Gimai Seikatsu Jilid 8 Bab 2 Bahasa Indonesia

Bab 2 — 19 April (Senin) Ayase Saki

 

“Liburan Golden Week akan segera tiba, ya?”

Ketika seseorang mengatakannya dengan nada seperti itu, aku terkejut dengan sudah seberapa banyak waktu yang berlalu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu kami mengambil kursi baru kami untuk jam wali kelas pertama di semester baru. Saat mendengar kalau hanya ada 10 hari tersisa di bulan April membuatku jadi ingin melakukan sesuatu.

Memangnya sudah selama itu?!

Seperti yang dikatakan banyak orang-orang, waktu berlalu dalam sekejap mata, dan dengan cara yang sama, aku merasa terkagum dengan lingkungan sekitarku yang sudah banyak berubah sejak menjadi anak kelas tiga.

Yang lebih mengejutkanku ialah situasi yang aku alami——— menghabiskan waktu istirahat dengan mengobrol bersama sekelompok gadis lain dari kelasku. Jika seseorang mengatakan kepadaku setahun yang lalu kalau aku akan berada di posisiku hari ini, aku akan tertawa terbahak-bahak di hadapan mereka.

Harus kuakui, ketika aku melihat daftar kelas, aku memang sedikit kecewa. Aku tidak sekelas lagi dengan Maaya, belum lagi gadis-gadis lain yang baru saja mengobrol denganku di kelas sebelumnya.

Berbicara dengan Melissa, seorang musisi yang aku temui secara kebetulan selama perjalanan sekolah kami ke Singapura, membuatku menyadari kalau aku tipe orang yang lebih peduli tentang bagaimana orang lain memandangku daripada yang kupikirkan sebelumnya. Lalu, setelah merenungkannya dengan baik-baik, kurasa itu masuk akal. Baik itu rambut, pakaian, dan riasan wajahku adalah “persenjataan”-ku semata-mata karena aku benar-benar peduli dengan penampilanku di mata orang lain. Aku mengerti kenapa aku tidak punya teman selain Maaya——— itu semua karena aku takut. Aku takut nilai-nilaiku ditolak.

“Biar kuberitahu, kamu perlu menemukan tempat di mana kamu bisa menjadi egois dan sebebas yang kamu inginkan, atau kamu akan hancur berantakan.”

Menemukan tempat yang aman. Dengan kata lain, tempat di mana aku bisa melakukan apa yang aku inginkan dan menjadi diriku sendiri.

Setelah ayah kandungku pergi meninggalkan kami, aku berusaha untuk tidak bersikap terlalu bergantung kepada Ibu demi mengurangi bebannya. Tapi, Asamura-kun menerimaku apa adanya dan tidak mengkritik gaya hidupku. Ia menjadi tempatku bersandar.

Menilik ke belakang, aku sudah menemukan tempat perlindunganku untuk melarikan diri dari dunia dan tidak perlu lagi takut akan penolakan. Aku seharusnya tidak memiliki masalah untuk lebih dekat dengan teman sekelas selain Maaya… atau begitulah yang kupikirkan. Semua antusiasme yang baru ditemukan itu hancur dalam sekejap mata ketika aku duduk di kelas 3 dan aku melihat daftar kelas baru hampir sebulan yang lalu.

Yang ada justru aku kembali menjadi Saki yang tertutup, sama seperti diriku setahun sebelumnya. Aku tidak ingin membuang waktu untuk obrolan kosong; ada ujian masuk tahun ini yang perlu dipertimbangkan. Kupikir akan lebih baik berkonsentrasi pada belajar dan bekerja.

Asamura-kun berada di kelas yang sama denganku sekarang, tapi aku tidak nyaman mengobrol santai dengannya karena itu akan menarik tatapan penasaran dari teman-teman sekelasku. Aku belum siap untuk itu.

Saat ini, aku hanya ingin menjalani kehidupan yang damai dan lancar…

Sebenarnya, ketika aku berhenti memikirkannya, keseharianku jauh dari damai sejak upacara pembukaan. Selain itu, pemikiran-pemikiran negatifku berputar di luar kendali.

Jika aku punya waktu untuk mempersiapkan diri secara mental, aku mungkin baik-baik saja dalam situasi ini, tetapi saat aku mencoba untuk berbalik dan tidak terlibat, aku sudah terjebak dalam lingkaran perempuan dan merasa kewalahan.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Yah, setidaknya itu sudah jelas.

“Ayo, tenang napa. Aku paham banget kenapa semua orang sedikit sebal karena tidak dapat melihat teman baru mereka selama liburan Golden Week, tetapi ini semua tentang apa yang kamu lakukan!”

“Oh? Kamu punya beberapa ide, Ketua Kelas?”

“Yah, bukan berarti ada aturan yang mengatakan kita tidak boleh bertemu di luar sekolah, ‘kan? Gimana kalau kita semua pergi ke karaoke atau semacamnya?”

Ada gelombang suara persetujuan di sekitar lingkaran gadis-gadsi.

Eh, gadis yang menyarankan karaoke, siapa nama aslinya, ya? Karena semua orang baru saja memanggil gadis berkacamata yang dimaksud sebagai “Ketua Kelas”, jadi sulit untuk mengingat nama aslinya.

Bagaimanapun juga, dia benar-benar kebalikan dariku dalam hal keterampilan sosial. Dia bahkan mungkin bisa membuat Maaya kerepotan. Bahkan selama istirahat singkat 10 menit seperti ini, dia dengan cepat dikelilingi oleh sekelompok teman sekelasnya. Karena aku duduk di sebelahnya di kelas, jalan keluarku jadi terhalang.

“Hei, Ayase-san, kamu ada rencana untuk liburan Golden Week nanti?” Ryouko Satou, seorang gadis mungil dengan alis terkulai, bertanya padaku. Semua orang memanggilnya “Ryo-chin” atau “Oryou-san”, bukan yang pernah aku alami karena itu terlalu memalukan. Satou-san, Maaya, dan aku pernah tidur bersama selama piknik sekolah. Kami tidak terlalu dekat selama keas 2 kami, tetapi akhir-akhir ini, dia tampaknya bersikap ramah kepadaku.

Um, apa yang dia tanyakan padaku lagi...? Oh, sesuatu tentang rencana liburan Golden Week, ya.

“Aku mungkin hanya belajar untuk ujian try-out,” jawabku, tapi balasanku justru disambut dengan ekspresi terkejut.

Memangnya saking mengejutkannya, ya? Lagi pula, kami sudah menginjak kelas 3 dengan ujian masuk universitas sudah dekat. Sebelum aku menyadarinya, percakapan berubah menjadi aneh.

Dia bertanya mengapa tidak ingin “melakukan hal-hal lain” selain belajar dan dilanjutkan dengan, “Seperti melakukan banyak hal dengan pacarmu, misalnya…?”

Percakapan mereka selalu seputar hal ini selama beberapa minggu terakhir ketika aku menemukan diriku terjebak dalam lingkaran. Bersama dengan gadis-gadis SMA, tidak peduli bagaimana percakapan dimulai, itu selalu mengarah pada topik yang sama — percintaan.

Tetap saja, bagaimana percakapannya malah berubah menjadi apa yang akan kulakukan dengan pacarku?

“Ngomong-ngomong, apa yang kamu maksud dengan 'melakukan sesuatu'? Apa yang sebenarnya ingin kita lakukan?”

Ketua Kelas lalu menimpali, “Yah, misalnya saja seperti berkencan?”

Kencan, ya? Kalau dipikir-pikir, apa yang dimaksud dengan ‘kencan’? Apa aku pernah melakukannya dengan Asamura-kun?

“Makan bersama…”

Kami sudah melakukan itu sepanjang waktu.

“Menonton film…”

Yap, kami pernah melakukannya pada hari Natal.

“Membuat makanan dengannya…”

Ia baru-baru ini membantuku memasak, jadi itu juga dicentang.

“Jadi begitu ya. Um, hanya itu saja?”

“Yah, ya… tapi apa kamu mengatakan kalau kamu ingin melakukan lebih dari itu, Ayase-san?”

Aku bisa merasakan kalau pipiku memanas ketika otakku menangkap mulutku dan menyadari apa yang baru saja aku katakan. Apa aku baru saja membuat diriku terlihat seperti ahli kencan?

Aku mencoba untuk mengatakan “Tidak, bukan begitu maksudku,” tetapi bel jam pelajaran pertama berbunyi sebelum aku bisa mengeluarkan kata-kata.

Guru Sastra Jepang Modern kami masuk dan kelas yang berisik menjadi tenang. Tapi aku merasakan perasaan menusuk di belakang leherku seolah-olah semua orang memperhatikanku. Otak paranoidku memberitahuku bahwa mereka pasti akan bergosip di belakangku.

Uuu, aku mengacaukannya. Semua orang pasti berpikir kalau aku orang aneh sekarang.

Satou-san hanya berbicara secara umum tentang melakukan sesuatu dengan laki-laki secara umum selama liburan Golden Week, tapi pikiranku langsung tertuju pada Asamura-kun.

Sepanjang jam pelajaran Sastra Jepang Modern aku hanya setengah memperhatikan, karena aku berkubang dalam penyesalan mengenai hal yang sudah aku katakan.

Ahhh, kenapa aku harus mengatakan itu? Ini sangat memalukan.

Ketika bel berbunyi, aku merosot di atas mejaku, dengan kepalaku berpangku  di tanganku. Ini sangat tidak sepertiku – aku biasanya berusaha mempertahankan wajah percaya diri setiap saat. Itulah mengapa aku berjuang dengan obrolan ringan. Bagaimana orang lain menjelajahi gelombang percakapan dengan begitu mudah?

Aku memiringkan wajahku yang sampai sekarang telungkup, dan mengintip ke kursi dua baris di belakang dan satu di sebelah kiriku.

Aku ingin tahu apa Asamura-kun melihat adegan memalukan itu? Aku harap jangan.

Tapi Asamura-kun bahkan tidak menatapku; sebaliknya, ia mengobrol dengan anak laki-laki lain di kelas kami. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi sepertinya mereka bersenang-senang.

Aku tidak tahu banyak tentang lingkaran pertemanan Asamura-kun, tapi ia sudah dengan santai berbicara dengan anak laki-laki yang mungkin tidak ia kenal dengan baik. Itu membuatku merasa menyedihkan.

Mungkin Asamura-kun sebenarnya cukup ramah. Ia selalu mendengarkan dengan cermat kekhawatiran pelanggan di tempat kerja. Ia mengatakan kalau satu-satunya temannya adalah Maru-kun, tapi di sini ia melangkah ke hubungan baru. Aku pikir dia melakukan yang terbaik, itu bagus.

Dan ia kelihatannya bersenang-senang… tapi aku juga sedikit iri.

Tidak terlalu cerewet di kelas adalah usulanku sendiri, dan sekarang aku bahkan tidak bisa berbicara dengan orang yang paling dekat denganku. Tapi, meskipun ia tidak bisa berbicara denganku, ia malah bersenang-senang dengan orang lain.

Dan di sinilah diriku, membenamkan wajahku di mejaku, berpura-pura tidak mendengar suara-suara di sekitarku.

“Hei, Ayase-san. Moshi~moshi~ Ayase-san~?”

Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk melihat Ketua Kelas mengintip wajahku saat dia memanggil namaku.

“… Hm?”

“Um, maksudku, anting-anting itu—”  dia menusuk telinganya sendiri dengan jari ketika dia berkata “itu”.

“Oh. Ya.”

Aku segera duduk tegak.

Apaan? Apa dia akan memberitahuku untuk melepas anting-antingku? Jabatan Ketua Kelas memang bukan sekedar hiasan saja, ya.

“Aku berpikir kalau itu warnanya lucu. Dimana kamu membelinya?”

“Hah?”

“Kenapa kamu malah terkejut begitu?”

“Ahh, aku mengira kalau kamu akan menyuruhku untuk melepasnya.”

“Hah? Itu tidak melanggar aturan sekolah, bukan?”

“Yah, kurasa begitu…”

Peraturan sekolah SMA Suisei secara mengejutkan cukup longgar untuk sekolah yang berfokus pada keunggulan akademik. “Jangan terlalu mencolok. Tunjukkan beberapa kedisiplinan,” kata guru galak yang bertanggung jawab atas bimbingan siswa kepada kami, tetapi secara keseluruhan, sekolah memiliki sikap santai-santai saja. Jika tidak, aku pasti sudah dikeluarkan sejak dulu karena mewarnai rambutku dan mengenakan anting-anting. Di sisi lain, jika kamu gagal dalam bidang akademik, mereka akan memaksamu untuk mengulangi sepanjang tahun. Jadi beberapa orang mengatakan kalau sekolah kami terasa lebih seperti universitas daripada sekolah SMA.

“Jadiiii, di mana kamu membelinya?”

Aku mencari-cari ingatanku.

“Di sebuah toko di Center-gai ... mungkin.”

“Oh wow. Selera yang bagus. Jepit rambutmu juga sangat imut. Apa kamu sengaja memilihnya karena itu terlihat serasi dengan rambutmu?”

“Um, ya.”

Bisakah aku benar-benar tidak mengatakan apa pun selain “um”?

“Hei, bisakah aku bergabung dengan kalian?” tanya orang yang bertanggung jawab atas bencana sebelumnya. Aku tahu Satou-san tidak bermaksud jahat sama sekali. Cuma aku saja yang mengacaukan tanggapanku.

“Tentu, silakan. Kami hanya berbicara tentang bagaimana Ayase-san memiliki selera yang baik. ”

“Bener banget, ‘kan?”

Satou-san mengangguk dengan penuh semangat, begitu banyak sehingga aku khawatir kepalanya akan tersentak.

Entah itu anya sanjungan basa-basi atau tidak, aku masih senang dipuji. Manusia adalah makhluk yang berkembang dengan pujian.

“Ya. Meskipun kami berakhir di kelas yang sama hanya tahun ini, aku sudah tahu Ayase-san bahkan sebelum itu.”

“Hah?”

“Eh, kelas kami bersebelahan saat kita masih kelas 1. Kamu tidak ingat? Aku bahkan mencoba berbicara denganmuketika jam pelajaran olahraga bersama beberapa kali.”

Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingat sama sekali.

Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, aku sangat menjaga jarak di sekitar siswa lain selama kelas 1. Setelah meninggalkan ketatnya peraturan sekolah SMP, aku pikir memasuki sekolah SMA yang menjunjung tinggi kemandirian para siswanya adalah kesempatan bagus untuk memoles penampilan diri dan batinku. Tindik dan mewarnai rambut tidak melanggar aturan sekolah, dan kupikir gaya semacam itu cocok denganku. Tapi, meskipun tidak melanggar aturan apa pun, aku terus-menerus mendengar pernyataan sinis dan rumor yang tidak berdasar dari siswa lain yang menyebutku sebagai ‘Gadis gal pirang yang tampak seperti berandalan'.

Tapi mungkin saat itu aku terlalu berhati -hati, dan mungkin ada orang -orang yang hanya mengira aku baik seperti perwakilan kelas. Itulah yang kurasakan sekarang.

Satou-san mengemukakan kenangan perjalanan sekolah kami. Itu wajib untuk mengenakan seragam kami saat dalam perjalanan, tetapi kami bebas memakai apa pun yang kami inginkan di hotel. Satou-san benar-benar mengingat pakaian dan aksesoriku sejak saat itu dan mulai mengoceh masing-masing yang menurutnya lucu. Karena terlalu fokus dalam menghidupkan kembali kenangan itu, suaranya terdengar lembut dan gembira.

“Aww, bukannya dia terlalu menggemaskan!” Ketua kelas mengomentari itu ketika memeluk Satou-san dari belakang dan mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar lucu.

“Tapi aku tidak pandai dalam mode dan sebagainya.”

“Ayolah, itu sama sekali tidak benar, kok. Iya ‘kan, Ayase-san?”

“Yah, um… kurasa begitu.”

Penampilan dan gerakan Satou-san membuatnya terlihat seperti binatang kecil——jadi menyebutnya lucu adalah pernyataan yang meremehkan.

“Tapi, umm ... aku ingin menjadi bergaya seperti Ayase-san juga.”

“Fashion adalah semua tentang latihan. Jika kamu bergaul dengan Ayase-san, dia mungkin akan mengajarimu satu atau dua hal.”

“Kedengarannya bagus.”

“Hei, Ayase-san, apa kamu akan menerima murid pelatihan?”

“Um, yah itu sih...”

“Misalhnya saja seperti, cara memilih pakaian yang bagus dan sejenisnya.”

“Jika hanya itu saja, maka oke.”

Woahh, mereka lagi-lagi berpelukan.

Dengan mereka berdua secara praktis melompat kegirangan, yang bisa aku tawarkan hanyalah anggukan yang tidak jelas dan komentar singkat dan percakapan yang dijalankan. Berada di sekitar mereka terasa berbeda ketika bersama Maaya, tetapi itu masih membuatku merasa nyaman.

Kupikir aku sudah terbiasa mempertahankan percakapan bahkan ketika itu tidak sesuai dengan minatku sendiri karena seperti itulah persahabatanku dengan Maaya; Tapi sekarang setelah aku memikirkannya, mungkin dia adalah orang yang benar-benar mengimbangi percakapanku selama ini.

Jadi, mungkin itu hanya membuatku menjadi pembicara yang jelek.

Walaupun masih merasa agak canggung, aku berhasil mengikuti pembicaraan mereka berdua selama istirahat.

 

◇◇◇◇

 

Sepulang sekolah, aku harus bekerja lagi.

Hari ini, Asamura-kun dan aku bekerja di shift yang sama di toko buku tempat kami bekerja paruh waktu. Asamura-kun pulang ke rumah dulu naik sepeda menuju stasiun, sedangkan aku langsung berangkat ke sana dari sekolah. Ketika aku sedang bersiap bekerja, manajer toko memberitahuku kalau Yomiuri-san tidak akan bisa bekerja di semua shiftnya minggu ini karena dia sedang mencari pekerjaan.

Dari nada suaranya, aku mendapat kesan bahwa pak manajer memperlakukannya sebagai masalah serius, tapi aku tidak terlalu mengerti. Maksudku, Yomiuri-san sangat cakap dalam pekerjaannya, tapi jumlah pelanggan sepertinya sudah sedikit berkurang sejak awal tahun fiskal yang baru.

Jawaban atas misteri ini segera terungkap ketika seorang pelanggan bertanya tentang tanggal rilis sebuah buku baru dan aku mencarinya. Tanggal rilis majalah dan buku baru berbeda dari biasanya. Ada lebih banyak dari biasanya dan terkonsentrasi sebelum akhir bulan. Selain itu, tidak akan ada pengiriman dari akhir April hingga awal Mei.

“Ah, itu karena Golden Week ya,” gumamku pelan, dan seorang karyawan tetap berpengalaman yang berdiri di kasir bersamaku mengangguk sebagai jawaban.

“Dibandingkan dengan akhir tahun atau hari libur Obon, tidak terlalu buruk,” jelasnya.

“Jadi, kita perlu mengosongkan rak pada akhir minggu ini, kan?”

“Itu benar. Ayase-san. Sepertinya kamu benar-benar sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Kerja bagus!”

“Terima kasih.”

Lebih banyak pujian. Aku penasaran apakah ada sesuatu yang istimewa tentang hari ini yang dapat menjelaskan mengapa aku menerima begitu banyak pujian.

“Kalau begitu, kita perlu melakukan pengembalian dengan hati-hati. Jika Yomiuri-san ada di sini, dia akan membereskannya dalam waktu singkat karena dia ahli dalam hal ini.”

Berbeda dengan perpustakaan yang tujuannya adalah untuk mengawetkan buku, toko buku yang menimbun rilisan baru memperlakukan buku yang terlalu lama berada di rak sebagai inventaris buruk yang menghabiskan ruang rak yang berharga. Tapi, tidak seperti setiap buku yang ada di rak terjual secara instan.

Seperti yang pernah dikatakan Asamura-kun, ada pelanggan yang senang, setelah mencari dan mencari, akhirnya menemukan buku yang mereka cari dan menjadi pelanggan tetap. Ia juga mengatakan kalau pelanggan semacam itu jumlahnya tidak banyak. Itulah sebabnya, penting bagi karyawan untuk memiliki kemampuan menentukan buku mana yang akan dikembalikan dan mana yang harus disimpan di rak.

Asamura-kun mengambil alih mesin kasir dan aku berjalan menuju rak. Aku berjalan berkeliling dan memeriksa tingkat stok buku yang ditumpuk dan menunggu untuk disimpan, memindai rak untuk mencari ruang yang tersedia, dan mengisinya kembali seperlunya. Jika buku berada di tempat yang salah, aku akan memperbaikinya, dan jika aku menemukan pelanggan berkeliaran mencari sesuatu, aku bertanya apakah mereka membutuhkan bantuan.

Aku masih belum terbiasa mendekati pelanggan. Mungkin itu karena aku sendiri tidak ingin didekati di toko, tetapi aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa aku mengganggu. Tetap saja, jika itu demi pekerjaan, aku membuka mulut dan bergerak.

Kelemahanku yang sebenarnya adalah… percakapan tanpa tujuan.

Meski belakangan ini aku mulai berpikir pandai berbasa-basi sangat penting untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang, baik di kelas maupun di tempat kerja.

Menapaki lantai yang dipoles dan mengkilap, aku berjalan di antara rak-rak. Tanpa kusadari, pandanganku melayang ke buku-buku pengetahuan bisnis—mungkin karena sudah terlintas di benakku. Sepertinya ada banyak buku dengan judul seperti “Cara Berbicara Efektif dengan Bos-mu” dan “Metode Komunikasi dengan Bawahan Generasi Baru”. Mungkin banyak orang kesulitan dengan komunikasi di tempat kerja.

Contohnya, aku juga belum banyak berbicara dengan dua mahasiswa baru paruh waktu. Aku khawatir bahwa aku mungkin membuat mereka tidak nyaman.

Meskipun toko buku ini adalah pekerjaan pertamaku, aku menyadari kalau akulah orang yang tidak ingin diremehkan atau dipandang rendah. Jadi jika aku memiliki bos yang menyalahgunakan kekuasaannya, apa aku dapat menghadapinya? Aku merasa tidak mampu melakukannya. Bahkan ada kemungkinan aku akan membentak dan berhenti pada saat itu juga. Apa yang membuatku terus maju adalah memiliki Asamura-kun, seseorang yang dekat denganku yang bisa kuandalkan, bekerja di sini juga. Dan tentu saja Yomiuri-san, yang selalu membantuku juga.

Jika aku bekerja di mana aku tidak mengenal siapa pun ...

Faktanya, aku tidak ingin berkomunikasi dengan orang-orang yang kasar. Tetapi jika seseorang mengangkat bahu dan mengatakan itu “Hanya bagian dari pekerjaan”, aku tidak tahu bagaimana menanggapinya.

 “Jadi beginilah yang namanya pekerjaan, ya.”

Saat giliran kerjaku berakhir, aku berganti pakaian biasa dan menuju ke kantor bersama Asamura-kun. Kami mampir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang tetapi malah menemukan Yomiuri-san, yang seharusnya tidak bekerja, duduk di sana.

Percakapan beralih ke pencarian pekerjaan untuk sementara waktu, dan dia mengatakan kepadaku untuk mulai memikirkan masa depanku lebih cepat daripada nanti.

Aku mendapati diriku secara tidak sadar memikirkan jenis pekerjaan macam apa yang aku inginkan saat Asamura-kun dan aku berjalan pulang. Aku belum benar-benar memikirkan sesuatu yang spesifik. Toko buku itu mengajariku cara bekerja dengan baik dengan orang lain, tapi aku merasa pekerjaan yang menghargai kemandirian akan lebih cocok dengan kepribadianku.

Dengan asumsi kalau aku mirip seperti Yomiuri-san dan mulai mencari pekerjaan di tahun ketigaku di universitas, itu berarti aku harus memutuskan sesuatu dalam tiga tahun ke depan. Haruskah aku menganggapnya kalau aku cuma memiliki tiga tahun, atau masih memiliki tiga tahun untuk memutuskan? Untuk saat ini, aku memilih yang terakhir. Pikiranku tentang masalah ini sekarang hanyalah spekulasi, tanpa melibatkan emosi yang tulus. Pada kenyataannya, aku tidak dapat membayangkan akan menjadi seperti apa aku dalam tiga tahun ke depan. Pertama-tama, hingga tahun lalu, aku selalu dibimbing dengan prinsip individualisme.

Kebiasaan atau prinsip mandiri dan tidak bergantung pada orang—begitulah individualisme didefinisikan jika kamu mencarinya di kamus. Demi tujuanku sendiri, aku menafsirkannya sebagai menghargai pemikiran dan kemandirian aku sendiri. Aku memiliki nilai dan standarku sendiri untuk dilindungi. Aku memutuskan pada mereka sendiri. Tentu, terlalu mementingkan diri sendiri juga tidak baik. Tapi, aku tidak ingin terpengaruh oleh orang lain—itulah yang selalu aku yakini.

Tetap saja, aku menghabiskan sepanjang hari dengan sangat sadar akan kehadiran Asamura-kun, sementara juga tidak bisa berbicara dengannya. Hal tersebut membuatku merasa benar-benar kesepian. Kami hanya bertukar pandang di kelas dan di tempat kerja. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin merasakan kehangatannya. Jika tidak, aku merasa tanah di bawahku akan runtuh…

...Apa ini benar-benar perasaan orang individualis?

Ketika aku melihat lampu-lampu gedung apartemenku, perasaan lega menyapuku. Kurasa inilah yang dirasakan seorang pengembara ketika mereka menemukan rumah untuk kembali. Di sisi lain, aku berniat untuk pindah dari tempat ibuku dan mulai hidup sendiri ketika aku masuk universitas.

“Mencari pekerjaan, ya…” gumamku saat pintu masuk mulai terlihat, dan kata-kataku terbawa angin musim semi.

Aku membuka pintu depan apartemen. Rumahku terasa sepi karena ibu dan ayah tiriku tidak ada di rumah. Sejak April, kemungkinan kami berempat makan bersama menurun drastis—kecuali di akhir pekan.

Apa ayah tiri benar-benar sibuk? Aku harap dia tidak membuat dirinya sakit karena terlalu banyak bekerja.

Asamura-kun dan aku menyiapkan makan malam bersama, dan kami makan saling berhadapan.

Karena sejak pagi hari kami dibuat sangat sibuk, baru kali ini Asamura dan aku bisa mengobrol dengan santai.

Kami mencoba menebusnya karena tidak dapat berbicara di siang hari, tapi untuk beberapa alasan, kadang-kadang sulit untuk menemukan kata-kata.

“Bagaimana sup miso hari ini?”

Sulit untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” rasanya, tapi Asamura-kun memberiku pemikiran jujurnya.

“Mmm. Jamur nameko dan miso akadashi berpadu serasi. Rasanya sangat lezat.”

“Aku senang mendengarnya.”

“Apa kamu membeli miso?”

Aku mengangguk.

Meskipun aku biasanya menggunakan miso kome, yang paling mudah didapat di wilayah Kanto, kami memutuskan untuk mengubah jenis miso khusus untuk hidangan ini, karena penggunaan akadashi dengan jamur nameko adalah hal yang umum.

“Apa bedanya jika kamu menambahkan akadashi miso lagi?”

“Yah, miso mame dibuat dengan menambahkan kacang koji ke kedelai. Miso akadashi dibuat dengan menambahkan kome miso dan dashi ke dalam miso mame.”

“Oh, begitu rupanya.”

“Selain itu, miso mugi dibuat dengan barley koji. Kome, mame, dan mugi adalah tiga jenis utama miso, kurasa. Asal dari miso akadashi adalah wilayah Tokai, tapi saat ini mudah untuk mendapatkannya di Kanto juga.”

Kamu dapat membelinya di supermarket, dan jika kebelet ingin memasaknya, kamu selalu bisa mendapatkannya secara online. Belanja online menawarkan berbagai macam miso dari seluruh Jepang, bukan berarti aku akan membelinya, sih. Aku yakin jika aku benar-benar mulai melakukannya, pada akhirnya aku akan menyelenggarakan festival sup miso berskala nasional. Asamura-kun pasti akan senang, kurasa.

Aku harus menambahkan varian lain, bahan lain hari ini hanya tahu dan jamur nameko.

Tahu itu dipotong dadu kecil-kecil. Jika aku memiliki mitsuba, aku ingin menambahkan beberapa potongan halus juga, tetapi sayangnya, kami tidak memilikinya hari ini.

“Nameko memiliki tekstur yang bagus dan cukup mudah untuk ditelan, ‘kan?”

“Memang. Nameko memberikan sensasi yang bagus saat kamu menggigitnya, dan gampang masuk ke tenggorokan.”

Jika tidak hati-hati, kamu mungkin tidak sengaja menelannya tanpa mengunyahnya.

“Itu sangat cocok dengan nasi juga.”

“Ngomong-ngomong, aku menemukan resep nasi campur jamur nameko online tempo hari…”

Kami mengobrol sebentar tentang bahan nasi campur. Sangat menyenangkan memiliki percakapan seperti ini, tetapi aku hanya ingin lebih…

“Terima kasih atas makanannya. Rasanya nikmat seperti biasa.”

Saat aku melihat ke atas, Asamura-kun menyatukan tangannya, menundukkan kepalanya ke arahku. Aku buru-buru menjawab dengan “Sama-sama”. Karena kami berdua memasak makan malam, aku akan melakukan hal yang sama setelah selesai makan.

Bukan itu. Rasanya seperti aku melewatkan sesuatu yang penting.

Kami selesai makan dan bersih-bersih bersama. Kami pergi ke kamar masing-masing untuk belajar sebentar sebelum mandi. Sambil berendam dengan bahagia di air panas, aku mengingat percakapan kami selama makan malam, serta topik lain dari beberapa hari terakhir.

Aku sangat ingin berbicara dengan Asamura-kun. Perasaan itu tumbuh semakin kuat. Tapi, ketika aku mengingat kembali perjalanan pulang kerja seperti yang biasa kami lakukan, aku tidak ingat kalau kami banyak bicara.

Aku kepikiran dengan pandangan orang-orang di sekitar kami saat berjalan di jalan utama, tetapi begitu kami berbelok ke gang menuju apartemen kami, kupikir kami akan berbicara lebih banyak—tetapi percakapan kami malah mereda.

Mungkin karena aku disibukkan dengan pikiran tentang mencari pekerjaan setelah mendengar apa yang Yomiuri-san katakan. Tidak, bukan itu. Jika itu masalahnya, itu akan menjadi topik yang bagus untuk diangkat, bukan?

Selama menyantap makan malam, ada banyak waktu untuk membicarakan hal-hal lain karena Ibu bekerja sebagai bartending dan Ayah tiri juga pulang larut akhir-akhir ini.

“Aku ingin berbicara dengannya lebih lama lagi…” gumamku sambil berendam di bak mandi, lalu melontarkan kata-kata dengan cipratan air. Kadang-kadang aku merasa frustrasi karena kurangnya keterampilan berbicaraku. Seolah-olah percakapanku hanya diisi dengan hal-hal sepele.

Setelah keluar dari kamar mandi dan berpakaian, aku mengenakan jubah mandi agar tetap hangat dan menuju ke dapur.

Aku merebus air, menghangatkan susu, dan membuat teh susu. Untuk dua orang.

Dengan canggung memegang dua mug di satu tangan, aku mengetuk pintu Asamura-kun dengan tanganku yang bebas.

Ketika dia memberitahuku bahwa aku bisa masuk, aku lalu membuka pintu kamarnya. Aku mengganti mug dengan kedua tangan dan berjalan ke tempat Asamura-kun yang sedang duduk di kursi putarnya, kemudian dengan hati-hati meletakkan mug yang mengepul di atas mejanya.

“Jadi, umm… kamu berbicara dengan Yoshida-kun hari ini, kan?”

Hanya setelah mengatakannya dengan lantang aku menyadari bahwa aku ingin melakukan percakapan seperti ini. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan sehari-hari Asamura-kun. Aku ingin ia memberitahuku apa yang terjadi hari ini dan menginginkan dirinya mendengar tentang keseharianku juga. Aku ingin benar-benar mengenalnya, dan aku ingin dirinya mengenalku.

Aku tidak pernah menganggap diriku banyak bicara. Yang ada justru, aku bukan tipe orang yang banyak berbicara tentang diriku sendiri dan tidak terlalu tertarik untuk mengetahui tentang orang lain.

Jika aku menyukai hal semacam itu, mungkin aku akan bisa memahami perasaan karakter dalam novel sedikit lebih baik.

Namun, begitu kita mulai, sulit untuk berhenti berbicara saat bersama Asamura-kun. Seolah-olah aku secara alami menjadi lebih banyak bicara. Masalahnya, rasanya tidak mudah untuk mencapai titik itu sejak awal.

Ini sangat berbeda dari tahun lalu... Aku menjadi sangat cerewet saat bersama Asamura-kun. Apa ini benar-benar jati diriku yang sekarang?

Aku bahkan tidak tahu apa Asamura-kun menyukai melakukan percakapan sepele seperti ini. Maksudku, itu hanya basa-basi saja iya ‘kan? Apa aku hanya bertindak terlalu bergantung dengan anak laki-laki yang paling dekat denganku?

Tetapi memikirkan tentang sesuatu dan benar-benar mewujudkannya adalah dua hal yang berbeda, dan aku tidak dapat menahan diri.

“Aku ingin berbicara lebih banyak denganmu di kelas. Aku ingin lebih dekat denganmu.” Aku tidak bisa menghentikan kata-kata itu saat sudah keluar dari mulutku.

Akulah yang memutuskan untuk banyak bicara di sekolah karena aku tidak ingin orang ikut campur dalam hubungan kami.

Aku sangat egois.

Asamura-kun telah memberitahuku untuk bersikap normal dan tidak memaksakan diri untuk menyembunyikan sesuatu, tapi aku bahkan tidak bisa memahami apa itu keadaan “normal”. Diriku yang biasa—seseorang yang selalu mengkhawatirkan pendapat orang lain tentangku—muncul, dan aku akhirnya menahan diri di depan umum. Tapi, saat kami sendirian, aku menjadi sangat bertingkah lengket.

Aku bahkan memohon ciuman dan merasa sangat malu setelah itu sampai-sampai aku bisa saja mati.

Itulah yang aku maksud dengan terlalu melekat.

Aku buru-buru kembali ke kamarku sendiri, mencari perlindungan di balik selimutku.

Ketika aku menelusuri bibirku dengan jari-jemari, sisa rasa ciuman itu muncul kembali dan pipiku mulai memanas lagi. Mengingat kehangatan tubuhnya saat Asamura-kun memelukku, aku menggeliat dan meronta-ronta di bawah kasurku.

Semakin banyak kami berbicara, aku semkain mendambakan kehangatan dan pelukannya, dan semakin kami berciuman, aku semakin menginginkannya. Aku masih merasa kalau itu saja masih belum cukup.

Pada saat yang sama, alarm berbunyi di belakang pikiran u. Aku merasa seolah-olah benda yang telah aku lindungi selama ini, Ayase Saki, akan hancur berantakan.

Aku menyelubungi diriku di dalam selimut. Di ruangan gelap itu, aku menajamkan mataku untuk melihat ke balik dinding tak kasat mata. Tetapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba, konsep samar tentang jarak yang tepat antara Ayase Saki dan Asamura Yuuta tidak pernah bisa aku temukan.


 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama