Bab 5 — Aku
Merasa Semangat Kok, Tapi Dalam Artian Yang Berbeda
“Kamu yakin? Kerjaanmu sebagai
panitia festival sendiri gimana?”
“Ah, untuk sementara ini sih
aman-aman saja. Lagipula, para panitia senior justru lebih cakap.”
“Haha, yah, karena ketua OSIS
saat ini dan mantan ketua OSIS bekerja sama, sih.”
Hari kedua Festival Budaya
Shureisai. Masachika mengajak Takeshi dan Hikaru berkeliling halaman sekolah di
sela-sela pekerjaan kepanitiaannya.
“Selain itu, tugas utama ketua
dan wakil ketua OSIS saat ini adalah berurusan dengan Raikoukai. Kepanitiaan
masih bisa berjalan lancar tanpa ada kehadiran mereka berdua, jadi seharusnya
takkan ada masalah meskipun aku tidak ada.”
“Ah~ Raikoukai ya~... Mereka
akan datang hari ini, ‘kan?”
“Kira-kira kamu tahu siapa saja
yang akan datang?”
“Tidak, informasi semacam itu
sih berada di tangan Ketua dan Sarashina-senpai... Aku juga tidak tahu rinciannya.
Sejujurnya, aku sendiri tidak terlalu tertarik.”
“Apa iya? Sepertinya ada banyak
orang yang ingin mengambil kesempatan ini untuk bisa mendekati mereka, loh.”
Masachika mengangkat bahunya
saat Takeshi melanjutkan, sambil melihat pajangan di sekelilingnya, “Mereka
berusaha sebaik mungkin untuk menarik perhatian orang dengan dekorasi di pintu
masuk”.
“Aku sih cuma warga negara
biasa yang orang tuanya adalah seorang diplomat.”
“Tidak, menurutku itu saja
sudah cukup mengagumkan bahwa orang tuamu adalah seorang diplomat... di tambah
lagi, ayahmu menjabat posisi penting, bukan?”
“Jabatan semacam itu tidak
terlalu spesial di akademi ini. Atau lebih tepatnya, ada teori bahwa jika tidak
mempunyai latar belakang yang bagus, kamu takkan bisa lulus wawancara ujian
masuk sejak awal.”
“Ahh, yah… ada desas-desus yang
mengatakan bahwa calon siswa cukup banyak disaring oleh latar belakang keluarga
dan pekerjaan orang tua mereka.”
“Dan juga, jangan lupa ini,
nih.”
Masachika dan Hikaru tersenyum
kecut kepada Takeshi yang membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya
ketika mengatakan itu. (TN: You know lah, duit :v)
“Yah, begitulah. Lagian,
ngapain juga kita membicarakannya? Pokoknya, aku ada waktu bebas untuk
sementara waktu.”
“Begitu ya. Ah, ada kios takosenbei*. Aku akan membelinya dulu…
kalian berdua bagaimana?” (TN: Makanan yang sekilas mirip seperti rempeyek dari Indonesia,
bedanya isiannya itu bukan udang atau ikan kecil, tapi gurita)
“Aku sih tidak usah.”
“Aku juga sama ... kamu jangan
khawatir tentang itu dan belilah saja sana.”
“Oke. Kalau gitu, tunggu
sebentar, ya.”
Setelah mengatakan itu, Hikaru
pun pergi menuju kios tako senbei.
Ketika melihat punggungnya yang menjauh, Takeshi tiba-tiba menyeringai dan
berbicara kepada Masachika.
“Oh iya, kemarin gimana?”
“Kemarin?... maksudmu
pertandingan kuis?”
“Ya bukanlah! Habis setelah
itu... kamu berkencan dengan Alya-san, iya ‘kan?”
“Ahh. Yah, ketimbang dibilang kencan...
apa kamu melihatnya? Kalau memang melihatnya, kuharap kamu menyapaku.”
“Yah, itu sih...”
Mendengar kata-kata Masachika,
Takeshi tersenyum samar-samar dan melirik ke arah Hikaru.
(Begitu
rupanya, kamu sudah mencoba memanggilku, tapi kamu dihentikan oleh Hikaru, ya)
Setelah membaca makna tersirat
itu dengan akurat, Masachika tersenyum masam.
“Padahal kamu tidak perlu mengkhawatirkan
tentang itu segala.”
“Tidak, tapi sepertinya suasana
di antara kalian kelihatan sangat bagus... Jadi sebenarnya, gimana? Kalian berdua
adalah partner dalam kampanye pemilihan, jadi apa hubungan kalian takkan
condong ke arah seperti itu?”
Itu adalah pertanyaan yang
sulit untuk dijawab.
Meski Masachika merasakan
kesukaan Alisa padanya, tapi dirinya tidak berniat untuk mengembangkan
hubungannya dengan Alisa. Ada juga penilaian rasional bahwa membawa masalah
percintaan ke dalam kampanye pemilu merupakan hal yang berisiko. Selain itu,
tampaknya Alisa sendiri belum menyadari bahwa rasa sukanya itu dalam artian romantis.
Secara keseluruhan, walaupun jarak di antara mereka semakin dekat, tetapi tidak
ada kemajuan apa-apa.
“... Yah, kami berdua memang
lumayan dekat, tapi cuma sebatas itu saja. Bukannya berarti kami pacaran atau
semacamnya.”
“Jadi begitu ya…”
“Apa? Kamu merasa panik karena
aku mengambil langkah duluan?”
“Hah! Ya enggaklah! Aku hanya—”
“Anuu~ permisi~”
Di sana, mereka bisa mendengar
ada suara yang memanggil dari samping, dan Takeshi berbalik dengan wajah
seperti “Hm? Aku?”. Masachika juga
ikut menengok dan melihat seorang gadis seumuran yang terlihat seperti tamu
dari luar. Dia adalah gadis yang cantik dan manis dengan gaya rambut pendek yang
berwarna cerah. Gadis itu menatap wajah Takeshi sejenak, dan kemudian bertanya
dengan nada ragu-ragu.
“Kami adalah murid dari sekolah
Doujo, dan kami sedang mencari seseorang yang bisa sedikit memandu kami… Jika
kamu tidak keberatan, maukah kamu pergi bersama kami?”
“Eh, ah, kami?”
“Ya”
Gadis tersebut tersenyum denga
menawan. Nama sekolah yang disebutkan tadi adalah nama SMA perempuan yang cukup
terkenal di daerah sekitar sini. Jika dilihat baik-baik, ada dua gadis manis
yang sepertinya adalah temannya yang berdiri agak jauh. Akan tetapi……
(Ah
begitu rupanya)
Masachika menebak ketika
melihat separuh dari kelompok mereka melirik ke arah Hikaru. Sepertinya,
incaran mereka adalah Hikaru. Jika dia secara blak-blakan ingin ditemani oleh
Hikaru, dia akan mendapatkan permusuhan dari Masachika dan Takeshi, jadi dia
sengaja datang mendekat saat orang incaran mereka sedang pergi menjauh... atau
itulah yang Masachika pahami.
“Eh, eh~ Serius? Tidak, kamu
yakin~?”
Takeshi menggaruk kepalanya
sambil menyeringai lebar tanpa terlihat menyadari niat mereka. Ia kemudian melihat
ketiga gadis itu secara bergantian sambil terlihat cengengesan, dan melihat ke
arah Masachika, seakan-akan mengatakan 'Hiya~
aku jadi bingung nih~'. Takeshi lalu berbalik menghadap gadis itu dan
menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya.
“Maaf! Aku merasa sangat senang
dan terhormat karena sudah diajak, tapi kami punya pacar! Aku tidak ingin
terbunuh oleh kecemburuan, jadi aku tidak bisa pergi bersamamu. Aku benar-benar
minta maaf!”
“Eh? Ah, Be-Begitu… yah, jika
memang begitu masalahnya…”
Mungkin dia benar-benar
terkejut. Gadis itu mengedipkan matanya dengan wajah lurus, sedikit memiringkan
kepalanya, dan kembali ke teman-temannya. Melihat mereka bertiga mendiskusikan
sesuatu lalu pergi, Masachika memanggil Takeshi yang masih menyatukan kedua
tangannya.
“Sejak kapan kamu punya pacar?”
“Apa boleh buat, ‘kan~? Aku
tidak bisa memikirkan cara lain untuk menolak tanpa menyakiti gadis-gadis itu.”
“Yah, menurutku itu keputusan
yang bagus, tapi… kamu yakin menolak ajakan mereka?”
Mendengar pertanyaan Masachika,
Takeshi berbalik sambil meringis dan mengertakkan gigi sekuat tenaga.
“Mana mungkin aku bisa dengan
ikhlas menolaknya~! Ahhh~ sayang banget!Padahal ini bisa saja menjadi masa-masa
kepopuleranku yang pertama dan terakhir!”
“Tidak, itu sih...”
Dalam banyak hal, itu adalah
kesalahan. Masachika tidak dapat mengatakannya dan menutup mulutnya. Takeshi
yang memegangi kepalanya dan menggeliat-geliatkan tubuhnya, akhirnya menghela
napas lelah, “Haa,” dan kembali ke
dirinya seperti semula.
“Tapi, aku yakin kalau Hikaru
tidak ingin pergi berkelliling dengan gadis yang tidak dikenalnya, selain itu…
kamu juga tidak terlalu menyukainya, kan?”
“Yah...”
“Benar, ‘kan? Jadi, aku tidak
terlalu menyesalinya. Aku bahkan takkan bisa melakukannya dengan jika kami jadi
berkeliling bersama.”
Ketika Takeshi mengatakan itu
dengan sedikit penyesalan, Masachika berpikir dengan tulus, ‘Ia memang cowok yang sangat baik...’.
(Yah,
aku sudah lama tahu itu... tapi aku berharap ia bisa mendapat kebahagiaannya)
Kenapa ia tidak bisa punya
pacar padahal ia adalah cowok baik-baik yang peduli dengan teman-temannya.
Sambil merasakan absurditas dunia, Hikaru kembali dengan tako senbei di tangannya.
“Maaf sudah membuat kalian
menunggu... lah, apa yang terjadi pada Takeshi?”
“... sedang meratapi nasib
buruk yang menimpanya.”
“? apa maksudnya itu?”
Ketika Hikaru memiringkan
kepalanya, suara gemerincing terdengar di dekatnya, diikuti oleh suara
tergesa-gesa yang mengatakan “Ah”.
Saat mereka bertiga melihat ke
arah sumber suara tadi, ada seorang siswi yang memegang keranjang plastik
terlihat panik saat mainan bola mantul yang jatuh dari keranjang. Rupanya,
beberapa mainan bola mantul yang dia bawa terjatuh saat menabrak sesuatu. Bola
yang jatuh menghantam tanah dan kaki orang yang kebetulan lewat, memantul,
serta berhamburan ke berbagai arah.
“Adadah.”
Masachika melihat pemandangan
itu dan merasa bimbang selama beberapa saat, apakah dirinya harus pergi
membantu.
(Jaraknya
juga agak jauh, jadi meskipun aku membantunya sekarang... pertama-tama, dia
mungkin tidak terlalu keberatan jika menjatuhkan beberapa bola. Ada kemungkinan
besar aku harus melakukan banyak pekerjaan ekstra, ditambah lagi kecocokanku
dengan bola...)
Selama jeda beberapa sejenak
itu,
“Tunggu sebentar, ya.”
“Oke.”
Hikaru mulai bergerak.
Setelah mendorong tako senbei ke arah Masachika, ia tidak
ragu-ragu untuk menghampiri gadis yang sedang kesusahan tadi. Hikaru kemudian dengan
cepat mengambil bola dalam jarak yang terlihat, dan bahkan tidak ragu-ragu
untuk mengumpulkan bola yang jatuh di bawah kios terdekat dengan berbaring di
atas tanah. Hikaru rela mengotori tangan dan lututnya dengan kotoran dan debu.
Pada saat Masachika dan Takeshi
berhasil menyusulnya, ia sudah hampir selesai mengumpulkan bola-bola yang
jatuh.
“Te-Terima kasih banyak.
Benar-benar terima kasih banyak.”
“Ini tidak seberapa kok, lain
kali hati-hati, ya.”
Hikaru melambaikan tangannya
dengan wajah bermasalah pada siswi yang menundukkan kepalanya dengan frustrasi
dan melihatnya pergi. Melihat adegan tersebut, Masachika memberi tahu Takeshi
dengan tatapan penuh pengertian.
“Apa sekarang kamu paham,
Takeshi? Itulah yang dimaksud dengan cowok yang populer, oke?”
“Kuh, aku tidak bisa menang...”
“Tidak, bukannya aku berniat
ingin jadi populer...”
“Aku tahu kok. Aku hanya ingin
mengatakan kalau itu sangat menakjubkan bisa bergerak tanpa ragu di dalam
situasi seperti itu.”
Masachika memuji Hikaru, yang
memiliki ekspresi bermasalah di wajahnya lagi.
Hikaru selalu seperti itu. Ketika
ada banyak orang ragu-ragu sejenak, berpikir bahwa hal itu mungkin akan merasa
tidak nyaman atau memalukan, Hikaru adalah orang pertama yang menjangkau mereka
yang kesusahan. Bahkan jika itu adalah gadis atau seseorang yang tidak
disukainya. Terlepas dari siapa saja, Hikaru adalah orang yang baik hati dan
memiliki moto 'Ketika dalam masalah, kita
harus saling membantu'.
(Ya
ampun… mereka berdua benar-benar cowok yang sangat baik)
Mereka berdua adalah sahabat
terbaik dan ia merasa bangga dengan mereka. Masachika bisa mengatakan itu dari
lubuk hatinya. Itulah sebabnya ... ada beberapa hal yang tidak bisa ia maafkan.
Ada beberapa hal yang mana mungkin ia bisa abaikan begitu saja.
“... Ups, kurasa sudah waktunya
aku pergi”
“Oh, begitu ya. Sampai jumpa di
gladi resik nanti, ya.”
“Semoga berhasil dengan
pekerjaanmu sebagai anggota panitia.”
“Yoi.”
Setelah mereka bertiga berkeliling
bersama selama sekitar 40 menit, Masachika meninggalkan mereka dan menuju
gedung ruang klub. Namun, dirinya justru tidak memasuki gedung ruang klub,
melainkan berputar mengelilinginya untuk pergi ke belakang. Tidak ada pameran
atau kios di sana, jadi hanya orang-orang yang tersesat saja yang akan datang.
Di belakangnya, tepat di bawah pohon besar. Ada seseorang yang menunggunya di
titik buta dari jendela gedung ruang klub.
Di sana, ada seorang gadis yang
memakai topi sampai menutupi matanya dan cenderung melihat ke bawah. Masachika lalu
mendekatinya dan memanggilnya dengan suara datar.
“Yo, Shiratori.”
Sapaan yang singkat. Tidak ada
kata “maaf sudah membuatmu menunggu”
atau “maaf sudah memanggilmu kemari”,
yang merupakan sapaan yang ramah. Sebagai tanggapan, gadis itu juga menanggapi
dengan tatapan yang bahkan tidak menunjukkan sedikit pun keramahan.
“... Ada urusan apa kamu
memanggilku ke sini?”
Nama gadis yang bertanya dengan
lantang itu adalah Shiratori Nao. Dia adalah mantan siswa Akademi Seirei yang
pindah ke sekolah lain sebelum semester kedua, dan sampai sebulan yang lalu,
dia adalah vokalis band [Luminous], di mana Takeshi dan Hikaru awalnya menjadi
bagian darinya. Dan dia juga yang bertanggung jawab atas runtuhnya band tersebut
setelah menyebabkan pertengkaran yang memalukan ketika dia pergi.
“Bahkan menggunakan sesuatu
seperti ini untuk memancingku... apa yang sedang kamu rencanakan?”
Dengan sikapnya yang tetap
tidak ramah, Nao mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. Amplop itu dititipkan
oleh Masachika kepada mantan wali kelas Nao.
Nyatanya, Masachika yang sempat
memiliki keraguan mengenai bubarnya band tersebut, sudah mencari-cari Nao yang
pasti tahu kebenarannya. Namun, Nao sudah mengganti smartphone-nya saat dia
pindah ke sekolah baru dan menghapus akun media sosialnya, sehingga dia tidak
dapat dihubungi sama sekali.. Bahkan dengan jaringan informasi Masachika, dia
benar-benar menghilang dan kabarnya tidak pernah terdengar lagi.
Jadi, Masachika membuat rencana
dan menghubungi mantan wali kelas Nao, satu-satunya orang yang mungkin bisa
menghubungi Nao. Masachika kemudian membujuk sang guru dengan mengatakan dengan
penuh semangat bahwa ia sangat ingin menyampaikan surat kepada Nao, yang
tiba-tiba pindah sekolah, dan gurunya, tergerak oleh antusiasme Masachika,
memberikan amplop tersebut kepada Nao. Namun, isi yang ada di dalamnya bukanlah
surat cinta maupun surat perpisahan... isinya adalah tiket undangan ke Festival
Shuureisai dan satu pesan.
“Apa-apaan maksudmu ini? 'Jika kamu tidak datang, aku akan
mengungkapkan kebenaranmu kepada anggota band Luminous.'…”
Masachika dengan dingin
mengangkat bahunya ke arah Nao yang membacakan pesan itu dan menatap tajam ke
arahnya.
“Apapun maksudnya, kamu sendiri
yang paling tahu artinya, ‘kan? Itu sebabnya kamu menerima undangan dan datang
jauh-jauh ke sini.”
“...”
Nao langsung terdiam ketika mendengar
kata-kata Masachika. Mereka berdua saling bertatapan untuk sementara waktu
seolah-olah mencari maksud satu sama lain.
Masachika mendengar dari
Takeshi bahwa alasan bubarnya band tersebut dipicu oleh pernyataan Nao kepada
pemain bass mereka, Makino Ryuuichi, yang dia pacari saat itu, bahwa dirinya
hanya asal berpacaran dengannya saja, dan sebenarnya dia menyukai Hikaru.
Akibatnya, Ryuichi sangat patah hati, dan Minase Riho, si pemain keyboard,
sangat terkejut dengan perilaku teman masa kecilnya, Nao, sehingga mereka
berdua keluar dari band…. atau begitulah cerita yang didengarnya. Tentu saja,
Masachika hanya mendengarnya melalui orang lain, jadi dirinya tidak tahu
seberapa akurat detailnya. Tapi meski begitu, karena Masachika melihat anggota
Luminous dari luar... ada kebohongan yang hanya dirinya saja yang memahaminya.
“Kamu sebenarnya sama sekali
tidak menyukai Hikaru, iya ‘kan?”
“Hah!”
Nao menanggapi pernyataan
Masachika dengan mengerutkan alisnya dan menutup erat bibirnya. Melihat
ekspresinya itu, Masachika memperdalam keyakinannya.
Nao mengungkapkan kalau dia
menyukai Hikaru setelah Riho mengungkapkan, ‘Nao-chan
mengatakan kalau ada anggota Luminous yang dia sukai.’ Inilah yang didengar
Masachika langsung dari Riho setelah band itu bubar, tapi dikatakan bahwa Nao
bergabung dengan band sebagai anggota kelima dan terakhir Luminous, dia lalu
mengatakan kepada Riho mengenai hal itu sebagai motivasinya untuk bergabung
dengan band.
Riho sepertinya tidak menyadarinya,
tapi Masachika segera menyadarinya setelah mendengar ceritanya. Itu adalah
pernyataan pengalihan terhadap Riho. Jika dia hanya ingin bergabung dengan
sebuah band, motifnya seharusnya adalah ‘Karena
aku ingin satu band dengan Riho’. Alih-alih melakukan itu, dia justru
sengaja menyatakan cintanya kepada orang lain, yang hanya bisa dianggap sebagai
langkah untuk mencegah Riho agar tidak bisa berpacaran dengan seseorang. Dan
melihat apa yang terjadi setelah itu, “seseorang”
yang dimaksud itu mungkin adalah Ryuichi.
Kalau dipikir-pikir secara
normal, kejadian itu hanya terlihat seperti dua gadis yang merupakan teman masa
kecil, jatuh cinta kepada pria yang sama. Jika hanya itu saja, ceritanya akan
berakhir cuma sampai di situ, tapi….
(Tapi
setelah mendengar cerita Makino...sebaliknya, aku penasaran apa memang begitu
masalahnya)
Menurut penuturan Ryuichi, Nao
tidak menunjukkan banyak kasih sayang untuk Ryuichi sejak mereka mulai
berpacaran. Malu-malu kucing? Tidak, rasanya aneh jika dia enggan melakukannya
setelah memberi peringatan kepada Riho. Lalu, dalam hal ini... Jika orang yang
tidak ingin diambil darinya bukanlah Ryuuichi, maka...
“Orang yang kamu sukai—”
“Hentikan!!!?”
Nao menyela perkataan Masachika
dengan suara lantang. Namun, Masachika tidak berhenti.
“Tidak, aku tidak akan
berhenti.”
Masachika dengan blak-blakan
menolak penolakan jelas Nao. Kemudian, Masachika melangkah lebih dekat k
arahnya dan mengucapkan kata-kata yang menentukan.
“Orang yang kamu sukai... orang
yang kamu cintai bukanlah Hikaru atau Makino, tapi Minase, iya ‘kan?”
“──!!”
Sorot mata Nao menunjukkan
kemarahannya saat mendengar pernyataan Masachika. Tidak gentar dengan
tanggapannya itu, Masachika mulai mengemukakan alasannya sendiri.
“Alasanmu berpacaran dengan
Makino ialah karena Minase menyukainya. Ketika kamu mengetahui tentang perasaan
cinta Minase, kamu bergabung dengan band Luminous dan berpacaran dengan Makino,
semua itu karena kamu tidak ingin Minase diambil darimu. Benar begitu, bukan?”
Menanggapi pertanyaan penuh
percaya diri Masachika, Nao membuka mulutnya—— sepertinya dia tidak dapat
menemukan kata-kata yang tepat, dia terus membuka dan menutup mulutnya beberapa
kali sebelum menunduk ke bawah. Setelah itu, untuk beberapa saat, bahu Nao
bergetar seolah-olah sedang mencoba menahan sesuatu, tak lama kemudian dia
menjawab dengan suara melengking.
“…itu benar.”
Dan dengan itu sebagai pemicu,
Nao mengungkapkan semua perasaannya yang sebenarnya mirip seperti sebuah
bendungan yang sudah rusak.
“Ya, itu memang benar! Aku
selalu menyukai Riho! Kami selalu bersama sejak kecil, dan aku selalu
melindunginya! Bagiku, Riho adalah nomor satu, dan bagi Riho, aku adalah nomor
satu! Akan tetapi, akan tetapi——!”
Sambil menggertakkan giginya
dan menggetarkan suaranya, Nao menatap tajam ke arah tanah. Menendang tanah
dengan ujung sepatunya, Nao berteriak dengan sekencang-kencangnya.
“Namun, Riho malah jatuh cinta
pada Ryuichi! Padahal dia sendiri yang bilang kalau laki-laki itu menakutkan!
Dia, Dia—”
“…Jadi itu sebabnya kamu
berpacaran dengan Makino, yang tidak terlalu kamu sukai?”
“Memang! Jika Riho dibawa
pergi, jika Riho dinajiskan oleh seorang pria, hal itu tidak seberapa!”
Itu adalah hubungan cinta yang
menyimpang tapi murni dengan teman masa kecilnya yang berjenis kelamin sama.
Setelah mengaum dengan ganas, ekspresi Nao berubah menjadi senyuman getir. Hal
yang terlintas di wajahnya itu adalah kesedihan atau penyesalan?
“Tapi... saat aku berpacaran
dengannya, Ryuichi adalah cowok yang sangat baik... meskipun aku seperti ini,
ia sangat perhatian, dan menyukaiku yang seperti ini... kupikir aku bisa
memahami mengapa Riho bisa menyukainya...”
Butiran air mata tumpah dari
mata kanan Nao saat dia mengaku. Sambil mengusapnya dengan tangannya, Nao terus
melanjutkan dengan isak tangis.
“Riho tetaplah Riho, dia masih
baik seperti biasanya… Dia berkata sambil tersenyum, ‘Aku akan mendukung kalian berdua’. Padahal dia sendiri yang duluan
menyukainya… Baik Ryuuichi dan Riho, mereka berdua sama-sama sangat baik
padaku, tapi yang kulakukan hanyalah membohongi mereka, dan aku telah menyakiti
mereka berdua…! Ini semua adalah salahku, tapi, aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan lagi…”
Masachika merenung ketika Nao
menutupi matanya dengan kedua tangan sambil berbicara sesenggukan.
Masachika hanya bisa
membayangkan penderitaan bagaimana rasanya dikelilingi oleh orang-orang yang
baik hati dan menjadi satu-satunya orang yang mengumbar kebohongan. Pada
awalnya, itu hanya kebohongan yang dia katakan karena keinginan untuk tidak kehilangan
orang yang dia sukai. Namun, saat dia berbohong untuk melindungi kebohongan
lain, Nao menyadari bahwa hanya dirinya saja satu-satunya di antara empat teman
baik yang berbohong. Seberapa besar rasa pedih dan penyesalan yang pasti dia
rasakan dibalik senyuman yang dia berikan kepada rekan-rekannya. Dia pasti
merasa kecewa dengan dirinya sendiri dan pasti membenci diriknya sendiri.
Dan ketika semuanya akan
terungkap, Nao mengatakan kebohongan terakhirnya untuk menyembunyikan rahasia terbesarnya,
yaitu perasaan cintanya kepada Riho. Kebohongan bahwa dia menyukai Hikaru.
(Itu
sih yah, aku tidak bisa menyalahkannya...)
Bagi Nao, perasaan cintanya
pada Riho pastilah sesuatu yang ingin dia lindungi dan sembunyikan dengan
segala cara. Bahkan jika itu berarti menawarkan dirinya kepada pria yang bahkan
tidak dia sukai. Dan jika memang begitu... Masachika tidak ingin menyalahkan
Nao.
Sering dikatakan bahwa karakter
asli seseorang akan muncul ketika mereka terpojok, tapi Masachika menganggap
kalau itu persepsi yang salah. Ketika seseorang benar-benar terpojok, hal
pertama yang muncul bukanlah sifat alamiahnya, melainkan nalurinya. Naluri
pertahanan dasar makhluk hidup untuk melindungi diri mereka sendiri. Tidak
banyak orang yang dapat mengatasi hal ini dengan akal sehat dan mengutamakan
orang lain. Itulah sebabnya hati Masachika tidak bisa menyalahkan Nao yang buru-buru
berbohong setelah terpojok. Tapi .....
“Bagaimana dengan perasaan
empat orang lainnya?”
“….”
Meski demikian, Ia tetap tidak
boleh berpaling darinya.
“Itu mungkin baik untukmu yang
melarikan diri. Tapi, asal kamu tahu saja, keempat orang itu masih terguncang
dengan apa yang terjadi waktu itu.”
“.....”
Informasi ini mungkin hal
terakhir yang paling tidak ingin didengar Nao. Namun, setelah mengetahui hal
tersebut, Masachika tetap menghadapkannya pada kenyataan.
“Makino dan Minase tidak lagi
muncul di klub musik ringan, dan sejak kejadian itu, mereka sama sekali tidak
berbicara dengan Hikaru. Hikaru juga mencoba untuk tidak memikirkan mereka
berdua lagi. Sejujurnya aku sudah tidak tahan lagi melihatnya, mereka bertiga
yang begitu dekat sekarang memperlakukan satu sama lain seperti orang asing.”
“Eh, itu...”
“Tampaknya bahkan sekarang,
Takeshi masih sesekali menemui Makino dan Minase. Tapi mereka justru
menghindarinya. Hanya dirinya saja satu-satunya orang yang berpura-pura
bersikap sama seperti biasanya, tetapi ia sangat kelelahan. Karena ia orang
yang lebih memikirkan teman-temannya daripada orang lain.”
“...”
Nao menunduk dalam-dalam saat
mendengar perkataan Masachika. Setelah terdiam beberapa saat, dia bertanya
dengan suara pelan.
“Kalau Riho bagaimana?”
Menanggapi pertanyaan singkat
itu, Masachika terus terang mengatakan yang sebenarnya sambil berpikir, “Ujung-ujungnya, Minase adalah prioritas
utamamu, ya?”
“Seperti yang kamu tahu, Minase
sejak awal tidak memiliki banyak pertemanan. Sekarang dia tidak lagi
berpartisipasi di klub musik ringan, dia benar-benar terisolasi. Dia menghadiri
kelas dengan wajah murung setiap hari dan pulang tanpa berbicara dengan siapa
pun.”
“Uuu…”
Masachika diam-diam bertanya
pada Nao, yang menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya.
“Jangan bilang kalau kamu benar-benar
berpikir bahwa Minase dan Makino akan berpacaran jika kamu pergi menghilang?”
“!!!”
“Mana mungkin begitu, ‘kan?
Makino bukanlah tipe orang yang gampang bergonta-ganti pasangan, sedangkan
Minase—”
“Aku sudah tahu itu tanpa kamu
memberitahuku!”
Pada saat itu, Nao mengangkat
kepalanya dan memelototi Masachika.
“Apa-apaan dengan cara bicaramu
tadi, seolah-olah kamu sudah mengenalku saja! Itu semua tidak ada hubungannya
denganmu, ‘kan!? Memangnya kamu pikir kamu itu siapa, hah!!”
Masachika merasa seperti
disiram air dingin oleh kata-kata tersebut. Ia kemudian merenungkan kembali
kata-kata dan perbuatannya sendiri dan tiba-tiba tersadar.
(Lah,
kenapa aku mengatakannya dengan cara sarkastik begitu, ya?)
Masachika tidak ingin menyalahkannya
dalam hati, tetapi dirinya justru mendapati kalau ia malah mengatakan hal-hal
yang membuat Nao marah padanya. Ia bermaksud untuk memberikan fakta-fakta yang
ada, tapi itu terlihat seperti setengah menyalahkannya. Masachika tercengang
setelah menyadari hal itu sekarang.
(Tidak,
bukan begitu. Aku tidak bermaksud mengatakan itu...)
Menurunkan pandangannya,
Masachika mengatur ulang pikirannya dan mencari kata-kata yang benar-benar
perlu ia ucapkan.
“… Aku memang hanyalah orang
luar. Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan band Luminous, dan aku tidak
punya hak untuk ikut campur.”
“.....”
“Tapi... aku tidak ingin berpikiran kalau kalian
berlima yang sekarang akan begini terus.”
“! Kuh….”
Masachika berbicara dengan
hati-hati kepada Nao, yang menggertakkan gigi dan memalingkan wajahnya.
“Kamu yakin tidak apa-apa?
Saling berpisah sambil masih meninggalkan kesalahpahaman satu sama lain.”
“...”
“Aku berani mengatakan ini karena
aku pernah mengalaminya... Perpisahan terburuk adalah perpisahan yang membuatmu
melupakan semua kenangan indah dan bahagia yang kamu miliki sebelumnya.”
Sama seperti Masachika hingga
beberapa saat yang lalu, ia terus menyegel kenangan Maa-chan di lubuk hatinya
sebagai kenangan yang tidak menyenangkan. Sekarang, setelah kesalahpahaman
telah diselesaikan, tidak ada lagi yang tersisa selain penyesalan.
(Yah,
ini juga….Bukannya ini sudah kewajibanku untuk mengatakannya?)
Saat kepalanya mendingin,
begitu pula hatinya, dan Masachika pun berbalik. Kemudian, sambil mengetahui
bahwa itu adalah bantuan yang tidak perlu, Masachika memberinya nasihat terakhir
di balik punggungnya.
“Seperti yang kubilang tadi,
aku hanyalah orang luar. Aku sama sekali tidak mengenalmu, bagaimana
hubunganmu, atau semua detailnya. Jadi aku takkan memberitahumu mengenai apa
yang harus kamu lakukan…. Tapi jika kalian terus seperti ini, Luminous akan
berakhir dengan ingatan terburuk bagi kalian berlima, kan? Entah itu untuk
Makino atau Minase.”
Setelah mengatakan semua itu,
Masachika meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang. Ia langsung masuk
ke dalam gedung klub dan menuju ke atas untuk menghindari orang-orang.
Masachika kemudian melompati rantai yang terbentang di depan tangga dan menaiki
tangga yang terhubung ke atap... . Ia lalu jatuh terlentang di landasan paling
atas.
“Haaa...”
Helaan napas yang dalam dan
berat keluar dari kedalaman dadanya yang dingin.
“…Kenapa aku mengatakan hal
yang menuduh seperti itu?”
Masachika berbicara pada
dirinya sendiri dalam bentuk pertanyaan, tetapi jawabannya sudah ada di dalam
pikirannya sendiri. Itu karena Masachika merasa marah terhadap Nao karena sudah
menyakiti Takeshi dan Hikaru.
Memang benar Masachika berpikir
bahwa kelima anggota Luminous tidak boleh berpisah dalam keadaan canggung
seperti itu. Karena alasan itu, ia berpikir kalau ia harus membujuk Nao untuk
membiarkan mereka berlima saling berbicara satu sama lain lagi. Masachika sama
sekali tidak menyesali keputusannya.
Satu-satunya penyesalan yang
Masachika miliki ialah…. Ia memojokkan Nao lebih dari yang diperlukan dan menyakitinya.
Mengesampingkan Takeshi dan Hikaru sebagai pihak yang terluka, Masachika yang
merupakan orang luar melampiaskan amarahnya kepada Nao.
“... Padahal aku berniat melakukannya
dengan tenang.”
Pada kenyataannya, Ia
benar-benar tidak tenang. Kemarahan karena menyakiti kedua sahabatnya yang
berharga telah membara dalam diri Masachika, dan hal itu terwujud dalam kata-kata
dan tindakannya yang agresif terhadap Nao.
(Mengirim
pesan yang mengancam, mengungkapkan rahasia di hadapan orang yang tidak
menyukainya... apa itu benar-benar diperlukan? Apa itu karena aku ingin
memberinya rasa sakit yang diderita Takeshi dan Hikaru?)
Masachika menggertakkan giginya
saat tatapan dan kata-kata Nao kembali muncul di benaknya. Penyesalan yang
mendalam dan kebencian terhadap dirinya sendiri. Hanya itu satu-satunya yang
ada di dalam diri Masachika.
“Memangnya aku ini siapa, ya...
itu memang benar sekali, sungguh. Apa sih yang sudah aku lakukan sebagai orang
luar yang tidak ada hubungannya dengannya?”
Seseorang harus melakukannya. Dirinya
tidak bermaksud melakukan sesuatu yang heroik. Jika Masachika tidak melakukan
apa-apa, kejadian itu pada akhir akan memudar dan terkubur seiring berjalannya
waktu. Ego Masachika-lah yang menggalinya dan mengungkap isi yang tersembunyi.
Masachika berpikir akan lebih baik baginya untuk melakukannya, dan ia tetap
melakukannya meskipun tidak ada yang memintanya. Hanya itu saja. Tapi...
sekarang, Masachika mulai berpikir itu hanyalah tindakan ikut campur yang tidak
diperlukan.
Bahkan jika Masachika tidak
melakukan apa-apa, mereka berlima mungkin pada akhirnya akan berdamai dengan
cara tertentu. Sama halnya seperti Masachika dan Maria yang ditakdirkan untuk
bersatu kembali dan menyelesaikan kesalahpahaman di masa lalu. Jika mereka
berlima memiliki ikatan yang kuat, maka tentunya──
(Lagian,
itu benar! Bagiku, mereka hanya sekedar kenalan, tapi bagi Takeshi dan Hikaru,
Shiratori adalah seorang teman juga!)
Di sana, Masachika menjadi
semakin depresi ketika menyadari kalau ia telah menyakiti “teman dari seorang
teman”.
(Ah...
percuma. Aku mulai ingin mati karena membenci diri sendiri... Aku harus meminta
maaf kepada Shiratori nanti.)
Pikirannya benar-benar
menjerumus ke arah negatif, dan Masachika berguling-guling ke samping sambil
memegangi kepalanya. Ketika dirinya merasa tertekan tanpa henti──
“Kuze-kun?”
… Suara yang seharusnya tidak
terdengar di tempat seperti itu terdengar dari bawah, dan Masachika buru-buru
mengangkat tubuh bagian atasnya. Kemudian, hatinya melonjak ketika pandangan
matanya bertemu dengan Maria, yang melihatnya dari lantai bawah.
“E-Eh? Ada apa, Masha-san?”
“Aku kebetulan melihat Kuze-kun
dengan wajah yang agak menakutkan… aku penasaran, jadi aku mengikutimu.”
Setelah mengatakan itu dengan nada
suara yang khawatir, Maria menaiki tangga dan duduk di sebelah Masachika. Dia
kemudian menatap Masachika dengan tatapan prihatin.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
Masachika kembali terdiam
menanggapi pertanyaan ini, yang hanya diisi dengan perhatian tulus. Meskipun
begitu, Maria tidak terburu-buru dan dengan lembut melingkarkan tangannya di
kepalan tangan Masachika, yang terkepal di pangkuannya.
Sedikit tersentuh oleh sentuhan
hangat dan lembut itu, Masachika menjawab dengan ekspresi muram di wajahnya.
“Aku sudah menyakiti seseorang.”
“Begitu. Kenapa kamu
menyakitinya?”
“Karena temanku terluka...
tidak, salah.”
Sambil menggelengkan kepalanya
ke kiri dan ke kanan, Masachika mengoreksi kembali perkataannya.
“Aku mersa marah karena
teman-temanku tersakiti, dan saku melampiaskan kemarahanku kepada orang yang
bersangkutan. Padahal dia memiliki alasannya tersendiri, tetapi…. Meskipun aku
memahami alasan tersebut, aku justru mengungkit lukanya dalam kemarahanku.”
Setelah mengatakannya sebanyak
itu dalam satu tarikan nafas, Masachika tertawa dengan sikap mencela diri
sendiri.
“Setelah itu yah, aku merasa
kalau aku gagal... Aku sedikit menyesalinya sekarang. Kupikir aku akan kembali
ke tugas kepanitiaanku setelah aku sudah menenangkan diri, jadi jangan khawatir
tentang itu.”
Maria menatap ekspresi Masachika
dengan ekspresi serius. Dan kemudian... dia perlahan berlutut dan memeluk
kepala Masachika dari samping.
“Yoshi, yoshi.”
Dia membelai kepalanya dengan
lebih lembut, dan hal itu membuat Masachika kebingungan.
“... kenapa? Eh, kenapa kamu
memelukku?"
“Karena Kuze-kun sepertinya terluka.
Itulah sebabnya aku menghiburmu seperti ini.”
“Tidak, apa kamu tidak
mendengar apa yang aku katakan? Kali ini sepenuhnya akulah yang salah, atau
lebih tepatnya, aku hanya merenungkan bagaimana aku menyakiti orang dengan
melampiaskan emosiku...”
“Jadinya kamu tidak punya hak
untuk dihibur?”
“!!!”
Masachika kehilangan kata-kata
setelah dibungkam oleh suara lembutnya. Menyadari kalau tebakannya tepat
sasaran saat melihat reaksi Masachika, Maria melanjutkan dengan suara pelan “Begitu ya” sambil tersenyum kecil.
“Jadi begitu yang Kuze-kun
pikirkan, ya~. Tapi tahu enggak? Aku tidak peduli dengan hak-hak semacam itu.”
“... Oh”
Masachika merasa kewalahan oleh
pernyataan Maria yang menyatakan bahwa dia akan menempuh jalannya sendiri,
seolah-olah ingin mengatakan, “Bagaimana
menurutmu?”
“Aku tidak peduli dengan apa
yang Kuze-kun pikirkan! Aku hanya ingin memanjakan Kuze-kun karena aku ingin
melakukannya!
“Jadi, begitu ya.”
Setelah diberitahu dengan
sangat jelas, Masachika tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
(Jika
Masha-san ingin melakukannya, kurasa aku tidak bisa berbuat apa-apa~)
Pandangan mata Masachika
menjauh saat perasaan pasrah muncul. Sambil membelai kepalanya dengan lembut,
Maria terus berbicara kepada Masachika.
“Kuze-kun, kamu tidak pernah
bergantung pada orang lain sejak dulu, kan? Sepertinya kamu berpikir kalau kamu
tidak berhak untuk bergantung pada seseorang.”
“...”
Perkataan Maria yang begitu
peka membuat Masachika terdiam. Memang benar. Dirinya sudah memaksa adiknya
untuk menderita kesulitan dan menjalani kehidupan yang malas serta merugikan
diri sendiri, Masachika tidak bisa membiarkan dirinya dimanjakan oleh orang
lain. Ia selalu berpikir demikian.
“Asal kamu tahu, ketika aku
melihatmu seperti itu, dadaku terasa sesak. Hatiku merasa pahit dan sedih, dan
aku jadi sangat ingin memanjakan Kuze-kun.”
"...Haa, begitukah?”
Masachika membalas singkat
dengan setengah tersenyum pada kata-kata yang membuat punggungnya geli. Namun,
Maria sepertinya bisa menyadari rasa malu Masachika dan tertawa kecil.
“Jika kamu tidak bisa memaafkan
dirimu sendiri, biar aku yang akan memaafkanmu. Jika kamu menyakiti dirimu sendiri,
aku akan menyembuhkan luka tersebut.”
Seolah-olah ingin membuktikan
kata-katanya, Maria dengan lembut mengelus-ngelus kepala Masachika sambil terus
melanjutkan.
“Jangan bertanya kenapa, oke?
Dari dulu…. sejak hari dimana kita bertemu di taman itu, Kuze-kun sudah menjadi
orang yang penting bagiku. Oleh karena itu…. jangan memaksakan dirimu untuk menjadi
sok kuat, oke? Jangan mencoba menanggungnya sendirian, paham? Karena aku tahu
apa yang sudah kamu lalui.”
Kalimat terakhirnya itu.
Kata-kata tersebut sangat menyentuh hati Masachika.
(Ahh,
orang ini, benar-benar...)
Mungkin dia benar-benar
memahami. Setelah memahami semua kelemahan dan kesalahan Masachika, dia mungkin
mencoba membungkusnya dengan lembut.
“… Jadi begitu.”
“Ya.”
“Jadi begitu ya...”
“……Ya.”
Sebuah percakapan yang tidak
terdengar seperti percakapan. Tapi, Masachika meyakini kalau Maria memahami
maksudnya. Masachika meyakini hal tersebut tanpa alasan yang jelas, ia kemudian
memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya di pelukan Maria. Maria lalu menanggapi
dengan senyuman atas kemanjaan Masachika dengan sebaik-baiknya.
Sudah berapa lama waktu berlalu
sejak mereka seperti itu? Masachika yang sudah merasa sedikit lebih tenang,
membuka matanya dan berkata,
“Entah kenapa, dari dulu aku
selalu saja dimanjakan oleh Masha-san.”
“Hmm? Masa?”
“Iya... Sepertinya selama ini
aku terus dimanjakan oleh kebaikan Masha-san.”
Sejak hari dirinya bertemu
kembali dengan Maria di taman itu, Masachika mulai mengingat kenangan tentang
Maa-chan dari waktu ke waktu.
Di dalam ingatannya, Maa-chan
selalu ceria, baik hati, dan hangat... itulah sebabnya, Saa-kun merasa terselamatkan
oleh Ma-chan yang seperti itu. Sekarang dirinya benar-benar berpikir demikian.
“Begitu ya... tapi, hal itu
berlaku sama untuk kita berdua, tau? Karena aku juga menerima banyak kebaikan
dari Saa-kun.”
“Haha, benarkah?”
“Iya dong? Saking banyaknya
sampai tidak bisa dihitung, loh?”
Walaupun Maria bilang begitu,
tapi Masachika yakin jika dirinya masih belum bisa membalas bahkan setengah
dari kebaikan yang diterimanya.
(Pada akhirnya, aku masih tidak bisa menepati janji itu...)
Ketika ia kembali mengingat
janji yang pernah ia ucapkan kepada Maa-chan, yang mana dirinya baru
mengingatnya lagi sekitar sebulan yang lalu, Masachika merasa sedikit sedih.
(Kira-kira,
apa sekarang masih belum terlambat untuk menepatinya....? Tidak, kurasa sudah
cukup terlambat, bukan? Dibandingkan dengan waktu itu, kemampuanku mungkin
sudah tidak terlalu terampil lagi)
Suasana hatinya kembali depresi
lagi, dan seolah-olah dia bisa merasakannya, Maria mengencangkan kekuatan
pelukannya... dan bahkan Masachika merasa malu setengah mati.
“Umm, mari kesampingkan masalah
itu dulu. Kurasa sudah waktunya untuk segera pergi...”
“Hmm~? Kenapa~? Kamu boleh
lebih bermanja-manja lagi, loh~?”
“Tidak, postur saat ini sih
agak gimana~ gitu ...”
Ia merasa sangat penasaran
dengan beban lembut di pundaknya sangat, atau lebih tepatnya, telinga kanannya
dibuat gembira karena bisa merasakan detak jantung Mara.
“Ah…”
Ketika Masachika melontarkan
kata-katanya dengan ambigu dan tidak bisa langsung merujuk hal yang dimaksud,
Maria menjauhkan tubuhnya dengan senyuman yang setengah bermasalah dan setengah
malu.
“Mouuu, dasar Kuze-kun...”
“Aku sungguh minta maaf.”
“Hmm~, karena kamu anak
laki-laki, iya kan~? Jadi, apa boleh buat, deh~”
Ketika dia menganggukkan kepala
tanda setuju, Maria membuka lebar-lebar tangannya dengan senyum penuh kasih
sayang layaknya seorang ibu yang suci.
“Boleh-boleh saja kok, kalau
itu Kuze-kun, ayo kemari?”
“Ti-Tidak, itu—”
“Ah, begitu ya. Kamu tidak mau
dimanjakan atas inisiatifmu sendiri, iya ‘kan? Kalau begitu biar aku saja yang
ke sana, ya~?”
“Tu-Tunggu sebentar— !”
Dirinya ditangkap oleh pelukan
Maria, yang mencondongkan tubuhnya ke depan dan merangkuli kepalanya dengan
erat. Dan kemudian—— Masachika belajar tentang kekuatan penghancur keibuan.
◇◇◇◇
“... Entah bagaimana, tadi itu
sungguh menakjubkan.”
Masachika, yang telah
ditenggelamkan secara paksa oleh simbol
keibuan Maria, sedang berjalan menuju ruang musik dengan langkah yang agak
goyah. Mulai sekarang, akan ada latihan terakhir dari band untuk pertunjukan
langsung... tapi kepalanya masih terasa sedikit linglung.
Entah bagaimana, rasanya
sungguh menakjubkan karena semua rasa penyesalan dan kebencian terhadap dirinya
sendiri benar-benar terbang menjauh. Saking menakjubkannya sampai-sampai ia
merasa kelelahan.
(Sebaliknya,
aku merasa keheranan mengapa Masha-san begitu bersemangat...)
Sementara Masachika kelelahan
karena kehabisan tenaga, Maria yang berpisah dengannya di depan tangga, entah
kenapa terlihat dipenuhi dengan energi. Jangan bilang, apa itu merupakan
semacam pereda stres, karena keinginan untuk memanjakan seseorang berhasil
diwujudkan?
(Ini
gawat... jangan bilang, apa ini terjadi setiap kali aku merasa depresi di depan
Marsha? Jika memang demikian, serius... Aku punya firasat suatu hari nanti
semuanya akan menjadi sangat buruk)
Perasaan bahaya yang misterius
menghantam Masachika, membuat bulu kuduknya merinding. Lalu, pada saat itu,
pandangan matanya bertemu dengan mata Yuki yang datang dari sisi lain koridor.
“Yuki...”
“Masachika-kun...?”
Masachika buru-buru menegakkan
punggungnya dan mencoba berpura-pura untuk terlihat santai. Namun, Yuki
mengerutkan alisnya dengan tatapan ragu pada Masachika dan mendekatinya dengan
senyuman palsu.
“Ternyata kamu ada di sini ya,
Masachika-kun.”
“Ehh?”
“Ada permintaan untuk menyewa
peralatan tambahan. Apa kamu bisa membantuku?”
“Oh ya, oke.”
Kewalahan oleh senyum yang tak
tertembus itu, Masachika akhirnya mengikuti Yuki ke dalam gudang. Sesampainya
di depan gudang tanpa ada percakapan tertentu, Yuki membuka pintu gudang dan
masuk ke dalam untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana. Tak
berselang lama, Yuki bergegas menghampiri Masachika, dan meraih lengan
Masachika dari depan. Kemudian, sambil menatap wajah kakaknya dari jarak dekat,
Yuki bertanya dengan ekspresi yang sok merasakan bahaya.
“Onii-chan, kamu baik-baik
saja!? Apa kamu membutuhkan Chuki-chuki
beam supaya bisa bersemangat lagi!”?
“Enggak butuh.”
“Pancaran chuki-chuki beam!!”
“Dibilangin, aku sama sekali
enggak butuh, tau!!”
Jadi begitulah, setelah dimanjakan
oleh seorang Onee-san yang lembut dan adik perempuan yang baik hati namun
tengil… Berkat perhatian mereka berdua, Masachika berhasil sedikit memulihkan
suasana hatinya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya