Bab 12 — 22 Juli (Kamis) Ayase Saki
Aku sedang duduk di samping
Asamura-kun, dan menyadari kalau dirinya tiba-tiba berdiri dari sudut mataku.
Dengan lantang ia meneriakkan
nama sahabatnya.
Saat itu, aku mendengar suara
dentang logam. Aku segera melihat kembali ke lapangan hijau.
Di
mana bolanya? Di sana!
Bola, yang telah menyatu dengan
langit biru dan awan putih, akhirnya terlihat saat memantul di permukaan
rumput.
Bola itu bergulir di
tengah-tengah lapangan luar yang berbentuk kipas sementara seorang pemain lawan
dengan panik mengejarnya.
Maru-kun, yang sudah mulai
berlari, berlari kencang di garis putih yang digambar dalam bentuk wajik, dan
mencapai tikungan kedua.
Pukulan?
Itu yang disebut pukulan, kan?
Aku menoleh ke arah
Asamura-kun, yang mungkin sedang bahagia. Yang mengejutkan aku, ia masih
berdiri sambil berteriak keras.
“Ia berhasil!”
Itu adalah ekspresi dan gerakan
yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ia mengayunkan tinjunya dengan penuh
kegembiraan.
Melihatnya yang bertingkah
demikian, sebuah senyuman secara alami muncul di wajahku. Rasanya menular.
Bagus untuknya.
Aku menepuk pelan pinggulnya. Ia menoleh dengan terkejut.
“Tadi sangat bagus, bukan?” Aku
berkata sambil tersenyum.
Asamura-kun terlihat terkejut
sejenak sebelum dengan cepat duduk kembali. Tampaknya, ia bahkan tidak
menyadari kalau dirinya sedang berdiri.
Pertandingan hampir berakhir,
dan meskipun Maru-kun berhasil melakukan pukulan (yang tampaknya disebut double), para pemain berikutnya tidak bisa
mencetak angka. Mereka hanya berhasil mendapatkan satu poin.
Saat itu, mereka sudah
tertinggal tiga poin.
Lalu pada inning berikutnya, mereka membiarkan tim lawan mencetak satu poin
lagi, membuat jarak skornya semakin lebar.
Pertandingan berakhir seperti
itu.
8 lawan 4. Tim bisbol SMA
Suisei kalah.
Para pemain berbaris dan
kemudian berjalan dari bangku cadangan ke tribun penonton, menundukkan kepala
sebagai tanda terima kasih.
Maaya memimpin, dan kami semua
berdiri untuk memuji usaha mereka.
Tak berselang lama, smartphone-ku
berdengung.
Maaya:
【Setelah bersih-bersih, bisakah kamu keluar
sebentar? 】
Ketika aku mendongak, aku
melihat Maaya melambaikan tangan ke arahku dari depan tribun.
Aku menyimpan minuman yang
kubuka, memberitahu Asamura-kun dan yang lainnya bahwa aku akan segera kembali
dan menuju ke tempat Maaya.
Aku bertemu dengan Maaya.
Sepertinya kelompoknya juga sudah selesai bersih-bersih.
“Kerja bagus hari ini
semuanya~! Terima kasih!”
Maaya menunggu jawaban, lalu
berkata, “Kami mengadakan acara kumpul-kumpul kecil-kecilan di dekat stasiun.
Bagi yang ingin bergabung, pergilah ke restoran~. Kalau kalian punya rencana
lain, kalian tidak perlu memaksakan diri untuk ikutan!”
“Mengerti,” jawab semua orang.
“Kalian mengadakan pesta 'terima kasih'?”
“Yah, kami keluar saat liburan
musim panas, jadi akan menyenangkan untuk mengobrol sedikit, bukan begitu?”
“Masuk akal.”
“Jadi, aku berpikir untuk
memberi kejutan pada Maru-kun dan yang lainnya di lorong dekat ruang ganti
pemain. Mau ikut, Saki?”
Aku terkejut dengan permintaan
Maaya. Dia memegang sebuah buket bunga.
Bukannya itu yang disebut
menyergap seseorang? Bukannya itu menjengkelkan? Bukannya mereka memiliki
pertemuan pasca pertandingan dan kumpul-kumpul sendiri antar sesama anggota
klub?
“Tidak apa-apa, aku sudah
berbicara dengan klub. Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada mereka atas
nama kita semua,” katanya sambil mengangkat buket bunga itu dan menunjukkannya
kepadaku.
Ah oke, jadi dia adalah
perwakilan dari tim pemandu sorak Maaya.
“Kalau begitu, bukankah
seharusnya kamu mengundang Asamura-kun dan yang lainnya juga?”
Aku merasa seperti itu, tapi
Maaya samar-samar menjawab, “Yah, kamu tahu,” menyiratkan bahwa dia lebih suka
jika hanya aku saja yang hadir.
“Aku mohon! Aku hanya ingin
menyerahkan ini dan mengucapkan beberapa patah kata!”
Aku memutuskan untuk mengiyakan
saja, karena berpikir kalau itu tidak akan memakan waktu lama. Jika terlalu
lama, aku bisa tinggal mengirim pesan. Dengan pemikiran tersebut, aku mengikuti
di belakang Maaya. Aku tidak terlalu dekat dengan Maru-kun. Aku ingin tahu apa
ini akan baik-baik saja. Kuharap ini tidak akan canggung.
Ada tangga yang mengarah ke
lantai satu tidak jauh dari lapangan, dan di bagian bawahnya ada lorong menuju
ruang ganti pemain. Kami memutuskan untuk menunggu di dekat pintu keluar,
berpikir bahwa kami mungkin akan menghalangi mereka jika terlalu dekat.
Tak lama kemudian, para pemain
mulai bermunculan. Maaya masih tetap menjadi Maaya, dia tampaknya mengenal
banyak orang di klub bisbol. Saat dia lewat, dia bertukar sapa dan “Selamat” dengan
mereka. Beberapa orang menawarkan dengan baik, “Mau aku panggilkan Maru untukmu?”tetapi
Maaya dengan sopan menolak, mengatakan bahwa kami sudah menunggunya.
Maru-kun adalah orang terakhir
yang keluar. Ia terus melihat ke belakang ke ruang ganti, seolah-olah sedang
memeriksa sesuatu, lalu membungkuk pada mereka yang ada di dalam dan melangkah
keluar. Ia berjalan dengan kepala sedikit menunduk.
Ketika melihat kami, sebuah
senyuman halus tersungging di sudut mulutnya.
“Kerja bagus hari ini,” kata
Maaya sambil menyerahkan buket bunga kepadanya.
Mata Maru-kun terbelalak kaget
saat menerima bunga itu.
“Maaf.”
“Ini dari semua orang yang
datang untuk mendukungmu. Untuk seluruh tim bisbol. Kami pikir kamu harus
menerimanya karena kamu adalah kapten.”
“Ah.”
Maru-kun mengagumi buket bunga
itu sambil berdiri di sisi lorong agar tidak menghalangi.
Setelah mengambil napas
dalam-dalam, ia berhenti sejenak sebelum akhirnya berbicara.
“Yah... mereka kuat,” katanya,
lalu berhenti sejenak. “Mereka terlalu jago. Maaf mengecewakan meskipun kalian
semua datang untuk mendukung kami.”
Ia menunjukkan senyum kecut,
tapi aku tahu dari matanya yang bengkak dan memerah bahwa ia telah banyak
menangis sebelum keluar. Namun, Maru-kun selalu berusaha untuk menjadi yang
terakhir pergi, dan memperhatikan yang lain terlebih dahulu.
Maaya melangkah maju, mencoba
mengintip wajah Maru yang murung.
“Hei, kami datang untuk
mendukungmu sendiri, kau dengar? Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Ya,
tadi sangat menyenangkan untuk ditonton. Aku benar-benar puas!”
Maaya mencoba membuat suaranya
terdengar ceria, tetapi aku bisa tahu bahwa nada suaranya lebih tinggi dari
biasanya.
“Aku... juga bersenang-senang.
Ini adalah pertama kalinya aku menonton pertandingan bisbol.”
“Lihat, lihat. Jika Saki mengatakannya,
maka itu pasti benar. Jika itu hanya datang dariku, kamu mungkin berpikir aku
hanya sekedar menyanjung saja!”
“Tidak salah juga.”
“Heeey! Itu kejam! Kamu
benar-benar akan mengatakan itu? Yah, terserahlah, kalau kamu bisa memukul
delapan bola dalam empat kali percobaan, kita pasti menang, kan? Boo!”
“Hei sekarang, bagaimana aku
bisa mendapatkan lebih banyak pukulan daripada pemukul?"
“Gunakan dua bola! Dan jika kamu
memiliki dua pasang tangan dan kaki, secara fisik itu memungkinkan!"
“Dasar ilmuwan gila. Narasaka,
kita harus mendiskusikan apa arti kata
'fisik' suatu hari nanti.”
“Ayo saja, siapa takut!”
Mereka
berdua benar-benar dekat, ya? Aku berpikir dalam hati sambil
melihat olok-olok mereka yang menyenangkan.
Sejak kapan mereka berdua menjadi sedekat ini?
Maru-kun tersenyum melihat
Maaya membusungkan dadanya dan bertingkah sok jagoan. Namun sedetik kemudian,
senyum itu berubah menjadi seringai.
“Haha... kamu benar-benar
hebat...”
Setelah menatap langit-langit
seolah-olah ia sedang berusaha menahan sesuatu, Maru-kun tiba-tiba menoleh ke
arahku.
“Hei, Ayase.”
“Apa?”
“Bagaimana penampilan Asamura?”
“Hah, Asamura-kun?”
“Kamu tadi menonton bersamanya,
‘kan?”
“Um...”
Yah, itu ... kami memang bersama
sih, tapi...
“Maru-kun, dulu katanya kamu
pernah bilang kalau kamu ingin Asamura-kun menontonmu bermain setidaknya
sekali, bukan?”
Benarkah?
Tetapi jika itu masalahnya, maka dia seharusnya mengundang Asamura-kun secara
langsung.
“Jika aku hanya mengundang
Asamura, ia adalah tipe orang yang akan datang dan menonton sendiri.”
“Dan itu menjadi masalah?”
“Ya... aku ingin dia menonton,
tapi aku juga ingin seseorang menontonnya yang sedang memperhatikanku.”
Jadi
seseorang yang menonton Asamura-kun, yang sedang menonton Maru-kun?
Aku memiringkan kepalaku, tak
begitu mengerti maksdunya.
“Hmm, rasanya sulit untuk dijelaskan,”
kata Maru-kun, tatapannya mengembara ke jendela yang terbuka di sisi lapangan.
Musim panas menyebar di bawah
sinar matahari, diiringi suara jangkrik.
“Apa kamu tahu apa itu WBC,
Ayase?”
“Tidak,” jawabku jujur dan
disambut dengan senyuman kecut.
Maksudku, aku tidak pernah
benar-benar tertarik pada olahraga. Aku bahkan belum pernah menonton Olimpiade.
“Itu kependekan dari World Baseball Classic. Pada dasarnya
itu adalah kompetisi untuk menentukan siapa tim bisbol terbaik di dunia.”
“Dunia... Umm, jadi ini adalah
pertandingan bisbol yang besar, gitu?”
“Ya, kurang lebih seperti itu.”
Maru-kun menceritakan sebuah
kisah dari masa kecilnya.
Waktu itu merupakan masa-masa
setelah berakhirnya siaran TV analog, sekitar saat TV LCD mulai tersebar luas.
Hal itu membuat siaran HD pada layar datar besar dapat diakses oleh semua
orang. Pada musim panas itu, sebuah layar datar besar datang ke rumah Maru-kun,
dan karena ia sudah menjadi penggemar anime, ia pun terpaku di depan TV.
Kemudian, pada musim gugur itu,
pagelaran WBC diadakan.
Seluruh keluarganya akan
menonton pertandingan bersama-sama, dan meskipun Maru-kun awalnya frustrasi
karena tidak bisa menonton anime-nya, ia dengan cepat menjadi terpikat oleh
bisbol.
Melihat para pemain profesional
bertanding di panggung dunia meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi
Maru-kun yang masih kecil. Berlari mengelilingi lapangan, melempar bola, dan
memukul. Belum lagi duel lemparan bola yang memukau dan seru. Sayangnya, Jepang
tidak dapat meraih gelar juara pada tahun itu, tetapi pemandangan para pemain
yang mengejar bola putih kecil itu sangat mempengaruhinya.
Rasanya sangat mendebarkan
untuk ditonton. Hal itu membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdegup
kencang. Kegembiraan yang ia rasakan melalui layar kaca tidak dapat
dibandingkan dengan bentuk hiburan lainnya, dan Maru-kun yang masih kecil mulai
bermimpi untuk membuat orang lain merasakan kegembiraan yang sama melalui
bisbol.
“Jadi kamu memikirkan hal itu
saat bermain bisbol...”
“Tidak juga.”
Aku tidak bisa menahan diri
untuk mengatakan, “Hah?” Jadi ia tidak memikirkan hal itu?
“Aku terus bermain bisbol
karena aku menyukainya, tetapi aku tidak selalu memikirkan hal itu saat
bermain. Sebagai seorang anak, mungkin, tetapi semakin aku berkembang, semakin aku
merasakan kesenjangan antara pemain profesional dan diriku. Aku mulai berpikir
bahwa hal itu mungkin mustahil bagiku. Jadi, seiring berjalannya waktu, aku
berhenti memikirkannya."
“Jadi... begitu.”
Kami bertiga terdiam sejenak.
“Jadi, ya. Setelah banyak hal
yang terjadi, aku baru ingat kenapa aku memulainya. Kurasa itu mungkin berkat
wawancara orang tua dan guru.”
Aku bertanya-tanya mengapa ia
mengungkit masa lalu, tetapi ternyata Maru-kun sudah mulai memikirkan tentang
cita-citanya di masa depan.
Sebagai siswa kelas tiga SMA,
semua orang mulai memikirkan masa depan mereka.
“Aku menanyakan sesuatu kepada
Asamura beberapa waktu lalu. Tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi
seorang atlet profesional.”
“Umm... bakat?”
Maru-kun tertawa kecil.
“Kalian berdua... kalian
benar-benar seperti pinang yang dibelah dua.”
“Apa maksudmu?”
“Ah, yah, itu cerita lain.
Ngomong-ngomong, Ayase, menurutmu apa itu bakat?"
“Kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan profesi tertentu,” jawabku segera.
Maru-kun mengangguk
dalam-dalam.
Ini adalah kesalahpahaman yang
umum terjadi, tapi istilah “bakat”
tidak selalu berarti kemampuan yang berasal dari gen atau bawaan lahir. Aku
pernah mendengar dari Ibu bahwa ketika berbicara tentang bakat yang dibawa
sejak lahir, kita sering menggunakan istilah “bawaan” atau “alami” sebelumnya.
Itu berarti jika kita harus menggunakan kualifikasi seperti itu, kata “bakat”
itu sendiri tidak selalu berarti terlahir dengan itu.
Itu adalah perspektif yang kamu
harapkan dari Ibuku, yang mempelajari keterampilan bartending karena kebutuhan.
Kemampuan yang diperlukan untuk melakukan profesi tertentu.
Ibu juga mengatakan bahwa
beberapa profesi mungkin sangat bergantung pada kemampuan genetik. Meskipun,
sejujurnya aku tidak yakin bagaimana gen dapat mempengaruhi kemampuan
bartending.
“Jawaban yang kuat. Tapi itu
juga bukan jawaban yang lengkap. Aku dulu juga berpikir dengan cara yang sama.
Itulah mengapa aku selalu sadar akan kesenjangan keterampilan antara diriku dan
pemain pro.”
“Ya, aku mengerti.”
Meskipun aku suka memasak, aku
tidak pernah tertarik untuk mengejar karier sebagai koki. Aku hanya merasa
tidak punya kemampuan untuk itu. Aku juga tidak memiliki dorongan untuk menjadi
lebih baik. Jika rasanya sudah enak bagiku, itulah yang terpenting.
Jadi, sama seperti masakanku,
Maru-kun terus bermain bisbol karena dia menyukainya?
“Tapi aku mulai berpikir ada
yang lebih dari itu. Seperti yang aku katakan pada Asamura, kupikir bagi para
pemain profesional, ini semua tentang apakah mereka dapat menghasilkan banyak
uang dengan penampilan mereka.”
Maaya memilih momen tersebut
untuk menimpali.
“Jadi misalnya seperti, membuat
orang-orang berpikir bahwa pemain itu layak untuk ditonton?”
“Tepat sekali. Itu saja. Itulah
mengapa para pencari bakat memperhatikanmu, dan bagaimana kamu mendapatkan
penggemar. Itu adalah 'kualitas bintang'.
Menjadi bagus memang penting, tapi bukan hanya itu saja satu-satunya faktor
penentunya.”
“Oh, Maru, selalu dengan
hal-hal yang rumit.”
“Ini adalah topik yang rumit.
Dan, seperti yang telah kukatakan pada Asamura, aku tidak yakin bahwa, di luar
teknikku, permainanku memiliki daya tarik bagi penonton.”
Setelah Maru selesai berbicara,
akhirnya aku mengerti apa yang dia harapkan dariku.
“Intinya, kamu ingin seseorang
menonton permainanmu dan memberikan masukan?”
Maru-kun mengangguk.
“Tentu saja bukan umpan balik
dari setiap penonton. Jika aku bisa melakukan itu, permainanku pasti sudah
menarik perhatian seseorang.”
Meski demikian, ia mungkin juga
menyimpan harapan untuk itu.
“Tapi, kamu tahu, aku hanya
ingin bermain dengan cara yang bisa menggerakkan hati temanku. Lagipula, ini adalah
tahun terakhirku di SMA. Aku tidak ingin menyesal dengan waktu dan usaha yang
telah aku curahkan untuk bisbol,” kata Maru-kun pelan, sebelum menoleh ke
arahku.
“Jadi bagaimana penampilannya?”
“Ya... umm...”
Tidak ada gunanya berbohong,
dan aku juga tidak mau, jadi aku hanya mengatakan kepadanya apa yang kulihat
Asamura-kun lakukan. Tentang bagaimana Asamura-kun, yang menonton dengan
tenang, llau secara spontan berdiri dan bersorak ketika Maru-kun melakukan
pukulan. Tentang rasa frustasi di wajahnya ketika pukulan terakhir dilakukan.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat dia berekspresi seperti itu.
Maru-kun mendengarkan dalam
diam sampai akhir, lalu menjawab, “Oke, aku paham.”
“Aku benar-benar ingin menang
dan memamerkannya kepadanya, kau tahu? Astaga, aku merasa sangat menyedihkan.”
“Tidak apa-apa! Kamu sudah
melakukan yang terbaik!” Maaya berkata dengan cemberut.
“Dengar, dalam sebuah
kompetisi, 'melakukan yang terbaik'
tidak terlalu berarti. Ini bukan kontes tentang siapa yang berusaha lebih
keras.”
“Hmph.”
Maru-kun mengangkat bahu
melihat wajah frustasi yang ditunjukkan Maaya. Aku mengerti apa yang dikatakannya.
Ini bukan tentang siapa yang berusaha paling keras. Tapi-
“Tapi, kau bilang saat kau
masih kecil, kamu menonton ... WBC, ‘kan? Jepang tidak menang, ‘kan?”
“Benar, mereka berada di urutan
ketiga... kalau tidak salah.”
“Lalu kenapa kamu mulai bermain
bisbol setelah menonton itu?”
Maru-kun tampak bingung
mendengarnya.
“Yah... kurasa aku tergerak
oleh betapa kerasnya mereka berusaha untuk menang...”
“Lalu, jika Asamura-kun
tersentuh oleh penampilanmu, bukankah itu sesuatu yang berharga? Mungkin kamu
seharusnya tidak terlalu keras pada dirimu sendiri. Kecuali... kamu tidak benar-benar
berusaha sekuat tenaga?”
“Aku sudah berusaha!”
Suara Maru-kun tanpa sengaja
meninggi dalam pembelaannya, dan ia menutup mulutnya dengan cepat.
Maaya menepuk-nepuk punggungnya
yang lebar.
Dari ujung lorong, aku
mendengar rekan-rekan setimnya memanggil, “Oiii, Maru.” Sepertinya kami
mengobrol terlalu lama.
“Sebaiknya kita pulang sekarang.”
“O-oh ... Terima kasih untuk
buket bunganya, Narasaka."
“Masih kurang cukup bagus!”
“Hah?”
“Ucapan 'terima kasih' yang biasa dan formal itu membosankan! Ayo lakukan
lagi! Ayo, pikirkan sesuatu! Seperti memanggilku 'Putri Maaya' atau 'Nona Maaya'!”
“Apa—! Kamu idiot.”
Dengan ekspresi tidak percaya,
Maru-kun tiba-tiba berbalik dan mulai berjalan ke arah rekan-rekan satu timnya.
“Kejam sekali! Bukannya kamu
terlalu jahat?”
“Aku bilang aku berterima
kasih... Maaya.”
Seraya mengatakan itu, ia
melangkah pergi.
“Baiklah, ayo kita kembali
juga. Ayo kita pergi... Maaya?”
“J-Jangan lihat aku!”
Untuk beberapa alasan, wajah
Maaya memerah, dan ia menatap ke kejauhan. Dia tampak membeku di tempat.
... Tapi kami sudah membuat
Asamura-kun dan yang lainnya menunggu.
Setelah sosok Maru-kun
menghilang dari pandangan, hanya aku dan Maaya yang tersisa di lorong lantai satu
yang sempit.
Angin sepoi-sepoi berhembus
melalui jendela lorong yang hanya berupa lubang persegi.
“Haruskah kita pergi sekarang?”
“Ah, ya. Maaf sudah membuatmu
menunggu,” kata Maaya, dan kami mulai menaiki tangga menuju lorong lantai dua.
Tapi Maaya berhenti setelah
beberapa langkah. Aku bergegas kembali menghampirinya.
“Ada apa?”
Air mata jatuh dari wajahnya
yang tertunduk, membuat noda kecil seperti tinta di lantai beton abu-abu.
“Maaya...?”
Aku mencoba mengintip wajahnya,
tapi Maaya membenamkannya ke dalam dadaku. Isak tangis yang teredam mulai
terdengar dari bibirnya.
“Ini tidak adil. Ini benar-benar tidak adil.”
“Maaya.”
Kurasa ini pertama kalinya aku
melihatnya menangis. Itu bukanlah tangisan yang terlalu keras, hanya tangisan
yang tertahan saat dia terus membenamkan wajahnya di dadaku. Yang bisa aku
lakukan hanyalah mengelus punggungnya dengan lembut.
Di sela-sela isak tangisnya,
Maaya bercerita tentang betapa kerasnya usaha Maru-kun untuk turnamen musim
panas ini. Aku tidak tahu bagaimana dia tahu begitu banyak tentang hal itu,
tapi Maaya menceritakan semuanya padaku. Tentang bagaimana ia bahkan mulai
berlari di pagi hari pada hari-hari musim dingin. Dan ketika mereka bertemu di
hari libur yang jarang terjadi, dan Maru-kun sangat kelelahan sampai tertidur
telungkup di kafe (Jadi mereka bertemu di
tempat-tempat seperti itu.) Ia bahkan mengorbankan waktu menonton anime
larut malam kesukaannya untuk memastikan dirinya cukup tidur, dan berhenti
menghadiri acara-acara.
“Acara?”
“Dia bahkan melewatkan acara Comiket! Maru-kun yang otaku begitu!”
Aku tidak begitu yakin apa itu,
tapi sepertinya itu penting. Maaya begitu terpengaruh dalam usaha Maru-kun
sehingga kekalahannya terasa seperti kekalahannya sendiri.
“Tapi... Tapi, kau tahu, yang
benar-benar ingin menangis adalah dirinya. Jadi, kamu tahu—”
Maaya tak bisa menangis di hadapannya,
jadi dia menahan diri. Suara jangkrik di luar jendela seakan menenggelamkan
isak tangis Maaya yang lirih.
Awan menyembunyikan matahari,
meredupkan cahaya di lorong. Cahaya yang masuk memudar, dan noda air mata di
lantai ikut memudar.
“Sakiii...”
“Ya, ya. Ada apa?”
“Terima kasih sudah mau ikut
denganku.”
“Aku mengerti, aku mengerti.”
Aku terus menepuk-nepuk
punggungnya, namun isak tangis Maaya tak kunjung berhenti.
Yah,
karena hanya ini yang bisa kulakukan.
Menyebutnya “sahabat” mungkin
terlalu berlebihan, mengingat aku belum cukup banyak berada di sana untuknya.
Aku bahkan tidak menyadari betapa dekatnya Maaya dan Maru-kun.
“Uh... hiks. Sakiii...”
“Mm?”
“Ia benar-benar mencoba yang
terbaik, bukan?”
“... Bodoh.”
“Uh?”
“Bagaimana jika aku bilang tidak?”
“Mm... Aku akan marah.”
“Kalau begitu sama saja tidak
peduli apa yang kukatakan, bukan? Maru-kun sendiri yang mengatakannya.”
"Apa yang ia katakan?”
Gadis ini... berpura-pura bodoh
padahal biasanya dia jauh lebih peka dariku...
“Ia bilang kalau dirinya ingin
bermain dengan cara yang bisa membuat teman-temannya terkesan, kan? Jadi, yang
paling penting bagi Maru-kun adalah bagaimana dirinya terlihat oleh
teman-temannya, bukan aku. Sama seperti bagaimana ia ingin pamer pada
Asamura-kun.”
Maaya mengangkat kepalanya.
Ya
ampun, air matanya telah membuat semua alas bedak dan riasannya luntur
berantakan.
“Ini. Usap wajahmu, usap
wajahmu,” kataku sambil menempelkan sapu tangan ke wajahnya.
“Mm...”
“Bukankah kamu temannya, Maaya?”
“Hiks... Mungkin.”
“Kalau begitu, tidak ada
gunanya aku berkata, 'Aku pikir dia sudah
melakukan yang terbaik’. Kamu harus mengatakannya sebanyak yang kamu mau.
Karena memang begitulah yang kamu lihat, bukan?”
Aku berbicara perlahan,
membiarkan kata-kata itu meresap, dan Maaya mengangguk lagi dan lagi dengan
wajah yang terbenam dalam saputangan.
Ya, pendapatku sama sekali tidak
penting.
Dalam cerita apa pun, karakter
sampingan memiliki dampak besar pada karakter utama, bukan pengamat acak. Aku
tidak begitu mengenal Maru-kun dengan baik. Dalam ceritanya, aku tidak lebih dari
sekedar karakter figuran A. Aku bukan seseorang yang sangat terhubung
dengannya.
Tapi—Bagaimana dengan Maaya?
Apa dia hanya mengenalnya sebagai teman sekelasnya dan kemudian, karena suatu
takdir, mengetahui situasinya dan mulai mendukungnya?
Atau mungkin dia ingin terlibat
lebih dalam—seperti, ingin menjadi tokoh penting dalam cerita Maru-kun.
—Bagaimana
kamu melihatnya?
—Itu
adalah sesuatu yang harus kamu ceritakan pada Maru-kun sendiri.
Mengatakan sebanyak itu pada
Maaya, aku mulai bertanya-tanya siapa yang sebenarnya aku bicarakan di sini.
Gumpalan awan pun menyebar, dan
sinar matahari kembali.
Cahaya yang masuk dari jendela
membentuk sebuah bentuk persegi di lantai.
Tidak ada jejak air mata yang
tertinggal.
◇◇◇◇
Setelah berpisah dengan semua
orang di stasiun Shibuya, aku dibiarkan berdua dengan Asamura-kun.
Matahari akhirnya mulai condong
ke arah langit barat, dan langit biru berangsur-angsur menjadi gelap dari arah
timur.
Aku mengintip wajah Asamura-kun
saat kami berjalan menyusuri jalan di malam hari.
Ketika aku bertanya apa ia
merasa lelah, ia berpikir sejenak dan memberikan jawaban yang tidak jelas, seolah-olah
tidak yakin apa merasa lelah atau tidak.
Aku tidak bisa menahan tawa.
Maksudku, tmana mungkin ia tidak lelah setelah bersorak-sorai dengan penuh
semangat begitu.
Saat kami berbelok ke jalan
yang sempit, hiruk pikuk kota mulai memudar.
Tergantikan oleh suara jangkrik yang berisik.
Saat kami berjalan melewati
taman, Asamura-kun bertanya tentang apa yang terjadi saat aku bertemu dengan
Maaya. Namun aku meminta maaf, mengatakan bahwa itu adalah masalah pribadi
Maaya dan aku tidak bisa membicarakannya.
Asamura-kun tidak mendesak
lebih jauh.
Itu adalah sisi baik yang
sangat aku kagumi darinya; ia menghormati privasi orang lain. Tapi bukan
berarti ia sengaja berusaha menjauhkan diri dari orang lain.
...
Atau mungkin ia memang begitu?
Mungkin Asamura-kun yang
pertama kali aku temui memang berusaha menjaga jarak. Aku merasakan hal yang
sama saat itu. Sejujurnya, kupikir aku adalah orang yang lebih cenderung
menjaga jarak dengan orang lain.
Seperti sebuah pulau terpencil
di lautan. Seperti batu yang tidak bisa ditembus.
Aku ingin menjadi kuat dan
memiliki keterampilan untuk bertahan hidup sendiri. Asamura-kun sepertinya merasakan
hal yang sama.
Dia tidak memberikan getaran “jauh-jauh dariku” yang jelas seperti
yang aku lakukan. Lagipula, ia memiliki Maru-kun sebagai teman dekatnya.
Dalam kasus aku, aku bahkan
berusaha menjaga jarak dengan Maaya. Dan tetap saja, dia dengan sabar menungguku.
Sampai aku bertemu dengan Asamura-kun dan perlahan-lahan membongkar sangkar
berduri yang kubangun di sekelilingku.
Sedikit demi sedikit, selangkah
demi selangkah. Maaya sangat sabar.
Walau demikian, dia menjadi
sangat dekat dengan Maru-kun tanpa aku sadari. Ketika dia menginginkan sesuatu,
dia akan bersabar dan benar-benar melakukannya.
“Kupu-kupu sosial” adalah
istilah yang sering digunakan Asamura-kun untuk menggambarkan Maaya. Tetapi
jika kamu bertanya kepadaku, aku akan mengatakan bahwa Maaya sangat pandai
menjaga jarak dengan orang lain. Dia mendekati orang-orang yang membuatnya
nyaman dengan mudah, dan dengan seseorang yang sulit sepertiku, dia secara
bertahap menjembatani kesenjangan.
Sedangkan aku justru
kebalikannya. Aku selalu berjuang dengan seberapa dekat atau jauh aku dengan
orang lain. Mungkin karena aku telah menjauhkan diri dari orang lain sejak
kecil. Jadi, kebanyakan orang muak dengan sikap dinginku dan menjauhkan diri
sejak dini. Wajah seorang junior baru di tempat kerja terlintas dalam benakku.
Pada awalnya, dia tampak sangat cepat akrab denganku, tetapi mungkin karena aku
merasa tidak nyaman, rasanya dia mulai menjaga jarak akhir-akhir ini. Hubungan
antar-manusia memang sangat rumit.
Di tepi taman, aku melihat
orang tua dan anak sedang bermain lempar tangkap.
“Apa kamu pernah melakukan itu
dengan Ayah tiri?”
Aku mungkin terinspirasi untuk
menanyakan hal itu karena kami baru saja pulang dari menonton pertandingan
bisbol. Aku tidak bermaksud menanyakan hal itu sedalam itu.
Jawaban Asamaru-kun adalah
bahwa ia lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca daripada berolahraga. Aku
sudah bisa menebaknya, meskipun ia tidak mengatakannya kepada aku. Hal itu
sangat sesuai dengan gambaranku tentang dirinya.
Namun, ia tahu lebih banyak
tentang olahraga daripada aku. Ia segera menepisnya, mengatakan bahwa itu hanya
karena dia membaca novel dan manga olahraga. Jelas sekali ia tahu lebih banyak
tentang bisbol daripada aku selama pertandingan bisbol.
Ketika aku menunjukkan hal itu,
Asamura-kun menyebutnya sebagai sudut pandang seorang pemula, sambil mengatakan
bahwa ia merasa malu karena ia berteriak dan sangat bersemangat saat bersorak.
“Aku begitu terpesona saat
melihatnya, sampai-sampai aku terbawa suasana. Jika dipikir-pikir sekarang, aku
mungkin terlihat sangat bodoh.”
Bagaimana
kamu bisa berkata seperti itu? Terutama, ketika temanmu sangat senang dengan
reaksimu.
Aku tidak seperti biasanya
bersikeras dalam penyangkalanku. Aku tahu Asamura-kun mengucapkan kata-kata itu
karena ia malu, tapi aku merasa perlu untuk mengoreksinya.
Maaya harus memberitahu
Maru-kun bagaimana perasaannya.
Tapi ketika itu menyangkut
Asamura-kun—
Aku mencuri pandang ke arah
kekasihku yang berjalan di sampingku. Asamura Yuuta—aku ingin terus menjadi
kekasihnya. Aku tidak ingin kembali menjadi karakter figuran seperti seorang
pejalan kaki yang lewat begitu saja.
Jadi, aku dengan penuh semangat
menjelaskan bagaimana perasaanku melihatnya mendukung temannya. Jika aku ingin
dilihat sebagai tokoh penting dalam ceritanya, maka aku harus menjadi orang
yang mengatakan itu kepadanya.
Aku ingat diriku sendiri di
lapangan voli, menciut dan meringkuk. Aku juga ingat wajah semua orang yang
menyemangatiku.
Jarak yang tepat. Maaya tidak
ragu-ragu ketika tiba saatnya untuk melangkah maju.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Aku ingin berpegangan tangan.
Boleh?”
Ia menatapku, sedikit terkejut,
lalu menunduk ke arah tangannya sendiri. Tangannya tetap melayang di udara,
jadi aku mengulurkan tanganku.
“Mm.”
Jantungku berdegup kencang saat
tanganku menggantung di udara. Asamura-kun dengan lembut meraihnya. Kami
membiarkan tangan kami secara alami jatuh di antara kami.
Kami berhenti berjalan di suatu
titik, jadi kami terus berjalan, tangan kami saling bergandengan.
“Kamu tahu, melihatmu bersorak
gembira seperti itu, Asamura-kun—”
Aku
yang akan mengatakannya
“Aku pikir kamu terlihat sangat
keren.”
Suara jangkrik yang berisik itu
adalah sebuah berkah. Seandainya suara itu lebih tenang, ia pasti akan
mendengar detak jantungku yang keras.
Aku mengeratkan genggamanku pada tangannya, dan tidak ingin melepaskannya sama sekali.