Keiken-zumi Jilid 4 Bab 5 Bagian 2 Bahasa Indonesia

Part 2


Keesokan harinya, pada hari Sabtu, ketika aku sedang belajar di ruang belajar mandiri sekolah bimbel, Sekiya-san datang menghampiri tempat dudukku.

“Lama enggak ketemu. Kamu sudah datang sejak pagi, Sekiya-san?”

Sejak awal tahun, Sekiya-san sudah mengikuti ujian masuk sejak pagi menjelang hari libur.

Saat aku sedang memikirkan apakah sudah hampir diputuskan, Sekiya-san mengalihkan pandangannya dengan wajah yang tidak ceria.

“Yah begitulah. Hari ini seharusnya aku menyisihkan waktu untuk ujian kedua.”

“……”

Dengan kata lain, universitas yang seharusnya mengikuti ujian kedua hari ini telah gagal di putaran pertama?.

Dilihat dari keadaannya, tampaknya hal tersebut tidak berjalan dengan baik.

 

Untuk makan siang hari itu, aku makan di luar bersama Sekiya-san untuk mengubah suasana hati. Kami mendatangi restoran ramen ritel yang sering kami kunjungi.

“...Ryuuto, kamu masih belum memutuskan universitas yang ingin kamu tuju?”

Sambil mengaduk-aduk mangkuk ramen yang hampir habis dengan sumpit, Sekiya-san bertanya tanpa terlalu tertarik. Mungkin dia hanya ingin mengalihkan perhatian dari ujiannya sendiri.

“Y-Ya... aku masih belum tahu aku ingin menjadi apa.”

Aku telah sedikit memikirkannya saat Sekiya-san pernah mengungkit hal tersebut sebelumnya, tapi aku belum memutuskan apa pun secara spesifik.

“Ilmu sosial? Sains? Jika kamu setidaknya tahu itu, kamu bisa membuat keputusan.”

“Aku cenderung ke ilmu sosial... tapi aku belum memutuskan fakultas spesifiknya.”

“Bukannya kamu bisa mendaftar ke semua jurusan ilmu sosial di universitas yang ingin kamu tuju? Jika kamu diterima di salah satu tempat, itu berarti kamu bisa memilih dari sana.”

“Eh, ta-tapi, jika aku pergi ke universitas, aku harus mempertimbangkan masa depan dengan serius...”

Aku mengingat perkataan Kurose-san dan memberitahunya, tapi Sekiya-san mengerutkan kening.

“Kamu memang orang yang terlalu serius. Orang tuamu bebas mengizinkanmu masuk  ke universitas atau fakultas mana saja, iya ‘kan? Kalau begitu, mengapa kamu tidak segera memutuskannya tanpa terlalu banyak berpikir?”

“... Sekiya-san sendiri, kenapa memutuskan untuk kuliah di fakultas kedokteran?”

Aku menanggapi ucapannya dengan pertanyaan, lalu Sekiya-san menjawab dengan sedikit menunduk.

“Ayahku adalah seorang dokter.”

“Eh……!?”

“Ayahku memiliki klinik THT di dekat rumah. Meskipun itu hanya klinik kecil, tapi sepertinya ia ingin anaknya meneruskannya. Adik perempuanku tidak tertarik dengan menjadi dokter sama sekali, jadi sejak kecil, secara tidak sadar, tampaknya aku akan meneruskannya.”

Siapa sangka, ia ternyata anak seorang dokter......

Meskipun sebagai seorang murid yang sedang mengulang tahun demi tahun dengan biaya persiapan ujian yang tinggi, aku sedikit lega ketika mengetahui kalau Sekiya-san tidak terlalu kesulitan secara finansial.

“Wah Sekiya-san… kamu hebat sekali.”

“Yahh, aku mungkin beruntung memiliki orang tua yang kaya. Tapi, entah apa yang dipikirkan Ayahku tentang diriku, ya...”

Sekiya-san berkata demikian dengan ekspresi yang muram, mungkin karena ujian masuk perguruan tinggi tidak berjalan dengan baik baginya.

“Aku, sebenarnya gagal dalam ujian masuk SMP. Gagal sampai pilihan ketiga. Ayahku bilang lebih baik pergi ke sekolah negeri daripada pergi ke sekolah swasta yang biasa-biasa saja, jadi aku melanjutkan ke SMP setempat.”

Jadi, di sekolah sana tempat dirinya bertemu dengan Yamana-san?

“Aku sebenarnya tidak terlalu pintar. Bahkan di SD pun bukanlah siswa yang berprestasi. Aku berusaha keras di klub ekstrakurikuler di SMP, jadi aku bisa masuk ke sekolah SMA yang lumayan.”

Aku juga tahu akhir ceritanya setelah itu.

“...Aku tidak ingin mengecewakan Ayahku lagi. Itulah sebabnya aku berusaha keras... Tapi, apa aku benar-benar bisa keterima?”

“Sekiya-san...”

Melihat Sekiya-san yang mengeluh dengan wajah yang murung, sebagai seseorang yang hanya memiliki pengalaman dalam ujian masuk SMA, aku tidak bisa mengatakan hal yang tidak bertanggung jawab.

“Tapi, aku merasa iri padamu. Kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu tekuni dengan begitu serius.”

Mencoba mengubah arah pembicaraan, Sekiya-san tersenyum sedikit.

“Yahh, dalam kasusku, aku hanya ingin meneruskan pekerjaan keluarga karena ada bisnis keluarga yang menjadi dokter. Kalau Ayahku menjadi seorang direktur perusahaan, mungkin aku akan berpikir untuk meneruskannya.”

“Eh?”

“Habisnya, bukannya itu lebih gampang? Ada banyak profesi yang tersebar di dunia ini. Bagaimana seorang pemuda yang belum pernah bekerja dapat menemukan passion-nya sendiri sebelum terjun ke masyarakat? Mengapa kita tidak mencoba sesuatu terlebih dahulu, dan jika merasa tidak cocok, mencari jalan yang lain? Kita hidup di zaman di mana umur seratus tahun sudah jadi hal lumrah, tau?”

Apa yang dikatakan Sekiya-san memang terdengar masuk akal, tetapi aku masih ragu-ragu dan menundukkan kepala dengan mengatakan, “Hmm...”.

“Aku mengerti perasaanmu yang menjadi sangat berhati-hati. Karena kamu orang yang serius. Tapi kupikir tidak ada salahnya untuk menjdi lebih santai, tau. Misalnya seperti aku, yang memutuskan untuk menjadi dokter karena ayahku adalah seorang dokter. Kupikir tidak ada masalah untuk memutuskannya begitu, karena jika tidak mempunyai tujuan, kita tidak bisa merasa termotivasi, iya ‘kan? Kamu sudah memutuskan untuk kuliah, ‘kan?”

Setelah melihatku mengangguk, Sekiya-san terdiam beberapa saat.

“... Sebenarnya, aku juga pernah merasa bimbang ketika masih SMA dulu. Menjadi dokter memanglah impianku, tapi jika aku memikirkannya secara realistis, aku merasa khawatir apa aku bisa diterima atau tidak. Aku juga menghabiskan banyak waktu bermain, sehingga sulit bagiku untuk mempersiapkan diri untuk ujian masuk. Seandainya saja aku sudah mempersiapkannya sejak SMA, bahkan jika aku harus mengulang tahun, aku mungkin bisa melakukannya lebih mudah.”

Dengan mengatakan itu, Sekiya-san menatap lurus ke arahku.

“Aku bilang begini karena aku tidak ingin kamu menyesalinya hal yang serupa, itu sebabnya aku memberitahumu untuk memutuskan lebih cepat. Kamu mungkin bisa mencoba memilih sesuatu yang lebih sulit. Kamu masih mempunyai waktu setahun lagi, dan dengan begitu kamu akan berkembang lebih dari kemampuanmu saat ini. Bahkan aku sendiri, jika bukan karena tujuanku masuk fakultas kedokteran, aku pasti tidak akan belajar serajin ini.”

Mungkin justru karena dirinya dalam fase mengikuti ujian hampir setiap hari, Sehingga Sekiya-san memendam penyesalan semacam itu. Tiba-tiba, aku merasa seperti itu.

“Ta-Tapi aku masih belum tahu banyak tentang perkuliahan...”

Kupikir seseorang harus memutuskan sekolah mana yang ingin mereka tuju setelah mengunjungi berbagai kampus, mengumpulkan dan membandingkan materi, dan mempertimbangkan visinya untuk masa depan. Tentu saja, hasil ujian juga menjadi pertimbangan. Itu sebabnya aku sedikit terkejut dengan momentum Sekiya-san, yang sepertinya membuatnya memutuskan pilihan pertamanya di sini.

“Alasan-alasan masuk kampus itu mirip inspirasi. Sama halnya seperti cinta. Itu bukan sesuatu yang kamu putuskan dengan memikirkan siapa yang harus kamu sukai, bukan? Begitu juga dengan memilih universitas. Tidak ada salahnya jika kamu memiliki alasan yang santai seperti nama kampusnya yang terdengar keren atau ada idolamu favorit yang berkuliah di sana. Begitu kamu memiliki tujuan yang jelas, kamu akan mulai bekerja keras untuk mencapainya.”

 

Saat aku mendengarnya, sebuah nama universitas langsung muncul dalam benakku.

—— Katanya KEN adalah alumni dari Universitas Houou, tau.

“…………”

Jantungku langsung berdebar dengan kencang.

Apa benar-benar boleh memutuskan sesuatu dengan begitu?

Tapi, jika aku bisa masuk ke Universitas Houou,

Aku yakin takkan mengalami kerugian berdasarkan nama universitas saat mencari pekerjaan. Dan bahkan dalam kehidupan setelahnya...

Aku merasa seolah-olah melihat ilusi di depan mata, di mana ada kemungkinan tak terbatas untuk masa depanku.

“…………”

Bisakah aku melakukannya? Meskipun dari sekolahku, setiap tahun sekitar lima orang melanjutkan ke universitas peringkat A atau yang lebih tinggi.

Apa diriku bisa menjadi salah satu dari lima orang itu?

“Sekarang ini, pendidikan formal tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Bahkan untuk menjadi astronot pun tidak memerlukan latar belakang pendidikan yang tinggi. Namun, nama universitas adalah bukti dari usaha. Bahkan jika kamu adalah seorang jenius yang bisa menghafal isi buku pelajaran hanya dengan membacanya sekali, jika kamu tidak pernah membaca buku pelajaran sama sekali, kamu tidak akan bisa masuk ke universitas mana pun.”

Perkataan Sekiya-san dipenuhi dengan semangat. Aku berpikir ini mungkin adalah keyakinan yang selalu mendorong dirinya sendiri.

“Kalau begitu, apa kamu tidak ingin memberikan bukti terbaik yang mungkin dimiliki oleh versi dirimu di masa depan kepada dirimu saat ini yang mampu berusaha sekuat tenaga? Aku berkata demikian karena aku percaya kamu adalah seseorang yang mampu berusaha.”

“Kamu bersemangat sekali ya, Sekiya-san.”

Aku mengatakan itu dengan nada bercanda karena merasa malu berbicara dengan Sekiya-san dalam suasana serius seperti ini.

“Ketika kamu belajar sekitar tiga belas jam sehari selama setahun penuh, kamu mulai memikirkan banyak hal, tau.”

Sekiya-san meladeni candaanku, tapi kemudian ia kembali menunjukkan ekspresi yang tenang.

“Kembali ke topik serius, ketika aku melihatmu, aku jadi teringat pada diriku di masa SMP.”

“...Waktu kamu masih melafalkan sutra?”

“Uwaa, kamu benar-benar meledekku dengan itu.”

Sekiya-san sedikit tertawa dan mengalihkan pandangannya ke meja.

“Bertingkah canggung dan kikuk ..... Setelah belajar beradaptasi dengan dunia ini, aku merasa gemetar ketika mengingat diriku pada saat itu. Mungkin itu sebabnya aku tidak bisa mengabaikanmu.”

Melihat Sekiya-san yang tersenyum canggung, aku jadi sampai merasa malu juga.

“Terima kasih banyak. Aku menghargainya... dan mendapat banyak manfaat dari ajaranmu, Sekiya-san.”

Hanya itu yang kukatakan, sambil sedikit membungkukkan kepala.

Waktu siang di kedai ramen, baik bagian konter dan mejanya selalu penuh dengan para pengunjung. Tak peduli seberapa bebasnya kami boleh duduk, tetapi tidak baik juga untuk tinggal terlalu lama, jadi kami yang sudah selesai makan lama mempersiapkan diri untuk pergi sambil minum air.

Pada saat itu,

“Eh? Itu.....”

Dari dalam tas Sekiya-san yang ditaruh di kursi, ada sebuah bungkus kertas yang jelas-jelas terlihat seperti hadiah. Dilihat dari ketebalannya dan kertas pembungkusnya yang berwarna coklat tua... bisa disimpulkan kalau isinya mungkin coklat. Aku tidak bisa memastikan apakah itu produk komersial atau produk buatan tangan jika dilihat dari bungkusnya saja.

“Apa itu hadiah Valentine?”

Cowok populer memang beda... Ia bahkan menerima cokelat di sekolah bimbel. Ketika aku terkejut dan terpesona, Sekiya-san melirik cokelat itu dan menjawab dengan santai.

“Oh, tadi pagi, aku mendapatkannya dari Yamana.”

“Eh!? Kamu bertemu dengannya?”

“Sepertinya dia menungguku di stasiun. Ketika aku berjalan, dia mendekatiku dari sisi yang berlawanan dan memberikannya kepadaku tanpa berkata apa-apa saat kami berpapasan satu sama lain. Dia bertingkah seperti orang yang melakukan transaksi mencurigakan.”

Sambil mengatakan itu, Sekiya-san tersenyum kecil seolah-olah teringat sesuatu.

Yamana-san... Dia benar-benar berusaha memberikan coklat kepada Sekiya-san.

“... Apa kamu akan menghubunginya?”

“Yeah, rencananya begitu. Setidaknya, aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya.”

Melihat Sekiya-san menjawab sambil tersenyum, aku pun secara alami ikut tersenyum.

“Mudah-mudahan kamu bisa memberi kabar baik kepada Yamana-san secepatnya.”.

Sepertinya kata-kata yang aku ucapkan dengan harapan tulus, menyentuh hati Sekiya-san, karena dirinya menunjukkan senyum senang.

“Yeah, benar juga... Aku sungguh-sungguh berharap seperti itu."

Setelah melihat senyumannya itu,

Meski aku merasa tidak enakan dengan Nisshi, tapi pada akhirnya, aku berharap kalau Sekiya-san bisa membuat Yamana-san bahagia.

 

Dalam perjalanan pulang dari sekolah bimbel pada hari itu, aku tiba di stasiun K sebelum jam 10 malam, dan kebetulan bertemu Kurose-sam di depan stasiun.

“Ah……”

Saat aku terkejut, Kurose-san tersenyum kepadaku.

“Baru pulang dari ruang belajar mandiri?”

“Ah ya, benar... “

“Begitu ya, aku juga sama. Aku tidak menyadarinya sama sekali.”

Setelah mengatakan itu, Kurose-san membalikkan badannya dengan mengibaskan rambut hitamnya yang indah.

“Sampai jumpa lagi.”

“Ya... hati-hati di jalan, ya.”

Saat aku mengingat insiden pelecehan yang terjadi sebelumnya dan mengucapkan kata-kata tersebut, Kurose-san sedikit berbalik dan tersenyum.

“Aku baik-baik saja. Aku menggunakan sepeda hari ini.”

“Yeah... Meskipun begitu, tetap berhati-hati ya."

Tapi kemudian, dia berhenti dan berbalik.

“Aku baik-baik kok! Karena aku punya ini.”

Sambil mengatakan itu, dia mengeluarkan sebuah alarm anti-kejahatan dan semprotan kecil dari dalam tasnya. Mungkin semprotan air mata untuk keamanan.

“Setelah kejadian itu, ibuku membelikanku ini. Jadi jangan khawatir."

“...Begitu ya.”

Setelah melihat senyumannya, aku juga tersenyum dan dia mulai berjalan.

“Sampai jumpa.”

“Yeah, sampai jumpa lagi.”

Aku mengawasi punggung Kurose-san yang menuju tempat parkir sepeda, sembari berdoa dalam hati.

 

Mulai sekarang, semoga kehidupannya dipenuhi dengan kebahagiaan saja.


 

Sebelumnya  |    |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama