Gimai Seikatsu Jilid 8 Bab 3 Bahasa Indonesia

Bab 3 — 20 April (Selasa) Asamura Yuuta

 

Aku memarkirkan sepedaku di tempat parkir apartemenku yang biasa dan mengirim pesan LINE ke Ayase-san untuk memberitahunya kalau aku sudah sampai di rumah.

“Selamat Datang kembali. Aku akan memberitahu ayah tiri nanti”

Melihat balasannya yang hampir seketika di layar ponselku, aku merasakan kekaguman terhadap ayahku di dalam diriku dan bertanya-tanya apakah dia bisa pulang kerja lebih cepat hari ini.

Aku melewati petak bunga gedung yang dipenuhi bunga magnolia putih yang mekar, melewati pintu masuk, dan naik lift menuju lantaiku.

“Aku berharap ia tidak memaksakan dirinya terlalu keras…”

Akhir-kahir ini ayahku selalu pulang lewat tengah malam, tetapi ia menyelesaikan pekerjaannya lebih awal malam ini terutama untuk membuat makan malam.

Sejak April, giliran memasak kami berubah. Kami sudah memiliki sistem untuk membagi tugas memasak, tapi Ayase-san dan Akiko-san cukup baik untuk mengambil lebih dari bagian yang adil. Akiko-san menyiapkan makan malam sebelum berangkat ke pekerjaan bartendernya, sedangkan Ayase-san membuat sarapan. Ditambah lagi, karena Ayase-san dan aku sering pulang kerja bersama akhir-akhir ini, dia akan menambah dan memanaskan kembali makan malam yang tersisa untuk kami. Singkatnya, ada banyak pekerjaan yang jatuh di pundak ramping Ayase-san.

Itu sebabnya aku mencoba membantunya sejak akhir tahun lalu. Sebelum semester baru dimulai, ayahku berkata: “Karena kalian berdua akan segera mengikuti ujian masuk, kita harus mengatur ulang tugas memasak mulai bulan April.” Ia menyatakan kalau dirinya juga akan memasak makan malam pada hari kerja. Itu adalah langkah besar bagi seorang pria yang, sampai saat itu, mengandalkan makanan siap saji dan pengantar makanan. Ia bertanggung jawab pada hari Selasa, Akiko-san punya dua hari, dan Ayase-san dan aku masing-masing punya satu hari. Di akhir pekan, Akiko-san dan ayahku memasak bersama. Dia mengambil kesempatan itu untuk mengajari Ayah cara memasak.

Hari ini menandai minggu ketiga, artinya ini merupakan ketiga kalinya ia memasak sendirian di hari kerja.

Tapi saat semuanya diputuskan, pekerjaan ayahku tiba-tiba menjadi jauh lebih sibuk. Itu membuatku menyadari sekali lagi betapa sulitnya menyeimbangkan pekerjaan, atau belajar, dan pekerjaan rumah tangga. Walau demikian, bila keadaan menjadi terlalu sulit, kami akan kembali memesan makanan dari luar atau aku akan menggantikannya.

“Aku pulang,” seruku dengan kerasa saat membuka pintu depan unit apartemen kami.

Tanggapan dari ayahku dan Ayase-san datang hampir bersamaan. Saat aku membuka pintu menuju ruang makan, aku melihat Ayase-san sudah duduk sembari mengelap meja dengan kain.

“Kami baru saja selesai menyiapkan semuanya. Kamu bisa cuci tanganmu dulu.”

Setelah menanggapinya, aku melemparkan tasku ke dalam kamar. Aku lalu mampir ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kembali ke ruang makan, tempat makan malam sudah siap dan menunggu. Sumpitku sudah ditata sedemikian rupa di atas meja. Semuanya diatur dengan sempurna, yang mana membuatku tidak melakukan apa-apa selain makan. Aku lalu dengan enggan mengambil tempat dudukku.

“Baiklah, hidangannya sudah siap. Itadakimasu.”

Atas desakan ayahku, Ayase-san dan aku juga sama-sama menimpali, “Itadakimasu.”

Menu hari ini adalah... tumis sayuran, nasi, dan sup miso. Tumis sayurannya terdiri dari kombinasi standar kol, wortel, dan tauge, dengan daging babi sebagai pelengkapnya. Hidangan tersebut ditata dengan rapi di atas piring besar, dan kami masing-masing mengambil porsi kami ke piring yang lebih kecil. Ayase-san menyajikan sendiri porsi sayuran yang lebih besar, tapi aku tidak tahu apakah itu karena dia suka sayuran atau dia sedang diet. Aku tidak akan menyentuh topik khusus itu.

“Jadi…. gimana?” Ayahku bertanya dengan gugup.

“Kurasa lebih baik menggunakan sedikit garam.”

Rasanya lebih asin dari yang biasanya dibuat Ayase-san. Aku penasaran ayahku menganggap rasanya normal. Orang yang kehabisan tenaga cenderung mendambakan rasa asin, jadi aku mengkhawatirkannya. Aku berharap bisa memberikan beberapa saran cerdas tentang bumbu, tetapi dengan pengalaman memasak yang hampir sama terbatasnya dengan dirinya, aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat dan akhirnya menjadi terlalu blak-blakan.

“Jadi begitu ya…”

Ekspresi wajahnya langsung murung karena kecewa. Aku minta maaf.

Ayase-san dengan cepat memberikan ulasannya untuk menyelamatkan, “Enak! Kubis memiliki kerenyahan yang enak.”

“Ah, benarkah?! Ya, Akiko-san menyuruhku untuk memperhatikan itu.”

“Ya, rasanya lezat.”

“Bagus. Hidangannya masih banyak kalau kamu ingin menambah lagi.”

“Terima kasih.”

Ayahku sepertinya sangat bersemangat setelah mendapat pujian Ayase-san. Mungkin aku harus menyerahkan masalah semacam ini padanya.

Dan dia juga tidak lupa memberikan saran, "Jadi, saat Ayah tiri mencicipi hidangan, Ayah tiri hanya mencicipi sedikit saja, bukan?”

“Benar, ya.”

“Nah, garam menumpuk di tubuh saat ayah tiri memakannya. Jadi, jumlah yang tertera di resep harus cukup. Bahkan jika Ayah tiri berpikir kalau rasanya masih kurang cukup selama uji rasa, Aayah tiri tidak perlu menambahkannya lagi. Itu berakhir jauh lebih asin dari yang dirasakan. Caranya sama seperti memasak sup.”

“Ah, begitu. Sekarang setelah kamu menyebutkannya, kadang-kadang ketika menurutku rasa supnya terlalu ringan, rasanya menjadi lebih pekat saat aku terus makan dan menjadi terlalu kuat.”

Ayahku mengangguk setuju dengan penjelasan Ayase-san.

Ayase-san jauh lebih berpengetahuan tentang memasak dan nasihatnya cukup tepat, jadi aku membuat catatan mental saat mereka berdua berbicara.

Keterampilan memasakku hanya sedikit lebih baik daripada ayahku sejak aku membantu Ayase-san dengan masakannya. Tapi, ia juga belajar dari Akiko-san di akhir pekan, jadi ada kemungkinan ia akan segera melampauiku. Aku mungkin hanya bisa mengkritik masakannya sebentar lagi.

Setelah makan malam, Ayase-san mengambil giliran mandi terlebih dahulu.

Apa yang harus aku lakukan? Apa enaknya membaca buku di kamarku atau menyelesaikan persiapan pelajaran untuk besok?

Saat aku hendak kembali ke kamarku, tiba-tiba aku teringat apa yang Yomiuri-senpai katakan kemarin. Dia mengatakan kepada aku untuk mulai memikirkan jenjang karir masa depanku dimulai dari sekarang.

Pekerjaan masa depanku, ya?

Ayahku sedang duduk di depan aku, menyeruput teh dengan santai dengan ekspresi riang di wajahnya.

Ia tampak seperti seseorang dengan perasaan berbunga-bunga, tapi dia telah dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang sama selama hampir 20 tahun. Aku belum pernah mendengar ia berbicara tentang berganti pekerjaan sebelumnya, aku juga tidak pernah bertanya kepadanya tentang hal itu. Aku ingin tahu bagaimana ia akhirnya bekerja untuk perusahaannya saat ini.

“Hai ayah. Aku mau membuat kopi, mau dibuatkan juga?”

“Oh, tentu, aku juga mau.”

Waktunya sudah memasuki malam hari, tapi aku ingin memiliki pikiran yang jernih untuk percakapan yang akan kami lakukan, oleh karena itu aku memilih kopi. Karena dia tidak mempertanyakan mengapa aku menawarinya kopi di malam hari, ia mungkin merasa bahwa aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.

Saat aku menyeduh kopi untuk dua orang menggunakan mesin penyeduh, aku menghangatkan dua cangkir sebelum menuangkan kopi dan duduk bersamanya.

“Ini dia.”

“Terima kasih.”

“Yah, aku baru sadar kalau aku tidak pernah benar-benar bertanya tentang pekerjaanmu sebelumnya…”

Ayahku yang sedang menikmati aroma kopi, menatapku dengan rasa ingin tahu dengan “Hmm?”

Aku mengatakan kepadanya bahwa sejak ujian masuk universitas semakin dekat, aku mulai memikirkan masa depanku. Sebagai bagian dari pembelajaran tentang berbagai profesi, aku juga ingin mendengar tentang pekerjaannya. Pada awalnya ia tampak terkejut tapi segera kemudian tersenyum.

Ia jelas-jelas merasa senang karena aku tertarik dengan pekerjaannya, dan ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan saat mulai berbicara.

“Kira-kira aku harus memulainya dari mana, ya?”

“Yah ... apa itu pekerjaan yang sama dengan yang ayah miliki sejak awal?”

“Jika maksudmu bekerja di perusahaan yang sama, ya. Ini mungkin tidak biasa saat ini.”

Memangnya itu benar-benar tidak biasa…?

“Kamu tidak berpikir jarang menemukan pekerjaan yang bisa kamu lakukan seumur hidup sejak awal?” Dia bertanya.

“… Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku bekerja.”

Ekspresinya langsung berubah serius saat berkata, "Aku juga berpikiran sama pada waktu itu juga.”

Ayahku bekerja di sebuah perusahaan manufaktur makanan dengan kantor pusatnya di Tokyo. Aku hanya tahu sebanyak itu. Saat ini, dia adalah kepala departemen perencanaan produk.

“Oh, jadi ayah kepala departemen?” tanyaku, dan dia menjawab, “Yah, kurang lebih begitu.” Rasanya agak aneh bagi seorang anak laki-laki yang hanya belajar tentang posisi orang tuanya di tempat kerja, tetapi ayahku tidak pernah membicarakan hal semacam itu di rumah.

“Tapi aku tidak selalu dalam perencanaan produk.”

“Benarkah?”

“Ketika aku pertama kali memulai di perusahaan, aku ditempatkan di departemen penjualan. Aku mungkin telah menyebutkannya secara singkat sebelumnya.”

Kalau dipikir-pikir, aku ingat pernah mendengar sesuatu seperti itu. Ia dulu juga lebih memperhatikan penampilannya saat itu.

“Aku pernah mendengar kalau bagian penjualan lumayan sulit.”

“Yah, menurutku tidak ada yang namanya pekerjaan mudah, semuanya memiliki kesulitan masing-masing. Tapi aku cukup pemalu dan introvert pada saat itu.”

Introvert… apa itu benar? Perkataan dari ayahku hampir cukup untuk membuatku mempertanyakan konsep introversi karena dirinya sama sekali tidak terlihat seperti itu. Mau tak mau aku jadi mempertanyakannya. Ia hanya terkekeh canggung ketika menanggapinya.

Aku sangat penasaran bagaimana seseorang yang buruk dalam berkomunikasi bisa mabuk, melamar seorang wanita yang mengurusnya di bar yang sering dia kunjungi, dan berhasil menikah.

“Ya, itu karena aku menggunakan keterampilan penjualan yang aku asah — oh tunggu, tidak, bukan apa-apa.”

Ayahku bahkan meladeni lelucon putranya dan bahkan menindaklanjuti dengan leluconnya sendiri. Ia bahkan mungkin memiliki pola pikir yang lebih muda dariku.

“Aku sangat pemalu, introvert, dan kesulitan berbicara dengan orang ketika aku masih muda. Itu hampir 30 tahun yang lalu.”

“Sejujurnya, itu sulit untuk dibayangkan.”

“Yah, aku benar-benar dipaksa oleh seniorku saat itu. Aku biasa pergi ke toko grosir dan pengecer massal — meskipun kamu mungkin tidak tahu apa itu pengecer massal.”

“Toko yang membeli dan menjual produk dalam jumlah besar dengan harga murah?”

Aku segera mencarinya di ponselku, dan sepertinya ada sesuatu seperti itu.

"Bisakah kamu memikirkan contoh toko seperti itu?"

“Misalnya saja supermarket dan department store?”

Ayahku balas mengangguk. Sepertinya jawabanku benar.

“Dan aku juga sering pergi ke restoran. Aku akan pergi untuk membuat promosi penjualan. Aku akan pergi ke setiap toko, menundukkan kepala, dan mengatakan hal-hal seperti 'Kami akan segera merilis produk baru ini' atau 'Apa anda mempertimbangkan untuk menjual produk kami?'

“Ah, benarkah…”

Aku hanya bisa memberikan tanggapan yang tidak jelas karena aku tidak begitu mengerti detailnya.

“Tentu saja kamu tidak bisa segera bertanya dan mengharapkan jawaban “ya”. Nyatanya, lebih sering daripada tidak kamu takkan mendapat tanggapan. Kadang-kadang, kamu bahkan sudah ditolak duluan sebelum mendapatkan kesempatan untuk melakukan promosi. Kamu tahu bagaimana ada orang yang membagikan brosur di stasiun kereta? Kebanyakan orang tidak mengambilnya, ‘kan?”

“Sebenarnya aku juga salah satu dari mereka yang tidak mengambilnya.”

“Hahaha. Yah, begitulah kenyatananya. Banyak toko sudah memiliki hubungan jangka panjang dengan pemasoknya, jadi meminta toko tersebut untuk beralih ke produk perusahaanmu bisa sangat menantang. Kamu pada dasarnya mencoba menyerobot. Bahkan ketika kamu berhasil melakukan penjualan, tenaga penjualan dari pemasok mereka sebelumnya mungkin menyimpan dendam terhadap perusahaan.”

“Wow.”

“Kadang-kadang aku bahkan harus memasak tepat di depan mereka untuk memamerkan produk.”

“Memasak ... tunggu, ayah memasak?”

Aku sama sekali tidak menduganya. Itu berarti ia sudah memasak lebih lama dariku.

“Yah, itu sebenarnya bukan memasak, sih. Lebih mirip seperti memanaskan atau merebus produk. Tidak diperlukan keterampilan memasak yang sebenarnya. Tapi karena dilakukan di depan orang penting, aku selalu gugup, dan takut salah. Aku melakukan itu selama sekitar sepuluh tahunan.”

“Itu waktu yang cukup lama.”

Jadi ia masih dalam bagian departemen penjualan ketika aku lahir.

“Yah jadi begitulah. Melihat produk yang aku promosikan benar-benar berhasil masuk ke rak toko membuatku sangat bahagia. Hal itu membuat aku merasa semua kerja kerasku telah terbayar,  ujar ayahku dengan perasaan yang mendalam.

“Kedengarannya bagus.”

“Meskipun setelah itu, jika ada masalah, semua keluhan akan datang ke bagian penjualan.”

Dengan pandangan jauh, ia memberitahuku mbahwa masalah semacam itu selalu menguras tenaganya, karena itu membutuhkan keterampilan komunikasi yang baik dan menarik pelanggan.

Usai mendengarkan penjelasannya, aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa aku akan berjuang untuk melakukan hal-hal semacam itu.

“Kurasa aku tidak bisa mendorong produk secara agresif seperti itu.”

Orang tua aku diam-diam menggelengkan kepalanya dari sisi ke sisi.

“Tidak, Yuuta, ini bukan disebut 'mendorong' penjualan. Apa yang kamu bicarakan disebut 'penjualan yang memaksa'.”

“Eh... Ya. Kurasa begitu. Mungkin itu benar.”

“Supaya bisa sukses dalam penjualan, kamu perlu memahami kualitas baik dan buruk dari produk perusahaanmu. Jika kamu tidak jujur dengan klienmu, pada akhirnya akan menggigit balik perusahaanmu sendiri. Hubungan yang dibangun dengan menyembunyikan kekurangan tidak akan bertahan lama, mengerti?”

“Tapi bagaimana senadainya jika tidak ada kualitas yang baik?”

“Aku tidak bisa mengatakan tidak ada penjual yang bisa menjual produk yang tidak laku. Tapi secara pribadi, aku tidak pandai dalam hal itu, dan dalam jangka panjang, menurutku itu buruk bagi perusahaan. Selain itu, kekuatan dan kelemahan dapat bergantung pada sudut pandangmu, bukannya kamu setuju? Hal yang sama berlaku untuk kepribadian manusia. Seperti, misalnya, jika seseorang berhati-hati, kamu dapat mengatakan mereka 'berhati-hati' atau bisa dibilang dengan sudut pandang lain sebagai 'penakut'.”

Kurasa aku bisa sedikit memahaminya.

“Jadi sifat yang sama bisa dianggap baik atau buruk tergantung orang lain?”

“Tepat sekali. Makanya, Kamu menemukan kualitas yang dianggap baik oleh orang lain. Hal-hal atau orang-orang, apakah suatu hubungan bertahan atau tidak dapat tergantung pada seberapa cocok kamu dengan orang yang kamu hadapi. Ini mungkin terdengar kasar, tapi begitulah…”

Pada akhirnya, nadanya mengandung sedikit kepahitan. Seharusnya percakapan tentang produk dan target penjualan, tapi mungkin ada hal lain yang terlintas di benaknya.

“Selain itu, hal tersebut akan sangat membantu jika produk yang kamu promosikan adalah sesuatu yang kamu yakini pada dirimu sendiri. Aku sangat bersemangat saat mempromosikan produk seperti itu. Maksudku, jika itu adalah produk yang hebat, kamu tahu itu juga akan baik untuk pelanggan.”

Setelah mengatakan seua itu, ayahku menyeruput kopinya dan duduk diam beberapa saat.

Ia mengambil sebungkus kecil susu dari meja, merobek salah satu sudut dengan sekejap, dan menuangkannya ke dalam cangkirnya. Ia dengan ringan mengaduknya dengan sendok yang dipegang di antara jari-jarinya yang tebal, menciptakan pola pusaran putih.

Sambil menyeruput kopinya, ayahku terus berbicara, “Yah, pokoknya, setelah melalui pengalaman-pengalaman seperti itu, aku jadi tertarik untuk benar-benar membuat produk yang ingin direkomendasikan orang-orang.”

“Ah, begitu. Jadi itu sebabnya ayah bergabung dengan departemen perencanaan produk?”

“Sebenarnya, aku diundang untuk mencobanya.”

Aku menyebutkan bahwa kami akan bersinggungan, jadi ayahku membawa percakapan kembali ke jalurnya.

“Pada dasarnya, secara ringkas, menurutku bidang penjualan adalah pekerjaan di mana kamu memulai hubungan baru dengan orang asing. Ini bukan tentang memaksa atau mendorong orang jika itu masuk akal? Aku percaya bahwa dengan pendekatan unikmu, Yuuta, kamu bisa menemukan cara untuk terhubung dengan orang lain dengan caramu sendiri. Kupikir kamu bisa melakukannya. Kamu harus memilih jalan yang kamu sukai, tetapi jangan membuangnya sebagai pilihan dulu.”

Aku tidak sepenuhnya memilih bidang penjualan sebagai kemungkinan karier atau jika itu cocok untukku, bahkan setelah mendengar semua itu, tetapi percakapan itu masih sangat informatif. Ini adalah topik yang biasanya sulit aku diskusikan dengan ayahku.

Aku mengucapkan terima kasih atas obrolannya, lalu membawa cangkir kopiku kembali ke dalam kamarku.

 

◇◇◇◇

 

Pandangan mataku menelusuri goretan demi goretan pada halaman buku yang terbuka.

Jenis tulisannya mungkin sekilas terlihat seperti rune sihir, dan tidak ada konten yang meresap ke dalam otakku. Usai menyadari itu, aku menutup buku itu dengan keras.

“Mungkin sudah waktunya untuk tidur...?”

Ketika aku mengangkat selimut di tempat tidur aku, aku melihat handuk yang kugunakan sebagai pengganti selimut bagian dalam telah tergelincir dan diikat di kaki aku, jadi aku menghela nafas dan memperbaikinya. Saat bulan April mendekati akhir dan suhunya mulai menghangat lagi, selimut bulu angsaku telah disimpan di lemari, dan sekarang penyiapannya adalah handuk dengan selimut biasa. Tapi, keduanya sepertinya tidak serasi, karena kain bagian dalam akan meluncur ke arah kakiku dan menumpuk saat aku tidur. Aku tidak berpikir itu karena postur tidurku yang buruk — jelas bukan.

Aku baru saja akan meluncur ke bawah selimut ketika mendengar ketukan di pintu kamarku. Setelah aku menjawab, pintu berderit terbuka sedikit dan aku mendengar suara Ayase-san melalui celah itu. Tumben sekali dia mengunjungi kamarku dua hari berturut-turut.

“Boleh aku masuk?”

“Tentu saja.”

Ayase-san menyelipkan tubuhnya melalui lubang sempit yang dia tinggalkan untuk dirinya sendiri dan mengunci pintu di belakangnya. Tindakan itu mengingatkanku bahwa Ayahku masih di rumah. Dengan pekerjaannya yang sibuk baru-baru ini, ia biasanya tidak akan kembali selama 30 menit lagi. Secara bersamaan, aku merasakan detak jantungku berpacu sedikit kencang.

“Kamu tadi berencana mau tidur?”

“Ya.”

“Jika itu merepotkan, aku bisa menunggu sampai besok.”

“Tidak apa-apa, kok. Ada apa?”

Aku merasakan kecemasan merayapi hatiku.

“Um, yah... Aku tidak punya sesuatu yang khusus untuk dibicarakan, tapi...” Saat dia mengatakan itu, dia berjalan mendekat dan bergabung denganku di tempat tidur, di mana aku duduk dengan kaki ke samping.

“... Aku hanya berpikir kita tidak punya banyak waktu untuk berbicara hari ini.”

Ayase-san tidak bekerja hari ini, jadi kami tidak berjalan pulang bersama, dan saat kupikir-pikir, kami tidak menghabiskan banyak waktu bersama seperti kemarin.

“Yah, mari kita mengobrol sebentar, oke?”

“Oke.”

Ayase-san mulai bercerita tentang harinya sedikit demi sedikit, dan aku menanggapinya dengan sesekali mengangguk dan menimpali hal-hal yang terjadi padaku juga. Tapi, sebagai murid sekolah SMA pada umumnya, tidak ada hal menarik yang terjadi padaku hari ini... yah, selain berbicara dengan Yoshida sebentar. Oh ya, ngomong-ngomong—

“Aku berbicara dengan Shinjo untuk pertama kalinya selama makan siang hari ini.”

“Shinjo-kun?”

“Ya. Aku kebetulan bertemu dengannya di kantin. Kamu tahu ada bangku di halaman, ‘kan? Kami makan siang di sana.”

Di SMA Suisei, gedung utama dan gedung kedua (yang menampung ruang kelas yang membutuhkan peralatan khusus, seperti lab kimia dan ruang praktik memasak) dibangun berdampingan, dengan halaman di antaranya memiliki taman kecil dan bangku. Di musim dingin, terlalu dingin karena berada di tempat teduh dan angin berhembus, tetapi dalam waktu-waktu masih musim, tempat tersebut seperti tempat duduk teras di kafe, jadi bangku sangat dicari. Hari ini, kami kebetulan menemukan satu yang kosong.

“Makan siang bersama, ya. Kedengarannya bagus.”

“Yah, sepertinya kita tidak punya sesuatu yang khusus untuk dibicarakan.”

“Tetap saja, aku sedikit cemburu.”

“Tapi kita makan malam bersama, bukan?”

Hari ini, aku kebetulan makan siang dengan Shinjo secara kebetulan, tapi pada dasarnya aku makan sarapan dan makan malam dengan Ayase-san setiap hari.

Tapi Ayase-san sepertinya tidak senang dengan jawabanku.

“Kami tidak duduk bersebelahan saat makan malam.”

Ah, jadi itu maksudnya?

Pengaturan tempat duduk meja makan kami tidak diatur, jadi bukannya seperti Ayase-san dan aku tidak bisa duduk bersebelahan. Tapi Ayase-san dan Akiko-san yang sering berada di dapur cenderung duduk lebih dekat ke bak cuci, sementara aku dan ayahku duduk di seberang mereka.

“Duduk bersebelahan seperti itu, bahumu mungkin bersentuhan.”

“Tidak, bahu kami tidak saling menyentuh, kok.”

“Aku cemburu.”

“Kepada Shinjo?”

“Ya, aku berharap aku bisa melakukan itu.”

“Yah, jika aku ingin menyentuh bahu dengan seseorang, aku ingin melakukannya bersamamu.”

“Benarkah?”

Saat dia berkata “Benarkah?”, Dia dengan ringan membenturkan bahunya ke bahuku. Sepertinya dia ingin melakukan kontak fisik karena kami tidak punya banyak waktu untuk berbicara hari ini. Masalahnya bisa menimbulkan kesalahpahaman jika kita tidak membicarakannya terlebih dahulu. Aku bertanya-tanya bagaimana pasangan lain di dunia memastikan mereka memahami niat satu sama lain dengan hal-hal fisik. Baik Ayase-san dan aku tidak pandai membaca suasana hati atau menangkap isyarat yang tak terucapkan.

Di jembatan gantung di Pantai Palawan, kami sangat senang bertemu satu sama lain sehingga kami berpelukan tanpa berpikir dua kali. Tapi, aku belum merasakan kehangatan Ayase-san dengan jelas sejak saat itu.

Itu juga agak menakutkan.

Aku berbisik lembut di telinganya, “Boleh aku memelukmu?”

Seolah-olah dia memikirkan hal yang sama, Ayase-san bersandar padaku, menekan berat badannya ke dadaku. Aku tidak menyangka kalau dia akan bersandar, jadi aku kehilangan keseimbangan dan kami berdua jatuh ke tempat tidur.

“Hati-hati,” kataku sambil memeluk Ayase-san seolah-olah untuk mendukungnya. Aku tidak ingin melepaskan kehangatan yang kurasakan.

Aku tidak bisa melihat wajah Ayase-san karena dia menguburnya di dadaku. Tapi, aku bisa merasakan bahunya sedikit gemetar. Ketika aku bertanya, “Ada apa?”, dia tidak mengatakan apa-apa, dan hanya menggelengkan kepalanya. Namun, aku menyadari cengkeramannya padaku semakin erat.

Aku merasakan kehangatan memancar dari lengan yang kulilitkan di punggung Ayase-san.

““Hangat sekali…”” kami bergumam serempak. Anehnya aku merasa tergerak olehnya. Ah, saat ini, kami berdua merasakan hal yang sama.

Namun, sedikit rasa tidak nyaman masih melekat di benakku.

Aku ingat saat pertama kali kami bertemu dan dia berusaha menjaga jarak, mengatakan bahwa kami tidak boleh mengganggu kehidupan satu sama lain.

Apakah gadis yang bernama Ayase Saki benar-benar tipe orang yang sangat mendambakan kasih sayang fisik? Dan apakah aku juga tipe orang yang tidak ingin melepaskan seseorang yang telah aku sentuh seperti ini?

Lengan Ayase-san melingkari punggungku, dan aku meremasnya erat-erat dengan kedua tanganku.

Angin sepoi-sepoi dari AC, yang telah kami setel ke setelan rendah karena awal musim panas sudah dekat, dengan lembut menggerakkan rambut Ayase-san. Meskipun itu adalah udara yang hangat, mungkin tidak baik untuk meniupnya langsung ke tubuh kita yang lembap. Saat aku menutupinya dengan selimut, Ayase-san mengucapkan terima kasih dengan suara kecil.

Merasa terhibur dengan sensasi lembut saling berpelukan, kesadaranku semakin memudar dan akhirnya tertidur, tidak tahu siapa yang ketiduran duluan.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama