Keiken-zumi Jilid 5 Bab 1 Bagian 6 Bahasa Indonesia

Part 6

 

“Hah~... itu tidak berjalan dengan baik sama sekali~...”

Setelah pembubaran, Luna menjatuhkan bahunya dengan lesu di dalam kereta  perjalanan pulang kami.

“Akari juga sama, kenapa dia malah menjadi seperti itu, ya? Dengan sikap yang seperti itu. dia pasti akan dibenci.”

“Mmm, yah... Mungkin sekarang bukan saat yang tepat. Urusan percintaan tuh... ada hal yang disebut timing, ‘kan?”

Jika aku masih seperti dulu, aku bahkan takkan memikirkan hal seperti itu.

Pengakuan cinta pertama dalam hidupku gagal. Kurose-san, gadis yang duluny aku sukai, akhirnya jatuh cinta padaku setelah empat tahun kami bertemu kembali, tapi kali ini justru aku yang mencampakkannya.

Perasaan dan situasi orang selalu berubah.

Hanya mereka yang mampu jatuh cinta pada seseorang pada saat mereka melihatnya yang akan dapat menemukan cinta yang membahagiakan.

Luka yang diterima Icchi ketika ditolak oleh Tanikita-san masih belum sembuh sepenuhnya. Tanikita-san juga pastu sudah menyadari hal itu, oleh karena itu dia sangat menyesal dan tidak bisa jujur dengan perasaanya.

Itulah yang aku pikirkan ketika melihat mereka berdua hari ini.

“Meski begitu, Tanikita-san sangat menyukai fashion, ya. Aku berharap dia bisa menjadi stylist atau desainer.”

Aku mengubah topik pembicaraan untuk mengalihkan perhatian Luna yang masih terlihat sedih.

“Ahh... benar. Aku harus mengisi formulir jalur karir masa depan.”

Meskipun aku berhasil mengalihkan perhatiannya, wajah Luna masih terlihat.

“Kalau dipikir-pikir, kalau Ijichi-kun gimana?”

“Katanya sih melanjutkan kuliah. Icchi bilang diirinya sedang mencari universitas yang punya jurusan arsitektur karena ia ingin menjadi arsitek kelas satu.”

Bahkan KEN pasti akan terkejut bahwa minatnya pada sebuah game bisa berubah menjadi profesi asli.

“Jadi begitu ya. Kalau Ryuuto ingin masuk ke Universitas Houou, ‘kan? Semua orang sudah memutuskan, ya... hebat sekali.”

Yamana-san berharap untuk melanjutkan ke sekolah pelatihan manikur, sedangkan Kurose-san ingin melanjutkan kuliah dengan tujuan menjadi editor. Memang, orang-orang di sekitar Luna mulai menapaki jalan karirnya masing-masing.

“Kalau model gimana? Luna.Tadi Tanikita-san menyarankanmu untuk menjadi model, iya kan?”

Dalam upaya untuk membuat suasana yang cenderung berat menjadi lebih ringan, aku memberi saran seraya sedikit bercanda.

“Hmm...”

Namun, seperti biasa, tanggapan Luna masih tidak terlihat antusias.

“Aku tuh belum pernah memilih baju dengan mempertimbangkan segala macam seperti Akari.”

Dengan bersandar pada pegangan di samping pintu, Luna mengarahkan pandangannya ke seberang jendela.

Di petang hari Minggu, suasana kota perlahan-lahan mulai gelap dengan kedatangan senja.

“Aku hanya pergi dan membeli yang aku lihat di Instagram atau mengenakan apa yang disarankan di toko dan membelinya karena 'Imut!'... Hanya itu saja yang aku lakukan.”

“Bukannya itu berarti karena Luna terlihat bagus dalam segala model baju? Kupikir itu adalah elemen yang cocok untuk seorang model.”

Luna memiliki tinggi badan rata-rata, tapi kakinya panjang dan secara keseluruhan proporsi badannya cukup bagus, dan yang terpenting, dia mempunyai wajah yang imut.

“Mmm, jika memang begitu, aku merasa senang. Tapi memang benar kalau aku tidak memikirkannya sama sekali.”

Luna menerutkan keningnya dan sekilas melirik ke arahku.

“Walaupun mereka sedikit imut dan memiliki tubuh yang bagus, tapi para model hanya sekumpulan orang-orang seperti itu, ‘kan? Aku tidak bisa membayangkan bahwa seseorang yang menjalani kehidupan tanpa beban, tanpa berpikir atau berupaya menampilkan diri mereka dengan baik, bisa tiba-tiba menjadi sukses dengan mudah.”

Setelah mendengarnya, aku menyadari kalau Luna sudah mempertimbangkan profesi “model” dengan lebih serius daripada yang kupikirkan. Itu adalah tanda bahwa Luna mulai memikirkan masa depan dengan sungguh-sungguh.

“Kalau begitu, jika kamu bisa menjadi seorang model, kamu bisa berusaha dari sana, bukan? Mencari cara untuk sukses dan berusaha keras..”

“Itu memang benar sih... Kurasa semua orang-orang sukses melakukan hal seperti itu.”

"Ucapnya dengan sedih sambil menundukkan kepalanya, dia lalu sedikit mengangkat wajahnya.

“...Masalahnya, aku merasa tidak memiliki semangat untuk 'berusaha yang terbaik'. Setidaknya, dalam hal menjadi seorang model atau terlibat dalam industri hiburan...”

Suara getaran kereta membuat suara Luna terdengar terputus-putus. Aku menyadari bahwa suaranya menjadi begitu kecil.

Luna mengalihkan pandangannya dari jendela gerbong dan menatap sekitar ujung kakinya, kemudian dia membuka mulutnya sekali lagi.

“Pada saat aku kelas enam SD, kami diminta menulis 'impian masa depan' di buku kenangan kelulusan. Dan aku menulisnya dengan 'menjadi seorang istri'.”

Aku mendengarkan dalam diam sambil membayangkan sosok Luna kecil yang masih kelas 6 SD.

“Di antara gadis-gadis di kelasku, cuma aku satu-satunya yang menulis impian itu. Sensei bahkan berkata dengan wajah sedikit kebingungan dan mengatakan, ‘Apa kamu yakin dengan itu? Kamu bisa menjadi apa pun, seperti astronot, pemilik toko roti. Kamu bisa menjadi istri, baik sebagai astronot atau pemilik toko roti. Dia adalah seorang guru yang biasanya sangat baik dan seperti kakak perempuan yang lembut, tapi saat itu dia terlihat menakutkan... aku tidak tahu mengapa dia mengatakan hal seperti itu, jadi aku menangis. Aku tidak ingin menjadi astronot atau pemilik toko roti, satu-satunya yang kuinginkan ialah menjadi seorang istri.”

Luna tersenyum kecil sambil bergumam begitu. Itu adalah senyuman yang penuh dengan ejekan diri sendiri.

“Mungkin sekarang sudah bukan zamannya lagi bahwa impian masa depanku untuk menjadi 'istri'. Tetapi... bagi diriku, itu adalah yang terbaik.”

Perasaan kesepian Luna bisa terasa sedikit.

“Mungkin aku membutuhkan waktu sedikit lama untuk bisa menemukan impian baru. Namun, aku sedang berpikir dan mulai bergerak dengan caraku sendiri. Karena aku ingin menjadi gadis yang pantas untuk Ryuuto yang sedang berusaha dengan keras.”

Dia terlihat sangat imut dengan mata tertunduk dan pipi yang merah merona, lalu senyuman lebar terbentuk dengan sendirinya.

“... Luna, kamu yang sekarang...”

Setelah memikirkan kata-kata yang ingin aku ucapkan, aku merasa malu sendiri dan menelan kata-kata itu kembali.

“Hmm?”

“Tidak, uhhmm, seperti sekarang, Luna... kamu adalah seorang pacar yang terlalu berharga bagiku.”

Setelah berhasil menyampaikan perasaanku yang tulus, wajah Luna yang sedikit tertunduk menjadi semakin merah.

“Apa benar?”

“...Sekiya-san pernah bilang begini, 'Cobalah menjadi seseorang terlebih dahulu, dan jika merasa tidak cocok, carilah jalan yang lain.' Usai mendengar hal itu, aku merasa sangat lega. Karena aku merasa tidak perlu mencari passion-ku dulu.”

Setelah mendengar kata-kataku, Luna mengangkat wajahnya dengan mata berbinar.

“Kedengarannya bagus, tuh. Sudah kuduga, orang pintar pasti akan mengatakan hal-hal bagus.”

 

Aku merasa iri karena jelas terlihat bahwa Luna sangat terkesan. Aku merenungkan apakah seharusnya aku mengambil kesempatan ini untuk mengambil kehormatan bagi diriku sendiri, tanpa perlu menyebutkan nama Sekiya-san. Itu adalah penyesalan curang yang terlintas di dalam pikiranku.

Belakangan ini, aku merasa kalau aku gampang sekali cemburu. Sebelumnya, meskipun ada perasaan tidak puas terhadap mantan pacarnya, aku merasa tidak memiliki jenis cemburu seperti ini.

Alasan yang bisa kupikirkan adalah, tentu saja... karena kurangnya kontak fisik belakangan ini.

Bahkan hari ini juga, aku belum sekali pun bergandengan tangan dengan Luna. Meski rasanya sedikit canggung untuk melakukannya karena ada Icchi dan Tanikita-san, tapi karena kami sedang berduaan sekarang, aku berharap sedikit..... atau begitulah yang kupikrikan, tapi nyatanya, aku tidak bisa menemukan kesempatan.

 

Ketika aku sedang berjalan di sepanjang jalan dari Stasiun A menuju rumah Luna, pikiranku sudah dipenuhi dengan “bergandengan tangan”.

Hal ini sama seperti ketika kami pergi berkencan di Taman Ueno.

Pada waktu itu, aku berhasil menggandeng tangannya saat naik atau turun perahu.

Tapi, aku yang sekarang berbeda. Aku sudah bergandengan tangan dengan Luna berulang kali, jadi seharusnya aku bisa melakukannya dengan lebih alami dan lebih cerdas.

Pemandangan di jalan perumahan yang mayoritas berbahan kayu terlihat gelap gulita. Mengambil kesempatan dari udara yang semakin dingin, aku mendekati Luna yang berada di sebelahku dan hampir menyentuh tangannya.

 

Kemudian...

“Kyaa!”

Luna tersentak dan sedikit menjauhkan dirinya dariku.

“Bikin kaget saja.”

Wajahnya memerah sehingga terlihat meskipun di jalan yang gelap.

“.......”

Aku mulai kehilangan sedikit kepercayaan diri. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak dibenci, tapi jika sampai ditolak seperti itu rasanya masih sedikit menyakitkan.

Aku dan Luna berhenti berjalan dan berhadapan satu sama lain. Di pinggir jalan yang sepi, di antara lampu jalan, hanya terdapat rumah-rumah warga.

“Apa aku sudah melakukan sesuatu? Sesuatu yang membuat Luna menghindariku...”

“Eh, aku menghindarimu?.... Ah!”

Sambil menjawabku, Luna tiba-tiba tersadar dengan tindakannya sendiri.

“Ini, uhmm... rasanya sedikit memalukan...”

Luna bergumam memekik seraya pipinya semakin merah.

“Karena aku terlalu mencintai Ryuuto… jadi akhir-akhir ini, aku bahkan tidak bisa menatap matamu… Jantungku berdebar begitu kencang, sampai-sampai rasanya aku akan mati.”

Hatiku tertusuk dengan panah yang transparan.

Aku merasa senang, tapi...

Hal itu memang membuatku senang sih, tapi......

“Umm, apa itu karena... ad-ada hubungannya denganku yang mengatakan kalau aku melihat Luna dengan tatapan erotis?”

Luna menganggukkan kepala sambil terus mempertahankan wajah merahnya.

“Setelah itu, aku terus-menerus sadar ketika bersama Ryuuto... dan merasa malu.”

Sudah kuduga, memang seperti itu, ya.

“Karena Ryuuto tidak mempunyai nafsu birahi… jadi awalnya kupikir kamu mempunyai ED*. Akan tetapi, kamu malah melakukannya sebanyak li-lima ratus kali sambil membayangkanku…” (TN: ED= Erectile Dysfunction, atau lebih jelasnya Impoten)

“Lupakan jumlahnya! Itu sama sekali tidak akurat!”

“...Jadi lebih sedikit dari itu?”

“...Mungkin lebih...”

“Mungkin lebih banyak!?”

Melihat reaksi Luna, jadi keteganganku ikut meningkat.

“Enggak, aku sendiri tidak tahu! Karena aku sama sekali tidak menghitungnya!”

“Itu berarti kamu sudah melakukan terlalu banyak sampai-sampai tidak menghitungnya!?”

“Bukan, yah... itu sih...”

Ya, mungkin…….

“Maaf... karena aku cowok yang terlalu cabul...”

“Ka-Kamu tidak perlu minta maaf segala... aku tetap merasa senang, sih.”

Ucap Luna sambil bergidik malu.

“Tapi...rasanya masih memalukan...”

“Itu sebabnya kita tidak bisa berpegangan tangan?”

“Hmm... habisnya...”

Luna berkata sambil terlihat gelisah sekaligus malu.

“Kamu melakukannya dengan tangan itu, kan?”

“Eh!? E-Eh!?”

Secara naluriah, aku menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggungku.

“Ka-Kalau begitu, mulai sekarang, apa kamu ingin bergandengan tangan dengan tangan kiri saja?”

“Eh... itu berarti kamu beneran melakukannya dengan tangan ka-kanan?”

“Huee!? I-Iya, karena aku bukan orang kidal...”

Uooooooooooo─── pembicaraan macam apa ini!

Semakin aku berbicara, aku semakin dibuat malu sampai-sampai ingin menyembunyikan diriku!

“Aduh, malu banget... aku bingung mau lihat bagian mana dari Ryuuto...”

Apa yang kukatakan tampaknya mempunyai efek sebaliknya, membuat wajah Luna semakin memerah, dan membuat suasana di antara kami terasa seperti mustahil untuk saling bergandengan tangan.

“............”

Untuk sementara waktu, aku terpaku dalam kehawatiran dan penyesalan, tapi aku berusaha mengambil napas dalam-dalam dan mencoba mendapatkan ketenangan kembali.

Karena ini bukan jalan utama, jadi hanya ada sesekali orang yang berjalan dari arah stasiun, dan suasana di sekitar kami terasa sunyi. Aroma sup miso yang mengalir dari balik tembok blok, entah mengapa terasa begitu akrab dan memicu kerinduan akan kampung halaman.

Sedikit demi sedikit, ketenangan mulai kembali.

“......Uhmm, jadi itu berarti... masalah kecanggungan Luna tuh... akan teratasi seiring berjalannya waktu?”

Saat aku bertanya, Luna mengangguk malu-malu.

“Mu-Mungkin... Jika aku lebih sering bersama denganmu, aku merasa akan menjadi lebih baik.”

“Kalau begitu... Ayo sering-sering bertemu lagi.”

Dengan perasaan frustrasi dan keinginan untuk melakukan sesuatu, aku berkata sambil berdeham ringan.

“Uhmm... Kalau besok? Apa kamu punya rencana...?”

Karena kami masih memiliki libur ujian hingga Kamis, seharusnya Luna tidak memiliki rencana dengan teman-temannya.

“Ah...”

Namun, Luna hanya mendongak ke langit malam dan menunjukkan ekspresi yang terlihat tidak enakan.

“Besok agak sulit bagiku, maaf...”

“Jadi begitu. Karena kamu ada janji dengan Yamana-san?”

“Eh? Enggak...”

“Mau ke salon kecantikan?”

“Enggak.”

Aku mencoba menyebutkan beberapa kemungkinan jadwal yang biasa Luna miliki, tetapi dia hanya menggelengkan kepala.

“Begitu ya... Bagaimana dengan hari Selasa?”

“Eh, umm... Selasa juga, aku ada urusan sedikit.”

“Begitu rupanya. Lalu... kalau hari Rabu...”

“It-Itu juga tidak bisa...”

“Be-Begitu... Apa kamu mempunyai urusan di semua hari?”

“...I-Iya...”

Luna hanya mengatakan itu, jadi aku tidak tahu apa rencananya. Jika aku terus menanyakan hal itu, aku akan terlihat seperti cowok posesif yang ingin mengetahui segalanya tentangnya, jadi meski aku sedikit penasaran, aku harus mengalah.

“...Kalau begitu, Kamis?”

“...Maaf...”

“Hari Jumat... sudah masuk sekolah, kalau Sabtu, aku ada jadwal bimbel... Kalau hari Minggu?”

Kurasa sudah tidak ada harapan lagi, tapi Luna tiba-tiba memperlihatkan ekspresi yang terkejut ketika berpikir begitu.

“Ah, kalau hari Minggu... Jika dari pukul tiga, aku bisa.”

“Benarkah? Nah, mari kita bermain!”

Seketika itu juga, aku merasa bahagia dan suaraku terdengar bergembira.

“Ngomong-ngomong, itu Hari White Day, ‘kan? Kita mau pergi ke mana?”

Ketika aku menyadari bahwa dia mungkin sengaja menyisakan setengah hari untukku karena Hari White Day, rasa cintaku padanya semakin bertambah.

“Hmm... mungkin menonton film di bioskop?”

Luna menjawab dengan wajah sedikit bingung.

“Bioskop?”

Aku bertanya sekali lagi karena terkejut dengan jawabannya yang tak terduga.

Alasannya karena....

Ketika kami berdua baru mulai pacaran, aku sempat bertanya kepadanya ke mana dia ingin pergi pada kencan pertama kami.

─ Kencan pertama ya... mungkin menonton film?

─ Hmm? Apa itu tempat yang bagus? Apa ada film yang ingin kamu tonton? Apa Ryuuto suka film?

Aku ditekan dengan pertanyaan-pertanyaan itu..

Luna tampaknya tidak begitu tertarik dengan film, dan dia mengatakan kalau dia biasa menonton film yang ingin dilihatnya melalui saluran streaming yang dipesan oleh ayahnya.

Namun, Luna sekarang mengatakan “Aku ingin pergi menonton film.”

“Apa ada film yang ingin kamu tonton?”

Tentu saja, aku akan bertanya seperti itu.

Namun, Luna terlihat terkejut.

“Hmm, enggak ada sih... Lagipula, film apa saja yang sedang tayang sekarang? Aku akan mencarinya nanti...”

“........”

Ternyata enggak ada, toh!

Tiba-tiba, suara koreksi komika berdialek Kansai muncul dalam pikiranku.

Tapi, aku senang bisa berkencan dengan Luna dan tidak ada masalah dengan pergi menonton film, jadi kami sepakat untuk memutuskan detail seperti lokasi dan berpisah hari ini.

“......Sampai jumpa, Ryuuto.”

Luna melambaikan tangannya di depan pintu masuk rumahnya, tapi tiba-tiba, dia mengarahkan pandangannya ke atas seakan-akan dia baru kepikiran sesuatu.

Kemudian, dia dengan cepat berlari ke arahku dan berdiri di depanku yang berada di luar gerbang.

“.....? Luna...”

Ketika aku bertanya-tanya, aku memanggil namanya.

Luna yang berada di depanku, mendadak mengulurkan kedua tangannya...

“.....!?”

Dia dengan lembut memelukku.

Dengan penuh kehati-hatian, dia perlahan-lahan melingkarkan tangannya seolah-olah dia sedang berpelukan dengan pohon suci dengan rasa takut yang mendalam.

“Maafkan aku atas tindakanku yang tadi, ya ...?”

Dari wajahnya yang memerah, aku bisa melihat seberapa besar keberanian yang dikerahkan Luna untuk melakukan tindakan ini.

“Karena aku benar-benar, menyukaimu, Ryuuto... Jadi aku mohon tunggulah aku dan beri aku waktu beberapa saat.”

Dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang gemetar.

Saat dia mengatakannya, ada sesuatu yang berkilauan jatuh dari sudut mata Luna.

“Ka-Kamu kenapa!?”

Tanpa mengetahui air mata apa itu, Luna melihatku dengan wajah terkejut dan melepaskan dirinya dariku.

“Entahlah, aku tidak tahu...”

Dia mengusap air matanya dengan ujung jari sambil memiringkan kepalanya.

“Ketika aku mengatakan 'suka' kepadamu, air mata tiba-tiba keluar dengan sendirinya... Ah, lagi-lagi...”

Dia mengusir air mata yang terus mengalir, lalu Luna tersenyum dengan ekspresi yang sedikit aneh.

“Itu sama seperti lagu cinta, ‘kan? Ini benar-benar bisa terjadi... Hanya dengan mengungkapkan perasaan, aku jadi menangis...”

Dia menghirup ingus hidungnya dan Luna tersenyum lagi.

Pinggiran mata yang sedikit memerah terlihat memikat. Di bawah cahaya oranye dari lampu luar rumah, Luna terlihat sangat cantik.

Aku merasa puas dengan perasaan ini, dan aku melambaikan tangan padanya. Jika tidak, aku mungkin akan meraihnya dengan kedua tanganku dan memeluknya.

“....Minggu nanti... aku akan sangat  menantikannya.”

Aku mengungkapkannya dengan senyuman, dan Luna menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Aku juga...”

Ah, aku benar-benar mencintainya.

Aku sudah sangat mencintainya sejak dulu, tapi rasanya begitu tak terbatas.

Aku merasa seperti masih bisa mencintai Luna lebih dalam lagi.

Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan mengucapkan kata “aku mencintaimu” dalam hidupku.

Tapi sedikit-sedikit, aku mulai mengerti perasaan pria yang mengucapkannya.

Ketika aku menatap langit yang mendung dan berawan, tanpa kehadiran bulan di malam yang berkabut itu.

“...Bulannya kelihatan sangat indah, ya.”

Meski demikian, aku dengan sengaja mengatakannya.

“Eh, di mana? Aku tidak bisa melihatnya.”

Ucap Luna sambil melihat ke langit dengan ekspresi heran di matanya.

“…Di sini.”

Aku menunjukkan padanya, dan Luna tersenyum seolah-olah baru saja menyadari sesuatu.

“Ehh, maksudnya aku? Ryuuto tuh ternyata bisa mengatakan hal yang romantis juga, ya.”

Wajahnya memerah, dan Luna tersipu malu sambil tersenyum.

“Baiklah, aku pulang dulu ya.”

“Ya, sampai jumpa. Hati-hati di jalan ya.”

Kami berdua saling melambaikan tangan dengan ringan, dan aku berjalan sendirian di jalan malam.

Yang menerangi langkahku bukanlah cahaya bulan, melainkan cahaya lampu jalan. Akan tetapi, hatiku terasa penuh seperti bulan purnama.

 

 

Sebelumnya  |     |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama