Gimai Seikatsu Jilid 9 Bab 12 Bahasa Indonesia

Bab 12 — 22 Juli (Kamis) Ayase Saki

 

Aku sedang duduk di samping Asamura-kun, dan menyadari kalau dirinya tiba-tiba berdiri dari sudut mataku.

Dengan lantang ia meneriakkan nama sahabatnya.

Saat itu, aku mendengar suara dentang logam. Aku segera melihat kembali ke lapangan hijau.

Di mana bolanya? Di sana!

Bola, yang telah menyatu dengan langit biru dan awan putih, akhirnya terlihat saat memantul di permukaan rumput.

Bola itu bergulir di tengah-tengah lapangan luar yang berbentuk kipas sementara seorang pemain lawan dengan panik mengejarnya.

Maru-kun, yang sudah mulai berlari, berlari kencang di garis putih yang digambar dalam bentuk wajik, dan mencapai tikungan kedua.

Pukulan? Itu yang disebut pukulan, kan?

Aku menoleh ke arah Asamura-kun, yang mungkin sedang bahagia. Yang mengejutkan aku, ia masih berdiri sambil berteriak keras.

“Ia berhasil!”

Itu adalah ekspresi dan gerakan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ia mengayunkan tinjunya dengan penuh kegembiraan.

Melihatnya yang bertingkah demikian, sebuah senyuman secara alami muncul di wajahku. Rasanya menular. Bagus untuknya.

Aku menepuk pelan pinggulnya. Ia menoleh dengan terkejut.

“Tadi sangat bagus, bukan?” Aku berkata sambil tersenyum.

Asamura-kun terlihat terkejut sejenak sebelum dengan cepat duduk kembali. Tampaknya, ia bahkan tidak menyadari kalau dirinya sedang berdiri.

Pertandingan hampir berakhir, dan meskipun Maru-kun berhasil melakukan pukulan (yang tampaknya disebut double), para pemain berikutnya tidak bisa mencetak angka. Mereka hanya berhasil mendapatkan satu poin.

Saat itu, mereka sudah tertinggal tiga poin.

Lalu pada inning berikutnya, mereka membiarkan tim lawan mencetak satu poin lagi, membuat jarak skornya semakin lebar.

Pertandingan berakhir seperti itu.

8 lawan 4. Tim bisbol SMA Suisei kalah.

Para pemain berbaris dan kemudian berjalan dari bangku cadangan ke tribun penonton, menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih.

Maaya memimpin, dan kami semua berdiri untuk memuji usaha mereka.

Tak berselang lama, smartphone-ku berdengung.

Maaya: Setelah bersih-bersih, bisakah kamu keluar sebentar?

Ketika aku mendongak, aku melihat Maaya melambaikan tangan ke arahku dari depan tribun.

Aku menyimpan minuman yang kubuka, memberitahu Asamura-kun dan yang lainnya bahwa aku akan segera kembali dan menuju ke tempat Maaya.

Aku bertemu dengan Maaya. Sepertinya kelompoknya juga sudah selesai bersih-bersih.

“Kerja bagus hari ini semuanya~! Terima kasih!”

Maaya menunggu jawaban, lalu berkata, “Kami mengadakan acara kumpul-kumpul kecil-kecilan di dekat stasiun. Bagi yang ingin bergabung, pergilah ke restoran~. Kalau kalian punya rencana lain, kalian tidak perlu memaksakan diri untuk ikutan!”

“Mengerti,” jawab semua orang.

“Kalian mengadakan pesta 'terima kasih'?”

“Yah, kami keluar saat liburan musim panas, jadi akan menyenangkan untuk mengobrol sedikit, bukan begitu?”

“Masuk akal.”

“Jadi, aku berpikir untuk memberi kejutan pada Maru-kun dan yang lainnya di lorong dekat ruang ganti pemain. Mau ikut, Saki?”

Aku terkejut dengan permintaan Maaya. Dia memegang sebuah buket bunga.

Bukannya itu yang disebut menyergap seseorang? Bukannya itu menjengkelkan? Bukannya mereka memiliki pertemuan pasca pertandingan dan kumpul-kumpul sendiri antar sesama anggota klub?

“Tidak apa-apa, aku sudah berbicara dengan klub. Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada mereka atas nama kita semua,” katanya sambil mengangkat buket bunga itu dan menunjukkannya kepadaku.

Ah oke, jadi dia adalah perwakilan dari tim pemandu sorak Maaya.

“Kalau begitu, bukankah seharusnya kamu mengundang Asamura-kun dan yang lainnya juga?”

Aku merasa seperti itu, tapi Maaya samar-samar menjawab, “Yah, kamu tahu,” menyiratkan bahwa dia lebih suka jika hanya aku saja yang hadir.

“Aku mohon! Aku hanya ingin menyerahkan ini dan mengucapkan beberapa patah kata!”

Aku memutuskan untuk mengiyakan saja, karena berpikir kalau itu tidak akan memakan waktu lama. Jika terlalu lama, aku bisa tinggal mengirim pesan. Dengan pemikiran tersebut, aku mengikuti di belakang Maaya. Aku tidak terlalu dekat dengan Maru-kun. Aku ingin tahu apa ini akan baik-baik saja. Kuharap ini tidak akan canggung.

Ada tangga yang mengarah ke lantai satu tidak jauh dari lapangan, dan di bagian bawahnya ada lorong menuju ruang ganti pemain. Kami memutuskan untuk menunggu di dekat pintu keluar, berpikir bahwa kami mungkin akan menghalangi mereka jika terlalu dekat.

Tak lama kemudian, para pemain mulai bermunculan. Maaya masih tetap menjadi Maaya, dia tampaknya mengenal banyak orang di klub bisbol. Saat dia lewat, dia bertukar sapa dan “Selamat” dengan mereka. Beberapa orang menawarkan dengan baik, “Mau aku panggilkan Maru untukmu?”tetapi Maaya dengan sopan menolak, mengatakan bahwa kami sudah menunggunya.

Maru-kun adalah orang terakhir yang keluar. Ia terus melihat ke belakang ke ruang ganti, seolah-olah sedang memeriksa sesuatu, lalu membungkuk pada mereka yang ada di dalam dan melangkah keluar. Ia berjalan dengan kepala sedikit menunduk.

Ketika melihat kami, sebuah senyuman halus tersungging di sudut mulutnya.

“Kerja bagus hari ini,” kata Maaya sambil menyerahkan buket bunga kepadanya.

Mata Maru-kun terbelalak kaget saat menerima bunga itu.

“Maaf.”

“Ini dari semua orang yang datang untuk mendukungmu. Untuk seluruh tim bisbol. Kami pikir kamu harus menerimanya karena kamu adalah kapten.”

“Ah.”

Maru-kun mengagumi buket bunga itu sambil berdiri di sisi lorong agar tidak menghalangi.

Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia berhenti sejenak sebelum akhirnya berbicara.

“Yah... mereka kuat,” katanya, lalu berhenti sejenak. “Mereka terlalu jago. Maaf mengecewakan meskipun kalian semua datang untuk mendukung kami.”

Ia menunjukkan senyum kecut, tapi aku tahu dari matanya yang bengkak dan memerah bahwa ia telah banyak menangis sebelum keluar. Namun, Maru-kun selalu berusaha untuk menjadi yang terakhir pergi, dan memperhatikan yang lain terlebih dahulu.

Maaya melangkah maju, mencoba mengintip wajah Maru yang murung.

“Hei, kami datang untuk mendukungmu sendiri, kau dengar? Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Ya, tadi sangat menyenangkan untuk ditonton. Aku benar-benar puas!”

Maaya mencoba membuat suaranya terdengar ceria, tetapi aku bisa tahu bahwa nada suaranya lebih tinggi dari biasanya.

“Aku... juga bersenang-senang. Ini adalah pertama kalinya aku menonton pertandingan bisbol.”

“Lihat, lihat. Jika Saki mengatakannya, maka itu pasti benar. Jika itu hanya datang dariku, kamu mungkin berpikir aku hanya sekedar menyanjung saja!”

“Tidak salah juga.”

“Heeey! Itu kejam! Kamu benar-benar akan mengatakan itu? Yah, terserahlah, kalau kamu bisa memukul delapan bola dalam empat kali percobaan, kita pasti menang, kan? Boo!”

“Hei sekarang, bagaimana aku bisa mendapatkan lebih banyak pukulan daripada pemukul?"

“Gunakan dua bola! Dan jika kamu memiliki dua pasang tangan dan kaki, secara fisik itu memungkinkan!"

“Dasar ilmuwan gila. Narasaka, kita harus mendiskusikan apa arti kata 'fisik' suatu hari nanti.”

“Ayo saja, siapa takut!”

Mereka berdua benar-benar dekat, ya? Aku berpikir dalam hati sambil melihat olok-olok mereka yang menyenangkan. Sejak kapan mereka berdua menjadi sedekat ini?

Maru-kun tersenyum melihat Maaya membusungkan dadanya dan bertingkah sok jagoan. Namun sedetik kemudian, senyum itu berubah menjadi seringai.

“Haha... kamu benar-benar hebat...”

Setelah menatap langit-langit seolah-olah ia sedang berusaha menahan sesuatu, Maru-kun tiba-tiba menoleh ke arahku.

“Hei, Ayase.”

“Apa?”

“Bagaimana penampilan Asamura?”

“Hah, Asamura-kun?”

“Kamu tadi menonton bersamanya, ‘kan?”

“Um...”

Yah, itu ... kami memang bersama sih, tapi...

“Maru-kun, dulu katanya kamu pernah bilang kalau kamu ingin Asamura-kun menontonmu bermain setidaknya sekali, bukan?”

Benarkah? Tetapi jika itu masalahnya, maka dia seharusnya mengundang Asamura-kun secara langsung.

“Jika aku hanya mengundang Asamura, ia adalah tipe orang yang akan datang dan menonton sendiri.”

“Dan itu menjadi masalah?”

“Ya... aku ingin dia menonton, tapi aku juga ingin seseorang menontonnya yang sedang memperhatikanku.”

Jadi seseorang yang menonton Asamura-kun, yang sedang menonton Maru-kun?

Aku memiringkan kepalaku, tak begitu mengerti maksdunya.

“Hmm, rasanya sulit untuk dijelaskan,” kata Maru-kun, tatapannya mengembara ke jendela yang terbuka di sisi lapangan.

Musim panas menyebar di bawah sinar matahari, diiringi suara jangkrik.

“Apa kamu tahu apa itu WBC, Ayase?”

“Tidak,” jawabku jujur dan disambut dengan senyuman kecut.

Maksudku, aku tidak pernah benar-benar tertarik pada olahraga. Aku bahkan belum pernah menonton Olimpiade.

“Itu kependekan dari World Baseball Classic. Pada dasarnya itu adalah kompetisi untuk menentukan siapa tim bisbol terbaik di dunia.”

“Dunia... Umm, jadi ini adalah pertandingan bisbol yang besar, gitu?”

“Ya, kurang lebih seperti itu.”

Maru-kun menceritakan sebuah kisah dari masa kecilnya.

Waktu itu merupakan masa-masa setelah berakhirnya siaran TV analog, sekitar saat TV LCD mulai tersebar luas. Hal itu membuat siaran HD pada layar datar besar dapat diakses oleh semua orang. Pada musim panas itu, sebuah layar datar besar datang ke rumah Maru-kun, dan karena ia sudah menjadi penggemar anime, ia pun terpaku di depan TV.

Kemudian, pada musim gugur itu, pagelaran WBC diadakan.

Seluruh keluarganya akan menonton pertandingan bersama-sama, dan meskipun Maru-kun awalnya frustrasi karena tidak bisa menonton anime-nya, ia dengan cepat menjadi terpikat oleh bisbol.

Melihat para pemain profesional bertanding di panggung dunia meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi Maru-kun yang masih kecil. Berlari mengelilingi lapangan, melempar bola, dan memukul. Belum lagi duel lemparan bola yang memukau dan seru. Sayangnya, Jepang tidak dapat meraih gelar juara pada tahun itu, tetapi pemandangan para pemain yang mengejar bola putih kecil itu sangat mempengaruhinya.

Rasanya sangat mendebarkan untuk ditonton. Hal itu membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdegup kencang. Kegembiraan yang ia rasakan melalui layar kaca tidak dapat dibandingkan dengan bentuk hiburan lainnya, dan Maru-kun yang masih kecil mulai bermimpi untuk membuat orang lain merasakan kegembiraan yang sama melalui bisbol.

“Jadi kamu memikirkan hal itu saat bermain bisbol...”

“Tidak juga.”

Aku tidak bisa menahan diri untuk mengatakan, “Hah?” Jadi ia tidak memikirkan hal itu?

“Aku terus bermain bisbol karena aku menyukainya, tetapi aku tidak selalu memikirkan hal itu saat bermain. Sebagai seorang anak, mungkin, tetapi semakin aku berkembang, semakin aku merasakan kesenjangan antara pemain profesional dan diriku. Aku mulai berpikir bahwa hal itu mungkin mustahil bagiku. Jadi, seiring berjalannya waktu, aku berhenti memikirkannya."

“Jadi... begitu.”

Kami bertiga terdiam sejenak.

“Jadi, ya. Setelah banyak hal yang terjadi, aku baru ingat kenapa aku memulainya. Kurasa itu mungkin berkat wawancara orang tua dan guru.”

Aku bertanya-tanya mengapa ia mengungkit masa lalu, tetapi ternyata Maru-kun sudah mulai memikirkan tentang cita-citanya di masa depan.

Sebagai siswa kelas tiga SMA, semua orang mulai memikirkan masa depan mereka.

“Aku menanyakan sesuatu kepada Asamura beberapa waktu lalu. Tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang atlet profesional.”

“Umm... bakat?”

Maru-kun tertawa kecil.

“Kalian berdua... kalian benar-benar seperti pinang yang dibelah dua.”

“Apa maksudmu?”

“Ah, yah, itu cerita lain. Ngomong-ngomong, Ayase, menurutmu apa itu bakat?"

“Kemampuan yang diperlukan untuk melakukan profesi tertentu,” jawabku segera.

Maru-kun mengangguk dalam-dalam.

Ini adalah kesalahpahaman yang umum terjadi, tapi istilah “bakat” tidak selalu berarti kemampuan yang berasal dari gen atau bawaan lahir. Aku pernah mendengar dari Ibu bahwa ketika berbicara tentang bakat yang dibawa sejak lahir, kita sering menggunakan istilah “bawaan” atau “alami” sebelumnya. Itu berarti jika kita harus menggunakan kualifikasi seperti itu, kata “bakat” itu sendiri tidak selalu berarti terlahir dengan itu.

Itu adalah perspektif yang kamu harapkan dari Ibuku, yang mempelajari keterampilan bartending karena kebutuhan. Kemampuan yang diperlukan untuk melakukan profesi tertentu.

Ibu juga mengatakan bahwa beberapa profesi mungkin sangat bergantung pada kemampuan genetik. Meskipun, sejujurnya aku tidak yakin bagaimana gen dapat mempengaruhi kemampuan bartending.

“Jawaban yang kuat. Tapi itu juga bukan jawaban yang lengkap. Aku dulu juga berpikir dengan cara yang sama. Itulah mengapa aku selalu sadar akan kesenjangan keterampilan antara diriku dan pemain pro.”

“Ya, aku mengerti.”

Meskipun aku suka memasak, aku tidak pernah tertarik untuk mengejar karier sebagai koki. Aku hanya merasa tidak punya kemampuan untuk itu. Aku juga tidak memiliki dorongan untuk menjadi lebih baik. Jika rasanya sudah enak bagiku, itulah yang terpenting.

Jadi, sama seperti masakanku, Maru-kun terus bermain bisbol karena dia menyukainya?

“Tapi aku mulai berpikir ada yang lebih dari itu. Seperti yang aku katakan pada Asamura, kupikir bagi para pemain profesional, ini semua tentang apakah mereka dapat menghasilkan banyak uang dengan penampilan mereka.”

Maaya memilih momen tersebut untuk menimpali.

“Jadi misalnya seperti, membuat orang-orang berpikir bahwa pemain itu layak untuk ditonton?”

“Tepat sekali. Itu saja. Itulah mengapa para pencari bakat memperhatikanmu, dan bagaimana kamu mendapatkan penggemar. Itu adalah 'kualitas bintang'. Menjadi bagus memang penting, tapi bukan hanya itu saja satu-satunya faktor penentunya.”

“Oh, Maru, selalu dengan hal-hal yang rumit.”

“Ini adalah topik yang rumit. Dan, seperti yang telah kukatakan pada Asamura, aku tidak yakin bahwa, di luar teknikku, permainanku memiliki daya tarik bagi penonton.”

Setelah Maru selesai berbicara, akhirnya aku mengerti apa yang dia harapkan dariku.

“Intinya, kamu ingin seseorang menonton permainanmu dan memberikan masukan?”

Maru-kun mengangguk.

“Tentu saja bukan umpan balik dari setiap penonton. Jika aku bisa melakukan itu, permainanku pasti sudah menarik perhatian seseorang.”

Meski demikian, ia mungkin juga menyimpan harapan untuk itu.

“Tapi, kamu tahu, aku hanya ingin bermain dengan cara yang bisa menggerakkan hati temanku. Lagipula, ini adalah tahun terakhirku di SMA. Aku tidak ingin menyesal dengan waktu dan usaha yang telah aku curahkan untuk bisbol,” kata Maru-kun pelan, sebelum menoleh ke arahku.

“Jadi bagaimana penampilannya?”

“Ya... umm...”

Tidak ada gunanya berbohong, dan aku juga tidak mau, jadi aku hanya mengatakan kepadanya apa yang kulihat Asamura-kun lakukan. Tentang bagaimana Asamura-kun, yang menonton dengan tenang, llau secara spontan berdiri dan bersorak ketika Maru-kun melakukan pukulan. Tentang rasa frustasi di wajahnya ketika pukulan terakhir dilakukan. Itu adalah pertama kalinya aku melihat dia berekspresi seperti itu.

Maru-kun mendengarkan dalam diam sampai akhir, lalu menjawab, “Oke, aku paham.”

“Aku benar-benar ingin menang dan memamerkannya kepadanya, kau tahu? Astaga, aku merasa sangat menyedihkan.”

“Tidak apa-apa! Kamu sudah melakukan yang terbaik!” Maaya berkata dengan cemberut.

“Dengar, dalam sebuah kompetisi, 'melakukan yang terbaik' tidak terlalu berarti. Ini bukan kontes tentang siapa yang berusaha lebih keras.”

“Hmph.”

Maru-kun mengangkat bahu melihat wajah frustasi yang ditunjukkan Maaya. Aku mengerti apa yang dikatakannya. Ini bukan tentang siapa yang berusaha paling keras. Tapi-

“Tapi, kau bilang saat kau masih kecil, kamu menonton ... WBC, ‘kan? Jepang tidak menang, ‘kan?”

“Benar, mereka berada di urutan ketiga... kalau tidak salah.”

“Lalu kenapa kamu mulai bermain bisbol setelah menonton itu?”

Maru-kun tampak bingung mendengarnya.

“Yah... kurasa aku tergerak oleh betapa kerasnya mereka berusaha untuk menang...”

“Lalu, jika Asamura-kun tersentuh oleh penampilanmu, bukankah itu sesuatu yang berharga? Mungkin kamu seharusnya tidak terlalu keras pada dirimu sendiri. Kecuali... kamu tidak benar-benar berusaha sekuat tenaga?”

“Aku sudah berusaha!”

Suara Maru-kun tanpa sengaja meninggi dalam pembelaannya, dan ia menutup mulutnya dengan cepat.

Maaya menepuk-nepuk punggungnya yang lebar.

Dari ujung lorong, aku mendengar rekan-rekan setimnya memanggil, “Oiii, Maru.” Sepertinya kami mengobrol terlalu lama.

“Sebaiknya kita pulang sekarang.”

“O-oh ... Terima kasih untuk buket bunganya, Narasaka."

“Masih kurang cukup bagus!”

“Hah?”

“Ucapan 'terima kasih' yang biasa dan formal itu membosankan! Ayo lakukan lagi! Ayo, pikirkan sesuatu! Seperti memanggilku 'Putri Maaya' atau 'Nona Maaya'!”

“Apa—! Kamu idiot.”

Dengan ekspresi tidak percaya, Maru-kun tiba-tiba berbalik dan mulai berjalan ke arah rekan-rekan satu timnya.

“Kejam sekali! Bukannya kamu terlalu jahat?”

“Aku bilang aku berterima kasih... Maaya.”

Seraya mengatakan itu, ia melangkah pergi.

“Baiklah, ayo kita kembali juga. Ayo kita pergi... Maaya?”

“J-Jangan lihat aku!”

Untuk beberapa alasan, wajah Maaya memerah, dan ia menatap ke kejauhan. Dia tampak membeku di tempat.

... Tapi kami sudah membuat Asamura-kun dan yang lainnya menunggu.

Setelah sosok Maru-kun menghilang dari pandangan, hanya aku dan Maaya yang tersisa di lorong lantai satu yang sempit.

Angin sepoi-sepoi berhembus melalui jendela lorong yang hanya berupa lubang persegi.

“Haruskah kita pergi sekarang?”

“Ah, ya. Maaf sudah membuatmu menunggu,” kata Maaya, dan kami mulai menaiki tangga menuju lorong lantai dua.

Tapi Maaya berhenti setelah beberapa langkah. Aku bergegas kembali menghampirinya.

“Ada apa?”

Air mata jatuh dari wajahnya yang tertunduk, membuat noda kecil seperti tinta di lantai beton abu-abu.

“Maaya...?”

Aku mencoba mengintip wajahnya, tapi Maaya membenamkannya ke dalam dadaku. Isak tangis yang teredam mulai terdengar dari bibirnya.

 “Ini tidak adil. Ini benar-benar tidak adil.”

“Maaya.”

Kurasa ini pertama kalinya aku melihatnya menangis. Itu bukanlah tangisan yang terlalu keras, hanya tangisan yang tertahan saat dia terus membenamkan wajahnya di dadaku. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengelus punggungnya dengan lembut.

Di sela-sela isak tangisnya, Maaya bercerita tentang betapa kerasnya usaha Maru-kun untuk turnamen musim panas ini. Aku tidak tahu bagaimana dia tahu begitu banyak tentang hal itu, tapi Maaya menceritakan semuanya padaku. Tentang bagaimana ia bahkan mulai berlari di pagi hari pada hari-hari musim dingin. Dan ketika mereka bertemu di hari libur yang jarang terjadi, dan Maru-kun sangat kelelahan sampai tertidur telungkup di kafe (Jadi mereka bertemu di tempat-tempat seperti itu.) Ia bahkan mengorbankan waktu menonton anime larut malam kesukaannya untuk memastikan dirinya cukup tidur, dan berhenti menghadiri acara-acara.

“Acara?”

“Dia bahkan melewatkan acara Comiket! Maru-kun yang otaku begitu!”

Aku tidak begitu yakin apa itu, tapi sepertinya itu penting. Maaya begitu terpengaruh dalam usaha Maru-kun sehingga kekalahannya terasa seperti kekalahannya sendiri.

“Tapi... Tapi, kau tahu, yang benar-benar ingin menangis adalah dirinya. Jadi, kamu tahu—”

Maaya tak bisa menangis di hadapannya, jadi dia menahan diri. Suara jangkrik di luar jendela seakan menenggelamkan isak tangis Maaya yang lirih.

Awan menyembunyikan matahari, meredupkan cahaya di lorong. Cahaya yang masuk memudar, dan noda air mata di lantai ikut memudar.

“Sakiii...”

“Ya, ya. Ada apa?”

“Terima kasih sudah mau ikut denganku.”

“Aku mengerti, aku mengerti.”

Aku terus menepuk-nepuk punggungnya, namun isak tangis Maaya tak kunjung berhenti.

Yah, karena hanya ini yang bisa kulakukan.

Menyebutnya “sahabat” mungkin terlalu berlebihan, mengingat aku belum cukup banyak berada di sana untuknya. Aku bahkan tidak menyadari betapa dekatnya Maaya dan Maru-kun.

“Uh... hiks. Sakiii...”

“Mm?”

“Ia benar-benar mencoba yang terbaik, bukan?”

“... Bodoh.”

“Uh?”

“Bagaimana jika aku bilang tidak?”

“Mm... Aku akan marah.”

“Kalau begitu sama saja tidak peduli apa yang kukatakan, bukan? Maru-kun sendiri yang mengatakannya.”

"Apa yang ia katakan?”

Gadis ini... berpura-pura bodoh padahal biasanya dia jauh lebih peka dariku...

“Ia bilang kalau dirinya ingin bermain dengan cara yang bisa membuat teman-temannya terkesan, kan? Jadi, yang paling penting bagi Maru-kun adalah bagaimana dirinya terlihat oleh teman-temannya, bukan aku. Sama seperti bagaimana ia ingin pamer pada Asamura-kun.”

Maaya mengangkat kepalanya.

Ya ampun, air matanya telah membuat semua alas bedak dan riasannya luntur berantakan.

“Ini. Usap wajahmu, usap wajahmu,” kataku sambil menempelkan sapu tangan ke wajahnya.

“Mm...”

“Bukankah kamu temannya, Maaya?”

Hiks... Mungkin.”

“Kalau begitu, tidak ada gunanya aku berkata, 'Aku pikir dia sudah melakukan yang terbaik’. Kamu harus mengatakannya sebanyak yang kamu mau. Karena memang begitulah yang kamu lihat, bukan?”

Aku berbicara perlahan, membiarkan kata-kata itu meresap, dan Maaya mengangguk lagi dan lagi dengan wajah yang terbenam dalam saputangan.

Ya, pendapatku sama sekali tidak penting.

Dalam cerita apa pun, karakter sampingan memiliki dampak besar pada karakter utama, bukan pengamat acak. Aku tidak begitu mengenal Maru-kun dengan baik. Dalam ceritanya, aku tidak lebih dari sekedar karakter figuran A. Aku bukan seseorang yang sangat terhubung dengannya.

Tapi—Bagaimana dengan Maaya? Apa dia hanya mengenalnya sebagai teman sekelasnya dan kemudian, karena suatu takdir, mengetahui situasinya dan mulai mendukungnya?

Atau mungkin dia ingin terlibat lebih dalam—seperti, ingin menjadi tokoh penting dalam cerita Maru-kun.

—Bagaimana kamu melihatnya?

—Itu adalah sesuatu yang harus kamu ceritakan pada Maru-kun sendiri.

Mengatakan sebanyak itu pada Maaya, aku mulai bertanya-tanya siapa yang sebenarnya aku bicarakan di sini.

Gumpalan awan pun menyebar, dan sinar matahari kembali.

Cahaya yang masuk dari jendela membentuk sebuah bentuk persegi di lantai.

Tidak ada jejak air mata yang tertinggal.

 

◇◇◇◇

 

Setelah berpisah dengan semua orang di stasiun Shibuya, aku dibiarkan berdua dengan Asamura-kun.

Matahari akhirnya mulai condong ke arah langit barat, dan langit biru berangsur-angsur menjadi gelap dari arah timur.

Aku mengintip wajah Asamura-kun saat kami berjalan menyusuri jalan di malam hari.

Ketika aku bertanya apa ia merasa lelah, ia berpikir sejenak dan memberikan jawaban yang tidak jelas, seolah-olah tidak yakin apa merasa lelah atau tidak.

Aku tidak bisa menahan tawa. Maksudku, tmana mungkin ia tidak lelah setelah bersorak-sorai dengan penuh semangat begitu.

Saat kami berbelok ke jalan yang sempit, hiruk pikuk kota  mulai memudar. Tergantikan oleh suara jangkrik yang berisik.

Saat kami berjalan melewati taman, Asamura-kun bertanya tentang apa yang terjadi saat aku bertemu dengan Maaya. Namun aku meminta maaf, mengatakan bahwa itu adalah masalah pribadi Maaya dan aku tidak bisa membicarakannya.

Asamura-kun tidak mendesak lebih jauh.

Itu adalah sisi baik yang sangat aku kagumi darinya; ia menghormati privasi orang lain. Tapi bukan berarti ia sengaja berusaha menjauhkan diri dari orang lain.

... Atau mungkin ia memang begitu?

Mungkin Asamura-kun yang pertama kali aku temui memang berusaha menjaga jarak. Aku merasakan hal yang sama saat itu. Sejujurnya, kupikir aku adalah orang yang lebih cenderung menjaga jarak dengan orang lain.

Seperti sebuah pulau terpencil di lautan. Seperti batu yang tidak bisa ditembus.

Aku ingin menjadi kuat dan memiliki keterampilan untuk bertahan hidup sendiri. Asamura-kun sepertinya merasakan hal yang sama.

Dia tidak memberikan getaran “jauh-jauh dariku” yang jelas seperti yang aku lakukan. Lagipula, ia memiliki Maru-kun sebagai teman dekatnya.

Dalam kasus aku, aku bahkan berusaha menjaga jarak dengan Maaya. Dan tetap saja, dia dengan sabar menungguku. Sampai aku bertemu dengan Asamura-kun dan perlahan-lahan membongkar sangkar berduri yang kubangun di sekelilingku.

Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah. Maaya sangat sabar.

Walau demikian, dia menjadi sangat dekat dengan Maru-kun tanpa aku sadari. Ketika dia menginginkan sesuatu, dia akan bersabar dan benar-benar melakukannya.

“Kupu-kupu sosial” adalah istilah yang sering digunakan Asamura-kun untuk menggambarkan Maaya. Tetapi jika kamu bertanya kepadaku, aku akan mengatakan bahwa Maaya sangat pandai menjaga jarak dengan orang lain. Dia mendekati orang-orang yang membuatnya nyaman dengan mudah, dan dengan seseorang yang sulit sepertiku, dia secara bertahap menjembatani kesenjangan.

Sedangkan aku justru kebalikannya. Aku selalu berjuang dengan seberapa dekat atau jauh aku dengan orang lain. Mungkin karena aku telah menjauhkan diri dari orang lain sejak kecil. Jadi, kebanyakan orang muak dengan sikap dinginku dan menjauhkan diri sejak dini. Wajah seorang junior baru di tempat kerja terlintas dalam benakku. Pada awalnya, dia tampak sangat cepat akrab denganku, tetapi mungkin karena aku merasa tidak nyaman, rasanya dia mulai menjaga jarak akhir-akhir ini. Hubungan antar-manusia memang sangat rumit.

Di tepi taman, aku melihat orang tua dan anak sedang bermain lempar tangkap.

“Apa kamu pernah melakukan itu dengan Ayah tiri?”

Aku mungkin terinspirasi untuk menanyakan hal itu karena kami baru saja pulang dari menonton pertandingan bisbol. Aku tidak bermaksud menanyakan hal itu sedalam itu.

Jawaban Asamaru-kun adalah bahwa ia lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca daripada berolahraga. Aku sudah bisa menebaknya, meskipun ia tidak mengatakannya kepada aku. Hal itu sangat sesuai dengan gambaranku tentang dirinya.

Namun, ia tahu lebih banyak tentang olahraga daripada aku. Ia segera menepisnya, mengatakan bahwa itu hanya karena dia membaca novel dan manga olahraga. Jelas sekali ia tahu lebih banyak tentang bisbol daripada aku selama pertandingan bisbol.

Ketika aku menunjukkan hal itu, Asamura-kun menyebutnya sebagai sudut pandang seorang pemula, sambil mengatakan bahwa ia merasa malu karena ia berteriak dan sangat bersemangat saat bersorak.

“Aku begitu terpesona saat melihatnya, sampai-sampai aku terbawa suasana. Jika dipikir-pikir sekarang, aku mungkin terlihat sangat bodoh.”

Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu? Terutama, ketika temanmu sangat senang dengan reaksimu.

Aku tidak seperti biasanya bersikeras dalam penyangkalanku. Aku tahu Asamura-kun mengucapkan kata-kata itu karena ia malu, tapi aku merasa perlu untuk mengoreksinya.

Maaya harus memberitahu Maru-kun bagaimana perasaannya.

Tapi ketika itu menyangkut Asamura-kun—

Aku mencuri pandang ke arah kekasihku yang berjalan di sampingku. Asamura Yuuta—aku ingin terus menjadi kekasihnya. Aku tidak ingin kembali menjadi karakter figuran seperti seorang pejalan kaki yang lewat begitu saja.

Jadi, aku dengan penuh semangat menjelaskan bagaimana perasaanku melihatnya mendukung temannya. Jika aku ingin dilihat sebagai tokoh penting dalam ceritanya, maka aku harus menjadi orang yang mengatakan itu kepadanya.

Aku ingat diriku sendiri di lapangan voli, menciut dan meringkuk. Aku juga ingat wajah semua orang yang menyemangatiku.

Jarak yang tepat. Maaya tidak ragu-ragu ketika tiba saatnya untuk melangkah maju.

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Aku ingin berpegangan tangan. Boleh?”

Ia menatapku, sedikit terkejut, lalu menunduk ke arah tangannya sendiri. Tangannya tetap melayang di udara, jadi aku mengulurkan tanganku.

“Mm.”

Jantungku berdegup kencang saat tanganku menggantung di udara. Asamura-kun dengan lembut meraihnya. Kami membiarkan tangan kami secara alami jatuh di antara kami.

Kami berhenti berjalan di suatu titik, jadi kami terus berjalan, tangan kami saling bergandengan.

“Kamu tahu, melihatmu bersorak gembira seperti itu, Asamura-kun—”

Aku yang akan mengatakannya

“Aku pikir kamu terlihat sangat keren.”

Suara jangkrik yang berisik itu adalah sebuah berkah. Seandainya suara itu lebih tenang, ia pasti akan mendengar detak jantungku yang keras.

Aku mengeratkan genggamanku pada tangannya, dan tidak ingin melepaskannya sama sekali.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama