Keesokan harinya, pada hari
Sabtu, ketika aku sedang belajar di ruang belajar mandiri sekolah bimbel,
Sekiya-san datang menghampiri tempat dudukku.
“Lama enggak ketemu. Kamu
sudah datang sejak pagi, Sekiya-san?”
Sejak awal tahun, Sekiya-san sudah
mengikuti ujian masuk sejak pagi menjelang hari libur.
Saat aku sedang memikirkan
apakah sudah hampir diputuskan, Sekiya-san mengalihkan pandangannya dengan
wajah yang tidak ceria.
“Yah begitulah. Hari ini
seharusnya aku menyisihkan waktu untuk ujian kedua.”
“……”
Dengan kata lain, universitas
yang seharusnya mengikuti ujian kedua hari ini telah gagal di putaran pertama?.
Dilihat dari keadaannya, tampaknya
hal tersebut tidak berjalan dengan baik.
Untuk makan siang hari itu, aku
makan di luar bersama Sekiya-san untuk mengubah suasana hati. Kami mendatangi
restoran ramen ritel yang sering kami kunjungi.
“...Ryuuto, kamu masih belum
memutuskan universitas yang ingin kamu tuju?”
Sambil mengaduk-aduk mangkuk
ramen yang hampir habis dengan sumpit, Sekiya-san bertanya tanpa terlalu
tertarik. Mungkin dia hanya ingin mengalihkan perhatian dari ujiannya sendiri.
“Y-Ya... aku masih belum tahu
aku ingin menjadi apa.”
Aku telah sedikit memikirkannya
saat Sekiya-san pernah mengungkit hal tersebut sebelumnya, tapi aku belum
memutuskan apa pun secara spesifik.
“Ilmu sosial? Sains? Jika kamu
setidaknya tahu itu, kamu bisa membuat keputusan.”
“Aku cenderung ke ilmu
sosial... tapi aku belum memutuskan fakultas spesifiknya.”
“Bukannya kamu bisa mendaftar
ke semua jurusan ilmu sosial di universitas yang ingin kamu tuju? Jika kamu
diterima di salah satu tempat, itu berarti kamu bisa memilih dari sana.”
“Eh, ta-tapi, jika aku pergi ke
universitas, aku harus mempertimbangkan masa depan dengan serius...”
Aku mengingat perkataan Kurose-san
dan memberitahunya, tapi Sekiya-san mengerutkan kening.
“Kamu memang orang yang terlalu
serius. Orang tuamu bebas mengizinkanmu masuk ke universitas atau fakultas mana saja, iya
‘kan? Kalau begitu, mengapa kamu tidak segera memutuskannya tanpa terlalu
banyak berpikir?”
“... Sekiya-san sendiri, kenapa
memutuskan untuk kuliah di fakultas kedokteran?”
Aku menanggapi ucapannya dengan
pertanyaan, lalu Sekiya-san menjawab dengan sedikit menunduk.
“Ayahku adalah seorang dokter.”
“Eh……!?”
“Ayahku memiliki klinik THT di
dekat rumah. Meskipun itu hanya klinik kecil, tapi sepertinya ia ingin anaknya
meneruskannya. Adik perempuanku tidak tertarik dengan menjadi dokter sama
sekali, jadi sejak kecil, secara tidak sadar, tampaknya aku akan meneruskannya.”
Siapa sangka, ia ternyata anak
seorang dokter......
Meskipun sebagai seorang murid
yang sedang mengulang tahun demi tahun dengan biaya persiapan ujian yang tinggi,
aku sedikit lega ketika mengetahui kalau Sekiya-san tidak terlalu kesulitan
secara finansial.
“Wah Sekiya-san… kamu hebat
sekali.”
“Yahh, aku mungkin beruntung
memiliki orang tua yang kaya. Tapi, entah apa yang dipikirkan Ayahku tentang
diriku, ya...”
Sekiya-san berkata demikian
dengan ekspresi yang muram, mungkin karena ujian masuk perguruan tinggi tidak
berjalan dengan baik baginya.
“Aku, sebenarnya gagal dalam
ujian masuk SMP. Gagal sampai pilihan ketiga. Ayahku bilang lebih baik pergi ke
sekolah negeri daripada pergi ke sekolah swasta yang biasa-biasa saja, jadi aku
melanjutkan ke SMP setempat.”
Jadi, di sekolah sana tempat
dirinya bertemu dengan Yamana-san?
“Aku sebenarnya tidak terlalu
pintar. Bahkan di SD pun bukanlah siswa yang berprestasi. Aku berusaha keras di
klub ekstrakurikuler di SMP, jadi aku bisa masuk ke sekolah SMA yang lumayan.”
Aku juga tahu akhir ceritanya
setelah itu.
“...Aku tidak ingin mengecewakan
Ayahku lagi. Itulah sebabnya aku berusaha keras... Tapi, apa aku benar-benar
bisa keterima?”
“Sekiya-san...”
Melihat Sekiya-san yang
mengeluh dengan wajah yang murung, sebagai seseorang yang hanya memiliki
pengalaman dalam ujian masuk SMA, aku tidak bisa mengatakan hal yang tidak
bertanggung jawab.
“Tapi, aku merasa iri padamu.
Kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu tekuni dengan begitu serius.”
Mencoba mengubah arah
pembicaraan, Sekiya-san tersenyum sedikit.
“Yahh, dalam kasusku, aku hanya
ingin meneruskan pekerjaan keluarga karena ada bisnis keluarga yang menjadi
dokter. Kalau Ayahku menjadi seorang direktur perusahaan, mungkin aku akan
berpikir untuk meneruskannya.”
“Eh?”
“Habisnya, bukannya itu lebih
gampang? Ada banyak profesi yang tersebar di dunia ini. Bagaimana seorang
pemuda yang belum pernah bekerja dapat menemukan passion-nya sendiri sebelum terjun ke masyarakat? Mengapa kita
tidak mencoba sesuatu terlebih dahulu, dan jika merasa tidak cocok, mencari
jalan yang lain? Kita hidup di zaman di mana umur seratus tahun sudah jadi hal
lumrah, tau?”
Apa yang dikatakan Sekiya-san memang
terdengar masuk akal, tetapi aku masih ragu-ragu dan menundukkan kepala dengan
mengatakan, “Hmm...”.
“Aku mengerti perasaanmu yang
menjadi sangat berhati-hati. Karena kamu orang yang serius. Tapi kupikir tidak
ada salahnya untuk menjdi lebih santai, tau. Misalnya seperti aku, yang
memutuskan untuk menjadi dokter karena ayahku adalah seorang dokter. Kupikir tidak
ada masalah untuk memutuskannya begitu, karena jika tidak mempunyai tujuan,
kita tidak bisa merasa termotivasi, iya ‘kan? Kamu sudah memutuskan untuk
kuliah, ‘kan?”
Setelah melihatku mengangguk,
Sekiya-san terdiam beberapa saat.
“... Sebenarnya, aku juga
pernah merasa bimbang ketika masih SMA dulu. Menjadi dokter memanglah impianku,
tapi jika aku memikirkannya secara realistis, aku merasa khawatir apa aku bisa
diterima atau tidak. Aku juga menghabiskan banyak waktu bermain, sehingga sulit
bagiku untuk mempersiapkan diri untuk ujian masuk. Seandainya saja aku sudah mempersiapkannya
sejak SMA, bahkan jika aku harus mengulang tahun, aku mungkin bisa melakukannya
lebih mudah.”
Dengan mengatakan itu,
Sekiya-san menatap lurus ke arahku.
“Aku bilang begini karena aku tidak
ingin kamu menyesalinya hal yang serupa, itu sebabnya aku memberitahumu untuk
memutuskan lebih cepat. Kamu mungkin bisa mencoba memilih sesuatu yang lebih
sulit. Kamu masih mempunyai waktu setahun lagi, dan dengan begitu kamu akan
berkembang lebih dari kemampuanmu saat ini. Bahkan aku sendiri, jika bukan
karena tujuanku masuk fakultas kedokteran, aku pasti tidak akan belajar serajin
ini.”
Mungkin justru karena dirinya
dalam fase mengikuti ujian hampir setiap hari, Sehingga Sekiya-san memendam penyesalan
semacam itu. Tiba-tiba, aku merasa seperti itu.
“Ta-Tapi aku masih belum tahu
banyak tentang perkuliahan...”
Kupikir seseorang harus memutuskan
sekolah mana yang ingin mereka tuju setelah mengunjungi berbagai kampus,
mengumpulkan dan membandingkan materi, dan mempertimbangkan visinya untuk masa
depan. Tentu saja, hasil ujian juga menjadi pertimbangan. Itu sebabnya aku
sedikit terkejut dengan momentum Sekiya-san, yang sepertinya membuatnya
memutuskan pilihan pertamanya di sini.
“Alasan-alasan masuk kampus itu
mirip inspirasi. Sama halnya seperti cinta. Itu bukan sesuatu yang kamu
putuskan dengan memikirkan siapa yang harus kamu sukai, bukan? Begitu juga
dengan memilih universitas. Tidak ada salahnya jika kamu memiliki alasan yang
santai seperti nama kampusnya yang terdengar keren atau ada idolamu favorit
yang berkuliah di sana. Begitu kamu memiliki tujuan yang jelas, kamu akan mulai
bekerja keras untuk mencapainya.”
Saat aku mendengarnya, sebuah
nama universitas langsung muncul dalam benakku.
——
Katanya KEN adalah alumni dari Universitas Houou, tau.
“…………”
Jantungku langsung berdebar
dengan kencang.
Apa
benar-benar boleh memutuskan sesuatu dengan begitu?
Tapi, jika aku bisa masuk ke
Universitas Houou,
Aku yakin takkan mengalami
kerugian berdasarkan nama universitas saat mencari pekerjaan. Dan bahkan dalam
kehidupan setelahnya...
Aku merasa seolah-olah melihat
ilusi di depan mata, di mana ada kemungkinan tak terbatas untuk masa depanku.
“…………”
Bisakah
aku melakukannya? Meskipun dari sekolahku, setiap tahun sekitar lima orang
melanjutkan ke universitas peringkat A atau yang lebih tinggi.
Apa
diriku bisa menjadi salah satu dari lima orang itu?
“Sekarang ini, pendidikan
formal tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Bahkan untuk menjadi
astronot pun tidak memerlukan latar belakang pendidikan yang tinggi. Namun,
nama universitas adalah bukti dari usaha. Bahkan jika kamu adalah seorang
jenius yang bisa menghafal isi buku pelajaran hanya dengan membacanya sekali,
jika kamu tidak pernah membaca buku pelajaran sama sekali, kamu tidak akan bisa
masuk ke universitas mana pun.”
Perkataan Sekiya-san dipenuhi
dengan semangat. Aku berpikir ini mungkin adalah keyakinan yang selalu
mendorong dirinya sendiri.
“Kalau begitu, apa kamu tidak
ingin memberikan bukti terbaik yang mungkin dimiliki oleh versi dirimu di masa
depan kepada dirimu saat ini yang mampu berusaha sekuat tenaga? Aku berkata
demikian karena aku percaya kamu adalah seseorang yang mampu berusaha.”
“Kamu bersemangat sekali ya,
Sekiya-san.”
Aku mengatakan itu dengan nada
bercanda karena merasa malu berbicara dengan Sekiya-san dalam suasana serius
seperti ini.
“Ketika kamu belajar sekitar
tiga belas jam sehari selama setahun penuh, kamu mulai memikirkan banyak hal,
tau.”
Sekiya-san meladeni candaanku, tapi
kemudian ia kembali menunjukkan ekspresi yang tenang.
“Kembali ke topik serius,
ketika aku melihatmu, aku jadi teringat pada diriku di masa SMP.”
“...Waktu kamu masih melafalkan
sutra?”
“Uwaa, kamu benar-benar
meledekku dengan itu.”
Sekiya-san sedikit tertawa dan
mengalihkan pandangannya ke meja.
“Bertingkah canggung dan kikuk
..... Setelah belajar beradaptasi dengan dunia ini, aku merasa gemetar ketika
mengingat diriku pada saat itu. Mungkin itu sebabnya aku tidak bisa
mengabaikanmu.”
Melihat Sekiya-san yang
tersenyum canggung, aku jadi sampai merasa malu juga.
“Terima kasih banyak. Aku
menghargainya... dan mendapat banyak manfaat dari ajaranmu, Sekiya-san.”
Hanya itu yang kukatakan,
sambil sedikit membungkukkan kepala.
Waktu siang di kedai ramen, baik
bagian konter dan mejanya selalu penuh dengan para pengunjung. Tak peduli
seberapa bebasnya kami boleh duduk, tetapi tidak baik juga untuk tinggal
terlalu lama, jadi kami yang sudah selesai makan lama mempersiapkan diri untuk
pergi sambil minum air.
Pada saat itu,
“Eh? Itu.....”
Dari dalam tas Sekiya-san yang
ditaruh di kursi, ada sebuah bungkus kertas yang jelas-jelas terlihat seperti
hadiah. Dilihat dari ketebalannya dan kertas pembungkusnya yang berwarna coklat
tua... bisa disimpulkan kalau isinya mungkin coklat. Aku tidak bisa memastikan
apakah itu produk komersial atau produk buatan tangan jika dilihat dari
bungkusnya saja.
“Apa itu hadiah Valentine?”
Cowok populer memang beda... Ia
bahkan menerima cokelat di sekolah bimbel. Ketika aku terkejut dan terpesona,
Sekiya-san melirik cokelat itu dan menjawab dengan santai.
“Oh, tadi pagi, aku
mendapatkannya dari Yamana.”
“Eh!? Kamu bertemu dengannya?”
“Sepertinya dia menungguku di
stasiun. Ketika aku berjalan, dia mendekatiku dari sisi yang berlawanan dan
memberikannya kepadaku tanpa berkata apa-apa saat kami berpapasan satu sama
lain. Dia bertingkah seperti orang yang melakukan transaksi mencurigakan.”
Sambil mengatakan itu, Sekiya-san
tersenyum kecil seolah-olah teringat sesuatu.
Yamana-san...
Dia benar-benar berusaha memberikan coklat kepada Sekiya-san.
“... Apa kamu akan
menghubunginya?”
“Yeah, rencananya begitu.
Setidaknya, aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya.”
Melihat Sekiya-san menjawab
sambil tersenyum, aku pun secara alami ikut tersenyum.
“Mudah-mudahan kamu bisa memberi
kabar baik kepada Yamana-san secepatnya.”.
Sepertinya kata-kata yang aku
ucapkan dengan harapan tulus, menyentuh hati Sekiya-san, karena dirinya
menunjukkan senyum senang.
“Yeah, benar juga... Aku sungguh-sungguh
berharap seperti itu."
Setelah melihat senyumannya itu,
Meski aku merasa tidak enakan
dengan Nisshi, tapi pada akhirnya, aku berharap kalau Sekiya-san bisa membuat
Yamana-san bahagia.
Dalam perjalanan pulang dari sekolah
bimbel pada hari itu, aku tiba di stasiun K sebelum jam 10 malam, dan kebetulan
bertemu Kurose-sam di depan stasiun.
“Ah……”
Saat aku terkejut, Kurose-san
tersenyum kepadaku.
“Baru pulang dari ruang belajar
mandiri?”
“Ah ya, benar... “
“Begitu ya, aku juga sama. Aku tidak
menyadarinya sama sekali.”
Setelah mengatakan itu,
Kurose-san membalikkan badannya dengan mengibaskan rambut hitamnya yang indah.
“Sampai jumpa lagi.”
“Ya... hati-hati di jalan, ya.”
Saat aku mengingat insiden
pelecehan yang terjadi sebelumnya dan mengucapkan kata-kata tersebut,
Kurose-san sedikit berbalik dan tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Aku
menggunakan sepeda hari ini.”
“Yeah... Meskipun begitu, tetap
berhati-hati ya."
Tapi kemudian, dia berhenti dan
berbalik.
“Aku baik-baik kok! Karena aku
punya ini.”
Sambil mengatakan itu, dia
mengeluarkan sebuah alarm anti-kejahatan dan semprotan kecil dari dalam tasnya.
Mungkin semprotan air mata untuk keamanan.
“Setelah kejadian itu, ibuku
membelikanku ini. Jadi jangan khawatir."
“...Begitu ya.”
Setelah melihat senyumannya,
aku juga tersenyum dan dia mulai berjalan.
“Sampai jumpa.”
“Yeah, sampai jumpa lagi.”
Aku mengawasi punggung
Kurose-san yang menuju tempat parkir sepeda, sembari berdoa dalam hati.
Mulai
sekarang, semoga kehidupannya dipenuhi dengan kebahagiaan saja.