Bab 2 — 25
Juli (Minggu) Ayase Saki
Aku menggunakan sisir untuk meluruskan
rambutku dengan lembut di depan cermin, lalu mengangguk pada diriku sendiri.
Aku lalu menuju dapur untuk
menyiapkan sarapan.
Rasanya lebih mudah untuk
bersiap-siap di pagi hari saat liburan musim panas dan pada akhir pekan. Ayah
Tiri juga sudah bangun dengan santai.
Aku mengikat rambutku dan ikat
tali celemek di belakang pinggang. Baiklah.
Hari ini, untuk pertama kalinya
setelah sekian lama, giliranku untuk memasak makanan. Asamura-kun selalu lebih
menyukai makanan ringan di pagi hari, dan karena dia memiliki pekerjaan paruh
waktu di sore hari hari ini, kupikir menu ringan adalah ide yang bagus—— Aku
kemudian teringat sesuatu setelah memikirkan itu.
Ngomong-ngomong, kemarin, sebelum
aku tidur. Asamura-kun berkata, “Kamu tidak perlu membuatkan sarapan untukku
besok. Aku ingin melanjutkan belajarku. Aku hanya akan memakan roti panggang
saja”.
Begitu
ya, jadi ia takkan memakan sarapannya, ya.
Jika
memang begitu...
Aku meletakkan sekantong roti (yang dibagi menjadi 8 potong) di atas
meja makan di tempat yang mudah dijangkau.
Setelah selesai menyiapkan hal
itu, aku memutuskan untuk membuatkan sarapan untuk diriku sendiri dan ayah tiri.
Saat aku menuangkan salad di
atas piring yang dalam, aku mendengar suara Asamura-kun terbangun. Sementara ia
bersiap-siap di kamar mandi, aku memanggang roti yang telah kusiapkan tadi dan
membuat secangkir kopi.
Sambil menuangkan kopi ke dalam
cangkir, tanpa sadar aku melirik sepotong roti panggang yang tergeletak di atas
piring.
Sudah kuduga, hanya roti
panggang polos seperti ini saja masih kurang bergizi...
Oh
iya, itu dia. Aku mendapat ide dan membuka kulkas.
Aku mengambil irisan ham dan
keju, lalu menempelkannya di atas roti panggang. Aku juga ingin menambahkan
sayuran, tapi Asamura-kun nanti tidak bisa memakannya dengan satu tangan. Ya
ampun. Kalau begitu seharusnya aku membuat sandwich saja tadi.
Saat aku sedang memikirkan hal
ini sambil menyantap sarapan di meja makan, Asamura-kun sudah tiba.
Seperti yang ia katakan tadi
malam, ia mengambil sepiring roti panggang dan kopi, lalu pergi ke kamarnya
sendiri. Eh? Aku penasaran, apakah alasan mengapa ekspresinya berubah adalah
karena ia memperhatikan bahwa layanannya termasuk ham dan keju?
Ayah tiri merasa khawatir
karena porsi makanannya sangat sedikit, dan Asamura-kun dengan jujur mengatakan
kalau dirinya akan berhati-hati. Beliau benar-benar mengkhawatirkannya, ya.
“Apa sepotong roti panggang
saja sudah cukup? Apa kamu tidak mau membawa sesuatu yang lain?”
Namun, Asamura-kun mengatakan
kalau porsinya sudah cukup dan bahkan khawatir tentang mencuci piring. Karena
Asamura-kun tidak makan sebanyak biasanya, jadi aku tidak perlu menggunakan
banyak piring dan bisa mencuci piringnya dengan cepat. Aku berkata begitu
kepadanya dan mengawasi punggungnya saat ia kembali ke kamarnya.
“Aku senang kalau ia jadi giat
belajar, tetapi aku khawatir dengan kesehatan badannya.”
Ayah tiri mengatakan itu dengan
bergumam pelan, dan aku mengangguk setuju.
“Melihatnya sampai bersemangat
begitu, apa itu berarti ia sudah menemukan sesuatu yang ingin ia lakukan? Apa
kamu pernah mendengar sesuatu darinya, Saki-chan?”
Ketika ia bertanya padaku, aku
jadi sedikit kebingungan untuk menjawabnya.
Kalau dipikir-pikir, aku penasaran
apa yang ingin dilakukan Asamura-kun di masa depan? Sepertinya aku belum pernah
mendengarnya... Tapi karena ia begitu rajin dengan belajarnya, mungkin ia
mempunyai sesuatu yang ingin dicapai.
“Aku juga belum pernah
mendengarnya.”
“Yah, ada bagusnya ia
bersemangat begitu, tapi...”
Ia mengulangi perkataannya.
Apa Ayah tiri mengkhawatirkan
tentang sesuatu?
“Memangnya ada masalah dengan
itu?”
“Hm? Yah... mungkin...”
Ayah tiri sedikit bercerita denganku
sambil meminum teh setelah makan malam.
Ternyata ibu Asamura-kun
sebelumnya adalah tipe ibu yang sangat memperhatikan pendidikan. Dia
mendorongnya untuk ujian masuk sekolah dasar, dan bahkan ujian masuk sekolah
SMP.
“Aku sendiri menghabiskan masa
pendidikan wajib di sekolah negeri, jadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya.
Tapi sepertinya dia merasakan bahwa itu adalah pengalaman yang sulit baginya.”
“Jadi begitu ya...”
Meskipun aku menanggapinya
begitu, aku tidak bisa benar-benar memahami perasaan mereka. Aku sendiri hanya
bersekolah di sekolah negeri sampai tingkat SMP. Keluargaku tidak mampu untuk
mengirimku bersekolah di sekolah swasta.
“Namun saat itu, Yuuta tidak terlalu
pandai dalam belajar. Ia mencoba yang terbaik untuk memenuhi harapan, tetapi
pada akhirnya ia gagal dalam semua tes dan akhirnya masuk ke sekolah negeri.”
Aku memiringkan kepalaku ketika
mendengar kata-kata aneh tentang “pandai dalam belajar”.
“Menurutku Yuuta-niisan sangat
pintar kok.”
“Aku juga merasa begitu. Mungkin
itu hanya karena keserakahan orang tua saja.”
“Itu sama sekali tidak benar.”
“Terima kasih. Tapi saat di
sekolah SD dulu, nilai akademiknya naik turun di tengah-tengah dan bawah.”
Perkataan itu cukup
mengejutkanku.
Menurut ayah tiri, setelah
gagal dalam ujian masuk sekolah SD, Asamura-kun sepertinya benar-benar menjadi
muak dengan belajar. Ayah tiri merasa khawatir bahwa jika keadaannya terus berlanjut
seperti itu, Asamura-kun akan benar-benar menjadi benci pada belajar, jadi ia
membawa Asamura-kun berkeliling ke sana kemari untuk menghibur hatinya.
Ia membawanya ke kebun
binatang, museum, perpustakaan, dan berbagai tempat lainnya.
Ayah tiri hanya ingin Asamura-kun
memiliki perasaan selain penderitaan terhadap belajar, tanpa memaksanya untuk
melakukan hal-hal tertentu.
Alhasil, Asamura-kun jadi
tertarik pada salah satu tempat yang pernah dikunjunginya: perpustakaan. Lebih
tepatnya, ia mulai tertarik pada novel.
Dirinya berubah menjadi anak
yang tidak pernah melepaskan buku.
Namun, ibu kandung Asamura-kun
tidak terlalu senang dengan hal itu.
“Eh. Mengapa begitu? Kupikir itu
luar biasa bisa membaca buku dalam usia dini begitu.”
Aku sendiri merasa sangat
kesulitan dalam memahami novel sampai-sampai aku diajari caranya.
Jika hal itu terjadi setelah
ujian masuk sekolah dasar, berarti dia masih berusia belia sekali. Jika
Asamura-kun sudah membaca buku biasa bukan hanya buku bergambar sejak saat itu,
kupikir itu sudah cukup sebagai pengganti belajar.
“Ibu Yuuta adalah tipe orang
yang mengatakan bahwa jika membaca buku, mereka harus membaca buku pelajaran.
Dia tidak terlalu senang dengan cerita seperti yang dibaca Yuuta, cerita dengan
garis-garis warna-warni naga, cerita tentang gadis kuat yang memakai kaus kaki
besar, atau cerita tentang seorang penyihir muda dengan luka di dahinya. Dia
mengatakan bahwa hal-hal seperti itu itu tidak berguna dan tidak terlalu senang
dengan itu.”
Meskipun Asamura-kun bisa
belajar membaca dengan cepat, tampaknya ketika masih di sekolah SD,
nilai-nilainya sering naik turun. Itulah sebabnya ia juga gagal dalam ujian masuk
sekolah SMP.
Pada saat itu, jarak antara
Ayah tiri dan istrinya sudah terlalu jauh, dan akhirnya berujung pada
perceraian.
Namun, ironisnya, setelah naik
kelas di sekolah SMP, karena kebiasaan membaca yang terus berlanjut, kemampuan
berpikir Asamura-kun menjadi berkembang, dan nilai-nilainya mulai terlihat
meningkat.
“Kupikir, karena pengetahuan
yang dimilikinya bertambah, jadi ia bisa mengatur pengetahuan itu, dan
menerapkannya pada masalah yang dihadapi di depan mata.”
“Jadi, itu berarti kemampuan belajarnya
menjadi lebih baik?”
“Aku tidak yakin apakah itu
cara yang tepat untuk mengatakannya... Ah, mungkin lebih tepat jika aku
mengatakan bahwa ia belajar cara menggunakan pemikirannya dengan baik.”
“Kalau begitu, aku agak
mengerti.”
Dan Asamura-kun berhasil lulus
ujian masuk sekolah SMA Suisei dengan gemilang.
“Hanya saja, aku masih ingat
masa ujian masuk sekolah SD dan SMP Yuuta. Ia terlalu memaksakan dirinya
sendiri, bahkan mengorbankan waktu makan hanya untuk belajar. Aku merasa
seperti Yuuta yang sekarang sedikit mirip dengan dirinya saat itu...”
Sambil terus meminum teh, ayah
tiri menghela nafas.
“Aku penasaran kenapa ia harus
memaksakan diri begitu keras? Aku senang melihat anakku berusaha keras belajar
sebagai seorang orang tua, tapi kalau sampai membuat tubuhnya terlalu lelah, itu
tidak baik. Saki-chan, apa kamu punya sedikit petunjuk tentang ini?”
Aku menggelengkan kepala ke
kanan dan ke kiri.
Aku tidak mempunyai petunjuk
sama sekali.
Namun, saat aku melihat wajah
ayah tiri yang tampak cemas, aku merasa harus mengatakan sesuatu.
“Ah, tapi, kami sedang
membicarakan rencana pergi berkemah dengan orang-orang di tempat kerja kami.”
“Oh…..” kata ayah mertua sambil
mengangkat wajahnya.
“Kami bahkan belum membuat
jadwal. Aku berencana untuk meminta izin setelah semuanya teratur, tapi... Oh,
itu hanya perjalanan sehari saja. Kami akan makan barbekyu sebentar dan pulang
lagi.”
“Itu bagus. Ya, itu sangat
bagus.”
“Aku berencana untuk
memberitahu setelah semuanya sudah teratur. Jadi... apa kami boleh pergi?"
Awalnya, kupikir aku seharusnya
berkonsultasi dengan Asamura-kun dan kemudian memberitahunya tentang hal itu,
tapi aku sangat ingin mencerahkan wajah ayah tiri. Tapi, kalau dia menolak di
sini, apa yang harus aku lakukan?
“Tentu saja, kalian boleh
pergi. Kadang-kadang kita perlu meluangkan waktu untuk bersantai sejenak.”
Aku mengelus dadaku karena merasa
lega.
Aku berjanji akan memberitahu
detail rencana dan lokasi setelah semuanya teratur. Aku harus segera
memberitahu Asamura-kun bahwa aku sudah meminta izin tentang rencana berkemah.
“Jika dia tipe orang yang bisa
bersantai sejenak, itu akan lebih baik.”
“Aku juga akan
memperhatikannya.”
Setelah mengatakan itu, ayah
tiri membawa cangkir teh ke wastafel dan berbalik ke arahku.
“Tentu saja, kamu juga tidak
boleh memaksakan diri terlalu keras loh, Saki-chan? Pastikan untuk menjaga
kesehatanmu dan sesekali bersantai dari waktu ke waktu.”
Dia mengatakannya dengan wajah
serius.
Untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku berpikir, ‘Ah, ibuku telah
menemukan orang yang tepat,’ dan aku merasakan kehangatan lembut di hatiku.
“Aku akan berusaha untuk tidak
terlalu berlebihan, ayah.”
Saat aku menjawab dengan
anggukan, ayah tiri menyipitkan matanya dan tersenyum bahagia.
◇◇◇◇
Aku menutup pintu kamar yang
sudah sangat akrab bagiku. Ketika suara putaran pegangan pintu menghilang, aku
menghela nafas dengan pelan. Sambil duduk di depan meja dan menyusun materi
belajarku, aku kembali mengingat percakapanku dengan Ayah tiriku tadi.
Mungkin
ia terlalu memaksakan diri. Mungkin sebaiknya dirinya bisa sedikit bersantai.
Perkataan Ayah tiri tentang
kekhawatirannya terhadap Asamura-kun terasa seperti kata-kata yang ditujukan
padaku tahun lalu. Aku terlalu memaksakan diri. Persis seperti itulah keadaanku
tahun lalu.
Sejak orang tua kami menikah
lagi, aku tidak bisa lagi menjalani hari-hariku seperti biasa karena bertemu
dengan Asamura Yuuta. Kehadirannya menjadi terlalu besar di dalam diriku
sendiri. Tapi, Asamura-kun juga yang menyelamatkanku dari keadaan itu.
Aku pergi berenang bersama dengan teman-temanku. Pada waktu itu, aku tidak bisa melakukan hal yang seharusnya bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Aku bahkan tidak pernah membayangkan untuk mengajak orang lain bermain, dan teman yang mengajakku bermain hanyalah Maaya. Aku bahkan berusaha menolak undangan dari Maaya dengan keras. Namun, Asamura-kun dengan sabar mengajakku.
Pada hari yang panas di musim
panas, aku bermain air bersama Maaya dan teman-temannya yang pertama kali aku
temui bersama dengan Asamura-kun. Meskipun banyak orang yang tidak aku kenal,
aku bisa menikmati hari itu dengan baik dan akhirnya bisa merasa nyaman.
Jika Asamura-kun sekarang
mengalami situasi yang sama seperti yang kualami dulu, aku ingin membantunya
meredakan ketegangan yang dirasakannya.
Tiba-tiba aku kepikiran
sesuatu. Apa jangan-jangan Yomiuri-senpai merasakan ketegangan yang dirasakan
Asamura-kun, lalu berpura-pura menginginkan pergi berkemah hanya untuk
meredakannya?
Jika memang begitu, seharusnya
aku yang pertama kali menyadarinya, bukan? Karena aku adalah——pacarnya.
Ketika memikirkan hal itu, aku
merasa sedikit sedih, tapi jika dengan pergi berkemah sehari saja bisa membuatnya
sedikit lega, itu lebih penting daripada mempermasalahkan siapa yang mengajaknya.
Bagaimanapun juga, Asamura-kun
memutuskan untuk pergi berkemah setelah diminta oleh Yomiuri-senpai. Dan
kemudian, Kozono-san, rekan kerja baru di tempat kerja, juga mengungkapkan
keinginannya untuk ikut, jadi aku tidak punya pilihan lain selain pergi juga.
Habisnya, yah, aku merasa
gundah.
Hanya dengan membayangkan bahwa
orang lain yang mungkin akan menenangkan hatinya yang tegang bukanlah aku, membuatku
merasa sedikit tidak nyaman.
Menurutku, kecemburuan semacam
ini jelek dan menjijikkan. Aku memang berpikir begitu, emosi bukanlah sesuatu
yang hilang hanya karena kamu berpikir seperti itu.
——Mengajaknya
bermain atas inisiatifku sendiri, ya?
Saat aku sedang memikirkan hal
itu, ponselku berbunyi dengan suara berdering dan menginformasikan kalau ada
pesan yang masuk.
Rupanya itu pesan dari Maaya.
Setelah membaca pesannya, dia
mengundangku untuk pergi bersama ke festival kembang api yang akan diadakan dua
minggu lagi. Dia ingin mengajak beberapa teman dan pergi bersama-sama.
“Sungguh... dia benar-benar
pandai dalam berkomunikasi...”
Seakan-akan pesan itu dikirim
pada waktu yang tepat. Rasanya seolah-olah dia bisa melihat ke dalam hatiku, apa jangan-jangan beneran ada…..Mau tak
mau aku mengawasi sekeliling kamarku, tapi tentu saja tidak mungkin ada kamera
pengawas.
Tringting!
—Hm?
[Tentu
saja, Asamura-kun juga diajak!]
Aku….benar-benar tidak sedang
diawasi, ‘kan?
“Iya deh, iya.”
Saat aku hendak membalasnya,
tiba-tiba aku berhenti sejenak untuk memikirkannya kembali.
Pergi bersama-sama dengan semua
orang. Ya, itu juga bagus. Begitu juga dengan kolam renang tahun lalu. Rencana kemping
kali juga diikuti bersama dengan senior dan junior di tempat kerja. Dan
sebelumnya, saat menonton pertandingan Maru-kun, kami pergi bersama banyak
orang.
Tapi bukan berduaan dengan
Asamura-kun.
Di musim panas terakhir
kehidupan SMA kami yang tersisa, aku ingin membuat kenangan yang tak terlupakan
hanya untuk kami berdua.
Jika memang begitu masalahnya, bagaimana
kalau aku menunggu sebentar sebelum kami bertemu dengan Maaya dan yang lainnya
di sini?
Hanya kami berdua.
Jantungku jadi berdebar-debar.
Tapi—.
[Beri
aku waktu untuk memutuskannya.]
Aku segera membalasnya..
—Aku
harus mengajaknya sendiri untuk bermain.
Aku tidak pandai dalam hal itu
karena mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika aku ditolak.
...tidak, bukan begitu.
Hal ini karena aku merasa
dihadapkan pada kenyataan bahwa aku adalah tipe orang yang suka menolak.
Sebenarnya menolak ajakan tidak begitu memiliki maksud tertentu (meskipun kadang-kadang memang ada).
Setiap orang pasti memiliki rencana yang tidak bisa diubah dan kadang sudah
memiliki janji dengan orang lain, atau terkadang ingin menyendiri.
Aku sendiri begitu. Menolak
ajakan dari Maaya adalah hal yang biasa bagiku, jika bisa menerima satu dari
sepuluh ajakannya pun sudah cukup bagus bagiku...
Entah kenapa, aku mulai merasa
kalau aku adalah orang yang sangat tidak peka.
Aku tidak tahu bagaimana Maaya
bisa selalu terus mengajak tanpa pernah merasa kapok. Apa jangan-jangan dia
adalah reinkarnasi orang suci atau semacamnya?
Mungkin sebaiknya aku menerima
ajakannya sedikit lebih banyak... tunggu, pikiranku jadi ngelantur terlalu jauh.
Ya, ditolak bukan berarti aku langsung ditolak juga.
Aku merasa muak dengan
kurangnya kepercayaan diriku ini.
Mengapa hal pertama yang
terlintas di pikiranku adalah penolakan terhadap keinginanku? Selalu saja begitu.
Aku ingin memberanikan diri dan
mengundang Asamura-kun ke pertunjukkan kembang api dengan mengatakan. “Ada kembang api...apa kamu mau pergi berdua
denganku?”.
Jika aku mendapat persetujuannya aku
akan meminta maaf kepada Maaya dan menolaknya.
Aku bangkit dari kursi dan
menggunakan kakiku untuk pergi ke depan pintu kamar Asamura-kun.
Sambil menarik napas
dalam-dalam di depan pintu, aku mengucapkan kata-kata ‘Apa kamu mau pergi melihat pertunjukkan kembang api hanya dengan kita
berdua saja?’ berkali-kali di dalam hati. Setelah mengingatkan diriku
sendiri, saat hendak mengetuk pintu, aku pun tersadar.
Aku membeku dalam posisi masih mengepalkan
tangan.
Sekarang, Asamura-kun sedang
belajar.
Ia mengunci diri di kamarnya
karena ingin melanjutkan studinya sebelum bekerja paruh waktu. Dirinya juga
akan mengikuti persiapan studi kelompok, dan ia bahkan sudah setuju untuk pergi
berkemping, asalkan tidak menginap.
Kalau dipikir-pikir lagi,
mungkin Asamura-kun tidak ingin menyia-nyiakan waktu belajarnya dengan terlalu
banyak bermain?
Aku mulai merasa ragu. Tapi
tidak baik juga untuk berusaha terlalu keras. Jadi bisa dibilang ini juga demi kebaikan
Asamura-kun. .........
Ah, tapi itu hanya dugaan
sepihak saja kalau Asamura-kun terlalu memaksakan dirinya.
Apa mungkin aku mencoba menutupi
perasaanku yang sebenarnya dan berdalih menyarankannya sesuatu karena aku
sedang kesepian? Bukannya itu tindakan yang cukup pengecut ? Aku tidak ingin
merampas waktu berharga dalam hidupnya hanya karena aku merasa kesepian.
Tetapi aku merasa tidak tahan ketika
memikirkan bahwa aku tidak memiliki kenangan musim panas bersamanya.
Saat aku sedang bergumul
mengenai hal itu, aku mendengar suara kursi yang berderit dan seseorang
bangkit. Langkah kakinya semakin mendekati pintu tempatku berdiri.
Apa
yang harus kulakukan? Aku belum mencapai kesimpulan di dalam hati apa aku boleh
mengajak Asamura-kun atau tidak...
Aku menurunkan tanganku yang
terangkat dan mundur dari depan kamarnya, sembari berharap agar ia tidak
mendengar langkah kakiku. Aku melompat ke kamarku, yang pintunya masih terbuka,
dan meraih gagang pintu, lalu menariknya dengan cepat sambil berhati-hati agar
tidak membuat suara. Aku perlahan-lahan melepaskan pegangan gagang pintu. Ada
suara kecil ‘klik’ saat gagang pintu
kembali ke posisi semula.
Di saat yang sama aku menghela
nafas lega, aku mendengar suara Asamura-kun berjalan di lorong. Mungkin ia
pergi ke dapur.
“Ia
tidak menyadarinya, ‘kan?”
Aku menempelkan tanganku ke
dadaku yang berdebar-debar tak terkendali.
Baru setelah aku duduk di
kursiku, jantungku berdebar pelan, dan aku menyadari bahwa aku tidak perlu melarikan
diri segala.
Saat aku sibuk dengan pemikiran
itu, sudah waktunya untuk pergi ke pekerjaan paruh waktuku, dan aku bergegas
bersiap-siap.
“Yuuta-niisan, aku sudah selesai
bersiap-siap, apa kamu sudah siap pergi?”
Aku keluar dari kamarku dengan
wajah polos dan menyapa Asamura-kun yang ada di dapur, lalu kami pergi
meninggalkan rumah pada waktu yang sama seperti kemarin.
◇◇◇◇
Kejadian itu terjadi sekitar aku
menjalani setengah jalan dari shift kerjaku. Saat Yomiuri Shiori-san dan
Kozono-san yang selesai lebih awal, pergi ke ruang ganti, dan ketika mereka
selesai, hanya Kozono-san yang kembali ke depan kasir setelah dia selesai
berganti pakaian. Dia menghampiri manajer, lalu mengatakan bahwa dia butuh
bantuan untuk memilih buku tentang berkemping.
Pada saat itu, kami berdua —aku
dan Asamura-kun—berada di sana, tetapi jelas-jelas Kozono-san hanya berbicara
kepada Asamura-kun. Itu yang kurasakan.
Mungkin itu hanya imajinasiku
saja.
Aku mungkin terlalu berlebihan
memikirkannya.
Ada kemungkinan begitu.
Di sisi lain, mungkin juga
karena aku merasa tidak nyaman dengan Kozono-san, dan karena Kozono-san
menyadari hal ini, dia kemudian bergantung pada Asamura-kun dan bukan pada
diriku.
Jika memang itu yang terjadi,
aku merasa bersalah padanya. Seharusnya sebagai senior perempuan yang seumuran,
dia seharusnya bisa mengandalkanku, tapi dia justru tidak bisa melakukannya.
Namun, di saat yang sama, aku
juga memikirkan hal ini. Meskipun begitu,
dia tidak perlu menunjukkan sikap yang terang-terangan begitu...
Tidak, tunggu. Mungkin saja
persepsiku terhadap sikapnya yang begitu jelas itu adalah kesalahan
interpretasi dari diriku sendiri. Mungkin saja karena Asamura-kun berdiri sedikit
lebih dekat dengannya daripada aku...
Asamura-kun yang dimintai
tolong memandang ke arahku dengan cepat.
Aku lalu segera mencari alasan
yang bisa kupikirkan pada saat itu juga.
“Asamura-kun, sebenarnya aku
juga sedang mencarinya. Bisakah kamu memberitahuku juga?”
Sambil mengucapkan itu, aku
berdiri di sisi yang berlawanan dengan Kozono-san.
Kemudian kami berjalan bersama
menuju ke bagian tema outdoor.
Karena Kozono-san dan
Asamura-kun berjalan berdampingan dengan jarak yang begitu dekat, aku hampir
saja menarik Asamura-kun dari sisi sebaliknya.
Ketika aku melihat Kozono-san
begitu akrab dengan Asamura-kun, aku merasa galau dan cemburu.
Aku juga mengambil buku dan
majalah yang direkomendasikan oleh Asamura-kun untuk Kozono-san.
Saat aku hendak membayar di meja
kasir, aku melihat Yomiuri-sempai, yang seharusnya sudah selesai dengan
shiftnya, kembali ke kasir. Pada saat itu aku baru mengingat bahwa aku masih
dalam jam kerja.
Meskipun sedang waktu istirahat,
tidak pantas rasanya jika aku memprioritaskan untuk mengamankan bukuku sendiri,
bukan? Apalagi kalau buku itu berada tepat di depan rekan kerja yang masih
junior. Meskipun agak sedih, aku kembali meletakkan buku tersebut ke rak. Aku
sudah ingat semua judulnya. Aku yakin kalau aku masih bisa membelinya setelah
jam kerja berakhir karena buku-buku tersebut tidak akan cepat habis.
Setelah Kozono-san pulang dan
Yomiuri-senpai yang lupa menyelesaikan satu tugasnya juga pulang, beberapa jam
kemudian shift kerja kami berakhir.
Saat aku berjalan berdampingan
dengan Asamura-kun lagi dalam perjalanan pulang, aku memikirkan kembali apa
yang terjadi selama pekerjaan paruh waktuku.
Kozono-san yang melambaikan
tangan menggemaskannya seperti binatang kecil, tentu saja tampak “dicintai sebagaimana mestinya”, seperti
yang dikatakan oleh Yomiuri-senpai.
Aku merasa itu hal yang
mustahil bagiku.
Kualitas untuk dicintai.
Aku tidak ingat pernah merasa
mengalami hal seperti itu.
Aku bahkan merasa tidak
mempunyai kualitas semacam itu.
Misalnya saja, dalam tindakan
merias diri sendiri, hal yang aku tuju adalah sifat tidak dapat didekati, bukan
keramahan.
Bagi diriku, pakaian dan riasan
dimaksudkan untuk digunakan sebagai persenjataan, bukan untuk dicintai.
Contohnya saja, alasan mengapa
aku mengecat kuku tanganku dengan baik adalah karena aku merasa menjadi lebih kuat
karena kilauan yang dipancarkannya.
Jika koordinasinya terasa pas, aku
bisa berjalan dengan percaya diri seakan-akan ada kekuatan dalam diriku dan
merasa tegar bahkan ketika pergi ke tempat yang tidak nyaman.
Aku merasa bisa menjadi kuat bahkan
ketika aku sendirian. Aku merasa bisa berdiri dengan bermartabat.
Itulah 'persenjataan'-ku.
Aku ingin mendapatkan penilaian
terhadap kemampuan berdandanku.
Tapi aku tidak merasa bahwa itu
adalah kemampuan untuk dicintai.
Aku belajar bagaimana memakai
riasan dan berpakaian dari ibuku, tetapi pada akhirnya, ibu kehilangan kasih
sayang ayah kandungku.
Memberi & menerima. Aku percaya
bahwa dunia ini berjalan dengan prinsip pertukaran yang setara.
Jika ingin menerima kasih
sayang, seharusnya kita memberikan sesuatu.
Tapi—.
Meskipun ayah mengalami kegagalan
dalam bisnis, kehilangan pekerjaan, dan pendapatan, ibu berhasil mendapatkan
penghasilan sebagai seorang bartender untuk menopang biaya hidup keluarga,
namun kesuksesannya tidak membuatnya mendapatkan kasih sayang dari ayah.
Sebaliknya, sepertinya dia
justru kehilangan karena memberikan hal yang lain.
Jika begitu—.
Apa sebenarnya yang harus kita
berikan untuk mendapatkan cinta?
Atau mungkin, itu harus menjadi
bakat alami yang muncul secara tidak disengaja seperti milik Kozono-san?
Apa yang harus kuberikan kepada
Asamura-kun supaya ia mencintaiku? Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin seharusnya
aku perlu bertanya langsung padanya sebelum aku terlalu banyak mencemaskannya.
Mungkin kami perlu lebih banyak berkomunikasi.
Tapi pada saat itu, aku tidak
bisa melihat hubungan kami dari sudut pandang yang lebih luas.
Banyak orang yang bilang kalau cinta
itu buta.
◇◇◇◇
Setelah pulang dan
menyelesaikan makan malam, aku rebahan di tempat tidur di kamarku.
Aku sudah selesai mandi,
belajar untuk ujian masuk, dan sekarang yang harus kulakukan hanyalah tidur saja.
Sambil melawan rasa kantuk yang
membuat mataku terasa berat, aku malah mencari hal seperti ini dengan
smartphone yang masih terhubung ke penambah daya.
Cara
membuat pria menyukai kita──.
Hasil pencarian mulai berjejeran.
... Ada banyak sekali. Kata
kunci “Untuk dicintai pria” atau “hal-hal yang dibutuhkan untuk dicintai”,
hasil pencarian yang membuatku penasaran tapi juga merasa agak mencurigakan.
Jika aku tidak berada dalam
situasi di mana yang harus kulakukan hanyalah tidur, dan tidak dalam keadaan
terlalu mengantuk, aku pasti tidak akan pernah melakukan pencarian seperti ini.
Ini tindakan yang membuatku tersipu malu.
Tapi, di dalam acara perkemahan
nanti, ada Kozono Erina yang dianggap sebagai orang yang gampang dicintai oleh
Yomiuri-senpai.
Bahkan hari ini pun, Kozono-san
begitu dekat dengan Asamura-kun.
Tidak, tidak ada gunanya meremehkan
situasi dengan menyalahkan Kozono-san.
Meskipun aku menghilangkan
Kozono-san dari dunia ini, jika ada gadis cantik lainnya yang berdiri di
samping Asamura-kun, perasaan yang sama akan kembali menyerang. Secara logika,
mustahil untuk menghilangkannya.
Aku bisa memahami hal ini
secara rasional.
Tiba-tiba, salah satu artikel
dari hasil pencarian menarik perhatianku.
Ada bagian yang berjudul [Hal-hal yang sering terjadi dalam komunikasi
antara pria dan wanita] yang membuatku terkejut. Ketika aku membacanya, ada
hal seperti ini:
[Ketika
pembicara sedang berkomunikasi dengan tujuan tertentu, dan menggunakan
kata-kata yang menuntut pendapat dari lawan bicara, lawan bicara akan merasa
bahwa mereka diminta untuk memberikan solusi dan mencari solusi sendiri. Jika berkomunikasi
itu sendiri adalah tujuannya, maka menanyakan pendapat seperti itu adalah hal
yang negatif.]
Cara penyampaian yang agak
rumit membuat artikel tersebut sulit untuk dipahami.
Setelah membacanya beberapa
kali, aku akhirnya mulai mengerti.
Jadi intinya, jangan
menggunakan cara bicara yang mengharapkan keselarasan logika saat ingin
menyelaraskan perasaan.
Ketika kamu ingin mengatasi
perasaan galau atau kegundahan, yang diinginkan bukanlah mengungkapkan penyebab
atau mencari solusi, melainkan berbagi perasaan.
Untuk lebih menggambarkannya
lebih gampang, maka jadinya seperti ini, “Aku
merasa terganggu ketika ada gadis lain berada di sampingmu!” dan aku
meminta solusi dari Asamura-kun.
Tapi semua itu tidak ada gunanya
jika dirinya menawarkan solusi seperti “Baiklah,
aku akan mencoba untuk tidak pergi ke tempat kerja yang ada wanitanya”.
Yang bisa aku dapatkan dari hal
itu hanyalah pemahaman logis, dan hal itu tidak akan mengatasi perasaan
mengganggu yang kurasakan sekarang. Karena aku sendiri sudah tahu bahwa
perasaan ini tidak masuk akal.
Perasaan seperti ini tidak
adil, dan menolak untuk bergantung pada senior yang seharusnya dapat diandalkan
oleh pekerja baru adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Namun, perasaan takkan bisa
dipengaruhi oleh logika.
Tampaknya ada banyak pria dan
wanita yang berpisah karena tidak menyadari hal ini.
Jadi
begitu ya, namun pikiranku juga mengatakan bahwa ini merupakan
kesalahpahaman karena pihak yang memulai percakapan tidak mengungkapkan tujuan
atau maksud percakapan.
Kalau begitu, aku tidak tahu
apa yang harus kulakukan agar perasaan ini bisa dibagikan kepada orang lain.
Kesalahpahaman,
ya...
Jika
hal seperti itu terjadi, aku harus lebih berhati-hati. --
pikirku.
Setelah sampai pada kesimpulan
seperti itu, kelopak mataku perlahan-lahan menjadi berat.
Dan akhirnya, aku pun tertidur.