Otonari no Tenshi-sama Jilid 5.5 Bab 16 Bahasa Indonesia

Chapter 16 — Suara Bisikan Itu Tidak Adil

 

Orang yang membuat Mahiru jatuh cinta adalah cowok yang berhati-hati, agak pendiam dan pemalu. Ia tidak terlalu ramah dan memiliki sikap yang kaku terhadap orang yang tidak dikenalnya, tetapi ia bukanlah orang yang judes; Justru sebaliknya, ia orang yang peduli dan memiliki temperamen yang lembut.

Setelah kamu sudah terbiasa dengannya, ia akan memperlakukanmu dengan ekspresi tenang dan memberikan senyum lembut. Jika kamu mengenalnya lebih dalam, kamu akan mengetahui bahwa dirinya dapat digambarkan sebagai cowok yang baik, perhatian, bijaksana, dan sopan, meskipun bahasanya sedikit kasar.

... Itulah yang membuat Mahiru kesulitan karena ia terlalu sopan, dan jika Mahiru secara fisik menutup jarak di antara mereka berdua, ia akan menjauhkan diri dari hal itu dan meninggalkannya tanpa disadari Mahiru.

(Bagaimana caranya supaya bisa membuat Amane-kun peka terhadap pendekatanku?)

Cara terbaik untuk membuat seseorang menyukaimu adalah dengan membuatnya peka denganmu, tetapi bagaimana caranya supaya bisa membuatnya peka?

Cara yang paling gampang dan tercepat adalah mengekspos dan memamerkan diri, tetapi hal semacam itu langsung ditepis oleh akal sehat dan rasa malunya mengenai tindakan tersebut.

Mahiru biasanya mengenakan pakaian yang hampir menutupi semua badannya karena tidak sopan untuk mengekspos kulit secara tidak perlu. Dan jika Mahiru berpakaian yang lumayan terbuka, Amane mungkin takkan berani melakukan kontak mata dengannya dan bahkan menjadi kecewa jika tidak berhati-hati.

Kemudian Mahiru berpikir untuk lebih agresif mendekatinya, tetapi dia tahu kalau Amane akan melarikan diri. Amane tidak keberatan jika tangan atau bahu mereka bersentuhan sedikit, tapi saat tubuh mereka bersentuhan, dirinya dengan santai menjaga jarak atau dengan canggung memberitahu, “Itu-mu menyentuhku.”

Bahkan Mahiru sendiri masih akan menolak pendekatan yang disengaja seperti itu, karena dia akan malu jika Amane menolak pendekatannya. Jadi bagaimana caranya bisa membuatnya sadar akan dirinya tanpa merasa malu?

“Gimana kalau menyusup ke dalam kamarnya saat malam hari?”

“Apa kamu tidak mendengar penjelasanku barusan? Selain tidak lazim bagi seorang gadsi menyelinap masuk ke kamar seorang cowok dan menyerangnya dalam tidurnya, masuk tanpa izin sudah termasuk pelanggaran.”

Ketika dia ingin menceritakan hal tersebut kepada Chitose dan meminta nasihat darinya, Chitose justru memberikan jawaban yang konyol, Mahiru membalasnya dengan memicingkan matanya.

Mahiru merasa menyesal karena sudah mengambil begitu banyak waktunya sepulang sekolah, tetapi nasihatnya justru terlalu mengada-ada dan sulit diterima.

Chitose tampaknya tidak terlalu terpengaruh oleh tatapan dingin Mahiru dan tertawa kecil saat mengaduk café au lait yang dipesannya.

“Yah, kalau itu sih jelas-jelas cuma bercanda, kok. Tapi yah, aku sudah mengatakan ini sebelumnya bahwa jenis hubungan yang diinginkan Mahirun tidak mungkin berkembang kecuali kamu terus-menerus mendorongnya.”

“Itu sih...”

“Habisnya, ada gadis cantik nan imut  yang selalu ada untuknya, menjaganya, bersikap baik padanya, tapi tidak melakukan apa-apa? Ia seriusan masih anak cowok? Apa batangnya masih ada? Apa itu masih bisa berdiri? Atau begitulah kesanku…”

“Tolong jangan membahas tentang hal-hal seperti itu. Mouu.”

Meskipun dia sudah memeriksa apa ada siswa dari sekolahnya, atau orang yang dikenal duduk di dekatnya, namun ucapan Chitose cukup berbahaya.

Walaupun volume suara Chitose dikecilkan, tidak enak jika ada orang lain mendengar ucapan Chitose, jadi Mahiru merasa takut sekaligus malu.

Dalam artian baik dan buruk, Chitose memiliki kecenderungan untuk terbuka dan transparan, dan karena mereka sama-sama gadis, jadi ada beberapa komentar yang cukup ekstrim keluar dari mulutnya. Jadi, Mahiru harus bekerja keras supaya otot-otot wajahnya tidak berkerut.

Pipinya mulai memanas, seakan-akan dia sedang dihadapkan pada sesuatu yang tidak terlalu dipikirkannya, dan ini mungkin merupakan alasan kenapa senyuman Chitose semakin melebar.

(...Memang benar kalau  Amane-kun tidak menunjukkan sikap seperti itu)

Bahkan, ketika mereka berduaan di samping satu sama lain, tidak ada sesuatu yang terjadi. Mahiru mengira Amane hanya bersikap berhati-hati, tapi dia penasaran apa yang terjadi di dalam pikirannya.

Tapi, dia buru-buru mengusir pikiran yang tidak perlu sebelum Chitose menyerangnya. Dia terbatuk ringan untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tetapi pikirannya masih terguncang dari pikiran yang sebelumnya terlintas di benaknya dan tidak dapat mempertahankan ketenangannya.

“Tapi pada kenyataannya, ia sama sekali tidak kasar, dan sedikit sopan. Tipe cowok yang menjaga jarak dan penuh perhatian. Biasanya, tidak mengherankan jika orang semacam itu memiliki motif tersembunyi. Itu sebabnya saya ragu apa ia beneran cowok atau bukan.”

“... Chitose-san.”

“Dibilangin maaf. Tapi yang paling penting untuk diingat ialah Amane adalah orang yang rasional dan tidak mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Jadi jika Mahirun masih terus bertingkah sama seperti biasanya, tidak ada yang berubah. Itulah sebabnya, jika kamu ingin membuatnya peka, kamu harus mendorongnya dengan lebih agresif.”

Mahiru tahu dari pengalaman sebelumnya bahwa hal ini memang benar adanya, namun dirinya tidak tahu pendekatan apa yang harus dilakukan. Mahiru sudah melakukan apapun yang bisa dia lakukan.

“...Yah, Mahirun masihlah Mahirun karena kamu melakukannya tanpa sadar kepada Amane. Jadi, ha tersebut juga bisa menajdi bencana bagi Amane. Maksudku, ia sungguh hebat sekali bisa menahannya dengan baik.”

“Memangnya apa yang sudah kulakukan?”

“Enggak, aku hanya berpikir kalau Mahirun itu lucu.”

Mahiru bertanya dalam bisikan kecil yang membuat Chitose menertawakannya seolah-olah dia tidak berniat menjelaskannya. Mengetahui betapa keras kepala Chitose, Mahiru menyerah untuk mencari tahu dan dia menghela nafas pelan.

(... Pada akhirnya, apa yang harus aku lakukan?)

Bukannya berarti dia sama sekali tidak punya kesempatan dengan Amane.

Mahiru tahu kalau Amane memberinya tatapan lembut dan manis yang belum pernah ia tunjukkan kepada orang lain, Amane memperlakukannya dengan sopan, santun, dan hati-hati sebagai seorang gadis, dan Mahiru tahu bahwa ia menganggapnya lebih istimewa daripada orang lain.

Setidaknya Amane cukup menyukainya sebagai pribadi, dan meskipun ini termasuk sedikit angan-angan bagi Mahiru, dirinya percaya bahwa Amane akan menyukainya sebagai lawan jenis. Kalau tidak, Amane tidak akan begitu dekat dengannya, dan tidak akan terlalu memanjakan atau dimanjakan olehnya.

“Hmm gimana bilangnya ya, kupikir baik Mahirun dan Amane sama-sama orang yang bersalah. Yah, intinya sih Mahirun harus terus bekerja dengan baik dan terus mendorong dan mendorongnya.”

“Mendorong .... Misalnya, Chitose-san. Bagaimana kamu dan Akazawa-san menghabiskan waktu bersama?”

"Eh? Kupikir itu tidak bisa dijadikan referensi, loh.”

Jika dia akan pergi sejauh itu, maka Mahiru pikir kalau dirinya lebih baik bertanya kepada Chitose bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama. Tapi Chitose hanya melambaikan tangannya dengan senyum lepas di wajahnya.

“Jika aku bersama Ikkun, kami cuma saling bermesraan melulu.”

“Ber-Bermesraan...”

“Kalau hanya kami berdua, kami biasanya main di luar atau berkencan di dalam kamar. Tapi dalam kasus Mahiru, itu terbatas di rumah. Ketika cuma di rumah, kami hanya ngumpul-ngumpul bareng, menonton DVD, membaca manga, bermain game, dan berbicara tentang hal-hal yang tidak penting. Yah, jika tidak ada orang di rumah, sisanya yahh, kamu bisa tahu sendiri, ‘kan?”

“Ak-Aku mengerti! Kamu tidak perlu membahasnya sedetail begitu!”

“Loh, aku belum mengatakan apapun tentang apa yang kulakukan, tau... kira-kira apa yang Mahirun bayangkan?”

“~~~”

“Maaf, maaf. Yah, aku hanya memeluknya dan memberinya ciuman serta melakukan banyak hal lainnya. Tapi bukannya berarti Mahirun bisa melakukannya, iya ‘kan? Jika kamu bisa melakukannya, aku akan memuji keberanianmu.”

“Ak-Aku takkan melakukannya dan tidak bisa melakukannya!”

Jika dia mencoba menciumnya, mereka berdua nantinya takkab berani saling menatap. Pertama-tama, ciuman dan tindakan lebih lanjut harus dilakukan setelah berhasil menjalin hubungan, bukan sebagai sarana untuk membuat pihak lain menyadari perasaannya.

‘Apa sih yang sudah kamu katakan’, Mahiru melirik dengan tatapan tajam, tapi Chitose menepisnya dengan senyum acuh tak acuh.

“Yah, itu sebabnya pengalamanku tidak berguna. Ketika berbicara tentang jenis daya tarik sehat yang diinginkan Mahirun, Mahirun sudah melakukannya setiap saat.”

“... Ahh?”

“Anak cowok biasanya sudah merasa senang hanya dengan melihatmu tersenyum kepada mereka, dan karena Mahirun sangat dekat dengannya, kamu mungkin sering bersentuhan satu sama lain. Kamu sudah terbiasa saling bergandengan tangan, atau duduk bersebelahan dengannya, membaca buku yang sama atau bermain game bersama. Itu sudah menjadi tingkat PDKT yang cukup tinggi.”

“It-Itu sih….”

“Kalian berdua juga makan malam bersama hampir setiap hari. Kalian saling tertawa dan berbicara satu sama lain, dan menghabiskan waktu bersama sebagai hal yang biasa, sehingga bisa dibilang tidak ada gunanya melakukan PDKT lagi... jika ada orang luar yang melihat kedekatan kalian, mereka akan mengira kalau kalian berdua itu sepasang pengantin baru, tau?”

Mahiru berulang kali membuka dan menutup mulutnya saat bibirnya bergetar. Chitose tersenyum lembut ketika melihat keadaan Mahiru yang seperti itu. Dia mencoba untuk membantah perkataan Chitose, tapi yang keluar dari tenggorokannya hanyalah suara lembut yag tak bisa berkata apa-apa.

(... Mirip seperti pengantin baru)

Dia tidak menghabiskan waktunya dengan niatan semacam itu dan hanya  berinteraksi dengan Amane secara normal-normal saja.

Karena kepribadian Mahiru lah yang membuatnya merawatnya dan dia duduk di sebelah Amane karena satu-satunya tempat mereka bisa duduk hanyalah di sofa. Mahiru tinggal sampau agak larut malam karena mereka bisa mengerjakan tugas bersama dan mengobrol dengan asyik.

Tentu saja, alasan terkuatnya adalah karena dia ingin tetap berada di sisi Amane, tetapi ketika dia sekali lagi dihadapkan dengan apa yang dipikirkan orang-orang di sekitarnya mengenai hasil dari tindakannya sendiri, Mahiru hanya bisa mengerang tak berdaya.

“Kamu melakukannya secara tidak sadar? Yah, semua orang yang tahu kalau kalian menghabiskan waktu bersama mungkin berpikiran sama, jadi seharusnya baik-baik saja, baik-baik saja~”

“Itu sih pasti bukan sesuatu yang baik-baik saja, iya ‘kan !?”

“Mahirun, suaramu terlalu keras, loh.”

Chitose menyipitkan matanya saat dia menyalahkan Mahiru karena meninggikan suaranya atas informasi tambahan yang dia berikan dan kemudian tertawa ringan. Mahiru merenungkan fakta kalau dirinya kehilangan ketengannya sejenak dan memelototi Chitose.

Chitose tersenyum dan berkata “Aku bisa melihat dari samping bahwa kalian berdua dekat satu sama lain, jadi jangan khawatir.” dengan suara yang menyemangati. Namun, Mahiru tidak tahu apakah dia harus diyakinkan atau tidak.

“Yah, kalian berdua tampaknya sangat akur sehingga tidak bisa dibedakan dengan pengantin baru atau pasangan paruh baya. Tapi, dalam situasi ini, bukannya lebih baik mencoba melakukan kontak tidak langsung?”

“... secara tidak langsung?”

“Mahirun, kamu ingin Amane menyadarimu dalam batas akal sehat, bukan? Jika memang begitu, kamu harus mengubah pendekatanmu. Orang-orang akan terbiasa jika diberi rangsangan yang sama terus. Kamu sudah mencoba untuk tersenyum padanya, memeluknya dan memegang perutnya, kan? Kalau begitu, kupikir kamu harus mencoba menyerangnya dengan suaramu kali ini.”

“... menyerangnya dengan suara?”

“Ya, kenapa kamu tidak mencoba meneleponnya sebelum tidur? Telepon selamat malam adalah cara yang ampuh untuk berkomunikasi, dan karena Amane tidak sering mendengar suaramu sebelum tidur, itu akan menjadi pengalaman yang mendebarkan sekaan-akan kamu mengganggu ruang pribadinya. Dan karena kamu tidak berada tepat di depannya, itu akan membuat hatinya berdebar-debar.”

Chitose mendongak saat dia mengingat perasaan yang menyenangkan dan melegakan ketika berada dalam suatu hubungan, ekspresinya itu begitu lucu bahkan untuk Mahiru yang berjenis kelamin sama.

(… memang, ini mungkin bisa menjadi pengalaman yang baru karena kita jarang menelepon satu sama lain)

Setiap kali Mahiru ingin berbicara dengannya, dia akan bertanya langsung padanya karena kamar apartemen Amane berada tepat di sebelahnya atau bertukar pesan secara tertulis. Alat komunikasi yang paling umum tetapi jarang digunakan, yaitu telepon, bisa menjadi alat PDKT lainnya.

Selain itu, bisa mendengar suara Amane sebelum tidur merupakan sebuah keuntungan bagi Mahiru. Jika dia bisa mendengar suara orang yang dia cintai sebelum tidur, maka dia akan melakukannya supaya bisa tertidur dengan puas.

“... Kalau begitu, yah, ak-aku akan mencoba yang terbaik.”

Ketika Mahiru memberitahunya dengan takut-takut, Chitose berkata dengan gembira, “Oh~”, dan matanya berbinar-binar.

“Umm, aku akan berbicara dengannya sebelum tidur. Kurasa ada baiknya untuk berbicara dan berbagi tentang apa yang terjadi hari ini…. kesenangan yang aku alami atau apa yang ingin aku lakukan besok.”

“... kedengarannya seperti Mahirun banget.”

Saat Mahiru menyampaikan resolusinya dengan sangat serius, senyum Chitose berubah menjadi senyuman lembut.

“Kenapa kamu malah senyum-senyum begitu?”

“Karena kupikir kamu terlihat manis.”

“Apa kamu sedang mengejekku?”

“Itu enggak bener, kok~”

“Mouuu”

Jawabannya yang terbata-bata berarti bahwa dia pasti tidak berpikir begitu. Tapi, ketika Mahiru menatapnya dengan pandangan mencela, Chitose berbisik pelan “Imutnya~” sambil tersenyum seolah dia sedang mengawasi seorang anak kecil.

Hal tersebut membuat Mahiru merasa tidak nyaman dan dia benar-benar ingin Chitose berhenti melakukan itu.

“Seriusan, kamu benar-benar imut. Semua gadis yang sedang jatuh cinta itu imut. Hanya saja kemantapan dan kemurnian Mahirun membuatmu menjadi semakin imut.”

“... Ujung-ujungnya, kamu masih tetap meledekku.”

“Itu cuma perasaanmu saja, perasaanmu saja kok~”

Walaupun Chitose mengatakan begitu, tapi ekspresi wajahnya menyeringai bahagia. Jadi, bibir Mahiru berkedut sedikit sebelum dia memalingkan wajahnya.

 

♢♢♢♢

 

Dia kemudian berpisah dengan Chitose dan pulang ke rumah, dan setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk mampir ke rumah Amane seraya bertekad untuk melakukan panggilan malam dengan Amane.

Saat dia melewati pintu depan menggunakan kunci duplikat, yang sudah menjadi hal biasa baginya. Amane sepertinya mendengar suara pintu dibuka saat ia mengulurkan kepalanya dari dapur dan memanggilnya “Selamat datang kembali di rumah.”

Mahiru sudah memberitahunya kalau dia akan pulang sedikit terlambat dan meminta Amane untuk memasak makanan untuk mereka, jadi tidak ada yang aneh mengenai hal itu, tetapi fakta bahwa Amane mengenakan celemek membuatnya tertegun kaku.

Mahiru seharusnya sudah terbiasa melihat Amane memakai celemek karena ia biasanya membantunya, tapi anehnya dia merasa malu untuk disambut olehnya dengan tatapan mata yang tenang.

(…. Rasanya seperti pasangan yang sudah menikah atau semacamnya)

Mungkin dia terpengaruh dengan pembicaraan Chitose sebelumnya. Mahiru tersenyum sedikit, tampaknya malu pada dirinya sendiri karena membayangkan hal seperti itu ketika mereka bahkan tidak berpacaran.

“Ak-Aku pulang.”

Dia dengan cepat memperbaiki ekspresi wajahnya, tetapi nada suaranya masih tetap terdengar gugup. Karena tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya, Mahiru menjawab dengan suara pelan yang menimbulkan reaksi bingung dari Amane.

“Apa ada yang salah?”

“Eng-Enggak, umm, aku belum pernah disambut oleh seseorang yang memakai celemek sebelumnya, jadi rasanya ini menjadi pengalaman baru bagiku.”

“Oh, jadi itu maksudmu. Biasanya perannya terbalik, sih. Karena kamu biasanya tidak pulang terlambat.”

Walaupun alasannya terdengar memaksa, tetapi Amane dengan mudah mempercayainya dan tertawa kecil.

“Yah, seperti yang kamu lihat, aku sudah menyiapkan makanan, tapi sekarang kupikir-pikir lagi, aku seharusnya datang untuk menjemputmu. Jalan pulangnya lumayan gelap, bukan?”

Amane mengatakan itu sembari melihat jam di ruang tamu sejenak dan kemudian menurunkan alisnya, Mahiru lalu menggelengkan kepalanya dengan ringan.

Memang, sekarang sudah lewat jam enam dan matahari sudah mulai terbenam dalam perjalanan pulang, tapi cuacanya tidak sepenuhnya gelap, yang mana hal itu merupakanwaktu yang normal bagi seorang siswa SMA untuk pulang ke rumah.

“Masih ada banyak orang di jalanan dan hari masih relatif terang. Jika matahari benar-benar tenggelam dan jalanan terlihat berbahaya, aku akan menggunakan taksi.”

“Kalau begitu sih masih baik-baik saja, tapi jika kamu meneleponku, aku akan menjemputmu, oke? Kamu bisa mengandalkanku kapan saja.”

“Ak-Aku tidak bisa merepotkanmu sampai sejauh itu.”

“Enggak, mumpung ada aku di sini, kamu bisa memanfaatkanku. Yah, walaupun aku mungkin tidak bisa diandalkan sih.”

“... kamu benar-benar bisa diandalkan, kok.”

“Benarkah?”

Amane menertawakan dirinya sendiri karena berpikir dirinya tidak bisa diandalkan. Tapi dari sudut pandang Mahiru, ia cukup bisa diandalkan, lebih dari siapa pun yang dia kenal. Dia bisa melihat bahwa pelatihannya membuahkan hasil karena tubuhnya menjadi sedikit lebih kencang.

Sebelumnya, Amane terlihat sedikit membungkuk, tapi sekarang ia memiliki postur tubuh yang lebih, seolah-olah itu adalah tanda kepercayaan dirinya yang semakin meningkat. Amane membungkuk sedikit untuk melihat Mahiru, tapi tatapan matanya begitu baik dan peduli pada Mahiru yang perlahan-lahan menghangatkan hatinya.

“Artinya, maksudku, aku selalu mengandalkanmu.”

“Akulah yang selalu mengandalkanmu, jadi tolong setidaknya biarkan aku memanjakanmu seperti ini.”

Amane tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya, yang lebih berotot dari sebelumnya, dan dengan lembut mengelus-ngelus kepala Mahiru.

Amane biasanya takkan menyentuhnya tanpa alasan, tapi pada saat-saat seperti ini, ia menyentuhnya secara alami, yang mana hal itu membuat perasaan Mahiru campur aduk.

Amane mungkin tidak menyadari hal ini, tapi sebagai orang yang disentuh, Mahiru merasa bahagia dan nyaman, tetapi pada saat yang sama, dia merasa malu dan khawatir karena hanya dia satu-satunya yang menyadari hal ini.

(... Ia selalu memperlakukanku seperti anak kecil di saat-saat seperti ini)

Tapi dia tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak mau. Pertama-tama, dia ingin Amane melakukan lebih banyak hal seperti ini, tapi dia tidak bisa mengatakan itu dari dirinya sendiri. Jadi, dia hanya bisa memanjakan diri dalam skinship jujur ​​Amane.

Ketika Mahiru menatap Amane dengan sedikit kebencian sambil menahan perasaan yang sulit digambarkan di dalam hatinya, Amane berkedip cepat.

“Aku sudah mencuci tangan tadi, dan aku akan mencucinya lagi sebelum memasak, loh?”

“... Duhh, bukan itu yang aku khawatirkan.”

Mungkin mustahil untuk mengatakan bagaimana sebenarnya perasaan Mahiru dan dia bahkan tidak ingin Amane tahu. Namun, rasanya tidak adil kalau dirinya saja yang satu-satunya sibuat salting, jadi Mahiru menempelkan dahinya ke dada Amane.

Mahiru bisa mendengar Amane mengerang tetapi dia pura-pura tidak tahu tentang itu. Suara kesalnya berangsur-angsur berubah lembut dan toleran seolah-olah ia tidak punya pilihan lain. Mahiru tahu bahwa nada suaranya hanya ditujukan kepadanya, sehingga bibirnya secara alami melentur dan membentuk bulan sabit dengan lembut.

Meski demikian, Mahiru tidak bisa menunjukkan wajahnya yang gembira setelah menikmati elusan Amane sebentar, jadi dia membuat ekspresi santai dan mendongak ke atas.

Amane menatapnya dengan sedikit rona merah di wajahnya sambil meletakkan tangannya di dahi Mahiru. Mata hitamnya yang jernih sedikit bergetar seolah-olah untuk menunjukkan kegelisahannya. Mahiru tertawa kecil dengan sedikit kepuasan pada ekspresinya. Amane kemudian sedikit menggaruk kepalanya sendiri dan menghela nafas.

“... Aku akan kembali dulu untuk membuat makan malam.”

(Ia berusaha kabur)

Karena Mahiru sudah mengira ini akan terjadi, jadi dia tidak mengatakan apa-apa karena tahu Amane akan merajuk kalau dia menyebutkan itu. Mahiru mencoba mengikuti Amane dan masuk ke dapur, tapi Amane dengan ringan meraih bahunya dan menahannya.

“Kamu bisa bersantai saja di ruang tamu, Mahiru.”

“... Aku akan ikut membuatnya juga.”

“Hari ini biar aku saja yang memasaknya. Jika kamu sudah berusaha meluangkan waktu, silakan beristirahatlah sampai akhir. Lagipula aku tidak memasak makanan dengan menu yang sulit dan Mahiru selalu membuatkan makan malam untukku.”

“... Tapi bukannya Amane-kun juga selalu membantuku memasak?”

“Tapi Mahiru lah melakukan sebagian besar pekerjaan dan tidak banyak yang bisa kulakukan. Upaya yang kamu lakukan tidak seberapa dibandingkan denganku. Yah, anggap saja ini sebagai latihan untukku dan serahkan saja semuanya padaku.”

Mahiru sedikit tersentak ketika mendengar suaranya yang tenang dan lembut, namun anehnya mengandung paksaan yang membuatnya sulit untuk menolak. Dia mencoba untuk membantahnya, tetapi Amane menggelengkan kepalanya dengan pelan dan tidak membiarkannya masuk.

“Apa kamu sekhawatir itu aku memasak sendirian?”

“Bukan begitu maksudku. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman jika kamu melakukan segalanya untukku ...”

“Kalau begitu, aku akan memintamu untuk membantu menyajikan makanan.”

Mahiru memukul-mukul ringan lengan Amane yang masih menolak bantuannya sebagai bentuk keluhannya, dan Amane kembali menepuk-nepuk kepada Mahiru sambil tersenyum.

 

♢♢♢♢

 

Pada akhirnya, Amane dibiarkan bertanggung jawab atas seluruh proses memasak dan Mahiru harus menunggu di ruang tamu, tetapi dia masih dibuat gelisah karena mengkhawatirkan Amane.

Mahiru tahu kalau Amane bisa memasak dengan cukup baik, tapi dirinya masih mengkhawatirkan tentang hal-hal yang mengganggunya.

Dia menyaksikan jalannya program TV dengan pikiran terganggu, sambil mendengarkan dan melirik ke arah suara yang terdengar dari area dapur, tapi untungnya tidak ada kecelakaan besar yang terjadi dan makanan pun tersaji di atas meja.

Mahiru bisa mencium aroma pedas yang menggugah selera karena sepertinya Amane membuat kari keema. Karena Amane memutuskan untuk memasak kali ini, Mahiru sudah memperkirakan kalau ia akan membuat kari.

“Asal kamu tahu saja, aku sudah mencicipi rasanya dulu, oke?”

Ketika Mahiru menertawakan Amane yang mengingatkannya untuk tidak khawatir karena dia terus-menerus menatapnya, Amane pun bergumam “Memangnya kamu sebegitu tidak percayanya denganku” sembari merajuk halus, jadi kali ini Mahiru lah yang menepuk kepala Amane sebelum duduk.

Menunya adalah kari keema dan salad sederhana, dan sekilas tidak ada yang mengecewakan.

Sejak awal, Amane adalah tipe orang yang biasanya dapat membuat sejumlah makanan lezat, terlepas dari bagaimana pun penampilannya, jika ia mengikuti resepnya secara tepat dan mengikuti petunjuknya sampai tuntas, jadi Mahiru tidak terlalu mengkhawatirkannya.

Dia kemudian melirik ke arah Amane, yang memberinya tatapan penuh harap. Mungkin Amane merasa khawatir dengan penilaiannya karena Mahiru selalu membuat makanan enak. Amane yang terlihat sedikit gelisah, anehnya terlihat sangat menawan, jadi Mahiru mau tak mau tidak bisa menahan senyumnya.

“… Apaan sih?”

“Bukan apa-apa. Lalu, aku akan memakannya, ya.”

Ia sungguh orang yang imut, pikir Mahiru tapi dia menyimpannya untuk dirinya sendiri saat mengatupkan kedua tangannya untuk berterima kasih kepada Amane atas bahan-bahannya dan sudah membuatkan makanan untuknya sebelum mengambil sendok.

Sembari merasakan mata mereka tertuju padanya, Mahiru mulai mencicipi kari keema buatan Amane ke dalam mulutnya, dan rasanya sangat lembut.

Mungkin karena mereka berdua sama-sama tidak terlalu menyukai makanan pedas, maka tingkat kepedasannya dijaga seminimal mungkin. Meskipun beberapa rasa rempah-rempah dapat terdeteksi, namun secara keseluruhan rasanya lembut dan sederhana, yang mana itulah yang membuatnya terasa enak. Selain itu, hidangan ini dibuat oleh Amane, itulah yang menjadi bumbu penyedap terenak di atas segalanya.

“… Rasanya lumayan enak, kok.”

“Begitu ya, syukurlah kalau begitu.”

Ketika Mahiru dengan jujur ​​mengungkapkan pikirannya, Amane tersenyum lembut, seolah-olah ia merasa lega. Mahiru menyadari kalau dirinya sedang jatuh cinta kepada Amane saat berpikir kalau ia terlihat lebih muda dan manis dari biasanya.

Saat Amane dengan senang hati menyeruput kari keema buatannya sendiri, Mahiru menyantap makanannya lagi dan kemudian mengingat kembali masakan Amane di masa lalu, sambil bergumam lirih, “Kamu sudah meningkatkan kemampuan memasaknya daripada dulu, ya?”

Amane bukanlah juru masak yang buruk, tapi ia hanyalah juru masak yang kurangnya pengalaman.

Untungnya, indra perasanya normal dan berkat orang tuanya, ia mempunyai indera perasa yang cukup terlatih. Karena Amane bisa berpikir secara teoritis tentang berbagai hal, jadi ia adalah seseorang yang dapat memahami arti dari proses memasak. Jadi, dengan beberapa pengalaman, Amane secara alami juga bisa menjadi juru masak biasa.

“Itu sih karena aku melihat beberapa resep yang diajarkan ibu. Aku biasanya membantumu dan aku berusaha memasak di hari libur, jadi kurasa aku membuat beberapa kemajuan dalam kemampuan memasakku.”

“Fufu, hebat sekali.”

“Yah, kali ini, aku mengandalkan keuntungan peradaban sepenuhnya. Aku menggunakan roux yang dibeli dari toko untuk sebagian besar bumbu dan memotong sayuran yang kamu beli tempo hari.”

Amane tampak meminta maaf secara halus saat mengambil sayuran cincang halus dalam kari keema dengan sendok. Keuntungan peradaban yang Amane maksud adalah barang yang dibelinya tempo hari. Benda itu memungkinkannya memasukkan sayuran ke dalam wadah dan dengan mudah memotongnya menjadi potongan-potongan menggunakan bilah pisau di dalamnya.

Ia membelinya dengan tujuan mempersingkat waktu dan menyederhanakan prosedur memasak. Tapi sepertinya alat itu lebih berguna bagi Amane daripada Mahiru.

Mahiru juga berpendapat bahwa jika dirinya bisa menghemat waktu, dia akan menggunakannya. Dia tidak ragu-ragu untuk menggunakannya atau digunakan, tetapi Amane memiliki beberapa pemikirannya sendiri.

“Benda ini dibuat dan dijual karena ada yang membutuhkannya, jadi kita dapat menggunakan apa yang kita bisa. Asal hidangannya bisa dimakan dan rasanya enak, tidak masalah.”

“Memang ada benarnya sih, tapi aku semakin menyadari kehebatan Mahiru, yang sangat pandai menggunakan pisau. Menggunakannya atau tidak menggunakannya dan bisa melakukannya atau tidak bisa melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Tidak ada yang lebih baik daripada bisa melakukannya. Aku terlalu bergantung pada Mahiru tidak hanya dalam memasak tetapi juga untuk hal lain, dan akan sangat merepotkan jika aku tidak pandai dalam pekerjaan rumah di masa depan.”

“Memang benar bahwa tidak ada yang lebih baik daripada bisa melakukannya, tetapi Amane-kun melakukan belanja dan pekerjaan berat untukku, dan jika kita akan tinggal bersama, akan lebih efisien jika kita berbagi pekerjaan. Tentu saja aku akan memintamu untuk mencuci pakaianmu sendiri, tapi jika ada sesuatu yang tidak dapat kamu lakukankita akan melakukannya bersama, dan kita bisa hidup bersama jika kita saling melengkapi.”

Mahiru memberitahunya bahwa dia tidak bermaksud menuntuk kesempurnaan dari Amane menjadi sempurna, tetapi untuk beberapa alasan, Amane terlihat membeku dan menjatuhkan sendoknya ke atas kari.

Untungnya, sendok tersebut jatuh di atas piring, tetapi jika ia menjatuhkannya ke lantai, bekas nodanya akan sangat sulit untuk dibersihkan.

Ada sedikit kari yang tumpah di gagang sendok, jadi Mahiru mengeluarkan tisu basah dan menyerahkannya kepada Amane, tapi Amane hanya memandangnya dengan diam tanpa menerimanya.

Ketika Mahiru sengaja memiringkan kepalanya karena bertanya-tanya apa dirinya sudah mengatakan sesuatu yang enh, pupil mata Amane melesat dari satu tempat ke tempat lain seolah-olah sedang merasa terganggu.

“... Tidak, umm, gimana ya. Yah intinya bukan apa-apa.”

“Aku merasa kalau itu tidak bukan apa-apa.”

“Beneran tidak ada apa-apa  kok. Ayo cepetan makan sebelum hidangannya dingin.”

Amane sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi Mahiru tahu itu bukan sesuatu yang ingin ia katakan sekarang. Terlepas dari kenyataan bahwa dia membuat wajah kecewa, Amane hanya menerima tisu basah dari Mahiru dan menyeka sendoknya, tetapi tidak berani membuka mulutnya.

Amane kemudian diam-diam makan nasi keema tetapi tidak berani melihat ke arah Mahiru. Walaupun masakan karinya seharusnya tidak pedas, tetapi ketika Amane memakannya, wajahnya menjadi sedikit merah dan mengeluarkan nafas pedas, jadi Mahiru menghela nafas pelan dan melanjutkan makannya.

 

♢♢♢♢

 

Pada akhirnya, setelah selesai makan malam, mereka melakukan kegiatan seperti biasa. Mereka mencuci piring bersama seperti biasa, menyelesaikan tugas PR berdampingan, menonton TV, tertawa bersama, lalu kembali ke rumah untuk tidur.

Meskipun Mahiru ingin tinggal di rumah Amane sedikit lebih lama, dia harus berkemas lebih awal dan bersiap-siap untuk panggilan selamat malam pertamanya. Meskipun berdandan dan pergi tidur itu menyenangkan, Mahiru hanya bisa menghela nafas ketika melihat dirinya sendiri.

(... Aku merasa seperti terlalu antusias)

Mahiru mandi lebih lama dari biasanya, meskipun dia takkan membuat panggilan video dan bahkan membuang banyak waktu untuk merawat kulit dan rambutnya. Dia juga mengenakan baju tidur favoritnya, daster putih (bukan yang transparan) berhiaskan renda. Chitose meyakinkannya ketika dia pergi berbelanja, “Aku yakin Amane pasti akan menyukainya.”

Dia mengerti bahwa perempuan harus modis di bagian yang tidak bisa dilihat, tetapi rasanya dia seperti sedang mengenakan pakaian perang daripada terlihat modis.

Dia bertanya pada dirinya sendiri apa sih yang dia inginkan dengan antusiasme tinggi ketika dia hanya perlu melakukan panggilan telepon biasa? Dan terlepas dari semua persiapan yang sudah dia lakukan, Mahiru tidak dapat bergerak dari layar panggilan telepon yang ditampilkan.

Memang tidak ada salahnya dia memutuskan untuk meneleponnya, tetapi alasan apa yang harus dia berikan kepada Amane karena sudah meneleponnya di malam hari?

Dia menjadi semakin tidak yakin karena mereka berdua adalah tipe orang yang tidak akan menghubungi satu sama lain kecuali ada kebutuhan. Dia bahkan tidak pernah melakukan panggilan biasa, jadi panggilan selamat malam yang baik akan lebih menjadi sulit.

(Meski aku memutuskan untuk menelepon, tapi itu mungkin akan mengganggunya ...)

Jika dia mengganggu Amane saat ia sedang bersiap untuk tidur, atau jika Amane sudah tidur dan dia membangunkannya, hal itu mungkin akan mengganggunya. Mereka harus sekolah keesokan harinya dan panggilan telepon bisa membuatnya bangun kesiangan atau kekurangan tidur.

Semakin Mahiru memikirkannya, dia semakin ragu untuk mengetuk tombol panggil.

Mahiru berpikir kalau Amane orang yang berhati-hati dan pengecut, tapi ternyata dirinya sendiri justru lebih pengecut dan dia ingin menangis sedikit. Dia berguling di atas tempat tidurnya dengan telepon di tangannya sambil mencemaskan tentang apa yang harus dilakukan.

Dia hendap menutup layar ponselnya di depan dadanya sambil bergumam, “Sudah kuduga, aku seharusnya berhenti saja”….. tapi tiba-tiba, musik dengan ritme ringan mulai berbunyi.

Dia tertegun sejenak oleh bunyi yang jarang dia dengar tetapi segera menyadari bahwa itu adalah suara panggilan yang sedang tersambung dan menyentakkan bahunya. Sepertinya dia tidak sengaja membuat panggilan.

Sebelum dia bisa membatalkan panggilan dengan tergesa-gesa, speaker ponselnya berseru, “Mahiru?.” dan sebuah suara yang penasaran bisa terdengar saat membisikkan namanya.

Suaranya terdengar agak serak dan bernada lebih rendah dari yang dia dengar sebelumnya, mungkin karena orang di sisi lain telepon sudah tertidur.

Aku benar-benar melakukannya, dan ketika Mahiru melihat ke layar dengan penuh ketakutan dan persiapan, dirinya melihat ikon aplikasi obrolan yang sudah tidak asing lagi, dan menampilkan tanda panggilan yang sedang berlangsung.

“Ada apa? Tumben sekali kamu menelepon di jam segini.”

“Eh, ti-tidak, itu umm.... bukan apa-apa. Maaf, apa aku membangunkanmu?”

Jika dia membangunkannya, itu berarti dia sudah membangunkan Amane demi keegoisannya sendiri. Tidak peduli seberapa baik Amane padanya, rasanya akan terlalu egois untuk terus memanfaatkannya. Dia menggigit bibirnya dengan marah dan mendengar suara tawa kecil dari sisi lain teleponnya.

“Enggak juga, aku sedang bersiap-siap untuk tidur, tapi aku belum tidur, kok. Aku tidak keberatan jika kamu memanggilku bahkan jika itu tidak ada urusan apa-apa, tapi itu sangat mendadak sampai-sampai membuatku terkejut.”

“Be-Begitu ya. Maaf, karena tiba-tiba meneleponmu...”

Pasti akan sangat menjengkelkan jika menelepon tanpa membuat janji sebelum tidur. Mahiru merasa malu pada dirinya sendiri ketika suaranya menghilang. Tapi Amane menjaga suaranya tetap tenang saat berkata, “Kamu tidak perlu meminta maaf segala. Aku merasa senang karena bisa mendengar suaramu.” Bisiknya dengan pelan, jadi Mahiru semakin menggigit bibirnya.

( ... Sifatnya yang begitu memang licik)

Mahiru merasa menyesal karena sudah membuat Amane menjadi perhatian agar dirinya tidak khawatir dan tidak terganggu sama sekali. Tapi entah Amane menyadarinya atau tidak, kata-kata dan suaranya yang memanjakan diputar dengan cara yang penuh kasih, dan hatinya terasa sakit karena alasan yang berbeda dari sebelumnya.

Mahiru merasa sangat malu dan geli sehingga dia mendorong dirinya ke dalam keheningan sehingga dia bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dia kemudian mendengar Amane tertawa kecil.

“… kamu enggak bisa tidur, ya?”

Amane tidak menuduhnya tapi hanya bertanya dengan suara lembut untuk mengkonfirmasi, tapi Mahiru tidak bisa menjawabnya dan tetap diam.

Mana mungkin dirinya bisa menjelaskan kepada Amane mengapa dia memanggilnya karena itu demi alasan yang egois dan memanggilnya untuk tujuan yang tidak bisa dia katakan secara langsung.

Namun, kedengarannya tidak jujur ​​jika dia meneleponnya di tengah malam dan tidak memberikan alasannya, jadi Mahiru harus memikirkan bagaimana menjelaskannya kepadanya.

“Aku juga tidak bisa tidur, jadi bisakah kita mengobrol lebih lama lagi?”

Ketika Mahiru terlalu malu untuk memberitahunya secara jujur, dia mendengar suara Amane yang begitu halus dan tenang seolah-olah ingin membebaskannya dari ketegangan.

Suaranya yang lembut tidak meminta penjelasan, tapi hanya menyampaikan rasa ketenangan dan kehangatan.

“… Ya.”

Dia mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat licik, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya mengambil keuntungan dari kebaikan Amane.

Mahiru yakin Amane mengira dia meneleponnya karena cemas tidak bisa tidur. Mungkin juga Amane mengira kalau dirinya bermimpi tentang masa lalunya dan tersiksa karenanya. Amane menghela nafas lega ketika Mahiru diam-diam setuju dan kemudian tertawa kecil.

“Syukurlah... tapi rasanya cukup menyegarkan, karena jarang sekali kita bisa berbicara melalui telepon seperti ini..”

“Ya, memang. Pada dasarnya kita selalu menghabiskan waktu bersama, jadi jika kita  membutuhkan sesuatu, kita bisa langsung mengatakannya kapan saja.”

“Itu karena kita bertetanggaan sih. Karena kita selalu berdampingan, jadi kita bisa memberitahu secara langsung…. Entah kenapa rasanya sedikit aneh juga ya.”

“…. Ya.”

Meskipun mereka tinggal di rumah yang bersebelahan, mereka biasanya menghabiskan waktu bersama secara teratur. Jadi, rasanya langsung terasa istimewa hanya dengan berbicara melalui telepon saja.

Ketika mendengar tawa samar yang bercampur dengan hembusan napas terdengar melalui speaker, dan ilusi menggelitik saat napas perlahan-lahan menelusuri kulit. Rasanya begitu menyenangkan dan sedikit membuat frustrasi..

Mahiru berbaring dan memutar sedikit untuk mendapatkan posisi yang nyaman dan mendengarkan dengan seksama saat Amane menemukan topik dan mulai berkata.

“Ngomong-ngomong, aku lupa bertanya padamu tadi. Apa kamu habis nongkrong bersama Chitose hari ini?”

“Ya, tapi kami hanya pergi ke kafe dan mengobrol-ngobrol.”

“Sangat menyenangkan bisa bersantai, apa kamu bersenang-senang?”

“Ya, ketika aku bersama Chitose-san, aku selalu merasa bersemangat.”

“Begitu ya, syukurlah kalau kamu bisa bersenang-senang. Apa yang kalian berdua lakukan ketika sedang nongkrong bersama?

“Kami tidak melakukan sesuatu yang istimewa, kok. Kami hanya minum teh di kafe, pergi berbelanja untuk mencari pakaian dan aksesoris, menonton film .... hanya kegiatan normal saja.”

“Heh, kupikir Chitose akan membawamu kemana-mana.”

“Yah, jika Chitose-san mendengarmu, dia akan marah dan mengatakan kalau perkataanmu itu tidak sopan.”

Mereka sepertinya mengira Chitose melakukan berbagai aktivitas karena keaktifannya.

Memang benar bahwa Chitose adalah tipe orang yang suka beraktivitas di luar ruangan dan pergi ke berbagai tempat, namun dia tidak memaksakan Mahiru untuk pergi bersamanya, dan sebagian besar tempat yang ia datangi adalah tempat bermain gadis SMA pada umumnya.

Mahiru tidak pergi keluar sampai dia mengenal Chitose, jadi dia sangat berterima kasih padanya untuk bisa bermain bersama dengannya.

“Dia bahkan memiliki informasi dan kontak ke tempat-tempat yang tidak pernah aku kunjungi, jadi aku sedikit takut dia akan membawa Mahiru ke tempat yang tidak diketahui.”

“Yah, kadang-kadang dia membawaku ke tempat-tempat yang tidak kukenal, tapi pada dasarnya itu tempat yang aman dan menarik. Beberapa hari yang lalu, dia membawaku ke tempat panjat tebing. Aku belum pernah melakukannya sebelumnya jadi rasanya menyenangkan.”

“Ah, panjat tebing. Ibuku sering mengajakku ke tempat lokal, tapi aku tidak bisa memanjat karena aku tidak terlalu atletis.”

“Fufufu, menurutku kamu mungkin bisa melakukannya sekarang, kan? Kamu sudah bekerja keras untuk melatih ototmu, Amane-kun.”

“Aku harap aku bisa menjadi sedikit lebih kuat. Aku akan menunjukkannya kepadamu suatu saat nanti.”

“…ya.”

Dia menganggukkan kepalanya tanpa rasa tidak nyaman, tapi setelah dipikir-pikir lagi, itu mungkin ajakan untuk jalan-jalan. Amane sendiri tidak menyadari maksud dari ucapannya dan sikapnya tampak alami.

(... Aku penasaran apakah itu akan menjadi kencan)

Jika mereka pergi ke fasilitas panjat tebing, mungkin lebih baik untuk menanyakannya pada Chitose. Dan jika dia akan mengajak Mahiru berkeliling, Mahiru mungkin mengenali tempat itu karena dia sudah pernah ke sana.

Chitose mungkin mengatakan bahwa tempat yang mereka tuju tidaklah romantis, tapi ketika mendengar ajakan Amane, bibir Mahiru secara alami mengendur dan membentuk lengkungan.

“Jalan-jalan bersama Amane-kun, ya. Aku jadi merasa senang.”

Dia tertawa kegirangan ketika mengungkapkan perasaan jujurnya tetapi tidak peduli seberapa keras dia mencoba, ekspresinya menjadi senyam-senyum tidak karuan.

Mahiru merasa senang dari lubuk hatinya terdalam karena Amane tidak ada di sini. Dia tidak akan bisa menunjukkan ekspresi yang begitu mudah dimengerti padanya.

Dia berguling-guling di tempat tidur dengan gembira karena berpikiran bisa pergi berduaan dengan orang yang dia cintai. Mungkin hal yang begitu sederhana begini saja sudah membuatnya merasa senang dan santai karena meneleponnya.

Sedikit ketegangan yang ada di benaknya ketika  memulai panggilan telah menghilang, dan sekarang dia merasa mengantuk karena kelegaan yang dia rasakan.

Mungkin karena berada dalam suasana hati yang bahagia, dia semakin ingin tenggelam dalam rasa kantuk ini.

Saat Mahiru tertawa ketika menyadari kalau dirinya terlalu mengantuk untuk mengangkat kelopak matanya, dia mendengar suara dari seberang berbicara dengan suara pelan yang mengatakan, “Mahiru, begini…”.

“Boleh aku menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran?”

“… Sesuatu yang membuatmu penasaran?”

Kira-kira mengenai apa ya, pikir Mahiru sembari sedikit menahan rasa kantuk yang datang perlahan-lahan, diikuti dengan suara yang agak ragu-ragu.

“Umm begini, apa maksud Mahiru dengan mengatakan hal-hal semacam itu? Maksudku, perkataanmu tadi siang yang bilang saling melengkapi dan hidup bersama.”

Mendengar pertanyaan dengan suara yang lebih serak dari biasanya, Mahiru berpikir sejenak dan kemudian perlahan-lahan menggerakkan bibirnya.

“… Maksudnya, aku dan Amane-kun akan selalu bersama, kan? Misalnya jika kita selalu .... bersama seperti ini, rasanya jauh lebih efisien untuk hidup bersama, saling membantu dengan apa yang tidak bisa kita lakukan...itulah yang kumaksud.”

Tentu saja, lebih efisien untuk melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Jika Mahiru ingin mengangkat benda berat, itu akan memakan waktu atau mungkin tubuhnya tidak memiliki kemampuan fisik untuk melakukannya.

Jika Amane yang memasak, ia mungkin akan membuang bahan masakan dan memakan waktu lama. Tetapi jika ada dua orang dan jika masing-masing orang bertanggung jawab atas keahliannya masing-masing, maka itu akan membuat tugas menjadi lebih mudah.

Ketika Mahiru menjawab dengan suaranya yang sedikit lemah karena dia sudah lumayan mengantuk,  Amane juga menanggapinya dengan suara yang ambigu, “… yah, ya, tapi bukan itu yang ingin aku tanyakan padamu.”

 “Lalu apa yang ingin kamu tanyakan….?”

Dia berdeham dengan ringan dan mengajukan pertanyaan tetapi dia tidak mendapat jawaban dari Amane.

“Tidak, enggak jadi .... Aku mungkin akan mati jika kau mengatakannya dalam suasana tertentu.”

“…Kenapa …?”

“Bukan apa-apa. Jangan khawatir tentang hal itu. Kamu tidak perlu bertanya.”

Cara bicaranya yang mendadak menjadi formal, jelas menunjukkan kalau Amane tidak akan menjawab lebih jauh. Setiap kali ini terjadi, Amane cenderung bertahan dan tidak mengatakan apa-apa, jadi yang terbaik adalah tidak mengganggunya. Ia kemudian menenangkan Mahiru dengan mengatakan,

“Tidak apa-apa, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku ... yang lebih penting lagi, kamu mulai mengantuk, iya ‘kan?”

Rupanya, Amane sudah menyadari bahwa suara Mahiru mulai mengantuk.

“Kalau begitu sudah waktunya untuk menutup telepon.”

“… Enggak mau. Sedikit lagi…”

Meskipun dia pikir itu sedikit kekanak-kanakan, Mahiru ingin mendengar suara Amane sedikit lebih lama.

Kesempatan seperti ini sangat jarang terjadi. Dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mendengar suara Amane dan berbaring sebentar.

Mahiru berkata pada dirinya sendiri, 'bagaimana aku bisa begitu egois,' sambil mencoba untuk mendapatkan rasionalitasnya yang perlahan-lahan mengendur dan mencair. Tapi suara Amane yang begitu lembut mengatakan, “Baiklah, aku mengerti," meluluhkan semua keraguannya.

Lega bahwa dia telah dimaafkan, Mahiru mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia letakkan di atas seprai, sambil mengelus-ngelus dadanya.

“…. Suara Amane-kun, terdengar menenangkan, dan membuatku merasa, nyaman.”

“Baru pertama kalinya aku diberitahu seperti itu.”

“Benarkah...? Suaramu terdengar begitu lembut, menenangkan dan halus.”

Nada suaranya yang tidak terlalu rendah, terdengar jernih dan berkilau, semata-mata tenang, lembut, dan bahkan terdengar manis bagi telinga Mahiru.

Ketika suara seperti itu berbisik lembut padanya, Mahiru merasakan semua kekuatan di tubuhnya terkuras. Hal tersebut bukan hal yang tidak menyenangkan, tapi justru terasa nyaman.

Suaranya yang hanya bisa didengar olehnya dan tidak ada orang lain, terasa hangat dan perlahan-lahan membuai Mahiru ke dalam lautan senyuman gembira. Mahiru merasakan tubuhnya seolah-olah sedang melayang saat suaranya meresap ke dalam tubuhnya.

(… Aku ingin mendengarnya lebih lama lagi)

Dia ingin Amane sering memanggil namanya dengan suara itu.

“….Memangnya sampai sebagus itu?”

“Suara Amane-kun,…. Aku sangat menyukainya… aku ingin…kamu  memanggilku namaku…..”

Dia paling suka ketika namanya dipanggil. Sebuah nama yang tidak ada yang berani memanggilnya sampai dia bertemu Amane.

Mahiru tidak menyukai namanya yang artinya pertengahan dari nama orang tuanya, Pagi dan Malam, yang tidak menyayangi anaknya. Namun setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Amane, dia jadi menyukai namanya. Dia sangat menyukainya ketika Amane memanggilnya dengan bukan panggilan Tenshi-sama atau Shiina, tetapi Mahiru.

Ketika Amane berbisik kepadanya dengan cara begini, hal itu membuatnya merasa puas. Itu membuatnya merasa hangat dan bahagia.

Mahiru memohon padanya untuk memanggil namanya dengan pikiran goyah di benaknya. Dia memiringkan kepalanya ketika mendengar suara tersedak dari sisi lain telepon, seolah-olah Amane sedang tersedak sesuatu.

“Mahiru, kamu...”

Ketika Amane memanggil namanya dengan suara yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, Mahiru menutup matanya tanpa mengerti.

Dia tahu bahwa inilah satu-satunya cara dia bisa berkonsentrasi pada suara Amane.

Dia tahu bahwa inilah satu-satunya cara dia bisa berkonsentrasi pada suara Amane. Saat dia mengalihkan perhatiannya ke pendengarannya dengan pikiran damai saat tenggelam dalam lautan kebahagiaan, dia mendengar sedikit suara napas dan desahan lembut.

“….. tidak, jangan khawatirkan hal itu.”

Amane sepertinya ingin mengatakan sesuatu tetapi berhenti tanpa melanjutkan kata-katanya, dan kemudian hanya menghembuskan nafas kecil.

Bahkan suara konstan Amane yang berdeham itu terdengar menyenangkan bagi Mahiru, saat dia menyerah untuk menghentikan pikirannya dan hanya hanyut dalam keheningan yang nyaman. Dia mengerti bahwa pikirannya menjadi lebih tidak stabil dari sebelumnya dan seolah-olah itu seperti urusan orang lain.

“Mahiru.”

Setelah keheningan yang cukup lama bagi Mahiru, dia mendengar suara hati-hati Amane dengan sedikit desahan yang mencoba mengkonfirmasi kehadirannya.

Mahiru mencoba berbicara sebagai balasan, tetapi rasa kantuknya yang juga bisa digambarkan sebagai penghiburan tidak memungkinkannya untuk berbicara. Amane menghela nafas lagi sambil tertawa pelan pada Mahiru, yang hampir tidak bisa mengatakan sesuatu dengan suara serak kecil, parau dan sayup-sayup.

“… Oyasumi, Mahiru.”

Ketika suara Amane yang lembut dan lebih manis menggelitik di daun telinganya, Mahiru menyerah pada rasa kantuk yang tak terahankan dan akhirnya tertidur lelap.

 

♢♢♢♢

 

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah dan bersiap-siap seperti biasa, Mahiru mengunjungi rumah Amane dan bertatap muka dengan Amane yang tampak sedikit jutek. Amane yang sedikit ngambek menunggunya di lorong sebelum Mahiru memasuki ruang tamu.

“Kamu tahu, mungkin kamu harus menahan diri untuk tidak meneleponku sebelum tidur.”

Amane tampaknya seperti ingin mengatakan sesuatu di sekolah, tapi Mahiru tidak bisa pergi berbicara dengannya. Jadi dia pikir dia akan menunggu untuk berbicara dengannya ketika mereka berduaan seperti ini... tapi Mahiru tidak menyangka kalau Amane akan mengeluh padanya.

(Apa jangan-jangan kemarin aku sudah melakukan sesuatu yang kasar pada Amane-kun….? Mungkin ia merasa kesal karena aku sendiri yang meneleponnya dan ketiduran duluan)

Dia membuat panggilan telepon, dan kemudian mulai merasa mengantuk di tengah jalan dan setelah itu, ingatannya kabur.

Mahiru tidak ingat banyak dari apa yang dia katakan karena dia dalam keadaan setengah linglung, tapi dia mungkin mengatakan sesuatu yang menyinggung Amane. Dia ingin percaya bahwa dirinya tidak mengatakan sesuatu yang aneh, tapi sorot mata Amane yang gelisah membuatnya menjadi tidak yakin.

“Ap-Apa aku habis melakukan sesuatu yang salah?”

“Bukannya begitu, tapi menurutku sedikit berbahaya bagi Mahiru membiarkan orang lain melihat atau mendengarmu yang mengigau ketika hampir ketiduran.”

Suaranya yang agak tegang memperingatkannya dengan cara yang sangat serius, dan Mahiru merasa kasihan karena itu pasti terlalu berat baginya.

“Apa karena aku sudah mengotori telingamu?"

“Dibilangin maksudnya bukan begitu…. makanya... bikin merinding, jadi jika orang lain mendengarnya, itu tidak baik."

“… merinding?”

“Pokoknya, jangan. Sama sekali enggak bagus.”

“… Bahkan dengan Amane-kun juga? Jika kamu tidak menyukainya maka ...”

“Aku sih tidak keberatan, tapi pokoknya jangan. Kupikir itu bahkan sangat berdampak padaku. Hal tersebut sangat buruk untuk hatiku dan kupikir aku tidak bisa mengatasinya dengan baik.”

“Tidak bisa mengatasinya?”

“Intinya, enggak boleh.”

Dia menatap Amane yang benar-benar menghindari menjelaskan alasannya. Mahiru menunjukkan ekspresi tidak puasnya secara jelas, tapi Amane bahkan tidak mengalah dan bersikeras dengan, “Pokoknya enggak boleh”, Mahiru lalu menekan kedua tinjunya yang mengepal di kedua lengan Amane untuk mengajukan keluhan.

Mahiru merasa tidak nyaman karena dia merasa ada sesuatu yang penting disembunyikan darinya.

Ketika Mahiru meminta penjelasan dari Amane, karena sedikit khawatir kalau-kalau dia mengatakan sesuatu yang aneh, Amane menurunkan alisnya seakan-akan merasa terganggu, lalu menghela napas dengan cara yang bisa dimengerti.

Amane dengan lembut mengulurkan tangannya ke Mahiru, yang bergidik berpikir dia mungkin membuatnya cemas. Jari-jarinya yang menonjol hanya mengusap sisi rambutnya yang menggantung di sekitar pipinya saat udara menyentuh telinganya.

Dengan telinga yang tidak lagi tertutupi rambut, Amane dengan ringan membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke telinga Mahiru dalam gerakan lambat.

“Mahiru. Pokoknya enggak boleh.... mengerti, ya?”

Suara rendah, lembut, dan mengilap mencapai telinganya, menenangkannya dan tidak membiarkannya memberontak. Sensasi mati rasa aneh menjalar seperti membelai punggungnya dan suara konyol “Hwanya!?” keluar dari mulutnya. Rasa kebas yang menjalar ke seluruh tubuhnya bukanlah rasa kebas yang begitu dingin, tetapi rasa kebas manis yang sulit didapatkan.

Suaranya itu sepertinya mengambil semua kekuatan dari tubuh Mahiru dan melelehkannya sampai ke inti. Ketika dia akan jatuh terlentang, dia dengan cepat meletakkan tangannya di belakang punggungnya dan melompat ke dada Amane yang menariknya masuk. Dia menggerakkan mulutnya untuk berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.

(... sungguh suara yang bagus)

Baik Mahiru dan Amane membuat suara yang tidak boleh didengar oleh orang lain. Mahiru sedang dalam keadaan yang menyedihkan, sedangkan Amane....

“Apa kamu baik-baik saja?”

Amane dengan cemas memanggil Mahiru yang telah kehilangan semua tenaga di tubuhnya, dan menggendong Mahiru dalam pelukannya ke atas sofa.

Di sudut pikirannya, Mahiru terkesan dengan fakta bahwa Amane telah banyak berubah karena ia membawanya lebih mudah daripada sebelumnya, tetapi otaknya merenung dengan sendirinya mengenai suara yang dia dengar sebelumnya, dan semua kekaguman itu berubah menjadi denyutan dan rasa geli yang menggelitik dadaya.

“Telinga Mahiru tuh sangat sensitif, ya.”

Amane menggumamkan sesuatu ketika menatap Mahiru, yang jantungnya masih berdebar-debar kencang. Mahiru buru-buru meraih ujung baju Amane saat ia duduk di sebelahnya.

“Sa-Salah, itu sih karena suara Amane-kun...”

“Suaraku?”

“... sangat enggak baik. Itu benar-benar enggak baik.”

Dia menatap Amane di sebelahnya dengan tatapan berkaca-kaca dan bertanya sejak kapan ia belajar membuat suara seksi, Amane lalu memalingkan wajahnya dan menghela nafas.

“... Kurasa bisa dibilang kita sama-sama impas karena aku juga merasakan hal yang sama kemarin, meskipun dalam bentuk yang berbeda, sih.”

“Eh.”

“Pokoknya, enggak boleh. Paham?”

Sebelum Mahiru bisa menanyakan detailnya, pundaknya dipegang dengan lembut, dan kali ini Amane hanya menatap lurus ke matanya seolah-olah ia sedang memberi tahu seorang anak kecil dengan nada suara yang lembut, sehingga mau tak mau Mahiru hanya bisa mengangguk dengan pasrah dan jujur.

Mungkin jika Mahiru tetap mengatakan tidak, Amane akan terus berbisik di telinganya sampai dia menganggukkan kepalanya.  Mahiru juga tidak ingin diatur oleh perasaan yang tidak dimengertinya, jadi lebih baik mundur kali ini dengan patuh.

Ketika Mahiru menatapnya dengan tidak setuju setelahnya, Amane meletakkan tangannya dengan lembut di telinga Mahiru dan menatapnya dengan sangat serius, jadi dia tidak akan berdebat lebih jauh. Dia telah belajar bahwa lebih baik untuk tutup mulut dan tidak mengungkit-ungkit masalah itu lagi.

( …. Aku merasa seperti aku membuat diriku menjadi lebih kasmaran dengan Amane-kun)

Mahiru ingin Amane lebih menyadari perasaannya, jadi dia meneleponnya malam-malam, tetapi pada akhirnya, hanya Mahiru yang dibuat menjadi menyukai Amane. Sedari awal, Mahiru menunjukkan kegelisahan dan kegugupannya kepada Amane, jadi bisa dibilang kalau rencananya telah gagal.

Meskipun Mahiru merasa bahwa itu tidak berjalan dengan baik, tapi dia merasa puas mengetahui sisi lain Amane yang biasanya tidak dia lihat atau dengar, dan dirinya pun tidur dengan perasaan yang sangat gembira, karena mendengar suaranya sebelum tidur. Hal tersebut mungkin lebih baik daripada menjadi terlalu sadar satu sama lain dan menjadi canggung.

“… entah kenapa, rasanya sangat disayangkan.”

Mahiru bergumam pelan dan menutup mulutnya untuk menekan rasa malu yang masih tersisa sedikit di dalam dirinya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama