BAB 2 — Basah Kuyup Memiliki Keuntungan Tersendiri
“Amane-kun, kamu mau kemana?”
Mahiru memperhatikan kalau
Amane sedang berada di pintu depan bersiap untuk keluar dan memanggilnya.
Waktunya sudah lewat jam tiga sore, sedikit terlambat bagi Amane untuk memutuskan
keluar, kemungkinan alasan mengapa Mahiru keluar untuk bertanya padanya.
“Hm? Ah, aku cuma mau mampir ke
supermarket. Ibu memintaku untuk berbelanja.”
Amane tidak ingin keluar hanya
untuk berbelanja. Beberapa saat sebelumnya, ibunya telah mengiriminya pesan di
ponselnya. Dia menyebutkan bahwa dia dan Shuuto akan pulang terlambat hari ini
dan mereka tidak punya waktu untuk berbelanja, jadi dia meminta Amane untuk
membeli beberapa bahan yang dia butuhkan.
“Yah, aku tidak keberatan sih
karena aku tidak sibuk atau apa pun, tapi aku lebih suka diberitahu itu di pagi
hari.”
Mahiru hanya berkata, “Begitu,” sebagai tanggapannya dan
kemudian dia berlutut di samping Amane saat ia mengikat tali sepatunya. Rumah
Amane memiliki cermin yang dipasang di dinding pintu masuk dan tergambar dalam
pantulannya adalah rambut Mahiru yang berkibar-kibar dan gambaran dirinya yang
mencoba yang terbaik untuk memperbaikinya. Dan berkat itu, Amane tahu bahwa
Mahiru sedang merapikan rambutnya dengan sisir dan berniat pergi bersamanya.
“Tidak, aku sedang terburu-buru
dan belanjaan yang dibeli juga tidak banyak. Ini bukan masalah besar jadi aku
akan baik-baik saja sendiri. Kalau dilihat dari cuacanya, sepertinya sebentar
lagi akan turun hujan jika kita keluar terlalu lama, dan bahkan jika matahari
bersinar, aku tidak ingin membawamu keluar dalam cuaca panas untuk sesuatu yang
begitu sepele.”
Amane menolak tawaran bantuan
Mahiru, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk pulang segera setelah
menyelesaikan tugasnya, jadi akan lebih cepat baginya untuk pergi sendiri;
meskipun ia tidak yakin apakah itu ide terbaik. Amane lalu menatap Mahiru dan
berkata, “Oh, bukannya aku tidak ingin pergi bersamamu.”
“Ya aku tahu. Aku hanya
berharap aku bisa pergi keluar denganmu.”
“…Kita akan pergi kencan lagi,
oke?”
Lagi pula, Amane berencana
untuk segera berkencan dengannya, dan karena wanita perlu mempersiapkan diri
dengan hati-hati saat berkencan, menurutnya tidak adil untuk menyeretnya keluar
dalam waktu sesingkat itu.
“Kalau begitu, aku akan
menunggumu pulang.”
“Oke.”
Amane mengangguk pelan,
mengganti sepatunya, dan berjalan keluar dari pintu depan.
✧ ✦ ✧
Amane sekarang mulai menyadari
bahwa tidak membawa Mahiru bersamanya adalah penilaian yang baik.
“Haah~, sudah kuduga bakalan turun hujan.”
Amane mengantisipasi awan yang
mendung, tetapi seperti sudah ia
perkirakan, hujan dengan cepat mulai turun dan pakaiannya basah kuyup dan awan
mendungnya tetap lebih gelap daripada saat dirinya berangkat. Kain yang
menempel di tubuhnya menyebarkan kelembapan di kulitnya, yang sangat mengganggu
Amane.
Mencoba meringankan dirinya
sendiri, Amane menggenggam pakaiannya dan dengan ringan mengibas-ngibaskannya.
Untungnya, bahan-bahan yang hendak dibelinya terbungkus dalam bungkus plastik
tahan hujan, jadi hanya pakaiannya saja yang terkena, tapi saat tiba di rumah,
Amane benar-benar basah kuyup.
Sebelum memasuki pintu depan, ia
dengan ringan mengusap poninya yang menghalangi pandangannya, menyebabkan air
terus menerus jatuh dari pakaiannya ke tanah. Amane memastikan untuk memeras
air di luar, atau ia akan menyesal telah mengotori lantai rumahnya.
“Selamat datang kembali,
Amane-kun. Hujannya cukup deras, bukan?”
Amane mendesah pada dirinya
sendiri dan segera menyadari suara sandal yang mendekat. Mahiru berlari ke
arahnya melalui pintu, melebarkan matanya karena terkejut saat melihatnya. Mahiru
mungkin tidak mengira kalau Amane akan begitu basah kuyup. Dia memegang handuk
kecil di tangannya, tetapi itu pun tidak cukup untuk mengeringkan badan Amane
dengan benar.
“Aku pulang, aku tidak
menyangka kalau hujannya bakal turun begitu deras. Itu mungkin cuma hujan yang
lewat, tapi ternyata itu jauh lebih deras dari yang kuduga.”
“Aku berharap cuacanya akan
bertahan sampai kamu kembali… Pokoknya, kamu harus mandi dulu. Aku sudah
menyiapkannya untukmu.”
“Ah, terima kasih.”
Amane tidak tahu apakah dirinya
merasa lega atau senang. Ia merasakan nuansa khas rumah tangga yang aneh pada
kenyataan bahwa Mahiru mengatakan kalimat seperti itu secara alami, dan menjadi
gelisah memikirkan tentang suasana pengantin baru yang diberikannya.
“Sesuatu yang begini rasanya tidak
terlalu buruk juga.”
“Hm?”
“Rasanya begitu menyenangkan
melihatmu menyambutku pulang seperti ini dengan mandi yang sudah disiapkan.”
Kedua orang tuanya adalah
pekerja keras, jadi Amane jarang mengalami saat-saat seperti ini, tapi karena
ini adalah adegan umum dalam manga dan drama yang ia lihat, jadi Amane
diam-diam iri pada mereka.
Amane bisa merasakan
kebahagiaan memiliki keluarga, dan rasanya begitu manis, tetapi pada saat yang
sama, kehangatan dan rasa asin dari sinar matahari musim semi meresap ke dalam
hatinya. Itu karena Mahiru merupakan seseorang yang ingin Amane hargai selama
sisa hidupnya sehingga ia mengalami kesenangan dan kesukaan ini pada semua yang
Mahiru lakukan untuknya.
Dirinya lalu tersenyum pada
Mahiru, yang tersentak dan menyusut ke belakang dengan pipi memerah, dan
berkata, “Kalau begitu, aku akan mandi sekarang, terima kasih,” dan menyelinap
melewatinya.
✧ ✦ ✧
Ketika keluar setelah selesai
mandi, Amane melihat Mahiru sedang duduk di sofa ruang tamu, menunggunya. Di
tangannya ada pengering rambut. Mereka juga memiliki pengering rambut di kamar
mandi, tapi, tampaknya sebagai persiapan agar Amane keluar tanpa mengeringkan rambutnya,
Mahiru sudah menyiapkan pengering rambutnya sendiri.
Amane merasa malu karena
gampang sekali ditebak, tapi juga senang karena Mahiru memahaminya dengan
sangat baik. Amane lalu diam-diam mendekatinya, menutupi rasa malunya dengan
udara dingin yang bertiup ke seluruh ruangan.
“Aku suka merasakan AC setelah
mandi air panas.”
“Rasanya bikin mendingin tubuh
‘kan, tapi harap berhati-hati agar tidak masuk angin. Sini, duduklah.”
“Tapi aku tidak keberatan.”
“Jika tidak, rambutmu akan
rusak dan sakit.”
Mahiru kemudian berdiri di
belakangnya dan menggunakan handuk untuk menghilangkan kelebihan air yang masih
ada di rambutnya. Amane merasa geli akan hal ini, tapi tidak secara fisik
maupun mental.
“Kamu benar-benar tidak bisa
memperbaiki kecerobohanmu ini ya, Amane-kun? Kamu bahkan kadang-kadang keluar
dari kamar mandi tanpa baju.”
“Karena rasanya sangat panas…
aku akan memakainya dengan benar di musim dingin.”
“Itu hanya karena itu akan
menjadi dingin. Bahkan sekarang, kamu harus segera mengenakan baju sebelum
masuk angin. Aku tidak akan mengizinkannya selama mataku masih hitam dan tetap
melihatnya.”
Amane menelan pikiran batinnya,
'mata Mahiru berwarna karamel, apakah dia
berencana untuk tinggal bersamaku selama sisa hidupnya?' dan hanya berkata,
“Aku akan berhati-hati,” tidak mendesak lebih jauh. Lagi pula, diurus adalah
perasaan yang agak menyenangkan baginya. Meskipun dirinya merasa kasihan pada
Mahiru, Amane masih ingin agar dia tetap mengeringkan rambutnya karena rasanya
enak dan menyegarkan.
Setelah menyerap sebagian besar
air dengan tangan yang mantap, Mahiru menggunakan pengering rambut yang sudah dia
siapkan dan meniup rambut Amane dengan udara hangat. Sambil mengeringkannya,
Mahiru sangat memperhatikan Amane dan rambutnya. Ini wajar saja karena Mahiru
merawat rambutnya dengan hati-hati setiap hari. Karena Amane tidak suka jika
rambutnya diacak-acak, ini adalah pertama kalinya dia benar-benar merasa nyaman
dengan seseorang yang sedang mengeringkan rambutnya. Sejal awal Amane suka
dibelai oleh Mahiru, jadi sepertinya, itu hanya masalah memilih orang yang
tepat untuk disentuh.
“Tidak adil rasanya rambutmu bisa
sehalus ini, padahal kamu tidak merawatnya dengan baik, Amane-kun.”
Mahiru bergumam kerasa diiringi
suara pengering rambut.
“Masa? Yah, memang benar aku
tidak merawat rambutku secermat kamu, Mahiru. Ini lebih dekat dengan
pemeliharaan normal.”
“Kupikir rambutmu terlihat
halus alami seperti sutra. Shihoko-san dan Shuuto-san juga terlihat memiliki
rambut yang halus dan indah.”
“Yah, orang tuaku memastikan
untuk menjaga penampilan mereka dengan baik. Tapi kalau kamu, Mahiru,
sepertinya kamu berusaha keras, rambutmu selalu terlihat sangat halus dan
berkilau.”
Hanya dengan melihatnya saja,
Amane berpikir bahwa standar penataan rambut Mahiru adalah hasil dari banyak
upaya keras di belakang layar. Amane sering membelai rambut kuning muda Mahiru
dan merasakannya agak lurus, tipis, nyaman, dan lembut saat disentuh. Rambut
tipis seperti miliknya cenderung mudah kusut, tetapi karena perawatan dan perhatiannya
terhadap detail, dia tidak pernah melihatnya kusut atau bercabang.
Ia melihat bahwa rambut Mahiru
hanya dibentuk menjadi garis-garis yang indah dan seragam, digambarkan dengan
begitu anggun dan menawan sehingga bisa membuat siapa pun menatap dengan heran.
“Kalau aku sih lumayan rumit
karena rambutku sepanjang ini, jadi aku harus menghabiskan banyak waktu untuk
merawatnya.”
“Yah, karena rambutmu sepanjang
itu, tidak mengherankan kalau memakan banyak waktu. Apa boleh buat, ‘kan.”
“Aku merenungkan dan mengurus
hal-hal lain sambil merawatnya, tetapi memang benar kalau itu menghabiskan
banyak waktu dan tenaga. Terkadang, aku berpikir untuk memotongnya jadi sedikit
lebih pendek. Mana yang kamu pilih, Amane-kun, lebih bagus yang pendek atau
panjang?”
“Aku tidak memiliki selera
tertentu, karena dua-duanya pasti akan terlihat manis untukmu. Aku ingin
melihatmu menikmati gaya rambutmu, jadi aku akan senang jika kamu mempertahankan
panjang rambut yang ingin kamu jaga.”
Lagi pula, tidak terlalu aneh
bagi wanita untuk berdandan murni sesuai dengan preferensi pria, dan banyak
yang menumbuhkan rambut mereka dengan panjang tertentu hanya karena mereka
menyukainya.
Jika benar satu kata dari Amane
bisa mengubah gaya rambut Mahiru, Amane akan tersentuh melihat Mahiru mencoba
yang terbaik untuk menyesuaikan seleranya, tapi ia masih memiliki perasaan
campur aduk untuk memintanya melakukannya.
Amane takkan merasa senang jika
upaya Mahiru yang tak ada habisnya disia-siakan hanya untuk menyesuaikan
seleranya. Dirinya berpikir itu sudah terlihat bagus jika Mahiru menata
rambutnya sesuai kesukaannya, dan dia pasti akan terlihat menggemaskan tidak
peduli berapa panjang rambut yang akhirnya dia pilih. Amane tidak ingin menodai
preferensi dan pilihan Mahiru akibat ucapannya sendiri.
“…Begitukah?”
“Jadi, apak kamu memiliki gaya
rambut khusus untukku, Mahiru?”
“Aku akan menyukai gaya rambut
apa pun yang kamu miliki, Amane-kun.”
“Aku juga sama. Itulah yang aku
maksud.”
“…Ya.”
Amane tidak menoleh ke
belakang, tapi ia bisa merasakan sedikit rasa malu dan cekikikan ringan datang
dari belakangnya. Sepertinya jawabannya tidak salah. Mahiru dengan senang hati
mengeringkan rambut Amane, tapi gerakan jari-jarinya yang sedang mengeringkan
rambutnya dengan gerakan menyisir tiba-tiba berhenti.
“Aku suka… gaya rambut apapun
yang kamu suka, tapi…”
“Hmm? 'Tapi..'?”
“Amane-kun, saat kamu
mengoleskan minyak rambut ke rambutmu dan menatanya, kamu terlihat sangat…”
“'Sangat…?”
“Menurutku… kamu terlihat
sangat seksi… dan tampan.”
Mahiru hanya memberitahu
kesannya sendiri pada rambutnya dan tidak mencoba untuk membuat mereka saling
menggoda, tetapi ketika Amane mendengar bisikan Mahiru, ia tidak bisa menahan
diri untuk tidak menyeringai.
“Bagaimana kalau kita
melakukannya sekarang?”
“Ti-Tidak usah! Aku akan mati
karena malu!”
Amane menyarankan itu dengan
bergurau, tapi Mahiru tampak menggelengkan kepalanya karena tidak setuju, dan
Amane bisa merasakan perubahan dalam cara dia menangani rambutnya. Tidak
diragukan lagi kalau pipi Mahiru memerah. Ketika ia meliriknya untuk memeriksa
ekspresinya, Mahiru buru-buru menutupi wajahnya dan menutupi dirinya dengan
tangannya, sepertinya dia tidak ingin Amane melihat wajahnya. Amane, yang
sepenuhnya memahami niatnya, mulai berpikir.
… Astaga, Mahiru memiliki banyak kelemahan.
Hal tersebut terutama benar
dalam kaitannya dengan hal-hal yang membuatnya sadar akan Amane sebagai seorang
pria. Amane tidak yakin apakah itu ide yang baik baginya untuk melakukannya,
tetapi sepertinya Mahiru masih tidak terbiasa sama sekali, dan dalam semua rasa
malunya, dia sering mengecilkan tubuhnya pada hal sekecil apa pun.
“Aku tidak berpikir kalau aku
ini seksi.”
“Mau aku ambilkan cermin
untukmu buat mengaca?”
“Aku baru saja mengaca. Tadi
di kamar mandi.”
“Kamu hanya tidak menyadari
penampilanmu sendiri, Amane-kun.”
"Bukankah aku hanya
terlihat ganteng di matamu karena kamu menyukaiku?”
“Aku tidak akan mengatakan itu
sepenuhnya tidak benar, tapi Amane-kun... berjalan keluar setelah mandi air
panas ketika kamu ceroboh tentang tidak mengenakan baju, itu... tidak baik
untukku.”
Amane senang bahwa Mahiru
berpikir begitu tentang dirinya. Jika ia menggodanya terlalu banyak, wajah
Mahiru akan mendidih sekali lagi, jadi ia memutuskan untuk menjatuhkan bahunya
bersamaan dengan masalah itu sendiri.
“Tapi, aku tidak bisa
menyalahkanmu karena aku sangat yakin bahwa aku juga tidak akan bisa melihatmu
baru keluar dari kamar mandi.”
“Aku yakin kamu pernah
melihatku setelah aku mandi setiap hari selama beberapa hari terakhir.”
“Aku mencoba untuk tidak
melihatmu secara langsung.”
Karena mereka tinggal bersama
di rumah orang tua Amane, tentu saja, mereka bergantian mandi dan selanjutnya,
mereka melihat penampilan masing-masing setelah mandi dan pakaian tidur. Amane
berusaha untuk tidak terlalu salting mengenai hal itu, tapi terkadang
keinginannya untuk melihat langsung ke arahnya menyebabkan pikirannya mulai berputar,
dan nafsunya mulai mengganggunya. Berkat usahanya yang gagah berani untuk
menyembunyikan dan mencegah reaksi tubuh
apa pun, Mahiru sepertinya tidak memperhatikan apa pun, tetapi ada kalanya
Amane tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
“Jadi begitu ya. Aku mendapat
pelajaran yang bagus.”
"Hei, apa maksudmu dengan
itu?"
“… Karena aku satu-satunya yang
bersemangat, dan itu tidak adil.”
Mungkin Mahiru cenderung tidak
memikirkannya, tapi dia tidak menyadari potensi bahaya di hatinya jika Amane
mengatur ritme dirinya sesuai dengan keinginan batinnya. Sepertinya itu kelebihan
dan kekurangan Mahiru, dia terlalu percaya pada kebajikan dan kewarasan Amane.
“Aku bisa berhenti menahan
diri..., tapi aku malah mengunci diri di kamarku.”
“Itu tidak adil.”
“Itu bukan tidak adil.”
“Ini tidak adil… bahkan aku
ingin hak untuk mendorongmu, Amane-kun.”
“Aku sudah berusaha untuk tidak
menyadarinya bahkan sampai sekarang, jadi harap tunggu jika kamu menyadari apa
yang ingin aku katakan.”
Ketika Amane balas melirik ke
arahnya, sepertinya Mahiru tidak mengerti atau menerima apa yang dia katakan.
Amane takkan pernah melakukan sesuatu yang tidak biasa pada Mahiru karena
dorongan hati sesaat, tetapi karena mereka adalah sepasang kekasih, itu masih
merupakan ide yang baik bagi Mahiru untuk berhati-hati jika Amane akan mencoba
melakukan sesuatu dan bertindak terlalu jauh.
Amane mengalihkan pandangannya
lurus ke arah Mahiru, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sedikit tegas.
Mata karamelnya yang berkilau mulai semakin bergetar saat saling bertukar
tatapan dengan Amane. Selain gemetar, orang bisa melihat bahwa matanya juga
mulai basah. Rona merah yang kontras dengan kulit porselennya yang indah
menjadi semakin jelas, tetapi jika Amane terus menatapnya seperti itu, dia
tidak akan tahan lagi dan Mahiru mengalihkan pandangannya darinya.
“Aku tidak tahan… kamu tahu kalau
aku lemah ketika kamu menatapku, Amane-kun.”
“Ya. Aku tahu, aku tidak yakin
apakah aku bisa melakukannya.”
Tepat setelah mengatakan itu,
Amane mendekatkan wajahnya ke arah Mahiru dan setelah menghembuskan nafas pelan
dan berbisik, “...Tapi aku akan mencoba, oke?”, Mahiru menjerit, “Hyah!!” dan melangkah mundur.
Pengering rambut di tangannya
hampir terjatuh, jadi Amane dengan santai mengambilnya dari tangannya. Mahiru
menatapnya dengan ekspresi tak percaya di wajahnya, dengan bibir bergetar.
Amane mau tak mau menyadari bahwa dia sedang menatapnya, tapi tatapannya tidak
mengandung niat jahat atau kekuatan di baliknya.
“Aku yakin kamu berpikir bahwa
aku akan mendengarkanmu jika kamu berbicara denganku dengan suara itu,” seru
Mahiru, terdengar sedikit tidak senang.
“Yah, kamu tahu aku serius
ketika mengatakannya seperti ini ‘kan, Mahiru?”
“Uuu. Yah, memang sih, tapi…”
“Ngomong-ngomong, tidak.” Amane
menatap Mahiru dengan ekspresi serius di wajahnya. “Aku tidak akan menyerah
lagi.” Amane tidak berniat menggoda atau membuatnya kesal, dirinya juga tidak
berencana melangkah lebih jauh untuk saat ini.
“…Aku mengerti.” Mahiru merasa
lega bahwa Amane akan tenang untuk saat ini, tetapi setelah beberapa saat
merenung, dia membalas, “Kalau begitu, aku harus menemukan kelemahanmu,
Amane-kun.”
Sekarang setelah Mahiru berkata
demikian, Amane tidak bisa membiarkan komentar itu berlalu begitu saja.
“…Lain kali aku akan berbisik
di telingamu sejelas mungkin.”
“Ak-Aku akan berhati-hati!”