Chapter 3 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Juni, Asamura Yuuta
Aku
menyerahkan buku yang dibungkus dengan penutup kepada pelanggan yang telah
menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit. Pelanggan itu keluar dari toko dengan
rambut peraknya yang berkibar, dan aku mengucapkan “Have a nice day”
sesuai dengan manual pelayanan.
Meskipun itu
ungkapan yang sesuai dengan bagian “Salam saat keluar” untuk pelanggan
asing dari negara berbahasa Inggris, setelah mengucapkannya, aku menyadari
dengan terlambat. Gawat, hari ini ‘kan hujan. Sejak tanggal 6, musim hujan
telah dimulai, dan belakangan ini cuacanya selalu hujan terus-menerus.
Tentu saja, ungkapan
“Have a nice day!” memiliki nuansa yang mirip dengan “Silakan datang
lagi”, tapi ketika pelanggan yang diucapkan kalimat itu keluar dan membuka
payung, aku berpikir, “Apa artinya mengucapkan selamat menjalani hari yang
baik dalam keadaan seperti ini...".
── Apa aku
terlalu kepikiran saja?
Mungkin aku
memang terlalu memikirkannya. Namun, aku merasa cemas bahwa hanya menghafal
bahasa Inggris dari manual tidak cukup untuk menyampaikan nuansa kepada orang
lain. Tapi, jika ditanya apa ada cara lain untuk melakukannya, aku tidak bisa
memikirkan satu pun.
“Terima
kasih atas kerja kerasnya, Yuuta-senpai.”
Aku menoleh ke
arah sumber suara itu dan melihat juniorku, Kozono Erina-san, yang rambutnya
diwarnai dengan warna kemerahan, berdiri dengan senyum sambil menyatukan
tangannya di belakang.
“Belakangan
ini jumlah pelanggan asing semakin banyak, ya?”
“Baik
kemarin maupun dua hari lalu, mereka datang seolah-olah menunggu waktu kerjaku.”
“Aku bahkan
melayani sekitar lima orang kemarin, loh?”
Eh, sampai
sebanyak itu?
Ekspresi
keterkejutanku mungkin terlihat jelas, sehingga Kozono-san berkata, “Serius,
lho”. Artinya, bukan hanya aku yang sering bertemu dengan pelanggan yang
berbicara bahasa Inggris, tapi aku malah yang termasuk sedikit berjumpa mereka.
“Jadi,
berarti mereka merasa lebih mudah mengajak bicara Kozono?”
“Mungkin
mereka hanya mendekati karena melihatku melayani. Itu terjadi berturut-turut.”
“Oh...
begitu.”
Junior yang
mungil ini mampu berbicara bahasa Inggris hampir dengan lancar. Dia lebih baik
daripada diriku yang terbata-bata dalam bahasa Jepang dan Inggris.
“Kamu hebat sekali
bisa melayani pelanggan dalam bahasa Inggris tanpa rasa takut, Kozono-san.”
Mungkin
karena memang kepribadiannya, jika dia melihat ada pelanggan yang tampak
kesulitan, meskipun bahasa Inggris bukanlah bahasa utamanya , dia dengan aktif
akan bertanya, “May I help you?” Dengan begitu, pelanggan tersebut tahu
bahwa dia bisa berbicara dalam bahasa Inggris, sehingga mereka pun beralih
berbicara dalam bahasa Inggris (meskipun itu mungkin bukan bahasa ibu mereka).
Jika itu
berjalan lancar, pelanggan asing lainnya yang melihat juga akan mulai
mengandalkan Kozono.
“Seandainya saja
aku juga belajar bahasa Inggris dengan baik seperti Kozono-san...”
“Yah, aku
sudah terbiasa di sekolah.”
“Kozono-san,
kamu sekolah SMA di mana?”
“Bukannya aku
sudah pernah bilang sebelumnya? SMA Internasional Aoki.”
“Oh...
begitu.”
SMA
Internasional Aoki dikenal di Tokyo karena fokus pada pendidikan bahasa
Inggris. Mereka juga membuat soal bahasa Inggris sendiri untuk ujian masuk, dan
aku mendengar bahwa nilai tambah untuk bahasa Inggris cukup tinggi. Oleh karena
itu, sekolah ini populer di kalangan anak-anak yang kembali dari luar negeri,
pelajar internasional, dan anak-anak berkewarganegaraan asing yang tinggal di
Jepang.
“Bukan cuma
SMA saja, entah kenapa sekolah SD dan SMP yang kujalani juga cukup serius dalam
pendidikan bahasa asing."
Jangan-jangan
orang tuanya sudah mempertimbangkan dan memilihnya sejak awal? Sekilas aku berpikir begitu, tetapi karena itu bukan
informasi yang pasti, aku hanya menjawab “Begitu ya” dengan nada yang samar.
“Kadang-kadang,
bahkan di pelajaran selain bahasa Inggris, guru lain mengajar dalam bahasa
Inggris.”
“Eh?”
“Misalnya, sekolah
kami juga punya guru penutur asli Bahasa Inggris saat mata pelajaran menggambar.
Di kelas juga ada cukup banyak teman sekelas dari negara berbahasa Inggris.
Kami saling mengajarkan bahasa Inggris dan Jepang."
Internasional
sekali!
“Itulah
sebabnya aku sudah terbiasa dengan bahasa Inggris.”
“Itu sangat
mengagumkan.”
Namun,
mungkin aku perlu meningkatkan minatku terhadap percakapan bahasa Inggris
secara serius. Manual pelayanan dalam bahasa Inggris telah disiapkan sejak
paruh kedua tahun lalu, dan itu sendiri adalah bukti yang jelas bahwa jumlah
pelanggan dari luar negeri meningkat. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan tren
zaman yang harus dihadapi oleh seluruh jaringan toko.
Ngomong-ngomong,
dalam perkuliahan ekonomiku, dosenku juga pernah mengungkitnya saat berbincang
santai bahwa jumlah wisatawan asing di Jepang terus meningkat setiap tahun.
Saat mendengarkan, aku merespons dengan ragu-ragu seperti mahasiswa lainnya, “Eh,
begitu ya,” tetapi setelah tiga hari berturut-turut harus melayani dalam bahasa
Inggris, mau tak mau aku jadi merasakannya.
◇◇◇◇
Aku mencoba
membagikan cerita ini kepada rekan kerja seniorku yang lainnya saat istirahat
sore.
Meskipun
dengan tingkat yang berbeda-beda, hampir semuanya mengungkapkan bahwa mereka
semakin sering bertemu dengan pelanggan yang berbicara bahasa selain Jepang.
“Dibilangin,
sekarang memang sudah zamannya begitu.”
Kozono-san
masuk ke ruangan dengan mengatakan itu. Dia kembali dari seragam kerja menjadi
pakaian kasual.
“Kamu sudah
selesai hari ini?”
“Ya. Hari
ini aku berencana pergi berbelanja dengan ibu. Aku sudah meminta untuk pulang
lebih awal. Mengurangi waktu kerja dengan Yuuta-senpai itu memang menyedihkan
bagi junior yang imut sepertiku...”
“Kamu
terlalu berlebihan.”
“Tentu saja,
senpai juga boleh merasa sedih, oke? Karena tidak ada interaksi yang
menyenangkan dengan juniormu yang imut lagi. Kan? Sen~pai!”
Kozono-san
mengeluarkan suara manja sambil merangkul lengan kananku dengan erat dan
berusaha mendekatkan badannya.
“Ya, ya. Aku
mengerti, aku mengerti kok.”
Di sini,
mungkin lebih baik jika aku membalas bahwa aku juga merasa menyesal. Namun, aku
ingin dia melepaskan lenganku. Jika dia terus menarik lenganku, aku khawatir
akan menyentuh tubuhnya.
“Yuuta-san...
kenapa kamu sama sekali tidak terpengaruh?”
Tidak, tidak.
Bukan
berarti aku tidak terpengaruh, kok?
“Yah, bisa
dibilang aku memang merasa sedikit gelisah.”
“Reaksimu mirip
seperti kerepotan dengan keponakan kecil, ya?”
Perkataannya
memang tepat sasaran. Jika dipikir-pikir, aku sudah mengalami situasi seperti
ini. Ketika mengunjungi rumah kakekku di Nagano akhir tahun lalu, anak-anak
sepupuku juga menggangguku seperti ini. Rasanya nostalgia sekali. Itu sudah
satu setengah tahun yang lalu. Meskipun umur Kozono-san tidak jauh berbeda denganku,
tapi dengan tinggi badannya yang mungil begini, dia terlihat seperti anak SD
yang besar.
Apa itu yang
membuatku berpikir demikian? Sialan. Ekspresi Kozono-san semakin serius.
Wajahnya
tampak tidak senang.
Dan kemudian
dia mulai berbicara dengan sangat cepat.
“Ampun deh!
Karena Senpai sudah menjadi mahasiswa dan waktu kerja bersama kita mulai
berkurang, aku merasa seperti dibatalkan sebelum bisa menggunakan teknik khusus
yang sudah aku siapkan untuk kesenangan ini. Aku tidak bisa mendapatkan nutrisi
dari wajah panik Yuuta-senpai yang kuharapkan. Jadi, apa itu berarti Ayase-senpai
terus-menerus melakukan begini dan begituan sampai-sampai membuat tubuh Yuuta-senpai
terbiasa? Kebiasaan itu memang menakutkan, ya? Oh, jadi gitu ya.”
Tunggu,
tunggu, tunggu. Dia berbicara terlalu cepat sampai-sampai aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas. Dan kenapa tiba-tiba nama Saki mendadak muncul di
akhir?
“Meskipun
kamu mulai kuliah dua tahun lebih awal, aku masih punya dua tahun lagi untuk
menjadi mahasiswa. Aku hampir 18 tahun!”
Itu memang benar.
“Dengan
begitu, kalimat 'anak di bawah umur tidak diterima' bisa dihilangkan!”
Apa
maksudnya?
“Aku pulang
dulu. Terima kasih atas kerja kerasnya!”
Setelah
junior itu pergi dengan langkah keras dan membuka pintu dengan suara nyaring,
aku merasa bingung tentang apa yang sebenarnya sedang dia bicarakan.
Nah,
terlepas dari maksud misterius dari tindakan Kozono-san, saat aku memikirkannya
kembali, kenyataan bahwa aku tidak bisa melayani pelanggan asing dengan
percakapan bahasa Inggris yang hanya sekadar belajar untuk ujian membuatku
merasa murung.
Mungkin kemampuan
bahasa inggrisku bisa sedikit lebih baik jika aku membaca buku bahasa Inggris,
tapi sayangnya, toko bukuku tidak memiliki bagian penjualan buku asing. Ketika
aku berpikir untuk pergi ke perpustakaan dan meminjam buku, tiba-tiba aku
teringat perkataan Yomiuri-senpai yang pernah mengatakan bahwa di universitas,
aku mungkin akan lebih sering membaca makalah dalam bahasa Inggris, karena
banyak makalah terbaru dan literatur akademik yang pertama kali dipublikasikan
dalam bahasa Inggris.
Hal tersebut
tidak terbatas pada satu bidang saja. Ilmu alam, teknik, medis, ilmu sosial,
ilmu humaniora... dan lain-lain. Di semua genre, makalah biasanya ditulis dalam
bahasa Inggris terlebih dahulu. Dalam bidang tertentu, ada kalanya ditulis
dalam bahasa Jerman atau Prancis, tetapi karena jumlah populasi, mungkin juga
dalam bahasa Mandarin. Jurnal yang menjadi tempat penerbitan makalah juga
menggunakan bahasa Inggris. Ketika kita menggunakan kata “jurnal” dalam konteks
akademis, hal itu merujuk pada majalah akademik, dan hampir semua jurnal yang
dianggap top di dunia ditulis dalam bahasa Inggris.
Dengan kata
lain, bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar dalam bidang akademik.
Inilah salah
satu hal yang bisa dirasakan saat pergi ke universitas. Ketika dosen
menyebutkan konten terbaru dalam kuliah, yang dia minta untuk dibaca adalah
makalah dan jurnal dalam bahasa Inggris.
Namun,
meskipun disuruh membaca, rasanya masih tidak mudah untuk melakukannya.
Misalnya, ada jurnal terkemuka dalam sosiologi yang terkenal, yaitu AJPS, yang
merupakan [American Journal of Sociology]. Untuk membacanya, aku harus mengakses
situs resminya atau perpustakaan universitas. Karena jurnal semacam itu tidak
tersedia di toko buku biasa...
Oh, jadi
begitu, perpustakaan universitas.
Di sana
pasti ada makalah dan majalah akademik. Banyak juga buku asing. Mungkin ini
kesempatan yang tepat untuk membiasakan diri membaca buku bahasa Inggris sambil
belajar di universitas. Meskipun aku merasa ini mungkin tidak membantu dalam
memperbaiki keterampilan berbicara, tapi ini bisa menjadi kesempatan untuk membiasakan
diri terhadap bahasa Inggris.
Kurasa
mungkin tidak ada salahnya pergi ke sana...
aat aku
meninggalkan kantor setelah istirahat sejenak, aku melihat seorang wanita tua yang
sedang mondar-mandir di area penjualan. Dia memiliki mata biru dan rambut
cokelat. Wanita pelanggan yang anggun ini tampak berusia paruh baya. Sepertinya dia berasal dari
Eropa Timur.
Setelah
menarik napas dalam-dalam, aku
teringat pada manual pelayanan dan bertanya dalam bahasa Inggris, “May I help you?”
◇◇◇◇
Sudah
lewat tengah malam ketika akhirnya aku pulang kerja. Saat aku keluar dari
gedung pertokoan untuk pulang, hujan semakin
deras, jadi aku berteduh sejenak.
Aku
mengucapkan “Aku pulang,” dengan pelan
di pintu masuk, tetapi tidak ada tanggapan
sama sekali.
Aku memang pulang terlalu larut untuk malam ini. Seperti yang tertera di
pesan di ponselku, Saki sepertinya sudah tidur. Mau
bagaimana lagi. Dia tampaknya sangat sibuk dengan kuliah dan pekerjaan magangnya, jadi dia pasti merasa kelelahan.
Hanya
lampu malam yang menyala di ruang makan.
Sebuah
piring makan malam yang tertutup jaring berbentuk tenda disiapkan hanya untuk
satu orang. Ada ikan bakar. Apak ini salmon? Selain itu, ada sayuran dan natto.
Sebuah catatan yang ditinggalkan Saki menempel di meja. Sup miso sudah disimpan
di dalam wadah di kulkas. Mungkin karena lebih mudah basi dibandingkan ikan
bakar.
Tahun ini
tampaknya akan sangat panas, dan begitu bulan Juli tiba, sepertinya semua harus
disimpan di dalam kulkas supaya tidak gampang basi.
Karena
cuacanya yang lembap, aku sedikit
meningkatkan pengaturan dehumidifier AC.
Aku
memanaskan sup miso yang diambil dari kulkas, menyajikan nasi, lalu mengatupkan
tangan dan mengucapkan “itadakimasu.”
Aku
mengurai-ngurai ikan dengan sumpit dan
membawanya ke dalam mulut.
Makan
sendirian terasa hambar dan sepi. Tapi
aku tidak ingin membangunkan ayahku yang sedang tidur di kamar, jadi aku tidak
bisa menyalakan TV.
Meskipun
kebiasaan makan sendirian itu sudah
sering kulakukan berkali-kali sejak kecil, tapi kehadiran Saki di depanku dan
kebersamaan kami di meja makan telah menjadi hal yang biasa bagiku, sehingga rasa kesepian ini terasa lebih
mendalam daripada sebelumnya.
Ngomong-ngomong,
akulah yang lebih duluan tertidur kemarin.
Sepertinya
ada rapat penting di kantor Akihiro-san,
dan dia mengirim pesan bahwa jika rapatnya berlangsung lama, aku boleh makan malam duluan tanpa harus menunggunya. Aku pun
mengiyakan dan menyelesaikan makanku lebih awal, tapi apa Saki juga merasakan
suasana seperti ini saat makan malam kemarin?
Mungkin
seharusnya aku begadang dan menunggunya.
Rasanya
kesalahpahaman kecil seperti ini semakin sering terjadi akhir-akhir ini...
Meskipun
kami tinggal serumah, kami sering kali tidak bisa menyelaraskan jadwal kami.
Selain
itu, kami belum bisa mendapatkan pengalaman bersama lagi sejak waktu itu. Kami
sepakat untuk tidak melakukannya ketika salah satu dari orang tua kami ada di rumah, dan kami akan
mencari waktu yang tepat ketika
keduanya tidak ada.
Namun,
jika demikian, kesempatan yang nyaman seperti itu takkan datang dengan mudah.
Meskipun seharusnya kami melangkah ke tahap baru sebagai pasangan, rasanya
seperti kami melompat ke dalam kabut.
“Pahit.”
Aku
secara tidak sengaja menggigit bagian gosong dari ikan
bakar dan suara itu keluar. Dengan menelan suara yang terlepas, aku memaksa
nasi masuk ke dalam tenggorokanku.
◇◇◇◇
Aku
menyantap sarapanku sambil menahan menguap.
“Kamu
kurang tidur?” tanya
ayahku yang duduk di samping sambil mengaduk ikan mesashi. Aku balas mengangguk.
“Aku sedikit
begadang tadi malam.”
“Apa
kamu baik-baik saja?”
Suara
khawatir itu datang dari Saki yang duduk di depan. Sebenarnya, sudah lama kami
bertiga makan sarapan bersama seperti ini.
“Aku
pulang terlambat karena kerja paruh waktu, jadi waktu untuk belajar dan
mengulang juga jadi bergeser...”
Setelah
pulang lewat tengah malam, aku baru tidur setelah jam dua. Ditambah lagi, aku
harus bangun 30 menit lebih awal dibandingkan saat di SMA, jadi jujur saja, rasanya cukup berat. Untungnya, jadwal perkuliahan hari ini cukup sedikit.
Meski
begitu, aku tetap harus bangun pagi karena
ada perkuliahan matematika di jam pertama.
Mungkin
aku seharusnya mengurangi waktu belajar dan menggantinya dengan tidur. Tapi, dosen
itu mengajar dengan kecepatan yang melebihi pemahamanku... Aku mencoba untuk
serius memahami apa yang diajarkan, tetapi di perkuliahan
berikutnya dia juga mengatakan bahwa bagian itu penting, dan aku berpikir, “Apa-apaan ini, semuanya juga penting?” pada aljabar linier.
“Sudah
kuduga, jarak ke kampus Ichinose itu jauh, ya?”
“Itu—jaraknya memang lebih jauh daripada SMA Suisei, tapi hanya 30 menit
lebih awal, jadi itu hanya membuatku berangkat pada waktu yang sama denganmu, Ayah.”
“Aku
tidur jam 10, jadi aku mendapatkan tidur yang cukup selama 8 jam. Aku tidak ingin kamu mengorbankan waktu tidurmu karena kamu masih muda.”
“Yah, um... Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Jawabanku
terdengar seperti pernyataan seorang politisi.
Bagaimanapun juga, sekarang aku harus
menyelesaikan sarapan di depanku. Sepertinya sejak semalam aku hanya makan,
tidur, dan bangun untuk makan... Rasanya seperti seumur hidupku hanya demi makan. Seharusnya ada waktu untuk
belajar di antara itu.
“Mau
teh?”
“Ah,
ya. Terima kasih.”
Saki yang
sudah selesai makan lebih dulu menuangkan teh dari teko ke cangkir. Dia
menempatkan cangkir itu di dekatku.
Saki
masih bisa berangkat ke sekolah pada waktu yang sama seperti di SMA. Hingga
bulan Mei, dia bangun lebih pagi untuk menemaniku, tetapi belakangan ini
pelajaran semakin sulit dan dia juga lelah karena pekerjaan magangnya, jadi seringkali dia bangun 30
menit lebih lambat dariku. Secara alami, waktu kami berangkat dari rumah pun
jadi berbeda.
Karena
Saki yang membuat sarapan pagi ini,
jadi dia bangun lebih awal, dan aku
bangun sedikit lebih lambat dari biasanya, jadi kami bisa bertemu dan makan
bersama.
Hal-hal
kecil seperti itu menjadi alasan untuk saling menjauh dan waktu yang kami habiskan bersama jadi semakin berkurang.
Pikiran
yang kurenungkan semalam tiba-tiba melintas di kepalaku. Bersamaan dengan itu,
muncul rasa cemas yang samar-samar. Pemandangan dalam pikiranku berubah menjadi
gelap dan redup. Bahkan nasi hangat yang ada di hadapanku
tampak ternoda abu-abu—tidak, maaf, itu bohong. Itu hanya karena aku menuangkan
tororo yang dicampur kecap ke atas nasi, sehingga warnanya jadi tampak abu-abu.
“Bagaimana
dengan kursus mengemudimu?”
Ayahku
tiba-tiba bertanya demikian,
dan butuh waktu bagiku untuk
memahami maksud pertanyaannya. Pikiran tentang nasi tororo membuatku sulit
beralih ke topik sekolah mengemudi.
“Oh,
ya. Cukup baik, mungkin.”
Jawabanku
terdengar sangat samar.
“Ya,
memang tidak mudah untuk segera merasakan kemajuan.”
Ayahku
tidak menyangkal atau
marah dengan jawabanku yang tidak jelas, dan berusaha untuk tidak memutuskan
percakapan. Sekali lagi, aku merasakan perbedaan antara aku dan dirinya. Jika itu aku, mungkin aku akan menjawab
dengan nada menuntut, “Apa
itu berarti kamu tidak merasa kemajuan?”
dan merusak suasana percakapan.
“Kamu
sudah mulai selama satu bulan, ‘kan?
Apa saja yang sudah kamu pelajari?”
“Awalnya
ada 10 jam pelajaran teori. Seperti mempelajari
peraturan dan sebagainya.”
“Masih
teori saja?”
“Ada latihan
praktik kok. Yang mengemudikan mobil di
dalam kursus lintasan.”
Aku
merasa cukup percaya diri dengan pelajaran teorinya. Setelah selesai pelajaran,
tampaknya ujian teori untuk mendapatkan SIM sementara memerlukan nilai minimal
45 dari 50, tetapi dibandingkan dengan belajar untuk ujian, itu tidak terlalu
sulit.
Masalahnya
adalah saat menjalani pelajaran praktik mengemudi di dalam lintasan.
Saat aku
duduk di kursi penumpang mobil ayah, aku tidak merasakan hal ini, tetapi ketika
aku duduk di kursi pengemudi dan memegang kemudi, itu benar-benar—menakutkan.
Saat
menginjak pedal gas, mobil melaju ke depan, dan pemandangan di kiri dan kanan
mengalir dengan kecepatan yang menakutkan. Kecepatan akselerasinya jauh lebih
cepat dibandingkan saat berlari. Ungkapan ‘seperti
terbang’ benar-benar
tepat.
Kalau
diingat-ingat kembali, aku
hampir tidak pernah bermain game balap yang menggunakan mesin seperti di pusat
permainan. Dulu, temanku Maru sering mengajakku untuk bertanding, tetapi saat
itu aku tidak terlalu tertarik, dan setelah terus-menerus menolak, Maru pun
akhirnya berhenti mengajakku.
Seandainya
aku pernah mencoba permainan simulasi seperti itu, mungkin semuanya akan
berbeda. Kalau dipikir-pikir lagi,
ada mesin simulasi seperti permainan di tempat
kursus mengemudi. Apa itu namanya, “Pelatihan Prediksi Bahaya”? Kedengarannya menakutkan, dan
aku sudah merasa cemas menunggu hari pelajaran itu datang. Aku khawatir tentang
apa yang akan terjadi jika aku gagal.
Jika
hanya mengemudikan mobil sendirian saja sudah terasa menakutkan, kira-kira kapan aku bisa mengangkut
penumpang?
Ketika
aku mengungkapkan perasaanku dengan jujur, ayahku hanya tersenyum masam.
“Semua
orang memang begitu pada awalnya. Tidak ada pengemudi yang percaya diri dari
awal, yang begitu justru terlalu menakutkan. Lebih baik
jika kamu berhati-hati. Tidak perlu terburu-buru. Kamu akan bisa mengemudi
dengan baik.”
“Aku penasaran kapan hari itu bakalan tiba.”
Ayahku
terus mengulangi bahwa semuanya akan baik-baik saja untuk menghilangkan
kecemasanku.
“Ah,
aku sangat menantikan untuk berkendara dengan mobil yang dikemudikan Yuuta.”
Namun,
aku tidak bisa sepenuhnya merasa optimis tentang itu...
“Ngomong-ngomong,
Saki, kamu tidak tertarik
mendapatkan SIM?”
Saki yang
mendengarkan pembicaraan kami ditanya oleh ayahku, dan dia menjawab, “Saat ini, aku mungkin tidak
memikirkannya.”
“Sejujurnya,
pekerjaan magangku dipenuhi dengan hal-hal baru. Rasanya aku
tidak punya cukup waktu untuk menambah hal baru lagi.”
“Begitu
ya. Nah, selama kamu tinggal di kota, sebenarnya tidak ada masalah jika tidak
terburu-buru mendapatkan SIM.”
Ayahku
berkata begitu, dan Saki mengangguk seolah setuju.
“Tapi,
jika kamu ingin mendapatkan SIM, lebih baik kamu mengambilnya saat masih muda. Setelah tua,
memulai hal baru akan terasa sangat berat.”
Meskipun
ayahku berkata begitu, sebenarnya aku sudah merasa berat untuk memulai hal
baru.
Memulai
sesuatu yang baru—.
Aku merenungkannya dalam hati.
Memang
benar-benar menguras banyak energi.
“Yuuta—.
Ah, eh, maksudku, Nii-san.”
Saki yang
hampir memanggil nama depanku langsung
menyadari kehadiran ayah dan dengan panik memanggilku. Hmm? Saat aku
mendongak ke arahnya, Saki
menunjuk ke arah jam dinding dan berkata,
“Bukannya
kamu harus segera berangkat...?”
Aku
menoleh ke arah yang ditunjuknya. Melihat
waktu yang ditunjukkan jarum jam, kali ini akulah
yang panik. Bahaya. Jika aku terlambat satu kereta, aku pasti akan terlambat.
“Maaf!
Aku berangkat sekarang!”
“Ya.
Aku akan membereskan semuanya. Ayo, cepetan
berangkat!”
Setelah
meninggalkan semua urusan setelah makan, aku meraih tasku.
Aku
berlari menuju stasiun dan berhasil melompat ke dalam
kereta yang baru saja berbunyi tanda keberangkatan. Dengan
napas terengah-engah, aku bersandar pada pintu yang tertutup dengan suara
keras.
Aman. Aku
berhasil tepat waktu.
◇◇◇◇
Dengan
berganti kereta yang nyaris terlambat, aku berjalan cepat dari stasiun menuju kampus dan berhasil sampai tepat
waktu untuk kuliah.
Aku
berusaha menenangkan detak jantungku dengan mengulangi napas dalam ketika Nakamura yang duduk di sebelahku
memanggilku.
“Kerja bagus.
Wah, tumben sekali hari ini kamu datang mepet
banget.”
“Yah...
begitulah.”
Pintu di
depan kelas terbuka. Dosen yang masuk langsung memulai
perkuliahan tanpa menyapa atau
berbincang-bincang.
Tidak ada
ampun. Sialan, aljabar linier.
Setelah
kuliah pertama selesai, hanya ada satu perkuliahan
lagi di jam ketiga hari ini. Artinya, sekarang ada waktu kosong hampir tiga jam
setelah istirahat siang.
Aku
menuju perpustakaan universitas.
Aku
mencari katalog dan memilih beberapa buku berbahasa asing. Jurnal terkait
sosiologi tidak bisa dipinjam—artinya, dilarang untuk dipinjam. Karena aku
tertarik, aku memutuskan untuk membaca dua buku di sini.
Untuk
buku yang bisa dipinjam, ada edisi asli dari buku yang direkomendasikan dosen,
jadi aku memutuskan untuk meminjamnya. Aku sudah memiliki versi terjemahannya,
jadi aku bisa mencocokkan terjemahan. Selain itu, saat mencari di katalog, aku
menyadari bahwa ada novel biasa juga.
“Oh...!”
Aku tak kuasa menahan diri untuk berseru.
Ada buku yang
menarik perhatianku: 'I, ROBOT' dan 'Tales of Black
Widowers'. Hanya dengan melihat judul aslinya, aku bisa menebak judul
terjemahannya. Yang pertama adalah 'Aku
Robot' dan yang kedua adalah 'Kisah Para Janda Hitam'. Meskipun
genre-nya berbeda, penulisnya adalah Isaac Asimov. Dia adalah Mr. Sci-Fi.
Kedua
karya tersebut adalah kumpulan cerita pendek, dan aku pernah membaca versi
terjemahannya di masa lalu. Asimov menulis dengan cara yang mudah dipahami, jadi
sepertinya aku bisa membacanya... Jadi, aku memutuskan untuk meminjamnya.
Setelah
menyelesaikan proses peminjaman di meja, aku membaca majalah yang ada di sana.
Majalah akademik memang banyak istilah teknis yang sulit, sehingga aku merasa kesulitan, tapi aku merasa
bisa mengerti topik yang dibahas... setidaknya, begitulah yang kurasakan.
Sambil memegang
buku yang dipinjam, aku pergi ke kantin untuk makan siang lebih awal, lalu
menuju aula tempat kuliah jam ketiga akan berlangsung. Ketika aku membuka buku
yang dipinjam dan membacanya sebelum kuliah dimulai, Nakamura memanggilku lagi. Di sampingnya
ada Kikuchi. Keduanya sering berada di kelas yang sama denganku.
Jadi bisa
dibilang kami sudah cukup
akrab.
“Apa-apaan itu! Wah, kamu membaca buku yang
sangat berat!”
Dirinya terlihat sangat terkejut, reaksinya mungkin sedikit berlebihan. Aku
yakin dia sengaja melakukannya. Sebenarnya, dia tidak terlalu terkejut,
kan?
“Aku
meminjamnya karena kupikir ini bisa membantuku dalam meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris.”
Saat aku
menjawab demikian, Kikuchi mengikuti sampul buku
yang kubaca dengan matanya dan berkata,
“Yam, mungkin ini bisa membantu untuk
belajar pemahaman bacaan. Tapi menurutku itu takkan
membantumu meningkatkan kemampuan percakapan bahasa Inggrismu.”
“Jadi
tidak bisa meningkat ya?”
“Kurasa
bahasa lisan dan tulisan itu berbeda, dan yang terpenting, kamu tidak melatih
pendengaranmu, ‘kan?”
Itu juga
benar. Yah, aku sudah sedikit menyadarinya.
Jika
ingin belajar percakapan bahasa Inggris secara serius, lebih baik mendengarkan
materi audio yang direkam seperti yang dilakukan Saki, atau setidaknya menonton
film asing dengan menghilangkan subtitle. Aku tahu itu. Tapi, aku lebih suka
membaca buku.
“Yah,
semoga ini bisa sedikit membantu. Lagipula,
pada akhirnya, aku juga harus membaca makalah terbaru. Mungkin lebih baik jika
aku terbiasa dengan teks panjang dalam bahasa Inggris.”
Kikuchi
mengangguk dan berkata, “Ada benarnya juga.”
“Tapi,
aku tidak ingin membaca makalah bahasa Inggris!”
“Kalau
begitu, kamu tidak akan mendapatkan kredit.”
Saat aku
menjawab dengan tenang, Nakamura
mengerutkan dahi dan mulai mengeluh.
“Apa aku harus bisa berbahasa Inggris
sampai segitu?”
Dirinya
mengeluh dan Kikuchi menjawabnya.
“Itu
tergantung pada jalur karier yang kamu pikirkan setelah lulus, ‘kan? Misalnya, jika kamu ingin
melanjutkan ke program pascasarjana, percakapan bahasa Inggris mungkin penting.
Belakangan ini, ada kesan bahwa orang yang
memiliki gelar magister atau lebih harus bisa berbicara bahasa Inggris. Bahkan,
ada kalanya semua kelas diajarkan dalam bahasa Inggris.”
Ngomong-ngomong,
gelar 'magister' diberikan kepada mereka yang melanjutkan ke program
pascasarjana dan menyelesaikan program magister. Gelar 'doktor' diberikan
kepada mereka yang menyelesaikan program doktoral.
Ini adalah gelar master dan doktor. Masing-masing program biasanya berlangsung
selama dua tahun dan tiga tahun. (TN: Maksudnya itu lulusan S2 dan S3)
“Aku
takkan lanjut
ke
pascasarjana. Kenapa aku harus belajar lagi setelah
menyelesaikan universitas?”
“Lagipula,
universitas adalah tempat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu
pengetahuan.” ucap Kikuchi.
Meskipun
perkataannya memang benar, tetapi secara realistis, orang yang
memasuki universitas untuk ‘mengabdikan hidupnya pada ilmu
pengetahuan’ mungkin
adalah minoritas jika kita mempertimbangkan mahasiswa modern. Aku sendiri juga
tidak merasa bahwa aku adalah orang yang sampai sejauh itu.
Mungkin
Kikuchi berbeda... meskipun dia tidak terlihat seperti itu.
Saat kami
sedang berdiskusi, dosen memasuki ruang kelas.
Dengan cepat, aku memasukkan buku berbahasa asing yang sedang kubaca ke dalam
tas.
Sambil
mendengarkan pelajaran jam ketiga, aku tiba-tiba merenungkan perkataan yang baru saja diucapkan
Kikuchi.
—Universitas
adalah tempat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu pengetahuan.
Itu memang benar. Meskipun aku tidak pernah
berpikir untuk melanjutkan ke pascasarjana, aku memiliki motivasi untuk mengikuti
kuliah dari Profesor Mori di universitas ini. Itu bukan hanya untuk mendapatkan
SIM atau untuk menguasai pekerjaan paruh waktu di toko buku malam. Aku ingin
mengingat hal itu.
Tentu
saja, keinginanku untuk mendapatkan SIM demi masa depan bersama Saki juga
merupakan alasan yang sebenarnya.
Setelah perkuliahan jam ketiga selesai, aku pergi meninggalkan ruang perkuliahan.
Matahari
masih tinggi. Di dalam
bus menuju tempat kursus mengemudi,
aku membaca kembali buku berbahasa asing yang dipinjam sambil memikirkan
rencana untuk pergi ke perpustakaan berikutnya.
Karena
ini merupakan kunjungan pertamaku, aku hanya
sibuk mencari buku dan mengingat langkah-langkah peminjaman. Mungkin di
kunjungan berikutnya, aku bisa fokus mencari buku-buku yang disebutkan sebagai
referensi dalam buku pelajaran.
Ini juga
merupakan tantangan baru, jadi aku ingin menjadikannya sebagai kebiasaan.
◇◇◇◇
Tingkat
kesulitan pelajaran keterampilan di tempat kursus sedikit demi sedikit
meningkat.
Materinya
juga menjadi lebih beragam. Cara membelok di
tikungan S dan kran, cara memulai di tanjakan, dan cara parkir, semakin banyak
hal yang harus diingat.
Meskipun
begitu, waktu yang bisa kuluangkan untuk pergi ke kursus tanpa melewatkan
kuliah atau pekerjaan paruh waktu terbatas, dan jalanku untuk mendapatkan SIM
ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Sekarang bulan Juni hampir
berakhir, tapi peningkatan keterampilan mengemudiku berjalan sangat lambat
seperti siput. Sulit untuk mengatakan bahwa aku bisa mendapatkannya sebelum
liburan musim panas.
Di tengah
kesulitan hari-hari itu, ada tanda-tanda perubahan baru di tempat kerjaku.
Hari
itu──.
Aku langsung
menuju kantor manajer begitu aku mulai bekerja. Aku
harus menyapa manajer dan mengisi dokumen untuk pengajuan biaya transportasi
bulan lalu (dulu saat SMA aku bersepeda ke sekolah, tetapi jaraknya hanya satu
stasiun kereta dari rumah, jadi jika menggunakan kereta, biaya transportasinya akan ditanggung tempat kerja).
“Permisi,” kataku sambil membuka pintu
kantor.
Di dalam
ruangan, pak manajer
sedang berbincang dengan seseorang yang tidak kukenal. Seorang pria tinggi
berpakaian jas, dan karena berada di kantor, sepertinya ia bukan orang yang
tidak ada hubungannya dengan toko buku, tetapi aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
Pembicaraan mereka terdengar di telingaku.
“Musim
gugur, ya?”
“Karena
ada renovasi besar-besaran, jadi sepertinya akan
memakan waktu sekitar empat bulan.”
“Jika
kita terpaksa menutup toko selama waktu itu,
mungkin ada beberapa pekerja paruh waktu yang akan berhenti. Sebaiknya kita
pasang iklan lowongan kerja lebih awal...... Oh, Asamura-kun, selamat datang.”
“Ya.
Ah... aku ingin mengajukan biaya transportasi... Apa mungkin sebaiknya nanti saja?”
Karena
mereka tidak menghentikan percakapan meskipun aku masuk, jadi aku tidak berpikir bahwa
pembicaraan itu bersifat sangat rahasia, tetapi mungkin ada hal-hal yang sulit
dibicarakan di hadapan pekerja paruh waktu.
“Ah,
tidak apa-apa. Jangan khawatir. Kami hanya membicarakan renovasi toko yang pernah kita bicarakan sebelumnya.”
“Oh...
baiklah. Aku mengerti.”
Aku pergi
ke rak dokumen dan menarik keluar formulir pengajuan, sambil mengisi informasi
yang diperlukan, aku mendengarkan pembicaraan manajer dan pria itu dengan satu
telinga.
Mereka
berbicara tentang renovasi besar-besaran toko buku ini. Memang, pak manajer pernah sedikit
membocorkan informasi itu sebelumnya.
Sepertinya
mereka akan memulai renovasi besar sekitar musim gugur tahun depan, dan pada
musim semi tahun berikutnya, toko akan diperbarui secara signifikan. Selain
itu, sepertinya mereka akan mengurangi fungsi toko buku dan lebih memfokuskan
pada kegunaan lain.
Meskipun ada banyak kritik yang mengatakan
bahwa toko buku seharusnya tidak mengurangi penjualan buku sebagai fokus utama,
dan aku termasuk yang merasa sangat terganggu dengan hal itu, tapi mungkin beginilah yang namanya
perkembangan zaman. Mengingat banyaknya
jumlah wisatawan asing yang datang ke Jepang dan permintaan yang meningkat, aku bisa memahami munculnya ide
untuk memanfaatkan lokasi Shibuya dengan lebih baik.
Manajer
bersikeras,“Itulah
sebabnya, pasti ada wisatawan asing yang ingin membeli
buku dalam bahasa Jepang,” tetapi
ketika aku mengamati sikap orang penting yang menjadi
lawan bicara, tampaknya reaksinya tidak terlalu positif.
Saat itu,
aku sudah menyelesaikan penulisan dokumen.
Aku tidak
bisa berlama-lama tanpa alasan, dan yang terpenting, waktu masuk kerja sudah
tiba.
“Aku
sudah menulis dokumennya.”
“Ya.
Silakan serahkan di tempat biasa.”
Setelah
menjawab manajer dan menyerahkan dokumen, aku keluar dari kantor.
Sambil
mengganti pakaian santaiku
menjadi seragam dan menuju ke area penjualan, aku teringat kembali percakapan
antara pak manajer dan orang penting itu.
Pemandangan
di toko buku ini, yang sudah sangat kukenal—aku sudah bekerja paruh waktu di
sini selama empat tahun—mungkin akan berubah.
Waktu
mengalir seperti sungai dan tidak pernah berhenti.
Seperti
yang ditunjukkan oleh hukum kedua termodinamika, entropi dalam sistem tertutup
hanya akan meningkat dan tidak akan berkurang.
Tidak ada
yang namanya abadi.
Manusia
pun tidak bisa terus-menerus berada di tempat yang sama. Aku merasakan kembali
bahwa dunia ini tidak pasti. Ketidakpastian merupakan
hal yang pasti. Istilah “kehidupan
sehari-hari” bukanlah
sesuatu yang tidak berubah, tetapi justru kenyataan bahwa setiap hari ada
perubahan kecil yang membentuk kehidupan sehari-hari.
Narasaka-san
pernah mengatakan bahwa usia 18 tahun adalah awal persiapan menuju dewasa.
Sekitar enam bulan telah berlalu sejak ulang tahunku──.
Universitas
baru, teman-teman baru, pengalaman baru...
Sama seperti Saki yang mulai magang di
kantor Akihiro-san, aku juga harus mencari ‘diriku yang berikutnya’.
Aku penasaran apa aku sudah mulai bersiap-siap untuk menjadi dewasa?
Semoga
aku bisa tumbuh berkembang,
meskipun sedikit demi sedikit...
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
