Chapter 14 — Teman Masa Kecil Yang Dulu Pernah Kucintai
“Aku sangat terkejut ketika
kamu tiba-tiba mulai berlari.”
“A-Aku minta maaf.”
Tidak peduli seberapa banyak
aku berlari, aku tidak bisa mengatur napasku, tapi jantungku berdebar kencang.
Aku curiga kalau aku sedang sakit, tapi ternyata bukan itu masalahnya.
“Yah, enggak masalah sih. Kita
sudah berjalan-jalan sampai cukup larut, jadi ayo kita segera pulang. Aku
senang kamu bisa membeli hadiah Tanaka-san.”
“Ah, itu adalah pembelian yang
bagus.”
Hari sudah mulai gelap di sekitar
kota. Kami menuju stasiun. Kami adalah teman masa kecil di lingkungan yang
tidak perlu bertemu di tempat lain. Tapi kami selalu bersama saat pulang ke
rumah.
Aku pergi sendirian dalam
perjalanan menuju tempat pertemuan, tapi Hanazono duduk di sebelahku di kereta
pulang. Mungkin karena kelelahan, keadaan Hanazono tampak lesu dan goyah. Tanpa
kusadari, kepala Hanazono sudah bersandar di bahuku. Aku mencoba yang terbaik
untuk tidak bergerak.
“Fugya...”
“Hmm, itu bukan dengkuran yang
begitu imut.”
Rupanya kami sering bermain
bersama saat masih di taman kanak-kanak. Aku tidak memiliki ingatan itu
sekarang. Mungkin aku menghapusnya. Reset yang menghapus semua kenangan. Ini terjadi
di masa lalu ketika aku tidak bisa menggunakan reset dengan benar.
Meski demikian, Hanazono dengan
mudah memahami reset-ku. Mungkinkah hal serupa pernah terjadi antara aku dan
Hanazono di masa lalu?
Sayangnya, bahkan setelah
menggali laci ingatanku, aku masih belum bisa memahaminya. Mari kita lupakan
hal ini.
Namun, ketika aku bertemu lagi
dengan Hanazono, aku merasakan aroma nostalgia.
Aku masih bisa merasakan aroma
itu dengan kuat...
[Selanjutnya
Ichigaya, selanjutnya Ichigaya—]
...Hmm, bukannya kami sudah
sampai di stasiun? Belum ada tanda-tanda Hanazono akan bangun. Aku tidak ingin
membangunkannya karena dia mungkin kelelahan. Kalau begitu, maka—
Aku dengan lembut menggendong
Hanazono agar tidak membangunkannya. Ternyata tubuh Hanazono sangat ringan. Aku
mengambil barang bawaanku sambil membawa Hanazono dengan kedua tangan dan turun
dari kereta.
◇◇◇◇
Aku merasa lega ketika sampai
di stasiun terdekat. Berada di tempat asing memang melelahkan. Tempat ini merupakan
kawasan perumahan, kawasan pelajar, dan kawasan bisnis yang tenang.
“Hei, hei, lihat itu, dia
terlihat sangat bahagia.”
“Mabuk? Lah, mereka berani
sekali melakukannya di tengah kota begini.”
“Dasar para pelajar normie
sialan. Mereka malah asyik mesra-mesraan.”
“Bukannya si cowok berjalan
terlalu cepat?”
Aku mencoba untuk tidak
memperhatikan tatapan orang lain sebanyak mungkin. Itulah rahasia hidupku.
Meski begitu, Hanazono pasti sangat kelelahan. Dia tidur dengan nyenyak sambil
mendengkur.
“...Uuu…...”
Hanazono membuka matanya
sedikit. Aku pun berhenti berjalan.
“Kamu sudah bangun, ya. Apa
kamu bisa berdiri?”
“Fuee? ……Eh?
Tunggu......sebentar.”
Hanazono memejamkan matanya
sekali lagi. Rupanya dia masih belum mengerti situasinya.
Biar aku jelaskan.
“Aku tidak ingin membangunkan
Hanazono yang tertidur di kereta, jadi aku menggendongmu dan meninggalkan
stasiun.”
“Ah, aku mengerti .... Bukan
itu maksudku! Kenapa kamu menggendongku dengan gendongan ala putri! Kamu
seharusnya membangunkanku!”
“Ka-Kalau itu sih maaf ...”
Sudah kuduga, aku melakukan
kesalahan. Sampai detik-detik terakhir, aku tidak bisa melakukannya dengan lancar.
Kurasa memang lebih baik membangunkannya saja?
Aku mengembangkan berbagai pola
di kepalaku dengan kecepatan tinggi. Tetapi menggendongnya dalam pelukanku
masih merupakan solusi terbaik bagiku.
Aku membiarkan Hanazono
perlahan-lahan berdiri di atas tanah. Hanazono pasti marah. Berlawanan dengan
dugaanku, Hanazono mengeluarkan kata-kata yang tenang.
“.....Aku sama sekali tidak
keberatan, sih.”
“Tapi kamu kelihatan marah,
Hanazono.”
“Aku sama sekali tidak marah……Haa,
aku tidak bisa sama seperti dulu. ......aku hanya menyembunyikan rasa maluku.
Aku hanya merasa malu.”
“Be-Benarkah? Jika itu Hanazono
yang dulu, kamu akan menjadi marah dan penuh amarah mirip seperti api yang
berkobar.”
“Sudah kubilang kalau dulu juga
aku hanya berusaha menyembunyikan rasa maluku, bodoh!!”
Memang benar aku tidak merasakan
kemarahan dari Hanazono. Wajahnya sedikit memerah dan mulutnya terbuka-tertutup.
Itulah raut wajah Hanazono saat dia merasa bahagia.
“Sudah, ayo kita segera pulang.”
Hanazono berbalik dan mulai
berjalan.
Pada saat itu, aku tiba-tiba
merasa sangat nostalgia. Kata-kataku diambil dari kenangan masa lalu yang tidak
terlihat—
“Tunggu, Hana-chan—”
“…Eh?”
Hanazono berbalik ke arahku
dengan wajah terkejut. Aku merasa kata-kata yang aku ucapkan tadi bukan berasal
dari mulutku. Seolah-olah aku berbicara seperti anak kecil.
“Kamu mulai mengingatnya?”
“Eng-Enggak, itu kata yang
keluar begitu saja dari mulutku. Maaf. Aku tidak tahu mengapa aku memanggil
Hanazono dengan panggilan 'Hana-chan'
...”
“….. Begitu ya. Ayo kita
pulang, Tsuyoshi.”
Tatapan Hanazono seakan-akan
menatapku pada seseorang yang bukan diriku.
◇◇◇◇
Dalam perjalanan pulang, kami semakin
jarang berbicara. Kecepatan berjalan kami secara alami menjadi lebih lambat.
Kupikir aku telah melakukan
kesalahan pada menit-menit terakhir, tetapi aku senang kalau semuanya baik-baik
saja. Rasanya sangat disayangkan untuk mengucapkan selamat tinggal seperti ini.
Aku merasa sangat senang bisa pergi keluar dengan Hanazono.
Aku berharap hari-hari yang
menyenangkan ini akan terus berlanjut.
—— Seandainya
saja aku bisa menjadi lebih normal.
Tiba-tiba saja perasaan
bersalah menyelimuti dadaku.
Seandainya aku lebih normal,
Hanazono pasti akan lebih bahagia.
Mengapa ... aku tidan bisa…..memahami
hati orang….
Suara di hatiku tiba-tiba
menjerit.
Konflik muncul yang biasanya
tidak pernah kupikirkan.
Hanazono merasakan ada keanehan
dengan diriku dan menatap wajahku.
“Ka-Kamu baik-baik saja? Wajahmu
kelihatan pucat, loh.”
Aku tidak bisa mengatakan kata 'tidak masalah'.
Aku merasa malu dan frustrasi
dengan keberadaanku.
“Aku berharap, seandainya saja,
aku tidak bisa melakukan reset——”
Aku merasa wajahku akan mulai berkeringat lagi. Jangan khawatir, aku
bisa menahannya. Kesabaran adalah keahlianku. Aku selalu bersabar. Kesabaran
adalah sesuatu yang bisa membuatmu terbiasa. Aku bisa bertahan dengan apa pun.
Jadi kali ini aku juga akan baik-baik saja. Menarik napas dalam-dalam akan
mengembalikan ketenangan pada pikiranku. Aku tidak ingin merusak kencanku
dengan Hanazono di akhir. Aku bisa tinggal memaksa berhenti keringat yang
muncul di mataku.
…...Tapi kenapa aku tidak bisa
menghentikannya?
Aku merasakan sensasi sentuhan
lembut di punggungku...
Hanazono dengan lembut mengusap
punggungku.
“Jangan khawatir, tidak
apa-apa. —— Kamu tidak akan berubah meskipun kamu melakukan reset, Tsuyoshi.
Aku yakin kamu masih memiliki beberapa kenangan yang berharga ... Selain itu,
kamu sudah tumbuh dengan baik! ….Lihat, aku akan terus berada di sisimu———Jadi
aku yakin kalau semuanya akan berjalan dengan baik dengan Tanaka-san!”
Dadaku terasa sakit.
Rasa sakit ini berbeda dengan
rasa sakit yang kurasakan pada waktu itu.
Ini bukan rasa sakit karena
disakiti. Melainkan rasa sakit yang aku sebabkan pada diriku sendiri.
Hanazono terluka karena diriku.
Jika aku menjadi lebih normal, hal itu tidak akan terjadi. Hatiku terasa sakit
saat memikirkan hal itu. Rasa sakit yang tidak biasa.
Hanazono menggosok punggungku
dengan keras. Bagian yang disentuh tangannya terasa hangat. Rasa sakitnya
sepertinya sudah sedikit mereda.
Aku mengabaikan rasa sakit dan
membuka mulutku.
“Hanazono—”
“Apa? Apa perutmu merasa mual?
Kamu baik-baik saja?”
Aku mengeluarkan bungkusan itu
dari dalam tas. Aku tidak peduli dengan ulang tahun sampai sekarang. Karena
menurutku itu bukan hari yang istimewa. Aku lalu berpikir sendiri dan menyadari
bahwa ulang tahun Hanazono adalah hari yang istimewa.
Jadi aku diam-diam membelinya——
“Aku tahu kalau hari ulang
tahunmu sudah lewat, tapi tolong diterima.”
Gerakan wajah Hanazono
terhenti. Tubuhnya juga sedikit bergetar. Itu bukan imajinasiku saja kalau
matanya tampak basah.
Aku harus melihat kenyataan. Dan
melihat tindakan pihak lain. Serta menebak emosinya. Lalu melangkah ke dalam
hati Hanazono———
“Hanazono adalah teman baikku
yang berharga. Untuk waktu yang lama, terima kasih banyak... Itulah yang aku
rasakan.”
Hanazono menerima hadiah itu
dengan tangan gemetar dan membukanya.
Saat melihat hadiah gantungan
boneka, Hanazono menutup mulutnya dengan tangannya.
“Tsuyoshi ..., aku ... hiks ... jadi kamu ingat hari ulang
tahunku. Karena kamu tidak mengatakan apa-apa, kupikir kamu lupa lagi...Jadi, hikss, Tsuyoshi…”
Tidak, aku tidak ingin
membuatmu menangis. Aku hanya ingin membuatmu senang……
Melihat reaksiku yang tampak
bermasalah, Hanazono mulai tertawa.
“... Bodoh... jangan pasang
muka bermasalah begitu. Aku sangat senang, aku terlalu senang sampai-sampai
membuatku menangis. Terima kasih, Tsuyoshi. Aku akan menghargainya seumur
hidupku.”
Aku tidak bisa mengalihkan
pandanganku dari Hanazono——
Aku bisa merasakan dadaku berdebar
kencang dan suhu tubuhku meningkat.
Itu karena senyum Hanazono
begitu indah….
Hatiku yang mencela diri
sendiri tertutup rapat, dan entah kenapa aku ingin memeluk Hanazono.
Tubuhku bergerak dengan
sendirinya.
“Eh?”
Tetapi aku terlalu malu untuk
memeluknya—— jadi aku meraih tangan Hanazono dan mulai berjalan—— sama seperti
masa lalu. Aku tidak mengingatnya, tapi aku yakin itu tersembunyi di dalam
ingatanku.
“Sudah, berhentilah menangis,
Hanazono.”
“Idiot, kamu sendiri juga
menangis.”
“Aku tidak menangis. Ini hanya keringat.”
“Kamu ini bicara apaan sih?
Mouu, dasar ...”
Hanazono melihat dengan gembira
ke arah gantungan boneka yang dia pegang di tangannya dan tersenyum padaku. Meski jarak di antara
kami terasa berbeda dari sebelumnya, tapi aku benar-benar merasa ada sesuatu
yang berkembang.