Bab 14 — Permintaan Tenshi-sama
Setelah mendengarkan apa yang
dikatakan Itsuki, mereka masih bernyanyi dan mengobrol ringan dengan semua
orang, tapi sudah waktunya bagi mereka untuk menyelesaikannya.
Setelah ini, sisa kelas
tampaknya akan pergi ke restoran keluarga tempat diadakannya pesta perayaan
ronde kedua dan makan malam bersama, tapi di sinilah Amane dan Mahiru akan
berpisah dengan mereka. Semua orang enggan meninggalkan mereka dan Amane merasa
sedikit bersalah, tapi Mahiru tidak ingin menghadiri itu, jadi mereka pulang.
Amane secara fisik sedikit
lelah dari semua acara yang terjadi secara berurutan, dari melayani pelanggan
di festival budaya hingga bersih-bersih setelahnya dan kemudian pesta perayaan,
tetapi fakta bahwa itu tidak terlalu menguras tenaga untuk disebut kelelahan mungkin
berkat pelatihannya. Amane masih bisa pulang dengan langkah ringan.
“Ah, aku lelah.”
“Fufu, kerja bagus hari ini.”
Mereka berdua menyantap makan
malam yang sudah disiapkan dengan cepat dan mengambil nafas. Senyum Mahiru
sepertinya sedikit mereda sejak mereka berdua melayani pelanggan. Bukannya dia
kekurangan energi, tetapi Mahiru menekan keaktifan ekspresinya.
Amane juga merasa terganggu
dengan sedikit kecanggungan suasana di antara mereka.
“... Apa ada sesuatu yang terjadi?”
tanya Amane.
“Hah?”
“Tidak, hanya saja sikapmu sedikit
berbeda dari biasanya. Aku khawatir sesuatu yang buruk atau menyusahkan terjadi
di festival budaya.”
“T-Tidak, tidak ada banyak
masalah.”
“Kamu tidak berupaya
menutupinya, ‘kan?”
“Yah, itu terjadi pada hari
pertama…”
“… Maaf telah mengingatkanmu.”
“Ah, b-bukan itu yang kumaksud!
… Ini lebih seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sekarang.”
Amane tahu dari sikapnya bahwa
Mahiru tidak merasakan sesuatu yang negatif seperti kebencian atau penolakan,
jadi dirinya bingung dengan apa yang mengganggunya. Tak peduli seberapa dekat
Amane dan Mahiru, mereka tidak akan bisa memahami maksud satu sama lain tanpa
saling berbicara, karena itulah mereka berdua memutuskan untuk mendengarkan
satu sama lain. Mahiru mengerti hal tersebut, tapi bibirnya menggeliat seolah
dia kesulitan mengatakannya.
Dari sikapnya, Amane penasaran
apakah dirinya yang jadi penyebab ketidakpuasannya. Namun, itu bukanlah sesuatu
yang harus dia salahkan sendiri. Apa yang
sebenarnya terjadi di sini? Amane berpikir dan menatap langsung ke matanya
yang berwarna karamel, dan Mahiru membuka bibirnya sedikit dengan pasrah.
“… Bukannya aku pernah bilang
kalau aku memiliki sesuatu untuk diberitahukan kepadamu setelah festival
budaya?”
“Hm? Ya, kamu memang mengatakan
itu.”
“Tentang itu… Bagaimana… aku
harus mengatakan ini? Amane-kun, um, ini bukan cara yang tepat untuk
mengatakannya, tapi kamu hanya memikirkanku saja, kan?”
“Ya,” jawab Amane seketika.
“Kamu bahkan takkan melirik
gadis lain.”
“Kenapa kamu mengatakan sesuatu
yang begitu jelas…?”
Tidak peduli bagaimana orang
lain melihatnya, mengalihkan perhatiannya kepada gadis lain ketika ia sudah
memiliki kekasih pasti akan menimbulkan banyak masalah.
“Aku sangat senang tentang itu,
dan menurutku itu adalah salah satu sisi baikmu, Amane-kun. Kamu hanya
menatapku… jadi kamu mungkin tidak memperhatikan apa yang dipikirkan gadis lain
tentangmu.”
“Aku lebih khawatir tentang
apakah tidak apa-apa bagiku untuk berdiri di sampingmu.”
“…Dengan kepribadianmu,
Amane-kun, kamu tidak akan menyadari ketika seseorang memiliki kesan yang baik
atau menyukaimu.”
Amane terkejut. Kelopak matanya
berkedip pada kata-kata yang dia tidak harapkan untuk diucapkannya dan Mahiru
memiliki senyum tipis tapi pahit di wajahnya.
“Di karaoke tadi, saat aku
kebetulan pergi ke kamar mandi, aku mendengar teman sekelas berkata kalau
mereka baik-baik saja bersamamu, Amane-kun. Hal yang berlaku sama selama
festival budaya. Amane-kun, kamu sangat keren dan banyak pelanggan mengatakan
kamu terlihat menawan.”
“Aku tidak terlalu
menyadarinya. Apa seburuk itu?”
“Ya… aku senang semua orang
memahami pesonamu. Tetapi pada saat yang sama, aku ingin menjadi satu-satunya
yang tahu. Satu satunya. Bahkan jika aku mengerti bahwa kamu hanya akan
melihatku.”
Pada akhirnya, Mahiru merasakan
perasaan yang sama seperti yang dimiliki Amane untuknya—meski nuansanya sedikit
berbeda, dia pasti merasa cemburu.
“Sekarang setelah festival
budaya selesai, aku akan memberitahumu. Sebenarnya… Aku tidak suka melihatmu
tersenyum pada pelanggan dengan begitu tampan. Kamu hanya milikku, Amane-kun.
Kamu adalah milikku."
Mahiru mencoba yang terbaik
untuk mengatakan semuanya melalui nadanya yang sedikit ragu-ragu dan meringkuk
di lengannya seolah menegaskan bahwa Amane adalah pasangannya sendiri. Niatnya
yang sangat jelas dari kecemburuan dan keinginannya untuk memonopoli kekasihnya.
Amane sadar kalau ia seharusnya tidak tertawa, tapi dirinya tidak bisa menahan
senyum yang secara alami menghiasi wajahnya.
(Dia
benar-benar sangat mencintaiku…)
Amane menyadari sekali lagi
bahwa Mahiru menghujaninya dengan cinta dan kasih sayangnya yang murni, dan merasa
malu pada kenyataan bahwa ia memiliki perasaan yang sama untuknya. Mahiru
menempel pada Amane, menolak untuk mundur.
“Jangan khawatir.” Kata Amane,
menepuk kepalanya untuk menghilangkan kekhawatirannya. “Mulai sekarang, kamu
akan mengetahui banyak hal tentangku yang tidak diketahui orang lain. Mari kita
lihat… Sebagai permulaan, Mahiru, apa kamu tahu bahwa aku lebih cemburu dari
yang kamu pikirkan?”
Mungkin hal itu tidak terlihat
jelas di mata Mahiru, tapi Amane sendiri cukup cemburuan. Amane sadar bahwa
tidak enak untuk menunjukkan kecemburuannya secara terbuka dan sudah menjadi
rahasia umum bahwa Mahiru populer, itu bukanlah sesuatu yang akan berubah.
Mengetahui hal ini, Amane mentolerirnya. Sama seperti Mahiru, Amane juga
mengerti sepenuhnya bahwa pacarnya tidak akan melirik orang lain. Meski begitu,
Amane masih tertekan karenanya dan ingin Mahiru tetap berada dalam jangkauannya
selamanya.
“Kamu telah berada di depan
semua orang selama dua hari terakhir. Sekarang, aku tidak akan membiarkanmu
pergi.” ucap Amane dengan tegas.
“…Ya.”
“Aku hanya melihatmu, Mahiru…
jadi jagalah aku untuk dirimu sendiri mulai sekarang. Aku juga akan menjagamu
untuk diriku sendiri.”
Mahiru hanya meringkuk di
lengannya, tapi Amane, yang ingin menebus waktu yang hilang selama festival,
membimbing Mahiru ke dalam pelukannya dan merangkul anggota tubuhnya yang
halus. Setelah beberapa saat kaku, Mahiru bersandar pada tubuhnya dan
mempercayakan dirinya padanya.
Dia bukan lagi seorang pelayan
yang tersenyum untuk semua orang. Dia adalah gadis yang hanya tersenyum untuk
Amane. Mata Mahiru dipenuhi dengan rasa percaya yang manis saat menengadah ke
arahnya, dan membalas kasih sayangnya yang jujur dan tidak pernah berakhir,
Amane merenggut bibir cemasnya untuk meredam kekhawatiran yang dia pendam.
Amane kemudian memberinya senyum lembut. Mencoba untuk tidak memutuskan kontak
mata, ia dengan lembut dan hati-hati menyentuh bibir manisnya seolah
melelehkannya dan menemukan Mahiru dengan nyaman menutup matanya dan
menerimanya.
“Ayo hargai waktu kita bersama
sampai akhir hari,” kata Amane, memanjakannya sebisa mungkin tanpa menciumnya
terlalu dalam.
Mahiru perlahan-lahan seraya
tampak enggan melepaskan bibirnya dari bibir Amane saat ia menepuk punggungnya
untuk menenangkannya, menjepitnya ke dalam ciuman di mana mereka bisa saling
berbagi kehangatan. Matanya benar-benar lembab dan dia menatap Amane dengan malu-malu
dibarengi tatapan tenang, penuh kasih sayang, dan penuh harap. Amane tidak bisa
menangkap maksud di balik tatapannya. Tapi sebelum ia bisa bertanya, Mahiru
membenamkan wajahnya ke dadanya dan mencengkeram kerah bajunya seolah
mencarinya dengan jari rampingnya, lalu—
“…Malam ini, boleh aku menginap
di sini…?”
—dari dalam pelukannya, Amane
mendengar gumaman pelan Mahiru.