Gimai Seikatsu Volume 15 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Juni, Asamura Yuuta

 

Aku menyerahkan buku yang dibungkus dengan penutup kepada pelanggan yang telah menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit. Pelanggan itu keluar dari toko dengan rambut peraknya yang berkibar, dan aku mengucapkan “Have a nice day” sesuai dengan manual pelayanan.

Meskipun itu ungkapan yang sesuai dengan bagian “Salam saat keluar” untuk pelanggan asing dari negara berbahasa Inggris, setelah mengucapkannya, aku menyadari dengan terlambat. Gawat, hari ini ‘kan hujan. Sejak tanggal 6, musim hujan telah dimulai, dan belakangan ini cuacanya selalu hujan terus-menerus.

Tentu saja, ungkapan “Have a nice day!” memiliki nuansa yang mirip dengan “Silakan datang lagi”, tapi ketika pelanggan yang diucapkan kalimat itu keluar dan membuka payung, aku berpikir, “Apa artinya mengucapkan selamat menjalani hari yang baik dalam keadaan seperti ini...".

── Apa aku terlalu kepikiran saja?

Mungkin aku memang terlalu memikirkannya. Namun, aku merasa cemas bahwa hanya menghafal bahasa Inggris dari manual tidak cukup untuk menyampaikan nuansa kepada orang lain. Tapi, jika ditanya apa ada cara lain untuk melakukannya, aku tidak bisa memikirkan satu pun.

“Terima kasih atas kerja kerasnya, Yuuta-senpai.”

Aku menoleh ke arah sumber suara itu dan melihat juniorku, Kozono Erina-san, yang rambutnya diwarnai dengan warna kemerahan, berdiri dengan senyum sambil menyatukan tangannya di belakang.

“Belakangan ini jumlah pelanggan asing semakin banyak, ya?”

“Baik kemarin maupun dua hari lalu, mereka datang seolah-olah menunggu waktu kerjaku.”

“Aku bahkan melayani sekitar lima orang kemarin, loh?”

Eh, sampai sebanyak itu?

Ekspresi keterkejutanku mungkin terlihat jelas, sehingga Kozono-san berkata, “Serius, lho”. Artinya, bukan hanya aku yang sering bertemu dengan pelanggan yang berbicara bahasa Inggris, tapi aku malah yang termasuk sedikit berjumpa mereka.

“Jadi, berarti mereka merasa lebih mudah mengajak bicara Kozono?”

“Mungkin mereka hanya mendekati karena melihatku melayani. Itu terjadi berturut-turut.”

“Oh... begitu.”

Junior yang mungil ini mampu berbicara bahasa Inggris hampir dengan lancar. Dia lebih baik daripada diriku yang terbata-bata dalam bahasa Jepang dan Inggris.

“Kamu hebat sekali bisa melayani pelanggan dalam bahasa Inggris tanpa rasa takut, Kozono-san.”

Mungkin karena memang kepribadiannya, jika dia melihat ada pelanggan yang tampak kesulitan, meskipun bahasa Inggris bukanlah bahasa utamanya , dia dengan aktif akan bertanya, “May I help you?” Dengan begitu, pelanggan tersebut tahu bahwa dia bisa berbicara dalam bahasa Inggris, sehingga mereka pun beralih berbicara dalam bahasa Inggris (meskipun itu mungkin bukan bahasa ibu mereka).

Jika itu berjalan lancar, pelanggan asing lainnya yang melihat juga akan mulai mengandalkan Kozono.

“Seandainya saja aku juga belajar bahasa Inggris dengan baik seperti Kozono-san...”

“Yah, aku sudah terbiasa di sekolah.”

“Kozono-san, kamu sekolah SMA di mana?”

“Bukannya aku sudah pernah bilang sebelumnya? SMA Internasional Aoki.”

“Oh... begitu.”

SMA Internasional Aoki dikenal di Tokyo karena fokus pada pendidikan bahasa Inggris. Mereka juga membuat soal bahasa Inggris sendiri untuk ujian masuk, dan aku mendengar bahwa nilai tambah untuk bahasa Inggris cukup tinggi. Oleh karena itu, sekolah ini populer di kalangan anak-anak yang kembali dari luar negeri, pelajar internasional, dan anak-anak berkewarganegaraan asing yang tinggal di Jepang.

“Bukan cuma SMA saja, entah kenapa sekolah SD dan SMP yang kujalani juga cukup serius dalam pendidikan bahasa asing."

Jangan-jangan orang tuanya sudah mempertimbangkan dan memilihnya sejak awal? Sekilas aku berpikir begitu, tetapi karena itu bukan informasi yang pasti, aku hanya menjawab “Begitu ya” dengan nada yang samar.

“Kadang-kadang, bahkan di pelajaran selain bahasa Inggris, guru lain mengajar dalam bahasa Inggris.”

“Eh?”

“Misalnya, sekolah kami juga punya guru penutur asli Bahasa Inggris saat mata pelajaran menggambar. Di kelas juga ada cukup banyak teman sekelas dari negara berbahasa Inggris. Kami saling mengajarkan bahasa Inggris dan Jepang."

Internasional sekali!

“Itulah sebabnya aku sudah terbiasa dengan bahasa Inggris.”

“Itu sangat mengagumkan.”

Namun, mungkin aku perlu meningkatkan minatku terhadap percakapan bahasa Inggris secara serius. Manual pelayanan dalam bahasa Inggris telah disiapkan sejak paruh kedua tahun lalu, dan itu sendiri adalah bukti yang jelas bahwa jumlah pelanggan dari luar negeri meningkat. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan tren zaman yang harus dihadapi oleh seluruh jaringan toko.

Ngomong-ngomong, dalam perkuliahan ekonomiku, dosenku juga pernah mengungkitnya saat berbincang santai bahwa jumlah wisatawan asing di Jepang terus meningkat setiap tahun. Saat mendengarkan, aku merespons dengan ragu-ragu seperti mahasiswa lainnya, “Eh, begitu ya,” tetapi setelah tiga hari berturut-turut harus melayani dalam bahasa Inggris, mau tak mau aku jadi merasakannya.

 

◇◇◇◇

 

Aku mencoba membagikan cerita ini kepada rekan kerja seniorku yang lainnya saat istirahat sore.

Meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda, hampir semuanya mengungkapkan bahwa mereka semakin sering bertemu dengan pelanggan yang berbicara bahasa selain Jepang.

“Dibilangin, sekarang memang sudah zamannya begitu.”

Kozono-san masuk ke ruangan dengan mengatakan itu. Dia kembali dari seragam kerja menjadi pakaian kasual.

“Kamu sudah selesai hari ini?”

“Ya. Hari ini aku berencana pergi berbelanja dengan ibu. Aku sudah meminta untuk pulang lebih awal. Mengurangi waktu kerja dengan Yuuta-senpai itu memang menyedihkan bagi junior yang imut sepertiku...”

“Kamu terlalu berlebihan.”

“Tentu saja, senpai juga boleh merasa sedih, oke? Karena tidak ada interaksi yang menyenangkan dengan juniormu yang imut lagi. Kan? Sen~pai!”

Kozono-san mengeluarkan suara manja sambil merangkul lengan kananku dengan erat dan berusaha mendekatkan badannya.

“Ya, ya. Aku mengerti, aku mengerti kok.”

Di sini, mungkin lebih baik jika aku membalas bahwa aku juga merasa menyesal. Namun, aku ingin dia melepaskan lenganku. Jika dia terus menarik lenganku, aku khawatir akan menyentuh tubuhnya.

“Yuuta-san... kenapa kamu sama sekali tidak terpengaruh?”

Tidak, tidak.

Bukan berarti aku tidak terpengaruh, kok?

“Yah, bisa dibilang aku memang merasa sedikit gelisah.”

“Reaksimu mirip seperti kerepotan dengan keponakan kecil, ya?”

Perkataannya memang tepat sasaran. Jika dipikir-pikir, aku sudah mengalami situasi seperti ini. Ketika mengunjungi rumah kakekku di Nagano akhir tahun lalu, anak-anak sepupuku juga menggangguku seperti ini. Rasanya nostalgia sekali. Itu sudah satu setengah tahun yang lalu. Meskipun umur Kozono-san tidak jauh berbeda denganku, tapi dengan tinggi badannya yang mungil begini, dia terlihat seperti anak SD yang besar.

Apa itu yang membuatku berpikir demikian? Sialan. Ekspresi Kozono-san semakin serius.

Wajahnya tampak tidak senang.

Dan kemudian dia mulai berbicara dengan sangat cepat.

“Ampun deh! Karena Senpai sudah menjadi mahasiswa dan waktu kerja bersama kita mulai berkurang, aku merasa seperti dibatalkan sebelum bisa menggunakan teknik khusus yang sudah aku siapkan untuk kesenangan ini. Aku tidak bisa mendapatkan nutrisi dari wajah panik Yuuta-senpai yang kuharapkan. Jadi, apa itu berarti Ayase-senpai terus-menerus melakukan begini dan begituan sampai-sampai membuat tubuh Yuuta-senpai terbiasa? Kebiasaan itu memang menakutkan, ya? Oh, jadi gitu ya.”

Tunggu, tunggu, tunggu. Dia berbicara terlalu cepat sampai-sampai aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Dan kenapa tiba-tiba nama Saki mendadak muncul di akhir?

“Meskipun kamu mulai kuliah dua tahun lebih awal, aku masih punya dua tahun lagi untuk menjadi mahasiswa. Aku hampir 18 tahun!”

Itu memang benar.

“Dengan begitu, kalimat 'anak di bawah umur tidak diterima' bisa dihilangkan!”

Apa maksudnya?

“Aku pulang dulu. Terima kasih atas kerja kerasnya!”

Setelah junior itu pergi dengan langkah keras dan membuka pintu dengan suara nyaring, aku merasa bingung tentang apa yang sebenarnya sedang dia bicarakan.

Nah, terlepas dari maksud misterius dari tindakan Kozono-san, saat aku memikirkannya kembali, kenyataan bahwa aku tidak bisa melayani pelanggan asing dengan percakapan bahasa Inggris yang hanya sekadar belajar untuk ujian membuatku merasa murung.

Mungkin kemampuan bahasa inggrisku bisa sedikit lebih baik jika aku membaca buku bahasa Inggris, tapi sayangnya, toko bukuku tidak memiliki bagian penjualan buku asing. Ketika aku berpikir untuk pergi ke perpustakaan dan meminjam buku, tiba-tiba aku teringat perkataan Yomiuri-senpai yang pernah mengatakan bahwa di universitas, aku mungkin akan lebih sering membaca makalah dalam bahasa Inggris, karena banyak makalah terbaru dan literatur akademik yang pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris.

Hal tersebut tidak terbatas pada satu bidang saja. Ilmu alam, teknik, medis, ilmu sosial, ilmu humaniora... dan lain-lain. Di semua genre, makalah biasanya ditulis dalam bahasa Inggris terlebih dahulu. Dalam bidang tertentu, ada kalanya ditulis dalam bahasa Jerman atau Prancis, tetapi karena jumlah populasi, mungkin juga dalam bahasa Mandarin. Jurnal yang menjadi tempat penerbitan makalah juga menggunakan bahasa Inggris. Ketika kita menggunakan kata “jurnal” dalam konteks akademis, hal itu merujuk pada majalah akademik, dan hampir semua jurnal yang dianggap top di dunia ditulis dalam bahasa Inggris.

Dengan kata lain, bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar dalam bidang akademik.

Inilah salah satu hal yang bisa dirasakan saat pergi ke universitas. Ketika dosen menyebutkan konten terbaru dalam kuliah, yang dia minta untuk dibaca adalah makalah dan jurnal dalam bahasa Inggris.

Namun, meskipun disuruh membaca, rasanya masih tidak mudah untuk melakukannya. Misalnya, ada jurnal terkemuka dalam sosiologi yang terkenal, yaitu AJPS, yang merupakan [American Journal of Sociology]. Untuk membacanya, aku harus mengakses situs resminya atau perpustakaan universitas. Karena jurnal semacam itu tidak tersedia di toko buku biasa...

Oh, jadi begitu, perpustakaan universitas.

Di sana pasti ada makalah dan majalah akademik. Banyak juga buku asing. Mungkin ini kesempatan yang tepat untuk membiasakan diri membaca buku bahasa Inggris sambil belajar di universitas. Meskipun aku merasa ini mungkin tidak membantu dalam memperbaiki keterampilan berbicara, tapi ini bisa menjadi kesempatan untuk membiasakan diri terhadap bahasa Inggris.

Kurasa mungkin tidak ada salahnya pergi ke sana...

aat aku meninggalkan kantor setelah istirahat sejenak, aku melihat seorang wanita tua yang sedang mondar-mandir di area penjualan. Dia memiliki mata biru dan rambut cokelat. Wanita pelanggan yang anggun ini tampak berusia paruh baya. Sepertinya dia berasal dari Eropa Timur.

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku teringat pada manual pelayanan dan bertanya dalam bahasa Inggris, “May I help you?

 

◇◇◇◇

 

Sudah lewat tengah malam ketika akhirnya aku pulang kerja. Saat aku keluar dari gedung pertokoan untuk pulang, hujan semakin deras, jadi aku berteduh sejenak.

Aku mengucapkan “Aku pulang, dengan pelan di pintu masuk, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali.

Aku memang pulang terlalu larut untuk malam ini. Seperti yang tertera di pesan di ponselku, Saki sepertinya sudah tidur. Mau bagaimana lagi. Dia tampaknya sangat sibuk dengan kuliah dan pekerjaan magangnya, jadi dia pasti merasa kelelahan.

Hanya lampu malam yang menyala di ruang makan.

Sebuah piring makan malam yang tertutup jaring berbentuk tenda disiapkan hanya untuk satu orang. Ada ikan bakar. Apak ini salmon? Selain itu, ada sayuran dan natto. Sebuah catatan yang ditinggalkan Saki menempel di meja. Sup miso sudah disimpan di dalam wadah di kulkas. Mungkin karena lebih mudah basi dibandingkan ikan bakar.

Tahun ini tampaknya akan sangat panas, dan begitu bulan Juli tiba, sepertinya semua harus disimpan di dalam kulkas supaya tidak gampang basi.

Karena cuacanya yang lembap, aku sedikit meningkatkan pengaturan dehumidifier AC.

Aku memanaskan sup miso yang diambil dari kulkas, menyajikan nasi, lalu mengatupkan tangan dan mengucapkan itadakimasu.

Aku mengurai-ngurai ikan dengan sumpit dan membawanya ke dalam mulut.

Makan sendirian terasa hambar dan sepi. Tapi aku tidak ingin membangunkan ayahku yang sedang tidur di kamar, jadi aku tidak bisa menyalakan TV.

Meskipun kebiasaan makan sendirian itu sudah sering kulakukan berkali-kali sejak kecil, tapi kehadiran Saki di depanku dan kebersamaan kami di meja makan telah menjadi hal yang biasa bagiku, sehingga rasa kesepian ini terasa lebih mendalam daripada sebelumnya.

Ngomong-ngomong, akulah yang lebih duluan tertidur kemarin.

Sepertinya ada rapat penting di kantor Akihiro-san, dan dia mengirim pesan bahwa jika rapatnya berlangsung lama, aku boleh makan malam duluan tanpa harus menunggunya. Aku pun mengiyakan dan menyelesaikan makanku lebih awal, tapi apa Saki juga merasakan suasana seperti ini saat makan malam kemarin?

Mungkin seharusnya aku begadang dan menunggunya.

Rasanya kesalahpahaman kecil seperti ini semakin sering terjadi akhir-akhir ini...

Meskipun kami tinggal serumah, kami sering kali tidak bisa menyelaraskan jadwal kami.

Selain itu, kami belum bisa mendapatkan pengalaman bersama lagi sejak waktu itu. Kami sepakat untuk tidak melakukannya ketika salah satu dari orang tua kami ada di rumah, dan kami akan mencari waktu yang tepat ketika keduanya tidak ada.

Namun, jika demikian, kesempatan yang nyaman seperti itu takkan datang dengan mudah. Meskipun seharusnya kami melangkah ke tahap baru sebagai pasangan, rasanya seperti kami melompat ke dalam kabut.

“Pahit.”

Aku secara tidak sengaja menggigit bagian gosong dari ikan bakar dan suara itu keluar. Dengan menelan suara yang terlepas, aku memaksa nasi masuk ke dalam tenggorokanku.

 

◇◇◇◇

 

Aku menyantap sarapanku sambil menahan menguap.

“Kamu kurang tidur? tanya ayahku yang duduk di samping sambil mengaduk ikan mesashi. Aku balas mengangguk.

“Aku sedikit begadang tadi malam.

Apa kamu baik-baik saja?

Suara khawatir itu datang dari Saki yang duduk di depan. Sebenarnya, sudah lama kami bertiga makan sarapan bersama seperti ini.

Aku pulang terlambat karena kerja paruh waktu, jadi waktu untuk belajar dan mengulang juga jadi bergeser...

Setelah pulang lewat tengah malam, aku baru tidur setelah jam dua. Ditambah lagi, aku harus bangun 30 menit lebih awal dibandingkan saat di SMA, jadi jujur saja, rasanya cukup berat. Untungnya, jadwal perkuliahan hari ini cukup sedikit.

Meski begitu, aku tetap harus bangun pagi karena ada perkuliahan matematika di jam pertama.

Mungkin aku seharusnya mengurangi waktu belajar dan menggantinya dengan tidur. Tapi, dosen itu mengajar dengan kecepatan yang melebihi pemahamanku... Aku mencoba untuk serius memahami apa yang diajarkan, tetapi di perkuliahan berikutnya dia juga mengatakan bahwa bagian itu penting, dan aku berpikir, Apa-apaan ini, semuanya juga penting? pada aljabar linier.

“Sudah kuduga, jarak ke kampus Ichinose itu jauh, ya?

Itu—jaraknya memang lebih jauh daripada SMA Suisei, tapi hanya 30 menit lebih awal, jadi itu hanya membuatku berangkat pada waktu yang sama denganmu, Ayah.

Aku tidur jam 10, jadi aku mendapatkan tidur yang cukup selama 8 jam. Aku tidak ingin kamu mengorbankan waktu tidurmu karena kamu masih muda.

Yah, um... Aku akan berusaha sebaik mungkin.

Jawabanku terdengar seperti pernyataan seorang politisi.

Bagaimanapun juga, sekarang aku harus menyelesaikan sarapan di depanku. Sepertinya sejak semalam aku hanya makan, tidur, dan bangun untuk makan... Rasanya seperti seumur hidupku hanya demi makan. Seharusnya ada waktu untuk belajar di antara itu.

“Mau teh?

Ah, ya. Terima kasih.

Saki yang sudah selesai makan lebih dulu menuangkan teh dari teko ke cangkir. Dia menempatkan cangkir itu di dekatku.

Saki masih bisa berangkat ke sekolah pada waktu yang sama seperti di SMA. Hingga bulan Mei, dia bangun lebih pagi untuk menemaniku, tetapi belakangan ini pelajaran semakin sulit dan dia juga lelah karena pekerjaan magangnya, jadi seringkali dia bangun 30 menit lebih lambat dariku. Secara alami, waktu kami berangkat dari rumah pun jadi berbeda.

Karena Saki yang membuat sarapan pagi ini, jadi dia bangun lebih awal, dan aku bangun sedikit lebih lambat dari biasanya, jadi kami bisa bertemu dan makan bersama.

Hal-hal kecil seperti itu menjadi alasan untuk saling menjauh dan waktu yang kami habiskan bersama jadi semakin berkurang.

Pikiran yang kurenungkan semalam tiba-tiba melintas di kepalaku. Bersamaan dengan itu, muncul rasa cemas yang samar-samar. Pemandangan dalam pikiranku berubah menjadi gelap dan redup. Bahkan nasi hangat yang ada di hadapanku tampak ternoda abu-abu—tidak, maaf, itu bohong. Itu hanya karena aku menuangkan tororo yang dicampur kecap ke atas nasi, sehingga warnanya jadi tampak abu-abu.

Bagaimana dengan kursus mengemudimu?

Ayahku tiba-tiba bertanya demikian, dan butuh waktu bagiku untuk memahami maksud pertanyaannya. Pikiran tentang nasi tororo membuatku sulit beralih ke topik sekolah mengemudi.

Oh, ya. Cukup baik, mungkin.

Jawabanku terdengar sangat samar.

Ya, memang tidak mudah untuk segera merasakan kemajuan.

Ayahku tidak menyangkal atau marah dengan jawabanku yang tidak jelas, dan berusaha untuk tidak memutuskan percakapan. Sekali lagi, aku merasakan perbedaan antara aku dan dirinya. Jika itu aku, mungkin aku akan menjawab dengan nada menuntut, Apa itu berarti kamu tidak merasa kemajuan? dan merusak suasana percakapan.

Kamu sudah mulai selama satu bulan, kan? Apa saja yang sudah kamu pelajari?”

Awalnya ada 10 jam pelajaran teori. Seperti mempelajari peraturan dan sebagainya.

Masih teori saja?

“Ada latihan praktik kok. Yang mengemudikan mobil di dalam kursus lintasan.

Aku merasa cukup percaya diri dengan pelajaran teorinya. Setelah selesai pelajaran, tampaknya ujian teori untuk mendapatkan SIM sementara memerlukan nilai minimal 45 dari 50, tetapi dibandingkan dengan belajar untuk ujian, itu tidak terlalu sulit.

Masalahnya adalah saat menjalani pelajaran praktik mengemudi di dalam lintasan.

Saat aku duduk di kursi penumpang mobil ayah, aku tidak merasakan hal ini, tetapi ketika aku duduk di kursi pengemudi dan memegang kemudi, itu benar-benar—menakutkan.

Saat menginjak pedal gas, mobil melaju ke depan, dan pemandangan di kiri dan kanan mengalir dengan kecepatan yang menakutkan. Kecepatan akselerasinya jauh lebih cepat dibandingkan saat berlari. Ungkapan seperti terbang benar-benar tepat.

Kalau diingat-ingat kembali, aku hampir tidak pernah bermain game balap yang menggunakan mesin seperti di pusat permainan. Dulu, temanku Maru sering mengajakku untuk bertanding, tetapi saat itu aku tidak terlalu tertarik, dan setelah terus-menerus menolak, Maru pun akhirnya berhenti mengajakku.

Seandainya aku pernah mencoba permainan simulasi seperti itu, mungkin semuanya akan berbeda. Kalau dipikir-pikir lagi, ada mesin simulasi seperti permainan di tempat kursus mengemudi. Apa itu namanya, Pelatihan Prediksi Bahaya? Kedengarannya menakutkan, dan aku sudah merasa cemas menunggu hari pelajaran itu datang. Aku khawatir tentang apa yang akan terjadi jika aku gagal.

Jika hanya mengemudikan mobil sendirian saja sudah terasa menakutkan, kira-kira kapan aku bisa mengangkut penumpang?

Ketika aku mengungkapkan perasaanku dengan jujur, ayahku hanya tersenyum masam.

Semua orang memang begitu pada awalnya. Tidak ada pengemudi yang percaya diri dari awal, yang begitu justru terlalu menakutkan. Lebih baik jika kamu berhati-hati. Tidak perlu terburu-buru. Kamu akan bisa mengemudi dengan baik.

Aku penasaran kapan hari itu bakalan tiba.”

Ayahku terus mengulangi bahwa semuanya akan baik-baik saja untuk menghilangkan kecemasanku.

“Ah, aku sangat menantikan untuk berkendara dengan mobil yang dikemudikan Yuuta.

Namun, aku tidak bisa sepenuhnya merasa optimis tentang itu...

Ngomong-ngomong, Saki, kamu tidak tertarik mendapatkan SIM?

Saki yang mendengarkan pembicaraan kami ditanya oleh ayahku, dan dia menjawab, Saat ini, aku mungkin tidak memikirkannya.

Sejujurnya, pekerjaan magangku dipenuhi dengan hal-hal baru. Rasanya aku tidak punya cukup waktu untuk menambah hal baru lagi.

Begitu ya. Nah, selama kamu tinggal di kota, sebenarnya tidak ada masalah jika tidak terburu-buru mendapatkan SIM.

Ayahku berkata begitu, dan Saki mengangguk seolah setuju.

Tapi, jika kamu ingin mendapatkan SIM, lebih baik kamu mengambilnya saat masih muda. Setelah tua, memulai hal baru akan terasa sangat berat.

Meskipun ayahku berkata begitu, sebenarnya aku sudah merasa berat untuk memulai hal baru.

Memulai sesuatu yang baru—.

Aku merenungkannya dalam hati.

 

Memang benar-benar menguras banyak energi.

Yuuta—. Ah, eh, maksudku, Nii-san.

Saki yang hampir memanggil nama depanku langsung menyadari kehadiran ayah dan dengan panik memanggilku. Hmm? Saat aku mendongak ke arahnya, Saki menunjuk ke arah jam dinding dan berkata,

“Bukannya kamu harus segera berangkat...?

Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Melihat waktu yang ditunjukkan jarum jam, kali ini akulah yang panik. Bahaya. Jika aku terlambat satu kereta, aku pasti akan terlambat.

Maaf! Aku berangkat sekarang!

Ya. Aku akan membereskan semuanya. Ayo, cepetan berangkat!

Setelah meninggalkan semua urusan setelah makan, aku meraih tasku.

Aku berlari menuju stasiun dan berhasil melompat ke dalam kereta yang baru saja berbunyi tanda keberangkatan. Dengan napas terengah-engah, aku bersandar pada pintu yang tertutup dengan suara keras.

Aman. Aku berhasil tepat waktu.

 

◇◇◇◇

 

Dengan berganti kereta yang nyaris terlambat, aku berjalan cepat dari stasiun menuju kampus dan berhasil sampai tepat waktu untuk kuliah.

Aku berusaha menenangkan detak jantungku dengan mengulangi napas dalam ketika Nakamura yang duduk di sebelahku memanggilku. 

“Kerja bagus. Wah, tumben sekali hari ini kamu datang mepet banget.

“Yah... begitulah.

Pintu di depan kelas terbuka. Dosen yang masuk langsung memulai perkuliahan tanpa menyapa atau berbincang-bincang. 

Tidak ada ampun. Sialan, aljabar linier. 

Setelah kuliah pertama selesai, hanya ada satu perkuliahan lagi di jam ketiga hari ini. Artinya, sekarang ada waktu kosong hampir tiga jam setelah istirahat siang. 

Aku menuju perpustakaan universitas. 

Aku mencari katalog dan memilih beberapa buku berbahasa asing. Jurnal terkait sosiologi tidak bisa dipinjam—artinya, dilarang untuk dipinjam. Karena aku tertarik, aku memutuskan untuk membaca dua buku di sini. 

Untuk buku yang bisa dipinjam, ada edisi asli dari buku yang direkomendasikan dosen, jadi aku memutuskan untuk meminjamnya. Aku sudah memiliki versi terjemahannya, jadi aku bisa mencocokkan terjemahan. Selain itu, saat mencari di katalog, aku menyadari bahwa ada novel biasa juga. 

“Oh...!

Aku tak kuasa menahan diri untuk berseru

Ada buku yang menarik perhatianku: 'I, ROBOT' dan 'Tales of Black Widowers'. Hanya dengan melihat judul aslinya, aku bisa menebak judul terjemahannya. Yang pertama adalah 'Aku Robot' dan yang kedua adalah 'Kisah Para Janda Hitam'. Meskipun genre-nya berbeda, penulisnya adalah Isaac Asimov. Dia adalah Mr. Sci-Fi. 

Kedua karya tersebut adalah kumpulan cerita pendek, dan aku pernah membaca versi terjemahannya di masa lalu. Asimov menulis dengan cara yang mudah dipahami, jadi sepertinya aku bisa membacanya... Jadi, aku memutuskan untuk meminjamnya. 

Setelah menyelesaikan proses peminjaman di meja, aku membaca majalah yang ada di sana. Majalah akademik memang banyak istilah teknis yang sulit, sehingga aku merasa kesulitan, tapi aku merasa bisa mengerti topik yang dibahas... setidaknya, begitulah yang kurasakan. 

Sambil memegang buku yang dipinjam, aku pergi ke kantin untuk makan siang lebih awal, lalu menuju aula tempat kuliah jam ketiga akan berlangsung. Ketika aku membuka buku yang dipinjam dan membacanya sebelum kuliah dimulai, Nakamura memanggilku lagi. Di sampingnya ada Kikuchi. Keduanya sering berada di kelas yang sama denganku. 

Jadi bisa dibilang kami sudah cukup akrab. 

Apa-apaan itu! Wah, kamu membaca buku yang sangat berat!

Dirinya terlihat sangat terkejut, reaksinya mungkin sedikit berlebihan. Aku yakin dia sengaja melakukannya. Sebenarnya, dia tidak terlalu terkejut, kan? 

Aku meminjamnya karena kupikir ini bisa membantuku dalam meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

Saat aku menjawab demikian, Kikuchi mengikuti sampul buku yang kubaca dengan matanya dan berkata, 

Yam, mungkin ini bisa membantu untuk belajar pemahaman bacaan. Tapi menurutku itu takkan membantumu meningkatkan kemampuan percakapan bahasa Inggrismu.

“Jadi tidak bisa meningkat ya? 

“Kurasa bahasa lisan dan tulisan itu berbeda, dan yang terpenting, kamu tidak melatih pendengaranmu, kan? 

Itu juga benar. Yah, aku sudah sedikit menyadarinya.

Jika ingin belajar percakapan bahasa Inggris secara serius, lebih baik mendengarkan materi audio yang direkam seperti yang dilakukan Saki, atau setidaknya menonton film asing dengan menghilangkan subtitle. Aku tahu itu. Tapi, aku lebih suka membaca buku. 

Yah, semoga ini bisa sedikit membantu. Lagipula, pada akhirnya, aku juga harus membaca makalah terbaru. Mungkin lebih baik jika aku terbiasa dengan teks panjang dalam bahasa Inggris.

Kikuchi mengangguk dan berkata, “Ada benarnya juga. 

Tapi, aku tidak ingin membaca makalah bahasa Inggris!

Kalau begitu, kamu tidak akan mendapatkan kredit.

Saat aku menjawab dengan tenang, Nakamura mengerutkan dahi dan mulai mengeluh. 

Apa aku harus bisa berbahasa Inggris sampai segitu? 

Dirinya mengeluh dan Kikuchi menjawabnya. 

Itu tergantung pada jalur karier yang kamu pikirkan setelah lulus, kan? Misalnya, jika kamu ingin melanjutkan ke program pascasarjana, percakapan bahasa Inggris mungkin penting. Belakangan ini, ada kesan bahwa orang yang memiliki gelar magister atau lebih harus bisa berbicara bahasa Inggris. Bahkan, ada kalanya semua kelas diajarkan dalam bahasa Inggris. 

Ngomong-ngomong, gelar 'magister' diberikan kepada mereka yang melanjutkan ke program pascasarjana dan menyelesaikan program magister. Gelar 'doktor' diberikan kepada mereka yang menyelesaikan program doktoral. Ini adalah gelar master dan doktor. Masing-masing program biasanya berlangsung selama dua tahun dan tiga tahun. (TN: Maksudnya itu lulusan S2 dan S3)

Aku takkan lanjut ke pascasarjana. Kenapa aku harus belajar lagi setelah menyelesaikan universitas?

“Lagipula, universitas adalah tempat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu pengetahuan.” ucap Kikuchi. 

Meskipun perkataannya memang benar, tetapi secara realistis, orang yang memasuki universitas untuk mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan mungkin adalah minoritas jika kita mempertimbangkan mahasiswa modern. Aku sendiri juga tidak merasa bahwa aku adalah orang yang sampai sejauh itu. 

Mungkin Kikuchi berbeda... meskipun dia tidak terlihat seperti itu. 

Saat kami sedang berdiskusi, dosen memasuki ruang kelas. Dengan cepat, aku memasukkan buku berbahasa asing yang sedang kubaca ke dalam tas. 

Sambil mendengarkan pelajaran jam ketiga, aku tiba-tiba merenungkan perkataan yang baru saja diucapkan Kikuchi. 

—Universitas adalah tempat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu pengetahuan. 

Itu memang benar. Meskipun aku tidak pernah berpikir untuk melanjutkan ke pascasarjana, aku memiliki motivasi untuk mengikuti kuliah dari Profesor Mori di universitas ini. Itu bukan hanya untuk mendapatkan SIM atau untuk menguasai pekerjaan paruh waktu di toko buku malam. Aku ingin mengingat hal itu. 

Tentu saja, keinginanku untuk mendapatkan SIM demi masa depan bersama Saki juga merupakan alasan yang sebenarnya.

Setelah perkuliahan jam ketiga selesai, aku pergi meninggalkan ruang perkuliahan

Matahari masih tinggi. Di dalam bus menuju tempat kursus mengemudi, aku membaca kembali buku berbahasa asing yang dipinjam sambil memikirkan rencana untuk pergi ke perpustakaan berikutnya. 

Karena ini merupakan kunjungan pertamaku, aku hanya sibuk mencari buku dan mengingat langkah-langkah peminjaman. Mungkin di kunjungan berikutnya, aku bisa fokus mencari buku-buku yang disebutkan sebagai referensi dalam buku pelajaran. 

Ini juga merupakan tantangan baru, jadi aku ingin menjadikannya sebagai kebiasaan. 

 

◇◇◇◇

 

Tingkat kesulitan pelajaran keterampilan di tempat kursus sedikit demi sedikit meningkat. 

Materinya juga menjadi lebih beragam. Cara membelok di tikungan S dan kran, cara memulai di tanjakan, dan cara parkir, semakin banyak hal yang harus diingat. 

Meskipun begitu, waktu yang bisa kuluangkan untuk pergi ke kursus tanpa melewatkan kuliah atau pekerjaan paruh waktu terbatas, dan jalanku untuk mendapatkan SIM ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Sekarang bulan Juni hampir berakhir, tapi peningkatan keterampilan mengemudiku berjalan sangat lambat seperti siput. Sulit untuk mengatakan bahwa aku bisa mendapatkannya sebelum liburan musim panas. 

Di tengah kesulitan hari-hari itu, ada tanda-tanda perubahan baru di tempat kerjaku. 

Hari itu──. 

Aku langsung menuju kantor manajer begitu aku mulai bekerja. Aku harus menyapa manajer dan mengisi dokumen untuk pengajuan biaya transportasi bulan lalu (dulu saat SMA aku bersepeda ke sekolah, tetapi jaraknya hanya satu stasiun kereta dari rumah, jadi jika menggunakan kereta, biaya transportasinya akan ditanggung tempat kerja). 

“Permisi, kataku sambil membuka pintu kantor. 

Di dalam ruangan, pak manajer sedang berbincang dengan seseorang yang tidak kukenal. Seorang pria tinggi berpakaian jas, dan karena berada di kantor, sepertinya ia bukan orang yang tidak ada hubungannya dengan toko buku, tetapi aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Pembicaraan mereka terdengar di telingaku. 

Musim gugur, ya?

Karena ada renovasi besar-besaran, jadi sepertinya akan memakan waktu sekitar empat bulan.

Jika kita terpaksa menutup toko selama waktu itu, mungkin ada beberapa pekerja paruh waktu yang akan berhenti. Sebaiknya kita pasang iklan lowongan kerja lebih awal...... Oh, Asamura-kun, selamat datang. 

Ya. Ah... aku ingin mengajukan biaya transportasi... Apa mungkin sebaiknya nanti saja?

Karena mereka tidak menghentikan percakapan meskipun aku masuk, jadi aku tidak berpikir bahwa pembicaraan itu bersifat sangat rahasia, tetapi mungkin ada hal-hal yang sulit dibicarakan di hadapan pekerja paruh waktu. 

Ah, tidak apa-apa. Jangan khawatir. Kami hanya membicarakan renovasi toko yang pernah kita bicarakan sebelumnya.

Oh... baiklah. Aku mengerti. 

Aku pergi ke rak dokumen dan menarik keluar formulir pengajuan, sambil mengisi informasi yang diperlukan, aku mendengarkan pembicaraan manajer dan pria itu dengan satu telinga.  

Mereka berbicara tentang renovasi besar-besaran toko buku ini. Memang, pak manajer pernah sedikit membocorkan informasi itu sebelumnya. 

Sepertinya mereka akan memulai renovasi besar sekitar musim gugur tahun depan, dan pada musim semi tahun berikutnya, toko akan diperbarui secara signifikan. Selain itu, sepertinya mereka akan mengurangi fungsi toko buku dan lebih memfokuskan pada kegunaan lain.

Meskipun ada banyak kritik yang mengatakan bahwa toko buku seharusnya tidak mengurangi penjualan buku sebagai fokus utama, dan aku termasuk yang merasa sangat terganggu dengan hal itu, tapi mungkin beginilah yang namanya perkembangan zaman. Mengingat banyaknya jumlah wisatawan asing yang datang ke Jepang dan permintaan yang meningkat, aku bisa memahami munculnya ide untuk memanfaatkan lokasi Shibuya dengan lebih baik. 

Manajer bersikeras,“Itulah sebabnya, pasti ada wisatawan asing yang ingin membeli buku dalam bahasa Jepang,tetapi ketika aku mengamati sikap orang penting yang menjadi lawan bicara, tampaknya reaksinya tidak terlalu positif. 

Saat itu, aku sudah menyelesaikan penulisan dokumen. 

Aku tidak bisa berlama-lama tanpa alasan, dan yang terpenting, waktu masuk kerja sudah tiba. 

Aku sudah menulis dokumennya.

Ya. Silakan serahkan di tempat biasa.

Setelah menjawab manajer dan menyerahkan dokumen, aku keluar dari kantor. 

Sambil mengganti pakaian santaiku menjadi seragam dan menuju ke area penjualan, aku teringat kembali percakapan antara pak manajer dan orang penting itu. 

Pemandangan di toko buku ini, yang sudah sangat kukenal—aku sudah bekerja paruh waktu di sini selama empat tahun—mungkin akan berubah. 

Waktu mengalir seperti sungai dan tidak pernah berhenti. 

Seperti yang ditunjukkan oleh hukum kedua termodinamika, entropi dalam sistem tertutup hanya akan meningkat dan tidak akan berkurang. 

Tidak ada yang namanya abadi. 

Manusia pun tidak bisa terus-menerus berada di tempat yang sama. Aku merasakan kembali bahwa dunia ini tidak pasti. Ketidakpastian merupakan hal yang pasti. Istilah kehidupan sehari-hari bukanlah sesuatu yang tidak berubah, tetapi justru kenyataan bahwa setiap hari ada perubahan kecil yang membentuk kehidupan sehari-hari. 

Narasaka-san pernah mengatakan bahwa usia 18 tahun adalah awal persiapan menuju dewasa. Sekitar enam bulan telah berlalu sejak ulang tahunku──. 

Universitas baru, teman-teman baru, pengalaman baru... 

Sama seperti Saki yang mulai magang di kantor Akihiro-san, aku juga harus mencari diriku yang berikutnya. 

Aku penasaran apa aku sudah mulai bersiap-siap untuk menjadi dewasa? 

Semoga aku bisa tumbuh berkembang, meskipun sedikit demi sedikit...

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama