Gimai Seikatsu Jilid 9 Bab 7 Bahasa Indonesia

 Bab 7 — 15 Juni (Selasa) Asamura Yuuta

 

Terlepas dari status sekolah bergengsi atau bukan, suasana meriah pada hari acara begitu terasa jelas.

Dan orang yang paling antusias di antara kami adalah Yoshida.

“Kita pasti akan menang!”

Ia menyemangati semua orang di sekelilingnya. Energi yang luar biasa demi mencapai sesuatu yang dikejarnya hari ini benar-benar menyilaukan. Rasanya seperti hanya ada matahari di sekelilingnya, sementara kami semua masih musim hujan.

Sebaliknya, beberapa siswa yang sangat payah dalam olahraga berada di sudut kelas, menatap dengan tatapan kosong ke halaman sekolah.

“Ayo, teman-teman, bersemangatlah!” Ketua Kelas berkata, membetulkan kacamatanya saat dia berbicara kepada mereka.

Dia bertepuk tangan seraya menunjukkan senyum sumringah yang terpampang di wajahnya.

“Kalian tinggal melakukan yang terbaik dan bersenang-senanglah! Oh, dan pastikan semua orang mampir ke kelas saat makan siang hari ini, ya.”

Semua orang tampak sedikit bingung.

“Kami, Klub Tata Boga sementara dari kelas ini, telah membuat beberapa makanan. Kami sudah mendapat izin untuk menggunakan ruang tata boga. Jadi, kami akan menunggu kalian dengan banyak nasi kepal!”

Teriakan “Oooh~” secara bersamaan terdengar di seluruh ruang kelas.

Aku mengabaikan obrolan heboh di sekitarku, tetap duduk, dan memiringkan kepalaku dengan bingung.

“Klub Tata Boga Sementara?”

“Ide dari Ketua Kelas. Kami berlima, termasuk aku, memutuskan untuk membuatkan makan siang untuk semua orang,” sebuah suara yang tidak asing lagi menjawab pertanyaanku.

Ketika aku menoleh ke arahnya, aku melihat wajah kecil Kodama, yang dikenal sebagai penggiring bola terbaik di tim basket kelas kami.

“... Hm? Kodama, apa itu... isian untuk nasi kepal?”

“Bingo. Huh, Asamura, kamu juga memasak?”

“Um, ah, enggak...”

Maksudku, sudah jelas hanya dengan melihat wadah yang dibawanya. Ada acar plum, salmon, rumput laut, dan kumpulan ikan bonito... Siapa yang tidak akan berpikir tentang nasi kepal saat melihat semua itu?

“Yah, kurasa aku tahu sebanyak itu, setidaknya.”

Kodama memasukkan kembali bahan-bahan yang ia periksa ke dalam tas bekalnya dan berdiri.

“Baiklah, aku akan menaruhnya di kulkas ruang tata boga dan kemudian bergabung dengan semuanya. Aku mengandalkanmu!”

“Kamu juga, oke.”

Kami yang seharusnya mengatakan itu. Lagipula, pemain kunci di tim basket kami adalah Yoshida, yang mengaku pandai dalam olahraga apa pun, dan Kodama, yang terampil bermain basket meskipun bertubuh kecil.

Aku dengar Kodama pernah bermain basket saat SMP, jadi ia adalah pemain yang berpengalaman. Ia bilang ia berhenti karena dirinya tidak bertambah tinggi, tetapi selain dari anggota klub yang aktif, ia mungkin yang terbaik di kelas.

Kodama bergabung dengan CKetua Kelas dan tiga orang lainnya. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Ah, aku mengerti, jadi itu adalah Klub Tata Boga sementara, ya.

Ketika kelompok itu berjalan keluar dari kelas, Kodama berbalik dan melambaikan tangan. Mereka yang tertinggal di dalam kelas berseru, “Kami mengandalkan kalian untuk sesuatu yang lezat!”

Ketua Kelas berkata, “Serahkan saja pada kami!” dengan aksen yang lucu saat dia pergi, membuat semua orang tertawa.

“Kita harus menang jika ingin menikmati makanannya! Ayo, ayo mulai, Asamura!”

Terpengaruhi oleh Yoshida yang bersemangat, aku pun meninggalkan ruang kelas untuk berganti pakaian.

Festival olahraga di SMA Suisei diadakan di antara ujian tengah semester dan ujian akhir.

Tidak jarang musim hujan tiba pada saat itu, jadi terkadang acara ini dibatalkan karena cuaca buruk. Untungnya, musim hujan tahun ini belum dimulai dan kami diberkati dengan langit yang cerah.

Karena ini merupakan acara seluruh sekolah, jadi semua kelas dari kelas satu hingga tiga berpartisipasi dalam format turnamen. Setelah upacara pembukaan di lapangan tengah, para siswa berpencar ke tempat kompetisi masing-masing.

Yoshida dan aku mengikuti pertandingan bola basket, jadi kami berjalan menuju gedung. Kami sedang melintasi halaman sekolah menuju gedung berbentuk kamaboko ketika seseorang memanggil kami.

“Yo, Yoshida, Asamura!”

Rupanya itu Maru. Aku baru tahu kalau Maru juga bermain basket, tapi Yoshida sepertinya sudah tahu. Kami bertiga, yang secara kebetulan berbagi kamar selama perjalanan sekolah, pergi menuju gedung olahraga bersama-sama.

Maru memasang wajah yang berlebihan seperti sudah lama tidak bertemu denganku. Memang sudah lama sekali sejak terakhir kali kami berbicara. Kami tidak bisa banyak bicara akhir-akhir ini. Bukan karena kami tidak berada di kelas yang sama lagi atau semacamnya, Maru semakin sibuk sejak menjadi siswa kelas tiga.

“Bagaimana kelihatannya? Apa kamu pikir kamu bisa menang?”

Yoshida tidak sedang membicarakan festival olahraga.

Maru sedang sibuk— sangat sibuk sampai-sampai ia tidak bisa menelepon di malam hari. Alasannya, kualifikasi regional untuk turnamen Koshien musim panas akan dimulai pada bulan Juli.

“Yah, merasa panik sekarang tidak akan mengubah apa pun,” kata Maru dengan nada pasrah.

Yoshida membalas dengan wajah keheranan.

“Hah? Kudengar tim bisbol kita cukup kuat tahun ini. Kamu mengincar Koshien, bukan?”

Itu cukup mengejutkan. Koshien? Bukannya itu panggung impian bagi semua pemain bisbol SMA?

“Huh. Aku tidak tahu kalau sekolah kita sekuat itu.”

“Ayolah, Asamura, ini adalah tim sahabatmu yang sedang kita bicarakan.”

“Tidak, maksudku...”

Aku tahu kalau tim mereka tidak lemah, tapi aku tidak tahu kalau mereka sekuat Koshien. Maru tidak pernah sekalipun menyebutkan hal itu.

“Jujur saja, rasanya akan menjadi keajaiban jika kita berhasil mencapainya.”

Tuh ‘kan, bahkan Maru sendiri mengatakannya, dan ia merupakan penangkap bola utama dan kapten tim bisbol sekolah ini.

“Lah, kenapa kamu sendiri bisa sepesimis begitu?”

“Dengar, Asamura, aku tidak terlalu percaya diri. Jika aku hanya berharap akan keajaiban, aku tidak bisa melakukan tugasku sebagai kapten. Aku tahu kemampuan kami sendiri dan teta[ berupaya melakukan segalanya dengan kekuatanku untuk menang.”

“Itu sangat menggambarkan dirimu, Maru.”

“Tapi coba pikirkan, bung—seandainya kamu bisa lolos ke Koshien, kamu bisa jadi pemain profesional, kan?”

“Pemain pro, ya...”

Mata Yoshida berbinar-binar seolah-olah itu adalah mimpinya.

Hal itu jadi mengingatkanku. Kurasa sekitaran waktu wawancara antara orang tua-guru tahun lalu, Maru mengatakan sesuatu seperti, “Hanya karena kamu berada di klub bisbol, bukan berarti kamu bisa menjadikan bisbol sebagai pekerjaanmu.”

“Yah, jika kita bisa masuk ke Koshien, ada kesempatan lebih besar untuk menarik perhatian para pencari bakat. Hanya jika kita bisa masuk, itu saja. Tentu saja kami akan melakukan yang terbaik untuk menang.”

“Memangnya sesulit itu ya?”

“Secara objektif, ya. Kami tidak seperti sekolah-sekolah terkenal di mana sekelompok pemain menjanjikan dari seluruh Jepang berkumpul. Kami tidak memiliki kemewahan seperti dana yang tak terbatas dan fasilitas yang mewah.”

“... Begitu ya.”

“Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, aku rasa tidak mudah untuk menjadi pemain profesional. Tapi di turnamen terakhir ini, aku akan mengerahkan semua yang aku miliki untuk melihat sejauh mana aku bisa melangkah. Jika, pada akhirnya, aku menarik perhatian pencari bakat—”

Mendengar Maru berbicara dengan begitu jujur, Yoshida menghela nafas, jelas berpikir bahwa jalan yang dilaluinya lumayan terjal.

“—Itu tidak mudah. Dan, Yoshida, aku sudah lama berpikir.”

“Ya?”

“Menurut mu, apa yang paling dibutuhkan oleh seorang atlet profesional?”

“Entahlah.”

“Bagaimana denganmu, Asamura?”

“Um... keterampilan, mungkin?”

Aku merasa kalau kamu perlu membutuhkan tingkat keterampilan tertentu untuk menjadi seorang profesional.

“Hal itu juga memang penting. Tapi, menurutku, seorang profesional harus memiliki 'penampilan yang layak untuk dilihat'. Dan, itu harus unik bagi pemain tersebut.”

“Penampilan yang unik bagi pemain tersebut...?”

“Pertandingan Bisbol profesional adalah hiburan. Mereka pada dasarnya dibayar untuk 'menunjukkan permainan mereka'. Kamu bahkan dapat mengatakan bahwa mereka 'memikat' para penontonnya. Menurutku, membuat timmu menang saja tidak cukup. Pada akhirnya, para profesional pada dasarnya seperti pemilik bisnis wiraswasta.”

“Ah... aku mengerti.”

“Bukankah itu juga semacam keterampilan?” Yoshida berkomentar.

"Bisa jadi. Aku tidak tahu. Pokoknya, sederhananya, ini adalah tentang kemampuan untuk membuat sebuah drama yang bisa menggugah minat penonton... tapi aku belum terlalu memikirkannya.”

Sejenak, pandangan Maru beralih dari gedung olahraga yang kami lalui dan melayang ke kejauhan.

“Aku benar-benar tidak tahu bagaimana permainanku terlihat oleh orang lain.”

“Ya... kamu tidak bisa melihat dirimu sendiri dari sudut pandang orang lain, ‘kan?”

Maru tersenyum tipis.

“Memang. Aku berharap aku bisa mengalaminya sekali saja. Tapi, tidak ada gunanya mengharapkan keajaiban, seperti dibina oleh para pemain profesional. Dan berpikir tentang bagaimana cara bermain dengan mengesankan, sesuatu yang bahkan tidak aku ketahui? Itu juga tidak ada gunanya.”

(Maru... sangat keras terhadap dirinya sendiri.)

“Aku tidak mengatakan bahwa ini adalah pilihan yang realistis, tetapi selalu ada kesempatan. Aku percaya bahwa memberikan yang terbaik dan percaya pada kesempatan itu akan memperkaya hidupmu saat mengenangnya kembali.”

Yoshida tersenyum kecut.

“Wah, itu jelas tidak terdengar seperti sesuatu yang akan diucapkan oleh seorang anggota klub bisbol. Kedengarannya lebih seperti kalimat dari seorang pengelana yang bijak dalam game RPG atau semacamnya!”

“Kamu benar-benar paham candaanku,” kata Maru sambil tersenyum licik.

“Hal ini cuma masalah apa kamu bisa memanfaatkan kesempatan ketika datang. Mereka yang tidak siap tidak akan bisa meraihnya. Ini mungkin kesempatan dengan peluang yang sangat kecil, sesuatu yang mungkin tidak terlihat realistis, tapi aku berlatih setiap hari dengan harapan akan momen itu.”

“Aku rasa kamu sudah cukup hebat, Maru, karena telah mengamankan posisi reguler dan juga kapten."

“Sanjungan tidak akan membawamu kemana-mana, dan aku juga tidak akan meremehkan kalian.”

“Meremehkan?”

Yoshida dan aku memiringkan kepala dengan bingung, dan Maru menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Astaga, kalian belum melihat jadwal pertandingan? Jika kita berdua memenangkan satu pertandingan di turnamen ini, tim kita akan saling berhadapan.”

““Ugh.””

Yoshida dan aku mengerang bersamaan.

“Jadi kita akan melawan dalang SMA Suisei, ya...?”

“Hahaha, Yoshida, bukannya tadi aku sudah bilang sanjungan tidak akan mendapatkan apa-apa? Tenang, aku juga pemula dalam hal basket."

Dengan itu, Maru berjalan melewati pintu gedung olahraga, melambaikan tangan, dan pergi ke kelasnya sendiri.

“Hei, Asamura...”

“Hm?”

“Saat pelajaran olahraga, aku dengar dari teman di kelas sebelah kalau Maru sedang mencari tahu siapa saja yang ada di tim basket kelas tiga.”

“Seriusan...?”

Aku berharap dia melakukannya dengan santai untuk festival olahraga ini. Tapi kurasa itu bukan karakternya, ya...

Ketika aku memasuki gedung olahraga, aku langsung dikelilingi oleh suara derit sepatu di lantai yang dipoles dan dentuman bola.

Di satu sisi, pertandingan bola voli sedang berlangsung, dan di sisi lain, pertandingan bola basket. Keduanya sudah dimulai.

Ini adalah festival olahraga ketigaku di SMA, tetapi ini adalah pertama kalinya aku berpartisipasi dalam olahraga dalam ruangan.

“Cukup banyak orang yang datang untuk menonton, ya?”

Jelas ada lebih banyak penonton daripada orang yang menunggu pertandingan. Sekelompok siswa bahkan naik ke tribun untuk menonton dari atas.

“Selalu seperti ini setiap tahun,” kata Yoshida.

“Benarkah? Aku selalu bermain tenis.”

Aku kesulitan mengingat apa ada banyak penonton di sekitar lapangan tenis. Mungkin aku hanya tidak memperhatikannysa saja di tahun-tahun sebelumnya.

“Yah, karena di sini ada AC.”

“Ah, masuk akal.”

Pada saat ini, suhu udara di luar sudah cukup panas. Gedung olahraga memang cukup besar, jadi tidak terlalu nyaman, tetapi jelas lebih baik daripada berada di bawah sinar matahari langsung. Dalam perjalanan menuju tempat berkumpulnya para pemain basket, aku berpapasan dengan Ayase-san, dari tim voli. Kami saling bertukar pandang dan mengangguk kecil. Saat tatapan mata kami bertemu, aku melihat Yoshida dengan cepat melirik ke arah kami, tetapi aku berpura-pura tidak menyadarinya.

 

◇◇◇◇

 

Pertandingan pertama kami dimulai sekitar 10 menit lebih lambat dari yang dijadwalkan. Lawan kami adalah tim anak kelas 2 yang tampaknya memiliki tinggi badan rata-rata lebih tinggi dari kami. Mereka tampak tangguh.

Bola akhirnya dilambungkan, dan tim lawan berhasil mencurinya dulu, yang berarti kami harus bertahan sejak awal. Mereka mengoper bola, lalu melakukan lemparan dari sebuah dribel.

“Jangan terlalu dipikirkan! Ayo kita cetak poin mulai dari sekarang!” Yoshida berteriak dengan lantang. Ia selalu menjadi penentu suasana hati tim kami.

“Asamura!”

Bola dioperkan ke arahku bersamaan dengan teriakan itu. Aku mengoper bola kepada Yoshida, yang telah mundur ke area tiga angka. Ia dengan berani melakukan tembakan dari sana. Bola secara ajaib berhasil masuk, membawa tim kami unggul.

Sorak-sorai meledak dari para penonton saat Yoshida berpose dengan penuh kemenangan.

“Operan yang bagus, Asamura-kun,” Kodama memanggilku saat kami berpapasan saat kembali ke formasi pertahanan. Pujiannya tidak hanya untuk poin tersebut, tetapi juga untuk permainan yang terjadi sebelum poin tersebut tercipta. Itulah jenis pujian yang kamu harapkan dari seorang pemain berpengalaman.

Aku senang menerima pujian tersebut, namun aku juga merasa bahwa kemampuan Yoshida-lah yang benar-benar menonjol.

Ketika kami melakukan lemparan ke dalam karena sebuah pelanggaran, aku mundur ke pinggir lapangan dan melihat Makihara-san di antara para siswa yang menonton dari tribun. Sepertinya dia datang untuk menonton dengan seorang teman yang duduk di sebelahnya. Dia mungkin diberitahu ketika pertandingan dijadwalkan. Aku penasaran apa dia melihat tembakan tiga angka Yoshida tadi.

Pertandingan terus berlanjut, dengan kedua tim yang sama-sama seimbang.

Aku mencoba mengoper bola kepada Yoshida sebanyak mungkin. Bukan hanya agar dirinya bisa pamer kepada Makihara-san, tetapi juga untuk menang. Kami memiliki peluang lebih baik untuk menang jika aku membiarkan pemain dengan tingkat keberhasilan tembakan tertinggi untuk melakukan tembakan.

Ada tujuh orang di tim basket kelas kami, termasuk pemain pengganti. Selain Kodama dan Yoshida, kami semua, termasuk diriku, memiliki tingkat keterampilan yang hampir sama.

Kami melakukan rotasi pemain saat kami kelelahan, tetapi pada akhir babak pertama, kami semua kehabisan napas. Kami tertinggal satu poin.

“Mari kita strategi kita untuk jadi lebih agresif dalam melakukan tembakan di babak kedua.”

Aku terkejut mendengarnya dari Yoshida.

“Kamu juga, Asamura. Jangan menahan diri dan lakukan tembakan juga.”

“Uh... baiklah.”

Meskipun begitu, Yoshida memiliki tingkat keberhasilan menembak yang paling tinggi. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengoper bola ke rekan setim dalam posisi yang baik ketika bola datang, dan pada akhirnya, kami harus mengandalkan Yoshida untuk melakukan tembakan terakhir.

Yoshida berhasil melakukan lemparan tepat pada saat yang tepat, dan kami berhasil lolos untuk memenangkan pertandingan pertama kami.

Peluit tanda berakhirnya pertandingan pun berbunyi. Yoshida dengan penuh semangat berlari menghampiri Makihara-san.

Aku melihat punggung lebar yang aku kenal bergerak menjauh di kejauhan. Maru.

(Apa dirinya datang untuk menonton pertandingan kami...?)

Rupanya lawan kami berikutnya juga akan menjadi lawan yang tangguh. Seseorang yang tidak akan berkompromi dan akan terus mengawasi lawannya sampai akhir.

 

◇◇◇◇

 

Aku pikir gerakannya terlihat agak kaku.

Kami memiliki waktu satu jam istirahat sampai pertandingan berikutnya, jadi tim basket kami ditarik ke seberang gedung olahraga untuk menyemangati tim voli putri. Itu adalah tim Ayase-san, Ketua Kelas, dan Satou-san. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Ayase-san bermain voli dari dekat.

Gerakannya kaku, dan dia melakukan banyak kesalahan. Memang ini pertama kalinya, tapi aku tidak ingat dia mengatakan bahwa dia seburuk ini dalam menerima dan melempar bola.

Ditambah lagi, mungkin karena dia panik, dia jadi membuat lebih banyak kesalahan, dan lawan mulai mengincarnya.

Kecuali di final, pertandingan bola voli adalah pertandingan satu set. Satu kesalahan saja bisa menyebabkan kekalahan yang cepat. Aku menonton dalam keheningan, tetapi ketika dia gagal menerima dan jatuh ke lantai, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak, “Ayase-san!”

Pandangan mata kami bertemu untuk sesaat.

Dia dengan cepat memalingkan muka dan kemudian, plak, menampar kedua pipinya. Satou-san, rekan setimnya, tampak terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu.

Tim lawan gagal melakukan servis, sehingga mempersempit jarak poin dari tiga menjadi dua.

Ketika tim voli tim kami mendapatkan servis, Ayase-san, yang berada di depan, mundur untuk melakukan servis.

Bola putih yang dilambungkan dengan bentuk lengkungan yang sempurna jatuh jauh ke dalam lapangan lawan.

Bola mendarat di antara para pemain, menambah satu poin lagi dan memperkecil jarak menjadi satu poin.

Bola pun dikembalikan.

Saat Ayase-san memukulkan bola ke lantai, dia mundur ke garis akhir. Bahkan para pemain yang bersorak-sorai, yang tadinya meneriakkan dukungan, terdiam, mungkin tidak ingin mengacaukan fokusnya saat ia bersiap untuk melakukan servis.

Sembari mengambil napas dalam-dalam, dia mengangkat pandangannya untuk menatap tim lawan.

(Kamu pasti bisa, Ayase-san!)

Servis berikutnya yang dia lakukan berhasil diterima oleh lawan kali ini. Namun, mereka gagal mengubahnya menjadi serangan dalam tiga sentuhan, dan mengubahnya menjadi bola kesempatan bagi kami. Satou-san, yang bermain sebagai libero, dengan cekatan mengambil bola tersebut dan memberikannya kepada setter, seorang gadis berambut pendek. Umm... Siapa namanya? Siapapun itu, dia melakukan lemparan brilian yang kemudian dipukul dengan indah oleh Ketua Kelas.

Mengesankan. Dia menggunakan kekuatan lompatan dari kakinya untuk melakukan lompatan tinggi dan menyepak bola, yang mendarat tepat di dalam garis akhir. Seri! Gemuruh sorak-sorai pun pecah.

Setelah sampai pada titik ini, momentum biasanya berayun ke sisi yang berhasil menyusul. Ayase-san juga mulai tampil seolah-olah kegagalannya tadi hanyalah kebohongan belaka.

Dan pada akhirnya-mereka menang! Melihat Ayase-san dan yang lainnya begitu gembira, aku merasakan kepuasan yang hangat.

Ayase-san menoleh ke belakang. Tatapan mata kami bertemu. Dia mengucapkan terima kasih tanpa suara dengan menggerakkan mulutnya yang mengucapkan... Terima kasih, mungkin.

Aku tidak melakukan sesuatu yang istimewa. Tapi, jika ada sesuatu yang berhasil dan Ayase-san menjadi tenang, maka itu bagus.

Waktu untuk pertandingan ronde ketiga (ronde kedua bagi kami) semakin dekat.

 

◇◇◇◇

 

Aku teringat kembali pada pelajaran bola basket tahun lalu.

Maru adalah pemain yang tidak pernah bisa kami kalahkan selama pelajaran bola basket.

Padahal, dengan kemampuan atletis Yoshida, dirinya tidak akan kewalahan melawan Maru. Itu berarti meskipun aku pribadi tidak bisa mengalahkan Maru, tim kami masih memiliki kesempatan untuk menang. Hal yang sama berlaku untuk Kodama. Kami memiliki dua pemain basket yang cukup terampil di tim kami.

Dan, di sisi lain, sepertinya tidak ada pemain basket yang berpengalaman di tim Maru. Maru tampaknya yang paling terampil di antara mereka.

Aku sudah mengetahuinya selama beberapa kali pertukaran serangan dan pertahanan.

Bila dilihat sekilas, kami seharusnya berada di atas angin, tetapi kami tertinggal dari tim Maru.

Maru fokus untuk mematikan pemain utama kami, Yoshida dan Kodama.

Mereka menempatkan pemain tertinggi mereka di belakang Kodama yang berpostur pendek, bukan untuk melakukan pertahanan satu lawan satu, namun untuk menunggu di bawah keranjang agar Kodama dapat melakukan drive.

Kodama sangat lincah, dan dapat menghindari pemain yang lebih besar darinya dengan gerak tipu, namun sayangnya, ia hampir tidak pernah berhasil dengan tembakan jarak jauh.

Sedangkan Yoshida, ia dihadang dengan dua pemain. Jadi, sudah dapat ditebak, ia tidak dapat dengan bebas melakukan tembakan dengan dua pemain yang menjaganya.

Kamu akan berpikir bahwa tim amatir yang mengadopsi formasi seperti itu akan meninggalkan celah di suatu tempat, tetapi justru itulah yang menjadi tujuan Maru. Tiga pemain yang tersisa, termasuk aku, tidak cukup baik dalam menguasai bola untuk mencetak poin.

Aku menerima sebuah umpan. Sambil memegang bola, aku mulai menggocek bola ke arah ring.

Maru, yang menggerakkan tubuhnya yang besar dengan lincah, tetap berada di depanku. Dia bermanuver di sekelilingku, berusaha menghalangi jalanku.

Mata kecil di balik kacamata itu membentuk seringai licik. Aku mengamati lapangan sambil terus menggiring bola. Seperti biasa, Yoshida masih dijaga dua pemain, dan Kodama, yang mewaspadai pemain belakang di bawah ring, telah mundur ke posisi yang relatif jauh. Hal itu menyisakan Yamazaki dan Nakano. Maru mengulurkan tangan untuk mengambil bola yang sedang aku dribble-

Aku akan kehilangannya!

“Yamazaki!”

Memanggil namanya, aku memutar tubuhku mati-matian, mencoba mengoper bola ke arah Yamazaki, yang berada di dekat ujung area 3 angka. Tapi tangan Maru yang terulur itu hanya tipuan. Tangannya tidak benar-benar terulur, dan dia menerjang bola tepat saat aku akan mengoper ke Yamazaki. Tangan Maru yang besar langsung menyenggol bola begitu bola terlepas dari tanganku. Bola yang tersangkut di antara tanganku dan tangan Maru langsung melesat ke atas. Sialan.

Aku melompat untuk mencoba menangkap bola yang memantul. Bola itu mengenai ujung jariku, mengubah lintasannya, dan memantul ke arah seorang pria bertubuh kurus dari tim lawan. Dengan cepat menangkap bola tersebut, dia langsung mengopernya.

Langsung ke Maru.

Pada suatu titik, dia mulai berlari. Menyerang ke arah ring kami, Maru melepaskan tembakan layup yang indah dari dribelnya. Bola melayang dengan anggun dan masuk ke dalam ring tanpa menyentuh tepi ring.

Sorak-sorai dan teriakan meledak seketika.

Kami terus bermain dengan penuh semangat di sisa babak pertama dan tertinggal lima angka saat peluit ditiup.

 

◇◇◇◇

 

“Kita butuh rencana permainan! Kita harus menyusun strategi!” seru Yoshida. “Coba pikirkan sesuatu, Asamura.”

“Itu adalah perintah yang sulit bagiku”

“Kalau begitu kodama! Apa kamu tidak punya ide? Kamu punya pengalaman, bukan begitu?”

“Jujur saja, tim basket SMP-ku tidak terlalu kuat... Hmm. Biar kupikirkan.”

Kami duduk melingkar di sisi lapangan, beristirahat. Hanya tersisa sekitar dua menit sebelum dimulainya babak kedua.

Kodama menatap wajah semua orang sebelum berbicara.

“Kita mungkin bisa melakukan sesuatu jika kita bisa melepaskan diri dari tim lain.”

“Apa maksudmu?” Aku bertanya.

Kodama menebak strategi yang mungkin sudah dipikirkan oleh Maru.

“Dalam tim kita, aku pikir Asamura adalah pemain yang paling banyak menerima umpan. Dia pandai mengamati lingkungan sekitar dan berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat.”

Semua orang mengangguk setuju dengan pengamatan Kodama. Ya, aku juga menyadari hal itu. Kekuatanku ada pada permainan tim.

“Tapi aku yakin Maru-kun juga mengincar hal itu.”

“Maksudnya?”

“Karena, Asamura-kun, kamu lebih sering mengumpan dan jarang menembak sendiri, ‘kan? Jadi, dari sudut pandang lawan, itu aman selama kamu menguasai bola. Mereka mungkin ingin membiarkanmu tidak diawasi, sehingga lebih mudah bagimu untuk menerima umpan. Jika mereka mengincar Yoshida-kun dan aku, tiga dari lima anggota tim kami pada dasarnya akan dijaga jetat. Kami tidak bisa menang dengan cara seperti ini.”

“Jadi, a yang harus kita lakukan?” Yoshida bertanya.

“Aku pikir strategi dasarnya adalah melakukan hal yang tidak terduga. Asamura-kun, aku ingin kamu berada di dekat ring sebanyak mungkin. Lebih baik di dekat pemain yang mengenakan nomor punggung empat, pemain yang menjagaku.”

“Yang tinggi itu? Hanya dengan berada di dekatnya?”

“Jika memungkinkan, aku ingin kamu menembak sesekali. Jika tidak, mereka tidak akan tertarik untuk menghadangmu.”

“Aku tidak sehebat Yoshida.”

“Asamura-kun.”

Kodama menatapku dengan serius.

“Y-Ya?”

“Ini bukan soal masuk atau tidak. Seorang pria yang memutuskan untuk tidak menembak bukanlah sebuah ancaman. Tidak ada yang akan memperhatikanmu karena itu. Mereka akan berpikir tidak apa-apa membiarkanmu begitu saja. Itulah yang Maru harapkan.”

Tidak ada yang akan memperhatikanku, ya.

Entah kenapa, aku teringat perkataan Maru.

“Aku benar-benar tidak tahu bagaimana permainanku terlihat oleh orang lain,” atau sesuatu seperti itu.

Aku pikir tidak masalah untuk tidak diperhatikan karena aku mencoba menjadi seperti pemain bayangan ... Tetapi jika kamu memikirkannya, bisa bermain tanpa terlihat menonjol dan tetap membantu rekan satu tim mu untuk menang, bukannya itu akan menjadi permainan pemain level yang lebih tinggi?

Bukannya ada manga dengan plot seperti itu? (TN: Kuroko no Basuke :v)

Jadi, seorang pemain basket pemula yang mencoba menjadi pemain yang tidak banyak bicara hanya akan diabaikan, ya?

Peluit dibunyikan, dan wasit memberi isyarat agar para pemain berkumpul di lapangan.

Babak kedua pun dimulai.

 

◇◇◇◇

 

Aku melakukan apa yang diperintahkan dan mencoba memposisikan diriku sedekat mungkin dengan ring lawan saat kami menyerang.

Aku berkeliaran di sekitar pemain nomor empat yang bertubuh ramping. Bisa ditebak, ia terlihat kesal dan terus melirik ke arahku.

Kodama mengoper bola kepadaku. Aku berpura-pura berbalik dan menembak, tetapi malah mengembalikan bola dengan segera. Pemain nomor empat yang kurus itu melirik ke arahku sejenak, membuatnya terlambat dalam melakukan pertahanan terhadap Kodama. Memanfaatkan kesempatan tersebut, Kodama menerobosnya dan mencetak poin, mempersempit selisih skor dari lima poin menjadi tiga poin.

Sorak-sorai meledak dari teman-teman sekelas yang datang untuk mendukung kami. Semua orang merasa senang, dengan teriakan “Mantul!” dan “Teruskan!” yang bersahutan.

Permainan dimulai kembali dengan tim lawan menguasai bola.

Tidak ada pilihan lain selain bermain bertahan di sini, jadi aku segera mundur dan memperkuat lini pertahanan kami. Aku akan kembali ke dekat ring kami saat bertahan dan mencoba sedekat mungkin dengan ring lawan saat menyerang.

Sedikit demi sedikit, kami mempersempit selisih poin hingga hanya tertinggal satu poin.

Kemudian, kami bertransisi ke dalam sebuah serangan balik cepat dari sebuah operan yang dicegat. Itu cukup sulit, tetapi aku berlari ke arah gawang. Saat napasku mulai tersengal-sengal, umpan lain datang dari Kodama.

Namun, Yoshida telah memiliki dua pemain bertahan yang mengawalnya. Ketika aku melihat sekeliling untuk mencari rekan setim yang lain, aku melihat Maru datang ke arahku dari sudut mata. Pemain nomor punggung empat dengan cepat beralih untuk mengawal Kodama, menghalangi jalur operan.

Maru mencoba untuk mencegat bola lagi.

Hal yang hampir sama terjadi di babak pertama. Saat itu, aku mencoba mengumpan ke belakang dan dihalangi, mengakibatkan kehilangan bola. Dan sekarang, Yoshida, pencetak poin andalanku, juga dihadang dengan ketat. Itu artinya, pasti ada rekan setim yang terbuka di suatu tempat.

Maru berlari ke arahku seperti sebuah tank.

Aku harus mengoper—tidak ada waktu lagi. Aku tidak punya waktu untuk melihat.

Aku membelakangi Maru yang sedang menyerang dan berputar menghadap ring itu. Aku mengambil satu langkah lalu menendang lantai, membiarkan bola terbang dari tanganku.

Teriakan kaget terdengar dari para penonton.

Bola memantul di papan belakang, terlihat seperti akan masuk ke dalam gawang. Tolong masuk! Aku menginginkannya, tetapi tidak berhasil. Bola itu berputar setengah lingkaran di sekitar ring dan memantul lagi.

Tim lawan merebut bola rebound, menyambungkan operan mereka, dan mencetak angka, memperlebar jarak poin lagi.

Seandainya saja bola itu masuk!

Aku berlari mengejarnya namun terlambat. Aku menggigit bibir, merasa frustrasi sekaligus bersalah.

Sebuah tepukan lembut mendarat di punggungku.

“Itu adalah usaha yang bagus, kawan.”

Mendongak ke atas, aku melihat Yoshida mengacungkan jempol saat dia lewat.

“Kamu pasti bisa.”

“Teruslah mengambil bidikan itu!”

Kata-kata penyemangat juga datang dari Kodama dan Sasamoto.

Tempo permainan pun kembali naik turun.

Aku kembali melakukan rutinitas yang sama seperti sebelumnya, menerima umpan dan mengumpan bola ke rekan setim.

Hah?

Namun, sekarang terasa lebih mudah untuk menghubungkan umpan dibandingkan sebelumnya. Setiap kali aku mendapatkan bola, tim lawan tiba-tiba akan memperketat pertahanan mereka di sekitar ring. Yang lebih penting lagi, Maru tidak lagi sembarangan menerjangku. Dia mungkin mewaspadaiku yang akan melakukan gerakan memutar dan menembak.

Tak lama kemudian, aku kelelahan dan digantikan. Ketika aku berjalan ke sisi lapangan, teman-teman sekelasku mengatakan kepadaku seberapa hampirnya tembakanku sebelumnya. Apa memang sedekat itu?

Setelah istirahat sebentar, aku kembali ke lapangan.

Pada saat itu, selisih poin sudah tertutup, dan kami hanya tertinggal satu angka.

"Ayo, Asamura~! Kamu pasti bisa ~!” Sebuah suara berteriak dari belakangku.

Aku menoleh untuk melihat siapa itu. Ketua kelas, Satou-san dan Ayase-san juga bersamanya.

Aku mengalihkan perhatianku kembali ke lapangan.

Waktu terus berjalan, waktu yang tersisa kurang dari satu menit lagi.

Tim kami memulai dengan lemparan ke dalam. Aku menangkap operan tersebut dan segera melemparnya kepada rekan-rekan setim. Strateginya tetap sama; Sementara itu, aku berlari dan memposisikan diriku di bawah ring. Kodama melakukan dribel dan memberikan umpan pantulan kepadaku dari luar garis tiga angka. Aku berbalik dan berpura-pura menembak, tetapi malah memutar tubuh aku ke arah Yoshida, yang ada di sudut pandangku.

Mereka mungkin mengira aku akan menembak, karena para pemain bertahan bergegas menuju gawang, meninggalkan Yoshida tanpa penjagaan. Aku mengoper bola melalui ruang terbuka tersebut.

Yoshida melepaskan tembakannya dari dalam garis tiga angka.

Bola melengkung indah di udara dan jatuh ke arah ring. Aku pikir bola itu masuk... Tapi dengan suara yang tumpul, bola tidak masuk dan memantul.

Meleset?!

Tangan semua orang berusaha meraih bola yang memantul, termasuk tanganku. Dan, dengan sedikit keberuntungan, bola itu mengarah padaku. Itu mendarat di tangan aku. Dimana Yoshida?

Mataku mencari ke sana kemari... dan bertemu dengan mata Maru. Tidak, jangan dia. Yoshida berada di sebelah kiri. Aku melihatnya berlari dari garis tiga angka menuju gawang. Sekarang kesempatanku untuk mengoper. Tapi saat aku akan melakukannya, aku melihat Maru menerjang Yoshida. Dia melirik ke arahku. Aku juga melihat guru wasit menatap jam, dengan peluit di mulutnya. Waktu hampir habis.

Peluit bisa ditiup kapan saja. Jika aku mengoper ke Yoshida, dia mungkin akan melakukan tembakan. Namun aku pikir Maru akan mengantisipasi hal itu, karena itulah ia menerjang ke arahnya.

Pilihan mana yang memiliki peluang lebih besar untuk berhasil?

Jika seseorang bertanya kepada aku mengapa aku membuat keputusan itu, aku mungkin akan mengatakan bahwa kata-kata Kodama masih ada di dalam benak aku: “Aku pikir strategi dasarnya adalah melakukan hal yang tidak terduga.” Jadi aku mengangkat bola dan mendorong lenganku secara diagonal ke depan, ke arah ring. Dengan dorongan telapak tangan, aku melempar bola.

Sejujurnya, aku hampir tidak bisa melihat ring. Jadi aku hanya bersyukur tembakan nekat yang aku lakukan membentur papan belakang. Aku cukup yakin itu adalah sebuah keberuntungan. Dan fakta bahwa setelah memantul di papan belakang, bola tersedot masuk ke dalam ring adalah sebuah keajaiban.

Peluit akhir berbunyi hampir tepat saat bola masuk.

“WOOOOOAAAAAHHHHH!”

“KITA MENANG!”

Sementara teman-teman sekelas aku merayakannya, aku, yang kelelahan, ambruk ke lantai lapangan.

Sebuah bayangan besar membayangiku. Maru.

“Kupikir kamu akan mengopernya. Kamu benar-benar membuatku terkejut,” katanya, mengungkapkan keterkejutannya dengan suara yang diwarnai rasa geli dan kaget.

“Aku selalu berpikir aku adalah tipe orang yang akan mengoper begitu saja.”

“... Apa maksudnya?”

“Aku tidak tahu. Aku sendiri pun tidak memahaminya. Tapi astaga, aku benar-benar capek!”

Seorang guru menegurku karena tergeletak di lantai, mengatakan bahwa pertandingan berikutnya akan segera dimulai. Dengan enggan, aku bangkit dan berbaris untuk melakukan kebiasaan membungkuk setelah pertandingan. Festival olahraga adalah bagian dari kurikulum, dan sekolah kami, SMA Suisei, menganggap serius acara formal seperti itu.

Ketika aku berjalan ke arah teman-teman sekelas yang bersorak-sorai, aku disambut dengan tepuk tangan.

Yoshida menghampiriku dan mengulangi, “Kerja bagus, kawan!” berulang kali sambil menepuk-nepuk punggungku dengan penuh semangat.

“Maaf, aku tidak bisa mengoper lebih sering,” aku meminta maaf, tetapi Yoshida tampak terkejut.

“Jangan terlalu dipikirin. Yang terpenting kita berhasil menang!”

Ketua Kelas, Satou-san, dan Ayase-san, semuanya tersenyum.

Meskipun kami menang dengan susah payah, tim kami akhirnya kalah di pertandingan berikutnya. Tim bola voli Ayase-san juga kalah di semifinal. Penampilan terbaik di kelas kami ternyata adalah Hoshino-san dari tim tenis putri, yang berhasil mencapai posisi kedua.

Dan dengan demikian, festival olahraga tahun ketiga di SMA Suisei pun berakhir.

 

◇◇◇◇

 

Karena aku tidak ada shift di tempat kerja hari ini, jadi aku langsung pulang ke rumah, makan malam, mandi, belajar, dan tidur.

Orang tuaku bekerja lembur, seperti biasa, dan Akiko-san sudah berangkat kerja.

Ayase-san dan aku bersantai dan menyeruput teh setelah makan malam. Ketimbang teh hijau, kami minum teh yang didinginkan dari kulkas. Rasa dinginnya terasa menyegarkan saat masuk ke dalam tenggorokan.

“Hari ini sangat melelahkan, bukan?” ucap Ayase-san  sambil menghela napas, dan aku mengangguk setuju.

“Setelah semua latihan gila-gilaan seminggu terakhir ini, jadi rasanya tidak mengherankan. Maksudku, aku tidak pernah benar-benar ikut serta ke dalam festival olahraga seperti ini sebelumnya.”

“Aku juga tidak.”

“Maru sudah melakukannya selama ini. Itu membuatku berpikir bahwa orang yang benar-benar berkomitmen pada olahraga itu luar biasa."

Aku tidak bisa berkata banyak, karena aku hanya mengikuti festival olahraga ini selama seminggu karena itu bagian dari kurikulum sekolah, tapi tetap saja, aku rasa aku bisa melihat sekilas bagaimana rasanya bagi orang-orang yang telah melakukan ini setiap hari, setiap tahun.

“Ini sama seperti masakanmu, Ayase-san.”

Ayase-san melemparkan senyum masam kepadaku.

“Tapi itu hanya sesuatu yang aku lakukan setiap hari.”

“Itulah yang menakjubkan dari hal itu. Dan rasanya juga enak.”

“Terima kasih. Tapi aku hanya memasak untuk diriku sendiri dan keluarga kita... Um, kamu bilang Ayah tiri bekerja di bagian perencanaan produk makanan, kan?”

“Dia sendiri yang bilang begitu.”

Aku baru saja mengetahui detail pekerjaan ayahku. Dia bukan tipe orang yang suka membicarakan pekerjaannya di rumah, jadi ada banyak hal yang tidak kuketahui.

“Yah seperti... Jika kamu menaburkan garam dan merica pada makananmu, makanan itu mungkin akan menjadi kering dan sulit untuk dimakan, tapi itu adalah preferensi pribadimu.”

Benar juga. Ayase-san sendiri tidak mengalami kesulitan untuk memakannya seperti itu.

“Aku bisa mengingat hal itu dan melakukan penyesuaian untuk preferensi tersebut, tetapi aku tidak akan berusaha keras untuk menyesuaikannya dengan selera orang lain.”

Apa maksudnya?

“Um, maksud aku adalah, aku tidak tahu kesan apa yang mungkin dimiliki oleh masyarakat umum tentang masakanku sehari-hari. Pada dasarnya aku hanya membuatnya sesuai dengan seleraku sendiri.”

“Ah, aku mengerti.”

“Tetapi Ayah tiri harus mempertimbangkan semua itu ketika dia membuat rencana.”

“Kedengarannya... sulit.”

Beda orang beda pula cara menikmatinya, begitu kata orang.

“Dan 'hanya' enak saja tidak akan cukup.”

Kali ini giliran Ayase-san yang memiringkan kepalanya dengan bingung.

“Apa maksudmu? Apa yang salah dengan 'hanya' enak?”

“Coba pikirkan seperti ini: Kamu suka garam dan merica pada telur goreng, aku lebih suka kecap asin. Jadi, bayangkan sebuah bumbu yang mencampurkan setengah garam dan merica dan setengah kecap asin.”

“Hah?”

“Apa itu akan menciptakan rasa yang akan memuaskan kita berdua?”

“Mana mungkinlah,” jawab Ayase-san seketika.

“Nah, ‘kan?”

“Aku suka jumlah bumbu sebanyak itu karena sesuai dengan seleraku, dan begitu juga denganmu... Yuuta-niisan. Selain itu, garam dan merica serta kecap asin adalah dua bumbu yang berbeda. Hanya dengan mencampurkan sedikit dari masing-masing bumbu tidak akan menghasilkan rasa yang sempurna—oh, aku mengerti. Jadi itu yang kamu maksud."

Ayase-san tampak cepat menyadari ketika aku menggunakan istilah memasak, bidang keahliannya.

“Jadi maksudmu kalau kamu menggunakan 'rasa yang biasa-biasa saja', kamu akan mendapatkan rasa yang memuaskan selera semua orang. Tentu saja, ini mungkin akan menjadi sesuatu yang bisa dimakan semua orang, tetapi juga, semua orang mungkin akan sedikit tidak puas.”

“Mungkin, ya.”

“Tapi itu bukan hal yang buruk, bukan?”

“Nah, ada masalah dengan pendekatan itu."

“Masalah?”

Lagi-lagi, aku mendapati diriku teringat akan perkataan Maru.

‘Aku benar-benar tidak tahu bagaimana permainanku terlihat oleh orang lain.’

Aku pikir itu sesuai dengan pernyataan Ayase-san tentang masakannya. Bahwa dia hanya menyesuaikan masakannya dengan seleranya sendiri, dan tidak memiliki keyakinan bahwa orang lain akan menganggapnya lezat.

Maru juga menambahkan hal itu. Ia mengatakan bahwa atlet profesional pada dasarnya adalah wiraswasta, jadi tidak cukup bagi mereka untuk tampil dengan baik. Mereka harus tampil dengan cara yang unik bagi mereka.

“Aku bisa membayangkan melakukan survei dengan pelanggan, atau mengumpulkan data tentang preferensi rasa individu, dan menciptakan resep yang sesuai dengan selera mereka. Semacam rasio emas yang pas.”

“Yah... secara hipotesis.”

“Jika kamu secara mekanis merata-ratakan sejumlah besar data, seharusnya hanya ada satu resep yang keluar. Aku kira itulah yang dianggap 'rata-rata' atau 'normal'.”

“Ya.”

Karena dia mengangguk, aku melanjutkan argumenku.

“Jika kita hanya menginginkan resep seperti itu, kita tidak perlu mengadakan rapat perencanaan, ‘kan? Karena itu hanya akan diputuskan dengan satu cara saja.”

Mata Ayase-san melebar dan dia mengeluarkan suara, “Ah.”

“Aku merasa banyak produk makanan baru yang dipasarkan dengan slogan seperti 'super pedas' atau 'sangat lembut'. Namun, kalau dipikirkan secara cermat, mereka tidak benar-benar menargetkan 'rata-rata'. Mereka menjual pengalaman produk yang unik.”

Penampilan seorang pemain haruslah unik...

“Itu benar. Ya, aku tidak terlalu suka makanan yang super pedas atau manis legit. Ah, Maaya mungkin akan memilih yang manis legit.”

Jadi Narasaka-san menyukai makanan manis, ya?

"Jadi, meskipun kamu tidak menyesuaikan masakanmu dengan selera orang lain, bukan berarti masakanmu tidak boleh dibagikan kepada dunia. Tentu saja, masakan itu tetap harus bisa dimakan.”

“Tapi, kurasa masakan rumahku tidak akan cukup baik untuk dijual.”

“Yah, selama itu enak untukku, aku tetap merasa senang.”

“Ma-Makasih,” gumam Ayase-san, memalingkan wajahnya dengan malu-malu karena suatu alasan.

Padahal aku tidak berniat memberinya pujian, aku hanya menyuarakan pendapatku yang jujur.

“Ditambah lagi, kalau ini laku, berarti kamu bisa menjadi seorang profesional.”

“Aku sudah sibuk membuat sesuatu yang bisa dimakan. Tapi sejak aku datang ke rumah ini, masakanku tidak mendapatkan apa-apa selain pujian, jadi sebenarnya agak membingungkan...”

“Aku sangat bersyukur untuk itu.”

Aku menyatukan kedua tanganku dan membungkuk sambil bercanda, dan dia berpaling sambil berkata, “Hmph.”

Terus terang saja, meski aku merasa kalau masakan Ayase-san memang lezat, tapi aku tidak bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa masakannya setingkat dengan koki profesional. Selain itu, aku ragu seleraku bisa sehebat itu. Jadi, aku tidak ingin mengatakannya jika aku tidak bersungguh-sungguh, dan sebenarnya, satu-satunya pilihanku adalah menyatakannya dengan bercanda.

Tapi hari ini, lebih dari sebelumnya, aku diingatkan tentang betapa sedikitnya yang kita ketahui tentang diri kita sendiri.

‘Kamu juga, Asamura. Jangan menahan diri dan ambil bidikanmu.’

“Seorang pria yang memutuskan untuk tidak membidik, bukanlah ancaman. Tidak ada yang akan memperhatikan Kamu karena itu. Mereka akan berpikir bahwa tidak apa-apa membiarkanmu.”

Apa yang dikatakan Yoshida dan Kodama kembali terlintas di benakku.

Sambil memikirkan rasa sup miso buatan Ayase-san, aku tersadar bahwa sebenarnya aku belum pernah melihat Maru bermain bisbol. Aku ingin tahu bagaimana dirinya bermain.

“Oh, ngomong-ngomong,” Ayase-san mulai berkata, dengan lembut meletakkan gelas teh di atas tatakan gelas. “Berkat permainanmu, tim basketmu berhasil mencapai empat besar. Kamu ternyata memang hebat dalam olahraga, Yuuta-niisan.”

“Tidak, tidak, itu semua berkat upaya keras Yoshida dan Kodama. Aku hanya fokus pada permainan tim.”

“Tapi poin terakhir adalah dari tembakanmu, Yuuta-niisan.”

“Aku hanya melakukan lemparan yang nekat, dan untungnya bolanya masuk.”

Aku tidak terlalu atletis; aku sangat menyadari hal itu. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku.

“Tidak apa-apa! Kamu adalah MVP di mataku,” katanya sambil tersenyum malu-malu.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersipu.

“Ma-Makasih,” gumamku, dan membuang muka seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

“Kamu tersipu malu!”

“Aku hanya tidak terbiasa dengan pujian.”

Ayase-san terus tertawa sampai kami mulai membersihkan peralatan makan.

 

◇◇◇◇

 

Malam itu, saat aku selesai belajar dan hendak rebahan di atas kasur, ponselku berbunyi. Ternyata itu adalah pesan LINE.

Yoshida: Selamat untuk hari ini! Aku sangat menghargainya!

Rupanya, dari pesan berikutnya, Yoshida telah berhasil menyatakan perasaannya pada Makihara-san setelah itu.

Aku berpikir tentang bagaimana cara membalasnya.

Aku ingin mengatakan bahwa aku hanya mengumpan bola agar tim kami bisa menang. Aku benar-benar percaya bahwa pengakuannya berhasil karena kesan baik yang ia berikan kepada Makihara-san melalui interaksi rutin mereka. Yoshida adalah orang yang baik.

Namun, orang juga sering berbicara tentang kecocokan. Hanya karena kamu adalah orang yang baik, hal tersebut tidak menjamin mereka akan mengatakan ya. Apa yang dianggap “menyenangkan” oleh satu orang mungkin “tidak menyenangkan” bagi orang lain. Namun, dari apa yang aku amati di kantin ketika mereka duduk di seberangku, Makihara-san dan Yoshida tampak cukup rukun.

Meskipun begitu, tidak ada gunanya membahasnya terus menerus. Kata-kata yang diinginkan Yoshida saat ini adalah—

Yuuta: Sama-sama.

Setelah membalas begitu, aku mengirimkan pesan sederhana yang diharapkan Yoshida.

Yuuta: Selamat.

Sebagai balasannya, aku mendapatkan stiker pose kemenangan. Itu sangat menggambarkan Yoshida.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama