Chapter 6 — Kencan Pertama Bersama....
Pada sore
hari, aku memberi tahu Takayanagi-sensei
yang datang menemuiku, “Aku berpikir untuk membicarakan hal ini dengan
orang tuali juga”.
Sensei
terlihat sedikit lega dan bertanya, “Kamu yakin?”
Aku balas mengangguk. Cerita yang aku
dengar dari Mitsui-sensei
sangat menyentuh hati aku. Mungkin, aku menyadari bahwa berusaha
menyembunyikannya lebih merupakan tindakan tidak berbakti kepada orang
tua.
Aku
takkan melarikan diri lagi. Aku ingin berjuang bersama semua orang.
Oleh
karena itu, aku harus berkonsultasi dengan orang dewasa yang dapat diandalkan
dan terus berjuang.
“Begitu
ya, terima kasih. Jika kamu merasa kesulitan untuk
menjelaskannya, aku akan menyampaikannya dari pihakku. Kepala sekolah
juga ingin membahas langkah selanjutnya dengan melibatkan keluarga Aono.”
“Ya.
Terima kasih. Tapi, aku tetap ingin mengatakannya sendiri.”
“Begitu ya. Kamu
benar-benar... kamu sudah menjadi lebih kuat dalam setengah
hari, Aono. Keluarga Aono mengelola bisnis
restoran, ‘kan? Jadi pasti sibuk. Kami akan mengatur
waktu untuk pertemuan semaksimal mungkin. Jika memungkinkan, kami akan datang
ke rumah Aono, jadi silakan berdiskusi dengan
orang tuamu. Ini nomor kontakku. Jika kamu bisa berbicara
dengan orang tua, silakan hubungi nomor telepon ini. Aku akan segera membalas.”
“Terima
kasih. Aku mungkin akan pulang larut malam,
apa Sensei tidak keberatan?”
“Ah.
Aku tipe orang yang lebih aktif di malam hari, jadi jujur saja, aku lebih
bertenaga di malam hari. Semakin malam,
semakin baik. Sebenarnya ritme kehidupanku tidak
cocok untuk membuatku menjadi guru sekolah.”
Aku tidak
bisa menahan tawa mendengar lelucon Sensei
yang sedikit merendahkan diri.
Hal tersebut
memberiku rasa aman.
“Aku
mengandalkanmu, Takayanagi-sensei.”
“Ah,
silakan bergantung pada wali kelasmu ini,
Aono.”
Dengan
begitu, aku meninggalkan sekolah. Hari kedua setelah Takayanagi-sensei mengetahui masalahku. Sedikit
demi sedikit harapan mulai muncul.
※※※※
Ketika aku meninggalkan gerbang utama sekolah, aku terkejut melihat ada seorang gadis cantik yang
menungguku. Walaupun kami
sudah saling berjanji, tetapi aku tetap
terkejut.
“Kamu
terlambat, Senpai!”
Aku
merasa sedikit tenang dengan sikap santai kouhai
yang sedikit menggodaku
itu.
“Seperti yang sudah kamu ketahui, aku sengaja pulang agak terlambat karena
mengalami banyak pengalaman buruk di luar. Puncak waktu pulang sekolah sudah
lewat sedikit. Meskipun begitu, aku masih
menerima banyak tatapan dingin.”
Setelah aku menjawab sedikit tenang, adik kelas itu
tertawa.
“Yah,
mengecualikan rumor yang sudah beredar, tapi bukannya kamu menciptakan musuh lain karena Senpai berangkat ke sekolah
bersamaku pagi ini?”
“Kalau itu
sih aku memang tidak bisa membantahnya.”
“Tapi,
aku merasa bersyukur.”
“Bersyukur
kenapa?”
“Habisnya,
jika dibandingkan dengan pagi, ekspresi wajah Senpai
kelihatan jauh lebih tenang... atau bisa dibilang lebih
lembut. Aku langsung menyadarinya. Makanya aku
merasa lega.”
Sepertinya,
Kouhai yang satu ini
benar-benar memperhatikanku.
“Semua itu berkat Ichijou-san.”
“Hmm? Aku tidak melakukan apa-apa kok.”
“Itu sama
sekali tidak benar. Karena
kamulah yang pertama kali mempercayaiku.”
Dia tidak
tahu seberapa lega dan terselamatkannya diriku karena dia
bersikap rasional dan tidak terpengaruh oleh rumor-rumor tersebut. Kecuali Satoshi, orang-orang terdekatku tidak ada yang
memercayaiku.
“Begitu
ya. Apa itu berarti aku 'istimewa'?”
Dia
menekankan itu dengan nada menggoda, tapi sejujurnya, aku merasa tidak bisa
membalasnya karena terlalu malu.
“Yah. Jujur saja, Ichijou-san
memang istimewa. Itulah sebabnya kita bisa langsung menjadi
sahabat saat kita baru
berteman.”
“Hmm~”
Dia
terlihat senang, tapi sedikit juga menunjukkan
ekspresi campur aduk. “Yah,
meskipun kita sahabat, tidak ada yang salah dengan menjadi istimewa,” gumamnya dengan suara
kecil.
“Saat
ini masih...”
Ichijou-san tersenyum sedikit dengan
ekspresi yang tampak sedih.
Kemudian,
ketika orang-orang mulai memperhatikan kami, duo
orang yang tidak serasi pulang sekolah, suasana di
sekitar mulai ramai.
Rumor
menyebar lebih cepat daripada pagi hari. Mungkin, itu juga bagian dari rencana
Ichijou-san.
“Apa kamu
baik-baik saja?”
Aku
bertanya dengan sedikit rasa khawatir.
“Eh,
ada apa? Apa Senpai mencemaskan tentang
rumor cinta yang panas atau semacamnya?”
Aku
berterima kasih atas kebaikan Kouhai-ku
yang suka bercanda ini supaya
tidak membuatku khawatir, tetapi aku tetap bertanya dengan serius.
“Tidak,
bukan itu... Aku khawatir apakah
reputasi Ichijou-san
menurun karena aku berangkat sekolah bersamamu,
atau apa ada orang yang
menggunjingkan hal buruk tentang dirimu.”
Idola
sekolah, gadis yang tak terjangkau,
bidadari. Ada banyak julukan untuk menggambarkan Ichijou-san, tapi hal itu juga mencerminkan harapan
orang-orang di sekitarnya.
“Kamu
benar-benar baik sekali ya,
Senpai. Bahkan saat dalam keadaan yang paling
sulit, Senpai masih
mengkhawatirkanku, jarang
sekali ada orang yang seperti itu, loh!”
“Wajar
sajalah aku merasa khawatir. Karena
aku tidak ingin sahabatku terluka karena diriku.”
“Benar, aku sudah menduga kamu pasti
akan mengatakan itu. Tapi, jangan khawatir. Cuma ada
beberapa gosip percintaan yang beredar, jadi tidak ada dampak buruk.”
“Hal itu
juga cukup berdampak buruk. Aku akan bertanya untuk sekedar
memastikan, apa kamu
baik-baik saja dengan orang yang kamu
sukai atau pacarmu?”
Dia
tertawa. Dan dengan suara yang hampir tidak bisa didengar, dia berkata, “Jauh dari berdampak buruk, malahan ini merupakan hadiah.
Inilah fakta penting.”
Lalu dia melanjutkan,
“Apa Senpai seriusan tanya begitu? Jika beneran ada, aku takkan melakukan hal
romantis seperti kabur bersama Senpai.
Biasanya, kamu harus
memeriksa dulu sebelum mengajak seseorang, ‘kan?”
Itu
adalah argumen yang tidak bisa kubantah.
Apa ini teknik penolakan pengakuan Ichijou
yang dikenal sebagai bentuk pelecehan logis??
“Terima
kasih, ya.”
“Tidak,
terima kasih kembali. Tapi, aku sudah berusaha bangun pagi, jadi aku ingin
sedikit hadiah.”
“Eh?”
“Sudah
kubilang, bagaimana kalau kita pergi berkencan mulai sekarang? Apa Senpai mau makan sesuatu
yang manis?”
Kouhaiku
melontarkan pernyataan mengejutkan itu dengan lantang sehingga semua orang bisa
mendengarnya, dan yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum canggung sebagai balasannya.
Aku bisa mendengar jeritan tak bersuara
dari siswa-siswa yang pulang sekolah.
“Kenapa?!”
“Dari sekian banyak orang, kenaoa Ichijou Ai mengundang Aono Eiji untuk berkencan?”
“Dia
yang telah menolak puluhan pria sebelumnya...”
“Mustahil.”
“Ditambah lagi, dia sendiri yang mengajaknya.”
“Padahal aku
yang lebih dulu menyukainya...”
Itulah
suara keluhan dari siswa-siswa di sekitarku. Sementara
aku berdiri terdiam dalam keadaan terkejut,
Ichijou-san mulai tertawa.
“Ada
apa? Kenapa kamu terdiam? Aku juga membutuhkan
banyak keberanian untuk mengajak Senpai, jadi tolong balaslah.”
“Tidak,
habisnya, karena kamu bilang itu
kencan.”
“Eh,
maksudku, ketika dua orang pria dan wanita pergi menikmati makanan manis sepulang sekolah, bukannya itu disebut kencan?”
“Iya sih,
memang benar disebut begitu, tapi kita harus
mempertimbangkan waktu dan tempatnya juga.
Karena masih ada orang-orang di sekitar
kita juga.”
“Tidak
apa-apa. Aku mengajakmu karena aku ingin pergi bersenang-senang. Jika kita terlalu mempedulikan pandangan
orang lain atau mengabaikan perasaanku dan membiarkan orang lain mengganggu, bukannya itu justru menunjukkan bahwa
dunia ini yang salah?
Jadi, maukah kamu berkencan denganku, Senpai?”
Dia
menatap langsung mataku. Aku
merasakan adanya tekad
yang kuat di dalam matanya.
Ngomong-ngomong,
orang-orang di sekitar kami bereaksi berlebihan terhadap kata-kata “mau berkencan denganku?” dengan “Oh!” atau “Eh, pengakuan publik?” tapi mari kita mengabaikan itu
saja dulu. Ichijou-san
tampak tidak sepenuhnya menolak.
Karena
aku punya uang yang didapat dari pekerjaan paruh waktu selama liburan musim
panas, jadi aku tidak khawatir dengan masalah dana…
Selain
itu, aku tidak bisa mempermalukan Kouhaiku
yang sudah berusaha lebih untukku.
“Baiklah,
karena Ichijou-san
sudah memberanikan diri untuk mengajakku, ayo kita pergi. Apa ada tempat yang ingin kamu
kunjungi?”
“Asyikk!
Sebenarnya ada tempat yang ingin aku
kunjungi.”
Dia
mendominasi senyuman yang sesuai dengan usianya, yang merupakan salah satu
gadis tercantik di sekolah. Jika dipikir-pikir
secara objektif, aku merasa beruntung berada dalam situasi yang mewah ini.
※※※※
Aku
dibawa ke dalam kafe di
depan stasiun. Tempat ini cukup modis
untuk seorang pelajar SMA. Rasanya
seperti tempat di mana mahasiswi dan ibu-ibu muda
mengobrol tanpa memperhatikan waktu.
Kouhaiku
memiliki aura tenang yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya,
seolah-olah dia sudah menyatu dengan suasana kafe bergaya antik. Meskipun dia
mengenakan seragam, ada semacam keanggunan yang tidak bisa disembunyikan,
seolah-olah dia berasal dari keluarga terhormat.
Jika dia memegang cangkir teh dengan ekspresi melankolis, mungkin tidak ada
gadis lain yang lebih cocok dengan istilah ‘putri dari keluarga terpandang’ daripada dirinya.
“Salah
satu teman sekelas yang dekat denganku pernah bilang bahwa mereka datang ke
sini untuk kencan di akhir pekan, dan aku sedikit mengidamkannya. Rasanya
seperti mimpiku menjadi kenyataan.”
Dia
tersenyum dan berbicara dengan suara pelan seolah-olah
sedang berbagi rahasia. Hanya dengan nada dan pilihan kata, para pria bodoh,
termasuk diriku, pasti
akan dengan mudah menyukai Ichijou-san.
Kontras antara keanggunan putri dari keluarga terpandang dan ekspresi sedikit kekanak-kanakannya tampak sangat mencolok.
“Tapi,
rasanya agak mengejutkan.”
“Apanya?”
“Tidak,
aku tidak pernah membayangkan bahwa
kamu memiliki kekaguman
untuk berkencan.”
Sejujurnya, jika dia ingin memiliki pacar,
dengan penampilan dan kepribadiannya yang baik, dia
bisa langsung mendapatkannya.
Faktanya,
sejak masuk SMA, puluhan pria telah mencoba mengungkapkan perasaan mereka dan
terus-menerus gagal.
“Yah, bohong
rasanya jika aku tidak pernah membayangkannya. Lagipula, aku juga seorang gadis remaja.
Tapi, aku bisa melihat bahwa orang-orang yang mengungkapkan perasaan padaku
hanya melihatku sebagai aksesori untuk status mereka. Sejujurnya, itu cukup menyakitkan bagiku.”
Dia
sedikit menunjukkan wajah masam
sebelum segera kembali tersenyum. Memang, orang-orang yang hanya melihatnya
dari permukaan saja, atau bahkan berusaha memperlakukannya
seperti benda, pasti akan menimbulkan ketidakpercayaan.
Lalu,
kenapa dia merasa baik-baik saja denganku?
Aku tidak
sanggup mengucapkan kata-kata yang
konyol itu.
“Benar
juga. Maaf, aku mengatakan
hal yang aneh. Baiklah, mari
kita makan. Karena kamu sudah banyak membantuku,
jadi biar aku yang mentraktirmu hari ini.”
“Terima
kasih. Dengar-dengar katanya kue panekuk
di sini enak, jadi aku ingin
mencobanya.”
“Aku
juga mau yang sama. Kalau minumannya
bagaimana?”
“Aku ingin
memesan teh apel hangat.”
──Sudut Pandang Ichijou Ai──
Setelah selesai memesan, aku meninggalkan tempat dudukku sebentar
untuk menggunakan toilet.
Aku ingin
sedikit menenangkan diri, karena jantungku berdebar-debar begitu kencang dan mungkin Senpai bisa mendengarnya. Aku mencuci
tangan dan mencoba menurunkan suhu tubuhku dengan air dingin.
“Rupanya
mengajak pria yang disukai berkencan bikin deg-degan begini.”
Aku
benar-benar terkejut bahwa aku telah menjadi gadis biasa.
“Apa
niatku sedikit tersampaikan? Bahwa dirinya itu istimewa.”
Bagian
dari diriku yang lemah itu mengalir pergi bersama air.
Aku
melihat Senpai yang terlihat gelisah di tempat duduk.
Sepertinya ia belum menyadari bahwa tempat itu adalah kursi pasangan yang sudah
dipesan. Maafkan aku karena menyimpan rahasia ini, tapi impianku untuk minum
teh di kafe yang indah dengan orang yang kucintai
akhirnya terwujud.
※※※※
──Sudut Pandang Aono Eiji──
Kami
mengobrol satu sama lain sembari menikmati kue panekuk. Kami
hampir melupakan bahwa kami baru mengenal satu hari, saking dekatnya jarak di
antara kami. Namun, kami hampir tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain. Jadi hubungan kami sedikit canggung.
Mengenai
hubungan keluarga, aku merasa Ichijou-san
sepertinya memiliki beberapa masalah, jadi aku berusaha untuk tidak menyentuh
topik itu dan perlahan-lahan memperkenalkan diri.
Kami
berbicara tentang hal-hal yang kami sukai dan pengalaman di SMP. Ichijou-san sepertinya bersekolah di SMP
swasta di Tokyo. Ada alasan tertentu mengapa dia tidak melanjutkan ke SMA yang
terafiliasi. Melihat ekspresinya yang enggan, sepertinya itu berkaitan dengan
keluarganya.
Aku
berusaha untuk tidak menanyakannya. Lagipula, dengan prestasinya yang luar
biasa, sepertinya bukan karena masalah seperti nilainya
yang jelek atau kenakalan.
“Alasanku
tidak melanjutkan ke sekolah afiliasi
karena keadaan keluarga.”
Sepertinya
dia bisa membaca ekspresi wajahku. Dia tersenyum pahit, dan melihat Ichijou-san yang tampak kesulitan, aku
tidak berani untuk bertanya lebih jauh.
Sebaliknya,
ceritaku cukup menghibur. Karena aku dibesarkan di daerah yang sama dan
melanjutkan ke SMA terdekat,
jadi ada banyak pengalaman aneh yang bisa
diceritakan.
Aku mulai menceritakan tentang bagaimana
aku menemukan pencuri kotak sumbangan di kuil dekat rumah dan melaporkannya,
serta bagaimana aku berteman dengan Satoshi yang membantuku saat itu. Namun,
setiap kali aku berbicara tentang masa lalu, bayangan Miyuki selalu muncul, dan
itu terasa sedikit berat. Aku merasa sedih karena harus menghapus keberadaan
Miyuki yang seharusnya ada di sana dari ceritaku.
“Senpai?”
Setelah
menyeruput sedikit teh apel, Kouhaiku mengarahkan senyum seperti Bunda
Maria kepadaku.
“Hmm?”
“Jangan
khawatir. Saat kamu merasa kesulitan, kamu boleh
mengatakan bahwa kamu kesulitan. Aku mungkin tidak sepenuhnya mengerti, tapi
aku punya gambaran samar mengenai apa yang
terjadi. Jika orang biasa, situasi ini pasti sangat menyakitkan dan sulit untuk
bangkit kembali. Kamu kuat… tapi, jika terlalu kuat, manusia bisa hancur juga. Jadi, sebelum kamu hancur, tolong
berbicaralah padaku, ya.”
Dia
menyentuh punggung tangan kiriku dengan penuh kasih sayang.
“Kenapa
kamu bisa sangat mempercayaiku, Ichijou-san?”
“Karena
kemarin, aku merasa bahwa tidak baik terpengaruh
oleh rumor yang tidak jelas itu. Tapi sekarang
berbeda. Meskipun baru sehari, setelah menghabiskan waktu bersama, aku
sudah menyadari bahwa Senpai bukanlah orang yang akan melakukan
hal-hal seperti itu. Mungkin, kamu adalah orang yang lebih mementingkan orang
lain daripada dirimu sendiri. Tidak, kamu bahkan rela mengorbankan dirimu demi
orang lain. Iru merupakan sesuatu yang luar
biasa, tapi aku tidak bisa membiarkanmu dihancurkan oleh niat jahat. Jadi, jika
kamu merasa kesulitan, aku juga merasakannya.”
Aku
memutuskan untuk bersandar pada
kebaikannya.
“Terima
kasih banyak selalu ya.”
Aku
mengucapkannya tanpa sadar.
“Selalu?
Bagi kita, ini baru hari kedua, lho.”
Dia
berkata begitu, dan kami saling tersenyum lembut.
“Dan,
Senpai. Hari ini aku sudah makan camilan terlalu banyak, jadi sangat disayangkan, tapi izinkan aku menikmati kerang gorengnya di lain kesempatan. Aku
akan memberi tahu ibunda Senpai.”
“Eh,
mengesampingkan pertanyaan kapan kalian bertukar informasi kontak...tapi, kamu yakin?”
“Iya!
Karena aku tidak bisa mengganggu keteguhan hati
Senpai.”
Aku
benar-benar terkejut seberapa baik dia mengenalku, dan aku berterima kasih atas
perhatiannya, lalu mengangguk setuju.
──Sudut Pandang Ichijou Ai──
Setelah
berpisah dengannya, aku masuk
ke dalam mobil penjemput dan mengenang waktu bahagia yang baru
saja kami habiskan.
Saat kami
bertemu di gerbang sekolah, ekspresinya tampak seperti sudah melepaskan beban.
Saat itu juga aku tahu, ia telah memutuskan untuk berkonsultasi dengan
keluarganya.
Berbeda
denganku, keluarganya pasti akan berjuang bersamanya. Hal-hal yang biasanya
sulit diungkapkan, bisa diputuskan dengan cepat karena kuatnya hubungan
kepercayaan dalam keluarganya, membuatku merasa iri.
Dan
kata-kata yang tadi diucapkan juga ditujukan untuk diriku sendiri.
Seandainya Senpai tidak kebetulan ada
di atap itu, akulah yang akan hancur.
“Terima
kasih selalu,” katanya
padaku. Tapi, seharusnya akulah
yang berterima kasih.
“Terima
kasih sudah menemukan diriku yang hampir patah dan hancur.” Meskipun kami masih teman
dekat... suatu saat nanti... pasti.
※※※※
──Sudut Pandang Aono Eiji──
Aku
berdiri selama beberapa menit di depan pintu restoran.
Inilah
kesempatanku jika mau berbicara.
Waktunya sudah dekat ketika persiapan malam akan selesai. Seharusnya tidak ada
gangguan yang berarti dalam pekerjaan. Jadi, aku harus segera masuk. Meskipun begitu, tubuhku terasa
berat.
Ichijou-san, Satoshi, Takayanagi-sensei, Mitsui-sensei... aku mengingat wajah-wajah orang-orang
yang percaya padaku. Dan terakhir, yang muncul di pikiranku adalah senyum kouhai yang berkata, “Jika kamu merasa kesulitan, aku
juga merasakannya.”
Tanpa
sadar, aku sudah menggenggam gagang pintu dan mengerahkan tenaga pada
tanganku.
“Aku
pulang.”
Saat
mengatakannya, aku melihat ibuku yang sedang menghitung penjualan di meja
toko.
“Kakak di mana?”
“Selamat
datang kembali. Ia
sekarang sedang keluar untuk menyetok ulang bumbu yang habis.”
Ibuku
menyusun buku catatan dan
tersenyum sambil
bertanya, “Mau minum
apa?” sedikit membuatku merasa tenang,
aku mengumpulkan keberanian dan membuka mulut.
“Ibu,
maaf. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”
“Ada
apa, kok tiba-tiba serius begini...”
Melihat
ekspresiku yang jarang dia lihat, dia sedikit terkejut dan menatapku.
“Sebenarnya,
aku...”
Pernafasanku
semakin cepat, dan entah kenapa aku merasa waktu berjalan lambat. Kata-kata tersebut sulit keluar dari mulutku. Aku berusaha menyampaikan
kebenaran dengan suara gemetar.
“Aku...
sejak liburan musim panas...”
“Ya.”
Melihat
ekspresiku yang tidak biasa, ibuku jelas-jelas khawatir.
“Maaf.
Sebenarnya, aku mengalami pembullyan
di sekolah. Mungkin, dari teman sekelas.”
Setelah
pengakuanku, ibuku terdiam sejenak,
tampak bingung dengan apa yang terjadi, dan menatapku.
“Pembullyan?”
Nada
suaranya datar, dan kata-kata yang kembali kepadaku terasa menyakitkan.
Penyesalan mendidih di dalam hatiku. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Aku
telah menyakiti ibuku.
“Iya,
maaf.”
Aku
benar-benar merasa sangat menyesal. Aku yakin ibuku sangat terkejut melihat
putranya yang telah dibesarkan dengan baik mengalami hal seperti ini.
Aku tidak
bisa berkata apa-apa selain mengucapkan maaf. Rasanya aku
hampir menangis karena merasa sangat bersalah dan malu.
“Kenapa
kamu minta maaf? Karena, Eiji,
justru kamulah yang dibully,
‘kan?”
Ibuku
bertanya kembali dengan suara bergetar. Aku menggunakan kata perundungan, tapi
ibuku segera menyadari esensinya dan memahami situasiku.
“Ya,
maaf.”
Hanya
kata yang sama yang keluar dari mulutku. Aku merasa sangat menyedihkan dan
ingin mati karena membenci diriku sendiri. Saat aku memejamkan mata karena penyesalan,
seketika, sentuhan hangat menyelimuti tubuhku.
“Kamu tidak
perlu minta maaf. Sebaliknya, terima kasih sudah mau
memberitahuku. Kamu pasti merasa sulit, ya? Maafkan aku, sebagai
ibu, aku tidak menyadarinya.”
Dia
berbicara lembut dan memelukku dengan erat.
“Maaf,
aku benar-benar minta maaf.”
“Semua
baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik
saja. Yang paling menderita adalah kamu. Jadi, jangan lagi menyalahkan dirimu.
Terima kasih sudah memberitahuku tentang hal yang sulit ini. Kamu memang anak
yang membanggakan.”
Rasanya seperti
kembali menjadi anak kecil, aku bersandar
pada ibuku dan menangis terisak.
“Semua
baik-baik saja. Kami pasti akan selalu mendukungmu. Di saat-saat sulit, kamu
harus bergantung pada orang tua. Aku akan melindungimu, mewakili ayahmu.”
Aku
merasa seolah ayahku yang
telah meninggal juga berada
bersamaku.
※※※※
Kemudian,
aku menceritakan kepada ibuku
tentang apa saja yang aku alami.
Masalah
dengan Miyuki yang membuat informasi palsu menyebar di media sosial, sehingga
aku terisolasi di sekolah. Karena rumor tersebut,
ada tulisan penghinaan di mejaku, bahkan ada ancaman terhadap Kitchen Aono, dan
aku mulai diabaikan oleh teman-teman, hingga hampir dipaksa untuk keluar dari
klub.
Pada saat
itu, wajah ibuku terlihat sangat marah, lebih marah dari yang pernah kulihat.
Aku bisa merasakan kemarahannya bergetar. Namun, ketika aku menyampaikan
tentang orang-orang yang mendukungku, wajahnya sedikit berubah menjadi lebih
lembut.
Bahwa
Ichijou-san menjadi orang pertama yang
memahamiku.
Satoshi
yang meminta maaf karena tidak menyadari perubahan diriku dan tidak bisa
melindungiku.
Guru wali
kelasku, Takayanagi-sensei, yang
benar-benar peduli dan segera bertindak.
Kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, dan kepala tahun
ajaran, Iwai-sensei,
yang berusaha mengatur agar tidak ada kerugian bagiku. Dan Mitsui-sensei yang
memberiku keberanian.
“Syukurlah.
Kamu mempunyai sekutu yang
mendukungmu.”
Ibuku
mengangguk dengan ekspresi lega.
Ketika
aku juga menyampaikan bahwa kepala sekolah dan Takayanagi-sensei ingin
berbicara lebih lanjut, dia dengan
tegas mengatakan, “Aku ingin
segera melakukannya”.
“Kalau
begitu, kita akan minta mereka datang saat istirahat siang besok.”
Aku
menyampaikan hal itu kepada ibuku dan keluar dari ruangan untuk menghubungi
Takayanagi-sensei.
※※※※
Setelah
mengungkapkan perundungan kepada ibuku dan menghubungi guru, aku merasa lelah
dan segera tertidur.
Ketika
bangun di kamarku, waktunya sudah
lewat pukul Sembilan malam.
Ternyata aku sangat lelah. Pada
waktu seperti ini, ibuku dan kakakku pasti masih menyelesaikan pekerjaan
mereka.
Di depan
kamar, ada onigiri yang ditinggalkan. Selain itu,
ada sup miso dengan rumput laut dan tahu dalam termos.
Sepertinya
ibuku yang menyiapkannya. “Kamu
pasti lelah, jadi silakan tidur dengan tenang. Makanlah setelah bangun,” ada catatan yang
ditinggalkan.
Onigirinya sudah dingin, tetapi isinya
adalah tuna mayo dan salmon, dua jenis yang kusuka. Meskipun nasinya sudah dingin, jika dimakan
dengan sup miso yang hangat, pasti akan terasa lezat.
Aku
menghela napas lega dan merasa sangat beruntung, lalu bersyukur kepada
orang-orang di sekitarku. Takayanagi-sensei dan Mitsui-sensei. Kepala sekolah
yang mendukung dari belakang. Juga Ichijou-san,
Satoshi, ibuku, dan kakakku.
Setelah
mengalami pengkhianatan, perundungan, dan merasa kehilangan segalanya, aku
menyadari bahwa masih ada banyak
orang yang benar-benar memperhatikanku. Jika saat itu aku tidak bertemu Ichijou-san di atap, mungkin semuanya
akan berbeda. Mungkin aku akan membuat semua orang merasa sedih.
Aku
benar-benar banyak dibantu oleh Ichijou-san.
Ketika
memikirkan hal itu, aku melihat smartphone. Aku teringat bahwa
tadi di kafe, kami sempat bertukar
kontak Line.
[Senpai,
aku ingin pergi ke sekolah bersamamu untuk ujian try out, jadi
tolong ya!!]
Aku menerima
pesan sekitar tiga puluh menit yang lalu. Aku menyadari
bahwa acara yang seharusnya menjadi tantangan tinggi antara laki-laki dan
perempuan untuk pergi ke sekolah bersama telah menjadi hal yang biasa.
Aku juga
menerima pesan dari Satoshi. Meskipun tulisannya
masih sama seperti biasanya, aku bisa merasakan bahwa ia
berusaha lebih perhatian.
Ngomong-ngomong,
setelah semester kedua dimulai, akun media
sosialku yang biasanya dipenuhi dengan pesan-pesan
perundungan sudah cukup sepi. Meskipun notifikasi sudah dimatikan, pop-up pemberitahuan hampir tidak muncul sama
sekali.
Mungkin rencana
Ichijou-san berhasil. Namun, aku masih
merasa takut untuk kembali ke kelas itu. Novel yang kutulis untuk majalah klub sastra
pasti sudah dibuang.
Datanya masih tersimpan di dalam
ponselku, tetapi memikirkan naskah karyaku yang mungkin sudah dibuang membuatku
sangat sedih.
Aku
terus-menerus menghibur diriku sendiri. Meskipun banyak yang hilang karena
kejadian ini, aku juga mendapatkan lebih banyak hal.
Dan yang
menarik, aku menyadari bahwa perasaan cintaku terhadap Miyuki yang seharusnya
ada dalam diriku telah hilang dengan sempurna. Mengingat wanita yang seharusnya
menjadi pacar dan teman masa kecilku, yang terlintas di pikiranku hanyalah
kekecewaan dan kemarahan. Dan dari kehilangan itu, ada satu emosi yang justru
semakin besar.
“Ini
mungkin memang seperti itu.”
Sambil
mengenang dirinya yang
perlahan-lahan menjadi orang yang paling memahamiku, aku perlahan-lahan memejamkan mataku.
──Sudut Pandang
Ibu──
“Padahal
aku sudah memperingatimu untuk
tetap pada prinsip, tapi kamu sudah melanggar batas yang tidak seharusnya
dilanggar, Miyuki-chan. Sekarang, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan
lagi. Aku akan melakukan segala yang bisa kulakukan untuk melindungi Eiji. Saat
itu, apa pun yang terjadi padamu, aku tidak akan peduli lagi.”
Di dalam
ruangan yang sepi, aku mendeklarasikan perang terhadap teman masa kecil Eiji
yang selama ini kusayangi
seperti putriku sendiri.
Aku akan
melakukan apa pun yang bisa kulakukan demi
Eiji. Begitu aku bertekad, telepon dari seseorang yang bisa dipercaya
berbunyi.
“Selamat
siang, Pak Minami.”
“Aku
sudah membaca pesanmu. Apa itu
benar? Eiji-kun mengalami pembullyan
di sekolah?”
Pak Minami
adalah sosok yang seperti sahabat suamiku yang telah meninggal. Meskipun ada
perbedaan usia, kami saling mempercayai seperti sahabat sejati. Suaranya di
telepon sangat energik, tidak seperti seseorang yang berusia lebih dari tujuh
puluh tahun. Setelah aku kehilangan
suamiku, beliau
bersedia menjadi wali bagi anak-anakku seperti kakek kandung mereka. Aku yakin
ia pasti akan membantu.
“Sepertinya
memang benar. Besok, kepala sekolah dan wali kelasnya akan datang ke sini saat
istirahat untuk membahas langkah selanjutnya.”
“Sungguh
mengejutkannya. Bagaimana bisa Eiji-kun yang begitu baik mengalami pembullyan. Namun, aku mengenal kepala
sekolah di SMA Eiji. Ia adalah
rekan sukarelawan. Ia adalah
pendidik yang luar biasa. Aku yakin ia
pasti akan membantu kalian. Apa Eiji-kun baik-baik saja? Sekarang merupakan masa-masa yang
sensitif. Ia pasti sangat menderita. Hatiku benar-benar
sakit, ini tidak bisa dimaafkan. Jika ada yang bisa aku lakukan, segera
konsultasikan padaku."
“Terima
kasih. Rasanya sangat melegakan mendengar hal itu dari
Anda.”
Aku hampir
menangis ketika beliau mengucapkan kata-kata hangat itu.
“Karena
hubungan dari masa jabatan walikota, aku juga akrab dengan kepala dinas
pendidikan sekolah provinsi dan anggota komite pendidikan. Mereka pasti akan
membantu. Almarhum Mamoru-kun
merupakan salah satu pahlawan kota. Aku
akan melindungi Eiji-kun, yang merupakan putranya,
sampai aku mati.”
Mantan
walikota itu menyatakan dengan
tegas.
