Kisah
Pendek — Semanis Permen Kapas
Bahkan di kota yang minim
interaksi sosial menjadi hal yang wajar, beberapa orang percaya bahwa
eksistensi sebuah komunitas bergantung pada tradisi festival, tidak peduli
seberapa banyak kebiasaan masyarakat yang dilupakan.
Bahkan di sebuah kompleks
apartemen yang tidak jauh dari stasiun Shibuya.
Hari itu adalah hari Minggu
terakhir di bulan Juli. Festival dimulai tepat pukul 5 sore.
Di ruang sederhana di samping
tempat parkir di depan gedung perumahan, pengeras suara yang terpasang tanpa
henti memainkan Tokyo Ondo (kalau tidak
salah?). Sebuah tablet digital terhubung ke speaker.
Kios-kios tampak berjejeran,
meskipun jumlahnya tidak banyak. Anak-anak dengan rasa penasaran yang tak
terpuaskan dan mata berbinar-binar berpindah dari satu kios ke kios lainnya.
Itu adalah festival musim panas
bagi para penghuni apartemen.
“Mereka melakukan ini tahun
lalu? Aku sama sekali tidak mengingatnya,” kata Ayase-san.
“Itu hanya sehari. Mudah sekali
untuk melupakannya.”
“Apa kamu juga lupa, Asamura-kun?”
“Yeah.”
Itu bohong.
Sementara Ayase-san sering
mengurung diri di kamarnya di akhir pekan, aku biasanya pergi ke sekolah bimbel
atau bekerja, jadi tentu saja, aku telah memperhatikan festival itu, terlihat
jelas dari pintu masuk. Namun, saat tahun lalu, Ayase-san dan ibunya baru
tinggal bersama kami sekitar sebulan. Kami masih mencari tahu tentang hubungan
kami. Rasanya tidak tepat untuk mengundangnya ke festival apartemen yang
sederhana.
“Apa kamu mau makan sesuatu?
Meskipun cuma ada yakisoba, permen kapas, dan okonomiyaki, sih.”
Ini mungkin tipikal festival
kompleks apartemen. Bahkan, acara festival musim panas di mal mungkin memiliki
lebih banyak barang dan variasi.
“Kurasa kita masih memiliki
beberapa yakisoba di dalam kulkas,” jawabnya dengan serius.
Aku mencoba mengingat-ingat apa
yang kami miliki di sana. Bukan yakisoba dalam kemasan instan, tapi yakisoba
dalam kemasan yang dimasak dalam wajan. Dan cukup untuk empat orang.
“Ya, memang masih ada.”
“Ditambah lagi, tidak banyak
sayuran di dalamnya.”
Aku melirik yakisoba yang
disajikan di kedai itu, memperhatikan jumlah kubis yang sedikit.
Ketika Akiko-san dan Ayase-san
membuatnya, mereka memasukkan begitu banyak kubis, wortel, dan taoge sehingga kamu
bahkan tidak bisa melihat mienya. Memang, yakisoba keluarga kami terasa jauh
lebih sehat. Aku rasa hal yang sama juga berlaku untuk okonomiyaki.
Tapi untuk anak-anak SD, ini
adalah sebuah pesta.
Anak-anak dengan penuh semangat
menarik-narik baju orang tua mereka, berkata, “Aku ingin ini!” dan “Beliin
itu!” saat langit meredup menjadi warna tinta yang terang. Lampion-lampion yang
digantung di sekelilingnya menyala, LED-nya meniru kerlip cahaya lilin.
“Apa kamu menginginkan sesuatu,
Asamura-kun?”
“Tidak terlalu.”
Dia memiringkan kepalanya.
“Jadi kamu akan makan meskipun
kamu tidak mau?”
“Ya, karena itu lebih berkesan.
Mereka bilang kenangan itu lebih sulit dilupakan jika dikaitkan dengan emosi.”
“Jadi, jika kamu mengingatnya
sebagai sesuatu yang lezat, kamu akan mengingat festival itu?"
“Ada sebagian alasan itu,
tapi..” kataku, sambil menggaruk ujung hidung.
“Tapi?”
“Tapi lebih dari itu, aku ingin
mengingatnya saat berjalan di sini bersama-sama, denganmu.”
Bukan festival itu sendiri yang
ingin aku kenang, tetapi fakta bahwa kami berjalan berdampingan, setahun
setelah hubungan kami.
“Kamu sangat manis seperti
permen kapas,” kata Ayase-san.
“Kalau begitu, ayo kita beli
permen kapas?”
Ya, kurasa kamu membutuhkan
mesin khusus untuk membuat permen kapas, jadi masuk akal jika kamu membelinya
di kios.
“Oke. Yah... padahal bukan itu
yang kumaksudkan, sih.”
Ayase-san mengangguk, jadi aku
mengantri di kios dan membeli sekantong besar permen kapas. Kami berjalan
mengelilingi tempat itu sekali lagi, bergantian memakannya.
Saat langit berangsur-angsur
menjadi gelap, angin mulai berhembus, mengusir panasnya hari, dan membuat
lonceng angin di kios-kios itu berdenting pelan.
Ting,
Ting. Ting.
Saat kami meninggalkan
kios-kios di belakang dan berjalan kembali ke pintu masuk, Ayase-san berkata
dengan lembut, “Tadi itu sungguh manis.”