Gimai Seikatsu Jilid 8 Bab 6 Bahasa Indonesia

Bab 6 — 21 April (Rabu) Ayase Saki

 

Pasti ada saja jam pelajaran yang membuatku lebih mengantuk daripada yang lain.

Cuacanya hari ini begitu cerah dan indah. Sinar matahari yang hangat mengalir ke sekitar baris kedua dari jendela, membuat ruang kelas menjadi terang. Hampir terlalu terang malahan.

Tepi tirai lipat bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka.

Kondisinya sangat sempurna untuk tidur siang setelah makan siang. Bahkan jika aku tidak berada di dekat jendela, hal tersebut masih membuatku mengantuk. Selain itu, setelah pelajaran olahraga yang melelahkan di jam pelajaran keempat. Lebih buruk lagi, kelas saat ini — Sejarah Jepang — adalah salah satu yang aku kuasai, jadi aku sedikit lengah.

Diliputi oleh rasa kantuk, tanpa sadar aku mengulangi baris ritmis di kepalaku saat aku tertidur.

Ketua Kelas yang duduk di sebelahku, dipanggil oleh guru. Dia menggeser kursinya ke belakang saat dia berdiri, mungkin berniat untuk membangunkanku. Syukurlah, aku berhasil menjaga mataku terbuka sepanjang jam pelajaran yang tersisa, tapi jelas keadaanku lebih linglung dari biasanya.

Ini pertama kalinya aku tertidur di kelas sejak masuk SMA.

Aku mengacau.

Aku melirik Ketua Kelas di sampingku. Dia menatapku juga dan memindahkan jarinya ke mulutnya. Aku panik dan buru-buru menyeka mulutku. Apa dia menyadarinya?

Dia menggerakkan bibirnya untuk membentuk kata “Bo-ho-ng”. Ugh. Jadi dia menyadari kalau aku tertidur.

Aku mengucapkan “terima kasih” sembari melirik ke arah guru. Lalu aku kembali ke papan tulis. Aku tidak pernah berpikir hari itu akan tiba ketika aku akan mendapatkan bantuan dari orang lain. Aku telah mencoba yang terbaik untuk mempertahankan dindingku, untuk tidak menunjukkan kelemahan apa pun, tetapi sekarang tembok itu runtuh dengan mudah.

Apa sih yang merasukiku belakangan ini?

Setelah jam pelajaran berakhir, kami beristirahat sejenak selama 10 menit sebelum jam pelajaran berikutnya dimulai. Tidak ada waktu untuk melakukan apa pun selain mempersiapkan materi pelajaran selanjutnya. Tetap saja, teman sekelasku berkerumun di sekitar Ketua Kelas yang ceria dan mengobrol sepanjang waktu. Sebagai orang di sebelahnya, mau tidak mau aku terjebak di dalamnya. Yah, Ketua Kelas tidak memaksaku untuk berbicara dengannya, jadi aku hanya bisa mendengarkan dengan setengah telinga. Tapi, ada beberapa teman sekelas di antara kelompok yang cukup gigih mencoba berbicara denganku.

Perubahan terbesar selama aku menginjak kelas 3 adalah bagaimana aku menghadapi situasi ini sekarang. Aku ingin belajar dari keterampilan sosial Asamura-kun yang baik di tempat kerja, jadi aku tidak bisa bersikap dingin seperti dulu ketika ada orang berbicara denganku. Jika aku menganggap ini sebagai praktik untuk melayani pelanggan, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tapi hari ini aku merasa murung dan hanya ingin sendiri.

Jika Maaya ada di sini, dia akan memahami situasi dan meninggalkanku sendiri, tetapi rasanya konyol untuk mengharapkan orang lain menunjukkan tingkat pertimbangan seperti itu.

Dengan senyum palsu yang merentang di pipiku, aku dengan susah payah menghabiskan jeda. Pada saat sekolah usai untuk hari itu, aku merasa lelah secara mental. Dan aku masih memiliki jadwal shift kerja yang harus dilalui.

 

◇◇◇◇

 

Semuanya tidak berjalan membaik ketika aku mulai bekerja.

Yomiuri-san libur hari ini karena berburu pekerjaan dan Asamura-kun dan aku ditempatkan bersama.

Mungkin karena aku hampir terlambat dan merasa tergesa-gesa, pekerjaan hari itu menjadi bencana.

Aku membuat banyak kesalahan yang biasanya tidak aku lakukan. Misalnya, ketika aku mengisi ulang buku di rak, aku hampir meletakkannya di rak yang salah. Bahkan jika disimpan di bagian yang sama, manga yang dibuat untuk pria atau wanita berbeda. Seperti yang dijelaskan Asamura, jika hanya ada gadis imut di sampul, itu untuk pria, dan jika hanya ada pria keren, itu untuk wanita. Tentu saja ada yang pengecualian, tetapi itu adalah kecenderungan umum yang harus aku ingat.

Tapi dia juga memperingatkanku bahwa jika itu diganti – anak laki-laki yang lucu dan bukan anak laki-laki yang keren dan sebaliknya – itu bisa berjalan baik. Aku tidak terlalu mengerti, tapi ternyata memang begitu, dan aku hampir lupa pelajarannya.

Selain itu, aku hampir melakukan kesalahan saat mengembalikan uang kembalian kepada pelanggan dan mengacak-acak melipat sampul buku.

Itu sama sekali bukan kesalahan fatal, tetapi aku tahu ada sesuatu yang salah dan aku harus melakukan sesuatu. Jadi, aku bertanya kepada manajer apa aku bisa menggunakan kamar kecil.

Tujuan aku adalah mencuci muka untuk memperbaiki kurangnya konsentrasiku. Aku memercikkan air dingin ke wajahku dan memeriksa seperti apa penampilanku di cermin wastafel. Mataku terlihat sedikit bengkak, tapi itu mungkin karena aku tertidur di waktu yang aneh dan bangun pagi. Aku kurang tidur, jadi aku kurang konsentrasi mungkin karena kurang tidur.

Karena aku tidak banyak merias wajah hari ini, aku tidak perlu bersusah payah untuk mengulanginya kembali. Jika aku adalah orang dewasa yang bekerja atau seperti Yomiuri-san, aku mungkin harus memperbaikinya dengan benar.

Ketika aku memberi tahu manajer bahwa aku kembali, ia memintaku untuk memberi tahu Asamura-kun untuk pergi ke gudang. Aku menemukannya sedang istirahat minum teh di kantor dan menyampaikan pesan itu. Saat berada di sana, aku memiliki kesempatan untuk meminta maaf kepadanya karena tertidur tadi malam, tetapi aku merasa sangat tidak nyaman. Begitu pesan itu disampaikan, aku segera lari keluar ruangan.

Bahkan dalam perjalanan pulang setelah bekerja, aku tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk diucapkan. Perasaan suram masih melekat di dalam hatiku.

 

◇◇◇◇

 

Goretan pulpenku berhenti di tengah halaman ketika mendengar “Makan malamnya sudah siap!” dari luar pintuku.

“Ya, aku akan ke sana!” Aku menanggapinya kembali dan menandai tempat di buku catatanku tempat aku meringkas catatanku dari kelas. Aku juga belum membuat banyak kemajuan hari ini.

Belajar setelah selesai bekerja dan pulang hanya mungkin karena keluarga kami bergantian membuat makan malam. Aku bersyukur untuk itu, tapi aku juga merasa sedikit bersalah. Aku berniat untuk melakukan semuanya sendiri.

Begitu aku memasuki ruang makan, aromanya menggelitik hidungku.

“Baunya enak. Kamu membuat kari?”

Asamura-kun menjelaskan bahwa ibuku sudah membuat nikujaga, dan dirinya hanya menggunakan sisanya untuk kari. Ia menambahkan sayuran microwave ke atasnya dan mengubahnya menjadi kari sayuran. Asamura-kun dari setahun yang lalu takkan pernah bisa melakukan hal seperti ini. Karena aku tahu dia dan Ayah tiri hanya akan membeli makanan siap saji atau layanan antar paket sebelum aku dan Ibuku pindah. Kalau dipikir-pikir, Asamura-kun bahkan tidak tahu cara mengasinkan daging saat itu.

Mempertimbangkan kemajuannya, aku benar-benar terkesan. Tapi ia khawatir kari sisa-sisanya akan terlihat malas. Secara pribadi aku tidak berpikirn begitu. Jika kari Asamura-kun dianggap malas, maka apa yang aku masak setiap hari juga sama saja.

Aku tidak bermaksud memujinya, tapi karena aku sedikit bersemangat, wajah Asamura-kun terlihat sedikit rileks. Aku merasa lega.

Kami duduk dan mulai makan.

Asamura-kun sempat memberitahu kalau rasanya mungkin sedikit pedas, dan ia benar. Aku biasanya lebih suka yang tidak pedas. Tapi aku sudah merasa sangat kempes sejak pagi ini dan rasa pedasnya tidak terlalu menggangguku.

Sambil makan, akhirnya kami bisa berbicara panjang lebar.

Kami menyadari bahwa kami memiliki kekhawatiran yang sama akhir-akhir ini. Bukan hanya tentang universitas, tapi setelah itu juga. Sampai saat ini, kami hanya memiliki gagasan yang kabur tentang apa yang ingin kami lakukan di masa depan. Tetapi enam bulan terakhir telah menyalakan api di bawah kami dan rencana kami menuntut lebih banyak pemikiran.

“Sejujurnya, aku tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untukku.”

Perkataan Asamura-kun mengingatkanku pada pembicaraanku dengan ibuku.

Aku mencoba meredakan kekhawatirannya dengan menyampaikan apa yang Ibu katakan kepadaku. Ketika aku mengatakan kepadanya bahwa kupikir aku tidak akan menjadi yang terbaik dalam layanan pelanggan, Ibu juga memberitahu bahwa dia tidak pernah kepikiran juga saat masih dia seusiaku. Aku mencoba menyampaikan pesan itu kepada Asamura-kun, berharap itu akan menyemangatinya. Aku tahu betul seberapa kerasnya ia bekerja.

Sejak Ibuku dan aku tinggal bersama Ayah Tiri dan Asamura-kun, mereka telah mencoba menyesuaikan aturan dan kebiasaan keluarga mereka dengan kami sehingga kami merasa senyaman mungkin. Hal itu termasuk memasak. Aku tidak berpikir mengandalkan pengiriman makanan dan makanan yang sudah disiapkan sebelumnya adalah hal yang buruk. Hal tersebut bisa lebih hemat biaya untuk orang yang tinggal sendiri dalam keadaan tertentu.

Jika seseorang cukup beruntung memiliki pengetahuan dan peralatan memasak yang diturunkan dari generasi ke generasi di keluarganya, harganya bisa sangat murah. Tetapi bagi orang yang tidak seberuntung itu, memulai dari awal bisa jadi mahal.

Yang terpenting, otak manusia tidak terlalu suka perubahan. Ayah tiri dan Asamura-kun telah menyesuaikan diri dengan kami, dan aku sangat berterima kasih. Asamura-kun bahkan memasak makan malam untuk kami sendiri sekarang. Ia juga menemukan musik untuk membantuku fokus saat belajar dan memberikan strategi untuk membuatku lulus ujian Sastra Modern Jepang.

Jika Asamura-kun mencemaskan masa depannya, apalagi diriku.

“Tidak perlu terburu-buru,” ibuku memberitahuku.

—Aku tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untukku.

Setelah aku mengucapkan terima kasih atas makanannya dan kembali ke kamar, aku berbisik dalam hati, “Aku merasakan hal yang sama.”

 

◇◇◇◇

 

Aku berendam di dalam bak mandi setelah makan malam.

Saat aku duduk untuk mengeringkan rambutku, aku membentangkan majalah mode di pangkuanku dan membolak-baliknya. Ketika rambutku masih pendek, itu bakalan cepat kering, tetapi sekarang hampir kembali ke panjang aslinya, itu membutuhkan waktu lebih lama.

Hampir tidak mungkin belajar dengan rambut basah. Pengering rambut terlalu keras untuk menonton video atau mendengarkan musik, dan membaca adalah satu-satunya pilihanku yang sebenarnya—baik itu majalah atau buku kosa kata.

Pada saat aku selesai mengeringkan rambut, ayah tiriku telah kembali ke rumah. Aku berteriak, “Selamat datang di rumah” saat ia membuka pintu dan menunjukkan wajahnya.

Asamura-kun mulai menghangatkan kari untuknya. Aku menawarkan untuk membantu, tapi seperti yang diharapkan, ia menolak bantuanku dan lebih memilih untuk melakukannya sendiri, jadi aku kembali ke kamarku untuk belajar.

Aku mengenakan pakaian hangat agar tidak kedinginan dan membuka buku latihanku untuk membahas pelajaran yang kurang aku kuasai— Sastra Jepang Modern .

Aku kembali melanjutkan di mana aku tinggalkan kemarin dan terjebak dalam beberapa masalah…

… Dengungan AC yang telah ditenggelamkan oleh musik Lofi Hip Hop terdengar lagi di telingaku.

Sial, aku kembali tertidur. Headphone aku terlepas di beberapa titik dan wajah aku menempel di meja. Setelah melirik jam, aku melihat kalau waktunya sudah lewat tengah malam.

Karena konsentrasiku sudah buyar, kurasa tidak efisien untuk mencoba dan terus maju sekarang. Aku bahkan belum menyelesaikan setengah dari soal yang aku rencanakan untuk dikerjakan di buku latihan.

“Aku menyerah. Aku akan tidur.”

Aku merasa haus. Aku melepas headphoneku dan menggelengkan kepala dengan kuat satu kali. Lalu membuka pintu menuju dapur.

Karena terkejut, aku menghentikan langkahku. Seseorang ada di ruang makan—Asamura-kun. Ia sedang minum cairan coklat dari gelas. Kemungkinan besar itu teh barley.

Aku pikir itu terlihat segar dan memutuskan untuk meminumnya juga. Aku melewatinya, membuka kulkas, dan menuang segelas teh dingin untuk diriku sendiri. Aku duduk di sebelahnya dan mulai minum, meniru tegukannya.

“Kamu bekerja keras sampai larut malam ini, ya.”

Jantungku melonjak saat kata-kata itu keluar dari mulutnya.

“Ya…”

Aku menggumamkan jawaban positif, tetapi sebenarnya aku benar-benar tertidur dan merasa bersalah karenanya.

Walaupun sudah sibuk dengan urusannya sendiri, Asamura-kun masih mengkhawatirkanku. Aku memanfaatkan kebaikannya dan mengakui bahwa akhir-akhir ini aku kesulitan berkonsentrasi pada belajarku. Ia mengatakan kepadaku bahwa ia mengalami masalah yang sama, berjuang untuk berkonsentrasi meskipun sekarang menjadi pelajar kelas 3. Ternyata kami berdua memiliki kekhawatiran yang sama tanpa menyadarinya.

Rasanya sedikit mengejutkan bahwa kami sudah menjadi anak kelas 3 selama hampir sebulan tetapi belum berbagi masalah satu sama lain sampai sekarang. Mungkin karena akhir-akhir ini kami jarang berbicara.

Kami berdua jarang mengobrol. Kami belum berpegangan tangan. Dan yang terpenting, kami belum merasakan kehangatan tubuh masing-masing.

Pelukan kami di jembatan gantung Pantai Palawan terasa seperti mimpi yang jauh sekarang.

Itu sebabnya… tadi malam… merasakan kehangatan satu sama lain begitu nyaman dan kami berdua tertidur lelap.

Kami saling memandang, meletakkan teh barley kami, dan mengulurkan tangan untuk menjembatani jarak di antara kami. Tapi kedua tangan kami berhenti di tengah jalan, melayang di udara.

Di benakku ada ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika aku mengikuti dan menyentuhnya.

“Kita harus benar-benar tidur nyenyak, kan?”

Aku menyingkirkan pikiranku mengenai “Apa yang akan terjadi” dari kepalaku.

Aku berusaha untuk tidak memikirkan kehangatan yang seharusnya kurasakan di lenganku yang menjauh dariku. Kami berdua menarik kembali masing-masing tangan kami.

Aku mencuci cangkirku, mengucapkan selamat malam, dan kembali ke kamarku. Aku naik ke atas kasur, mematikan lampu, dan memejamkan mata.

Tapi kantuk yang datang begitu mudah saat aku belajar tadi tidak kembali. Mau tak mau aku membayangkan apa yang akan terjadi jika kami bergandengan tangan dan aku tidak bisa tidur.

Aku menghabiskan malam menatap lampu langit-langit yang bersinar redup.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama