[LN] Reset Seishun Jilid 1 Bab 20 Bahasa Indonesia

 

Chapter 20 — Semuanya Berakselerasi

 

Kira-kira sekitar tiga puluh menit telah berlalu. Aku terlalu banyak minum jus, jadi aku memberitahu Tanaka dan pergi ke toilet. Ruangan karaoke lainnya dipenuhi dengan anak-anak muda. Aku yakin kalau mereka pasti sedang menikmati bernyanyi.

Dunia ini begitu luas dengan berbagai hiburan. Tentu saja aku tahu itu sebelumnya.

Kalau dipikir-pikir, mengapa aku tidak pernah pergi ke karaoke bersama Hanazono selama empat tahun ini? Aku tahu bahwa Hanazono suka mendengarkan lagu-lagu populer. Tapi dia tidak pernah mengajakku. Mungkin dia akan datang jika aku mengajaknya untuk pergi bersama tiga orang?…. Aku yakin itu akan baik-baik saja.

 

Setelah keluar dari toilet, jantungku berdebar kencang. Tiba-tiba aku merasa sadar sepenuhnya. Meskipun dari jauh, aku bisa merasakan perubahan dalam suasana di ruangan tempat aku dan Tanaka berada.

“Mas, apa kamu baik-baik saja? Terlalu banyak minum ya? Eeh, nyeremin banget...”

Pegawai karaoke terlihat khawatir dan bertanya kepadaku yang tidak bergerak.

“Tidak masalah...”

“A-Ah begitu ya. Eh? Kenapa aku malah duduk? Aku tidak bisa berdiri... kakiku kok mendadak lemas...”

Aku mencoba menenangkan detak jantungku dan bergegas kembali ke dalam ruangan.

 

Di balik pintu, aku bisa merasakan kehadiran tiga orang. Tanaka dan dua orang lainnya. Mereka bukan perampok maupun pencuri. Aku juga tidak merasakan adanya tanda-tanda kekerasan. Aku fokus dan membuka pintu dengan hati-hati.

Ada dua pria yang sedang berbicara dengan Tanaka. Tanaka menunjukkan wajah jijik ketika berurusan dengan mereka.

Hanya ada satu orang yang aku kenal Dia adalah Murakami, seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu di tempat yang sama denganku. Yang satunya lagi adalah seorang pria yang tidak kukenal. Murakami memperhatikanku yang masuk ke dalam ruangan.

“Oh, Sudah kuduga, kamu sedang bersama Toudo! Aku tidak pernah menyangka kita akan berada di tempat karaoke yang sama! Sial, kamu bermain dengan Toudo tapi kamu justru menolak ajakanku~!!

“... Um, aku sedang bermain dengan Toudo hari ini, jadi silahkan pergi dari sini.”

“Kamu tuh beneran cuek banget ya, Tanaka. Tapi itulah yang membuatmu semakin menarik. Ayo bergabung dengan kami.”

Tatapan mata Tanaka bertemu denganku dan dia tersenyum padaku.

“Ah, Toudo, ayo kita pergi. Aku terjebak dalam situasi yang merepotkan begini.”

Aku mendekati Tanaka. Tanaka berdiri dan meraih tanganku. Aku bisa merasakan tubuhnya yang sedikit gemetaran.

Murakami dan seorang pria yang tidak dikenal juga berdiri dan menghalangi pintu. Rupanya mereka tidak berniat melepaskan Tanaka begitu saja.

“Hei, Haru, tolonglah, ini permintaan dari mantan pacarmu. Ayo temani minum Murakami-senpai. Aku akan pergi menemani kalian juga, kok. Meski begitu, aku tidak pernah menyangka pada waktu itu kalau kamu akan mencampakkanku dalam tiga hari. Kenapa kamu mencampakkanku?”

Seorang pria yang tampak sembrono menatapku.

“——Ah, jadi kamu hewan peliharaan barunya ya. Tau enggak, sejak SMP, Haru gampang sekali putus meski dia berhasil mendapatkan pacar. Palingan kamu juga bakalan dibuang. Karena dia punya tampak cantik, jadi dia gampang sekali punya pacar baru.”

“Jangan bohong! Hentikan itu, Toudo sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu !! Kalian lebih baik cepat keluar dari sini!!”

“Hah?! Mendingan Toudo saja yang keluar dari sini. Oi, cepetan keluar sana atau mau aku hajar, hah?! Ini bukan tempat pekerjaan paruh waktu, jadi manajer tidak ada di sini, asal kamu tahu saja, aku ini petarung bela diri campuran, tau.”

Sepertinya kapasitas informasiku akan menjadi berlebihan. Pada saat yang sama, bagian otakku yang tenang terus mengawasi pergerakan para pria tersebut.

 

Tanaka adalah gadis yang cantik dan mempesona. Wajar-wajar saja dia pernah berpacaran dengan seseorang. Tidak mengherankan jika dia memiliki mantan pacar.

Meski aku memahaminya, tapi entah mengapa aku tidak bisa menghentikan rasa sakit, kepahitan dan mual yang muncul di dadaku.

Aku merasa frustrasi karena tidak mengenal Tanaka dari dulu. Aku merasa frustrasi karena kencan ini rusak saat aku pergi ke kamar mandi. Aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa membalasnya. Itu adalah topik yang sulit bagi diriku yang tidak memiliki pengalaman dalam cinta.

Apakah alasan Tanaka mau berkencan denganku supaya dia bisa mengejekku?

Apa dia akan mengolok-olokku nanti? Apa aku hanya pria yang gampang digunakan oleh Tanaka?

Tanaka akan mencampakkanku. Hanya dengan memikirkan hal itu saja, hatiku terasa sakit.

Semuanya akan terasa lebih mudah jika aku melakukan reset——

Tidak ada yang salah dengan teori tersebut.

Jika aku membunuh perasaan yang aku kembangkan bersama Tanaka, penderitaan tersebut akan menghilang.

——— Tapi itu berbeda. Aku bukan orang yang sama seperti sebelumnya. Aku tidak bisa bergerak maju kalau begitu terus.

Lagi pula, Tanaka bukanlah gadis yang seperti itu.

Aku menekan rasa sakit dan penderitaan di dadaku, serta rasa cemburu yang muncul jauh di dalam hatiku saat aku berbicara dengan Tanaka.

 

“Jangan khawatir, Tanaka. Aku mempercayai kata-katamu…”

 

Yang bisa aku lakukan hanyalah mengatakan itu.

Tanaka menggenggam tanganku dengan erat. Murakami mulai bertinju bayangan di depanku.

Pria sembrono itu menyunggingkan sudut mulutnya.

“Haru. Jika kamu tidak ingin ia terluka, mendingan kamu tetaplah bersamanya. Murakami tidak suka bercanda.”

“Haha, aku lebih baik dalam berkelahi bebas begini daripada bertanding!”

“Ja-Jangan konyol! Jika kamu melakukan sesuatu pada Toudo, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”

“Mau bagaimana lagi. Murakami, kamu harus membuat dia menyadari betapa menakutkannya orang dewasa.”

“Ah, tentu, aku akan memberi mereka sedikit pelajaran.”

 

Murakami membungkuk, melangkah mendekat dan mencoba meraihku.

Segalanya tampak berjalan lambat. Wajah sedih Tanaka terpatri di otakku. Aku lalu dengan lembut melepaskan tangan Tanaka.

Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku diliputi emosi yang tidak kumengerti.

 

Begitu rupanya, jika aku tidak melakukan reset, emosiku akan meledak...

Meski demikian, alasan mengapa aku masih bisa berpikir waras karena ada aroma Tanaka yang berada di dekatku.

Aku tidak ingin membuat suara keras. Aku tahu kalau gadis-gadis tidak menyukainya. Situasi seperti ini bukan kali pertama terjadi. Saat aku bersama Hanazono, aku bingung karena tidak tahu cara menyesuaikan diri. Murakami bergerak dengan lambat. Sebaliknya, berat badannya mungkin sangat berat.

Aku menggenggam dengan lembut tinju Murakami supaya tangannya tidak remuk.

“----O-Oi, le-lepaskan tanganku.”

Tinju Murakami selembut tinju seorang anak kecil. Sebenarnya apa itu mahasiswa? Aku yakin kalau mereka bukan hanya orang-orang yang mengancam dengan kekerasan. Ada banyak mahasiswa peneliti yang aku temui jauh lebih cerdas.

Murakami tidak bisa bergerak. Aku bisa saja membuat remuk tangannya. Tapi kekerasan tidak diperbolehkan.

“A-Aduh, sakit!”

Saat Murakami mencoba bergerak, aku meningkatkan kekuatanku sedikit saja. Aku melepaskan salah satu tanganku dan menjentikkan jariku kuat-kuat di samping telinga Murakami. Tekanan suara menimbulkan kejutan.

“----,Ah ...”

Murakami merosot pusing ke lantai. Matanya tidak fokus. Ia berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan yang nyaris tidak sadar.

Pria sembrono itu menatapku dengan ekspresi terpana..

“Ya-Yang benar saja? In-Ini mustahil ...”

“Aku benar-benar marah saat ini. Bisakah kamu pulang dengan tenang?”

“Di-Diam! Ja-Jangan bertingkah sok, dasar bocah ingusan.”

Memangnya masalah usia menjadi hal yang penting pada saat seperti ini? Aku mengambil smartphone Murakami yang tergeletak di lantai. Lalu, aku menggenggam telepon itu erat-erat.

Smartphone itu hancur dengan suara yang keras.

“Hah?”

Pria sembrono itu terus-menerus menatap smartphone yang hancur dan diriku.

Manusia menjadi bingung ketika sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Aku memancarkan tingkat kekerasan yang bahkan bisa dirasakan oleh orang normal.

Pria yang tampak sembrono itu pasti bisa merasakan udara menjadi semakin berat. Kekakuan tubuh, kaki yang gemetar, jumlah keringat dan dangkalnya napas akan mengungkapkan keadaan subjek. Jika subjek terus terperangkap secara mental dan pikirannya hancur, kurasa aku tidak perlu khawatir.

Jika aku melepaskan mereka dalam keadaan setengah-setengah, ada kemungkinan kalau aku diserang. Untungnya, ini adalah ruangan tertutup. Yang harus aku lakukan hanyalah membiarkan rasa takut itu meresap ke dalam diri mereka lalu melepaskannya. Tidak perlu merasa kasihan kepada mereka.

“Ja-Jangan melongo terus. Ay-Ayo kabur, da-dasar monster.”

“......Haa…haa…haa…”

Ketakutan membuat tubuh seseorang menjadi kaku. Ya, ketakutan itu berbeda dengan ketakutan yang dirasakan Michiba. Hanya berada di ruang ini saja membuat mereka merasa tidak hidup.

Aku tidak melepaskan pandanganku dari kedua orang itu. Aku dengan sengaja membuat sudut mulutku melengkung.

Kalian pasti melihatku tersenyum, bukan? Bisakah kalian merasakan ketidaknormalan dari situ?

Benar sekali, kalian mulai sekarang—

 

“Ei, ei! Serius, kalian ini ngeganggu banget! Jangan tunjukin muka kalian lagi. Pandangan mata kalian bikin jijik! Ei, ei! Siapa sih kamu sebenarnya? Aku gak kenal kamu sama sekali, bahkan namamu pun enggak tahu! Kenapa tiba-tiba jadi mantan pacarku? Semua orang selalu begitu, padahal kita enggak pernah pacaran, enggak pernah ngobrol, nggak masuk akal benget! Kalau mau gangguin Toudo, hadapin aku aja!”

Tanaka yang seharusnya berada di belakangku, tiba-tiba maju ke depan sambil mengayunkan tasnya. Gerakan serangannya itu cukup menggemaskan.

Kejadian tiba-tiba ini membuatku tersadar.

Dia meninju kepala Murakami dan pria sembrono itu. Sepertinya kepala mereka akan sakit jika terbentur benda logam yang ada di tas tersebut.

“Suu, haa~, baiklah, Toudo, kumpulkan semangatmu dan ayo pergi!”

Tanaka tersenyum padaku.

Wajahku tidak bisa bergerak dengan baik. Saat seperti ini, ekspresi wajah mana yang harus aku tunjukkan? Hanazono, aku, aku tidak tahu...... Kencan kami sudah berantakan.

“......Tanaka, ayo pergi.”

Sebagai gantinya, aku menggenggam tangan Tanaka dan menuju ke kasir.

 

Aku masih menggenggam tangan Tanaka bahkan setelah keluar dari ruang karaoke.

Meskipun aku bisa merasakan kebaikan dan kebahagiaan, entah mengapa aku juga merasa kesulitan.

Namun tangan yang kugenggam—membuat hatiku yang hampir menangis menjadi tegar.

 

◇◇◇◇

 

Kecepatan berjalanku meningkat.

Aku mengulang kata-kata yang sama di dalam pikiranku. ―― Aku percaya pada Tanaka. Aku percaya pada Tanaka.

“To-Toudo, tunggu—“

Tanpa kusadari, Tanaka mulai berlari kecil sambil ditarik tanganku.

“Ma-Maaf.”

Aku berhenti. Aku melepaskan tangan yang aku pegang. Rasanya seperti aku melepaskan sesuatu yang penting.

“Nee, ayo jalan pelan-pelan, ya? Kita masih ada waktu kok.”

“Yeah, benar juga.”

“Toudo...... Mungkin aku jadi terlalu menyebalkan ya. Karena kamu barusan mendengar beberapa hal yang aneh tadi.”

“Tidak mungkin hal seperti itu terjadi.”

Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Aku tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Tanaka.

Emosi yang tak dikenal mulai menyelimutiku.

Sebelum aku membuka mulut, Tanaka tersenyum sedih dan berkata padaku.

“Sudah kuduga, sepertinya Toudo lebih cocok dengan Hana-chan, ya?”

“Kenapa nama Hanazono tiba-tiba muncul? Tanaka, aku—”

“Tidak, orang sebaik Toudo yang polos dan baik hati seharusnya tidak pantas untukku.”

Perasaan tidak enak mengganggu dadaku.

Tanaka berkata begitu lalu menjauh dariku. Aku merasakan adanya dinding yang tak terlihat di antara kami. Apa ini sebenarnya?

“Hei, tunggu sebentar. Aku ingin memberitahumu sesuatu sebelum pulang.”

Tanaka menunjuk sofa di seberang kafe yang digunakan untuk bersantai. Ada berbagai tempat duduk di pusat perbelanjaan. Aku sering kali melihat keluarga atau pasangan yang duduk di sana.

 

Kami berdua lalu duduk di sofa.

Ada keheningan yang mengalir di antara kami.

Biasanya, keheningan saat bersama Tanaka tidak membuatku merasa canggung. Tapi, keheningan ini membuat perasaanku gelisah. Apa yang membuatku gelisah? Apa yang ingin kusampaikan? Apa yang membuatku merasa tidak enak?

Jarak di antara kami terasa lebih jauh dari biasanya. Meskipun hanya berbeda beberapa sentimeter, rasanya sangat begitu jauh. Hal tersebut semakin membuat hatiku kacau.

 

Tanaka mulai berbicara dengan nada yang agak pasrah.

“Sejak dulu, aku memang sulit bergaul dengan orang lain. Aku tidak tahu jarak yang tepat. Dulu waktu kecil sih masih baik-baik saja. Tapi, ketika memasuki masa pubertas, aku, ehm, sepertinya membuat kesalahpahaman...”

“Kesalahpahaman dari niat baik?”

“Yeah, seperti itu.”

Tanaka menatap ke kejauhan. Di sana, seorang anak laki-laki dan perempuan berjalan sambil bergandengan tangan. Tatapan matanya terlihat sangat lembut.

“Mungkin sekitaran waktu SMP, aku pernah pergi ke sekolah bersama seorang anak laki-laki tetangga. Tiba-tiba beredar gosip bahwa kami pacaran—meskipun aku membantahnya, anak laki-laki itu tidak membantahnya. Dan akhirnya aku harus mengatakan bahwa aku tidak suka padanya... Itu sama sekali tidak masuk akal, iya ‘kan? Padahal belum ada pengakuan cinta, tapi mereka bilang 'kami pikir kalian pacaran karena suasana kalian begitu'.”

Aku terkejut kalau ada kejadian yang seperti itu. Ketika aku hanya diam, Tanaka melanjutkan ceritanya.

“Pria yang di karaoke tadi juga begitu. Ia adalah senior yang bertingkah sok akrab, tiba-tiba dia memanggilku 'pacarnya'... Aku kesal, jadi aku pergi ke kelas senior itu dan menolaknya dengan keras! Itu hanya beberapa contoh yang pernah kualami.”

Tanaka menghela nafas.

“Hahaha, kamu tidak mempercayainya, ‘kan? Karena aku terlihat seperti gadis murahan dan terlihat suka bermain-main...”

“Itu sama sekali tidak benar. Aku 'percaya pada Tanaka'.”

“Yeah, terima kasih...”

Ya, jika kita saling membicarakannya, kita bisa saling mengerti. Aku merasa lebih tenang sekarang daripada sebelumnya.

“Jadi, apa karena alasan itu kamu tidak mau berteman dengan orang lain, Tanaka?”

“Yeah, karena hubungan antar manusia itu merepotkan. Bahkan saat bekerja paruh waktu, aku hanya berbincang dengan Toudo dan koki saja, kan? Oh ya, aku baik pada adik laki-laki, kok? Dia sangat menyukaiku, jadi dia selalu menjemputku dan melindungiku. Dia benar-benar anak yang baik.”

“Mengapa kamu mau berteman denganku? Apakah karena aku tidak biasa?”

“Ehm... pada awalnya, aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, Toudo. Kamu juga melakukan hal-hal yang tidak masuk akal... dan kamu selalu terlibat dalam masalah. Rasanya sangat merepotkan, kan? ...Tapi sedikit demi sedikit, aku mengerti. Hati Toudo sangat baik. Aku belum pernah bertemu orang seperti dirimu sebelumnya.”

—Aku berhati baik? Aku bukanlah orang yang baik. Aku kotor. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak punya kekuatan untuk menyelamatkan orang.

“Aku bukanlah orang yang baik.”

“Hahaha, kamu tidak bisa menentukan penilaianmu sendiri. Itulah yang kurasakan setelah melihat Toudo sepanjang tahun ini.”

Tanaka menghela nafas sambil berkata begitu.

“Sejujurnya, aku selalu merasa iri pada Hana-chan. Habisnya, Hana-chan pergi makan bersama Toudo, jalan-jalan, dan melakukan berbagai hal bersamamu, 'kan? Aku senang mendengar ceritamu di tempat kerja, tapi lama kelamaan rasanya menjadi menyakitkan bagiku. Meskipun begitu, ketika aku berharap kalau Hana-chan bersikap lebih jujur lagi~~~”

“Aku melakukat reset—”

"Yeah, aku tidak terlalu mengerti tentang 'reset', tapi saat aku melihat Toudo berbicara dengan Hana-chan, aku ingin kalian berdua berbaikan.. Itulah sebabnya aku mendorongmu.”

Kejadian pada waktu itu, ya.

Memang benar, jika bukan karena dukungan Tanaka, aku mungkin tidak akan pernah berbicara dengan Hanazono lagi.

Tanpa interaksi dengan Tanaka, aku mungkin akan mengabaikan Michiba dan Sasami begitu saja. Itu—hal yang menyedihkan.

Tanaka mengulurkan tangannya dan berdiri.

Mungkin hanya beberapa detik. Tanaka menutup mata dan membukanya secara perlahan.

Dari mata Tanaka yang terbuka, aku bisa merasakan tekad dan kemauannya yang kuat. Seolah-olah matanya sedang menyala.

 

“Hmm! Aku mendapat semangat dari hari ini jadi aku akan baik-baik saja! Ah, mungkin aku juga membuat Toudo salah paham ya. Hahaha, aku benar-benar bodoh sekali. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Toudo dan Hana-chan terlihat cocok satu sama lain, jadi, ehm, kurasa aku akan pulang sekarang.”

 

Mengapa Tanaka memalingkan wajahnya dariku? Dia bahkan membalikkan badannya.

“Tanaka?”

“...Toudo, biarpun kamu memiliki perasaan padaku, jangan pernah salah paham. Aku tidak, memiliki perasaan apa-apa, kepadamu. Hanya itu saja—”

Mengapa kata-kata Tanaka gemetar? Mengapa suhu tubuhnya meningkat? Apa yang seharusnya kukatakan?

Insiden pada karaoke tadi membuatku merasa tenang mendengar cerita Tanaka. Aku berpikir untuk pulang bersama dan menyatakan perasaanku kepada Tanaka sambil membicarakan kejadian hari ini. Tapi mungkin itu semua hanya kesalahpahamanku...

Hatiku sakit. Aku merasa kesakitan. Aku tidak ingin merasakan sakit ini lagi—

 

“Selamat tinggal, jangan ajak aku kencan lagi... Lagipula, kita hanya sekedar teman. Tolong jaga baik-baik Hana-chan.”

 

Ucapan-ucapan itu menusuk hatiku. Dadaku terasa menyakitkan, sedih, dan kesepian—

Yang bisa kulakukan hanyalah memperhatikan punggung Tanaka yang pergi dengan cepat.

Kenanganku bersama Tanaka terus terbayang di dalam pikiranku.

Tanaka saat pertama kali kami bertemu. Pekerjaan paruh waktu yang kami habiskan bersama. Ekspresi wajahnya saat mengatakan bahwa dia ingin berteman.

Aku membuat kesalahan. Tapi aku tidak tahu di mana letak kesalahannya. Tanaka sudah pergi.

Mengapa dia tiba-tiba langsung pulang? Padahal semuanya berjalan baik-baik saja sampai karaoke tadi. Mengapa Tanaka tiba-tiba membenciku?

Ayo ubah sudut pandangku—

Apa pendapatku tentang Tanaka?

Tanaka adalah orang yang lembut, imut, dan meskipun aku tidak tahu seperti apa rasanya memiliki orang tua, tapi jika aku mempunyai ibu, dia pasti mirip seperti Tanaka. Aku merasa senang ketika memikirkan tentang Tanaka. Aku merasa senang ketika bisa bertemu dengan Tanaka di tempat kerja paruh waktu. Aku merasa senang ketika bisa makan bersama Tanaka di sekolah.

Hanya dengan menyentuh tangan atau mencium aromanya saja sudah membuat detak jantungku menjadi tidak stabil.

Dadaku sakit. Hatiku sakit. Dadaku sangat sakit. Akan lebih mudah jika aku bisa me-reset semuanya. Jika aku bisa menghapus perasaanku terhadap Tanaka, maka rasa sakit ini akan hilang.

Tanaka mungkin benar-benar membenciku.

Apa perasaanku terhadap Tanaka palsu? Ini berbeda dengan saat perasaanku dimanipulasi di sekolah SD. Perasaanku ini bukan palsu. Ini adalah sesuatu yang tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi, rasanya begitu menyakitkan. Aku menatap langit-langit. Aku meletakkan tangan di dadaku. Dan kemudian, mereset—

Tiba-tiba, ada guncangan di punggungku. Ini pertama kalinya aku merasakan sesuatu menarik punggungku dan aku jadi terkejut. Ketika aku berbalik untuk menengok ke belakang sofa, aku melihat Hime di sana. Anjing kecilnya duduk di punggungku.

“Hei, Toudo, kenapa kamu cuma berdiri di sini terus? Cepat kejar dia!”

“Guk guk, guk guk!”

Aku terkejut dengan suara keras Hime. Anjing itu juga menggonggong di dekat telingaku.

“Kenapa aku harus mengejarnya?”

“Hahh? Aku juga tidak terlalu paham, tapi gadis itu tampaknya menangis, ‘kan?”

“Tapi, meskipun aku mengejarnya, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Tanaka sekarang.”

“Haaa~~~ ya ampun, aku tidak tahu kamu mempunyai hubungan seperti apa dengan gadis itu, tapi kamu harus mengungkapkan perasaanmu yang jujur!”

“Perasaanku...”

“Guk!”

“Benar! Lah, gadis itu jalannya cepat banget! Kamu tidak akan bisa mengejarnya lagi—”

 

Perasaanku sendiri. Pikiran cepatku mulai bekerja. Apa arti Tanaka bagiku? Itu adalah,

 

Dia adalah teman yang penting bagiku... dan gadis yang sangat kusukai.

 

Aku merasa ingin berteriak sekeras-kerasnya. Baru pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini—

Kakiku mulai bergerak dengan sendirinya.

Aku harus mengejar Tanaka secepat mungkin. Aku harus menyampaikan perasaanku atau aku akan menyesalinya nanti.

Aku harus sampai di samping Tanaka secepat mungkin――

 

“――Tunggu,” “Guk――”

Suara Hime dan anjingnya terdengar putus-putus. Aku harus berterima kasih padanya nanti karena sudah memberi dukungan padaku.

Atrium terbuka di pusat perbelanjaan. Tanaka sudah melintasi pintu keluar pusat perbelanjaan. Jalur tercepat sudah terbentuk.

Aku mengerahkan tenaga sekuat mungkin pada kakiku. Saat ini, hal terpenting bagiku adalah mengejar Tanaka. Aku berlari seolah-olah aku sedang terbang dari eskalator lantai tiga yang ada di depanku.

 

――Tidak ada halangan, pijakan aman, aku mendarat dengan lembut di lantai dua.

 

Aku sungguh bodoh sekali. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan sama sekali tidak memahami perasaan Tanaka. Aku harus mengingat wajah Tanaka pada saat itu. Bukannya itu adalah wajah orang yang bersedih dan terluka?

Aku tidak ingin membuat Tanaka merasa seperti itu.

Karena aku sangat mencintai Tanaka.

 

――Berakselerasi, meloncati pagar, mendarat dengan lembut, berhasil mendarat dengan sempurna, sampai di lantai satu.

 

Aku tidak boleh mereset semuanya. Aku tidak boleh memikirkan ini sendirian. Karena, Tanaka adalah teman yang sangat kusayangi. Jangan melarikan diri dari masalah yanga ada di depanku. Jika aku tidak bisa mengejar Tanaka sekarang, aku akan menyesalinya seumur hidup.

 

――Ada banyak kerumunan orang di dekat pintu masuk, rencana rute disesuaikan ulang, persepsi ruang, prediksi keseluruhan.

 

Saat ini, aku sudah lama berhenti hidup dengan serius. Itulah sebabnya ada banyak hal yang tidak berjalan baik dengan Hanazono, Tanaka, Michiba, dan Sasami.

Keberadaan Tanaka sudah tidak terlihat di dekat pintu masuk pusat perbelanjaan. Sulit untuk mencarinya di tengah keramaian kota. Meski demikian, aku tidak akan menyerah.

Aku menyelinap melewati kerumunan orang di dekat pintu masuk—

 

“Wahh, apa ada yang syuting film?” “Mungkin dia Stuntman?” “Apa kameranya sedang merekam?” “Ada uang jatuh!” “Papa, ada orang yang terbang!”

 

Suara-suara orang mengalir dan menghilang seiring dengan pemandangan.

Pandanganku menangkap sosok Tanaka yang sedang berjalan jauh di kejauhan. Jantungku berdebar dengan kencang. Aku yang tidak pernah merasa takut, sekarang gemetar. Aku takut berinteraksi dengan orang lain. Aku takut ditolak oleh Tanaka.

 

[――Kamu pasti akan baik-baik saja.]

 

Perkataan Hanazono kembali muncul di dalam benakku. Aku merasa mendapatkan keberanianku. Suara hatiku keluar tanpa sadar.

 

“Tanakaaaaa!! Aku mencintaimu, Tanakaaaaa!!”

 

Tanaka, yang sedang menyeberangi persimpangan, berbalik. Sosok Tanaka semakin mendekat. Jaraknya hanya tinggal sedikit lagi.

Aku bisa melihatnya dengan jelas. Matanya terlihat basah oleh air mata. Bibirnya bergerak. Aku bisa membaca bibirnya. 'Jangan datang ke sini. Aku tidak ingin kamu melihat wajahku menangis.'

Aku merasa ragu sejenak. Jika aku mengejarnya, apa yang seharusnya aku katakan?

Aku jadi ingin memukul wajahku sendiri.

Aku harus berhenti meragukan diri. Aku harus menyampaikan perasaanku. Masa lalu sama sekali tidak penting. Masa laluku hanya dipenuhi hal yang mengerikan. Aku akan membangun masa depanku bersama Tanaka.

Pada saat itu, aku merasa kalau tubuhku mendadak merinding. Kesadaran ruang memberikan peringatan. Pemikiran cepat membuat perkiraan perhitungan. Pikiranku dengan dingin hanya menyampaikan fakta.

Lampu lalu lintas mulai berkedip menyala. Truk yang tidak melambat terlihat dari samping. Pengemudi yang setengah tertidur. Peluang terjadinya kecelakaan bagi Tanaka adalah 99,9%.

 

Ini tidak boleh terjadi. Tolong, hentikan.

Tanaka adalah orang yang penting bagiku. Tolong jangan membawanya pergi. Aku tidak ingin lagi kehilangan seseorang yang penting bagiku.

Aku harus membangun kembali perhitunganku. Dengan kemampuan fisikku saat ini, aku pasti tidak bisa mengejarnya.

Dalam beberapa detik lagi, Tanaka akan tertabrak oleh truk.

Tanaka akan terluka. Tanaka akan menghilang. Tanaka akan—

 

Rasanya seakan-akan otakku hampir mati. Tidak peduli berapa kali aku menghitungnya berulang kali, aku tidak bisa tepat waktu. Rasionalitas menyuruhku untuk menyerah.

Tapi, naluriku yang tersisa sebesar 0,1% berbeda.

 

[Reset]

 

Mereset bukan hanya tentang menghilangkan emosi.

Asalkan aku bisa melampaui “sesuatu” di dalam kepalaku, itu saja sudah cukup.

Jika aku bisa menyelamatkan Tanaka, aku tak peduli apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak peduli jika tubuhku atau jiwaku hancur.

 

Tanpa ragu-ragu, aku langsung mereset “sesuatu”—

 

Rasanya seolah-olah otakku akan pecah kapan saja. Aku merasa ada yang tidak normal dengan aliran darahku. Darah mulai mengalir dari mata dan hidung. Suhu tubuhku meningkat dengan cepat. Bau seperti terbakar menjalar di mulutku.

Pemandangan sekitar memudar seketika. Otot-otot yang kulatih dengan keras mulai robek. Bahkan jika aku menghalangi sensasi rasa sakit, rasa sakit yang tidak biasa terpatri dalam jiwaku..

Meski begitu, aku tetap mengulurkan tanganku. Aku harus melampaui batas kemampuanku———

 

Demi orang yang kucintai.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama