Bab 6
Aku mengalihkan perhatianku
pada jadwalku, lalu memasukkan buku pelajaran dan catatan ke dalam tasku. Sudah
menjadi rutinitasku untuk mengemasi barang-barangku ke sekolah sebelum
berangkat tidur.
“Tugas PR ... juga sudah
selesai.”
Menurut perkataa Mayuko, aku
adalah orang yang rajin. Aku sangat menyadari hal itu, dan aku melihatnya
sebagai sisi bagusku. Namun, aku harus berhenti menjadi 'Gadis baik-baik'. Karena jika aku tetap seperti ini, aku takkan
pernah diizinkan berkencan dengan Tsuyoshi-kun. Ia melihatku sebagai semacam
orang suci. Dirinya bahkan mengatakan kalau ia ingin menjadi seseorang seperti diriku,
hal tersebut dengan jelas menyatakan kalau aku ini gadis sempurna di matanya.
Aku ingin Tsuyoshi-ku berpikir
bahwa aku tidak sempurna. Demi hal itu, aku melakukan rencana dengan
langkah-langkahku sendiri. Sebagai permulaan, aku akan bertindak seperti aku
lupa dengan tugas PR-ku. Dengan begitu, dirinya akan melihat bahwa aku juga
orang yang teledor.
***
Aku sampai di sekolah sedikit
lebih cepat dari biasanya, menggunakan lenganku sebagai bantal sambil
beristirahat di meja. Setelah mendapat dorongan dari Sako-san, aku memusatkan
perhatianku untuk belajar lagi, tapi ternyata tidak semudah yang kuharapkan.
Karena aku memiliki periode waktu di mana aku tidak banyak belajar, aku tidak
bisa fokus sebanyak yang biasa aku punya seperti di masa SMP dulu. Akibatnya, aku
hanya mengalami banyak kesulitan kemarin.
Saat aku menoleh, aku melihat
Takumi tidur dengan cara yang sama di mejanya. Karena tidak ada orang untuk
diajak bicara, aku hanya memutuskan untuk menunggu bel pagi berbunyi. Namun,
tepat saat aku memejamkan mata, sebuah suara memanggilku.
“Tsuyoshi-kun, apa kamu tidur?”
Suara lembut menggelitik
telingaku.
“Tidak, aku sudah bangun.”
“Maaf karena sudah mengganggumu
saat kamu sedang istirahat.”
Aku mengangkat kepalaku dan
bertemu dengan ekspresi minta maaf Sako-san.
“Aku lupa membawa PR bahasa
Jepangku, jadi aku ingin tahu apa kamu bisa membiarkanku melihat PR-mu…”
“Ah, bahasa Jepang ya, oke.”
Aku mengeluarkan catatanku dan
menyerahkannya padanya.
“Terima kasih! Ini sangat
membantu!”
“Jangan terlalu dipikirkan, itu
bukan masalah besar, kok.”
“Oh iya aku baru ingat, apa kamu
berhasil menyelesaikan pertanyaan terakhir dari PR matematika?”
Biasanya, tugas PR matematika
hanya menyelesaikan rumus, tetapi pertanyaan terakhir adalah pertanyaan lanjutan.
Ini adalah pertanyaan yang disediakan untuk siswa yang tidak puas hanya dengan
pertanyaan biasa, tetapi tidak perlu menyelesaikannya. Sampai saat ini, aku
selalu membiarkannya tidak tersentuh, tapi karena aku sudah menetapkan tekadku
untuk belajar lagi, aku mencoba untuk menantangnya. Itu adalah pertempuran yang
sulit, tetapi kupikir aku mendapat jawaban yang tepat.
“Yah bisa dibilang aku berhasil
menyelesaikannya, itulah sebabnya aku kurang tidur sekarang.”
“Begitu rupanya. Aku berharap
untuk mungkin membalas budi karena sudah membantuku dengan bahasa Jepang, tapi kurasa
itu tidak perlu.”
“Ya. Tapi tetap saja, terima
kasih. Aku akan datang untuk menanyakan apakah aku butuh bantuan lagi.”
“Tentu saja! Aku bisa melihat
kalau kamu bekerja keras. Kamu sudah memiliki kantong di bawah matamu.”
“Itu karena kamu memberiku
begitu banyak motivasi.”
“Hehe, aku tidak melakukan
sesuatu yang besar, kok~”
Hal itu karena aku sangat menghormati
Sako-san sehingga kata-katanya sangat menyentuh. Itulah satu-satunya alasanku
ingin sekarang berdiri di sisinya. Dan demi mencapai tujuan tersebut, aku harus
mengalahkannya di ujian berikutnya.
“Apa kamu memiliki banyak
masalah dengan pertanyaan itu?” Aku bertanya dalam tindakan pengintaian pada
musuh.
“Itu bukannya pertanyaan mudah
atau semacamnya, tapi kurasa aku melakukannya dengan baik.”
“Sako-san memang luar biasa…”
Musuhku benar-benar tangguh.
“Hehe, terima kasih. Pokoknya, aku
akan menyalin ini dengan sangat cepat.” Sako-san berkata dan berjalan kembali
ke tempat duduknya.
Segera setelah itu, punggung
besar Takumi bergerak.
“Kalian berdua sangat dekat,
ya? Tak disangka kamu akan mulai berbicara lebih banyak setelah kamu
menolaknya.”
“Takumi, apa kamu mendengarkan
kami?”
“Aku tidak pernah bilang kalau
aku sedang tidur.”
“Memang benar sih, tapi…”
Aku benar-benar tidak senang
digoda oleh Takumi, tapi aku senang hal-hal tidak berakhir canggung di antara kami.
“Tetap saja, Sako yang melupakan
sesuatu…” gumam Takumi.
“Hari ini sudah menjadi hari
kedua berturut-turut, ‘kan?”
“... Bukannya kamu, kamu tahu,
merasakan sesuatu padanya yang menjadi pelupa belakangan ini?”
"Hah? Maksudku, aku
sendiri selalu melupakan banyak hal.”
“Kamu dan Sako tidak sama.
Menurutmu Sako benar-benar terlihat seperti orang yang melupakan sesuatu? Dia
itu murid teladan.”
“Sekarang setelah kamu bilang
begitu, kurasa ada benarnya …”
“Bagus.” Takumi menyeringai. “Baiklah,
lain kali jika dia melupakan sesuatu, serahkan saja padaku.”
Ia sepertinya sedang
merencanakan sesuatu, yang mana hal itu membuatku cemas.
Kali berikutnya Sako-san
melupakan sesuatu adalah dua hari setelah pembicaraan tersebut terjadi. Saat
Takumi dan aku berbicara sebelum bel pagi, Sako-san datang ke meja kami.
“Tsuyoshi-kun, maaf kalau aku menanyakan
ini lagi, tapi bisakah kamu menunjukkan PR sejarahmu?”
“Oke, baikla—”
“Kamu bisa melihat punyaku,
Sako. Tulisan tangannya bisa sedikit amburadul.”
Sebelum aku bisa memberikan
respon, Takumi langsung memisahkan kami. Namun Sako-san melambaikan tangannya
dan menolak dengan sopan.
“Tidak apa-apa kok, aku bisa
membacanya.”
“Nah, kamu harus meminjam
milikku sebagai gantinya. Jika kamu cuma ingin menyalin PR seseorang, maka PR-ku
saja sudah cukup. Apalagi milikku lebih mudah dibaca.”
“Er, um…”
Sako-san tampak bermasalah dan
melirikku. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya sangat bimbang.
“Lihat, ini catatanku.” Takumi
mengeluarkan catatannya bersamaan dengan PR-nya.
Seperti yang dikatakannya,
tulisannya terlihat rapi dan mudah dibaca. Ia bahkan menggunakan pulpen warna
untuk beberapa bagian.
“Sudah kubilang, ‘kan? Punyaku
jauh lebih baik.”
“Itu benar, sih…” Dia
mengangguk, tapi masih ragu untuk menerima catatan Takumi.
“Aku mengerti perasaanmu, Sako.
Jika Kamu ingin meminjam catatan Tsuyoshi, maka aku akan mundur. Tapi kamu
harus bersikap jujur.”
“Umm… yah…”
Sako-san terlihat kebingungan.
Dia meletakkan jari telunjuknya di pipinya, dengan tatapannya mengembara ke
mana-mana. Kenapa dia terlihat sangat ragu-ragu begitu? Meminjam PR dari Takumi
akan jauh lebih efisien. Ditambah lagi, entah mengapa dia sesekali melihat ke
arahku, seakan-akan meminta bantuan. Dia tampak seperti anak anjing yang
dibuang di tengah hujan. Ekspresi ini membangkitkan hasratku yang ingin
melindunginya, dan aku merasa kasihan padanya.
“Ayolah, sudah cukup, hentikan
itu, Takumi. Sako-san terlihat sangat bermasalah, tau.”
“Hei sekarang, kamu berpihak
padanya ...?”
“Karena menurutku kamu terlihat
seperti menindasnya.”
Takumi menggelengkan kepalanya.
“Maaf, akulah yang salah. Kalau
gitu, biar kamu saja yang menunjukkan PR-mu, Tsuyoshi.”
Aku menyerahkan buku catatanku
pada Sako-san, yang membuatnya tersenyum berseri-seri. Ekspresinya yang
sekarang sangat berkebalikan dari apa yang dia perlihatkan sebelumnya.
“Terima kasih! Aku akan segera
menyalinnya!”
Sako-san melarikan diri saat
Takumi memasukkan catatannya sambil menghela nafas.
“Kamu masih belum menyadarinya,
Tsuyoshi?”
“Apa maksdumu?”
Karena aku tidak bisa memaafkan
Takumi karena membully Sako-san, aku menjawab dengan nada kesal.
“Dia selalu meminjam
barang-barangmu, ‘kan? Bahkan barusan, dia jelas ragu untuk meminjam catatanku,
kan? Aku percaya itu hanyalah kepura-puraannya supaya memiliki alasan untuk berbicara
denganmu. ”
“Bagaimana kamu tahu itu? Dia
mungkin memiliki banyak hal yang terjadi, itulah sebabnya dia terus melupakan
banyak hal.”
“Tidak, pasti bukan begitu
masalahnya. Dia melakukan ini dengan sengaja. Atau lebih tepatnya, dia mungkin
keadaannya sendiri tapi dia sengaja bertindak seperti dia lupa pekerjaan rumah.”
“Mana mungkin begitu, itu
mustahil.”
Tatapan mata Takumi menyipit
dengan percaya diri.
“Dugaanku pasti benar. Dan aku
punya cara untuk membuktikannya.”
Keesokan paginya, kami
diam-diam mengamati Sako-san. Sesampainya di sekolah, dia duduk di mejanya
sendiri, mencari-cari ke dalam tasnya. Setelah itu, dia berdiri dan berbalik.
Ini adalah pola yang biasa kami lihat beberapa hari terakhir ini. Dia jelas
melupakan sesuatu lagi. Takumi lalu berbisik ke arahku.
“Dia datang. Pastikan untuk
memanggilnya terlebih dahulu. ”
“Y-Ya.”
Sako-san mendekati tempat
dudukku. Dan kemudian, tatapan mata kami bertemu.
“Tsu—”
“Sako-san.”
“Y-Ya?”
“Boleh aku melihat tugas PR-mu?”
“Tentu! Mata pelajaran apa?”
“Umm, sejarah Jepang.”
“Sejarah Jepang ya, oke .”
Sako-san kembali ke tempat
duduknya, dan mengambil catatannya.
“Aku sudah banyak mengandalkanmu
akhir-akhir ini, jadi aku harus membalas budi padamu sesekali.”
“Kita berdua sama-sama saling
membantu kok, jadi anggap saja kita impas.”
“Kamu memang sangat baik sekali,
Tsuyoshi-kun.”
“Tidak juga, kok.”
Setelah menyelesaikan
percakapan ini, Sako-san kembali ke tempat duduknya. Hah? Tunggu sebentar, jadi
Sako-san sebenarnya tidak melupakan apapun sama sekali? Kupikir itu akan
menjadi pola yang sama seperti akhir-akhir ini… Dan kenapa Takumi memasang
wajah menyeringai seperti itu?
“Mari kita periksa dengan
teliti bagaimana catatannya.”
Karena aku berbohong tentang
melupakan PR-ku, jadi aku tidak perlu menyalin miliknya. Namun, aku memang
penasaran dengan isi catatannya. Aku mengangguk dan membuka halaman dengan
gerakan tangan yang hati-hati.
“Woahhhh.”
Melihat tulisan tangan bekualitas
tingkat tinggi begini membuatku mengeluarkan suara terperangah. Tulisan
tangannya terlihat indah dan mudah dibaca, dia menandai segala sesuatu yang
penting dengan empat warna pena, dan mengubah ukuran tulisan tangannya untuk
menekankan pentingnya masing-masing materi pelajaran. Selain itu, dia menambahkan
candaan kata dan permainan kata di setiap tanggal yang membuatnya lebih mudah
diingat. Juga, dia menggambar gambar-gambar kecil dari tokoh-tokoh sejarah.
Sangat lucu sekali.
“Ini sungguh menakjubkan.”
Takumi sama terpukaugnya denganku. “Setelah membuat catatan dengan detail
seperti itu, kamu masih berpikir kalau dia akan melupakannya di rumah?”
“Tidak mungkin. Dia pasti akan
menyerahkannya tidak peduli apakah dia akan terlambat.”
“Nah, ‘kan? Jadi akui saja, dia
sedang mencari alasan untuk berbicara denganmu.”
Sampai sejauh ini, aku harus
menerima logika Takumi. Sako-san bertingkah seperti dia melupakan tugas PR-nya supaya
dia bisa berbicara denganku di kelas.
“Tapi... Bukannya itu cara yang
bertele-tele cuma demi sekedar ingin berbicara denganku?”
“Tidak juga. Berbicara dengan
siswa lain di sudut kelas yang berbeda membutuhkan banyak keberanian. Itulah
sebabnya perubahan tempat duduk sangatlah penting.”
“Ahhh, kurasa itu masuk akal.”
Dengan kata lain, dia
membutuhkan alasan untuk berbicara denganku. Memikirkan hal itu membuatku merasa
bahagia sekaligus geli. Namun, bahkan jika dia ingin berbicara denganku, aku
merasa tidak enak karena membuatnya melakukan cara bertele-tele seperti itu. Aku ingin berbicara dengannya
sendiri, dan mengenalnya lebih baik. Itu sebabnya aku tidak bisa membiarkan dia
melakukan hal begini terus. Aku harus menjadi orang yang mendekatinya juga. Jadi,
aku lalu bersiri sambil membawa catatannya di tanganku.
“Tsuyoshi, apa yang kamu
lakukan?”
“Mengembalikan catatannya.”
“Tapi kamu punya ekspresi yang
cukup berani."
Aku mengabaikan komentar Takumi
dan langsung menuju kursi Sako-san.
“Sako-san, apa kamu punya waktu
sebentar?”
***
"Sako-san, apa kamu punya
waktu sebentar?"
Setelah namaku dipanggil oleh
Tsuyoshi-kun, aku pun berbalik. Di tangan kanannya, ia memegang buku catatanku
yang baru saja aku berikan kepadanya.
“Kamu selesai menyalin
semuanya?”
“Tidak, tapi kamu bisa
menyimpannya kembali.”
“Ah, baiklah.”
Aku secara refleks menerima
buku catatanku, tetapi tentu saja, aku agak bingung.
“Ada sesuatu yang ingin aku
bicarakan, jadi bisakah kamu ikut denganku sebentar?”
“H-Hah?!”
Aku dibuat kaget saat mendengar
ajakan yang begitu berani. Kenapa hanya kita berdua? Apa yang akan ia
bicarakan? Aku dipenuhi dengan keraguan, tetapi tatapannya yang lugas membuatku
tidak bisa menolak.
“O-Oke.” Aku mengangguk dan
bangkit dari tempat dudukku.
Saat melewati kursi Mayuko, aku
mengiriminya tatapan putus asa meminta bantuan, tapi dia hanya mengacungkan
jempol kepadaku. Aku tidak membutuhkan itu sekarang, oke?! Karena bel pagi
sudah mulai berdering, jadi tidak banyak orang di luar kelas. Jadi bisa
dibilang, hanya ada kami berdua. Aku ingin tahu apa yang ingin Tsuyoshi-kun
bicarakan? Aku sedikit gugup sekarang. Tsuyoshi-kun berbicara dengan suara
pelan yang hanya bisa aku dengar.
“Kamu sebenarnya tidak melupakan
PR-mu, kan?”
Eeep. Ia dengan sempurna
mengungkit di tempat yang sakit, aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Apa
aku masih bisa keluar dari situasi ini? Dan apa yang harus aku lakukan? Aku
tidak diberi waktu untuk memikirkan itu, saat Tsuyoshi-kun melanjutkan.
“Aku akhirnya mengerti mengapa kamu
terus melupakan PR-mu. Aku minta maaf karena begitu tidak peka. ”
“Apa…”
Apanya yang sudah ia mengerti?
Bahwa aku mencoba untuk menunjukkan betapa kikuk dan anti-rajinnya aku? Apa itu
mungkin?
“Kamu ingin alasan untuk
berbicara denganku, ‘kan? Itu sebabnya kamu bertingkah seperti kamu melupakan
PR-mu. ”
“……Apa?”
“Kamu kesulitan berbicara
denganku di kelas, jadi kamu membuat alasan yang membuatnya lebih mudah, ya?”
“…Ah, ya, itu benar.”
Aku hampir dibuat kaget...Tapi kurasa
aku diselamatkan oleh kesalahpahaman yang tak terduga. Yah, aku memang ingin berbicara
dengannya, jadi kurasa ia tidak sepenuhnya salah.
“Kurasa kamu pasti ragu untuk berbicara
denganku di kelas, ya?”
“Yah, sesuatu seperti itu.”
Kamu membutuhkan keberanian
untuk memanggil anak laki-laki dengan adanya orang lain di sekitarnya. Tapi ia
mendapat kesan yang salah bahwa aku membutuhkan alasan untuk berbicara
dengannya.
“Itulah sebabnya ... kenapa
kita tidak berhenti berbicara saat berada di dalam kelas?"
Aku merasakan semua darah
terkuras habis dari tubuhku. Begitu rupanya, jadi ia melihatku berbicara
dengannya sebagai tugas. Rasanya begitu menyakitkan saat mendengarnya. Aku
merasa seperti aku akan menangis.
“Maaf… aku tidak akan berbicara
denganmu lagi…”
“A-Aku tidak bermaksud seperti
itu. Ca-Cara penyampaianku saja yang salah. Maksudku, bagaimana kalau kita
berbicara melalui LINE saja? Kamu tidak harus melupakan PR-mu jika kamu ingin
berbicara denganku.”
“…A-Ah, jadi itu maksudmu!”
Aku terlalu cepat menyimpulkan!
Ahh, rasanya sangat memalukan sekali!
“Jadi…bagaimana? Jika kita
mengirim pesan di LINE, kita tidak perlu khawatir dengan tatapan orang lain.”
“Ya! Aku mohon! Dengan senang
hati!” Aku mengangguk beberapa kali.
“Syukurlah. Kalau begitu mari
kita lakukan itu.”
“Ya!”
Dengan begini, kami bertukar ID
LINE kami. Lonceng berbunyi tak lama setelah itu, dan kami kembali ke tempat
duduk masing-masing. Namun, aku tidak merasa kesepian sama sekali. Aku baru
saja mengiriminya stiker yang aku suka.
10 Juli,
Rencanaku untuk menunjukkan kecanggungan
dan ketelodranku berakhir dengan kegagalan.
Tapi sebaliknya, aku berhasil
bertukar ID LINE dengan Tsuyoshi-kun!
Aku sangat bahagia! Hasilnya
justru jauh lebih baik!
Aku harus membuat rencana yang
memanfaatkan LINE mulai sekarang.
Dan dengan begini, aku hanya
memiliki sekitar satu bulan lagi.
Aku harus cepat-cepat…
[30 Hari Tersisa.]
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya