Part 2
Pada hari Minggu setelah minggu
itu berakhir, aku dan Luna sedang belajar di restoran cepat saji di dalam
Stasiun A. Semua ini untuk persiapan demi menghadapi ujian akhir semester yang
akan dimulai besok.
“……”
Sambil sesekali melirik ke arah
;una yang sibuk memperhatikan bukunya, aku menunduk dan fokus pada buku catatanku.
Sama seperti ketika Sekiya-san meledekku
dengan kata “dasar tukang membual pacar”,
aku tidak begitu serius menerima respons Luna yang berkata ‘benar-benar mustahil’. Aku berpikir bahwa dia membayangkan
hubungan intim antara kami dengan serius, yang mengakibatkan rasa malunya yang
meledak-ledak.
Namun…
“... apa ada pertanyaan yang
tidak kamu pahami?”
Ketika aku bertanya padanya yang
berada di hadapanku, Luna melihat ke arahku sejenak.
“Eh!?”
Tapi, dia segera mengalihkan pandangannya.
Pipinya terlihat merah merona.
“T-Tidak ada sih, t-tapi...”
“Jadi, tidak ada?”
“Ta-Tapi jika kamu mengatakan
itu, ada banyak hal yang tidak kupahami...”
“Jika ada hal yang kupahami aku
akan mengajarimu satu per satu. Coba, sebelah mana yang tidak kamu pahami?”
“E-Ehh, di-dibilang enggak
apa-apa, kok ... Ak-Aku merasa tidak enakan karena kamu juga sedang belajar,
Ryuuto!”
Wajah Luna langsung memerah dan
memalingkan mukanya, dan tatapan matanya juga melirik ke sana-kemari dengan
gelisah.
“Tapi, karena kita mumpung
sedang belajar bersama. Coba, pertanyaan yang mana?”
Aku berdiri dari kursi dan
duduk di sebelah Luna yang berada di bangku seberang. Dalam prosesnya, sikuku secara ringan bersentuhan dengan siku Luna melalui
seragam.
“Hyann!?”
Kemudian, Luna menarik
lengannya dengan cepat seraya menjauh dariku seakan-akan dirinya terkena
sengatan listrik, dan menghadap ke arahku dengan wajah yang memerah. Ekspresinya
wajahnya terlihat lemah seperti anak rusa, dan matanya tampak sedikit
berbinar-binar.
“Bikin kaget saja... karena
kamu tiba-tiba datang begitu.”
“Ma-Maaf...”
Tanpa sadar meminta maaf, aku
menjauh sedikit dan duduk kembali di sampingnya.
Sejak hari itu... sejak Luna
melarikan diri dengan berkata “Tidak, itu
mustahil”, segala sesuatunya menjadi seperti ini. Saat aku mencoba untuk
bergandengan tangan dengannya, dia akan berteriak “Hyann” dengan malu-malu dan langsung menjauhkan tangannya, bahkan
saat aku mendekatinya hanya sedikit, wajahnya menjadi merah padam dan gelisah.
Dia bahkan tidak bisa melakukan kontak mata denganku.
Ketika aku berpikir bahwa dia
mulai menyadari keberadaanku sebagai seorang “pria” lebih dari sebelumnya, rasanya memang tidak begitu buruk,
tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan terus terang saja aku dibuat
kebingungan.
Dalam keadaan seperti ini, aku
tidak bisa mengajaknya belajar berduaan di kamarku seperti biasanya, jadi kami
datang ke toko ini setelah sekian lama.
Seolah-olah untuk menyamarkan
kecanggungan, Luna mengulurkan tangannya ke atas meja. Dia mengambil pai apel
yang tadi ditinggalkannya dengan kata-kata “Aku
sudah kenyang dengan hamburger” dan mulai memakannya.
“... Pai apel ini juga enak
sih, tapi...”
Setelah mencicipinya sebentar,
dia bergumam.
“Kue yang disajikan Ibu Ryuuto
rasanya selalu lezat.”
“Oh, kue 'Champfleur' itu ya.”
Setiap kali Luna datang berkunjung
untuk belajar, ibuku sering membelikan kue dari toko kue di sekitar lingkungan
rumahku.
“Mungkin ketika ada tamu yang datang,
para tetangga yang ada di sekitar tempat tinggalku, merea semuanya
menghidangkan kue dari toko itu. Toko tersebut dimiliki oleh seorang koki kue
yang berlatih di Prancis, dan pernah dipromosikan di acara televisi nasional.”
“Menakjubkan sekali. Itu toko
kue yang sering aku lewati ketika pergi ke rumahmu, bukan? Tempatnya juga
kelihatan sangat modis.”
"Ya, benar. Kali ini jika
Luna datang ke rumahku lagi, aku berencana untuk membelanjakan uang sedikit lebih
banyak...”
“.....”
Gawat. Ucapanku tadi
kedengaranya seperti mengajaknya, “Apa
kamu mau datang ke rumahku untuk belajar ujian?” dengan sangat memaksa.
Seperti yang sudah kuduga,
wajah Luna langsung merah merona dan menundukkan kepalanya. Padahal, percakapan
kita tadi sudah berjalan dengan baik, tapi sekarang semuanya berantakan.
Sambil menghela nafas dalam
hati, aku menundukkan pandangan ke buku pelajaran.
Tapi
keadaan seperti ini ... mau sampai kapan hal ini terus berlanjut?
──
Perkataan “Tidak itu mustahil” miliknya berarti “Aku merasa sangat malu”. Jika
begitu, kamu hanya bisa menunggu sampai dia tidak merasa malu lagi, atau kamu
harus membuatnya tidak merasa malu lagi.
Saran dari Sekiya-san kembali
terlintas di dalam pikiranku.
Aku ingin membuat Luna tidak
merasa malu lagi...
Aku juga ingin melakukannya.
Aku memang ingin melakukannya, tapi... Bagaimana caranya?
Berbeda dengan soal tata bahasa
bahasa Inggris yang tertera di depanku, itu pertanyaan yang lebih sulit bagimu
karena tidak ada jawaban model yang bisa kucoba.
Aku merasa sesak dan tiba-tiba
mengangkat wajahku.
Restoran makanan cepat saji
pada Minggu sore akhir Februari hampir penuh dengan banyaknya pengunjung.
Setiap meja ditempati oleh beberapa orang, dan kursi di meja penerimaan juga
hampir penuh dengan siswa yang sedang belajar untuk ujian atau orang yang
membuka laptop. Jika aku mendengarkan dengan saksama di dalam restoran yang
cukup ramai ini, aku bisa mendengar musik latar asing yang mengalun dengan
volume rendah.
Saat aku menundukkan pandangan
sedikit, mataku tertuju pada paha putih yang terlihat dari bawah rok Luna yang
duduk di sebelahku.
“.......”
Kalau dipikir-pikir lagi, kami
mulai berpacaran saat sudah mendekati ujian akhir semester. Ketika kami pertama
kali datang ke tempat ini dan belajar bersama, aku tidak bisa fokus pada buku
pelajaran, dan merasa canggung. Karena aku bersama “Shirakawa-san,” yang aku kagumi, duduk bersandar bersama sebagai
pasangan kekasih... Hanya menyadari situasi itu saja sudah membuat jantungku
berdegup kencang, aku merasa gugup dengan bau wanginya, dan ingin terus melihat
wajahnya yang begitu cantik... Pada waktu itu, aku benar-benar merasakan
kegembiraan yang tak terkendali.
Setelah aku berpikir sejenak,
aku merasa kalau keadaan Luna saat ini terlihat mirip dengan diriku yang dulu.
Dia merasa terganggu oleh pendekatan pihak lain, merasa tersipu malu, dan
terlihat canggung...
Walaupun dia ingin mendekatiku,
tapi sepertinya dia merasa gugup.
“......”
Jika begitu, tindakan yang
harus aku ambil sekarang adalah bertindak seperti Luna yang dulu pernah memperlakukan
diriku.
Luna selalu ceria dan penuh
semangat. Dia terus berkomunikasi dengan sikap positif tanpa mempedulikan
seberapa gugup dan canggungnya diriku.
──Ada
kesempatan!
Dia berkata begitu dan
memberiku ciuman pertama di atas perahu di danau taman.
Dia menghilangkan keteganganku
yang mungkin membuatku kaku karena aku begitu khawatir tentang kontak fisik.
“.......”
Tidak, jelas-jelas mustahil
melakukan ciuman di tempat seperti ini. Aku tidak memiliki nyali yang begitu
besar untuk melakukannya.
Tapi, aku yakin memang begitu.
Aku tidak boleh bingung. Aku
harus terus mengambil inisiatif untuk berkomunikasi... Tetapi masih tetap
menjadi diriku sendiri.
Karena pada saat itu pun, aku sebenarnya
ingin lebih dekat dengan Luna. Tapi karena kurangnya ketahanan terhadap gadis
dan rasa percaya diri, aku tidak bisa berperilaku secara alami sebagai
pacarnya.
Aku tidak begitu mengerti
kenapa Luna menjadi seperti ini, tetapi jika alasannya karena dia merasa “malu”, itu berarti dia tidak membenciku.
Jika demikian, tindakan tepat
yang harus kulakukan ialah...
“Sudah kuduga, aku akan
mengajarimu.”
Ketika aku duduk kembali dan
mendekatkan diri, Luna sekali lagi dibuat kaget sejenak.
“E-Ehh, di-dibilangin enggak
usah, kok...!”
“Aku hanya ingin melakukannya.
Apa pertanyaan yang ini?”
Sambil menunjuk pertanyaan yang
dia lihat, Luna mengangguk dengan pipi memerah.
“I-Iya, soal yang melengkapi
kalimat...”
( )he( )( ) failed the test, she ( )( )( )happier.
Jika ia tidak gagal ujian, dia
akan lebih bahagia.
“Karena ada kata 'moshi', kamu
mengerti kalau itu masuk dalam tanda kurung pertama, ‘kan?”
“Hmm~~ 'if'?”
“Iya, iya. Jadi, ingatlah apa
yang kamu pelajari dalam bentuk kondisional...”
Saat aku sedang menjelaskan,
Luna tiba-tiba mengerutkan keningnya, dan menunduk dalam-dalam
“... Luna?”
Ketika aku memanggilnya, dia
melirik ke arahku.
“Ahh ... aku mendengarkannya
kok, jadi tolong dilanjutkan.”
“Ye-Yeah ...Jadi, dalam kalimat
ini 'ia' sebenarnya 'gagal dalam ujian', kan?”
“...Iya...”
“Jadi, ini adalah kalimat
asumsi yang bertentangan dengan fakta masa lalu, sehingga menggunakan bentuk
kondisional masa lalu sempurna...”
Karena tingkah Luna masih
terlihat aneh, jadi aku berhenti menjelaskan.
Luna kemudian mengangkat
wajahnya dan menatapku.
“Ryuuto.”
“Hmm?”
“Apa Sekiya-san sudah diterima
di suatu perguruan tinggi? Apa kamu tahu sesuatu tentang itu?”
“Eh.”
Aku tidak mengira dia akan bertanya
hal seperti itu, jadi aku sedikit terkejut.
“Tidak... Aku belum pernah
mendengarnya.”
Aku merasa kalau Luna terlihat
sedikit mengerutkan keningnya, jadi aku segera melanjutkan perkataanku.
“Ta-Tapi, karena ia begitu
rajin belajar setiap hari, aku yakin ia pasti akan diterima di suatu tempat.”
Setelah mendengar itu, wajah
Luna menjadi cerah.
“Benar sekali, iya ‘kan!”
“Y-Ya.”
“…Ketika aku melihat pertanyaan
ini, aku jadi teringat dengan Nikoru dan merasa cemas.”
Bisik Luna dengan wajah yang
agak murung. Melihatnya ekspresinya yang begitu, hatiku menjadi hangat.
“Kamu sangat memedulikan
temanmu, ya, Luna.”
Begitu mendengar kata-kataku,
Luna menatap ke arahku sejenak, tapi dia segera memalingkan wajahnya.
Aku menatapnya dengan penuh
perhatian... mencoba untuk membuka mulutku.
Karena ini adalah keputusan
yang kukambil tadi. Meskipun Luna merasa malu, aku akan terus berkomunikasi
dengan tekad positif.
“... sifatmu… yang begitu ... aku sangat
menyukainya.”
Aku berhasil mengatakannya,
meskipun dengan cara yang terbata-bata.
Aku merasa lega dan kembali
menatap Luna, dia memandangiku dengan wajah yang memerah.
“......!”
Namun, ketika tatapan mata kami
bertemu, dia mengalihkan pandangannya dan menundukkan kepala dengan gelisah.
Sepertinya
ini tidak berhasil, huh…. Saat aku berpikiran begitu, pipi Luna
masih terlihat merah merona dan dia melirik ke arahku.
Ekspresinya terlihat lebih
rileks daripada sebelumnya, dan terpancar rona kebahagiaan di wajahnya.
“Umm, Ryuuto?”
Dengan rasa malu sekaligus
senang, Luna membuka mulutnya.
“Hmm, apa?”
“Setelah ujian selesai, bagaimana
kalai kita pergi berbelanja?”
Untuk pertama kalinya setelah
sekian lama, Luna akhirnya berbicara kepadaku sambil melakukan kontak mata. Aku
sangat senang tentang itu sampai-sampai ingin mengangguk dengan penuh semangat
..... Kemudian, aku mengingat-ngingat tanggal kalender di dalam kepalaku.
“Yeah... maksudmu sebelum
perjalanan sekolah?”
Setelah ujian akhir semester
selesai pada hari Jumat, tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolah hingga
Kamis minggu depan karena libur pasca ujian. Pada hari Jumat, hanya ada upacara
penutupan sekolah dan pengembalian hasil ujian, dan kemudian liburan musim semi
yang cerah resmi dimulai.
Kami para murid-murid kelas
dua, akan pergi wisata studi mulai Senin minggu depan. Aku sudah bersiap-siap
karena jadwal ini sudah ada sejak generasi sebelumnya, tetapi rasanya sangat
disayangkan karena liburan musim semi yang berharga ini terbuang begitu saja.
“Betul. Setelah ujian selesai,
kita bisa langsung melakukannya. Bagaimana kalau dengan hari Minggu?"
“Iya, aku tidak masalah, kok.”
Jika
memang begitu masalahnya, maka…. Pada saat aku hendak menganggukkan
kepala setuju, Luna tiba-tiba berbicara dengan terburu-buru.
“Terus begini, Akari juga akan ikut
bersama kita, gimana? Boleh enggak?”
“Eh? Bo-Boleh saja sih... tapi,
mengapa?”
Aku dibuat bingung dan tercekat
ketika mendengar nama yang tak terduga.
“Pada awalnya, aku diajak oleh
Akari untuk berbelanja. Akari sebenarnya ingin menjadi stylist dan berencana
masuk jurusan fashion, tapi karena dia berukuran P, dia jadi kesulitan
berbelanja. Akhir-akhir ini, dia agak bingung dengan pilihan untuk masa depannya.”
“Ukuran P?”
“Maksudnya itu ukuran yang
kecil. Ukuran S adalah ukuran untuk tubuh yang ramping, tapi panjangnya
biasanya disesuaikan dengan tinggi normal, kan? Untuk gadis yang pendek, ukuran
S pun masih terlalu besar.”
“Be-Begitu ya...”
“Itu sebabnya, dia ingin aku
mencobanya karena aku mempunyai tinggi yang rata-rata. Dia ingin merasakan
asyiknya mengoordinasikan pakaian dan menegaskan kembali mimpinya.”
“Aku mengerti itu, tapi kenapa
kamu tidak pergi berduaan saja dengan Tanikita-san? Aku mungkin bisa membantu
membawa barang belanjaan, tapi meskipun aku ikutan datang...”
Palingan
aku hanya mengganggu obrolan mereka..... atau lebih tepatnya, jika aku bersama
Tanikita-san dan Luna, rasanya sedikit canggung...
pikirku, lalu Luna melihat-lihat sekeliling. Meskipun aku tidak tahu apa yang
dia periksa, dia akhirnya terlihat tenang dan dengan lembut berbisik.
“Jadi, sebenarnya, aku ingin
Ryuuto mengajak Ijichi-kun juga.”
“Icchi?”
Aku lagi-lagi dibuat terkejut
dengan kehadiran nama yang tak terduga.
“Apa itu berarti kita akan
melakukan kencan ganda?... Apa Tanikita-san sendiri yang memintamu?”
“Ya mana mungkin lah! Itu
adalah kejutan untuk Akari. Walaupun dia sangat tertarik pada Ijichi-kun,
karena kejadian sebelumnya, dia tidak bisa mengungkapkan perasaannya padanya,
kan? Jika jarak di antara mereka bisa diperkecil di sini, mungkin hubungan mereka
bisa berkembang dengan baik saat perjalanan wisata sekolah.”
“Hmm...”
Aku menggeram. Dengan perasaan Tanikita-san
yang seperti itu, aku merasa penasaran, apa semuanya akan baik-baik saja dengan
Icchi saat ini yang hanya memikirkan KEN?
Mau tak mau aku jadi merasa
cemas, tapi seperti yang aku katakan padanya tadi, aku menghargai perhatian
Luna terhadap temannya, jadi jika aku bisa membantu, aku akan melakukannya
semampuku.
“... Baiklah. Aku akan mencoba
mengajaknya.”
Setelah aku mengangguk, ekspresi
Luna semakin cerah.
“Horee!”
Dia mengangkat kedua tangannya
dengan ringan, melompat ke belakang seolah menjauh dariku.
“Terima kasih, Ryuto... Eh,
wawawa!”
Ada suara benda jatuh di
lantai, dan Luna buru-buru mengambilnya dengan panik.
Benda yang jatuh itu ternyata
adalah tasku. Karena kursi ini untuk dua orang, aku meminta izin untuk
meletakkan barang-barangku di sisi bangku, dan sepertinya tadi disenggol Luna
dan terjatuh.
“Maaf... Apa ini lubang yang
baru terbentuk?”
Luna melihat tas yang kuambil dan
memperlihatkan bagian bawahnya ke arahku.
Tasku adalah tas ransel
berbahan kain, mungkin bisa dibilang kanvas, yang terbuat dari bahan yang cukup
kuat. Namun, sudut bagian bawah yang sering terkena sudut buku teks gampang
sekali tergores, dan akhirnya benar-benar sobek.
“Oh, bukan. Lubang itu sudah
ada sejak awal tahu.”
Jawabku sambil menggaruk-garuk
kepalaku.
“Karena cuma ini satu-satunya
tas yang lumayan layak. Selama liburan musim dingin, aku selalu membawa
beberapa buku bimbel setiap hari, dan karena terlalu berat, tas ini mulai
rusak. Aku berpikir kalau aku harus membeli yang lebih bagus lagi...”
Bagi mereka yang tidak terlalu
peduli dengan mode atau fesyen, “membeli
pakaian” adalah acara yang membosankan dan merepotkan. Oleh karena itu, aku
terus menunda-nundanya dan jadi beginilah hasilnya. Aku merasa malu karena tas
berlubangku dilihat oleh pacarku, dan aku merasa tidak nyaman. Aku tidak bisa
menjelaskan dengan baik karena merasa canggung.
“Hmm...”
Luna bergumam dengan ekspresi
serius di wajahnya.
“Maaf, aku kelihatan norak, ya.”
Mendengar perkataanku yang
menyindir diri sendiri, Luna menggelengkan kepalanya dengan ringan.
“Tidak, sama sekali tidak, kok.
Hal itu justru menunjukkan bahwa kamu berusaha keras dengan membawa banyak
peralatan belajar, kan?”
“Umm, yeah…”
Entah karena aku terlalu malas
membeli yang baru atau terlalu nyaman dengan tas ini, tapi yang pasti aku
bolak-balik membawa buku pelajaran yang berat antara rumah dan sekolah bimbel.
“... Aku juga harus belajar
sedikit dari Ryuuto.”
Luna tersenyum saat mengatakan
itu, dan ekspresinya menjadi jauh lebih santai daripada sebelumnya. Aku tidak
tahu apakah upayaku berhasil atau tidak, tetapi aku memutuskan untuk maju
sedikit demi sedikit.