melissa,
seorang musisi yang aku temui secara kebetulan selama perjalanan sekolah kami
ke Singapura, membuatku menyadari kalau aku tipe orang yang lebih peduli
tentang bagaimana orang lain memandangku daripada yang kupikirkan sebelumnya.
Lalu, setelah merenungkannya dengan baik-baik, kurasa itu masuk akal. Baik itu
rambut, pakaian, dan riasan wajahku adalah “persenjataan”-ku semata-mata karena
aku benar-benar peduli dengan penampilanku di mata orang lain. Aku mengerti
kenapa aku tidak punya teman selain Maaya——— itu semua karena aku takut. Aku
takut nilai-nilaiku ditolak.
“Biar
kuberitahu, kamu perlu menemukan tempat di mana kamu bisa menjadi egois dan
sebebas yang kamu inginkan, atau kamu akan hancur berantakan.”
Menemukan tempat yang aman.
Dengan kata lain, tempat di mana aku bisa melakukan apa yang aku inginkan dan
menjadi diriku sendiri.
Setelah ayah kandungku pergi
meninggalkan kami, aku berusaha untuk tidak bersikap terlalu bergantung kepada
Ibu demi mengurangi bebannya. Tapi, Asamura-kun menerimaku apa adanya dan tidak
mengkritik gaya hidupku. Ia menjadi tempatku bersandar.
Menilik ke belakang, aku sudah
menemukan tempat perlindunganku untuk melarikan diri dari dunia dan tidak perlu
lagi takut akan penolakan. Aku seharusnya tidak memiliki masalah untuk lebih
dekat dengan teman sekelas selain Maaya… atau begitulah yang kupikirkan. Semua
antusiasme yang baru ditemukan itu hancur dalam sekejap mata ketika aku duduk
di kelas 3 dan aku melihat daftar kelas baru hampir sebulan yang lalu.
Yang ada justru aku kembali
menjadi Saki yang tertutup, sama seperti diriku setahun sebelumnya. Aku tidak
ingin membuang waktu untuk obrolan kosong; ada ujian masuk tahun ini yang perlu
dipertimbangkan. Kupikir akan lebih baik berkonsentrasi pada belajar dan
bekerja.
Asamura-kun berada di kelas
yang sama denganku sekarang, tapi aku tidak nyaman mengobrol santai dengannya
karena itu akan menarik tatapan penasaran dari teman-teman sekelasku. Aku belum
siap untuk itu.
Saat
ini, aku hanya ingin menjalani kehidupan yang damai dan lancar…
Sebenarnya, ketika aku berhenti
memikirkannya, keseharianku jauh dari damai sejak upacara pembukaan. Selain
itu, pemikiran-pemikiran negatifku berputar di luar kendali.
Jika aku punya waktu untuk
mempersiapkan diri secara mental, aku mungkin baik-baik saja dalam situasi ini,
tetapi saat aku mencoba untuk berbalik dan tidak terlibat, aku sudah terjebak
dalam lingkaran perempuan dan merasa kewalahan.
Bagaimana
ini bisa terjadi?
Yah, setidaknya itu sudah
jelas.
“Ayo, tenang napa. Aku paham
banget kenapa semua orang sedikit sebal karena tidak dapat melihat teman baru
mereka selama liburan Golden Week,
tetapi ini semua tentang apa yang kamu lakukan!”
“Oh? Kamu punya beberapa ide,
Ketua Kelas?”
“Yah, bukan berarti ada aturan
yang mengatakan kita tidak boleh bertemu di luar sekolah, ‘kan? Gimana kalau
kita semua pergi ke karaoke atau semacamnya?”
Ada gelombang suara persetujuan
di sekitar lingkaran gadis-gadsi.
Eh,
gadis yang menyarankan karaoke, siapa nama aslinya, ya? Karena
semua orang baru saja memanggil gadis berkacamata yang dimaksud sebagai “Ketua Kelas”, jadi sulit untuk
mengingat nama aslinya.
Bagaimanapun juga, dia
benar-benar kebalikan dariku dalam hal keterampilan sosial. Dia bahkan mungkin
bisa membuat Maaya kerepotan. Bahkan selama istirahat singkat 10 menit seperti
ini, dia dengan cepat dikelilingi oleh sekelompok teman sekelasnya. Karena aku
duduk di sebelahnya di kelas, jalan keluarku jadi terhalang.
“Hei, Ayase-san, kamu ada
rencana untuk liburan Golden Week
nanti?” Ryouko Satou, seorang gadis mungil dengan alis terkulai, bertanya
padaku. Semua orang memanggilnya “Ryo-chin”
atau “Oryou-san”, bukan yang pernah aku
alami karena itu terlalu memalukan. Satou-san, Maaya, dan aku pernah tidur
bersama selama piknik sekolah. Kami tidak terlalu dekat selama keas 2 kami,
tetapi akhir-akhir ini, dia tampaknya bersikap ramah kepadaku.
Um, apa yang dia tanyakan
padaku lagi...? Oh, sesuatu tentang rencana liburan Golden Week, ya.
“Aku mungkin hanya belajar
untuk ujian try-out,” jawabku, tapi balasanku justru disambut dengan ekspresi
terkejut.
Memangnya saking mengejutkannya,
ya? Lagi pula, kami sudah menginjak kelas 3 dengan ujian masuk universitas sudah
dekat. Sebelum aku menyadarinya, percakapan berubah menjadi aneh.
Dia bertanya mengapa tidak
ingin “melakukan hal-hal lain” selain
belajar dan dilanjutkan dengan, “Seperti
melakukan banyak hal dengan pacarmu, misalnya…?”
Percakapan mereka selalu
seputar hal ini selama beberapa minggu terakhir ketika aku menemukan diriku terjebak
dalam lingkaran. Bersama dengan gadis-gadis SMA, tidak peduli bagaimana
percakapan dimulai, itu selalu mengarah pada topik yang sama — percintaan.
Tetap
saja, bagaimana percakapannya malah berubah menjadi apa yang akan kulakukan
dengan pacarku?
“Ngomong-ngomong, apa yang kamu
maksud dengan 'melakukan sesuatu'?
Apa yang sebenarnya ingin kita lakukan?”
Ketua Kelas lalu menimpali, “Yah,
misalnya saja seperti berkencan?”
Kencan, ya? Kalau
dipikir-pikir, apa yang dimaksud dengan ‘kencan’?
Apa aku pernah melakukannya dengan Asamura-kun?
“Makan bersama…”
Kami sudah melakukan itu
sepanjang waktu.
“Menonton film…”
Yap, kami pernah melakukannya
pada hari Natal.
“Membuat makanan dengannya…”
Ia baru-baru ini membantuku memasak,
jadi itu juga dicentang.
“Jadi begitu ya. Um, hanya itu
saja?”
“Yah, ya… tapi apa kamu
mengatakan kalau kamu ingin melakukan lebih dari itu, Ayase-san?”
Aku bisa merasakan kalau pipiku
memanas ketika otakku menangkap mulutku dan menyadari apa yang baru saja aku
katakan. Apa aku baru saja membuat diriku terlihat seperti ahli kencan?
Aku mencoba untuk mengatakan “Tidak, bukan begitu maksudku,” tetapi
bel jam pelajaran pertama berbunyi sebelum aku bisa mengeluarkan kata-kata.
Guru Sastra Jepang Modern kami
masuk dan kelas yang berisik menjadi tenang. Tapi aku merasakan perasaan menusuk
di belakang leherku seolah-olah semua orang memperhatikanku. Otak paranoidku
memberitahuku bahwa mereka pasti akan bergosip di belakangku.
Uuu,
aku mengacaukannya. Semua orang pasti berpikir kalau aku orang aneh sekarang.
Satou-san hanya berbicara
secara umum tentang melakukan sesuatu dengan laki-laki secara umum selama liburan
Golden Week, tapi pikiranku langsung tertuju pada Asamura-kun.
Sepanjang jam pelajaran Sastra
Jepang Modern aku hanya setengah memperhatikan, karena aku berkubang dalam
penyesalan mengenai hal yang sudah aku katakan.
Ahhh,
kenapa aku harus mengatakan itu? Ini sangat memalukan.
Ketika bel berbunyi, aku
merosot di atas mejaku, dengan kepalaku berpangku di tanganku. Ini sangat tidak sepertiku – aku
biasanya berusaha mempertahankan wajah percaya diri setiap saat. Itulah mengapa
aku berjuang dengan obrolan ringan. Bagaimana orang lain menjelajahi gelombang
percakapan dengan begitu mudah?
Aku memiringkan wajahku yang
sampai sekarang telungkup, dan mengintip ke kursi dua baris di belakang dan
satu di sebelah kiriku.
Aku
ingin tahu apa Asamura-kun melihat adegan memalukan itu? Aku harap jangan.
Tapi Asamura-kun bahkan tidak
menatapku; sebaliknya, ia mengobrol dengan anak laki-laki lain di kelas kami.
Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi sepertinya mereka bersenang-senang.
Aku tidak tahu banyak tentang
lingkaran pertemanan Asamura-kun, tapi ia sudah dengan santai berbicara dengan
anak laki-laki yang mungkin tidak ia kenal dengan baik. Itu membuatku merasa
menyedihkan.
Mungkin Asamura-kun sebenarnya
cukup ramah. Ia selalu mendengarkan dengan cermat kekhawatiran pelanggan di
tempat kerja. Ia mengatakan kalau satu-satunya temannya adalah Maru-kun, tapi
di sini ia melangkah ke hubungan baru. Aku pikir dia melakukan yang terbaik,
itu bagus.
Dan
ia kelihatannya bersenang-senang… tapi aku juga sedikit iri.
Tidak terlalu cerewet di kelas
adalah usulanku sendiri, dan sekarang aku bahkan tidak bisa berbicara dengan
orang yang paling dekat denganku. Tapi, meskipun ia tidak bisa berbicara denganku,
ia malah bersenang-senang dengan orang lain.
Dan
di sinilah diriku, membenamkan wajahku di mejaku, berpura-pura tidak mendengar
suara-suara di sekitarku.
“Hei, Ayase-san. Moshi~moshi~
Ayase-san~?”
Aku mengangkat kepalaku sedikit
untuk melihat Ketua Kelas mengintip wajahku saat dia memanggil namaku.
“… Hm?”
“Um, maksudku, anting-anting
itu—” dia menusuk telinganya sendiri
dengan jari ketika dia berkata “itu”.
“Oh. Ya.”
Aku segera duduk tegak.
Apaan?
Apa dia akan memberitahuku untuk melepas anting-antingku? Jabatan Ketua Kelas
memang bukan sekedar hiasan saja, ya.
“Aku berpikir kalau itu warnanya
lucu. Dimana kamu membelinya?”
“Hah?”
“Kenapa kamu malah terkejut begitu?”
“Ahh, aku mengira kalau kamu
akan menyuruhku untuk melepasnya.”
“Hah? Itu tidak melanggar
aturan sekolah, bukan?”
“Yah, kurasa begitu…”
Peraturan sekolah SMA Suisei
secara mengejutkan cukup longgar untuk sekolah yang berfokus pada keunggulan
akademik. “Jangan terlalu mencolok. Tunjukkan
beberapa kedisiplinan,” kata guru galak yang bertanggung jawab atas
bimbingan siswa kepada kami, tetapi secara keseluruhan, sekolah memiliki sikap
santai-santai saja. Jika tidak, aku pasti sudah dikeluarkan sejak dulu karena
mewarnai rambutku dan mengenakan anting-anting. Di sisi lain, jika kamu gagal
dalam bidang akademik, mereka akan memaksamu untuk mengulangi sepanjang tahun.
Jadi beberapa orang mengatakan kalau sekolah kami terasa lebih seperti universitas
daripada sekolah SMA.
“Jadiiii, di mana kamu membelinya?”
Aku mencari-cari ingatanku.
“Di sebuah toko di Center-gai
... mungkin.”
“Oh wow. Selera yang bagus.
Jepit rambutmu juga sangat imut. Apa kamu sengaja memilihnya karena itu
terlihat serasi dengan rambutmu?”
“Um, ya.”
Bisakah
aku benar-benar tidak mengatakan apa pun selain “um”?
“Hei, bisakah aku bergabung
dengan kalian?” tanya orang yang bertanggung jawab atas bencana sebelumnya. Aku
tahu Satou-san tidak bermaksud jahat sama sekali. Cuma aku saja yang
mengacaukan tanggapanku.
“Tentu, silakan. Kami hanya
berbicara tentang bagaimana Ayase-san memiliki selera yang baik. ”
“Bener banget, ‘kan?”
Satou-san mengangguk dengan
penuh semangat, begitu banyak sehingga aku khawatir kepalanya akan tersentak.
Entah itu anya sanjungan
basa-basi atau tidak, aku masih senang dipuji. Manusia adalah makhluk yang
berkembang dengan pujian.
“Ya. Meskipun kami berakhir di
kelas yang sama hanya tahun ini, aku sudah tahu Ayase-san bahkan sebelum itu.”
“Hah?”
“Eh, kelas kami bersebelahan
saat kita masih kelas 1. Kamu tidak ingat? Aku bahkan mencoba berbicara denganmuketika
jam pelajaran olahraga bersama beberapa kali.”
Aku menggelengkan kepalaku. Aku
tidak ingat sama sekali.
Kalau dipikir-pikir lagi
sekarang, aku sangat menjaga jarak di sekitar siswa lain selama kelas 1. Setelah
meninggalkan ketatnya peraturan sekolah SMP, aku pikir memasuki sekolah SMA
yang menjunjung tinggi kemandirian para siswanya adalah kesempatan bagus untuk
memoles penampilan diri dan batinku. Tindik dan mewarnai rambut tidak melanggar
aturan sekolah, dan kupikir gaya semacam itu cocok denganku. Tapi, meskipun
tidak melanggar aturan apa pun, aku terus-menerus mendengar pernyataan sinis
dan rumor yang tidak berdasar dari siswa lain yang menyebutku sebagai ‘Gadis gal pirang yang tampak seperti
berandalan'.
Tapi mungkin saat itu aku
terlalu berhati -hati, dan mungkin ada orang -orang yang hanya mengira aku baik
seperti perwakilan kelas. Itulah yang kurasakan sekarang.
Satou-san mengemukakan kenangan
perjalanan sekolah kami. Itu wajib untuk mengenakan seragam kami saat dalam
perjalanan, tetapi kami bebas memakai apa pun yang kami inginkan di hotel.
Satou-san benar-benar mengingat pakaian dan aksesoriku sejak saat itu dan mulai
mengoceh masing-masing yang menurutnya lucu. Karena terlalu fokus dalam
menghidupkan kembali kenangan itu, suaranya terdengar lembut dan gembira.
“Aww, bukannya dia terlalu
menggemaskan!” Ketua kelas mengomentari itu ketika memeluk Satou-san dari
belakang dan mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar lucu.
“Tapi aku tidak pandai dalam
mode dan sebagainya.”
“Ayolah, itu sama sekali tidak
benar, kok. Iya ‘kan, Ayase-san?”
“Yah, um… kurasa begitu.”
Penampilan dan gerakan
Satou-san membuatnya terlihat seperti binatang kecil——jadi menyebutnya lucu
adalah pernyataan yang meremehkan.
“Tapi, umm ... aku ingin menjadi
bergaya seperti Ayase-san juga.”
“Fashion adalah semua tentang
latihan. Jika kamu bergaul dengan Ayase-san, dia mungkin akan mengajarimu satu
atau dua hal.”
“Kedengarannya bagus.”
“Hei, Ayase-san, apa kamu akan
menerima murid pelatihan?”
“Um, yah itu sih...”
“Misalhnya saja seperti, cara
memilih pakaian yang bagus dan sejenisnya.”
“Jika hanya itu saja, maka
oke.”
Woahh,
mereka lagi-lagi berpelukan.
Dengan mereka berdua secara
praktis melompat kegirangan, yang bisa aku tawarkan hanyalah anggukan yang
tidak jelas dan komentar singkat dan percakapan yang dijalankan. Berada di
sekitar mereka terasa berbeda ketika bersama Maaya, tetapi itu masih membuatku
merasa nyaman.
Kupikir aku sudah terbiasa
mempertahankan percakapan bahkan ketika itu tidak sesuai dengan minatku sendiri
karena seperti itulah persahabatanku dengan Maaya; Tapi sekarang setelah aku
memikirkannya, mungkin dia adalah orang yang benar-benar mengimbangi
percakapanku selama ini.
Jadi,
mungkin itu hanya membuatku menjadi pembicara yang jelek.
Walaupun masih merasa agak
canggung, aku berhasil mengikuti pembicaraan mereka berdua selama istirahat.
◇◇◇◇
Sepulang sekolah, aku harus
bekerja lagi.
Hari ini, Asamura-kun dan aku
bekerja di shift yang sama di toko buku tempat kami bekerja paruh waktu.
Asamura-kun pulang ke rumah dulu naik sepeda menuju stasiun, sedangkan aku
langsung berangkat ke sana dari sekolah. Ketika aku sedang bersiap bekerja,
manajer toko memberitahuku kalau Yomiuri-san tidak akan bisa bekerja di semua
shiftnya minggu ini karena dia sedang mencari pekerjaan.
Dari nada suaranya, aku
mendapat kesan bahwa pak manajer memperlakukannya sebagai masalah serius, tapi aku
tidak terlalu mengerti. Maksudku, Yomiuri-san sangat cakap dalam pekerjaannya,
tapi jumlah pelanggan sepertinya sudah sedikit berkurang sejak awal tahun
fiskal yang baru.
Jawaban atas misteri ini segera
terungkap ketika seorang pelanggan bertanya tentang tanggal rilis sebuah buku
baru dan aku mencarinya. Tanggal rilis majalah dan buku baru berbeda dari
biasanya. Ada lebih banyak dari biasanya dan terkonsentrasi sebelum akhir
bulan. Selain itu, tidak akan ada pengiriman dari akhir April hingga awal Mei.
“Ah, itu karena Golden Week ya,”
gumamku pelan, dan seorang karyawan tetap berpengalaman yang berdiri di kasir
bersamaku mengangguk sebagai jawaban.
“Dibandingkan dengan akhir
tahun atau hari libur Obon, tidak terlalu buruk,” jelasnya.
“Jadi, kita perlu mengosongkan rak
pada akhir minggu ini, kan?”
“Itu benar. Ayase-san.
Sepertinya kamu benar-benar sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Kerja bagus!”
“Terima kasih.”
Lebih banyak pujian. Aku
penasaran apakah ada sesuatu yang istimewa tentang hari ini yang dapat
menjelaskan mengapa aku menerima begitu banyak pujian.
“Kalau begitu, kita perlu
melakukan pengembalian dengan hati-hati. Jika Yomiuri-san ada di sini, dia akan
membereskannya dalam waktu singkat karena dia ahli dalam hal ini.”
Berbeda dengan perpustakaan
yang tujuannya adalah untuk mengawetkan buku, toko buku yang menimbun rilisan
baru memperlakukan buku yang terlalu lama berada di rak sebagai inventaris
buruk yang menghabiskan ruang rak yang berharga. Tapi, tidak seperti setiap
buku yang ada di rak terjual secara instan.
Seperti yang pernah dikatakan
Asamura-kun, ada pelanggan yang senang, setelah mencari dan mencari, akhirnya
menemukan buku yang mereka cari dan menjadi pelanggan tetap. Ia juga mengatakan
kalau pelanggan semacam itu jumlahnya tidak banyak. Itulah sebabnya, penting
bagi karyawan untuk memiliki kemampuan menentukan buku mana yang akan
dikembalikan dan mana yang harus disimpan di rak.
Asamura-kun mengambil alih
mesin kasir dan aku berjalan menuju rak. Aku berjalan berkeliling dan memeriksa
tingkat stok buku yang ditumpuk dan menunggu untuk disimpan, memindai rak untuk
mencari ruang yang tersedia, dan mengisinya kembali seperlunya. Jika buku
berada di tempat yang salah, aku akan memperbaikinya, dan jika aku menemukan
pelanggan berkeliaran mencari sesuatu, aku bertanya apakah mereka membutuhkan
bantuan.
Aku masih belum terbiasa
mendekati pelanggan. Mungkin itu karena aku sendiri tidak ingin didekati di
toko, tetapi aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa aku mengganggu. Tetap
saja, jika itu demi pekerjaan, aku membuka mulut dan bergerak.
Kelemahanku
yang sebenarnya adalah… percakapan tanpa tujuan.
Meski belakangan ini aku mulai
berpikir pandai berbasa-basi sangat penting untuk memiliki hubungan yang baik
dengan orang-orang, baik di kelas maupun di tempat kerja.
Menapaki lantai yang dipoles
dan mengkilap, aku berjalan di antara rak-rak. Tanpa kusadari, pandanganku
melayang ke buku-buku pengetahuan bisnis—mungkin karena sudah terlintas di
benakku. Sepertinya ada banyak buku dengan judul seperti “Cara Berbicara Efektif dengan Bos-mu” dan “Metode Komunikasi dengan Bawahan Generasi Baru”. Mungkin banyak
orang kesulitan dengan komunikasi di tempat kerja.
Contohnya, aku juga belum
banyak berbicara dengan dua mahasiswa baru paruh waktu. Aku khawatir bahwa aku
mungkin membuat mereka tidak nyaman.
Meskipun toko buku ini adalah
pekerjaan pertamaku, aku menyadari kalau akulah orang yang tidak ingin
diremehkan atau dipandang rendah. Jadi jika aku memiliki bos yang menyalahgunakan
kekuasaannya, apa aku dapat menghadapinya? Aku merasa tidak mampu melakukannya.
Bahkan ada kemungkinan aku akan membentak dan berhenti pada saat itu juga. Apa
yang membuatku terus maju adalah memiliki Asamura-kun, seseorang yang dekat
denganku yang bisa kuandalkan, bekerja di sini juga. Dan tentu saja Yomiuri-san,
yang selalu membantuku juga.
Jika
aku bekerja di mana aku tidak mengenal siapa pun ...
Faktanya, aku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang-orang yang kasar. Tetapi jika seseorang mengangkat
bahu dan mengatakan itu “Hanya bagian
dari pekerjaan”, aku tidak tahu bagaimana menanggapinya.
“Jadi beginilah yang namanya pekerjaan, ya.”
Saat giliran kerjaku berakhir,
aku berganti pakaian biasa dan menuju ke kantor bersama Asamura-kun. Kami
mampir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang tetapi malah
menemukan Yomiuri-san, yang seharusnya tidak bekerja, duduk di sana.
Percakapan beralih ke pencarian
pekerjaan untuk sementara waktu, dan dia mengatakan kepadaku untuk mulai
memikirkan masa depanku lebih cepat daripada nanti.
Aku mendapati diriku secara
tidak sadar memikirkan jenis pekerjaan macam apa yang aku inginkan saat
Asamura-kun dan aku berjalan pulang. Aku belum benar-benar memikirkan sesuatu
yang spesifik. Toko buku itu mengajariku cara bekerja dengan baik dengan orang
lain, tapi aku merasa pekerjaan yang menghargai kemandirian akan lebih cocok
dengan kepribadianku.
Dengan asumsi kalau aku mirip seperti
Yomiuri-san dan mulai mencari pekerjaan di tahun ketigaku di universitas, itu
berarti aku harus memutuskan sesuatu dalam tiga tahun ke depan. Haruskah aku
menganggapnya kalau aku cuma memiliki tiga tahun, atau masih memiliki tiga
tahun untuk memutuskan? Untuk saat ini, aku memilih yang terakhir. Pikiranku
tentang masalah ini sekarang hanyalah spekulasi, tanpa melibatkan emosi yang
tulus. Pada kenyataannya, aku tidak dapat membayangkan akan menjadi seperti apa
aku dalam tiga tahun ke depan. Pertama-tama, hingga tahun lalu, aku selalu
dibimbing dengan prinsip individualisme.
Kebiasaan atau prinsip mandiri
dan tidak bergantung pada orang—begitulah individualisme didefinisikan jika kamu
mencarinya di kamus. Demi tujuanku sendiri, aku menafsirkannya sebagai
menghargai pemikiran dan kemandirian aku sendiri. Aku memiliki nilai dan standarku
sendiri untuk dilindungi. Aku memutuskan pada mereka sendiri. Tentu, terlalu
mementingkan diri sendiri juga tidak baik. Tapi, aku tidak ingin terpengaruh
oleh orang lain—itulah yang selalu aku yakini.
Tetap saja, aku menghabiskan
sepanjang hari dengan sangat sadar akan kehadiran Asamura-kun, sementara juga
tidak bisa berbicara dengannya. Hal tersebut membuatku merasa benar-benar
kesepian. Kami hanya bertukar pandang di kelas dan di tempat kerja. Aku ingin
mendengar suaranya. Aku ingin merasakan kehangatannya. Jika tidak, aku merasa
tanah di bawahku akan runtuh…
...Apa
ini benar-benar perasaan orang individualis?
Ketika aku melihat lampu-lampu
gedung apartemenku, perasaan lega menyapuku. Kurasa inilah yang dirasakan
seorang pengembara ketika mereka menemukan rumah untuk kembali. Di sisi lain, aku
berniat untuk pindah dari tempat ibuku dan mulai hidup sendiri ketika aku masuk
universitas.
“Mencari pekerjaan, ya…”
gumamku saat pintu masuk mulai terlihat, dan kata-kataku terbawa angin musim
semi.
Aku membuka pintu depan
apartemen. Rumahku terasa sepi karena ibu dan ayah tiriku tidak ada di rumah.
Sejak April, kemungkinan kami berempat makan bersama menurun drastis—kecuali di
akhir pekan.
Apa ayah tiri benar-benar
sibuk? Aku harap dia tidak membuat dirinya sakit karena terlalu banyak bekerja.
Asamura-kun dan aku menyiapkan
makan malam bersama, dan kami makan saling berhadapan.
Karena sejak pagi hari kami
dibuat sangat sibuk, baru kali ini Asamura dan aku bisa mengobrol dengan
santai.
Kami mencoba menebusnya karena
tidak dapat berbicara di siang hari, tapi untuk beberapa alasan, kadang-kadang
sulit untuk menemukan kata-kata.
“Bagaimana sup miso hari ini?”
Sulit untuk menjawab pertanyaan
“bagaimana” rasanya, tapi Asamura-kun
memberiku pemikiran jujurnya.
“Mmm. Jamur nameko dan miso
akadashi berpadu serasi. Rasanya sangat lezat.”
“Aku senang mendengarnya.”
“Apa kamu membeli miso?”
Aku mengangguk.
Meskipun aku biasanya menggunakan
miso kome, yang paling mudah didapat di wilayah Kanto, kami memutuskan untuk
mengubah jenis miso khusus untuk hidangan ini, karena penggunaan akadashi
dengan jamur nameko adalah hal yang umum.
“Apa bedanya jika kamu
menambahkan akadashi miso lagi?”
“Yah, miso mame dibuat dengan
menambahkan kacang koji ke kedelai. Miso akadashi dibuat dengan menambahkan kome
miso dan dashi ke dalam miso mame.”
“Oh, begitu rupanya.”
“Selain itu, miso mugi dibuat
dengan barley koji. Kome, mame, dan mugi adalah tiga jenis utama miso, kurasa.
Asal dari miso akadashi adalah wilayah Tokai, tapi saat ini mudah untuk
mendapatkannya di Kanto juga.”
Kamu dapat membelinya di
supermarket, dan jika kebelet ingin memasaknya, kamu selalu bisa mendapatkannya
secara online. Belanja online menawarkan berbagai macam miso dari seluruh
Jepang, bukan berarti aku akan membelinya, sih. Aku yakin jika aku benar-benar
mulai melakukannya, pada akhirnya aku akan menyelenggarakan festival sup miso
berskala nasional. Asamura-kun pasti akan senang, kurasa.
Aku harus menambahkan varian
lain, bahan lain hari ini hanya tahu dan jamur nameko.
Tahu itu dipotong dadu
kecil-kecil. Jika aku memiliki mitsuba, aku ingin menambahkan beberapa potongan
halus juga, tetapi sayangnya, kami tidak memilikinya hari ini.
“Nameko memiliki tekstur yang
bagus dan cukup mudah untuk ditelan, ‘kan?”
“Memang. Nameko memberikan sensasi
yang bagus saat kamu menggigitnya, dan gampang masuk ke tenggorokan.”
Jika tidak hati-hati, kamu
mungkin tidak sengaja menelannya tanpa mengunyahnya.
“Itu sangat cocok dengan nasi
juga.”
“Ngomong-ngomong, aku menemukan
resep nasi campur jamur nameko online tempo hari…”
Kami mengobrol sebentar tentang
bahan nasi campur. Sangat menyenangkan memiliki percakapan seperti ini, tetapi aku
hanya ingin lebih…
“Terima kasih atas makanannya.
Rasanya nikmat seperti biasa.”
Saat aku melihat ke atas,
Asamura-kun menyatukan tangannya, menundukkan kepalanya ke arahku. Aku
buru-buru menjawab dengan “Sama-sama”.
Karena kami berdua memasak makan malam, aku akan melakukan hal yang sama
setelah selesai makan.
Bukan
itu. Rasanya seperti aku melewatkan sesuatu yang penting.
Kami selesai makan dan
bersih-bersih bersama. Kami pergi ke kamar masing-masing untuk belajar sebentar
sebelum mandi. Sambil berendam dengan bahagia di air panas, aku mengingat
percakapan kami selama makan malam, serta topik lain dari beberapa hari
terakhir.
Aku sangat ingin berbicara
dengan Asamura-kun. Perasaan itu tumbuh semakin kuat. Tapi, ketika aku
mengingat kembali perjalanan pulang kerja seperti yang biasa kami lakukan, aku
tidak ingat kalau kami banyak bicara.
Aku kepikiran dengan pandangan orang-orang
di sekitar kami saat berjalan di jalan utama, tetapi begitu kami berbelok ke gang
menuju apartemen kami, kupikir kami akan berbicara lebih banyak—tetapi
percakapan kami malah mereda.
Mungkin karena aku disibukkan
dengan pikiran tentang mencari pekerjaan setelah mendengar apa yang Yomiuri-san
katakan. Tidak, bukan itu. Jika itu
masalahnya, itu akan menjadi topik yang bagus untuk diangkat, bukan?
Selama menyantap makan malam,
ada banyak waktu untuk membicarakan hal-hal lain karena Ibu bekerja sebagai
bartending dan Ayah tiri juga pulang larut akhir-akhir ini.
“Aku ingin berbicara dengannya
lebih lama lagi…” gumamku sambil berendam di bak mandi, lalu melontarkan
kata-kata dengan cipratan air. Kadang-kadang aku merasa frustrasi karena
kurangnya keterampilan berbicaraku. Seolah-olah percakapanku hanya diisi dengan
hal-hal sepele.
Setelah keluar dari kamar mandi
dan berpakaian, aku mengenakan jubah mandi agar tetap hangat dan menuju ke
dapur.
Aku merebus air, menghangatkan
susu, dan membuat teh susu. Untuk dua orang.
Dengan canggung memegang dua
mug di satu tangan, aku mengetuk pintu Asamura-kun dengan tanganku yang bebas.
Ketika dia memberitahuku bahwa aku
bisa masuk, aku lalu membuka pintu kamarnya. Aku mengganti mug dengan kedua
tangan dan berjalan ke tempat Asamura-kun yang sedang duduk di kursi putarnya,
kemudian dengan hati-hati meletakkan mug yang mengepul di atas mejanya.
“Jadi, umm… kamu berbicara
dengan Yoshida-kun hari ini, kan?”
Hanya setelah mengatakannya
dengan lantang aku menyadari bahwa aku ingin melakukan percakapan seperti ini. Aku
ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan sehari-hari Asamura-kun. Aku ingin ia
memberitahuku apa yang terjadi hari ini dan menginginkan dirinya mendengar
tentang keseharianku juga. Aku ingin benar-benar mengenalnya, dan aku ingin dirinya
mengenalku.
Aku tidak pernah menganggap
diriku banyak bicara. Yang ada justru, aku bukan tipe orang yang banyak
berbicara tentang diriku sendiri dan tidak terlalu tertarik untuk mengetahui
tentang orang lain.
Jika aku menyukai hal semacam
itu, mungkin aku akan bisa memahami perasaan karakter dalam novel sedikit lebih
baik.
Namun, begitu kita mulai, sulit
untuk berhenti berbicara saat bersama Asamura-kun. Seolah-olah aku secara alami
menjadi lebih banyak bicara. Masalahnya, rasanya tidak mudah untuk mencapai
titik itu sejak awal.
Ini
sangat berbeda dari tahun lalu... Aku menjadi sangat cerewet saat bersama Asamura-kun.
Apa ini benar-benar jati diriku yang sekarang?
Aku bahkan tidak tahu apa
Asamura-kun menyukai melakukan percakapan sepele seperti ini. Maksudku, itu
hanya basa-basi saja iya ‘kan? Apa aku hanya bertindak terlalu bergantung
dengan anak laki-laki yang paling dekat denganku?
Tetapi memikirkan tentang
sesuatu dan benar-benar mewujudkannya adalah dua hal yang berbeda, dan aku
tidak dapat menahan diri.
“Aku ingin berbicara lebih
banyak denganmu di kelas. Aku ingin lebih dekat denganmu.” Aku tidak bisa
menghentikan kata-kata itu saat sudah keluar dari mulutku.
Akulah yang memutuskan untuk
banyak bicara di sekolah karena aku tidak ingin orang ikut campur dalam
hubungan kami.
Aku
sangat egois.
Asamura-kun telah memberitahuku
untuk bersikap normal dan tidak memaksakan diri untuk menyembunyikan sesuatu,
tapi aku bahkan tidak bisa memahami apa itu keadaan “normal”. Diriku yang biasa—seseorang yang selalu mengkhawatirkan
pendapat orang lain tentangku—muncul, dan aku akhirnya menahan diri di depan
umum. Tapi, saat kami sendirian, aku menjadi sangat bertingkah lengket.
Aku bahkan memohon ciuman dan
merasa sangat malu setelah itu sampai-sampai aku bisa saja mati.
Itulah yang aku maksud dengan
terlalu melekat.
Aku buru-buru kembali ke kamarku
sendiri, mencari perlindungan di balik selimutku.
Ketika aku menelusuri bibirku
dengan jari-jemari, sisa rasa ciuman itu muncul kembali dan pipiku mulai
memanas lagi. Mengingat kehangatan tubuhnya saat Asamura-kun memelukku, aku
menggeliat dan meronta-ronta di bawah kasurku.
Semakin banyak kami berbicara, aku semkain mendambakan kehangatan dan pelukannya, dan semakin kami berciuman, aku semakin menginginkannya. Aku masih merasa kalau itu saja masih belum cukup.
Pada saat yang sama, alarm
berbunyi di belakang pikiran u. Aku merasa seolah-olah benda yang telah aku
lindungi selama ini, Ayase Saki, akan hancur berantakan.
Aku menyelubungi diriku di
dalam selimut. Di ruangan gelap itu, aku menajamkan mataku untuk melihat ke
balik dinding tak kasat mata. Tetapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba,
konsep samar tentang jarak yang tepat antara Ayase Saki dan Asamura Yuuta tidak
pernah bisa aku temukan.