Otonari no Tenshi-sama Jilid 6 Bab 2 Bahasa Indonesia

BAB 2 — Basah Kuyup Memiliki Keuntungan Tersendiri

 

 

“Amane-kun, kamu mau kemana?”

Mahiru memperhatikan kalau Amane sedang berada di pintu depan bersiap untuk keluar dan memanggilnya. Waktunya sudah lewat jam tiga sore, sedikit terlambat bagi Amane untuk memutuskan keluar, kemungkinan alasan mengapa Mahiru keluar untuk bertanya padanya.

“Hm? Ah, aku cuma mau mampir ke supermarket. Ibu memintaku untuk berbelanja.”

Amane tidak ingin keluar hanya untuk berbelanja. Beberapa saat sebelumnya, ibunya telah mengiriminya pesan di ponselnya. Dia menyebutkan bahwa dia dan Shuuto akan pulang terlambat hari ini dan mereka tidak punya waktu untuk berbelanja, jadi dia meminta Amane untuk membeli beberapa bahan yang dia butuhkan.

“Yah, aku tidak keberatan sih karena aku tidak sibuk atau apa pun, tapi aku lebih suka diberitahu itu di pagi hari.”

Mahiru hanya berkata, “Begitu,” sebagai tanggapannya dan kemudian dia berlutut di samping Amane saat ia mengikat tali sepatunya. Rumah Amane memiliki cermin yang dipasang di dinding pintu masuk dan tergambar dalam pantulannya adalah rambut Mahiru yang berkibar-kibar dan gambaran dirinya yang mencoba yang terbaik untuk memperbaikinya. Dan berkat itu, Amane tahu bahwa Mahiru sedang merapikan rambutnya dengan sisir dan berniat pergi bersamanya.

“Tidak, aku sedang terburu-buru dan belanjaan yang dibeli juga tidak banyak. Ini bukan masalah besar jadi aku akan baik-baik saja sendiri. Kalau dilihat dari cuacanya, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan jika kita keluar terlalu lama, dan bahkan jika matahari bersinar, aku tidak ingin membawamu keluar dalam cuaca panas untuk sesuatu yang begitu sepele.”

Amane menolak tawaran bantuan Mahiru, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk pulang segera setelah menyelesaikan tugasnya, jadi akan lebih cepat baginya untuk pergi sendiri; meskipun ia tidak yakin apakah itu ide terbaik. Amane lalu menatap Mahiru dan berkata, “Oh, bukannya aku tidak ingin pergi bersamamu.”

“Ya aku tahu. Aku hanya berharap aku bisa pergi keluar denganmu.”

“…Kita akan pergi kencan lagi, oke?”

Lagi pula, Amane berencana untuk segera berkencan dengannya, dan karena wanita perlu mempersiapkan diri dengan hati-hati saat berkencan, menurutnya tidak adil untuk menyeretnya keluar dalam waktu sesingkat itu.

“Kalau begitu, aku akan menunggumu pulang.”

“Oke.”

Amane mengangguk pelan, mengganti sepatunya, dan berjalan keluar dari pintu depan.

 

   

 

Amane sekarang mulai menyadari bahwa tidak membawa Mahiru bersamanya adalah penilaian yang baik.

Haah~, sudah kuduga bakalan turun hujan.”

Amane mengantisipasi awan yang mendung, tetapi seperti  sudah ia perkirakan, hujan dengan cepat mulai turun dan pakaiannya basah kuyup dan awan mendungnya tetap lebih gelap daripada saat dirinya berangkat. Kain yang menempel di tubuhnya menyebarkan kelembapan di kulitnya, yang sangat mengganggu Amane.

Mencoba meringankan dirinya sendiri, Amane menggenggam pakaiannya dan dengan ringan mengibas-ngibaskannya. Untungnya, bahan-bahan yang hendak dibelinya terbungkus dalam bungkus plastik tahan hujan, jadi hanya pakaiannya saja yang terkena, tapi saat tiba di rumah, Amane benar-benar basah kuyup.

Sebelum memasuki pintu depan, ia dengan ringan mengusap poninya yang menghalangi pandangannya, menyebabkan air terus menerus jatuh dari pakaiannya ke tanah. Amane memastikan untuk memeras air di luar, atau ia akan menyesal telah mengotori lantai rumahnya.

“Selamat datang kembali, Amane-kun. Hujannya cukup deras, bukan?”

Amane mendesah pada dirinya sendiri dan segera menyadari suara sandal yang mendekat. Mahiru berlari ke arahnya melalui pintu, melebarkan matanya karena terkejut saat melihatnya. Mahiru mungkin tidak mengira kalau Amane akan begitu basah kuyup. Dia memegang handuk kecil di tangannya, tetapi itu pun tidak cukup untuk mengeringkan badan Amane dengan benar.

“Aku pulang, aku tidak menyangka kalau hujannya bakal turun begitu deras. Itu mungkin cuma hujan yang lewat, tapi ternyata itu jauh lebih deras dari yang kuduga.”

“Aku berharap cuacanya akan bertahan sampai kamu kembali… Pokoknya, kamu harus mandi dulu. Aku sudah menyiapkannya untukmu.”

“Ah, terima kasih.”

Amane tidak tahu apakah dirinya merasa lega atau senang. Ia merasakan nuansa khas rumah tangga yang aneh pada kenyataan bahwa Mahiru mengatakan kalimat seperti itu secara alami, dan menjadi gelisah memikirkan tentang suasana pengantin baru yang diberikannya.

“Sesuatu yang begini rasanya tidak terlalu buruk juga.”

“Hm?”

“Rasanya begitu menyenangkan melihatmu menyambutku pulang seperti ini dengan mandi yang sudah disiapkan.”

Kedua orang tuanya adalah pekerja keras, jadi Amane jarang mengalami saat-saat seperti ini, tapi karena ini adalah adegan umum dalam manga dan drama yang ia lihat, jadi Amane diam-diam iri pada mereka.

Amane bisa merasakan kebahagiaan memiliki keluarga, dan rasanya begitu manis, tetapi pada saat yang sama, kehangatan dan rasa asin dari sinar matahari musim semi meresap ke dalam hatinya. Itu karena Mahiru merupakan seseorang yang ingin Amane hargai selama sisa hidupnya sehingga ia mengalami kesenangan dan kesukaan ini pada semua yang Mahiru lakukan untuknya.

Dirinya lalu tersenyum pada Mahiru, yang tersentak dan menyusut ke belakang dengan pipi memerah, dan berkata, “Kalau begitu, aku akan mandi sekarang, terima kasih,” dan menyelinap melewatinya.

 

   

 

Ketika keluar setelah selesai mandi, Amane melihat Mahiru sedang duduk di sofa ruang tamu, menunggunya. Di tangannya ada pengering rambut. Mereka juga memiliki pengering rambut di kamar mandi, tapi, tampaknya sebagai persiapan agar Amane keluar tanpa mengeringkan rambutnya, Mahiru sudah menyiapkan pengering rambutnya sendiri.

Amane merasa malu karena gampang sekali ditebak, tapi juga senang karena Mahiru memahaminya dengan sangat baik. Amane lalu diam-diam mendekatinya, menutupi rasa malunya dengan udara dingin yang bertiup ke seluruh ruangan.

“Aku suka merasakan AC setelah mandi air panas.”

“Rasanya bikin mendingin tubuh ‘kan, tapi harap berhati-hati agar tidak masuk angin. Sini, duduklah.”

“Tapi aku tidak keberatan.”

“Jika tidak, rambutmu akan rusak dan sakit.”

Mahiru kemudian berdiri di belakangnya dan menggunakan handuk untuk menghilangkan kelebihan air yang masih ada di rambutnya. Amane merasa geli akan hal ini, tapi tidak secara fisik maupun mental.

“Kamu benar-benar tidak bisa memperbaiki kecerobohanmu ini ya, Amane-kun? Kamu bahkan kadang-kadang keluar dari kamar mandi tanpa baju.”

“Karena rasanya sangat panas… aku akan memakainya dengan benar di musim dingin.”

“Itu hanya karena itu akan menjadi dingin. Bahkan sekarang, kamu harus segera mengenakan baju sebelum masuk angin. Aku tidak akan mengizinkannya selama mataku masih hitam dan tetap melihatnya.”

Amane menelan pikiran batinnya, 'mata Mahiru berwarna karamel, apakah dia berencana untuk tinggal bersamaku selama sisa hidupnya?' dan hanya berkata, “Aku akan berhati-hati,” tidak mendesak lebih jauh. Lagi pula, diurus adalah perasaan yang agak menyenangkan baginya. Meskipun dirinya merasa kasihan pada Mahiru, Amane masih ingin agar dia tetap mengeringkan rambutnya karena rasanya enak dan menyegarkan.

Setelah menyerap sebagian besar air dengan tangan yang mantap, Mahiru menggunakan pengering rambut yang sudah dia siapkan dan meniup rambut Amane dengan udara hangat. Sambil mengeringkannya, Mahiru sangat memperhatikan Amane dan rambutnya. Ini wajar saja karena Mahiru merawat rambutnya dengan hati-hati setiap hari. Karena Amane tidak suka jika rambutnya diacak-acak, ini adalah pertama kalinya dia benar-benar merasa nyaman dengan seseorang yang sedang mengeringkan rambutnya. Sejal awal Amane suka dibelai oleh Mahiru, jadi sepertinya, itu hanya masalah memilih orang yang tepat untuk disentuh.

“Tidak adil rasanya rambutmu bisa sehalus ini, padahal kamu tidak merawatnya dengan baik, Amane-kun.”

Mahiru bergumam kerasa diiringi suara pengering rambut.

“Masa? Yah, memang benar aku tidak merawat rambutku secermat kamu, Mahiru. Ini lebih dekat dengan pemeliharaan normal.”

“Kupikir rambutmu terlihat halus alami seperti sutra. Shihoko-san dan Shuuto-san juga terlihat memiliki rambut yang halus dan indah.”

“Yah, orang tuaku memastikan untuk menjaga penampilan mereka dengan baik. Tapi kalau kamu, Mahiru, sepertinya kamu berusaha keras, rambutmu selalu terlihat sangat halus dan berkilau.”

Hanya dengan melihatnya saja, Amane berpikir bahwa standar penataan rambut Mahiru adalah hasil dari banyak upaya keras di belakang layar. Amane sering membelai rambut kuning muda Mahiru dan merasakannya agak lurus, tipis, nyaman, dan lembut saat disentuh. Rambut tipis seperti miliknya cenderung mudah kusut, tetapi karena perawatan dan perhatiannya terhadap detail, dia tidak pernah melihatnya kusut atau bercabang.

Ia melihat bahwa rambut Mahiru hanya dibentuk menjadi garis-garis yang indah dan seragam, digambarkan dengan begitu anggun dan menawan sehingga bisa membuat siapa pun menatap dengan heran.

“Kalau aku sih lumayan rumit karena rambutku sepanjang ini, jadi aku harus menghabiskan banyak waktu untuk merawatnya.”

“Yah, karena rambutmu sepanjang itu, tidak mengherankan kalau memakan banyak waktu. Apa boleh buat, ‘kan.”

“Aku merenungkan dan mengurus hal-hal lain sambil merawatnya, tetapi memang benar kalau itu menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Terkadang, aku berpikir untuk memotongnya jadi sedikit lebih pendek. Mana yang kamu pilih, Amane-kun, lebih bagus yang pendek atau panjang?”

“Aku tidak memiliki selera tertentu, karena dua-duanya pasti akan terlihat manis untukmu. Aku ingin melihatmu menikmati gaya rambutmu, jadi aku akan senang jika kamu mempertahankan panjang rambut yang ingin kamu jaga.”

Lagi pula, tidak terlalu aneh bagi wanita untuk berdandan murni sesuai dengan preferensi pria, dan banyak yang menumbuhkan rambut mereka dengan panjang tertentu hanya karena mereka menyukainya.

Jika benar satu kata dari Amane bisa mengubah gaya rambut Mahiru, Amane akan tersentuh melihat Mahiru mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan seleranya, tapi ia masih memiliki perasaan campur aduk untuk memintanya melakukannya.

Amane takkan merasa senang jika upaya Mahiru yang tak ada habisnya disia-siakan hanya untuk menyesuaikan seleranya. Dirinya berpikir itu sudah terlihat bagus jika Mahiru menata rambutnya sesuai kesukaannya, dan dia pasti akan terlihat menggemaskan tidak peduli berapa panjang rambut yang akhirnya dia pilih. Amane tidak ingin menodai preferensi dan pilihan Mahiru akibat ucapannya sendiri.

“…Begitukah?”

“Jadi, apak kamu memiliki gaya rambut khusus untukku, Mahiru?”

“Aku akan menyukai gaya rambut apa pun yang kamu miliki, Amane-kun.”

“Aku juga sama. Itulah yang aku maksud.”

“…Ya.”

Amane tidak menoleh ke belakang, tapi ia bisa merasakan sedikit rasa malu dan cekikikan ringan datang dari belakangnya. Sepertinya jawabannya tidak salah. Mahiru dengan senang hati mengeringkan rambut Amane, tapi gerakan jari-jarinya yang sedang mengeringkan rambutnya dengan gerakan menyisir tiba-tiba berhenti.

“Aku suka… gaya rambut apapun yang kamu suka, tapi…”

“Hmm? 'Tapi..'?”

“Amane-kun, saat kamu mengoleskan minyak rambut ke rambutmu dan menatanya, kamu terlihat sangat…”

“'Sangat…?”

“Menurutku… kamu terlihat sangat seksi… dan tampan.”

Mahiru hanya memberitahu kesannya sendiri pada rambutnya dan tidak mencoba untuk membuat mereka saling menggoda, tetapi ketika Amane mendengar bisikan Mahiru, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai.

“Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang?”

“Ti-Tidak usah! Aku akan mati karena malu!”

Amane menyarankan itu dengan bergurau, tapi Mahiru tampak menggelengkan kepalanya karena tidak setuju, dan Amane bisa merasakan perubahan dalam cara dia menangani rambutnya. Tidak diragukan lagi kalau pipi Mahiru memerah. Ketika ia meliriknya untuk memeriksa ekspresinya, Mahiru buru-buru menutupi wajahnya dan menutupi dirinya dengan tangannya, sepertinya dia tidak ingin Amane melihat wajahnya. Amane, yang sepenuhnya memahami niatnya, mulai berpikir.

Astaga, Mahiru memiliki banyak kelemahan.

Hal tersebut terutama benar dalam kaitannya dengan hal-hal yang membuatnya sadar akan Amane sebagai seorang pria. Amane tidak yakin apakah itu ide yang baik baginya untuk melakukannya, tetapi sepertinya Mahiru masih tidak terbiasa sama sekali, dan dalam semua rasa malunya, dia sering mengecilkan tubuhnya pada hal sekecil apa pun.

“Aku tidak berpikir kalau aku ini seksi.”

“Mau aku ambilkan cermin untukmu buat mengaca?”

“Aku baru saja mengaca. Tadi di kamar mandi.”

“Kamu hanya tidak menyadari penampilanmu sendiri, Amane-kun.”

"Bukankah aku hanya terlihat ganteng di matamu karena kamu menyukaiku?”

“Aku tidak akan mengatakan itu sepenuhnya tidak benar, tapi Amane-kun... berjalan keluar setelah mandi air panas ketika kamu ceroboh tentang tidak mengenakan baju, itu... tidak baik untukku.”

Amane senang bahwa Mahiru berpikir begitu tentang dirinya. Jika ia menggodanya terlalu banyak, wajah Mahiru akan mendidih sekali lagi, jadi ia memutuskan untuk menjatuhkan bahunya bersamaan dengan masalah itu sendiri.

“Tapi, aku tidak bisa menyalahkanmu karena aku sangat yakin bahwa aku juga tidak akan bisa melihatmu baru keluar dari kamar mandi.”

“Aku yakin kamu pernah melihatku setelah aku mandi setiap hari selama beberapa hari terakhir.”

“Aku mencoba untuk tidak melihatmu secara langsung.”

Karena mereka tinggal bersama di rumah orang tua Amane, tentu saja, mereka bergantian mandi dan selanjutnya, mereka melihat penampilan masing-masing setelah mandi dan pakaian tidur. Amane berusaha untuk tidak terlalu salting mengenai hal itu, tapi terkadang keinginannya untuk melihat langsung ke arahnya menyebabkan pikirannya mulai berputar, dan nafsunya mulai mengganggunya. Berkat usahanya yang gagah berani untuk menyembunyikan dan mencegah reaksi tubuh apa pun, Mahiru sepertinya tidak memperhatikan apa pun, tetapi ada kalanya Amane tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

“Jadi begitu ya. Aku mendapat pelajaran yang bagus.”

"Hei, apa maksudmu dengan itu?"

“… Karena aku satu-satunya yang bersemangat, dan itu tidak adil.”

Mungkin Mahiru cenderung tidak memikirkannya, tapi dia tidak menyadari potensi bahaya di hatinya jika Amane mengatur ritme dirinya sesuai dengan keinginan batinnya. Sepertinya itu kelebihan dan kekurangan Mahiru, dia terlalu percaya pada kebajikan dan kewarasan Amane.

“Aku bisa berhenti menahan diri..., tapi aku malah mengunci diri di kamarku.”

“Itu tidak adil.”

“Itu bukan tidak adil.”

“Ini tidak adil… bahkan aku ingin hak untuk mendorongmu, Amane-kun.”

“Aku sudah berusaha untuk tidak menyadarinya bahkan sampai sekarang, jadi harap tunggu jika kamu menyadari apa yang ingin aku katakan.”

Ketika Amane balas melirik ke arahnya, sepertinya Mahiru tidak mengerti atau menerima apa yang dia katakan. Amane takkan pernah melakukan sesuatu yang tidak biasa pada Mahiru karena dorongan hati sesaat, tetapi karena mereka adalah sepasang kekasih, itu masih merupakan ide yang baik bagi Mahiru untuk berhati-hati jika Amane akan mencoba melakukan sesuatu dan bertindak terlalu jauh.

Amane mengalihkan pandangannya lurus ke arah Mahiru, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sedikit tegas. Mata karamelnya yang berkilau mulai semakin bergetar saat saling bertukar tatapan dengan Amane. Selain gemetar, orang bisa melihat bahwa matanya juga mulai basah. Rona merah yang kontras dengan kulit porselennya yang indah menjadi semakin jelas, tetapi jika Amane terus menatapnya seperti itu, dia tidak akan tahan lagi dan Mahiru mengalihkan pandangannya darinya.

“Aku tidak tahan… kamu tahu kalau aku lemah ketika kamu menatapku, Amane-kun.”

“Ya. Aku tahu, aku tidak yakin apakah aku bisa melakukannya.”

Tepat setelah mengatakan itu, Amane mendekatkan wajahnya ke arah Mahiru dan setelah menghembuskan nafas pelan dan berbisik, “...Tapi aku akan mencoba, oke?”, Mahiru menjerit, “Hyah!!” dan melangkah mundur.

Pengering rambut di tangannya hampir terjatuh, jadi Amane dengan santai mengambilnya dari tangannya. Mahiru menatapnya dengan ekspresi tak percaya di wajahnya, dengan bibir bergetar. Amane mau tak mau menyadari bahwa dia sedang menatapnya, tapi tatapannya tidak mengandung niat jahat atau kekuatan di baliknya.

“Aku yakin kamu berpikir bahwa aku akan mendengarkanmu jika kamu berbicara denganku dengan suara itu,” seru Mahiru, terdengar sedikit tidak senang.

“Yah, kamu tahu aku serius ketika mengatakannya seperti ini ‘kan, Mahiru?”

“Uuu. Yah, memang sih, tapi…”

“Ngomong-ngomong, tidak.” Amane menatap Mahiru dengan ekspresi serius di wajahnya. “Aku tidak akan menyerah lagi.” Amane tidak berniat menggoda atau membuatnya kesal, dirinya juga tidak berencana melangkah lebih jauh untuk saat ini.

“…Aku mengerti.” Mahiru merasa lega bahwa Amane akan tenang untuk saat ini, tetapi setelah beberapa saat merenung, dia membalas, “Kalau begitu, aku harus menemukan kelemahanmu, Amane-kun.”

Sekarang setelah Mahiru berkata demikian, Amane tidak bisa membiarkan komentar itu berlalu begitu saja.

“…Lain kali aku akan berbisik di telingamu sejelas mungkin.”

“Ak-Aku akan berhati-hati!”

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama