Part 6
“Hah~... itu tidak berjalan
dengan baik sama sekali~...”
Setelah pembubaran, Luna
menjatuhkan bahunya dengan lesu di dalam kereta perjalanan pulang kami.
“Akari juga sama, kenapa dia
malah menjadi seperti itu, ya? Dengan sikap yang seperti itu. dia pasti akan
dibenci.”
“Mmm, yah... Mungkin sekarang
bukan saat yang tepat. Urusan percintaan tuh... ada hal yang disebut timing, ‘kan?”
Jika aku masih seperti dulu,
aku bahkan takkan memikirkan hal seperti itu.
Pengakuan cinta pertama dalam
hidupku gagal. Kurose-san, gadis yang duluny aku sukai, akhirnya jatuh cinta
padaku setelah empat tahun kami bertemu kembali, tapi kali ini justru aku yang
mencampakkannya.
Perasaan dan situasi orang
selalu berubah.
Hanya mereka yang mampu jatuh
cinta pada seseorang pada saat mereka melihatnya yang akan dapat menemukan
cinta yang membahagiakan.
Luka yang diterima Icchi ketika
ditolak oleh Tanikita-san masih belum sembuh sepenuhnya. Tanikita-san juga pastu
sudah menyadari hal itu, oleh karena itu dia sangat menyesal dan tidak bisa
jujur dengan perasaanya.
Itulah yang aku pikirkan ketika
melihat mereka berdua hari ini.
“Meski begitu, Tanikita-san
sangat menyukai fashion, ya. Aku berharap dia bisa menjadi stylist atau
desainer.”
Aku mengubah topik pembicaraan
untuk mengalihkan perhatian Luna yang masih terlihat sedih.
“Ahh... benar. Aku harus mengisi
formulir jalur karir masa depan.”
Meskipun aku berhasil
mengalihkan perhatiannya, wajah Luna masih terlihat.
“Kalau dipikir-pikir, kalau
Ijichi-kun gimana?”
“Katanya sih melanjutkan
kuliah. Icchi bilang diirinya sedang mencari universitas yang punya jurusan
arsitektur karena ia ingin menjadi arsitek kelas satu.”
Bahkan KEN pasti akan terkejut
bahwa minatnya pada sebuah game bisa berubah menjadi profesi asli.
“Jadi begitu ya. Kalau Ryuuto
ingin masuk ke Universitas Houou, ‘kan? Semua orang sudah memutuskan, ya...
hebat sekali.”
Yamana-san berharap untuk
melanjutkan ke sekolah pelatihan manikur, sedangkan Kurose-san ingin
melanjutkan kuliah dengan tujuan menjadi editor. Memang, orang-orang di sekitar
Luna mulai menapaki jalan karirnya masing-masing.
“Kalau model gimana? Luna.Tadi
Tanikita-san menyarankanmu untuk menjadi model, iya kan?”
Dalam upaya untuk membuat
suasana yang cenderung berat menjadi lebih ringan, aku memberi saran seraya
sedikit bercanda.
“Hmm...”
Namun, seperti biasa, tanggapan
Luna masih tidak terlihat antusias.
“Aku tuh belum pernah memilih
baju dengan mempertimbangkan segala macam seperti Akari.”
Dengan bersandar pada pegangan
di samping pintu, Luna mengarahkan pandangannya ke seberang jendela.
Di petang hari Minggu, suasana kota
perlahan-lahan mulai gelap dengan kedatangan senja.
“Aku hanya pergi dan membeli
yang aku lihat di Instagram atau mengenakan apa yang disarankan di toko dan
membelinya karena 'Imut!'... Hanya
itu saja yang aku lakukan.”
“Bukannya itu berarti karena
Luna terlihat bagus dalam segala model baju? Kupikir itu adalah elemen yang
cocok untuk seorang model.”
Luna memiliki tinggi badan
rata-rata, tapi kakinya panjang dan secara keseluruhan proporsi badannya cukup
bagus, dan yang terpenting, dia mempunyai wajah yang imut.
“Mmm, jika memang begitu, aku merasa
senang. Tapi memang benar kalau aku tidak memikirkannya sama sekali.”
Luna menerutkan keningnya dan
sekilas melirik ke arahku.
“Walaupun mereka sedikit imut
dan memiliki tubuh yang bagus, tapi para model hanya sekumpulan orang-orang
seperti itu, ‘kan? Aku tidak bisa membayangkan bahwa seseorang yang menjalani
kehidupan tanpa beban, tanpa berpikir atau berupaya menampilkan diri mereka
dengan baik, bisa tiba-tiba menjadi sukses dengan mudah.”
Setelah mendengarnya, aku
menyadari kalau Luna sudah mempertimbangkan profesi “model” dengan lebih serius daripada yang kupikirkan. Itu adalah
tanda bahwa Luna mulai memikirkan masa depan dengan sungguh-sungguh.
“Kalau begitu, jika kamu bisa menjadi
seorang model, kamu bisa berusaha dari sana, bukan? Mencari cara untuk sukses
dan berusaha keras..”
“Itu memang benar sih... Kurasa
semua orang-orang sukses melakukan hal seperti itu.”
"Ucapnya dengan sedih sambil
menundukkan kepalanya, dia lalu sedikit mengangkat wajahnya.
“...Masalahnya, aku merasa
tidak memiliki semangat untuk 'berusaha
yang terbaik'. Setidaknya, dalam hal menjadi seorang model atau terlibat
dalam industri hiburan...”
Suara getaran kereta membuat
suara Luna terdengar terputus-putus. Aku menyadari bahwa suaranya menjadi
begitu kecil.
Luna mengalihkan pandangannya
dari jendela gerbong dan menatap sekitar ujung kakinya, kemudian dia membuka
mulutnya sekali lagi.
“Pada saat aku kelas enam SD,
kami diminta menulis 'impian masa depan'
di buku kenangan kelulusan. Dan aku menulisnya dengan 'menjadi seorang istri'.”
Aku mendengarkan dalam diam
sambil membayangkan sosok Luna kecil yang masih kelas 6 SD.
“Di antara gadis-gadis di
kelasku, cuma aku satu-satunya yang menulis impian itu. Sensei bahkan berkata
dengan wajah sedikit kebingungan dan mengatakan, ‘Apa kamu yakin dengan itu? Kamu bisa menjadi apa pun, seperti
astronot, pemilik toko roti. Kamu bisa menjadi istri, baik sebagai astronot
atau pemilik toko roti. Dia adalah seorang guru yang biasanya sangat baik
dan seperti kakak perempuan yang lembut, tapi saat itu dia terlihat
menakutkan... aku tidak tahu mengapa dia mengatakan hal seperti itu, jadi aku
menangis. Aku tidak ingin menjadi astronot atau pemilik toko roti, satu-satunya
yang kuinginkan ialah menjadi seorang istri.”
Luna tersenyum kecil sambil
bergumam begitu. Itu adalah senyuman yang penuh dengan ejekan diri sendiri.
“Mungkin sekarang sudah bukan
zamannya lagi bahwa impian masa depanku untuk menjadi 'istri'. Tetapi... bagi diriku, itu adalah yang terbaik.”
Perasaan kesepian Luna bisa terasa
sedikit.
“Mungkin aku membutuhkan waktu
sedikit lama untuk bisa menemukan impian baru. Namun, aku sedang berpikir dan
mulai bergerak dengan caraku sendiri. Karena aku ingin menjadi gadis yang
pantas untuk Ryuuto yang sedang berusaha dengan keras.”
Dia terlihat sangat imut dengan
mata tertunduk dan pipi yang merah merona, lalu senyuman lebar terbentuk dengan
sendirinya.
“... Luna, kamu yang
sekarang...”
Setelah memikirkan kata-kata
yang ingin aku ucapkan, aku merasa malu sendiri dan menelan kata-kata itu
kembali.
“Hmm?”
“Tidak, uhhmm, seperti
sekarang, Luna... kamu adalah seorang pacar yang terlalu berharga bagiku.”
Setelah berhasil menyampaikan
perasaanku yang tulus, wajah Luna yang sedikit tertunduk menjadi semakin merah.
“Apa benar?”
“...Sekiya-san pernah bilang
begini, 'Cobalah menjadi seseorang
terlebih dahulu, dan jika merasa tidak cocok, carilah jalan yang lain.'
Usai mendengar hal itu, aku merasa sangat lega. Karena aku merasa tidak perlu
mencari passion-ku dulu.”
Setelah mendengar kata-kataku,
Luna mengangkat wajahnya dengan mata berbinar.
“Kedengarannya bagus, tuh.
Sudah kuduga, orang pintar pasti akan mengatakan hal-hal bagus.”
Aku merasa iri karena jelas
terlihat bahwa Luna sangat terkesan. Aku merenungkan apakah seharusnya aku mengambil
kesempatan ini untuk mengambil kehormatan bagi diriku sendiri, tanpa perlu
menyebutkan nama Sekiya-san. Itu adalah penyesalan curang yang terlintas di dalam
pikiranku.
Belakangan ini, aku merasa kalau
aku gampang sekali cemburu. Sebelumnya, meskipun ada perasaan tidak
puas terhadap mantan pacarnya, aku merasa tidak memiliki jenis cemburu seperti
ini.
Alasan yang bisa kupikirkan
adalah, tentu saja... karena kurangnya kontak fisik belakangan ini.
Bahkan hari ini juga, aku belum
sekali pun bergandengan tangan dengan Luna. Meski
rasanya sedikit canggung untuk melakukannya karena ada Icchi dan Tanikita-san,
tapi karena kami sedang berduaan sekarang, aku berharap sedikit..... atau
begitulah yang kupikrikan, tapi nyatanya, aku tidak bisa menemukan kesempatan.
Ketika aku sedang berjalan di sepanjang
jalan dari Stasiun A menuju rumah Luna, pikiranku sudah dipenuhi dengan “bergandengan tangan”.
Hal ini sama seperti ketika
kami pergi berkencan di Taman Ueno.
Pada waktu itu, aku berhasil
menggandeng tangannya saat naik atau turun perahu.
Tapi, aku yang sekarang berbeda.
Aku sudah bergandengan tangan dengan Luna berulang kali, jadi seharusnya aku
bisa melakukannya dengan lebih alami dan lebih cerdas.
Pemandangan di jalan perumahan
yang mayoritas berbahan kayu terlihat gelap gulita. Mengambil kesempatan dari
udara yang semakin dingin, aku mendekati Luna yang berada di sebelahku dan
hampir menyentuh tangannya.
Kemudian...
“Kyaa!”
Luna tersentak dan sedikit
menjauhkan dirinya dariku.
“Bikin kaget saja.”
Wajahnya memerah sehingga
terlihat meskipun di jalan yang gelap.
“.......”
Aku mulai kehilangan sedikit
kepercayaan diri. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak dibenci, tapi jika sampai
ditolak seperti itu rasanya masih sedikit menyakitkan.
Aku dan Luna berhenti berjalan dan
berhadapan satu sama lain. Di pinggir jalan yang sepi, di antara lampu jalan,
hanya terdapat rumah-rumah warga.
“Apa aku sudah melakukan
sesuatu? Sesuatu yang membuat Luna menghindariku...”
“Eh, aku menghindarimu?....
Ah!”
Sambil menjawabku, Luna tiba-tiba
tersadar dengan tindakannya sendiri.
“Ini, uhmm... rasanya sedikit
memalukan...”
Luna bergumam memekik seraya
pipinya semakin merah.
“Karena aku terlalu mencintai
Ryuuto… jadi akhir-akhir ini, aku bahkan tidak bisa menatap matamu… Jantungku
berdebar begitu kencang, sampai-sampai rasanya aku akan mati.”
Hatiku tertusuk dengan panah
yang transparan.
Aku
merasa senang, tapi...
Hal
itu memang membuatku senang sih, tapi......
“Umm, apa itu karena... ad-ada hubungannya
denganku yang mengatakan kalau aku melihat Luna dengan tatapan erotis?”
Luna menganggukkan kepala
sambil terus mempertahankan wajah merahnya.
“Setelah itu, aku terus-menerus
sadar ketika bersama Ryuuto... dan merasa malu.”
Sudah kuduga, memang seperti
itu, ya.
“Karena Ryuuto tidak mempunyai
nafsu birahi… jadi awalnya kupikir kamu mempunyai ED*. Akan tetapi, kamu malah
melakukannya sebanyak li-lima ratus kali sambil membayangkanku…” (TN: ED= Erectile Dysfunction, atau lebih
jelasnya Impoten)
“Lupakan jumlahnya! Itu sama
sekali tidak akurat!”
“...Jadi lebih sedikit dari
itu?”
“...Mungkin lebih...”
“Mungkin lebih banyak!?”
Melihat reaksi Luna, jadi
keteganganku ikut meningkat.
“Enggak, aku sendiri tidak
tahu! Karena aku sama sekali tidak menghitungnya!”
“Itu berarti kamu sudah melakukan
terlalu banyak sampai-sampai tidak menghitungnya!?”
“Bukan, yah... itu sih...”
Ya, mungkin…….
“Maaf... karena aku cowok yang
terlalu cabul...”
“Ka-Kamu tidak perlu minta maaf
segala... aku tetap merasa senang, sih.”
Ucap Luna sambil bergidik malu.
“Tapi...rasanya masih
memalukan...”
“Itu sebabnya kita tidak bisa
berpegangan tangan?”
“Hmm... habisnya...”
Luna berkata sambil terlihat
gelisah sekaligus malu.
“Kamu melakukannya dengan tangan itu, kan?”
“Eh!? E-Eh!?”
Secara naluriah, aku
menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggungku.
“Ka-Kalau begitu, mulai
sekarang, apa kamu ingin bergandengan tangan dengan tangan kiri saja?”
“Eh... itu berarti kamu beneran
melakukannya dengan tangan ka-kanan?”
“Huee!? I-Iya, karena aku bukan
orang kidal...”
Uooooooooooo─── pembicaraan macam
apa ini!
Semakin aku berbicara, aku
semakin dibuat malu sampai-sampai ingin menyembunyikan diriku!
“Aduh, malu banget... aku
bingung mau lihat bagian mana dari Ryuuto...”
Apa yang kukatakan tampaknya mempunyai
efek sebaliknya, membuat wajah Luna semakin memerah, dan membuat suasana di
antara kami terasa seperti mustahil untuk saling bergandengan tangan.
“............”
Untuk sementara waktu, aku terpaku
dalam kehawatiran dan penyesalan, tapi aku berusaha mengambil napas dalam-dalam
dan mencoba mendapatkan ketenangan kembali.
Karena ini bukan jalan utama,
jadi hanya ada sesekali orang yang berjalan dari arah stasiun, dan suasana di
sekitar kami terasa sunyi. Aroma sup miso yang mengalir dari balik tembok blok,
entah mengapa terasa begitu akrab dan memicu kerinduan akan kampung halaman.
Sedikit demi sedikit,
ketenangan mulai kembali.
“......Uhmm, jadi itu berarti...
masalah kecanggungan Luna tuh... akan teratasi seiring berjalannya waktu?”
Saat aku bertanya, Luna
mengangguk malu-malu.
“Mu-Mungkin... Jika aku lebih
sering bersama denganmu, aku merasa akan menjadi lebih baik.”
“Kalau begitu... Ayo
sering-sering bertemu lagi.”
Dengan perasaan frustrasi dan
keinginan untuk melakukan sesuatu, aku berkata sambil berdeham ringan.
“Uhmm... Kalau besok? Apa kamu
punya rencana...?”
Karena kami masih memiliki libur
ujian hingga Kamis, seharusnya Luna tidak memiliki rencana dengan
teman-temannya.
“Ah...”
Namun, Luna hanya mendongak ke
langit malam dan menunjukkan ekspresi yang terlihat tidak enakan.
“Besok agak sulit bagiku,
maaf...”
“Jadi begitu. Karena kamu ada
janji dengan Yamana-san?”
“Eh? Enggak...”
“Mau ke salon kecantikan?”
“Enggak.”
Aku mencoba menyebutkan
beberapa kemungkinan jadwal yang biasa Luna miliki, tetapi dia hanya
menggelengkan kepala.
“Begitu ya... Bagaimana dengan
hari Selasa?”
“Eh, umm... Selasa juga, aku ada
urusan sedikit.”
“Begitu rupanya. Lalu... kalau
hari Rabu...”
“It-Itu juga tidak bisa...”
“Be-Begitu... Apa kamu
mempunyai urusan di semua hari?”
“...I-Iya...”
Luna hanya mengatakan itu, jadi
aku tidak tahu apa rencananya. Jika aku terus menanyakan hal itu, aku akan
terlihat seperti cowok posesif yang ingin mengetahui segalanya tentangnya, jadi
meski aku sedikit penasaran, aku harus mengalah.
“...Kalau begitu, Kamis?”
“...Maaf...”
“Hari Jumat... sudah masuk
sekolah, kalau Sabtu, aku ada jadwal bimbel... Kalau hari Minggu?”
Kurasa sudah tidak ada harapan
lagi, tapi Luna tiba-tiba memperlihatkan ekspresi yang terkejut ketika berpikir
begitu.
“Ah, kalau hari Minggu... Jika
dari pukul tiga, aku bisa.”
“Benarkah? Nah, mari kita
bermain!”
Seketika itu juga, aku merasa
bahagia dan suaraku terdengar bergembira.
“Ngomong-ngomong, itu Hari
White Day, ‘kan? Kita mau pergi ke mana?”
Ketika aku menyadari bahwa dia
mungkin sengaja menyisakan setengah hari untukku karena Hari White Day, rasa
cintaku padanya semakin bertambah.
“Hmm... mungkin menonton film
di bioskop?”
Luna menjawab dengan wajah
sedikit bingung.
“Bioskop?”
Aku bertanya sekali lagi karena
terkejut dengan jawabannya yang tak terduga.
Alasannya karena....
Ketika kami berdua baru mulai
pacaran, aku sempat bertanya kepadanya ke mana dia ingin pergi pada kencan
pertama kami.
─
Kencan pertama ya... mungkin menonton film?
─
Hmm? Apa itu tempat yang bagus? Apa ada film yang ingin kamu tonton? Apa Ryuuto
suka film?
Aku ditekan dengan
pertanyaan-pertanyaan itu..
Luna tampaknya tidak begitu
tertarik dengan film, dan dia mengatakan kalau dia biasa menonton film yang
ingin dilihatnya melalui saluran streaming yang dipesan oleh ayahnya.
Namun, Luna sekarang mengatakan
“Aku ingin pergi menonton film.”
“Apa ada film yang ingin kamu
tonton?”
Tentu saja, aku akan bertanya
seperti itu.
Namun, Luna terlihat terkejut.
“Hmm, enggak ada sih...
Lagipula, film apa saja yang sedang tayang sekarang? Aku akan mencarinya
nanti...”
“........”
Ternyata
enggak ada, toh!
Tiba-tiba, suara koreksi komika
berdialek Kansai muncul dalam pikiranku.
Tapi, aku senang bisa berkencan
dengan Luna dan tidak ada masalah dengan pergi menonton film, jadi kami sepakat
untuk memutuskan detail seperti lokasi dan berpisah hari ini.
“......Sampai jumpa, Ryuuto.”
Luna melambaikan tangannya di
depan pintu masuk rumahnya, tapi tiba-tiba, dia mengarahkan pandangannya ke atas
seakan-akan dia baru kepikiran sesuatu.
Kemudian, dia dengan cepat
berlari ke arahku dan berdiri di depanku yang berada di luar gerbang.
“.....? Luna...”
Ketika aku bertanya-tanya, aku
memanggil namanya.
Luna yang berada di depanku, mendadak
mengulurkan kedua tangannya...
“.....!?”
Dia dengan lembut memelukku.
Dengan penuh kehati-hatian, dia
perlahan-lahan melingkarkan tangannya seolah-olah dia sedang berpelukan dengan
pohon suci dengan rasa takut yang mendalam.
“Maafkan aku atas tindakanku
yang tadi, ya ...?”
Dari wajahnya yang memerah, aku
bisa melihat seberapa besar keberanian yang dikerahkan Luna untuk melakukan
tindakan ini.
“Karena aku benar-benar,
menyukaimu, Ryuuto... Jadi aku mohon tunggulah aku dan beri aku waktu beberapa
saat.”
Dia mengucapkan kata-kata itu dengan
suara yang gemetar.
Saat dia mengatakannya, ada
sesuatu yang berkilauan jatuh dari sudut mata Luna.
“Ka-Kamu kenapa!?”
Tanpa mengetahui air mata apa
itu, Luna melihatku dengan wajah terkejut dan melepaskan dirinya dariku.
“Entahlah, aku tidak tahu...”
Dia mengusap air matanya dengan
ujung jari sambil memiringkan kepalanya.
“Ketika aku mengatakan 'suka' kepadamu, air mata tiba-tiba keluar
dengan sendirinya... Ah, lagi-lagi...”
Dia mengusir air mata yang
terus mengalir, lalu Luna tersenyum dengan ekspresi yang sedikit aneh.
“Itu sama seperti lagu cinta, ‘kan?
Ini benar-benar bisa terjadi... Hanya dengan mengungkapkan perasaan, aku jadi
menangis...”
Dia menghirup ingus hidungnya
dan Luna tersenyum lagi.
Pinggiran mata yang sedikit
memerah terlihat memikat. Di bawah cahaya oranye dari lampu luar rumah, Luna
terlihat sangat cantik.
Aku merasa puas dengan perasaan
ini, dan aku melambaikan tangan padanya. Jika tidak, aku mungkin akan meraihnya
dengan kedua tanganku dan memeluknya.
“....Minggu nanti... aku akan
sangat menantikannya.”
Aku mengungkapkannya dengan
senyuman, dan Luna menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku juga...”
Ah,
aku benar-benar mencintainya.
Aku
sudah sangat mencintainya sejak dulu, tapi rasanya begitu tak terbatas.
Aku
merasa seperti masih bisa mencintai Luna lebih dalam lagi.
Aku tidak pernah berpikir bahwa
aku akan mengucapkan kata “aku
mencintaimu” dalam hidupku.
Tapi sedikit-sedikit, aku mulai
mengerti perasaan pria yang mengucapkannya.
Ketika aku menatap langit yang
mendung dan berawan, tanpa kehadiran bulan di malam yang berkabut itu.
“...Bulannya kelihatan sangat
indah, ya.”
Meski demikian, aku dengan
sengaja mengatakannya.
“Eh, di mana? Aku tidak bisa
melihatnya.”
Ucap Luna sambil melihat ke
langit dengan ekspresi heran di matanya.
“…Di sini.”
Aku menunjukkan padanya, dan
Luna tersenyum seolah-olah baru saja menyadari sesuatu.
“Ehh, maksudnya aku? Ryuuto tuh
ternyata bisa mengatakan hal yang romantis juga, ya.”
Wajahnya memerah, dan Luna
tersipu malu sambil tersenyum.
“Baiklah, aku pulang dulu ya.”
“Ya, sampai jumpa. Hati-hati
di jalan ya.”
Kami berdua saling melambaikan
tangan dengan ringan, dan aku berjalan sendirian di jalan malam.
Yang menerangi langkahku bukanlah cahaya bulan, melainkan cahaya lampu jalan. Akan tetapi, hatiku terasa penuh seperti bulan purnama.