Bab 9 — 20 Juli (Selasa) Asamura Yuuta
Semua siswa SMA Suisei
berkumpul di gedung olahraga ber-AC yang menyenangkan untuk upacara penutupan
semester pertama.
Setelah selesai, aku bergabung
dengan kerumunan siswa yang kembali ke ruang kelas masing-masing. Panas terik
langsung menyengat kulitku, dan paduan suara jangkrik menggedor-gedor gendang
telingaku.
Sebulan sudah berlalu sejak festival
olahraga yang intens itu.
Melirik ke samping, aku bisa
melihat halaman sekolah. Di bawah langit yang gelap, bayangan hitam yang tajam
jatuh dari tiang-tiang tebal yang menopang jaring yang menutupi lapangan
cokelat. Matahari yang terik menarik batas yang jelas antara terang dan gelap,
cahayanya yang menyilaukan, hampir menindas secara fisik dalam intensitasnya,
tampaknya tidak memberikan ruang untuk ambiguitas atau penipuan.
Aku menghela napas, merasa
kewalahan. Tidak mengherankan, mengingat hasil ujian masuk kami akan ditentukan
oleh seberapa banyak yang bisa kupersiapkan selama liburan musim panas lalu.
“Jadi ya, Maru cukup
mengagumkan, iya ‘kan?”
“Hah?”
Menoleh ke arah suara itu, aku
menyadari bahwa Yoshida ada di sampingku.
“Katanya timnya berhasil
melewati ronde ketiga.”
“Sepertinya begitu.”
Maru, kapten tim bisbol SMA
Suisei, sudah maju ke babak ketiga kualifikasi regional Tokyo Timur. Dan jika
mereka memenangkan putaran keempat, yang diadakan lusa, mereka akan berada di
enam belas besar.
“Wilayah ini adalah salah satu
yang paling sulit di seluruh Jepang. Mencapai babak enam belas besar saja sudah
menjadi hal yang luar biasa. Mungkin aku harus mendapatkan tanda tangan Maru
atau semacamnya.”
“Kamu suka bisbol, Yoshida?”
“Tidak, tidak juga.”
Lah?
“Sederhananya, jika menurutku
itu luar biasa, aku hanya ingin mengatakan itu luar biasa.”
“Oke lah.”
Jadi Maru, melalui kerja
kerasnya, bahkan mendapatkan kekaguman dari mereka yang biasanya tidak peduli
dengan bisbol.
“Oh? Kau terlihat bahagia,
Asamura.”
“Yah, ya.”
Ya,
memang seperti itulah dirinya, mengesankan seperti biasa.
◇◇◇◇
Setelah upacara penutupan, kami
melakukan jam wali kelas singkat dan langsung pulang.
Aku harus bekerja di malam
hari, tetapi masih ada sedikit waktu sebelum itu. Apa enaknya aku pulang dulu ke
rumah sebentar? Atau mungkin beristirahat di suatu tempat?
Dengan dimulainya liburan musim
panas, aku takkan masuk ke ruang kelas untuk sementara waktu, jadi aku dengan
cermat memeriksa ke dalam meja kerjaku untuk memastikan bahwa aku tidak
meninggalkan apa pun. Aku merasakan sentuhan baja kosong. Kosong. Bagus.
“Asamura-kun, boleh aku bicara
denganmu sebentar?”
Menoleh ke arah suara itu, aku
menemukan Ayase-san berdiri di sana.
Di
rumah, kami beringkah jauh, tapi di luar, kami bertingkah dekat. Kami
sudah terbiasa berbicara secara alami di dalam kelas selama sebulan terakhir.
Pada awalnya, teman-teman sekelas kami akan mengatakan hal-hal seperti, “Kalian
berdua terlihat dekat akhir-akhir ini,” tetapi ketika kami terus menjawab,
“Kami hanya teman sekelas,” komentar seperti itu akhirnya berhenti.
Yah, itu hal yang normal bagi
teman sekelas untuk berbicara; tidak ada yang perlu dilihat di sini.
“Ada apa?”
“Maaya bilang ada yang ingin
dibicarakan dengan kita.”
Narasaka-san? Bukan hanya pada
Ayase-san, tapi juga padaku?
Kira-kira,
apa yang ingin dia bicarakan, aku jadi penasaran.
“Saki~! Asamura-kun~! Maaf membuatmu
menunggu! Aku datang!”
Suara ceria itu mengiringi
seorang siswi yang benar-benar melompat ke dalam kelas yang hampir kosong.
Ya, itu Narasaka-san.
Dia menghampiri kami dengan
senyum lebar yang menyinari wajahnya. Aku ingat Ayase-san pernah memanggilnya “bunga matahari”. Dan memang benar,
kehadirannya benar-benar mencerahkan tempat ini.
“Narasaka-san, katanya kamu
ingin berbicara dengan Ayase-san dan aku?”
“Apa!? Bagaimana kamu bisa
tahu!? Apa kamu seorang cenayang, Asamura-kun~!?”
Melihat Narasaka-san secara
dramatis menutup mulutnya karena terkejut, Ayase-san menghela nafas pelan di
sampingku.
“Kamulah yang mengatakan ada
yang ingin kau bicarakan, Maaya. Aku hanya menyampaikannya.”
“Ahaha, uppss~.”
“Siapa orang asing misterius
yang kau tiru sekarang?” Aku membalas.
Narasaka-san berdeham
berlebihan sebelum membuka mulutnya untuk berbicara.
“Umm, kalian berdua! Apa kalian
sudah membuat rencana untuk lusa!?”
Lusa? Itu berarti tanggal 22
Juli. Hari kedua liburan musim panas... dan hari Kamis. Apa aku punya rencana?
“Tidak juga.”
“Memangnya kenapa?”
Mata Narasaka-san
berbinar-binar dengan kilau yang menyenangkan.
“Apa kamu mau ikut menyemangati
Maru-kun dan anggota klub bisbol lainnya?”
Menyemangati? Oh, benar, hari
itu adalah pertandingan Maru.
“Lagipula, bukan hanya kalian
berdua, aku juga mengundang teman-teman yang lain. Kamu tahu, hampir semua
orang yang pergi ke kolam renang musim panas lalu mengatakan mereka bisa
datang!”
Wajah Shinjo yang menyegarkan
muncul di benakku. Dia adalah bagian dari kelompok yang dekat dengan
Narasaka-san.
“Semua orang akan datang, ya.”
Sesuai dengan bentuk
Narasaka-san, si kupu-kupu sosial. Dia membusungkan dadanya dengan bangga.
“Ini adalah musim panas
terakhir kami, dan ini adalah pertandingan yang bisa membawa kami ke enam belas
besar! Karena Maru-kun melakukan yang terbaik, aku ingin mendukungnya. Aku
ingin dia bermain dengan lautan penggemar yang bersorak-sorai di sekelilingnya!”
Apa yang dikatakannya
mengingatkanku pada festival olahraga sebulan yang lalu. Itu bukan tentang
memberikan “ekspektasi” kepadanya, namun lebih kepada “dukungan.”
“Mereka akan melawan sekolah
yang sangat tangguh!”
Oh,
benarkah?
Aku tidak tahu apa-apa tentang
olahraga, jadi aku tidak tahu seberapa kuat sekolah lain di distrik ini.
Aku mungkin tidak tahu, tapi
jika Narasaka-san mengatakannya, itu berarti tim lawan hampir seimbang.
“Jadi, gimana? Apa kalian
berdua bisa ikut hadir?”
“Ya. Aku akan pergi.”
Aku sudah memikirkan hal itu
selama festival olahraga berlangsung. Aku ingin melihat Maru bermain di pertandingan
resmi setidaknya sekali.
“Bagaimana denganmu,
Ayase-san?”
“Yah... jika hanya untuk satu
hari.”
“Baiklah! Yeeey! Saki~!”
Kedua tangan Narasaka-san
terangkat ke atas, meminta tos dari Ayase-san.
“Y-yeey?” Ayase-san menjawab,
meskipun dengan kebingungan.
Telapak tangan mereka bertemu
dan menjadi tos.
“Jika kalian ingin mengundang
orang lain, silakan saja! Pada tanggal 22, kita semua akan pergi ke stadion!
Aku akan mengundang beberapa orang lain juga sekarang. Jadi, Adyu~!”
Adyu?
Setelah mengucapkan selamat
tinggal dengan campuran bahasa Prancis dan Jepang yang aneh, Narasaka-san pergi
dengan cara yang sama seperti saat dia tiba-seperti angin puyuh.
Aku melamun. Jika aku harus
mengundang seseorang, pasti Yoshida, ‘kan? Dia adalah teman baik dan sangat
peduli dengan pertandingan Maru.
Sedangkan Ayase-san, dia akan
mencoba mengundang Ketua Kelas dan Satou-san.
Tapi... Narasaka-san bertingkah
seperti kapten pemandu sorak yang ditunjuk sendiri atau semacamnya. Dia pasti
sangat dekat dengan Maru, ya?