Epilog
Ketika kami kembali ke kamar
hotel, Luna melepas pakaiannya di atas tempat tidur.
Dia mengangkat gaun yang memiliki
pola bunga seperti resor dari bawah, lalu menyelipkannya ke atas kepalanya, dan
melepaskannya dari tangannya.
“...Lu-Luna?”
“Habisnya, kalau aku memakai
pakaian, kamu takkan merasa terangsang, ‘kan?”
Sambil mengatakan itu, Luna
melepas gaunnya di atas tempat tidur.
Setelah melakukan tindakan yang
begitu berani, dia pasti merasa malu karena hanya mengenakan celana dalamnya,
jadi dia melingkarkan lengannya seolah-olah sedang memeluk dirinya sendiri dan
menatapku dengan ekspresi tersipu di wajahnya.
“...Akhirnya aku bisa
menunjukkannya padamu.”
Luna bergumam dengan malu-malu
tapi tampak puas.
Luna mengenakan pakaian dalam
berwarna biru muda. Desainnya serasi dari atas hingga bawah, dengan pola renda
yang rumit dan mempesona. Meskipun area yang terbuka hampir sama dengan baju
renang, tetapi mengapa terasa begitu melanggar aturan. Bentuk payudara yang
menggembung dengan bulat, lekuk tubuh yang mengalir dari pinggang ke pinggul,
kaki yang terhampar di atas tempat tidur sambil ditekuk, serta pandangan
malu-malu, semuanya terlihat menggoda.
“...Setiap kali aku bertemu
denganmu, aku selalu memakai pakaian dalam yang lucu dan manis, tau?. ... Kamu
tidak mengetahuinya, ‘kan?”
“Eh? U-uhm...”
Jantungku berdebar tak
terkendali, dan bahkan aku merasa terguncang hanya untuk memberikannya jawaban.
“Sejak aku mulai ingin
bersamamu, setiap kali aku membeli bra dan celana dalam baru, aku selalu
berpikir 'Apa Ryuuto suka yang seperti
ini?' saat membelinya.”
Dengan malu-malu namun tampak senang,
Luna berbicara sambil sering kali mengalihkan pandangannya.
“Pertama kali yang dibeli, yang
itu sudah lusuh dan sudah lama digunakan untuk sehari-hari.”
Ucap Luna dengan senyum pahit,
dan kemudian dia menatapku.
“Hal itu menunjukkan sudah
berapa lama kita berpacaran…”
“…Memang……”
Sudah tiga setengah tahun sejak
kami berjalan menyusuri deretan pohon sakura itu.
“...Mau coba menyentuhnya?”
“Eh?”
“Kamu boleh menyentuhnya, kok.”
Jantungku berdetak lebih cepat
lagi ketika dia tersenyum ke arahku dengan tatapan menggoda.
“...Um, Luna, apa kamu sendiri baik-baik
saja dengan itu?”
Meski sadar kalau rasanya sudah
terlalu terlambat, tapi aku mulai merasa aku meminta sesuatu yang sangat kurang
ajar.
“Padadal kamu sudah berusaha
melakukan sesuatu untukku… tapi aku sendiri, umm, tidak bisa melakukan sesuatu
yang bisa membuat Luna merasa nikmat…”
“Enggak apa-apa, kok.”
Luna tersenyum lembut padaku.
“Bagi para gadis, hanya dengan
melihat wajah keenakan dari orang yang mereka sukai saja sudah membuat mereka
merasa ikutan keenakan juga.”
Setelah mengatakan itu, dia meraih
tanganku dan meletakkannya di dadanya, dan dengan lembut menutup matanya.
“...Setidaknya, itulah yang
kurasakan.”
Aku bisa merasakan kehangatan
dan kelembutan payudaranya yang bulat di telapak tanganku. Dan juga kehangatan
tangan Luna yang melindungi tanganku.
“Aku sudah membayangkan
berulang kali di dalam pikiranku. Wajah kenikmatan dari Ryuuto. Aku berlatih keras
karena ingin melihatnya.”
Luna tersenyum kecil sembari
diam-diam melepaskan tanganku. Aku juga melepaskan tanganku dari dada Luna.
Luna turun dari tempat tidur
dan berlutut di depanku yang duduk di tempat tidur.
“Jadi...”
Luna menatapku dengan tatapan
menengadah dan berbisik dengan senyum menggoda.
“Malam ini, biarkan aku membuatmu
merasa puas, ya?”
“….Luna...”
Bagian tengah selangkanganku
menjadi panas. Jika kekuatan mentalku sedikit lebih lemah, aku mungkin sudah
mencapai klimaks hanya dengan ini.
“Ryuuto...”
Pipi Luna terlihat memerahkan
karena terangsang dan dia meraih ke arah ritsleting celanaku.
... tepat pada saat itu.
Brr
Brr Brr Brr Brr!
Tiba-tiba, ponsel di sebelah
bantal mulai bergetar.
Terlebih lagi, dua ponsel—
milikku dan Luna—bergetar secara bersamaan. Setelah kembali ke kamar, aku
menghubungkan kabel pengisi daya ke masing-masing ponsel dan meletakkannya di
sebelah bantal.
“Eh, apa? apa!?”
“Kelihatannya ini bukan
peringatan gempa darurat...?"
Ponsel kami hanya bergetar,
tidak mengeluarkan suara yang mirip seperti sirene.
“........”
Aku dan Luna saling bertukar
pandang. Ponsel kami terus-menerus bergetar.
“... Untuk saat ini, mari kita
periksa dulu.”
Padahal aku benar-benar dalam
mode siap tempur, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan karena terganggu.
Ponselku menunjukkan panggilan
masuk dari Icchi.
“... Icchi?”
Kira-kira ada apaan?
Tumben-tumbennya ia meneleponku secara tiba-tiba setelah tidak saling memberi
kabar dalam waktu yang lama.
“Kalau aku dari Akari.”
Luna mengambil ponselnya dan
melapor kepadaku.
“... Apa yang harus kita
lakukan, mau diangkat?”
Ditanya oleh Luna, aku
mengangguk dengan kebingungan.
“Hmm... mendingan diangkat saja
deh, ada sesuatu yang membuatku penasaran juga.”
Aku merasa tidak akan bisa
berkonsentrasi jika aku terus mengabaikannya dan bermesra-mesraan dengan Luna.
“Ya, halo...”
“Kasshiiiiiiii!”
Ketika aku menekan tombol
panggilan, suara Icchi langsung terdengar sebelum aku bisa menjawab.
“Lunacchiiiiiii!”
Suara Tanikita-san juga
terdengar bisa terdengar dari ponsel Luna.
“Ad-Ada apa, Icchi?”
“Apa yang terjadi, Akari?”
Ketika kami bertanya dengan
panik, kedua orang di telepon menjawab dengan suara serempak.
“Apa yang harus kulakukan,
Kasshi! Pacarku hamil!”
“Apa yang harus aku lakukan,
Lunacchi! Aku hamil!”
““Eh?””
Kami berdua sempat terkejut dan
saling bertukar pandang.
““Eeeeeeehhhhhhhhhhh~~~~!?””
Di tengah-tengah Okinawa, kami
berteriak “Eh!?” dengan begitu keras.