Chapter 16 — Suara Bisikan Itu Tidak Adil
Orang yang membuat Mahiru jatuh
cinta adalah cowok yang berhati-hati, agak pendiam dan pemalu. Ia
tidak terlalu ramah dan memiliki sikap yang kaku terhadap orang yang tidak dikenalnya,
tetapi ia bukanlah orang yang judes; Justru sebaliknya, ia orang yang peduli
dan memiliki temperamen yang lembut.
Setelah kamu sudah terbiasa
dengannya, ia akan memperlakukanmu dengan ekspresi tenang dan memberikan senyum
lembut. Jika kamu mengenalnya lebih dalam, kamu akan mengetahui bahwa dirinya
dapat digambarkan sebagai cowok yang baik, perhatian, bijaksana, dan sopan,
meskipun bahasanya sedikit kasar.
... Itulah yang membuat Mahiru
kesulitan karena ia terlalu sopan, dan jika Mahiru secara fisik menutup jarak
di antara mereka berdua, ia akan menjauhkan diri dari hal itu dan
meninggalkannya tanpa disadari Mahiru.
(Bagaimana
caranya supaya bisa membuat Amane-kun peka terhadap pendekatanku?)
Cara terbaik untuk membuat
seseorang menyukaimu adalah dengan membuatnya peka denganmu, tetapi bagaimana
caranya supaya bisa membuatnya peka?
Cara yang paling gampang dan
tercepat adalah mengekspos dan memamerkan diri, tetapi hal semacam itu langsung
ditepis oleh akal sehat dan rasa malunya mengenai tindakan tersebut.
Mahiru biasanya mengenakan pakaian
yang hampir menutupi semua badannya karena tidak sopan untuk mengekspos kulit
secara tidak perlu. Dan jika Mahiru berpakaian yang lumayan terbuka, Amane
mungkin takkan berani melakukan kontak mata dengannya dan bahkan menjadi kecewa
jika tidak berhati-hati.
Kemudian Mahiru berpikir untuk lebih
agresif mendekatinya, tetapi dia tahu kalau Amane akan melarikan diri. Amane
tidak keberatan jika tangan atau bahu mereka bersentuhan sedikit, tapi saat
tubuh mereka bersentuhan, dirinya dengan santai menjaga jarak atau dengan
canggung memberitahu, “Itu-mu
menyentuhku.”
Bahkan Mahiru sendiri masih
akan menolak pendekatan yang disengaja seperti itu, karena dia akan malu jika
Amane menolak pendekatannya. Jadi bagaimana caranya bisa membuatnya sadar akan
dirinya tanpa merasa malu?
“Gimana kalau menyusup ke dalam
kamarnya saat malam hari?”
“Apa kamu tidak mendengar
penjelasanku barusan? Selain tidak lazim bagi seorang gadsi menyelinap masuk ke
kamar seorang cowok dan menyerangnya dalam tidurnya, masuk tanpa izin sudah
termasuk pelanggaran.”
Ketika dia ingin menceritakan
hal tersebut kepada Chitose dan meminta nasihat darinya, Chitose justru
memberikan jawaban yang konyol, Mahiru membalasnya dengan memicingkan matanya.
Mahiru merasa menyesal karena
sudah mengambil begitu banyak waktunya sepulang sekolah, tetapi nasihatnya justru
terlalu mengada-ada dan sulit diterima.
Chitose tampaknya tidak terlalu
terpengaruh oleh tatapan dingin Mahiru dan tertawa kecil saat mengaduk café au
lait yang dipesannya.
“Yah, kalau itu sih jelas-jelas
cuma bercanda, kok. Tapi yah, aku sudah mengatakan ini sebelumnya bahwa jenis
hubungan yang diinginkan Mahirun tidak mungkin berkembang kecuali kamu terus-menerus
mendorongnya.”
“Itu sih...”
“Habisnya, ada gadis cantik nan
imut yang selalu ada untuknya, menjaganya,
bersikap baik padanya, tapi tidak melakukan apa-apa? Ia seriusan masih anak
cowok? Apa batangnya masih ada? Apa
itu masih bisa berdiri? Atau begitulah kesanku…”
“Tolong jangan membahas tentang
hal-hal seperti itu. Mouu.”
Meskipun dia sudah memeriksa
apa ada siswa dari sekolahnya, atau orang yang dikenal duduk di dekatnya, namun
ucapan Chitose cukup berbahaya.
Walaupun volume suara Chitose
dikecilkan, tidak enak jika ada orang lain mendengar ucapan Chitose, jadi
Mahiru merasa takut sekaligus malu.
Dalam artian baik dan buruk, Chitose
memiliki kecenderungan untuk terbuka dan transparan, dan karena mereka
sama-sama gadis, jadi ada beberapa komentar yang cukup ekstrim keluar dari
mulutnya. Jadi, Mahiru harus bekerja keras supaya otot-otot wajahnya tidak
berkerut.
Pipinya mulai memanas,
seakan-akan dia sedang dihadapkan pada sesuatu yang tidak terlalu
dipikirkannya, dan ini mungkin merupakan alasan kenapa senyuman Chitose semakin
melebar.
(...Memang
benar kalau Amane-kun tidak menunjukkan sikap
seperti itu)
Bahkan, ketika mereka berduaan
di samping satu sama lain, tidak ada sesuatu yang terjadi. Mahiru mengira Amane
hanya bersikap berhati-hati, tapi dia penasaran apa yang terjadi di dalam
pikirannya.
Tapi, dia buru-buru mengusir
pikiran yang tidak perlu sebelum Chitose menyerangnya. Dia terbatuk ringan
untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tetapi pikirannya masih terguncang
dari pikiran yang sebelumnya terlintas di benaknya dan tidak dapat
mempertahankan ketenangannya.
“Tapi pada kenyataannya, ia
sama sekali tidak kasar, dan sedikit sopan. Tipe cowok yang menjaga jarak dan
penuh perhatian. Biasanya, tidak mengherankan jika orang semacam itu memiliki
motif tersembunyi. Itu sebabnya saya ragu apa ia beneran cowok atau bukan.”
“... Chitose-san.”
“Dibilangin maaf. Tapi yang
paling penting untuk diingat ialah Amane adalah orang yang rasional dan tidak
mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Jadi jika Mahirun masih terus
bertingkah sama seperti biasanya, tidak ada yang berubah. Itulah sebabnya, jika
kamu ingin membuatnya peka, kamu harus mendorongnya
dengan lebih agresif.”
Mahiru tahu dari pengalaman
sebelumnya bahwa hal ini memang benar adanya, namun dirinya tidak tahu pendekatan
apa yang harus dilakukan. Mahiru sudah melakukan apapun yang bisa dia lakukan.
“...Yah, Mahirun masihlah
Mahirun karena kamu melakukannya tanpa sadar kepada Amane. Jadi, ha tersebut
juga bisa menajdi bencana bagi Amane. Maksudku, ia sungguh hebat sekali bisa
menahannya dengan baik.”
“Memangnya apa yang sudah
kulakukan?”
“Enggak, aku hanya berpikir
kalau Mahirun itu lucu.”
Mahiru bertanya dalam bisikan
kecil yang membuat Chitose menertawakannya seolah-olah dia tidak berniat
menjelaskannya. Mengetahui betapa keras kepala Chitose, Mahiru menyerah untuk
mencari tahu dan dia menghela nafas pelan.
(...
Pada akhirnya, apa yang harus aku lakukan?)
Bukannya berarti dia sama
sekali tidak punya kesempatan dengan Amane.
Mahiru tahu kalau Amane
memberinya tatapan lembut dan manis yang belum pernah ia tunjukkan kepada orang
lain,
Amane memperlakukannya dengan sopan, santun, dan hati-hati sebagai seorang
gadis, dan Mahiru tahu bahwa ia menganggapnya lebih istimewa daripada orang
lain.
Setidaknya Amane cukup
menyukainya sebagai pribadi, dan meskipun ini termasuk sedikit angan-angan bagi
Mahiru, dirinya percaya bahwa Amane akan menyukainya sebagai lawan jenis. Kalau
tidak, Amane tidak akan begitu dekat dengannya, dan tidak akan terlalu memanjakan
atau dimanjakan olehnya.
“Hmm gimana bilangnya ya, kupikir
baik Mahirun dan Amane sama-sama orang yang bersalah. Yah, intinya sih Mahirun harus
terus bekerja dengan baik dan terus mendorong dan mendorongnya.”
“Mendorong .... Misalnya,
Chitose-san. Bagaimana kamu dan Akazawa-san menghabiskan waktu bersama?”
"Eh? Kupikir itu tidak
bisa dijadikan referensi, loh.”
Jika dia akan pergi sejauh itu,
maka Mahiru pikir kalau dirinya lebih baik bertanya kepada Chitose bagaimana
mereka menghabiskan waktu bersama. Tapi Chitose hanya melambaikan tangannya
dengan senyum lepas di wajahnya.
“Jika aku bersama Ikkun, kami
cuma saling bermesraan melulu.”
“Ber-Bermesraan...”
“Kalau hanya kami berdua, kami biasanya
main di luar atau berkencan di dalam kamar. Tapi dalam kasus Mahiru, itu
terbatas di rumah. Ketika cuma di rumah, kami hanya ngumpul-ngumpul bareng,
menonton DVD, membaca manga, bermain game, dan berbicara tentang hal-hal yang
tidak penting. Yah, jika tidak ada orang di rumah, sisanya yahh, kamu bisa tahu
sendiri, ‘kan?”
“Ak-Aku mengerti! Kamu tidak
perlu membahasnya sedetail begitu!”
“Loh, aku belum mengatakan
apapun tentang apa yang kulakukan, tau... kira-kira apa yang Mahirun
bayangkan?”
“~~~”
“Maaf, maaf. Yah, aku hanya
memeluknya dan memberinya ciuman serta melakukan banyak hal lainnya. Tapi
bukannya berarti Mahirun bisa melakukannya, iya ‘kan? Jika kamu bisa
melakukannya, aku akan memuji keberanianmu.”
“Ak-Aku takkan melakukannya dan
tidak bisa melakukannya!”
Jika dia mencoba menciumnya,
mereka berdua nantinya takkab berani saling menatap. Pertama-tama, ciuman dan
tindakan lebih lanjut harus dilakukan setelah berhasil menjalin hubungan, bukan
sebagai sarana untuk membuat pihak lain menyadari perasaannya.
‘Apa
sih yang sudah kamu katakan’, Mahiru melirik dengan tatapan
tajam, tapi Chitose menepisnya dengan senyum acuh tak acuh.
“Yah, itu sebabnya pengalamanku
tidak berguna. Ketika berbicara tentang jenis daya tarik sehat yang diinginkan
Mahirun, Mahirun sudah melakukannya setiap saat.”
“... Ahh?”
“Anak cowok biasanya sudah
merasa senang hanya dengan melihatmu tersenyum kepada mereka, dan karena Mahirun
sangat dekat dengannya, kamu mungkin sering bersentuhan satu sama lain. Kamu
sudah terbiasa saling bergandengan tangan, atau duduk bersebelahan dengannya,
membaca buku yang sama atau bermain game bersama. Itu sudah menjadi tingkat
PDKT yang cukup tinggi.”
“It-Itu sih….”
“Kalian berdua juga makan malam
bersama hampir setiap hari. Kalian saling tertawa dan berbicara satu sama lain,
dan menghabiskan waktu bersama sebagai hal yang biasa, sehingga bisa dibilang
tidak ada gunanya melakukan PDKT lagi... jika ada orang luar yang melihat
kedekatan kalian, mereka akan mengira kalau kalian berdua itu sepasang
pengantin baru, tau?”
Mahiru berulang kali membuka
dan menutup mulutnya saat bibirnya bergetar. Chitose tersenyum lembut ketika melihat
keadaan Mahiru yang seperti itu. Dia mencoba untuk membantah perkataan Chitose,
tapi yang keluar dari tenggorokannya hanyalah suara lembut yag tak bisa berkata
apa-apa.
(...
Mirip seperti pengantin baru)
Dia tidak menghabiskan waktunya
dengan niatan semacam itu dan hanya berinteraksi
dengan Amane secara normal-normal saja.
Karena kepribadian Mahiru lah
yang membuatnya merawatnya dan dia duduk di sebelah Amane karena satu-satunya
tempat mereka bisa duduk hanyalah di sofa. Mahiru tinggal sampau agak larut
malam karena mereka bisa mengerjakan tugas bersama dan mengobrol dengan asyik.
Tentu saja, alasan terkuatnya
adalah karena dia ingin tetap berada di sisi Amane, tetapi ketika dia sekali
lagi dihadapkan dengan apa yang dipikirkan orang-orang di sekitarnya mengenai
hasil dari tindakannya sendiri, Mahiru hanya bisa mengerang tak berdaya.
“Kamu melakukannya secara tidak
sadar? Yah, semua orang yang tahu kalau kalian menghabiskan waktu bersama
mungkin berpikiran sama, jadi seharusnya baik-baik saja, baik-baik saja~”
“Itu sih pasti bukan sesuatu
yang baik-baik saja, iya ‘kan !?”
“Mahirun, suaramu terlalu
keras, loh.”
Chitose menyipitkan matanya
saat dia menyalahkan Mahiru karena meninggikan suaranya atas informasi tambahan
yang dia berikan dan kemudian tertawa ringan. Mahiru merenungkan fakta kalau
dirinya kehilangan ketengannya sejenak dan memelototi Chitose.
Chitose tersenyum dan berkata “Aku bisa melihat dari samping bahwa kalian
berdua dekat satu sama lain, jadi jangan khawatir.” dengan suara yang
menyemangati. Namun, Mahiru tidak tahu apakah dia harus diyakinkan atau tidak.
“Yah, kalian berdua tampaknya
sangat akur sehingga tidak bisa dibedakan dengan pengantin baru atau pasangan
paruh baya. Tapi, dalam situasi ini, bukannya lebih baik mencoba melakukan
kontak tidak langsung?”
“... secara tidak langsung?”
“Mahirun, kamu ingin Amane
menyadarimu dalam batas akal sehat, bukan? Jika memang begitu, kamu harus
mengubah pendekatanmu. Orang-orang akan terbiasa jika diberi rangsangan yang
sama terus. Kamu sudah mencoba untuk tersenyum padanya, memeluknya dan memegang
perutnya, kan? Kalau begitu, kupikir kamu harus mencoba menyerangnya dengan
suaramu kali ini.”
“... menyerangnya dengan
suara?”
“Ya, kenapa kamu tidak mencoba
meneleponnya sebelum tidur? Telepon selamat malam adalah cara yang ampuh untuk
berkomunikasi, dan karena Amane tidak sering mendengar suaramu sebelum tidur,
itu akan menjadi pengalaman yang mendebarkan sekaan-akan kamu mengganggu ruang
pribadinya. Dan karena kamu tidak berada tepat di depannya, itu akan membuat
hatinya berdebar-debar.”
Chitose mendongak saat dia
mengingat perasaan yang menyenangkan dan melegakan ketika berada dalam suatu
hubungan, ekspresinya itu begitu lucu bahkan untuk Mahiru yang berjenis kelamin
sama.
(…
memang, ini mungkin bisa menjadi pengalaman yang baru karena kita jarang
menelepon satu sama lain)
Setiap kali Mahiru ingin
berbicara dengannya, dia akan bertanya langsung padanya karena kamar apartemen
Amane berada tepat di sebelahnya atau bertukar pesan secara tertulis. Alat
komunikasi yang paling umum tetapi jarang digunakan, yaitu telepon, bisa
menjadi alat PDKT lainnya.
Selain itu, bisa mendengar
suara Amane sebelum tidur merupakan sebuah keuntungan bagi Mahiru. Jika dia
bisa mendengar suara orang yang dia cintai sebelum tidur, maka dia akan
melakukannya supaya bisa tertidur dengan puas.
“... Kalau begitu, yah, ak-aku
akan mencoba yang terbaik.”
Ketika Mahiru memberitahunya
dengan takut-takut, Chitose berkata dengan gembira, “Oh~”, dan matanya berbinar-binar.
“Umm, aku akan berbicara
dengannya sebelum tidur. Kurasa ada baiknya untuk berbicara dan berbagi tentang
apa yang terjadi hari ini…. kesenangan yang aku alami atau apa yang ingin aku
lakukan besok.”
“... kedengarannya seperti
Mahirun banget.”
Saat Mahiru menyampaikan
resolusinya dengan sangat serius, senyum Chitose berubah menjadi senyuman
lembut.
“Kenapa kamu malah
senyum-senyum begitu?”
“Karena kupikir kamu terlihat
manis.”
“Apa kamu sedang mengejekku?”
“Itu enggak bener, kok~”
“Mouuu”
Jawabannya yang terbata-bata
berarti bahwa dia pasti tidak berpikir begitu. Tapi, ketika Mahiru menatapnya
dengan pandangan mencela, Chitose berbisik pelan “Imutnya~” sambil tersenyum seolah dia sedang mengawasi seorang
anak kecil.
Hal tersebut membuat Mahiru
merasa tidak nyaman dan dia benar-benar ingin Chitose berhenti melakukan itu.
“Seriusan, kamu benar-benar
imut. Semua gadis yang sedang jatuh cinta itu imut. Hanya saja kemantapan dan
kemurnian Mahirun membuatmu menjadi semakin imut.”
“... Ujung-ujungnya, kamu masih
tetap meledekku.”
“Itu cuma perasaanmu saja,
perasaanmu saja kok~”
Walaupun Chitose mengatakan
begitu, tapi ekspresi wajahnya menyeringai bahagia. Jadi, bibir Mahiru berkedut
sedikit sebelum dia memalingkan wajahnya.
♢♢♢♢
Dia kemudian berpisah dengan
Chitose dan pulang ke rumah, dan setelah berganti pakaian, dia memutuskan untuk
mampir ke rumah Amane seraya bertekad untuk melakukan panggilan malam dengan
Amane.
Saat dia melewati pintu depan
menggunakan kunci duplikat, yang sudah menjadi hal biasa baginya. Amane
sepertinya mendengar suara pintu dibuka saat ia mengulurkan kepalanya dari
dapur dan memanggilnya “Selamat datang
kembali di rumah.”
Mahiru sudah memberitahunya
kalau dia akan pulang sedikit terlambat dan meminta Amane untuk memasak makanan
untuk mereka, jadi tidak ada yang aneh mengenai hal itu, tetapi fakta bahwa
Amane mengenakan celemek membuatnya tertegun kaku.
Mahiru seharusnya sudah terbiasa
melihat Amane memakai celemek karena ia biasanya membantunya, tapi anehnya dia
merasa malu untuk disambut olehnya dengan tatapan mata yang tenang.
(….
Rasanya seperti pasangan yang sudah menikah atau semacamnya)
Mungkin dia terpengaruh dengan
pembicaraan Chitose sebelumnya. Mahiru tersenyum sedikit, tampaknya malu pada
dirinya sendiri karena membayangkan hal seperti itu ketika mereka bahkan tidak
berpacaran.
“Ak-Aku pulang.”
Dia dengan cepat memperbaiki
ekspresi wajahnya, tetapi nada suaranya masih tetap terdengar gugup. Karena
tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya, Mahiru menjawab dengan suara pelan
yang menimbulkan reaksi bingung dari Amane.
“Apa ada yang salah?”
“Eng-Enggak, umm, aku belum
pernah disambut oleh seseorang yang memakai celemek sebelumnya, jadi rasanya
ini menjadi pengalaman baru bagiku.”
“Oh, jadi itu maksudmu.
Biasanya perannya terbalik, sih. Karena kamu biasanya tidak pulang terlambat.”
Walaupun alasannya terdengar
memaksa, tetapi Amane dengan mudah mempercayainya dan tertawa kecil.
“Yah, seperti yang kamu lihat,
aku sudah menyiapkan makanan, tapi sekarang kupikir-pikir lagi, aku seharusnya
datang untuk menjemputmu. Jalan pulangnya lumayan gelap, bukan?”
Amane mengatakan itu sembari
melihat jam di ruang tamu sejenak dan kemudian menurunkan alisnya, Mahiru lalu
menggelengkan kepalanya dengan ringan.
Memang, sekarang sudah lewat
jam enam dan matahari sudah mulai terbenam dalam perjalanan pulang, tapi
cuacanya tidak sepenuhnya gelap, yang mana hal itu merupakanwaktu yang normal
bagi seorang siswa SMA untuk pulang ke rumah.
“Masih ada banyak orang di jalanan
dan hari masih relatif terang. Jika matahari benar-benar tenggelam dan jalanan
terlihat berbahaya, aku akan menggunakan taksi.”
“Kalau begitu sih masih
baik-baik saja, tapi jika kamu meneleponku, aku akan menjemputmu, oke? Kamu
bisa mengandalkanku kapan saja.”
“Ak-Aku tidak bisa merepotkanmu
sampai sejauh itu.”
“Enggak, mumpung ada aku di sini,
kamu bisa memanfaatkanku. Yah, walaupun aku mungkin tidak bisa diandalkan sih.”
“... kamu benar-benar bisa
diandalkan, kok.”
“Benarkah?”
Amane menertawakan dirinya
sendiri karena berpikir dirinya tidak bisa diandalkan. Tapi dari sudut pandang
Mahiru, ia cukup bisa diandalkan, lebih dari siapa pun yang dia kenal. Dia bisa
melihat bahwa pelatihannya membuahkan hasil karena tubuhnya menjadi sedikit
lebih kencang.
Sebelumnya, Amane terlihat
sedikit membungkuk, tapi sekarang ia memiliki postur tubuh yang lebih, seolah-olah
itu adalah tanda kepercayaan dirinya yang semakin meningkat. Amane membungkuk
sedikit untuk melihat Mahiru, tapi tatapan matanya begitu baik dan peduli pada
Mahiru yang perlahan-lahan menghangatkan hatinya.
“Artinya, maksudku, aku selalu
mengandalkanmu.”
“Akulah yang selalu
mengandalkanmu, jadi tolong setidaknya biarkan aku memanjakanmu seperti ini.”
Amane tersenyum tipis dan
mengulurkan tangannya, yang lebih berotot dari sebelumnya, dan dengan lembut
mengelus-ngelus kepala Mahiru.
Amane biasanya takkan
menyentuhnya tanpa alasan, tapi pada saat-saat seperti ini, ia menyentuhnya
secara alami, yang mana hal itu membuat perasaan Mahiru campur aduk.
Amane mungkin tidak menyadari
hal ini, tapi sebagai orang yang disentuh, Mahiru merasa bahagia dan nyaman, tetapi
pada saat yang sama, dia merasa malu dan khawatir karena hanya dia satu-satunya
yang menyadari hal ini.
(...
Ia selalu memperlakukanku seperti anak kecil di saat-saat seperti ini)
Tapi dia tidak bisa mengatakan
bahwa dia tidak mau. Pertama-tama, dia ingin Amane melakukan lebih banyak hal
seperti ini, tapi dia tidak bisa mengatakan itu dari dirinya sendiri. Jadi, dia
hanya bisa memanjakan diri dalam skinship jujur Amane.
Ketika Mahiru menatap Amane
dengan sedikit kebencian sambil menahan perasaan yang sulit digambarkan di
dalam hatinya, Amane berkedip cepat.
“Aku sudah mencuci tangan tadi,
dan aku akan mencucinya lagi sebelum memasak, loh?”
“... Duhh, bukan itu yang aku
khawatirkan.”
Mungkin mustahil untuk
mengatakan bagaimana sebenarnya perasaan Mahiru dan dia bahkan tidak ingin
Amane tahu. Namun, rasanya tidak adil kalau dirinya saja yang satu-satunya
sibuat salting, jadi Mahiru menempelkan dahinya ke dada Amane.
Mahiru bisa mendengar Amane
mengerang tetapi dia pura-pura tidak tahu tentang itu. Suara kesalnya
berangsur-angsur berubah lembut dan toleran seolah-olah ia tidak punya pilihan
lain. Mahiru tahu bahwa nada suaranya hanya ditujukan kepadanya, sehingga
bibirnya secara alami melentur dan membentuk bulan sabit dengan lembut.
Meski demikian, Mahiru tidak
bisa menunjukkan wajahnya yang gembira setelah menikmati elusan Amane sebentar,
jadi dia membuat ekspresi santai dan mendongak ke atas.
Amane menatapnya dengan sedikit
rona merah di wajahnya sambil meletakkan tangannya di dahi Mahiru. Mata
hitamnya yang jernih sedikit bergetar seolah-olah untuk menunjukkan
kegelisahannya. Mahiru tertawa kecil dengan sedikit kepuasan pada ekspresinya.
Amane kemudian sedikit menggaruk kepalanya sendiri dan menghela nafas.
“... Aku akan kembali dulu
untuk membuat makan malam.”
(Ia
berusaha kabur)
Karena Mahiru sudah mengira ini
akan terjadi, jadi dia tidak mengatakan apa-apa karena tahu Amane akan merajuk
kalau dia menyebutkan itu. Mahiru mencoba mengikuti Amane dan masuk ke dapur,
tapi Amane dengan ringan meraih bahunya dan menahannya.
“Kamu bisa bersantai saja di
ruang tamu, Mahiru.”
“... Aku akan ikut membuatnya
juga.”
“Hari ini biar aku saja yang
memasaknya. Jika kamu sudah berusaha meluangkan waktu, silakan beristirahatlah sampai
akhir. Lagipula aku tidak memasak makanan dengan menu yang sulit dan Mahiru
selalu membuatkan makan malam untukku.”
“... Tapi bukannya Amane-kun
juga selalu membantuku memasak?”
“Tapi Mahiru lah melakukan
sebagian besar pekerjaan dan tidak banyak yang bisa kulakukan. Upaya yang kamu
lakukan tidak seberapa dibandingkan denganku. Yah, anggap saja ini sebagai
latihan untukku dan serahkan saja semuanya padaku.”
Mahiru sedikit tersentak ketika
mendengar suaranya yang tenang dan lembut, namun anehnya mengandung paksaan
yang membuatnya sulit untuk menolak. Dia mencoba untuk membantahnya, tetapi
Amane menggelengkan kepalanya dengan pelan dan tidak membiarkannya masuk.
“Apa kamu sekhawatir itu aku
memasak sendirian?”
“Bukan begitu maksudku. Hanya
saja, aku merasa tidak nyaman jika kamu melakukan segalanya untukku ...”
“Kalau begitu, aku akan memintamu
untuk membantu menyajikan makanan.”
Mahiru memukul-mukul ringan lengan
Amane yang masih menolak bantuannya sebagai bentuk keluhannya, dan Amane
kembali menepuk-nepuk kepada Mahiru sambil tersenyum.
♢♢♢♢
Pada akhirnya, Amane dibiarkan
bertanggung jawab atas seluruh proses memasak dan Mahiru harus menunggu di ruang
tamu, tetapi dia masih dibuat gelisah karena mengkhawatirkan Amane.
Mahiru tahu kalau Amane bisa
memasak dengan cukup baik, tapi dirinya masih mengkhawatirkan tentang hal-hal
yang mengganggunya.
Dia menyaksikan jalannya program
TV dengan pikiran terganggu, sambil mendengarkan dan melirik ke arah suara yang
terdengar dari area dapur, tapi untungnya tidak ada kecelakaan besar yang
terjadi dan makanan pun tersaji di atas meja.
Mahiru bisa mencium aroma pedas
yang menggugah selera karena sepertinya Amane membuat kari keema. Karena Amane
memutuskan untuk memasak kali ini, Mahiru sudah memperkirakan kalau ia akan
membuat kari.
“Asal kamu tahu saja, aku sudah
mencicipi rasanya dulu, oke?”
Ketika Mahiru menertawakan
Amane yang mengingatkannya untuk tidak khawatir karena dia terus-menerus
menatapnya, Amane pun bergumam “Memangnya
kamu sebegitu tidak percayanya denganku” sembari merajuk halus, jadi kali
ini Mahiru lah yang menepuk kepala Amane sebelum duduk.
Menunya adalah kari keema dan
salad sederhana, dan sekilas tidak ada yang mengecewakan.
Sejak awal, Amane adalah tipe
orang yang biasanya dapat membuat sejumlah makanan lezat, terlepas dari
bagaimana pun penampilannya, jika ia mengikuti resepnya secara tepat dan
mengikuti petunjuknya sampai tuntas, jadi Mahiru tidak terlalu
mengkhawatirkannya.
Dia kemudian melirik ke arah
Amane, yang memberinya tatapan penuh harap. Mungkin Amane merasa khawatir
dengan penilaiannya karena Mahiru selalu membuat makanan enak. Amane yang
terlihat sedikit gelisah, anehnya terlihat sangat menawan, jadi Mahiru mau tak
mau tidak bisa menahan senyumnya.
“… Apaan sih?”
“Bukan apa-apa. Lalu, aku akan
memakannya, ya.”
Ia
sungguh orang yang imut, pikir Mahiru tapi dia menyimpannya untuk
dirinya sendiri saat mengatupkan kedua tangannya untuk berterima kasih kepada
Amane atas bahan-bahannya dan sudah membuatkan makanan untuknya sebelum
mengambil sendok.
Sembari merasakan mata mereka
tertuju padanya, Mahiru mulai mencicipi kari keema buatan Amane ke dalam
mulutnya, dan rasanya sangat lembut.
Mungkin karena mereka berdua
sama-sama tidak terlalu menyukai makanan pedas, maka tingkat kepedasannya
dijaga seminimal mungkin. Meskipun beberapa rasa rempah-rempah dapat
terdeteksi, namun secara keseluruhan rasanya lembut dan sederhana, yang mana
itulah yang membuatnya terasa enak. Selain itu, hidangan ini dibuat oleh Amane,
itulah yang menjadi bumbu penyedap terenak di atas segalanya.
“… Rasanya lumayan enak, kok.”
“Begitu ya, syukurlah kalau
begitu.”
Ketika Mahiru dengan jujur mengungkapkan
pikirannya, Amane tersenyum lembut, seolah-olah ia merasa lega. Mahiru
menyadari kalau dirinya sedang jatuh cinta kepada Amane saat berpikir kalau ia
terlihat lebih muda dan manis dari biasanya.
Saat Amane dengan senang hati
menyeruput kari keema buatannya sendiri, Mahiru menyantap makanannya lagi dan
kemudian mengingat kembali masakan Amane di masa lalu, sambil bergumam lirih, “Kamu sudah meningkatkan kemampuan
memasaknya daripada dulu, ya?”
Amane bukanlah juru masak yang
buruk, tapi ia hanyalah juru masak yang kurangnya pengalaman.
Untungnya, indra perasanya
normal dan berkat orang tuanya, ia mempunyai indera perasa yang cukup terlatih.
Karena Amane bisa berpikir secara teoritis tentang berbagai hal, jadi ia adalah
seseorang yang dapat memahami arti dari proses memasak. Jadi, dengan beberapa
pengalaman, Amane secara alami juga bisa menjadi juru masak biasa.
“Itu sih karena aku melihat
beberapa resep yang diajarkan ibu. Aku biasanya membantumu dan aku berusaha
memasak di hari libur, jadi kurasa aku membuat beberapa kemajuan dalam
kemampuan memasakku.”
“Fufu, hebat sekali.”
“Yah, kali ini, aku
mengandalkan keuntungan peradaban sepenuhnya. Aku menggunakan roux yang dibeli
dari toko untuk sebagian besar bumbu dan memotong sayuran yang kamu beli tempo
hari.”
Amane tampak meminta maaf
secara halus saat mengambil sayuran cincang halus dalam kari keema dengan
sendok. Keuntungan peradaban yang Amane maksud adalah barang yang dibelinya
tempo hari. Benda itu memungkinkannya memasukkan sayuran ke dalam wadah dan
dengan mudah memotongnya menjadi potongan-potongan menggunakan bilah pisau di
dalamnya.
Ia membelinya dengan tujuan
mempersingkat waktu dan menyederhanakan prosedur memasak. Tapi sepertinya alat itu
lebih berguna bagi Amane daripada Mahiru.
Mahiru juga berpendapat bahwa
jika dirinya bisa menghemat waktu, dia akan menggunakannya. Dia tidak ragu-ragu
untuk menggunakannya atau digunakan, tetapi Amane memiliki beberapa
pemikirannya sendiri.
“Benda ini dibuat dan dijual
karena ada yang membutuhkannya, jadi kita dapat menggunakan apa yang kita bisa.
Asal hidangannya bisa dimakan dan rasanya enak, tidak masalah.”
“Memang ada benarnya sih, tapi
aku semakin menyadari kehebatan Mahiru, yang sangat pandai menggunakan pisau.
Menggunakannya atau tidak menggunakannya dan bisa melakukannya atau tidak bisa
melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Tidak ada yang lebih baik daripada
bisa melakukannya. Aku terlalu bergantung pada Mahiru tidak hanya dalam memasak
tetapi juga untuk hal lain, dan akan sangat merepotkan jika aku tidak pandai
dalam pekerjaan rumah di masa depan.”
“Memang benar bahwa tidak ada
yang lebih baik daripada bisa melakukannya, tetapi Amane-kun melakukan belanja
dan pekerjaan berat untukku, dan jika kita akan tinggal bersama, akan lebih
efisien jika kita berbagi pekerjaan. Tentu saja aku akan memintamu untuk
mencuci pakaianmu sendiri, tapi jika ada sesuatu yang tidak dapat kamu lakukankita
akan melakukannya bersama, dan kita bisa hidup bersama jika kita saling
melengkapi.”
Mahiru memberitahunya bahwa dia
tidak bermaksud menuntuk kesempurnaan dari Amane menjadi sempurna, tetapi untuk
beberapa alasan, Amane terlihat membeku dan menjatuhkan sendoknya ke atas kari.
Untungnya, sendok tersebut
jatuh di atas piring, tetapi jika ia menjatuhkannya ke lantai, bekas nodanya
akan sangat sulit untuk dibersihkan.
Ada sedikit kari yang tumpah di
gagang sendok, jadi Mahiru mengeluarkan tisu basah dan menyerahkannya kepada
Amane, tapi Amane hanya memandangnya dengan diam tanpa menerimanya.
Ketika Mahiru sengaja memiringkan
kepalanya karena bertanya-tanya apa dirinya sudah mengatakan sesuatu yang enh,
pupil mata Amane melesat dari satu tempat ke tempat lain seolah-olah sedang
merasa terganggu.
“... Tidak, umm, gimana ya. Yah
intinya bukan apa-apa.”
“Aku merasa kalau itu tidak
bukan apa-apa.”
“Beneran tidak ada apa-apa kok. Ayo cepetan makan sebelum hidangannya
dingin.”
Amane sepertinya ingin
mengatakan sesuatu, tapi Mahiru tahu itu bukan sesuatu yang ingin ia katakan sekarang.
Terlepas dari kenyataan bahwa dia membuat wajah kecewa, Amane hanya menerima
tisu basah dari Mahiru dan menyeka sendoknya, tetapi tidak berani membuka
mulutnya.
Amane kemudian diam-diam makan
nasi keema tetapi tidak berani melihat ke arah Mahiru. Walaupun masakan karinya
seharusnya tidak pedas, tetapi ketika Amane memakannya, wajahnya menjadi
sedikit merah dan mengeluarkan nafas pedas, jadi Mahiru menghela nafas pelan
dan melanjutkan makannya.
♢♢♢♢
Pada akhirnya, setelah selesai
makan malam, mereka melakukan kegiatan seperti biasa. Mereka mencuci piring
bersama seperti biasa, menyelesaikan tugas PR berdampingan, menonton TV,
tertawa bersama, lalu kembali ke rumah untuk tidur.
Meskipun Mahiru ingin tinggal
di rumah Amane sedikit lebih lama, dia harus berkemas lebih awal dan
bersiap-siap untuk panggilan selamat malam pertamanya. Meskipun berdandan dan
pergi tidur itu menyenangkan, Mahiru hanya bisa menghela nafas ketika melihat
dirinya sendiri.
(...
Aku merasa seperti terlalu antusias)
Mahiru mandi lebih lama dari
biasanya, meskipun dia takkan membuat panggilan video dan bahkan membuang
banyak waktu untuk merawat kulit dan rambutnya. Dia juga mengenakan baju tidur
favoritnya, daster putih (bukan yang
transparan) berhiaskan renda. Chitose meyakinkannya ketika dia pergi
berbelanja, “Aku yakin Amane pasti akan
menyukainya.”
Dia mengerti bahwa perempuan
harus modis di bagian yang tidak bisa dilihat, tetapi rasanya dia seperti
sedang mengenakan pakaian perang daripada terlihat modis.
Dia bertanya pada dirinya
sendiri apa sih yang dia inginkan dengan antusiasme tinggi ketika dia hanya perlu
melakukan panggilan telepon biasa? Dan terlepas dari semua persiapan yang sudah
dia lakukan, Mahiru tidak dapat bergerak dari layar panggilan telepon yang
ditampilkan.
Memang tidak ada salahnya dia
memutuskan untuk meneleponnya, tetapi alasan apa yang harus dia berikan kepada
Amane karena sudah meneleponnya di malam hari?
Dia menjadi semakin tidak yakin
karena mereka berdua adalah tipe orang yang tidak akan menghubungi satu sama
lain kecuali ada kebutuhan. Dia bahkan tidak pernah melakukan panggilan biasa,
jadi panggilan selamat malam yang baik akan lebih menjadi sulit.
(Meski
aku memutuskan untuk menelepon, tapi itu mungkin akan mengganggunya ...)
Jika dia mengganggu Amane saat
ia sedang bersiap untuk tidur, atau jika Amane sudah tidur dan dia
membangunkannya, hal itu mungkin akan mengganggunya. Mereka harus sekolah
keesokan harinya dan panggilan telepon bisa membuatnya bangun kesiangan atau
kekurangan tidur.
Semakin Mahiru memikirkannya, dia
semakin ragu untuk mengetuk tombol panggil.
Mahiru berpikir kalau Amane orang
yang berhati-hati dan pengecut, tapi ternyata dirinya sendiri justru lebih
pengecut dan dia ingin menangis sedikit. Dia berguling di atas tempat tidurnya
dengan telepon di tangannya sambil mencemaskan tentang apa yang harus
dilakukan.
Dia hendap menutup layar ponselnya
di depan dadanya sambil bergumam, “Sudah
kuduga, aku seharusnya berhenti saja”….. tapi tiba-tiba, musik dengan ritme
ringan mulai berbunyi.
Dia tertegun sejenak oleh bunyi
yang jarang dia dengar tetapi segera menyadari bahwa itu adalah suara panggilan
yang sedang tersambung dan menyentakkan bahunya. Sepertinya dia tidak sengaja
membuat panggilan.
Sebelum dia bisa membatalkan
panggilan dengan tergesa-gesa, speaker ponselnya berseru, “Mahiru?.” dan sebuah suara yang penasaran bisa terdengar saat
membisikkan namanya.
Suaranya terdengar agak serak
dan bernada lebih rendah dari yang dia dengar sebelumnya, mungkin karena orang
di sisi lain telepon sudah tertidur.
Aku
benar-benar melakukannya, dan ketika Mahiru melihat ke layar dengan
penuh ketakutan dan persiapan, dirinya melihat ikon aplikasi obrolan yang sudah
tidak asing lagi, dan menampilkan tanda panggilan yang sedang berlangsung.
“Ada
apa? Tumben sekali kamu menelepon di jam segini.”
“Eh, ti-tidak, itu umm....
bukan apa-apa. Maaf, apa aku membangunkanmu?”
Jika dia membangunkannya, itu
berarti dia sudah membangunkan Amane demi keegoisannya sendiri. Tidak peduli
seberapa baik Amane padanya, rasanya akan terlalu egois untuk terus memanfaatkannya.
Dia menggigit bibirnya dengan marah dan mendengar suara tawa kecil dari sisi
lain teleponnya.
“Enggak
juga, aku sedang bersiap-siap untuk tidur, tapi aku belum tidur, kok. Aku tidak
keberatan jika kamu memanggilku bahkan jika itu tidak ada urusan apa-apa, tapi
itu sangat mendadak sampai-sampai membuatku terkejut.”
“Be-Begitu ya. Maaf, karena
tiba-tiba meneleponmu...”
Pasti akan sangat menjengkelkan
jika menelepon tanpa membuat janji sebelum tidur. Mahiru merasa malu pada
dirinya sendiri ketika suaranya menghilang. Tapi Amane menjaga suaranya tetap
tenang saat berkata, “Kamu tidak perlu
meminta maaf segala. Aku merasa senang karena bisa mendengar suaramu.” Bisiknya
dengan pelan, jadi Mahiru semakin menggigit bibirnya.
(
... Sifatnya yang begitu memang licik)
Mahiru merasa menyesal karena
sudah membuat Amane menjadi perhatian agar dirinya tidak khawatir dan tidak
terganggu sama sekali. Tapi entah Amane menyadarinya atau tidak, kata-kata dan suaranya
yang memanjakan diputar dengan cara yang penuh kasih, dan hatinya terasa sakit
karena alasan yang berbeda dari sebelumnya.
Mahiru merasa sangat malu dan
geli sehingga dia mendorong dirinya ke dalam keheningan sehingga dia bisa
mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dia kemudian mendengar Amane tertawa
kecil.
“…
kamu enggak bisa tidur, ya?”
Amane tidak menuduhnya tapi
hanya bertanya dengan suara lembut untuk mengkonfirmasi, tapi Mahiru tidak bisa
menjawabnya dan tetap diam.
Mana mungkin dirinya bisa
menjelaskan kepada Amane mengapa dia memanggilnya karena itu demi alasan yang
egois dan memanggilnya untuk tujuan yang tidak bisa dia katakan secara
langsung.
Namun, kedengarannya tidak
jujur jika
dia meneleponnya di tengah malam dan tidak memberikan alasannya, jadi Mahiru
harus memikirkan bagaimana menjelaskannya kepadanya.
“Aku
juga tidak bisa tidur, jadi bisakah kita mengobrol lebih lama lagi?”
Ketika Mahiru terlalu malu untuk
memberitahunya secara jujur, dia mendengar suara Amane yang begitu halus dan
tenang seolah-olah ingin membebaskannya dari ketegangan.
Suaranya yang lembut tidak
meminta penjelasan, tapi hanya menyampaikan rasa ketenangan dan kehangatan.
“… Ya.”
Dia mengerti bahwa dia adalah
orang yang sangat licik, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya
mengambil keuntungan dari kebaikan Amane.
Mahiru yakin Amane mengira dia
meneleponnya karena cemas tidak bisa tidur. Mungkin juga Amane mengira kalau
dirinya bermimpi tentang masa lalunya dan tersiksa karenanya. Amane menghela
nafas lega ketika Mahiru diam-diam setuju dan kemudian tertawa kecil.
“Syukurlah...
tapi rasanya cukup menyegarkan, karena jarang sekali kita bisa berbicara
melalui telepon seperti ini..”
“Ya, memang. Pada dasarnya kita
selalu menghabiskan waktu bersama, jadi jika kita membutuhkan sesuatu, kita bisa langsung mengatakannya
kapan saja.”
“Itu
karena kita bertetanggaan sih. Karena kita selalu berdampingan, jadi kita bisa
memberitahu secara langsung…. Entah kenapa rasanya sedikit aneh juga ya.”
“…. Ya.”
Meskipun mereka tinggal di
rumah yang bersebelahan, mereka biasanya menghabiskan waktu bersama secara
teratur. Jadi, rasanya langsung terasa istimewa hanya dengan berbicara melalui
telepon saja.
Ketika mendengar tawa samar
yang bercampur dengan hembusan napas terdengar melalui speaker, dan ilusi
menggelitik saat napas perlahan-lahan menelusuri kulit. Rasanya begitu menyenangkan
dan sedikit membuat frustrasi..
Mahiru berbaring dan memutar
sedikit untuk mendapatkan posisi yang nyaman dan mendengarkan dengan seksama
saat Amane menemukan topik dan mulai berkata.
“Ngomong-ngomong,
aku lupa bertanya padamu tadi. Apa kamu habis nongkrong bersama Chitose hari
ini?”
“Ya, tapi kami hanya pergi ke
kafe dan mengobrol-ngobrol.”
“Sangat
menyenangkan bisa bersantai, apa kamu bersenang-senang?”
“Ya, ketika aku bersama
Chitose-san, aku selalu merasa bersemangat.”
“Begitu
ya, syukurlah kalau kamu bisa bersenang-senang. Apa yang kalian berdua lakukan ketika
sedang nongkrong bersama?
“Kami tidak melakukan sesuatu
yang istimewa, kok. Kami hanya minum teh di kafe, pergi berbelanja untuk
mencari pakaian dan aksesoris, menonton film .... hanya kegiatan normal saja.”
“Heh,
kupikir Chitose akan membawamu kemana-mana.”
“Yah, jika Chitose-san
mendengarmu, dia akan marah dan mengatakan kalau perkataanmu itu tidak sopan.”
Mereka sepertinya mengira Chitose
melakukan berbagai aktivitas karena keaktifannya.
Memang benar bahwa Chitose
adalah tipe orang yang suka beraktivitas di luar ruangan dan pergi ke berbagai
tempat, namun dia tidak memaksakan Mahiru untuk pergi bersamanya, dan sebagian
besar tempat yang ia datangi adalah tempat bermain gadis SMA pada umumnya.
Mahiru tidak pergi keluar
sampai dia mengenal Chitose, jadi dia sangat berterima kasih padanya untuk bisa
bermain bersama dengannya.
“Dia
bahkan memiliki informasi dan kontak ke tempat-tempat yang tidak pernah aku
kunjungi, jadi aku sedikit takut dia akan membawa Mahiru ke tempat yang tidak
diketahui.”
“Yah, kadang-kadang dia
membawaku ke tempat-tempat yang tidak kukenal, tapi pada dasarnya itu tempat
yang aman dan menarik. Beberapa hari yang lalu, dia membawaku ke tempat panjat
tebing. Aku belum pernah melakukannya sebelumnya jadi rasanya menyenangkan.”
“Ah,
panjat tebing. Ibuku sering mengajakku ke tempat lokal, tapi aku tidak bisa
memanjat karena aku tidak terlalu atletis.”
“Fufufu, menurutku kamu mungkin
bisa melakukannya sekarang, kan? Kamu sudah bekerja keras untuk melatih ototmu,
Amane-kun.”
“Aku harap aku bisa menjadi
sedikit lebih kuat. Aku akan menunjukkannya kepadamu suatu saat nanti.”
“…ya.”
Dia menganggukkan kepalanya
tanpa rasa tidak nyaman, tapi setelah dipikir-pikir lagi, itu mungkin ajakan
untuk jalan-jalan. Amane sendiri tidak menyadari maksud dari ucapannya dan
sikapnya tampak alami.
(...
Aku penasaran apakah itu akan menjadi kencan)
Jika mereka pergi ke fasilitas
panjat tebing, mungkin lebih baik untuk menanyakannya pada Chitose. Dan jika
dia akan mengajak Mahiru berkeliling, Mahiru mungkin mengenali tempat itu
karena dia sudah pernah ke sana.
Chitose mungkin mengatakan
bahwa tempat yang mereka tuju tidaklah romantis, tapi ketika mendengar ajakan
Amane, bibir Mahiru secara alami mengendur dan membentuk lengkungan.
“Jalan-jalan bersama Amane-kun,
ya. Aku jadi merasa senang.”
Dia tertawa kegirangan ketika
mengungkapkan perasaan jujurnya tetapi tidak peduli seberapa keras dia mencoba,
ekspresinya menjadi senyam-senyum tidak karuan.
Mahiru merasa senang dari lubuk
hatinya terdalam karena Amane tidak ada di sini. Dia tidak akan bisa
menunjukkan ekspresi yang begitu mudah dimengerti padanya.
Dia berguling-guling di tempat
tidur dengan gembira karena berpikiran bisa pergi berduaan dengan orang yang dia
cintai. Mungkin hal yang begitu sederhana begini saja sudah membuatnya merasa
senang dan santai karena meneleponnya.
Sedikit ketegangan yang ada di
benaknya ketika memulai panggilan telah
menghilang, dan sekarang dia merasa mengantuk karena kelegaan yang dia rasakan.
Mungkin karena berada dalam
suasana hati yang bahagia, dia semakin ingin tenggelam dalam rasa kantuk ini.
Saat Mahiru tertawa ketika
menyadari kalau dirinya terlalu mengantuk untuk mengangkat kelopak matanya, dia
mendengar suara dari seberang berbicara dengan suara pelan yang mengatakan, “Mahiru, begini…”.
“Boleh
aku menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran?”
“… Sesuatu yang membuatmu
penasaran?”
Kira-kira
mengenai apa ya, pikir Mahiru sembari sedikit menahan rasa
kantuk yang datang perlahan-lahan, diikuti dengan suara yang agak ragu-ragu.
“Umm
begini, apa maksud Mahiru dengan mengatakan hal-hal semacam itu? Maksudku,
perkataanmu tadi siang yang bilang saling melengkapi dan hidup bersama.”
Mendengar pertanyaan dengan
suara yang lebih serak dari biasanya, Mahiru berpikir sejenak dan kemudian
perlahan-lahan menggerakkan bibirnya.
“… Maksudnya, aku dan Amane-kun
akan selalu bersama, kan? Misalnya jika kita selalu .... bersama seperti ini, rasanya
jauh lebih efisien untuk hidup bersama, saling membantu dengan apa yang tidak
bisa kita lakukan...itulah yang kumaksud.”
Tentu saja, lebih efisien untuk
melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Jika Mahiru ingin mengangkat benda
berat, itu akan memakan waktu atau mungkin tubuhnya tidak memiliki kemampuan
fisik untuk melakukannya.
Jika Amane yang memasak, ia
mungkin akan membuang bahan masakan dan memakan waktu lama. Tetapi jika ada dua
orang dan jika masing-masing orang bertanggung jawab atas keahliannya
masing-masing, maka itu akan membuat tugas menjadi lebih mudah.
Ketika Mahiru menjawab dengan suaranya
yang sedikit lemah karena dia sudah lumayan mengantuk, Amane juga menanggapinya dengan suara yang
ambigu, “… yah, ya, tapi bukan itu yang ingin
aku tanyakan padamu.”
“Lalu apa yang ingin kamu tanyakan….?”
Dia berdeham dengan ringan dan
mengajukan pertanyaan tetapi dia tidak mendapat jawaban dari Amane.
“Tidak,
enggak jadi .... Aku mungkin akan mati jika kau mengatakannya dalam suasana
tertentu.”
“…Kenapa …?”
“Bukan
apa-apa. Jangan khawatir tentang hal itu. Kamu tidak perlu bertanya.”
Cara bicaranya yang mendadak
menjadi formal, jelas menunjukkan kalau Amane tidak akan menjawab lebih jauh.
Setiap kali ini terjadi, Amane cenderung bertahan dan tidak mengatakan apa-apa,
jadi yang terbaik adalah tidak mengganggunya. Ia kemudian menenangkan Mahiru
dengan mengatakan,
“Tidak
apa-apa, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku ... yang lebih penting lagi, kamu
mulai mengantuk, iya ‘kan?”
Rupanya, Amane sudah menyadari
bahwa suara Mahiru mulai mengantuk.
“Kalau
begitu sudah waktunya untuk menutup telepon.”
“… Enggak mau. Sedikit lagi…”
Meskipun dia pikir itu sedikit
kekanak-kanakan, Mahiru ingin mendengar suara Amane sedikit lebih lama.
Kesempatan seperti ini sangat
jarang terjadi. Dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mendengar suara
Amane dan berbaring sebentar.
Mahiru berkata pada dirinya
sendiri, 'bagaimana aku bisa begitu
egois,' sambil mencoba untuk mendapatkan rasionalitasnya yang
perlahan-lahan mengendur dan mencair. Tapi suara Amane yang begitu lembut
mengatakan, “Baiklah, aku mengerti,"
meluluhkan semua keraguannya.
Lega bahwa dia telah dimaafkan,
Mahiru mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia letakkan di atas seprai,
sambil mengelus-ngelus dadanya.
“…. Suara Amane-kun, terdengar
menenangkan, dan membuatku merasa, nyaman.”
“Baru
pertama kalinya aku diberitahu seperti itu.”
“Benarkah...? Suaramu terdengar
begitu lembut, menenangkan dan halus.”
Nada suaranya yang tidak
terlalu rendah, terdengar jernih dan berkilau, semata-mata tenang, lembut, dan
bahkan terdengar manis bagi telinga Mahiru.
Ketika suara seperti itu
berbisik lembut padanya, Mahiru merasakan semua kekuatan di tubuhnya terkuras.
Hal tersebut bukan hal yang tidak menyenangkan, tapi justru terasa nyaman.
Suaranya yang hanya bisa
didengar olehnya dan tidak ada orang lain, terasa hangat dan perlahan-lahan
membuai Mahiru ke dalam lautan senyuman gembira. Mahiru merasakan tubuhnya seolah-olah
sedang melayang saat suaranya meresap ke dalam tubuhnya.
(…
Aku ingin mendengarnya lebih lama lagi)
Dia ingin Amane sering
memanggil namanya dengan suara itu.
“….Memangnya
sampai sebagus itu?”
“Suara Amane-kun,…. Aku sangat
menyukainya… aku ingin…kamu memanggilku
namaku…..”
Dia paling suka ketika namanya
dipanggil. Sebuah nama yang tidak ada yang berani memanggilnya sampai dia
bertemu Amane.
Mahiru tidak menyukai namanya
yang artinya pertengahan dari nama orang tuanya, Pagi dan Malam, yang tidak
menyayangi anaknya. Namun setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Amane, dia
jadi menyukai namanya. Dia sangat menyukainya ketika Amane memanggilnya dengan bukan
panggilan Tenshi-sama atau Shiina, tetapi Mahiru.
Ketika Amane berbisik kepadanya
dengan cara begini, hal itu membuatnya merasa puas. Itu membuatnya merasa
hangat dan bahagia.
Mahiru memohon padanya untuk
memanggil namanya dengan pikiran goyah di benaknya. Dia memiringkan kepalanya
ketika mendengar suara tersedak dari sisi lain telepon, seolah-olah Amane sedang
tersedak sesuatu.
“Mahiru,
kamu...”
Ketika Amane memanggil namanya
dengan suara yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, Mahiru menutup matanya
tanpa mengerti.
Dia tahu bahwa inilah
satu-satunya cara dia bisa berkonsentrasi pada suara Amane.
Dia tahu bahwa inilah
satu-satunya cara dia bisa berkonsentrasi pada suara Amane. Saat dia
mengalihkan perhatiannya ke pendengarannya dengan pikiran damai saat tenggelam
dalam lautan kebahagiaan, dia mendengar sedikit suara napas dan desahan lembut.
“…..
tidak, jangan khawatirkan hal itu.”
Amane sepertinya ingin
mengatakan sesuatu tetapi berhenti tanpa melanjutkan kata-katanya, dan kemudian
hanya menghembuskan nafas kecil.
Bahkan suara konstan Amane yang
berdeham itu terdengar menyenangkan bagi Mahiru, saat dia menyerah untuk
menghentikan pikirannya dan hanya hanyut dalam keheningan yang nyaman. Dia
mengerti bahwa pikirannya menjadi lebih tidak stabil dari sebelumnya dan
seolah-olah itu seperti urusan orang lain.
“Mahiru.”
Setelah keheningan yang cukup lama
bagi Mahiru, dia mendengar suara hati-hati Amane dengan sedikit desahan yang
mencoba mengkonfirmasi kehadirannya.
Mahiru mencoba berbicara sebagai
balasan, tetapi rasa kantuknya yang juga bisa digambarkan sebagai penghiburan
tidak memungkinkannya untuk berbicara. Amane menghela nafas lagi sambil tertawa
pelan pada Mahiru, yang hampir tidak bisa mengatakan sesuatu dengan suara serak
kecil, parau dan sayup-sayup.
“…
Oyasumi, Mahiru.”
Ketika suara Amane yang lembut
dan lebih manis menggelitik di daun telinganya, Mahiru menyerah pada rasa
kantuk yang tak terahankan dan akhirnya tertidur lelap.
♢♢♢♢
Keesokan harinya, setelah
pulang sekolah dan bersiap-siap seperti biasa, Mahiru mengunjungi rumah Amane
dan bertatap muka dengan Amane yang tampak sedikit jutek. Amane yang sedikit
ngambek menunggunya di lorong sebelum Mahiru memasuki ruang tamu.
“Kamu tahu, mungkin kamu harus
menahan diri untuk tidak meneleponku sebelum tidur.”
Amane tampaknya seperti ingin
mengatakan sesuatu di sekolah, tapi Mahiru tidak bisa pergi berbicara dengannya.
Jadi dia pikir dia akan menunggu untuk berbicara dengannya ketika mereka
berduaan seperti ini... tapi Mahiru tidak menyangka kalau Amane akan mengeluh
padanya.
(Apa
jangan-jangan kemarin aku sudah melakukan sesuatu yang kasar pada Amane-kun….?
Mungkin ia merasa kesal karena aku sendiri yang meneleponnya dan ketiduran
duluan)
Dia membuat panggilan telepon,
dan kemudian mulai merasa mengantuk di tengah jalan dan setelah itu, ingatannya
kabur.
Mahiru tidak ingat banyak dari
apa yang dia katakan karena dia dalam keadaan setengah linglung, tapi dia
mungkin mengatakan sesuatu yang menyinggung Amane. Dia ingin percaya bahwa dirinya
tidak mengatakan sesuatu yang aneh, tapi sorot mata Amane yang gelisah membuatnya
menjadi tidak yakin.
“Ap-Apa aku habis melakukan
sesuatu yang salah?”
“Bukannya begitu, tapi
menurutku sedikit berbahaya bagi Mahiru membiarkan orang lain melihat atau
mendengarmu yang mengigau ketika hampir ketiduran.”
Suaranya yang agak tegang
memperingatkannya dengan cara yang sangat serius, dan Mahiru merasa kasihan
karena itu pasti terlalu berat baginya.
“Apa karena aku sudah mengotori
telingamu?"
“Dibilangin maksudnya bukan
begitu…. makanya... bikin merinding, jadi jika orang lain mendengarnya, itu
tidak baik."
“… merinding?”
“Pokoknya, jangan. Sama sekali
enggak bagus.”
“… Bahkan dengan Amane-kun juga?
Jika kamu tidak menyukainya maka ...”
“Aku sih tidak keberatan, tapi
pokoknya jangan. Kupikir itu bahkan sangat berdampak padaku. Hal tersebut
sangat buruk untuk hatiku dan kupikir aku tidak bisa mengatasinya dengan baik.”
“Tidak bisa mengatasinya?”
“Intinya, enggak boleh.”
Dia menatap Amane yang
benar-benar menghindari menjelaskan alasannya. Mahiru menunjukkan ekspresi
tidak puasnya secara jelas, tapi Amane bahkan tidak mengalah dan bersikeras
dengan, “Pokoknya enggak boleh”,
Mahiru lalu menekan kedua tinjunya yang mengepal di kedua lengan Amane untuk
mengajukan keluhan.
Mahiru merasa tidak nyaman
karena dia merasa ada sesuatu yang penting disembunyikan darinya.
Ketika Mahiru meminta
penjelasan dari Amane, karena sedikit khawatir kalau-kalau dia mengatakan
sesuatu yang aneh, Amane menurunkan alisnya seakan-akan merasa terganggu, lalu
menghela napas dengan cara yang bisa dimengerti.
Amane dengan lembut mengulurkan
tangannya ke Mahiru, yang bergidik berpikir dia mungkin membuatnya cemas.
Jari-jarinya yang menonjol hanya mengusap sisi rambutnya yang menggantung di
sekitar pipinya saat udara menyentuh telinganya.
Dengan telinga yang tidak lagi
tertutupi rambut, Amane dengan ringan membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke
telinga Mahiru dalam gerakan lambat.
“Mahiru. Pokoknya enggak
boleh.... mengerti, ya?”
Suara rendah, lembut, dan
mengilap mencapai telinganya, menenangkannya dan tidak membiarkannya
memberontak. Sensasi mati rasa aneh menjalar seperti membelai punggungnya dan
suara konyol “Hwanya!?” keluar dari
mulutnya. Rasa kebas yang menjalar ke seluruh tubuhnya bukanlah rasa kebas yang
begitu dingin, tetapi rasa kebas manis yang sulit didapatkan.
Suaranya itu sepertinya mengambil
semua kekuatan dari tubuh Mahiru dan melelehkannya sampai ke inti. Ketika dia
akan jatuh terlentang, dia dengan cepat meletakkan tangannya di belakang punggungnya
dan melompat ke dada Amane yang menariknya masuk. Dia menggerakkan mulutnya
untuk berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.
(...
sungguh suara yang bagus)
Baik Mahiru dan Amane membuat suara
yang tidak boleh didengar oleh orang lain. Mahiru sedang dalam keadaan yang menyedihkan,
sedangkan Amane....
“Apa kamu baik-baik saja?”
Amane dengan cemas memanggil
Mahiru yang telah kehilangan semua tenaga di tubuhnya, dan menggendong Mahiru
dalam pelukannya ke atas sofa.
Di sudut pikirannya, Mahiru
terkesan dengan fakta bahwa Amane telah banyak berubah karena ia membawanya
lebih mudah daripada sebelumnya, tetapi otaknya merenung dengan sendirinya mengenai
suara yang dia dengar sebelumnya, dan semua kekaguman itu berubah menjadi denyutan
dan rasa geli yang menggelitik dadaya.
“Telinga Mahiru tuh sangat
sensitif, ya.”
Amane menggumamkan sesuatu
ketika menatap Mahiru, yang jantungnya masih berdebar-debar kencang. Mahiru
buru-buru meraih ujung baju Amane saat ia duduk di sebelahnya.
“Sa-Salah, itu sih karena suara
Amane-kun...”
“Suaraku?”
“... sangat enggak baik. Itu
benar-benar enggak baik.”
Dia menatap Amane di sebelahnya
dengan tatapan berkaca-kaca dan bertanya sejak kapan ia belajar membuat suara
seksi, Amane lalu memalingkan wajahnya dan menghela nafas.
“... Kurasa bisa dibilang kita
sama-sama impas karena aku juga merasakan hal yang sama kemarin, meskipun dalam
bentuk yang berbeda, sih.”
“Eh.”
“Pokoknya, enggak boleh.
Paham?”
Sebelum Mahiru bisa menanyakan
detailnya, pundaknya dipegang dengan lembut, dan kali ini Amane hanya menatap
lurus ke matanya seolah-olah ia sedang memberi tahu seorang anak kecil dengan
nada suara yang lembut, sehingga mau tak mau Mahiru hanya bisa mengangguk dengan
pasrah dan jujur.
Mungkin jika Mahiru tetap
mengatakan tidak, Amane akan terus berbisik di telinganya sampai dia
menganggukkan kepalanya. Mahiru juga
tidak ingin diatur oleh perasaan yang tidak dimengertinya, jadi lebih baik
mundur kali ini dengan patuh.
Ketika Mahiru menatapnya dengan
tidak setuju setelahnya, Amane meletakkan tangannya dengan lembut di telinga
Mahiru dan menatapnya dengan sangat serius, jadi dia tidak akan berdebat lebih
jauh. Dia telah belajar bahwa lebih baik untuk tutup mulut dan tidak
mengungkit-ungkit masalah itu lagi.
(
…. Aku merasa seperti aku membuat diriku menjadi lebih kasmaran dengan
Amane-kun)
Mahiru ingin Amane lebih menyadari
perasaannya, jadi dia meneleponnya malam-malam, tetapi pada akhirnya, hanya
Mahiru yang dibuat menjadi menyukai Amane. Sedari awal, Mahiru menunjukkan
kegelisahan dan kegugupannya kepada Amane, jadi bisa dibilang kalau rencananya
telah gagal.
Meskipun Mahiru merasa bahwa
itu tidak berjalan dengan baik, tapi dia merasa puas mengetahui sisi lain Amane
yang biasanya tidak dia lihat atau dengar, dan dirinya pun tidur dengan
perasaan yang sangat gembira, karena mendengar suaranya sebelum tidur. Hal
tersebut mungkin lebih baik daripada
menjadi terlalu sadar satu sama lain dan menjadi canggung.
“… entah kenapa, rasanya sangat
disayangkan.”
Mahiru bergumam pelan dan
menutup mulutnya untuk menekan rasa malu yang masih tersisa sedikit di dalam
dirinya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya