BAB 1 — Tenshi-sama Yang Baru Saja Bangun Tidur
Dari sekelilingnya, dirinya bisa
mendengar kicauan burung yang merdu.
Amane, yang perlahan-lahan
sadar dari tidur lelapnya, diliputi oleh rasa malasnya sendiri, tetapi juga
memiliki perasaan kelembutan yang menyenangkan. Dirinya berhasil memaksa
kelopak matanya terbuka seraya berusaha menahan keinginannya untuk tidur
kembali.
Melalui penglihatannya yang kabur,
Amane menyadari kalau cahaya matahari pagi sudah bersinar melalui tirai yang
terbuka, dan merasakan kehangatan yang nyaman di sampingnya yang biasanya tidak
ada. Pengatur waktu yang diaturnya tadi malam telah mematikan AC, tapi perasaan
lembut di dalam pelukan Amane terasa menyenangkan baginya. Dengan kenyamanan
yang sekarang menyebar ke seluruh tubuhnya, Amane dengan lembut memeluk
bungkusan kehangatan di dekatnya. Ketia merangkulnya, dirinya memperhatikan
aroma harum di udara dan kemudian mendengar suara teredam menawan yang terdengar
semanis aromanya. Ketika ia akhirnya melihat ke dalam pelukannya, Amane melihat
aliran berwarna kuning muda mengalir di depannya, pemandangan yang tidak biasa
dilihat Amane saat bangun dari tidurnya.
Amane melakukan yang terbaik
untuk menahan keterkejutannya dan menahan suaranya. Karena Mahiru dengan lembut
tertidur di antara lengannya, Amane malah menghela nafas dalam dan diam yang
tidak bisa didengar.
…
Kalau dipikir-pikir, aku tidur dengan Mahiru kemarin.
Walaupun Amane tidak melompat
dari tempat tidur ketika mengingatnya, itu tidak mengubah tekanan pada
jantungnya yang baru terbangun. Amane merasa terkejut oleh detak jantungnya
yang keras, tetapi begitu melihat wajah Mahiru dan melihat dia tidur dengan
damai, jantungnya secara bertahap mendapatkan kembali irama lembutnya.
Amane menarik napas dalam-dalam
untuk menenangkan dirinya dan menatap wajah tidur Mahiru sekali lagi. Mahiru, yang sedang tidur dengan kepala bersandar
di lengan Amane, terlihat sangat imut dan polos sehingga ia mengira siapa
pun akan langsung jatuh cinta padanya hanya dengan melihatnya. Dia tampak begitu
lega dan gembira hingga pipinya masih rileks, memberi kesan pada Amane bahwa
dia tersenyum damai bahkan di tengah tidurnya.
…
Dia sangat imut tapi sangat tidak berdaya.
Sangat tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa di hadapannya adalah wajah tidur seorang Malaikat. Mahiru
memancarkan nuansa keindahan dan keanggunan yang luar biasa sehingga dia
benar-benar hidup sesuai dengan namanya. Namun, jika dia diberitahu demikian,
hal tersebut akan membuatnya malu dan dia akan mulai cemberut, tetapi gumaman
Mahiru yang dipasangkan dengan ekspresi cemberutnya juga merupakan sesuatu yang
disukainya. Amane mengira Mahiru pasti takkan menyadari apa pun jika dirinya
membisikkan apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
Dia
sangat menggemaskan, pikir Amane sambil terus memandang Mahiru yang
tertidur dan dengan lembut membelai kepalanya dengan tangannya yang bebas.
Sambil dengan lembut menyisir rambut halusnya, yang tampak seolah-olah lengkap
dengan lingkaran cahaya dan sayapnya sendiri, Amane dengan lembut menyesuaikan
lengannya yang lain yang sekarang mati rasa karena menjadi bantal Mahiru dengan
cara yang takkan membangunkannya. Sekarang dalam posisi yang lebih baik, dirinya
bisa lebih menghargai ekspresi tidur tenang Mahiru. Jika demi melihat wajah
tidurnya, mati rasa di lengannya merupakan bayaran kecil yang harus dibayar
untuk Amane.
Dirinya tersenyum lembut kepada
Mahiru, yang sepertinya masih belum bangun, dan saat dia membelai pipi
lembutnya dengan ujung jarinya dengan senang, dia mendengar ketukan di
pintunya.
“Amane, kamu sudah bangun belum?”
Suara di balik pintu itu adalah
suara ayahnya.
Apa
yang harus aku lakukan?
Shuuto mungkin mengetuk pintu
kamar untuk membangunkannya, tetapi jika Amane membukakan pintu sekarang, dia
mungkin akan mengganggu tidur damai Mahiru. Sangat disayangkan untuk
membangunkannya ketika dia tidur dengan sangat tenang, selain itu, Amane ingin
menatap wajah tidurnya lebih lama lagi.
Tapi sebaliknya, jika ia tidak
menjawabnya, Shuuto akan memasuki ruangan dan membangunkannya, jadi dirinya
merasa bimbang mengenai apa yang harus dilakukan. Pipi Amane langsung menegang
saat mengikuti sosok familiar ayahnya yang membuka pintu. Berbeda dengan Amane,
Shuuto melihat ke arah tempat tidur Amane dan matanya membelalak. Ia hanya
tersenyum kecil, “Oh.”
Amane langsung menyadari bahwa
ini akan menjadi bahan materi yang akan digoda Shihoko nanti, dirinya hanya
bisa pasrah dan mengangkat jari telunjuknya di depan mulutnya dengan
mengencangkan pipinya. Ssst, Amane
tidak perlu bersuara untuk menyampaikan maksudnya.
Ayahnya, yang merupakan orang
yang sangat pengertian, mengangguk pada gerakan Amane dan memberinya senyuman
penuh makna, sebelum melambaikan tangannya dan diam-diam meninggalkan ruangan.
Setelah mendengar sedikit gesekan dari kusen pintu dan suara langkah kaki yang
tertinggal, Amane menghela nafas pelan.
Aku
harap mereka tidak salah paham.
Dua kekasih terlihat tidur di
satu tempat tidur bersama, dan tentu saja, situasi seperti itu akan mengundang
kesalahpahaman. Hubungan mereka sangat sehat. Meskipun mereka berduaan di kamar
yang sama di malam hari, yang paling sering mereka lakukan hanyalah berciuman
dan berpelukan, tetapi orang tuanya belum tahu seberapa jauh kemajuan mereka.
Meski begitu, tidak ada jejak aktivitas terlarang, jadi jika Shuuto tidak
menyebutkannya maka Amane mungkin takkan terlalu malu. Tapi hal-hal yang
memalukan masih tetap memalukan.
Saat Amane membelai rambut
Mahiru sambil bersiap untuk ejekan ibunya yang tak terelakkan, tubuh halus di
dalam lengannya menyesuaikan diri, terlihat santai. Fakta bahwa Mahiru, yang
biasanya bangun pagi secara konsisten, belum terbangun dari tidurnya adalah hal
yang langka.
“...Hmmnn.”
Amane merasakan perasaan kasih sayang
mendalam kepada Mahiru saat dia membenamkan wajahnya di dadanya seolah mencari
kehangatan. Amane mengusap rambutnya saat dia tertidur, tahu bahwa jika dirinya
memeluknya karena dorongan hati, Mahiru akan bangun sepenuhnya.
AC seharusnya sudah dimatikan
sekarang, tapi Mahiru masih tidak menjauh dari Amane dan berulang kali mengusap
pipinya ke arah Amane. Dirinya penasaran apakah Mahiru kedinginan, dan
menyenggol kakinya untuk memeriksa kehangatannya. Ia merasakan suhu yang lebih
dingin daripada suhunya sendiri, jadi mungkin tebakannya tepat sasaran.
Dia
merasa dingin dengan AC yang dihidupkan tadi malam,
kenang Amane saat melingkarkan kakinya di sekitar kaki Mahiru untuk
melindunginya dari dinginnya pagi, dan dengan lembut melingkarkan tangannya di
punggungnya untuk memberikan kehangatannya secara langsung. Amane merasa senang
berbagi kehangatan dengannya, jadi dirinya memeluk tubuh lembutnya dan
merangkulnya dengan lembut, kali ini Mahiru mencondongkan tubuh ke depan dan
perlahan memalingkan wajahnya ke arah Amane.
Amane memperhatikan bahwa bulu mata
berwarna karamel Mahiru, yang tampak begitu berat dan lembab sehingga hampir seperti
mengeluarkan suara 'pluk', masih
buram saat dia menatap wajah Amane. Dengan ekspresinya yang sama kaburnya
dengan penglihatannya, Mahiru masih terlihat mengantuk, membuatnya terlihat
lebih manis dan lebih muda dari sebelumnya.
“Maaf, apa aku membangunkanmu?”
Amane tersenyum pada Mahiru
yang mengantuk di depannya dan membelai kepalanya sekali lagi, dan dia menutup
matanya lagi, kali ini dengan nyaman. Amane menggerakkan jari-jarinya di
sepanjang pipinya untuk mengekspresikan cintanya, dan Mahiru mengeluarkan
erangan manis, “Nmm~.”
…Mahiru
terlihat sangat menggemaskan saat bangun tidur.
Amane berpikir kalau Mahiru
terlihat sangat manis ketika dia sedang tidur, tetapi setelah sekitar lima
menit, matanya terbuka lebar seolah-olah baru saja bangun dari tidurnya.
Setelah memastikan dia sudah bangun, Amane mencium pipinya seraya mengucapkan “Selamat pagi,” dan menemukan Mahiru
menegang dengan cara yang menghibur dan lucu.
“…Eh, Am-Amane-kun…? Eh?
Mengapa?”
“Kamu tidak ingat? Kita
menghabiskan malam yang panas bersama.”
Amane mencoba menyebutkannya
secara ambigu dengan sengaja karena Mahiru masih mengantuk, dan pikirannya
pasti akan bingung. Ia secara teknis juga tidak berbohong. Itu bukan malam yang
panas seperti yang dia maksudkan dengan intim, tapi itu adalah malam yang panas
secara iklim, tapi untungnya mereka tetap sejuk berkat AC.
Begitu dia mendengar
pernyataannya, Mahiru menatap Amane dan langsung menjerit manis, “E-Eh?!” Dan kemudian dia buru-buru
memeriksa pakaian yang dia kenakan. Pakaiannya tampak sedikit acak-acakan,
tetapi dia tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa dia melewati batas
dengan Amane. Wajar saja begitu, karena tidak ada yang terjadi di antara
mereka.
“Aku hanya bercanda, kok. Aku
tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh.”
“Haah~, ya…”
“Yah, aku memang mencium
pipimu, sih. Baru saja.”
Amane terkekeh, mengatakan
bahwa ciuman selamat pagi itu masuk akal, dan Mahiru tersipu merah, mengatakan,
“Kamu terlalu merangsang pagi-pagi sekali.” dalam gumaman pelan, dan Amane
tertawa menanggapinya.
“… Kamu terlihat sangat nyaman
saat tidur tadi, apa kamu beristirahat dengan baik?”
Mahiru sekarang tampaknya telah
terbangun sepenuhnya dengan pikiran jernih, jadi Amane bertanya dengan lembut,
masih memeluknya. Karena malu, tatapan Mahiru berputar-putar ke segala arah sebelum
menurunkan matanya dengan malu-malu.
“…Um, dipeluk oleh tanganmu
terasa sangat menenangkan, Amane-kun.”
“Kamu tidak gugup?”
“Yah, aku gugup, sih… tapi itu
masih menenangkanku.”
Mahiru meletakkan tangannya di
punggung Amane sambil bergumam, “Bahkan sekarang, aku masih merasa malu.” Amane
berdehem, tersenyum, dan menatap wajahnya.
“Jika itu membuatmu sangat
nyaman, bagaimana kalau kamu tidur denganku setiap malam?”
“U-um, aku tidak yakin…”
“Aku hanya bercanda.”
Amane mengatakan begitu karena
mengetahui Mahiru akan gelisah, ia tidak perlu menganggapnya serius. Bahkan
untuk Amane, kewarasannya akan runtuh jika mereka tidur bersama setiap hari.
Bahkan sekarang, dirinya sudah hampir mendekati batas, tetapi Amane takut jika ia
mulai tidur di sebelahnya setiap hari, cepat atau lambat dirinya akan melakukan
sesuatu.Aku harus mengatakannya sebagai
lelucon atau aku takkan bisa menahan diri lagi, kata Amane pada dirinya
sendiri, tidak memercayai alasannya sendiri.
Kemudian, ia menyadari bahwa
tatapan Mahiru sedikit tertunduk. Amane menepuk punggungnya untuk menghiburnya,
bertanya-tanya apakah dia bertindak terlalu jauh dengan godaannya, dan Mahiru membalas
tatapan Amane. Wajahnya benar-benar merah.
“… M-Mungkin, se… sesekali saja.”
Mendengar gumamannya dengan suara kecil yang bergetar, kepala Amane menjadi
kosong sesaat. Sesekali. Membacanya, Mahiru tidak keberatan dengan tindakan tidur
sendiri. “Aku tidak keberatan dengan tidur di sebelahmu, Amane-kun.”
“Kamu serius?” Amane membalas
dengan nada terkejut.
“K-Kita adalah pasangan, jadi
menginap itu diperbolehkan, kan?”
“… Ya, memang sih, tapi…”
Mahiru sendiri yang mengatakannya,
dan Amane tidak bisa membalasnya. Bukan hal yang aneh bagi dua kekasih SMA
untuk merencanakan menginap. Mereka berdua mungkin maju dengan kecepatan yang
jauh lebih lambat dibandingkan dengan yang lain di sekitar mereka. Itsuki
sering menginap di rumah Chitose, dan ada kemungkinan besar mereka melakukan
hal-hal yang belum dijangkau oleh Amane dan pacarnya. Namun, masalahnya di sini
adalah ketika ia akan merencanakan menginap, ekspektasi tertentu akan muncul di
benaknya, meski hanya sedikit. Wajar bagi Amane untuk mengharapkan hal-hal
itu—baik sebagai laki-laki maupun sebagai pacarnya.
Wajah Mahiru langsung terlihat memerah dan matanya berkaca-kaca begitu dia menyadari apa yang dipikirkan Amane.
“Aku tidak benar-benar ingin melakukan hal seperti itu. Tapi, erm, aku
senang bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, Amane-kun.”
“…Ah. Apa begitu?”
“Nm. … Kamu tidak mau?”
“Tentu saja tidak.” Amane meredakan
kekhawatirannya. “Justru sebaliknya. Aku merasa sangat senang.”
Karena Mahiru sedang menatapnya
dengan gelisah, Amane dengan tegas menyangkalnya, tetapi desakan batinnya bocor
secara halus. Amane membelai Mahiru yang malu di kepalanya, sebagian untuk
meredam hasrat yang muncul dari dalam dirinya, tapi begitu melihat sosoknya
yang gemetaran, ia mulai merenung.
“…M-Mungkin lain kali,” Amane
mengklarifikasi.
“Erm... Ya.”
“Bagus. Sekarang sebaiknya aku
bersiap-siap. Dan aku yakin kamu juga ingin berpakaian sendiri.
“Ka-Kamu benar.”
Untuk saat ini, Amane memutuskan
untuk mengesampingkan topik tersebut. Jika ia terus-menerus memikirkannya lebih,
itu akan mengganggu aktivitasnya dengan berbagai cara. Setelah merasa sedikit tenang,
dirinya melepaskan Mahiru dari pelukannya, dan mungkin karena dia merasa malu,
Mahiru bergegas dari tempat tidurnya dengan panik dan memalingkan muka darinya.
Pada saat Amane penasaran
apakah ada yang salah, jarak antara Mahiru dan dirinya tertutup dalam sekejap. Mahiru
menganugerahinya dengan aroma manis dari aroma lembutnya dan sentuhan lembut
bibirnya. Mereka lalu dengan cepat berpisah satu sama lain, dan bukannya
bibirnya, rambut kuning mudanya dengan lembut berkibar dan menyapu pipinya.
“Kamu banyak menggodaku tadi,
jadi itu balasan dariku, Amane-kun.”
Dengan rona malu yang menyebar
di wajahnya, Mahiru bergegas keluar ruangan, rambutnya berkibar di udara saat
dia pergi.
Amane melihatnya pergi, sebelum
sekali lagi berbaring di tempat tidurnya.
Aku
tidak bisa pergi dulu sampai aku tenang.
Sekarang dengan susah payah
menyadari kejenakaan Mahiru yang tak terduga, Amane terus menatap langit-langit
sampai semua hawa panas keluar dari tubuhnya.
✧ ✦ ✧
“Selamat pagi, Amane.”
Orang tuanya sudah menunggunya
di ruang makan.
Amane mendengar suara memasak
dan melihat warna kuning muda yang sangat familiar datang dari dapur, dan
menebak bahwa Mahiru sedang membuat telur dadar yang dia janjikan padanya.
“Selamat pagi…”
“Sini, duduk, duduk.
Mahiru-chan sedang menyiapkan sarapan untukmu sekarang.”
“Oke.”
Sementara Amane sedang
menenangkan diri dan datang agak terlambat, Mahiru pasti pergi ke dapur
terlebih dahulu untuk bersiap. Semuanya terasa baik-baik saja karena dia sudah
berjanji untuk membuatkannya telur dadar, tapi selanjutnya, Amane bermaksud
menahan diri untuk tidak terlalu menggoda di pagi hari.
“Kalian sangat dekat sekali, ya?”
“Ini normal jika kamu sedang
menjalin hubungan.”
“Aku yakin itu benar, tapi
kalian lebih mirip seperti pengantin baru daripada pasangan SMA. Shiina-san sudah
mirip seperti istri muda.”
Segera setelah Shuuto
menyelesaikan kalimatnya, suara piring yang dijatuhkan bergema di ruang makan.
Untungnya tidak terdengar seperti piring pecah, tapi Mahiru pasti sangat
terkejut dengan apa yang dikatakan Shuuto sampai-sampai membuatnya menjatuhkan
piring.
“Ya ampun, kamu baik-baik saja,
Mahiru-chan?”
“Ya, piringnya tidak pecah.
Maaf aku menjatuhkannya…”
“Jangan khawatir~! Semua orang
membuat kesalahan.”
Meski orang tuanya yang jadi
penyebabnya, tapi Amane tidak berani menunjukkannya dan mengabaikan tatapan
menyeringai Shihoko. Ini adalah sesuatu yang dia pelajari selama enam belas
tahun terakhir.
Shihoko tampak sedikit tidak
puas dengan kurangnya reaksi Amane, tapi Amane merasa lega ketika mendengar
suara tenang Shuuto yang menyuruhnya untuk tidak mengolok-oloknya. Beberapa
saat kemudian, sarapan disiapkan di atas meja.
“Jadi, apa terjadi sesuatu
setelah kita keluar kemarin?”
Setelah Mahiru yang selesai
membuat telur dadar untuk Amane dan duduk untuk makan, mereka berempat mulai
sarapan. Tapi saat Amane hendak memasukkan seporsi nasi ke mulutnya, dirinya
membeku saat Shihoko mengajukan pertanyaan langsung padanya. Amane mengira
Ibunya akan bertanya tentang dirinya yang menghabiskan malam bersama Mahiru,
tapi dia pasti tertarik dengan insiden yang mengarah ke sana, jadi ini
mengejutkannya. Amane tidak bisa menjawab dengan mulut penuh makanan, jadi ia
terus mengunyah dan menjawabnya setelah menelan.
“Kenapa Ibu berpikiran begitu?”
“Sejak kita kembali, kalian
berdua bersikap sedikit berbeda. Kami pikir sesuatu pasti terjadi saat kami
pergi.”
“Kami bisa langsung tahu saat kamu
bertingkah berbeda.”
Amane mengira dirinya masih
bertingkah sama seperti biasanya, tapi sepertinya orang tuanya bisa mengetahui
ada yang janggal. Mereka memasang ekspresi khawatir, tetapi tidak ada yang perlu
mereka khawatirkan karena ia sudah mengatasinya dan melanjutkan.
“Aku pergi jalan-jalan dan
bertemu dengan Toujou, aku juga mengobrol sedikit dengannya.”
“Ah, jadi begitu… dan dari
kelihatannya, kurasa semuanya sudah berakhir sekarang?”
“Kurasa bisa dibilang begitu. Aku
pikir aku sudah melupakannya, atau lebih tepatnya, aku baru saja menyelesaikan
semuanya. Aku rasa aku takkan diganggu oleh dia dan yang lainnya lagi.”
Ketika Amane mengingat kembali
hari-hari itu, dirinya tidak lagi merasakan rasa sakit di hatinya. Bahkan
setelah bertemu dengan orang yang bisa ia gambarkan sebagai pelaku utama, pikiran
dan hatinya masih tetap tenang. Sekali lagi, Amane menyadari bahwa semua itu
berkat gadis yang berdiri di sampingnya dan dukungan terus menerus yang dia
berikan.
“Kamu telah tumbuh menjadi pria
yang baik, itu merupakan hal yang bagus.”
Shuuto tampak lega bahwa
putranya tidak lagi bermasalah. Pada saat itu, Amane sudah membuat khawatir orang
tuanya, jadi kemungkinan besar mereka masih mengkhawatirkannya sampai sekarang.
Memasuki SMA memang memberi Amane waktu untuk pulih, tapi di awal, diriny masih
mencemaskan banyak hal. Sementara Shuuto tampak lega, Shihoko sedikit terkejut
dengan penyebutan Toujou.
“Aku belum sempat melihatnya
akhir-akhir ini, tapi anak-anak di Kediaman Toujou sepertinya tidak berubah
sama sekali. Aku ingin tahu apa anak itu masih berada di tengah fase
pemberontakannya. ”
Karena kepribadian dan
pekerjaannya, lingkaran sosial Shihoko sangat besar. Mungkin dia memiliki
hubungan dengan orang-orang yang bahkan tidak bisa dibayangkan oleh Amane,
hanya saja dirinya tidak tahu. Secara alami, penduduk setempat termasuk dalam
kontak tersebut dan Shihoko pernah terlibat dengan orang tua Toujou sebelumnya.
Amane telah bertemu dengan orang tua Toujou sebelumnya, dan mengingat bahwa
mereka adalah orang-orang yang sangat baik tanpa agenda tersembunyi. Orang tua
Toujou telah meminta maaf kepadanya atas apa yang telah dilakukan putra mereka,
jadi Amane tidak pernah menentang mereka.
“Aku tidak tahu.” Jawab Amane.
“Aku tidak ada hubungannya dengan mereka dan aku juga tidak tertarik. Lagipula,
aku juga tidak akan bertemu dengannya
lagi.”
“Amane, kekuatanmu adalah bisa
merelakan dan melupakan. Jika kesepakatan kita memberimu tekanan yang tidak
perlu… aku akan merasa bersalah karena memintamu untuk datang berkunjung.”
Meskipun Amane telah berjanji
untuk menunjukkan wajahnya setiap enam bulan sekali, orang tuanya tetap sedikit
enggan untuk memintanya mengunjungi mereka karena khawatir dengan kondisi
mentalnya.
“Akulah yang memutuskan untuk
pulang… dan selain itu, aku senang bertemu dengannya di sana. Aku merasa luar
biasa sekarang karena telah mengakhiri traumaku.”
Dari sudut pandang Amane, dirinya
merasa senang bertemu Toujou di taman. Tidak salah melarikan diri dari sesuatu
yang menyakitkan dan tak tertahankan, dan jika itu akan menghasilkan
keselamatan, itu akan menjadi keputusan yang tepat untuk dibuat. Tapi kemarin,
bagi Amane, tindakannya juga merupakan cara penanganan yang benar. Lebih baik
baginya untuk mengatasinya terlebih dahulu dan menggunakan pengalaman untuk
tumbuh, daripada membiarkan masa lalu yang telah lama ia hindari terus-menerus
mengoyak hatinya.
Karena ia telah menanggung
begitu banyak, dia telah tumbuh sebagai pribadi dan hatinya sekarang tak
tergoyahkan. Amane sudah lama tidak bertemu mereka, tapi berkat Toujou dan
teman-temannya, dirinya bisa bertemu Mahiru, jadi bisa dibilang Amane sangat
berterima kasih kepada mereka. Meski tidak menyenangkan bagi mereka, dari sudut
pandang Amane, dia benar-benar berterima kasih.
Shihoko tersenyum lembut,
menyiratkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. “Anak-anak benar-benar
tumbuh tanpa terlihat, bukan? Saat itu kamu nyaris hancur, tapi sepertinya aku
tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.”
“Seperti kata pepatah, Cinta bisa
membuat orang lebih kuat.”
“Jangan lempar kalimat itu pada
kami sekarang, Ayah.”
“Tapi itu benar, bukan?”
“Yah memang sih, tapi ayolah…”
Berkat Mahiru, Amane bisa
langsung berdiri kembali dan muncul pilihan untuk berdiri sendiri sambil saling
mendukung. Karena memang benar cintanya pada Mahiru yang mendorongnya maju,
Amane tidak malu untuk mengakui bahwa itu adalah ‘kekuatan cinta’.
“Ha ha. Aku senang kamu akhirnya
menemukan seseorang yang istimewa seperti Shiina-san,” Shuuto memulai. “Sama
seperti Shihoko bagiku.”
“…Ya.” Mahiru, yang diam-diam
mendengarkan percakapan mereka, mulai menyusut karena malu. Baik Shuuto dan
Shihoko memandangnya dengan senyuman lembut.
“Pastikan untuk mengandalkan
Amane juga, Mahiru-chan! Aku khawatir karena kamu yang selalu merawatnya dengan
baik,” timpal Shihoko.
“I-Itu tidak benaar. Aku selalu
mengandalkan Amane-kun, dialah yang selalu menyemangatiku.”
Mahiru mengucapkan kata-katanya
sebagai kebenaran mutlak saat dia menatap Amane dengan malu-malu. Tapi Amane
sendiri berpikir kalau seharusnya dirinya lah yang mengatakan itu.
“Aku senang mendengarnya. Aku
yakin kamu bisa mendukung satu sama lain tanpa terlalu bergantung pada upaya
Shiina-san sehari-hari, Amane.”
“Aku tahu aku tahu. Kami akan
selalu berdampingan, jadi wajar jika kami akan saling mendukung.” Meski tanpa
diberitahu, Amane berniat untuk terus hidup berdampingan dengan Mahiru dan
hidup saling mendukung.
Amane terus-menerus didukung
oleh Mahiru, tapi itulah mengapa ia tidak ingin melupakan beban yang ia
bebankan padanya. Dirinya berusaha untuk menghindari menjadi tipe orang seperti
itu. Amane akan menjadi orang yang tidak berguna tanpa Mahiru, itu memang
benar. Tapi sebagai pria, ia tidak punya niat untuk menjadi tidak berguna. Sama
seperti Mahiru yang mendukungnya, dirinya akan terus mendukung Mahiru. Jika dia
mengalami masa-masa sulitnya sendiri, Amane akan memegang tangannya dan
menghiburnya sebanyak yang diperlukan.
Di dalam hatinya, Amane mempercayai
bahwa itulah artinya hidup bersama seseorang, dan inilah hasil dari
memperhatikan hubungan orang tuanya; Amane berharap dirinya bisa membangun
ikatan yang sama. Menemukan orang seperti itu yang ia inginkan, saling mengandalkan,
dan mendukung mungkin merupakan kebahagiaan terbesar baginya.
Amane menoleh ke samping untuk
menghadap Mahiru dan menemukannya duduk di sana, gemetaran. Dia terlihat
berusaha menahan air mata, namun sebenarnya penuh rasa malu, rasa malu Mahiru
terus meningkat dan meningkat hingga akhirnya, dia terlihat seperti akan
meledak.
Saat pandangan matanya bertemu
dengan mata Amane, dia langsung melihat ke bawah dengan malu-malu dan sangat
malu. Tapi Amane tidak mau melepaskannya, jadi dia memegang tangannya di bawah
meja. Mahiru terkejut dengan keintiman yang tiba-tiba, tetapi dengan kuat
meremas balik tangannya untuk menghilangkan keterkejutannya.
“Ya ampun, kamu kelihatan
menggemaskan banget, Mahiru-chan. Jika bukan karena pekerjaanku, aku akan sangat
memanjakanmu sepenuhnya.”
Shihoko, yang memperhatikan
ekspresi Mahiru, tersenyum lebar padanya.
Sesuai dengan kata-katanya,
jika bukan karena pekerjaannya, tidak diragukan lagi dia akan memanjakannya.
“Cepat dan pergi bekerja,
kalian berdua.”
“Jadi, kamu bisa mulai
bermesraan dengannya saat kami pergi?”
“Itu benar. Ada masalah?”
Amane menegaskan ini dengan
bermartabat. Jika tidak, apa pun yang dia balas akan mengundang lebih banyak
ejekan dari ibunya. Tangan lembut di cengkeramannya berkedut mendengar
jawabannya, tapi dia tidak melepaskannya. Amane menyimpulkan bahwa Mahiru
merasa sangat senang.
Shihoko, terkejut dengan pengakuannya
yang jujur, tertawa terbahak-bahak, “Kamu
sangat terbuka tentang itu sekarang ~” kalau Amane yang dulu, ia pasti akan
membantahnya dengan keras.
“Cerewet.”
“Itu hal yang bagus. Musim semi
juga datang untukmu, Amane.”
“Mungkin Ayah dan Ibu sudah
berada di puncak musim panas, dengan betapa bergairahnya kalian berdua.”
“Kata pasangan yang tumbuh
subur di musim panas itu sepanjang tahun. Aku tidak ingin mendengar itu
darimu.”
“Dan kamu mewarisi gen kami
itu. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi musim panas yang abadi~”
Melihat ekspresi Shuuto dan
Shihoko, Amane sangat terkejut dan malu melihat ibunya memberi selamat kepada
mereka sambil tersenyum riang, tetapi karena Mahiru tampaknya tidak
mempermasalahkannya, dirinya hanya bisa pasrah pada takdirnya dan memalingkan
wajahnya.
✧ ✦ ✧
Setelah orang tuanya berangkat
kerja, Amane dan Mahiru duduk berdampingan di tempat tidurnya untuk sementara
waktu. Meski mereka berduaan di kamar Amane, jarak mereka sama seperti
biasanya. Meski begitu, Mahiru sedikit canggung, dan jelas bagi Amane bahwa dia
bertingkah sedikit peka terhadapnya. Dia melirik Amane sebentar, dan ketika
tatapan mereka bertemu, pipinya langsung memerah, jadi Amane juga merasa
sedikit gelisah melihatnya.
“Um, maksudnya bermesraan…”
Setelah membuat dan memutuskan kontak mata berulang kali, Mahiru akhirnya
bertanya dengan nada tenang. Terbukti, kata bermesraan telah membanjiri
pikirannya, dengan pipinya yang sudah memerah kini semakin memanas.
“Hm? Ah, aku tahu jika aku
memberitahu orang tuaku, mereka tidak akan mengorek lebih dari yang dibutuhkan.
Mereka hanya akan mengolok-olokku jika aku menyangkalnya.”
“Yah, mungkin begitu… tapi
dengan kata lain, kamu tidak benar-benar ingin melakukannya…?”
“Yah, erm… aku pasti mau.”
Amane menjawab dengan cara yang menegaskan kata-kata orang tuanya, tapi Amane
benar-benar hanya ingin bermesraan Mahiru sebanyak yang ia bisa, jika dia
mengizinkannya.
Mahiru mengangguk dengan suara
lemah, berkata, “…Y-Ya,” yang
membuatnya bertanya-tanya apakah dia terlalu agresif tentang hal itu. Meski
begitu, Mahiru mundur karena malu. Amane terkekeh, berpikir bahwa Mahiru
menjadi salting di dekatnya.
“Jika kamu tidak mau, maka itu
juga tidak masalah.”
“Tentu saja tidak. Mana mungkin
aku akan menentangnya. Selama itu bersamamu, Amane-kun, erm, aku mau bermesraan…
dengan cara apapun yang aku bisa.”
“Jadi begitu.”
“Tapi … bagaimana tepatnya aku
harus bermesraan denganmu?”
Keheningan menyelimuti mereka
setelah kata-kata Mahiru. Amane merasakan déjà vu, dan seperti terakhir kali
mereka mengajukan pertanyaan itu, dia tidak yakin jawaban apa yang harus
diberikan, dan dia bingung sekali lagi.
“Mungkin … berciuman.”
“Berciuman…?”
“… Juga berciuman.”
“Itu semua hanya ciuman.”
“Y-Yah, untuk lebih
spesifiknya, hal-hal seperti berpegangan tangan dan berpelukan… tapi kita sudah
melakukan itu.”
Amane tidak tahu persis apa yang
harus dilakukan jika harus bermesraan dengan sengaja. Karena mereka memiliki
hubungan yang sangat baik, Amane melakukan hal-hal itu secara tidak sadar
dengannya bahkan sebelum mereka mulai berpacaran. Ia pikir tetap berhubungan
dekat dengan seseorang itu menggoda, dan berciuman mungkin termasuk dalam
kategori yang sama, tapi Amane tidak yakin apakah sesederhana itu.
Jika mereka lebih banyak
bermesraan, itu tidak akan menjadi sesuatu yang akan dilakukan seseorang di
rumah orang tua mereka, dank arena Amane sudah mendedikasikan dirinya untuk
menghargainya, Amane tidak akan merusak perjalanan mereka dengan hawa nafsu
sesaatnya.
“Apa langkah selanjutnya jika
kita ingin lebih bermesraan?” tanya Mahiru.
“… Untuk saat ini, haruskah
kita saling berpelukan?”
Amane menyarankan tindakan yang
menenangkan namun merangsang, yang bukan sesuatu yang baru bagi mereka, dan
sebagai tanggapan, dia menerima balasan yang tenang, “…Y-Ya.”
Mahiru ragu-ragu mencondongkan
tubuh ke arahnya, dan Amane mengulurkan tangannya dan membungkusnya di belakang
lutut dan punggungnya sebelum mengangkatnya dengan lembut.
“Hyah~!”
Suara bernada tinggi menggemaskan
yang dia keluarkan menyebabkan Amane tersenyum, dan ia menempatkan Mahiru di
antara kedua kakinya, sekarang duduk bersila di atas tempat tidur.
“Aku lebih suka seperti ini,”
goda Amane.
“…Nm.”
“Kamu tidak menyukainya?”
Amane bertanya pada Mahiru,
yang tubuh rampingnya sekarang menyusut, dan dia dengan santai menggelengkan
kepalanya.
“Bukan begitu. Hanya saja… erm, saat aku
ditaruh seperti ini, aku merasa seperti terbungkus olehmu, Amane-kun…”
“Lalu, gimana kalau aku benar-benar
membungkusmu seperti yang kamu katakan?”
Kali ini Amane memeluk Mahiru,
dipimpin oleh undangannya yang manis dan menggoda, dan merangkulnya erat-erat.
Mahiru segera berbalik menghadapnya dengan pipi memerah dan mata sedikit
berkaca-kaca. Meskipun tidak berusaha untuk menyanjungnya, Amane menemukan
kecenderungan pemalu Mahiru agak menawan, terutama ketika dia tersipu oleh hal
sekecil apa pun.
Sudah sekitar dua bulan sejak
mereka mulai berkencan, tapi dia masih belum terbiasa dengan kontak fisik, jadi
rasa malunya bisa dimengerti olehnya. Tapi Amane juga sama persis, dan meskipun
ia berusaha untuk tidak menunjukkannya di wajahnya, ia tidak bisa menghentikan
jantungnya yang berdetak kencang saat bersama Mahiru.
Jika Mahiru meletakkan
telinganya di dadanya dan mendengarkan detak jantungnya, dia akan segera tahu
seberapa cepat jantung Amane berdebar. Amane akan malu setengah mati jika Mahiru
menyadarinya, jadi meskipun Mane mencoba bersikap tenang, ia meletakkan
bibirnya di belakang kepala Mahiru, berharap dia tidak bisa mendengar detak
jantungnya.
“… Itu hanya pelukan.”
“Mm, aku tahu. Aku senang, tapi
aku juga senang. Aku suka saat kam memelukku.”
“Begitu. Aku akan melakukannya
kapan pun kamu mau.”
Sementara Amane memeluk tubuh
rampingnya dan berbisik di telinganya, Mahiru menggeliatkan tubuhnya dengan
cara yang mudah dimengerti. Titik lemah Mahiru ditemukan oleh Amane; ia dengan
cepat menyadari telinganya yang sangat sensitif dan tertawa kecil.
Mahiru mulai menggigil melihat
gerakannya dan kembali menatapnya dengan tajam. Tatapan matanya sedikit basah
oleh air mata, dan Amane tidak dapat menyangkal bahwa dia bertindak terlalu
jauh.
“… Amane-kun.”
“Maaf, maaf.”
“Ka-Kamu tahu aku lemah saat
digelitik…”
Bibir Mahiru cemberut dan tatapannya
sedikit merajuk.
“Aku akan memberitahumu cerita
memalukan yang kudengar tempo hari, Amane-kun.”
“Ups, itu tidak baik.”
Amane mungkin akan menggeliat geli
kesakitan jika Mahiru membisikkan cerita masa kecilnya di telinganya, jadi ia
berhati-hati untuk tidak menggodanya terlalu banyak. Amane tidak tahu persis ke
mana harus menyentuhnya atau seberapa jauh dirinya bisa menyentuhnya, jadi dia
mencoba membelai, memegang tangannya, dan mencium bagian belakang kepalanya,
tetapi Amane masih merasa sedikit tidak puas. Ia tidak tahu apa itu, tapi ada
bagian dalam dirinya yang mengeluh itu tidak cukup.
Selain itu, meskipun ia menjaga
kewarasannya untuk saat ini, Amane menjadi gugup karena dirinya bisa saja kehilangan
akal sehatnya dan bertindak terlalu jauh setiap saat. Amane ingin lebih menyentuhnya
dan mengalami kelembutannya. Ia benar-benar menginginkannya, tapi ia hanya bisa
melakukannya sejauh ini dengan kontak fisik terbatas sambil menjaga dirinya
tetap rasional, jadi dia membatasi tindakannya hanya dengan memberikan sentuhan
lembut. Amane tidak yakin apakah itu karena malu, tapi telinga Mahiru berwarna
merah saat dia menyerahkan diri padanya.
Dia
sangat imut.
Amane sering berdekatan dengan Mahiru,
tapi akhir-akhir ini Mahiru semakin malu dengan kontak fisik mereka. Awalnya,
Amane lah yang pertama kali merasa malu, namun ia merasa belakangan ini peran
mereka terbalik.
“Amane-kun… tanganmu besar
sekali.”
“Hm? Aku cukup tinggi, jadi
wajar saja kalau tanganku juga besar.”
Tangannya cukup besar dan
begitu pula telapak tangannya. Sehubungan dengan tangan Mahiru, ukuran tangan
Amane jauh lebih besar, jadi ketika mereka berpegangan tangan, perbedaan
ukurannya jadi lebih menonjol, membuat tangan Mahiru terlihat kecil jika
dibandingkan.
“Aku suka tanganmu, Amane-kun…
Aku suka saat disentuh olehnya.”
“Aku akan lebih sering menyentuhmu
jika kamu terus mengatakan hal semacam itu.”
Amane ingin memaksanya untuk
lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu yang berbahaya, tetapi Mahiru
tampaknya tidak memahami maksudnya. Jika dia pernah salah memahami
kata-katanya, alasannya mungkin akan mengecewakannya.
Mahiru, yang tidak menyadari
gejolak batinnya, diam-diam bergumam pelan.
“Aku tidak keberatan jika kamu menyentuhku.”
Jika
dia tidak memperhatikan kata-katanya, dia akan berada dalam masalah besar, atau
begitulah pikir Amane. Dirinya hanya bisa menghela nafas pada ungkapan imutnya,
dan perlahan menelusuri pusar Mahiru dengan ujung jarinya, tepat di bawah
pusarnya. Merasa geli, Mahiru menggoyang-goyangkan tubuhnya karena gerakan
tangannya, tapi Amane tidak memedulikannya. Tangannya terus naik ke atas
perutnya dengan kecepatan yang mengejutkan dan menghentikan tangannya tepat sebelum
memanjat dua gunung kembarnya.
“Jika aku mempercayai kata-katamu,
kamu tidak keberatan bahkan jika aku naik lebih jauh, kan?” ucap Amane dengan
tangannya di bawah dada Mahiru, memberinya peringatan terakhir dan permintaan
persetujuan.
Dirinya masih belum mendaki
gunung dulu, tapi mendaki dan menaklukkan akan menjadi tugas yang mudah bagi
Amane. Faktanya, telapak tangan Amane sangat besar sehingga bisa dengan mudah
mencakup bahkan tanjakan terjal di puncak kembar Mahiru.
Seketika itu juga, wajah Mahiru
langsung kepanasan mendengar pertanyaan Amane dengan momentum yang membuatnya
bertanya-tanya apakah dia akan mulai mengeluarkan uap dari dalam pelukannya.
Saat dia berbalik, Amane
melihat pipinya mirip dengan gurita rebus, tapi sekali lagi, ia tidak memedulikannya.
Amane tidak hanya tersenyum padanya, tetapi juga menawarkan ciuman ke pipinya.
“Melakukan hal seperti ini juga
bagian dari bermesraan.”
“…E-Erm, Amane-kun…”
“Ketika aku mengatakan aku tidak
tahu bagaimana cara bermesraan, itu karena aku tidak melibatkan hal-hal semacam
ini.”
Amane bertanya-tanya apakah
pasangan akan berkembang sejauh ini hanya dalam dua bulan, jadi dirinya menahan
diri untuk tidak menyebutkan hal itu. Ia bermaksud menghormati kehendak Mahiru.
“Aku pernah mengingatkanmu
sebelumnya bahwa aku juga laki-laki, jadi kamu harus berhati-hati. Aku
benar-benar akan menyentuhmu.”
“Uuugh~ …ta-ta-tapi wajahmu
juga sangat merah. Memangnya kamu benar-benar melakukannya, Amane-kun?”
“Berisik.”
Secara alami, Amane tahu kalau
wajahnya sudah merah padam, dan sadar bahwa semua yang dikatakannya sangat
memalukan. Meski begitu, ia tidak punya pilihan selain mengatakannya. Jika dia
tidak mengatakannya dengan jelas, ada kemungkinan Mahiru akan salah paham.
Dirinya tahu kalau hal itu diperlukan.
Setelah hening sesaat mendengar
kata-kata Amane, Mahiru dengan santai melepaskan pengekangannya dan menepis
tangannya. Menyadari bahwa dia ditolak, Amane tersenyum pahit, namun Mahiru
berbalik dan melemparkan dirinya ke dalam pelukannya. Sentuhan lembut dan aroma
manisnya diberikan kepada Amane, dan dia terus memeluknya erat-erat, semakin
meningkatkan efek aroma mempesona dan kulitnya yang halus.
“Jika kamu benar-benar ingin
menyentuh… Amane-kun, aku akan malu, tapi… A-Aku akan menerimanya.”
Dia menatap Amane dengan
ekspresi lucu dan polos di wajahnya, suaranya dan kata-katanya terdengar lembut.
Melihat hal ini, Amane menjadi kaku, tapi ini adalah sesuatu yang harus ia
lakukan.
Mahiru terus menatapnya setelah
menyampaikan kata-katanya. Menawan dan menggemaskan, pernyataan Mahiru membuat
pikiran Amane kosong. Saat Mahiru terus menatapnya dengan campuran rasa malu, cemas,
dan sedikit harapan, dia sangat mempercayai Amane dan akan menerima apa pun
yang ia ingin lakukan.
Amane sangat menyadari dengan
jelas dari nada, ekspresi, dan suasana di ruangan itu bahwa Mahiru benar-benar
mencintainya bahkan sampai sejauh itu. Bahkan jika Amane mendorongnya ke bawah
saat itu juga, Mahiru akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
Ekspresi wajah, sikap, dan
suaranya semuanya menegaskan bahwa dia sangat percaya dan mendukungnya. Mahiru
mempercayakan dirinya pada Amane, tubuhnya, pikirannya, dan semua yang dia wujudkan
diserahkan di hadapannya. Amane terlambat bertindak, tetapi akhirnya mulai
menggerakkan tubuhnya.
Hal pertama yang dilakukan
Amane adalah mencium Mahiru.
Ia merasakan kelembutan bibir
Mahiru, lebih halus dan lembab daripada miliknya, dan merasakan kelembutan mengalir
di dalam dirinya saat memegang erat tubuh rampingnya.
Meski tidak dengan sentuhan
langsung telapak tangannya, Amane sempat merasakan kelembutan dadanya yang
kenyal nan empuk sebelum melepaskan tangannya dengan lembut. Amane kemudian
membenamkan wajahnya jauh ke dalam leher Mahiru. Mulutnya berkedut saat dia melihat
pipinya tampak merah erona.
“…Aku baik-baik saja, aku akan
meninggalkan sisanya untuk nanti.”
Berpikir bahwa dirinya mungkin
takkan bisa menghentikan dirinya sendiri, Amane mematuk leher putih pucat
Mahiru.
Amane tidak ingin meninggalkan
bekas, jadi ia tidak melangkah lebih jauh, dan terus membenamkan wajahnya di
lehernya sampai ia bisa menelan hasratnya yang meningkat.
✧ ✦ ✧
“Mahiru-chan? Wajahmu kelihatan
merah banget, apa ada yang salah?”
“Tidak, bukan apa-apa…”
Orang tua Amane, yang memiliki
profesi dan tempat kerja berbeda, kembali ke rumah bersama dan memiringkan
kepala dengan penasaran begitu mereka melihat Mahiru.
Mahiru sedang duduk di sofa di
ruang tamu dengan wajah yang tersipu. Alasannya mungkin karena Amane telah
berciuman dan bergandengan tangan dengannya sebelumnya. Amane tidak menyerangnya, tapi dari sudut pandangnya,
itu mungkin sama tak tertahankan. Amane menganggapnya sebagai tanda
kebahagiaannya karena dia terlihat gembira tapi malu.
“Amane, apa kamu…?”
“Aku bersumpah aku tidak
melakukan apa pun padanya.”
Amane hanya memberinya pelukan
dan tidak lebih dari sentuhan ringan. Meski begitu, Mahiru masih pendatang baru
dalam masalah cinta dan rayuan berat, itulah sebabnya kemampuannya terlampaui
hanya sebatas itu, masih lugu seperti biasa. Amane tidak bisa menyebutkan hal
tersebut karena dirinya hampir sama. Satu-satunya perbedaan di antara mereka
terletak pada kecepatan mereka pulih dari rasa malu.
“Mana mungkin kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu sudah menjelaskan
kalau kamu ingin bermesraan, ingat?”
“Aku bermesraan dengan sehat.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Kamu benar-benar terbuka
tentang itu sekarang.”
“Berisik.”
“Lihatlah, kamu juga jadi
licik. Aku juga ingin bermesraan dengan Mahiru-chan.”
“Manada. Mahiru adalah milikku.”
“Wah, astaga.”
Jika ia menyerahkan Mahiru
padanya, Ibunya akan mulai memonopolinya sepanjang waktu, yang membuatnya
frustrasi. Dia berada dalam penjagaannya, tetapi bahkan Mahiru akan lelah
karena terlalu lama bersama ibunya, jadi Amane merasa cemas menyerahkan Mahiru
kepada Shihoko.
“Milikku…,” Mahiru
merenungkan ungkapan Amane dan dia mulai semakin tersipu, membuat Shihoko
tersenyum lebih lebar.
Shuuto yang mendengarkan percakapan
mereka bertiga, melontarkan senyumnya sendiri saat melihat pipi Mahiru yang
memerah dan Shihoko yang berseri-seri.
“Kalau begitu, bagaimana kalau
kita pergi ke suatu tempat sebagai keluarga?”
“Eh?” Amane menjawab tanpa
sadar.
“Ingat, Shiina-san bilang dia
ingin pergi dengan semua orang, bukan?”
Amane sudah memberitahu orang
tuanya bahwa Mahiru ingin pergi dengan semua orang, tetapi Mahiru sepertinya
tidak mengharapkan mereka untuk mengungkitnya, dan matanya yang berwarna karamel
berbinar.
“Pada hari libur kita berikutnya, kamu dan
Shiina-san masih akan berada di sini, jadi ayo kita pergi, Amane.”
“Benar, itu ide yang bagus dan mumpung
kita punya kesempatan, jadi kita semua harus pergi bersama! Atau kamu tidak
mau?”
“K-Kami akan melakukannya!”
“Kalau begitu sudah diputuskan.”
Mahiru sedikit tercengang
karena perencanaan yang tiba-tiba dan Shihoko dengan bersemangat berbicara
dengan Shuuto, “Kemana kita harus pergi!?” Mahiru ingin pergi jalan-jalan
sebagai sebuah keluarga, tapi sepertinya dia merasa bahwa dia menyusahkan orang
tua Amane untuk itu, itu sebabnya dia terlihat merasa tidak enakan.
…Baik
Ibu dan Ayah benar-benar ingin pergi keluar dengannya. Mereka berdua
benar-benar menyayanginya.
Tak satu pun dari mereka yang
akan memilih untuk menghabiskan waktu dengan seseorang yang tidak mereka sukai,
bahkan jika Amane yang meminta mereka melakukannya. Fakta bahwa Mahiru diundang
dan diizinkan masuk ke rumah mereka adalah bukti yang cukup dari kesukaan
mereka padanya. Selain itu, karena orang tuanya yang memintanya untuk pergi
keluar, tidak ada gunanya bagi Mahiru untuk mengkhawatirkannya.
“Kamu harus bersiap untuk yang
terburuk, Mahiru. Mereka pasti akan menyeret kita ke tempat-tempat aneh.”
“Tidak, aku merasa bersyukur
dan bahagia untuk ini. Aku belum pernah pergi bersama seperti keluarga
sebelumnya…”
Mungkin mengingat masa
kecilnya, Mahiru memusatkan pandangannya ke bawah, menunjukkan senyum lembut
yang menegaskan kesepiannya. Menjaga bahasa tubuhnya yang biasa, Shihoko lalu
duduk di sofa di sebelah Mahiru, yang berseberangan dengan Amane.
Shihoko memeluknya dan menepuk
kepalanya,
“Kamu adalah bagian dari
keluarga kami sekarang, jadi aku bisa memanjakanmu sesuai keinginan hatimu.”
“Kamu bahkan mencintainya lebih
dari putramu.”
“Aduduh, apa kamu cemburu?”
“Aku tidak keberatan. Tidak
ketika itu membuat Mahiru sebahagia ini.”
Mahiru sangat disayang dan
dimanja oleh Shihoko, dan dia terlihat sangat malu, meninggalkan ketegangan
yang dimilikinya. Ini adalah bukti lebih lanjut bahwa Mahiru tidak jujur pada
dirinya sendiri.
Sebagai seseorang yang senang
dengan Mahiru dan ingin dia mewarisi nama Fujimiya di masa depan, Amane senang
karena orang tuanya memihak padanya. Meski dirinya merasa campur aduk dengan
kontak fisik mereka yang intens, terutama milik ibunya.
“Kamu sudah tumbuh dewasa, ya.”
“Apa Ibu sedang
mengolok-olokku?”
“Tidak, bukannya begitu. Aku
senang kamu tumbuh menjadi pria yang bisa membuat orang yang kamu cintai
bahagia, dan merayakan kebahagiaan mereka.”
“Apa yang kamu katakan
tiba-tiba …”
“Yah, memang benar tidak banyak
orang yang seperti itu. Kamu benar-benar anak kami, Amane.”
“Ya, ya.”
Wajar jika orang mengharapkan
kebahagiaan bagi orang yang mereka sayangi. Jika mereka bisa tersenyum tanpa
syarat, maka itu merupakan hal yang terbaik. Bagi Amane, ia ingin menjadi orang
yang membuat Mahiru bahagia. Dirinya hanya berharap untuk kebahagiaannya.
Melihat Mahiru saat dia dengan malu-malu berjuang sambil dibelai oleh Shihoko,
Amane dengan tenang mengendurkan mulutnya dan menunjukkan seringai penuh kasih
sayang.