Keiken-zumi Jilid 4 Bab 3 Bagian 3 Bahasa Indonesia

PART 3

 

Pada akhirnya, mereka tidak dapat melanjutkan makan malam mereka dan pertemuan itu berakhir.

Saat ibu Luna dan Kurose-san mencoba membayar, pelayan restoran mengatakan, “Anda belum memesan apa pun dan karena ini malam Natal, kami pikir ruangan pribadi akan segera penuh dengan tamu lain”. Ibu mereka lalu kepada Kurose-san sambil tersenyum, “Maaf sudah merepotkan kalian, Ibu pasti akan datang lagi suatu saat nanti”.

Dibandingkan dengan Luna, reaksi Kurose-san dan ibunya terasa biasa-biasa saja. Mereka berkata, “Karena sudah enam tahun sejak itu.” dan “Lagipula, aku juga sudah pernah menikah lagi sekali.” lalu pergi dengan wajah yang tampak ringan. Mereka berniat untuk makan malam ulang di restoran yakiniku favorit mereka di dekat Stasiun K. Meskipun kami diundang, kami meminta maaf dan menolak ajakan mereka karena Luna mengatakan “Aku ingin pulang.”

Setelah itu, ketika melihat Luna menangis tersedu-sedu, wanita yang menjadi calon istri Ayahnya keluar dari restoran dengan terkejut, dan Ayahnya pun berusaha mengejarnya, meninggalkan kami berdua.

Dan sekarang, Luna sedang berbaring lesu di atas meja kotatsu, yang merupakan meja makan keluarga Shirakawa. Tentunya, dia tidak lagi menangis, tetapi dia terlihat kehilangan semangat dan tenaga, bahkan tidak memiliki kekuatan untuk berbicara denganku.

Hal tersebut tidak mengherankan.

Selama seminggu ini, Luna benar-benar bersemangat. Meskipun seharusnya dia sibuk dengan persiapan “Operasi Dua Lotte,” dia tidak terlihat sedikit pun lelah. Matanya selalu bersinar.

──Aku selalu ingin pulang. Bersama dengan ayahku, ibuku, kakakku ... dan Maria, di rumah tempat kami berlima tinggal bersama.

Rasanya seperti melihat seseorang yang berbeda ketika menatap matanya yang sedih, kosong dan tertekan.

Dia benar-benar ingin kembali ke rumahnya  yang dulu, ada kemungkinan hal itu bisa menjadi kenyataan.

Harapan itulah yang membuatnya bersinar selama seminggu terakhir. Namun sekarang, harapan tersebut langsung pupus dengan rapuhnya. Dalam bentuk pernikahan kembali ayahnya.

Ditambah lagi, Luna selalu berpikir  “Ayah masih sangat menicntai Ibu,” jadi keterkejutannya yang diterima membuatnya syok berat

“………”

Jam analog di dinding hampir menunjukkan pukul 7 malam.

Hari ini bukanlah saat yang tepat untuk merayakan malam natal.

Aku tak punya kata-kata yang bisa kusampaikan kepada gadis yang sedang patah hati itu, karena aku bukanlah anggota keluarganya. Aku dengan hati-hati berdiri. Aku berpikir ingin memberinya waktu sendirian dulu sekarang.

“Kalau begitu, aku akan pulang dulu sekarang...”

Ketika aku mengatakan itu, lengan bajuku tiba-tiba dicengkeram dengan kuat.

Luna yang kepalanya sedikit terangkat dari meja kotatsu, menatapku dengan mata menengadah.

“Tolong jangan tinggalkan aku sendirian malam ini.”

 

Di-Dia bilang apaan tadi!?

 

Jantungku berdetak begitu kencang, hampir seolah-olah akan meledak kapan saja.

“Ti-Tidak, kamu tidak sendirian ‘kan, karena ayahmu juga nanti pulang kemari ...”

“Mana mungkin ia akan pulang. Ini malam natal, tau? Aku yakin kalau ia pasti sedang bersama wanita itu.”

“Itu ...”

Padahal masih mempunyai putri yang masih duduk di bangku SMA, bagaimana bisa seorang ayah tega memlih menghabiksan waktu dengan pacarnya ketimbang pulang ke rumah? Atau apa dirinyaa terjebak dalam pusaran cinta sehingga melupakan dirinya sebagai seorang ayah?

“Oleh karena itu, kumohon...”

Luna menatapku dengan tatapan matanya yang basah. Matanya yang merah dan bengkak terlihat menawan... Ketika aku dilihat dengan mata seperti itu, aku......

“Te-Tetap saja, itu enggak boleh, Luna. Itu ...”

Jangan pulang? Jangan tinggalkan aku sendirian malam ini?

Apa itu berarti aku bisa menginap di sini!?

Gaun rajut putih yang dikenakan Luna terbuka seperti potongan di bagian bahu, memperlihatkan kulit putih yang halus. Dari bawah selimut kotatsu, pahanya yang putih nan mulus bisa terlihat....

Secara tidak sengaja, tenggorokanku menelan ludah kering.

“Kenapa enggak boleh?”

Luna masih memegang lengan bajuku dan memiringkan kepalanya dengan wajah yang menggemaskan.

“Me-Meski kamu tanya begitu ...”

Neneknya sedang bepergian, sedangkan ayahnya tidak pulang... Di rumah keluarga  Shirakawa dalam situasi seperti itu, aku harus menghabiskan satu malam bersama Luna sendirian.

Sebagai seorang perjaka, aku tidak yakin bisa menahan diri hingga pagi.

“Ti-Tidak, tetap enggak boleh!”

Aku telah memutuskan untuk menghormati keputusan Luna... Aku tidak akan menyentuhnya sampai dia menginginkannya sendiri...!

Saat aku hendak pulang dengan pemikiran begitu, Luna masih menarik lengan bajuku.

“Mengapa kamu mengatakan hal-hal seperti itu ...”

Air mata mulai berlinang di sudut matanya dan menetes deras membasahi bibirnya.

“Enggak mau... apa Ryuuto akan meninggalkanku juga...?”

Mata dan pipinya memerah, dan tubuhnya yang terbungkus pakaian malam natal, menggeliat seksi seakan-akan mengundang.

“...Enggak ...!”

Aku mencoba menjaga kewarasanku dengan menutup satu mata seolah-olah ada pemandangan yang meracuni mataku, tapi Luna tetap memohon dengan tatapan yang penuh kerinduan.

“Aku tidak keberatan, kok?”

Bibir yang terbuka dengan lembut itu terlihat menggoda. Pandanganku tanpa sadar terpaku pada ujung lidah merah yang menjulur dari sana.

“Jika itu Ryuuto, kamu boleh memelukku...”

“......!?”

“Jadi kumohon... tetaplah bersamaku sampai pagi..."

Setelah berkata begitu, Luna melemparkan dirinya ke arahku. Luna yang sedang duduk, memeluk kakiku yang berdiri seolah mempercayakan beban seluruh tubuhku.

Aku bisa merasakan elastisitas yang lembut dan hangat dari seluruh tubuhnya yang lentur di kedua kakiku.

Ga-Gawat... Jika terus begini... “Aku yang berdiri” akan berubah menjadi “Aku yang tegang,” dan ada risiko sesuatu menonjol di depan dahi Luna...!

Karena merasa panik, Aku tidak peduli apa yang terjadi! Aku lalu merangkul kedua bahunya dengan erat.

 

Panas…….

 

Aku sudah merasakannya sejak kedua kakiku dirangkulnya, tapi aku merasakan kalau tubuhnya mengalami panas yang tidak wajar.

“... Luna, apa kamu demam?”

Suhu panasnya ini tidak tampak seperti hanya karena demam biasa.

Kekhawatiran mengalahkan nafsu birahiku, dan dengan cepat akal sehatku kembali dengan tenang.

“Hoee?”

Luna menatapku dengan pandangan mata yang kabur dan tak fokus. Bibirnya setengah terbuka dengan kesan yang memikat.

Jika dipikir-pikir, alasan mengapa Luna terlihat sangat seksi beberapa waktu lalu mungkin karena demamnya.

“Apa kamu punya termometer?”

“Di laci sebelah sana ...”

Setelah menemukan termometer dengan petunjuk sedikit kacau dari Luna, aku terkejut melihat angka termometer yang dikeluarkan dari bawah ketiaknya.

“38,9 derajat!?”

Aku dibuat takut dengan angka-angka yang hampir mencapai sekitar angka 39 derajat.

“Obat... mungkin lebih baik mendapatkannya dari dokter... Kompres dingin... Aku pernah mendengar bahwa itu tidak efektif saat demam... Bagaimana dengan handuk basah!? Apa kamu punya handuk basah!?”

“Basah...? Kalau enggak basah itu enggak boleh, ya...? Kalau gitu biar Ryuuto saja yang membasahinya...”

Pernyataan Luna terdengar sangat nakal! Apa karena Luna yang demam terlihat terlalu seksi, ataukah karena pikiranku saja yang terlalu jorok!?

Terlepas dari amarahku, aku berhasil mengisi baskom cuci dengan air dan merendam handuk, persiapan untuk merawatnya sudah.

“Luna, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu bisa pergi ke kamarmu sendiri?”

Aku bertanya kepadanya yang masih terkulai lemas di kotatsu, dan Luna menggelengkan kepalanya tak berdaya.

“Mustahil… aku tidak bisa bergerak…. kepalaku terasa berat dan pening…”

“……”

Mendengarnya bilang begitu, aku lalu menggendong Luna yang lemas dan berjalan menaiki tangga.

Walaupun Luna mempunyai bobot yang ringan sebagai seorang gadis, aku tidak yakin bisa menggendongnya seperti gendongan ala putri karena kekuatanku yang terbatas.

Aku bisa merasakan dua tonjolan lembut yang kenyal menekan di belakang punggungku.

“Fufu.....”

Mungkin karena efek demam atau karena kesadarannya akan memudar, Luna tertawa seperti orang yang sedang mengigau dalam tidurnya.

Nafasnya mengenai belakang leherku dan membuatku merasa geli.

 “Fufufu... Aku bisa mencium aroma Ryuuto...”

“Eh!?”

Aroma? Bau...!?

Aku mandi dengan baik di pagi hari, kan!?

Ah, seandainya saja aku mandi lagi sebelum keluar... Aku tidak ingin keluargaku menyadari bahwa aku mengharapkan sesuatu, yang mana aku tidak bisa melakukannya dengan baik.

“Baunya wangi... membuatku merasa lega...”

Luna berbisik memesona.

“…………”

Jantungku terus berdebar dengan kencang tanpa henti. Untuk saat ini, aku sudah cukup senang karena dia tidak menganggapku bau busuk.

Ngomong-ngomong, aku memberitahu kepada orang tuaku sebelumnya bahwa “Luna tiba-tiba demam dan sedang sendirian di rumahnya, jadi aku akan menginap di rumahnya malam ini untuk merawatnya”, tapi mereka mungkin sedang menyeringai.

“Ryuuto... aku menyukaimu...”

Ahh, seandainya saja Luna sehat sekarang! Aku hampir tidak bisa menahan kegembiraan ini sampai-sampai tubuhku gemetar.

Ini pertama kalinya aku menggendong seseorang saat menaiki tangga, tapi aku tidak mengalami kesulitan karena kegembiraan yang kurasakan. Aku hanya merasa sedikit kesulitan dalam berjalan.

Kelembutan pahanya yang aku rasakan di kedua tanganku, sentuhan di punggungku, hembusan napas di leherku, semuanya terlalu berharga sampai-sampai aku tidak tahu harus fokus kemana.

Aku berharap perjalanan menaiki tangga ini takkan berakhir, walaupun itu hanya terdiri dari sepuluh langkah saja.

Tentu saja, tanpa belas kasihan atau bisa dibilang sudah sepatutnya, aku segera mencapai lantai dua.

“Kamarmu di sebelah sini, ‘kan ...?”

Aku membuka pintu kamar belakang dan mengunjungi kamarnya untuk kedua kalinya. Meskipun aku sudah terbiasa melihatnya sebagai latar belakang dalam panggilan video, tetapi sekarang aku masuk ke dalamnya setelah sekian lama. Ketika aroma harum ruangannya menyelimuti diriku, hatiku berdesir seakan-akan merayakan kemenangan.

Namun, saat ini tujuan utamaku hanyalah untuk merawatnya.

Aku merapikan selimut yang sedikit berantakan dan tampaknya masih memiliki bentu dari saat terlempar karena bangun pagi…. Dan dengan lembut menurunkan Luna dari punggungku.

“Hmm~…”

Luna yang terbaling lemas dengan mata terpejam, berguling-guling di tempat tidurnya dengan suara manja.

Dengan momentum itu, gaun rajutan pendeknya pun terangkat, dan tak kusangka!

“...!?”

Sehelai kain putih yang mirip seperti satin putih menyembul dari pangkal paha.

“Uwahhh!”

Aku secara refleks menyembunyikannya dengan selimut.

Kain putih yang mengkilap itu mengganggu penglihatanku.

Sayang sekali... Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk menatapnya langsung sekarang.

Ya, aku datang untuk merawatnya. Dengan mengingatkan diri sendiri, aku mengambil ember dari bawah untuk mengompresnya.

“…Ryuuto…?”

Saat aku meletakkan handuk basah yang telah diperas dengan lembut di dahinya, Luna sedikit membuka matanya.

“Sejenak, aku pikir itu ibu. Padahal itu mustahil, iya ‘kan?”

Dengan senyum kesepian, Luna mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit kamarnya.

“Ketika aku sakit demam pas masih kecil dulu, ibuku sering merawatku seperti ini.”

Mungkin karena pengaruh demamnya yang tinggi, Luna menyipitkan matanya dengan nuansa kerinduan.

“Ibu sering mengupas apel untukku, memberiku es krim... Padahal aku tidak nafsu makan, tapi dia selalu memberiku berbagai hal lebih dari biasanya.”

“Ya, orang tua sering kali sangat perhatian saat kita sakit. Padahal kita ingin dibiarkan sendiri karena merasa tidak enak badan.”

Saat aku duduk di lantai di sebelahnya, Luna memutar kepalanya untuk menatapku dan tertawa kecil.

“... Ryuuto tuh, kalau di depan ibumu, kamu merasa lebih sok daripada biasanya, bukan?”

“Eh!? Ma-Masa?”

Aku terkejut karena dia mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak pernah aku sadari.

“Apa iya...? Kupikir itu bukan karena masa pubertas atau semacamnya..."

Mungkin karena aku tidak ingin terlihat seperti anak ibu yang terlalu dekat, aku secara tidak sadar menjadi sedikit acuh tak acuh. Apa dia menganggapku sebagai anak durhaka kepada ibu? Pikirku dengan panik.

“Fufu, aku tahu, kok.”

Luna tersenyum seolah-olah melihat sesuatu yang lucu.

“Aku bisa melihat kalau kamu tumbuh di lingkungan yang aman dan nyaman ... bisa mengatakan hal-hal yang egois .... ketika melihat keluargamu yang seperti itu, aku merasa iri...”

Dia bergumam dengan suara yang mengandung kesedihan jelas di matanya.

“Ketika aku bertemu ibu, aku benar-benar payah. Aku terlalu bahagia... sampai-sampai aku kembali bertingkah seperti anak kecil,”

Dia berbisik dengan senyum pahit.

Melihat Luna menunjukkan senyuman yang mengejek dirinya sendiri, aku teringat akan penampilannya saat festival olahraga.

Luna terlihat bahagia seperti seorang anak kecil ketika ibunya membelai kepalanya. Aku mengira kalau itu adalah ekspresi kejujurannya, tetapi itu memang reaksi yang sedikit aneh dari seorang gadis SMA.

“…………”

Kalau dipikir-pikir, pikirku.

Luna terkadang memintaku untuk “Tolong elus kepalaku”. Itulah yang terjadi di kincir ria setelah kami melakukan Savage.

Aku merasa gugup saat menyentuh Luna, tapi... Mungkin bagi Luna, tindakan seperti itu merupakan cara mencari rasa aman yang biasa dia dapatkan dari ibunya, ya?

“Kalau saja ibu selalu bersamaku... Aku mungkin tidak pernah berpikir 'Aku ingin punya pacar' sejak aku masih di sekolah SD.”

Luna mulai bercerita sendiri, seolah membenarkan pemikiranku tadi.

“Walaupun aku menyayangi ayah, tapi ... aku tidak bisa mempercayakan hatiku seperti dulu maupun memaafkan ayah karena ia pernah mengkhianati kami. Aku hanya bertemu nenek beberapa kali dalam setahun, jadi meski kami mulai tinggal bersama, aku tidak bisa tiba-tiba menjadi manja dengannya. Sedangkan Onee-chan sering pergi ke rumah pacarnya dan jarang pulang... Tidak ada orang di rumah ini yang bisa membuatku bertingkah manja.”

Sambil menatap langit-langit dengan mata yang tidak fokus karena demam, Luna berbisik seolah-olah bergumam kepada dirinya sendiri.

“Ibu dan Maria juga sudah pergi... Jadi aku ditinggalkan sendirian. Meskipun Aku punya banyak teman saat sekolah... Aku menginginkan seseorang yang lebih dekat daripada teman.”

Itu terdengar seperti permohonan yang tulus dan mendalam dari hatinya.

“Aku ingin dipeluk jika aku terluka, aku ingin ada seseorang yang mengelus kepalaku dan berkata, 'Luna adalah anak yang baik.' Aku ingin ada seseorang yang mau mendengarkan cerita konyolku, entah pagi atau malam, selama berjam-jam... Tapi jika ada orang yang mau melakukan itu, itu hanya bisa pacarku. Karena aku sudah bukan anak kecil lagi.”

Saat aku mengingatnya, Luna memiliki banyak kontak fisik dengan gadis-gadis. Terutama saat bersama Yamana-san, mereka sangat lengket satu sama lain hingga berlebihan.

Jika dia meminta hal yang sama kepada seorang pria, itu pasti akan cenderung menuju ke arah yang lebih mesum, dan alasan mengapa mantan pacarnya dengan cepat meniduri Luna mungkin bukan hanya karena mereka cowok brengsek.

Aku juga merasa gugup dan gelisah setiap kali Luna melakukan kontak fisik yang berlebihan. Karena insiden terakhir kali aku datang ke ruangan ini, aku harus menahan diri dan kadang-kadang hampir tergoda jatuh ke sisi gelap ...

Sampai sekarang, aku selalu menganggap kalau Luna jauh lebih dewasa dariku.

Tapi mungkin, mungkin saja ...

Di dalam dirinya, mungkin ada bagian yang tertinggal seperti anak kecil.

Walaupun dia mempunyai banyak pengalaman, mungkin Luna juga tidak begitu dewasa.

Ini adalah pertama kalinya aku berpikir seperti itu.

“... Ibuku selalu, memelukku sebelum tidur.”

Tiba-tiba, Luna bergumam begitu.

“Mama ...”

Matanya menyipit dan pandangan matanya berayun seperti permukaan air.

“Ternyata itu gagal.... Aku dan Maria tidak bisa menjadi [Futari no Lotte].... Aku tidak bisa tinggal bersama ibuku lagi untuk selamanya ...”

Melihat Luna yang gemetar, perasaan tak tertahankan melintas dalam hatiku.

“Aku di sini, kok.”

Tanpa sadar, aku sudah memeluk Luna.

“Aku mungkin tidak bisa menggantikan ibumu, tapi saat ini aku ada di sini untukmu.”

“Ryuuto...”

Luna pun meraih tanganku dan melingkarkan tangannya di sekitar punggungku.

“Terima kasih, Ryuuto...”

Jantungku berdegup kencang.

Di malam Natal, hanya kami berdua di kamar Luna. Aku berlutut di samping tempat tidur, memeluk Luna yang sedang tidur.

Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal-hal yang tidak senonoh... Karena Luna sedang sakit sekarang.

Aku mengingatkan diriku sendiri dan mencoba memahami perasaan Luna.

Kira-kira, apa yang Luna rasakan ketika menghabiskan waktunya di dalam ruangan ini?

Mungkin alasan mengapa Luna sering menelepon Yamana-san setiap malam adalah untuk mengalihkan kesepian saat berada di rumah.

Meskipun hak asuhnya diambil oleh ayahnya dan memiliki kestabilan finansial lebih baik dibandingkan dengan Kurose-san, tapi dukungan emosional bagi Luna adalah ibunya. Kehilangan itu pasti memberikan dampak besar baginya.

Aku bisa mendengar nafas pelan Luna di samping telingaku. Badan yang kurangkul masih terasa panas. Namun, nafsu birahi yang sempat muncul sudah lenyap dalam diriku

Aku ingin melindungi cinta bulan.

Dia satu-satunya gadis d dalam hidupku.

Aku berharap dia cepat sembuh. Baik itu tubuh maupun pikirannya...

Saat aku memeluknya dengan harapan seperti itu... kedua tangan Luna tiba-tiba melonggar.

“... Luna?”

Aku menjauhkan tubuhku dan melihat Luna dengan mata tertutup. Napasnya lebih tenang daripada sebelumnya.

Tampaknya dia tertidur.

Kain di dahinya sedikit berantakan, jadi aku mengambilnya kembali dan membasahkannya dengan air dingin, lalu meletakkannya kembali di dahinya.

Saat aku hendak pergi untuk mengambil air dingin karena sudah habis, suara Luna terdengar, dan aku pun berhenti.

“Ryuuto...”

Aku langsung berbalik ketika mendengar suaranya, dan Luna tersenyum lemah dari tempat tidur.

“Jangan pergi, Ryuto...”

“Aku tidak akan pergi, kok. Aku akan di sini.”

Namun, tidak ada jawaban dari Luna. Matanya masih terpejam dengan rapat.

“Dia sedang mengigau... mungkin?”

Meski begitu, aku merasa senang saat berpikir bahwa diriku muncul dalam mimpi Luna.

Malam Natal yang sunyi perlahan-lahan berlalu.

 

 

Sebelumnya  ||    ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama